Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELLITUS

OLEH :

SRI MEYLANI MUSA


14420202112

CI LAHAN CI INSTITISI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
BAB I
KONSEP KEPERAWATAN KELUARGA

A. KONSEP KELUARGA
1. PENGERTIAN KELUARGA
Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan
kebersamaan dan ikatan emosional dan mengidentifikasian diri mereka sebagai
bagian dari keluarga (Zakaria, 2017).
Keluarga adalah orang dengan ikatan perkawinan kelahiran dan adopsi yang
bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga
(Setiawan, 2016).
2. STRUKTUR KELUARGA
Beberapa ahli meletakkan struktur pada bentu/tipe keluarga, namun adajuga
yang menggambarkan subsitem-subsistemnya sebagai dimensi struktural.
Nadirawati (2018) sebagai berikut :
a. Pola dan Proses Komunikasi
Komunikasi keluarga merupakan suatu proses simbolik, transaksional
untuk menciptakan mengungkapkan pengertian dalam keluarga.
b. Struktur Kekuatan
Struktur keluarga dapat diperluas dan dipersempit tergantung pada
kemampuan keluarga untuk merespon stressor yang ada dalam
keluarga.Struktur kekuatan keluarga merupakan kemampuan
(potensial/aktual) dari individu untuk mengontrol atau memengaruhi perilaku
anggota keluarga. Beberapa macam struktur keluarga:
1) Legimate power/authority (hak untuk mengontrol) seperti orang tua
terhadap anak.
2) Referent power (seseorang yang ditiru) dalam hal ini orang tua adalah
sesorang yang dapat ditiru oleh anak.
3) Resource or expert power (pendapat, ahli, dan lain).
4) Reward power (pengaruh kekuatan karena adanya harapan yang akan
diterima).
5) Coercive power (pengaruh yang dipaksa sesuai dengan keinginannya).
6) Informational power (pengaruh yang dilalui melalui pesuasi)
7) Affective power (pengaruh yang diberikan melalui manipulasi cinta kasih,
misalnya hubungan seksual).
Sedangkan sifat struktural di dalam keluarga sebagai berikut:
1) Struktur egilasi (demokrasi), yaitu dimana masing-masing anggota
keluarga memiliki hak yang sama dalam menyampaikan pendapat.
2) Struktur yang hangat, menerima, dan toleransi.
3) Struktur yang terbuka dan anggota yang terbuka (honesty dan
4) authenticity), struktur keluarga ini mendorong kejujuran dan kebenaran.
5) Struktur yang kaku, yaitu suka melawan dan bergantun pada peraturan.
6) Struktur yang bebas (permissiveness), pada struktur ini tidak adanya
peraturan yang memaksa.
7) Struktur yang kasar (abuse); penyiksaan, kejam dan kasar.
8) Suasana emosi yang dingin; isolasi dan sukar berteman.
9) Disorganisasi keluarga; disfungsi individu, stres emosional.
c. Struktur Peran
Peran biasanya meyangkut posisi dan posisi mengidentifikasi status atau
tempat sementara dalam suatu sistem sosial tertentu.
1) Peran-peran formal dalam keluarga
Peran formal dalam keluarga dalah posisi formal pada keluarga, seperti
ayah, ibu dan anak Setiap anggota keluarga memiliki peran masing-
masing. Ayah sebagai pemimpin keluarga memiliki peran sebagai pencari
nafkah, pendidik, pelindung, pemberi rasa aman bagi seluruh anggota
keluarga, dan sebagai anggota masyarakat atau kelompok sosial tertentu.
Ibu berperan sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik
anak, pelidung keluarga, sebagai pencari nafkah tambahan keluarga, serta
sebagai anggota masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sedangkan
anak berperan sebagai pelaku psikosoal sesuai dengan perkembangan
fisik, mental, sosial dan spiritual.
2) Peran Informal kelauarga
Peran informal atau peran tertutup biasanya bersifat implisit, tidak
tampak ke permukaan, dan dimainkan untuk memenuhi kebutuhan
emosional atau untuk menjaga keseimbangan keluarga.
3) Struktur Nilai
Sistem nilai dalam keluarga sangat memengaruhi nilai-nilai
masyarakat. Nilai keluarga akan membentuk pola dan tingkah laku dalam
menghadapi masalah yang dialami keluarga. Nilai keluarga ini akan
menentukan bagaimana keluarga menghadapi masalah kesehatan dan
stressor-stressor lain.
3. CIRI-CIRI STRUKTUR KELUARGA
a. Terorganisasi: saling berhubungan, saling ketergantungan antara anggota
keluarga.
b. Ada keterbatasan: setiap anggota memiliki kebebasan, tetapi mereka juga
mempunyai keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-
masing.
c. Ada perbedaan dan kekhususan: setiap anggota keluarga mempunyai
peranan dan fungsinya masing-masing.
d. Salah satu pendekatan dalam asuhan keperawatan keluarga adalah
pendekatan struktural fungsional. Struktur keluarga menyatakan bagaimana
keluarga disusun atau bagaimana unit-unit ditata dan saling terkait satu
sama lain (Kholifah dan widagdo, 2016).
4. TIPE KELUARGA
Menurut Nadirawati (2018) pembagian tipe keluarga adalah :
a. Keluarga Tradisional
1) Keluarga Inti (The Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri dari
suami, istri, dan anak baik dari sebab biologis maupun adopsi yang
tinggal bersama dalam satu rumah. Tipe keluarga inti diantaranya:
a) Keluarga Tanpa Anak (The Dyad Family) yaitu keluarga dengan suami
dan istri (tanpa anak) yang hidup bersama dalam satu rumah.
b) The Childless Familyyaitu keluarga tanpa anak dikarenakan terlambat
menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat waktunya disebabkan
mengejar karir/pendidikan yang terjadi pada wanita. Keluarga Adopsi
yaitu keluarga yang mengambil tanggung jawab secara sah dari orang
tua kandung ke keluarga yang menginginkan anak.
c) Keluarga Besar (The Extended Fmily) yaitu keluarga yang terdiri dari
tiga generasi yang hidup bersama dalam satu rumah, contohnya seperti
nuclear family disertai paman, tante, kakek dan nenek.
d) Keluarga Orang Tua Tunggal (The Single-Parent Family) yaitu keluarga
yang terdiri dari satu orang tua (ayah atau ibu) dengan anak. Hal ini
biasanya terjadi karena perceraian, kematian atau karena ditinggalkan
(menyalahi hukum pernikahan).
e) Commuter Family yaitu kedua orang tua (suami-istri) bekerja di kota yang
berbeda, tetapi salah satu kota tersebut sebagai tempat tinggal dan yang
bekerja di luar kota bisa berkumpul dengan anggota keluarga pada saat
akhir minggu, bulan atau pada waktu-waktu tertentu.
f) Multigeneration Family yaitu kelurga dengan beberapa generasi atau
kelompok umur yang tinggal bersama dalam satu rumah.
g) Kin-Network Family yaitu beberapa keluarga inti yang tinggal dalam satu
tumah atau berdekatan dan saling menggunakan barang- barang dan
pelayanan yang sama. Contohnya seperti kamar mandi, dapur, televise
dan lain-lain.
h) Keluarga Campuran (Blended Family) yaitu duda atau janda (karena
perceraian) yang menikah kembali dan membesarkan anak dari hasil
perkawinan atau dari perkawinan sebelumnya.
i) Dewasa Lajang yang Tinggal Sendiri (The Single Adult Living Alone),
yaitu keluarga yang terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri
karena pilihannya atau perpisahan (separasi), seperti perceraian atau
ditinggal mati.
j) Foster Familyyaitu pelayanan untuk suatu keluarga dimana anak
ditempatkan di rumah terpisah dari orang tua aslinya jika orang tua
2) Keluarga Non-tradisional
a) The Unmarried Teenage Motheryaitu keluarga yang terdiri dari orang
tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan tanpa nikah.
b) The Step Parent Family yaitu keluarga dengan orang tua tiri.
Commune Family yaitu beberapa keluarga (dengan anak) yang tidak
ada hubungan saudara yang hidup bersama dalam satu rumah, sumber,
dan fasilitas yang sama, pengalaman yang sama; serta sosialisasi anak
melalui aktivitas kelompok/membesarkan anak bersama.
c) Keluarga Kumpul Kebo Heteroseksual (The Nonmarital Heterosexual
Cohabiting Family), keluarga yang hidup bersama berganti-ganti
pasangan tanpa melakukan pernikahan. Gay and Lesbian Families,
yaitu seseorang yang mempunyai persamaan seks hidup bersama
sebagaimana ‘marital partners’.
d) Cohabitating Family yaitu orang dewasa yang tinggal bersama diluar
hubungan perkawinan melainkan dengan alasan tertentu.
e) Group-Marriage Family, yaitu beberapa orang dewasa yang
menggunakan alat-alat rumah tangga bersama yang saling merasa
f) Group Network Family, keluarga inti yang dibatasi aturan/nilainilai, hidup
berdekatan satu sama lain, dan saling menggunakan alat-alat rumah
tangga bersama, pelayanan, dan bertanggung jawab membesarkan
anaknya.
g) Foster Family, keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan
keluarga/saudara di dalam waktu sementara, pada saat orang tua anak
tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan kembali keluarga
aslinya.
h) Homeless Family, yaitu keluarga yang terbentuk dan tidak empunyai
perlindungan yang permanen karena krisis personal yang dihubungkan
dengan keadaan ekonomi dan atau masalah kesehatan mental.
i) k. Gang, bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang
mencari ikatan emosional dan keluarga mempunyai perhatian, tetapi
berkembang dalam kekerasan dan kriminal dalam kehidupannya
5. FUNGSI KELUARGA
Fungsi keluarga menurut Nadirawati (2018) sebagai berikut:
a. Fungsi afektif dan koping; dimana keluarga memberikan kenyamanan
emosional anggota, membantu anggota dalam membentuk identitas, dan
mempertahankan saat terjadi stres.
b. Fungsi sosialisasi; keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai,
sikap, dan mekanisme koping, memberikan feedback dan saran dalam
penyelesaian masalah.
c. Fungsi reproduksi; dimana keluarga melanjutkan garis keturunannya dengan
melahirkan anak.
d. Fungsi ekonomi; keluarga memberikan finansial untuk anggota keluarga dan
kepentingan di masyarakat.
e. Fungsi pemeliharaan kesehatan; keluarga memberikan keamanan dan
kenyamanan lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan,
perkembangan dan istirahat juga penyembuhan dari sakit.
6. TAHAP PERKEMBANGAN
a. Tahap Perkembangan Keluarga
Terdapat delapan tahap perkembangan keluarga yang perlu di pelajari
berikut ini.
1) Keluarga baru menikah atau pemula, Tugas perkembangannya adalah:
a) Membangun perkawinan yang saling memuaskan;
b) Membina hubungan persaudaraan, teman, dan kelompok sosial;
c) Mendiskusikan rencana memiliki anak.
2) Keluarga dengan anak baru lahir (Anak tertua 0-30 bulan), Tugas
perkembangannya adalah:
a) Membentuk keluarga muda sebagai sebuah unit yang mantap
mengintegrasikan bayi yang baru lahir ke dalam keluarga;
b) Rekonsiliasi tugas-tugas perkembangan yang bertentangan dan
kebutuhan anggota keluarga;
c) Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan;
d) Memperluas persahabatan dengan keluarga besar dengan
menambahkan peranperan orang tua dan kakek nenek.
3) Keluarga dengan anak usia pra sekolah (Anak tertua 2-6 tahun), Tugas
perkembangannya adalah:
a) Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, seperti rumah, ruang
bermain, privasi, dan keamanan;
b) Mensosialisasikan anak;
c) Mengintegrasikan anak yang baru, sementara tetap memenuhi
kebutuhan anak yang lain;
d) Mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga dan di luar
keluarga.
4) Keluarga dengan anak usia sekolah (Anak tertua 6-13 tahun), Tugas
perkembangannya adalah:
a) Mensosialisasikan anak-anak, termasuk meningkatkan prestasi
sekolah dan hubungan dengan teman sebaya yang sehat;
b) Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan;
c) Memenuhi kebutuhan kesehatan fisik anggota keluarga.
5) Keluarga dengan anak remaja (Anak tertua berumur 13-20 tahun), Tugas
perkembangannya adalah:
a) Menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab ketika remaja
menjadi dewasa dan semakin mandiri;
b) Memfokuskan kembali hubungan perkawinan;
c) Berkomunikasi secara terbuka antara orang tua dan anak-anak.
6) Keluarga melepas anak usia dewasa muda (Anak pertama sampai anak
terakhir yang meninggalkan rumah), Tugas perkembangannya adalah:
a) Memperluas siklus keluarga dengan memasukkan anggota keluarga
baru yang didapatkan melalui perkawinan anak-anak;
b) Melanjutkan untuk memperbaharui dan menyesuaikan kembali
hubungan perkawinan;
c) Membantu orangtua lanjut usia dan sakit-sakitan dari suami atau
istri.
7) Keluarga dengan usia pertengahan (Tanpa jabatan, pensiun), Tugas
perkembangannya adalah:
a) Menyediakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan;
b) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dan penuh arti dengan
para orang tua lansia dan anak-anak;
c) Memperkokoh hubungan perkawinan.
8) Keluarga dengan usia lanjut (Masa pensiun hingga meninggal dunia),
Tugas perkembangannya adalah:
a) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan;
b) Menyesuaikan terhadap pendapatan yang menurun;
c) Mempertahankan hubungan perkawinan;
d) Menyesuaikan diri terhadap kehilangan pasangan;
e) Mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi;
f) Meneruskan untuk memahami eksistensi mereka (penelaahan hidup)
(Kholifah dan widagdo, 2016).
7. TUGAS KELUARGA
Tugas kesehatan keluarga menurut Bsilon dan Maglalaya (2018) :
a. Mengenal masalah kesehatan Orang tua perlu mengenal keadaan
kesehatan dan perubahanperubahan yang dialami anggota keluarga.Dan
sejauh mana keluarga mengenal dan mengetahui fakta-fakta dari masalah
kesehatan yang meliputi pengertian, tanda dan gejala, faktor penyebab dan
yang mempengaruhinya, serta persepsi keluarga terhadap masalah kesehatan.
b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Hal ini meliputi sejauh mana kemampuan keluarga mengenal sifat dan
luasnya masalah. Apakah keluarga merasakan adanya masalah kesehatan,
menyerah terhadap masalah yang dialami, adakah perasaan takut akan akibat
penyakit, adalah sikap negatif terhadap masalah kesehatan, apakah keluarga
dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang ada, kepercayaan keluarga
terhadap tenaga kesehatan, dan apakah keluarga mendapat informasi yang
benar atau salah dalam tindakan mengatasi masalah kesehatan.
c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
Ketika memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit,
keluarga harus mengetahui beberapa hal seperti keadaan penyakit, sifat dan
perkembangan perawatan yang dibutuhkan, keberadaan fasilitas yang
diperlukan, sumber-sumber yang ada dalam keluarga (anggota keluarga yang
bertanggung jawab, finansial, fasilitas fisik, psikososial), dan sikap keluarga
terhadap yang sakit.
d. Memodifikasi lingkungan atau menciptakan suasana rumah yang sehat Hal-
hal yang harus diketahui oleh keluarga untuk memodifikasi lingkungan atau
menciptakan suasana rumah yang sehat yaitu sumbersumber keluarga yang
dimiliki, manfaat dan keuntungan memelihara lingkungan, pentingnya dan
sikap keluarga terhadap hygiene sanitasi, upaya pencegahan penyakit.
e. Merujuk pada fasilitas kesehatan masyarakat Hal-hal yang harus diketahui
keluarga untuk merujuk anggota keluarga ke fasilitas kesehatan yaitu
keberadaan fasilitas keluarga, keuntungankeuntungan yang dapat diperoleh
dari fasilitas kesehatan, tingkat kepercayaan keluarga dan adanya
pengalaman yang kurang baik terhadap petugas dan fasilitas kesehatan,
fasilitas yang ada terjangkau oleh keluarga.
8. TUGAS KELUARGA DI BIDANG KESEHATAN
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai
tugas dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Lima tugas
keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan yaitu :
a. Mengenal masalah kesehatan keluarga
Setiap anggotanya Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota
keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab
keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera
dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa
besar perubahanny
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi
keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
pertolongan yang tepat sesuia dengan keadaan keluarga dengan
pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan
memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga maka segera
melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi
bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan seyoganya
meminta bantuan orang lain dilingkungan sekitar keluarga.
c. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan
Perawatan ini bisa dilakukan dirumah apabila keluarga
memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama
atau kepelayanan kesehatan untuk memperoleh tindakan lanjutan agar
masalah yang lebih parah tidak terjadi.
d. Memepertahankan susana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan anggota keluaraga
e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara kelurga dan lembaga
kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada) (Resnayati, 2019).
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Medis
1. Defenisi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang bersifat menahun,
berhubungan dengan suatu sistem dalam tubuh, dan disebabkan oleh berbagai
faktor, yang ditandai dengan adanya jumlah kadar gula (glukosa) darah yang
berlebihan (hiperglikemia) dan jumlah kadar lemak (lipid) yang berlebihan
(hiperlipidemia), akibat kurangnya sekresi insulin, atau ketidak efektifan kerja
insulin yang telah disekresi oleh pankreas (Livana et al., 2018). Menurut
Soegondo dalam (Hidayat, 2017), menyatakan bahwa diabetes mellitus
merupakan penyakit yang berjangka panjang maka bila diabaikan komplikasi
penyakit diabetes mellitus dapat menyerang seluruh anggota tubuh yang di
akibatkan dari kadar gula darah yang tidak terkontrol pada pengidap diabetes,
tindakan pengendalian diabetes untuk mencegah terjadinya komplikasi
sangatlah diperlukan khususnya menjaga tingkat gula darah sedekat mungkin
dengan normal.
2. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) dalam (Apiati &
Sugiarti, 2016), DM bisa diklasifikasikan secara etiologi menjadi DM Tipe 1,
DM Tipe 2, Diabetes Dalam Kehamilan, dan Diabetes Tipe Lain.
a. DM Tipe 1 terjadi karena kerusakan sel beta pankreas (reaksi autoimun),
bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai
muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa. Sebagian besar penderita DM Tipe 1 mempunyai
antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil
tidak terjadi proses autoimun. Sebagian besar (75%) kasus terjadi sebelum
usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.
b. DM tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
oleh keadaan hiperglikemi akibat kelainan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, gangguan kerja insulin/resistensi insulin atau kombinasi
keduanya. Kasus DM tipe 2 terbanyak umumnya mempunyai latar belakang
kelainan berupa resistensi insulin.
c. DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Melitus - GDM) adalah
kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu
hamil gagal mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM diantaranya
riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan
morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan
makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin
lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia.
3. Etiologi
Dalam (Nurarif & Kusuma, 2015), etiologi DM terbagi menjadi 2 yaitu :
sebagai berikut :
a. DM tipe I
Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan penghancuran sel-sel beta
pancreas yang disebabkan oleh :
1) Faktor genetic penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetic kearah
terjadinya diabetes tipe I.
2) Faktor imunologi (autoimun)
3) Faktor lingkungan :virus atau toksin tertentu dapat memicu proses
autoimun yang menimbulkan estruksi si beta.
b. DM tipe II
Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Faktor
resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II : usia,
obesitas, riwayat dan keluarga. Menurut (Etika & Monalisa, 2016),
menyatakan bahwa jika dalam keluarga orang tersebut ada yang memiliki
penyakit diabetes mellitus maka orang tersebut beresiko 4 kali lipat lebih
besar untuk menderita diabetes mellitus.
4. Patofisiologi
a. DM tipe 1
Terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel
pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam
darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut
diekskresikan dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan
diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria)
dan rasa haus (polidipsi).
b. DM tipe 2
Patofisiologi DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan hepatic glucosa production (HGP) dan penurunan fungsi sel ß,
yang akhirnya akan menuju kerusakan total sel ß. Mula-mula timbul
resistensi insulin kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin, untuk
mengatasi kekurangan resistensi insulin agar kadar glukosa darah tetap
normal. Pada tahap ini, kemungkinan individu tersebut akan mengalami
gangguan toleransi glukosa (tahap pradiabetes) tetapi belum memenuhi
kriteria penderita diabetes melitus. Selanjutnya sel beta tidak sanggup lagi
mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat
dan fungsi sel beta pankreas semakin menurun saat itulah diagnosa diabetes
ditegakkan. Penurunan fungsi sel beta berlangsung secara progresif sampai
akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengekresi insulin. Peningkatan
produksi glukosa hati, penurunan pemakaian glukosa dan lemak oleh otot
berperan atas terjadinya hiperglikemia kronik saat puasa dan setelah makan.
Perubahan proses toleransi glukosa, mulai dari kondisi normal, toleransi
glukosa terganggu dan DM tipe 2 dapat dilihat sebagai keadaan yang
berkesinambungan (Puspa et al., 2017).
5. Pathway/Penyimpangan KDM

- Factor genetic Kerusakan Sel beta


Ketidak seimbangan
- Inveksi virus produksi insulin Gula dalam darah
tidak dibawa masuk
- Pengrrusakan dalam set
imunologi

Batas melebihi Anabolisme protein


Glukosuria Hiperglikemia
ambang ginjal menurun

Kerusakan pada
Vikositas darah antibodi
Dieresis osmotik Syok hiperglikemia
ginjal

Kekebalan tubuh
Poliuri-Retensi menurun
Aliran darah lambat Koma diabetik
urine

Kehilangan Neuropati sensori


Iskemik jaringan Resiko infeksi
elekterolit dalam sel perifer

Perfusi Perifer Klien tidak merasa


Dehidrasi Nekrosis luka
Tidak Efektif sakit

Kehilangan kalori Gangrene Gangguan integritas


Resiko syok
kulit/jaringan

Merangsang Sel kekurangan Protein dan lemak


BB menurun
hipotalamus bahan untuk dibakar
metabolisme

Pusat lapar dan haus Pemecahan protein keletihan


Katabolisme lemak

Poli dipsia
polipagia Asam lema Keton ureum

Defisit Nutrisi Keteasidosis


6. Manifestasi Klinis
Gejala yang dikeluhkan oleh penderita diabetes mellitus adalah polidipsia,
poliuria, polifagia, penurunan berat badan, dan kesemutan. Keluhan lain adalah
lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
pada pria, pruritus vulvae pada pasien wanita, serta luka yang sukar sembuh
(Kurniawaty & Lestari, 2016).

7. Komplikasi
Dalam (Musyafirah et al, 2016), menyatakan diabetes dapat
memengaruhi berbagai organ sistem dalam tubuh dalam jangka waktu tertentu
yang disebut komplikasi. Komplikasi dari diabetes dapat diklasifikasikan
sebagai mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi mikrovaskuler termasuk
kerusakan sistem saraf (neuropati), kerusakan sistem ginjal (nefropati) dan
kerusakan mata (retinopati). Sedangkan, komplikasi makrovaskular termasuk
penyakit jantung, stroke, dan penyakit pembuluh darah perifer.
a. Komplikasi mikrovaskuler
1) Kaki diabetic
Faktor terjadinya komplikasi kronik (kaki diabetik) pada pasien
DM yaitu, riwayat penyakit DM yang sudah lama didiagnosa hal ini
disebabkan seseorang yang sudah lama didiagnosa diabetes mellitus
memiliki resiko lebih tinggi terjadinya ulkus peptikum yang diakibatkan
oleh kadar gula yang tidak terkontrol. Dan penggunaan alas kaki hal ini
disebabkan kaki pasien diabetes mellitus sangat rentan terhadap
terjadinya luka, hal ini disebabkan adanya neuropati diabetic dimana
pasien diabetes mengalami penurunan pada indra perasanya (Purwanti
& Maghfirah, 2016). Menurut Dimitriadou & Lavdaniti (Hartono,
2019), menyatakan bahwa untuk mencegah terjadinya kaki diabetik ini
yaitu dengan cara melakukan perawatan kaki terutama bagi mereka
yang mengalami mati rasa, kesemutan di kaki, perubahan bentuk kaki,
serta luka pada kaki. Perawatan kaki dapat dikalukan dengan cara
memeriksa kaki setiap hari, mencuci kaki setiap hari, menjaga kaki agar
tetap lembut dan halus, memotok kuku dan lain-lain.
2) Retinopati
Retinopati adalah terganggunya retina mata sehingga terjadi
kebutaan secara parsial maupun permanen. Apabila retina terganggu,
maka otak tidak dapat memproses gambar yang dilihat oleh mata.
Retinopati sulit dideteksi karena gejalanya berjalan lambat. Keluhan
yang timbul akibat kerusakan mata adalah sebagai berikut: pada
penglihatan mata terlihat bayang jaring laba-laba, bayangan ke abu-
abuan, pandangan kabur, tidak dapat membaca karena pandangan kabur,
di tengah lapangan pandang terdapat titik gelap atau kosong, pada
penglihatan seperti ada selaput merah, mata terasa nyeri, lingkaran terang
mengelilingi obyek yang dilihat, terdapat perubahan garis vertikal
yangterlihat, dan kebutaan (Lathifah, 2017).
3) Nefropati
Nefropati diabetik merupakan komplikasi yang terjadi pada
penderita DM pada ginjal yang memiliki risiko akhir yaitu sebagai gagal
ginjal. Menurut (Utami & Fuad, 2018), nefropati diabetic sebagai
penyebab utama gagal ginjal terminal, delapan dari 10 penderita diabetes
meninggal akibat kejadian Diabetes mellitus adalah gangguan fungsi
ginjal dengan angka kejadian yang tinggi sebesar 20-40% yang dapat
menghambat pembentukan eritropoietin sebagai pembentuk Hb dan
menyebabkan anemia. Nefropati diabetik ditandai dengan adanya
albuminuria (mikro/ makroalbuminuria). Diabetes yang menyerang
pembuluh darah kecil ginjal berakibat pada efi siensi ginjal sehingga
penyaringan darah terganggu. Keadaan normal ginjal tidak dapat
ditembus oleh protein, namun jika sel ginjal mengalami kerusakan maka
pembuluh darah dapat dilewati oleh protein dan masuk ke saluran urin.
Keluhan yang timbul pada penderita komplikasi nefropati adalah
pembengkakan pada kaki, sendi kaki, dan tangan, sesak nafas, hipertensi,
bingung atau sukar berkonsentrasi, nafsu makan menurun, kulit menjadi
kering, dan gatal, capek
4) Neuropati
Menurut Kariadi dalam (Lathifah, 2017), neuropati adalah
komplikasi yang terdapat pada syaraf. Neuropati ini mengacu pada
sekolompok penyakit yang menyerang saraf perifer, ototnom, dan spinal.
Kadar gula darah yang tinggi mengakibatkan serat saraf hancur sehingga
sinyal ke otak dan dari otak tidak terkirim dengan benar, akibat dari tidak
terkirimnya sinyal tersebut maka hilangnya indera perasa, meningkatnya
rasa nyeri di bagian yang terganggu. (Anugerah et al, 2019) menyatakan
bahwa ketika pasien mengalami komplikasi neuropati maka syaraf-syaraf
telah mengalami kerusakan sehingga kaki pasien menjadi baal (tidak
merasakan sensasi) dan tidak merasakan adanya tekanan, injuri/trauma,
atau infeksi. Keluhan yang paling sering dirasakan adalah kesemutan.
b. Komplikasi makrovaskuler
1) Penyakit jantung
Penyakit jantung salah satunya Penyakit Jantung Koroner atau
PJK terjadi akibat penyempitan atau penyumbatan di dinding nadi
koroner karena adanya endapan lemak dan kolesterol sehingga
mengakibatkan suplai darah ke jantung menjadi terganggu. Diabetes
merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya penyakit jantung
koroner. Diabetes mellitusyang tidak dikelola dengan baik
mengakibatkan komplikasi yang bersifat kronik salah satunya yaitu
komplikasi makroangiopati. Makroangiopati diabetik mempunyai
gambaran histopatologi berupa aterosklerosis yang pada akhirnya
menyebabkan penyumbatan vaskuler. Bila mengenai arteri koronaria
dan aorta, maka dapat menyebabkan penyakit jantung koroner Penderita
diabetes mellitus memiliki kadar glukosa yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan viskositas darah. Meningkatnya viskositas darah ini dapat
menyebabkan kerja jantung lebih berkerja keras. Selain itu tingginya
glukosa akan diiringi pula meningkatnya kadar lemak yang menempel
di dinding pembuluh darah (Utami & Azam, 2019)
2) Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg
atau tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg.
Hipertensi menjadi faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler dan
menjadi masalah kesehatan dunia. Hipertensi pada DM meningkatkan
mortalitas serta berperan dalam mekanisme terjadinya penyakit jantung
koroner, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan pembuluh darah
serebral dan terjadinya gagal ginjal. Kelainan pada mata akibat DM yang
berupa retinopati diabetik juga dipengaruhi oleh hipertensi. Menurut
Fukui dalam (Puspa et al., 2017), menyatakan bahwa ketika seseorang
terlebih dahulu mengalami diabetes maka hazard ratio (95% CI) untuk
terjadi hipertensi pada tahun ke 5 adalah sebesar 2,359.
8. Pemeriksaan Penunjang
(Nurarif & Kusuma, 2015), dalam bukunya ada beberapa pemeriksaan
diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien yang mengidap penyakit DM.
a. Tes laboratorium DM
Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring. Tesdiagnostik, tes
pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi
b. Tes saring
Tes-tes saring pada DM adalah :
1) GDP, GDS
2) Tes glukosa urine :
 Tes konvensional (metode reduksi/benedict)
 Tes carik celup (metode glucose oxide/hexokinase
c. Tes diagnostik
Tes-tes diagnostik pada DM adalah GDP, GDS, GD2PP (Glukosa Darah 2
jam Post Prandial), Glukosa jam ke-2 TTGO
d. Tes monitoring terapi DM adalah :
3) GDP : plasma vena, darah kapiler
4) GD2PP :plasma vena
5) A1c : darah vena, darah kapiler
e. Tes untuk mendeteksi komplikasi
6) Mikroalbuminura : urine
7) Ureum, kreatinin, asam urat
8) Kolestrol total : plasma vena (puasa)
9) Kolestrol LDL : plasma vena (puasa)
10) Kolestrol HDL : plasma vena (puasa)
11) Trigleserida : plasma vena (puasa)
9. Penatalaksanaan
a. Terapi farmakologi
Terapi obat dalam (Padila, 2012) sebagai berikut :
1) Terapi insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1.
Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak,
sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya,
maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat
berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak
memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan
terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
2) Terapi obat hipoglikemik oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang
tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada
tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi
hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat
atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen
hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien
secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
3) Terapi kombinasi
b. Terapi nonfarmakologi
Menurut (Medika, 2017), Terapi non-obat sebenarnya sama dengan
langkah pencegah. Inti dari terapi ini adalah menjaga agar terhindar dari
segala penyakit, teruma penyakit degeneratif. Terapi non-obat ini terdiri dari
pemberian pengetahuan tentang diabetes, olaragah secara teratur,
menerapkan pola makan yang tepat, dan menerapkan gaya hidup yang sehat.
Keseluruhannya harus diterapkan demi mencapai hasil maksimal.
1) Lebih Mengenal Diabetes
Adalah istilah “tak kenal maka tak sayang”.Kalau kita terhindar atau
hidup nyaman dengan diabetes tentu kita harus mengenalnya. Semakin
banyak hal tentang diabetes, semakin banyak cara yang kita tahu untuk
mengendalikan penyakit ini. Pengetahuan berperan penting dalam
menurunkan populasi penderita diabetes.Tujuan dari pemberian
pengetahuan ini adalah agar penderita diabetes dapat mengerti
bagaimana penyaikitnya bisa menyerang dirinya, penderita diabetes mau
berusaha disiplin untuk mengontrol dan mengelola penyakitnya secara
mandiri, serta agar terbentuknya perillaku hidup sehat.
2) Penatalaksanaan diabetes dengan pemberian konseling
Pengetahuan tentang diabetes dapat di peroleh dari dokter ketika
melakukan cek kesehatan, melalui penyuluhan atau seminar terkait
diabetes, dan melalui buku-buku umum/populer seperti yang anda
lakukan saat ini. Pemberian pengetahuan ini sebaiknya mencakup apa itu
diabetes melitus, apa itu hipoglikemia, apa saja gejalanya, komplikasi
yang timbul, pentingnya pemantauan dan pengendalian diabetes melitus,
bagaimana penangananya baik secara mandiri maupun oleh tenaga
kesehatan, perawatan kaki pada penderita diabetes, serta perubahan
perilaku yang perlu dilakukan.
Pemberian pengetahuan ini diharapkan dapat merubah perilaku
ke arah kepada perilaku mendukung gaya hidup sehat sehingga derajat
kesehatan akan meningkat. Proses perubahan perilaku tidak cukup hanya
dengan memberikan pengetahuan, tetapi membutuhkan perencanaan,
pemantauan, dan evaluasi dari keluarga, masyarakat, dan tenaga
kesehatan.
3) Olahraga yang teratur
Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana
untuk memelihara hidup, meningkatkan kualitas hidup dan mencapai
tingkat kemampuan jasmani yang sesuai dengan tujuan . Olahraga tidak
hanya dapat dilakukan oleh orang yang sehat, akan tetapi sangat
bermanfaat apabila dilakukan oleh orang dengan penyakit metabolik
seperti penyakit DM. Menurut Perkeni dalam(Sinaga, 2016) bahwa
melakukan olahraga secara teratur dapat memperbaiki kendali glukosa
darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat
meningkatkan kadar kolesterol HDL. Selain itu, Olahraga juga berfungsi
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki kendali glukosa darah. Olahraga sangat bermanfaat dalam
memperbaiki kepekaan insulin serta pengendalian gula darah. Namun,
pengendalian gula darah tidak akan berhasil dengan olahraga saja.
Karena itu, upaya ini mesti dipadu dengan pengaturan diet secara akurat.
Pekanya insulin dan terkendalinya gula darah akan berdampak pada
perlambatan atau penundaan komplikasi DM.
4) Pola makan yang tepat
Salah satu faktor utama penyebab terjadinya diabetes adalah pola
makan yang salah.Makan dalam porsi yang besar, terlalu banyak ngemil,
melewati sarapan, dan makan larut malam.Pola makan tersebut
menyebabkan berat badan lebih dan gula darah menjadi
naik.Kenyataannya, sebagian besar penderita diabetes memeang
memiliki tubuh yang cendrung gemuk.Oleh karena itu, kesalahan-
kesalahan dalam pola makan harus segera di ubah.
Penentuan pola makan yang cocok untuk semua penderita diabetes
sebenarnya belum bisa di tentukan karna harus di sesuaikan dengan
kebiasaan makan individu masing-masing.Penderita diabetes dianjurkan
menerapkan terapi diabetes dengan syarat:
a) Makanlah pada jadwal teratur
b) Jumlah asupan kalori disesuaikan dengan berat badan, jenis kelamin,
usia, aktifitas fisik, serta kelainan metabolik yang dialami
c) Makanlah menu yang beragam, misalnya dalam sehari harus ada
makanan sumber protein, karbohidrat, sayuran, dan buah
d) Batasi konsumsi gula pasir, makanan manis, dan gorengan
e) Hindari makan biskuit, cake, serta makanan lain dan minum
berkalori tinggi sebagai cemilan pada waktu makan
f) Minum air dalam jumlah banyak dan hindari minuman berkalori
seperti soft drink apabila haus
g) Konsumsi protein, vitamin, mineral yang cukup
h) Tambahkan porsi sayur dan buah dua kali lipat di banding biasanya.
Selain penatalaksanaan diatas terapi nonfarmakologi pada penderita
diabetes mellitus juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan
tanaman herbal seperti :
1) Ubi jalar ungu
Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas poiret) merupakan
sumber karbohidrat yang baik dan juga berperan sebagai sumber
serat pangan dan sumber beta karoten. Mengandung karbohidrat,
protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin C,
vitamin B1 dan pigmen antosianin yang lebih tinggi dibanding
varietas lain. Karbohidrat yang terkandung pada ubi jalar ungu
termasuk dalam Low Glycamix Index sehingga bila dikonsumsi
tidak akan menaikkan glukosa darah secara drastis. Ubi jalar
unggu mengandung antosianin adalah glikosida yang larut dalam
air dari polihidroksil dan polymethoxyl turunan dari 2-
phenylbenzopyrylium atau flavylium garam. Antosianin suatu
jenis plavonoid yang memiliki efek antioksidan, anti-inflamasi,
anti-virus, anti-proliferasi, anti-mutagenik, anti-mikroba, anti-
karsinogenik, perlindungan dari kerusakan jantung dan alergi,
perbaikan mikrosirkulasi, perifer kapiler pencegahan kerapuhan
dan pencegahan diabetes (Anjani, Oktarlina, & Morfi, 2018).
Pemberian ekstrak ubi jalar ungu dapat melindungi sel dari
pengaruh buruk radikal bebas. Zat antosianin yang terkandung
dalam ubi jalar ungu (Ipomoea batatas poiret) dapat dijadikan
pilihan terapi diet non-farmakologi karena kandungannya dapat
mengontrol kadar glukosa darah sehingga dapat mencegah
terjadinya resisten insulin pada pendertita DM.
2) Pare
Pare adalah sejenis tumbuhan yang merambat dengan
buah berbentuk panjang dan runcing pada ujungnya serta
permukaan yang bergerigi. Pare memiliki rasa yang tidak terlalu
pahit dan banyak dibudidayakan dan paling disukai, buahnya
panjang dengan ukuran 30-50cm, diameter buah 3-7cm, berat
ratarata 200-500 gr/buah. Sedangkan pare ayam memiliki rasa
yang pahit, berbentuk lonjong kecil dan berwarna hijau dengan
bintil-bintil agak halus dengan panjang 15– 20cm. Pare
merupakan tanaman yang kaya akan manfaat, diantaranya pare
dapat berfungsi sebagai antikanker dan menurunkan kadar gula
darah (hypopglycemic effect). Ekstrak pare dapat berperan
sebagai antioksidan dengan ditemukannya kandungan flavonoid,
tanin, saponin, steroid, dan terpenoid. (Rahmasari & Wahyuni,
2019).
Menurut Rita dalam (Rahmasari & Wahyuni, 2019),
kandungan yang ada di dalam pare menjadikan sayuran ini
sangat baik untuk tujuan pengobatan diabetes. Manfaat buah pare
bagi penderita DM adalah sebagai berikut :
 Mengontrol gula darah, konsumsi buah pare dapat
mengontrol kadar gula darah dalam tubuh. Hal ini
disebabkan karena adanya kandungan serat dalam pare. Saat
serat masuk ke dalam tubuh, serat hanya akan melewati
saluran pencernaan saja. Sehingga akan membuat makanan
berserat cenderung tidak akan menaikkan kadar gula darah.
 Insulin alami penurun gula darah, di dalam buah pare juga
terdapat kandungan phyto nutrient, yaitu salah satu jenis
tanaman insulin yang sangat dikenal bisa menurunkan kadar
gula darah. Selain itu juga terdapat agen hipoglikemik atau
charatin yang akan membantu meningkatkan penyerapan
glukosa serta glikogen sintesis yang ada dalam sel hati.
Sehingga dengan senyawa tersebut lah pare dianggap bisa
menurunkan kadar gula dalam darah khususnya untuk
diabetes tipe-2.
 Membantu melakukan diet alami untuk diabetes, jika sedang
melakukan diet dan mengatur asupan makanan ke dalam
tubuh untuk mengatur kadar gula darah, maka dapat
memanfaatkan buah pare sebagai salah satu menu yang dapat
mengobati penyakit diabetes. Hal ini karena adanya
kandungan polipeptida yang strukturnya sama dan mirip
dengan hormone insulin yang akan bekerja menurunkan
kadar gula darah dalam tubuh.
Penelitian oleh (Yudha et al., 2018), yang dilakukan
pada tikus jantan putih menunjukan bahwa partisi air buah
pare (Momordicia charantia) dengan dosis 50 mg/kg bb
efektif menurunkan kadar glukosa darah tikus putih jantan
(Rattus norvegicus).
3) Rebusan daun gersen
Kersen dengan nama latin Muntingia calabura, digunakan
oleh anak - anak untuk bermain atau di makan karena rasanya
manis, daun dan buahnya memiliki kandungan senyawa yang
berkhasiat sebagai obat. Tanaman ini banyak digunakan sebagai
tanaman peneduh, dan s norvegicus). juga mempunyai manfaat
kesehatan yang sangat bermanfaat. Buahnya juga dapat
digunakan untuk menyembuhkan penyakit seperti hipertensi,
asam urat dan diabetes mellitus (Jumain, et al., 2019).
Kersen (Muntingia calabura), adalah tanaman yang
mengandung berbagai senyawa flavonoid, tanin dan chalcone.
Hasil riset menyatakan, daun kersen mengandung berbagai
macam jenis senyawa flavonoid yang berpotensi untuk dijadikan
berbagai macam jenis obat, seperti antidiabetik, anti-inflamasi,
antikanker dan antipiretik. Senyawa flavonoid, menurut
penelitian memiliki efek hipoglikemik dengan beberapa
mekanisme, yaitu dengan menghambat absorpsi glukosa,
merangsang pelepasan dan sensitasi dari insulin, dan
meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan perifer, dan
berperan dalam pengaturan enzim-enzim dalam metabolisme
karbohidrat. Penelitian lain juga menyebutkan, bahwa subkelas
flavonoid, senyawa flavonol, memiliki potensi menghambat
enzim alfaamilase yang berperan dalam pemecahan karbohidrat.
Flavonol, juga memiliki potensi menginhibisi kerja Glucose
Transporter-2 (GLUT-2) sebagai transporter glukosa pada organ
gastrointestinal (Damara & Sukohar, 2018).
Penelitian oleh (Zahroh & Musriana, 2016), menyatakan
bahwa ada pengaruh pemberian rebusan daun kersen terhadap
penurunan kadar gula darah. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh (Norma & Hadrayanti, 2019), menyatakan
terdapat pengaruh yang signifikan rebusan Daun kersen
(Muntingia calabura L) terhadap penurunan kadar gula darah
sewaktu pada klien diabetes mellitus tipe II.
9. Pencegahan
(Wahyuni et al., 2019), menyatakan bahwa dengan pengendalian metabolisme
yang baik, menjaga agar kadar gula darah berada dalam katagori normal maka
komplikasi akibat diabetes dapat dicegah/ditunda. Pengendalian dapat
dilakukan dengan CERDIK, yaitu :
a. Cek kondisi kesehatan secara berkala
b. Enyahkan asap rokok
c. Rajin aktifitas fisik
d. Diet sehat dengan kalori seimbang
e. Istirahat yang cukup
f. Kendalikan Stress.
A. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, Suku/bangsa, agama,
dan status perkawinan.
b. Keluhan utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasin mungki
n berbau aseton pernapasan kussmaul, poliuri, polidipsi, penglihatan yang
kabur, kelemahan dan sakit kepala
c. Riwayat penyakit sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit, penyebab terjadinya penyakit serta
upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
2. Riwayat penyakit masa lalu
Ada riwayat penyakit DM atau penyakit-penyakit lain yang ada kaitannya
dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pangkreas. Adanya riwayat penyakit
jantung, obesitas, maupun arteroklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat
maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Meliputi keadaan penderita mungkin tampak lemah atau pucat. Tingkat
kesadaran apakah sadar, koma, disorientasi.
b. Pemeriksaan kulit
Kulit kering, adanya ulkus di kulit, luka yang tidak kunjung sembuh.
Adanya akral dingin, capillarry refill kurang dari 3 detik, adanya pitting
edema.
c. Pemeriksaan kepala
Raut wajah : pengkajian kontak mata saat diajak berkomunikasi, fokus atau
tidak fokus. Mata : simetris mata, refleks pupil terhadap cahaya, terdapat
gangguan penglihatan apabila sudah mengalami retinopati diabetik. Telinga
fungsi pendengaran mungkin menurun. Hidung : adanya sekret, pernapasan
cuping hidung, ketajaman saraf penghidu menurun. Mulut : mukosa bibir
kering.
d. Pemeriksaan leher
Pemeriksaan pada tekanan vena jugularis.
e. Pemeriksaan sistem persyarafan
Pemeriksaan pada 12 sistem persyarafan, pada penderita diabetes biasanya
mengalami gangguan persyarafan diakibatkan oleh neuropati diabetik.
f. Pemeriksaan dada
Denyut jantung cepat atau lambat, adanya bunyi jantung tambahan apabila
diawali dari penyakit jantung.
g. Pemeriksaan abdomen
Adanya nyeri tekan pada bagian pankreas, distensi abdomen, suara bising
usus yang meningkat.
h. Pemeriksaan ekstrimitas
Adanya luka pada kaki atau kaki diabetik. Observasi luas luka, kedalaman
luka, perdarahan. Kaji kekuatan otot.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit Nutrisi.
b. Resiko syok.
c. Gangguan Integritas kulit/jaringan.
d. Resiko infeksi.
e. Perfusi Perifer tidak efektif.
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Defisit Nutrisi. Status Nutrisi. Manajemen Nutrisi
Kriteria Hasil : 1. Identifikasi status nutrisi. 1. Mengetahui status nutrisi
1. Porsi makan yang yang diberikan.
dihabiskan Meningkat. 2. Identifikasi alergi dan intoleransi 2. Mengidentifikasi alergi dan
2. Nyeri abdomen Menurun. aktivitas. mengetahui aktivitas yang
3. Frekuensi makan Membaik. diberikan.
3. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk 3. Dapat meningkatkan
menentukan jumlah kalori dan jenis kebutuhan kalori yang akan
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu diberikan.
2. Resiko syok. Tingkat Syok. Pencegahan Syok
Kriteria Hasil : 1. Monitor status kardiopulonal 1. Dapat mengetahui status
1. Kekuatan Nadi Meningkat. (Frekuensi dan kekuatan nadi, kardiopulonal.
2. Tingakat kesadaran frekuensi napas, TD, MAP). 2. Megetahui cairan yang masuk
Meningkat. 2. Monitor status cairan (masukan dan dan keluar.
3. Saturasi Oksigen haluaran, turgor kulit, CRT). 3. Untuk meningkatkan
Meningkat. 3. Berikan oksigen untuk pertahanan saturasi oksigen.
4. Frekuensi napas Membaik. mempertahankan saturasi oksigen 4. Dengan pemasangan kateter
>94%. dapat mengetahui nilai
4. Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin.
produksi urin, jika perlu.
5. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu. 5. Untuk memberikan nutrisi
melalui IV.

3. Gangguan Integritas kulit dan Jaringan. Perawatan Integritas Kulit.


Integritas Kriteria Hasil : 1. Identifikasi penyebab gangguan 1. Mengetahui gangguan pada
kulit/jaringan. 5. Kerusakan jaringan integritas kulit. kulit.
Meningkat. 2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah 2. Untuk mencegah terjadinya
6. Nyeri Menurun. baring. decubitus.
7. Suhu Kulit Membaik. 3. Anjurkan meningkatkan asupan 3. Dapat meningkatkan status
nutrisi. nutrisi.
4. Resiko infeksi. Tingkat Infeksi. Pengaturan Posisi
Kriteria Hasil : 1. Monitor status oksigenasi sebelum 1. Mengetahui posisi pemberian
4. Demam Menurun. dan sesudah mengubah posisi. oksigen yang benar.
5. Nyeri Menurun. 2. Atur posisi untuk mengurangi sesak. 2. Dapat mencegah terjadinya
sesak.
3. Motivasi melakukan ROM aktif atau 3. Untuk dapat melatih otot agar
pasif. tetap aktif.
5. Perfusi perifer Perfusi Perifer. Perawatan Sirkulasi.
tidak efektif. Kriteria Hasil : 1. Periksa sirkulasi perifer. 1. Mengetahui sirkulasi perifer.
1. Denyut nadi perifer 2. Identifikasi factor resiko gangguan 2. Mengidentifikasi terjadinya
Meningkat. sirkulasi. factor resiko.
2. Kelemahan Otot Menurun. 3. Hindari pemasangan infus atau 3. Untuk mencegah terjadinya
3. Turgor kulit Membaik. pengambilan darah diarea lebam.
keterbatasan perfusi.
DAFTAR PUSTAKA

Anjani, E. P., Oktarlina, R. Z., & Morfi, C. W. (2018). Zat Antosianin pada Ubi Jalar
Ungu terhadap Diabetes Melitus. Majority, 7(2), 257–262.

Anugerah et al. (2019). PREVALENSI KOMPLIKASI DIABETES MELITUS


BERDASARKAN KARAKTERISTIK PASIEN DIABETES MELITUS. 8(1), 22–28.

Apiati, F., & Sugiarti, M. (2016). HUBUNGAN TINGKAT PENATALAKSANAAN


PENGENDALIAN DIABETIK DENGAN KADAR HbA1c PADA PENDERITA
DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUD dr . H . ABDUL MOELOEK HbA1c
LEVELS IN PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS IN HOSPITAL RSUD
dr . H . ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG. Jurnal Analis Kesehatan,
5(1).

Damara, A., & Sukohar, A. (2018). Efektivitas Infusa Daun Kersen (Muntingia
calabura Linn) Sebagai Antidiabetik. 5(46), 534–539.

Etika, A. N., & Monalisa, V. (2016). RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DENGAN


KEJADIAN DIABETES MELLITUS. Jurnal Care, 4(1), 51–57.

Hartono, D. (2019). Pengaruh Foot Care Education Terhadap Tingkat Pengetahuan Dan
Perilaku Perawatan Kaki Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II. Jurnal Aiptinakes,
15.

Hidayat, R. (2017). PENGARUH SENAM TERHADAP KADAR GULA DARAH


PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUD PURI HUSADA
TEMBILAHAN TAHUN 2016. Jurnal Ners Universitas Pahlawan Tuanku
Tambusai, 1(1).

Jumain, Asmawati, Farid, & Riskah. (2019). Efek Sari Buah Kersen (Muntingia
calabura L.) Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Mencit Jantan. XV(2), 156–
162.

Kurniawaty, E., & Lestari, E. E. (2016). Uji Efektivitas Daun Belimbing Wuluh
( Averrhoa bilimbi L .) sebagai Pengobatan Diabetes Melitus The Effectiveness
Test for Extract Wuluh Starfruite Leaf ( Averrhoa bilimbiL .) as Diabetes Mellitus
Treatment. Majority, 2–6.

Kholifafh, dkk. (2016). Keperawatan Keluarga Dan Komunitas. Jakarta Selatan:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Lathifah, N. L. (2017). HUBUNGAN DURASI PENYAKIT DAN KADAR GULA


DARAH DENGAN KELUHAN SUBYEKTIF PENDERITA DIABETES
MELITUS. Jurnal Berkala Epidemiologi, 5(2), 231–239.
https://doi.org/10.20473/jbe.v5i2.2017.231-239

Livana, Sari, I. P., & Hermanto. (2018). Gambaran Tingkat Persepsi Pasien Diabetes
Mellitus di Kabupaten Kendal. Jurnal Kesehatan Poltekkes Ternate, 11(2), 48–57.

Medika, T. B. (2017). Berdamai dengan Diabetes. Jakarta: Bumi Medika.

Musyafirah et al. (2016). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN


KOMPLIKASI DM PADA PENDERITA DM DI RS IBNU SINA.

Norma, & Hadrayanti, N. (2019). Pengaruh Rebusan Daun Kersen Terhadap Penurunan
Gula Darah Sewaktu Pada Klien Diabetes Mellitus Tipe II Di Wilayah Kerja
Puskesmas Klasaman Kota Sorong Tahun 2018. JURNAL ILMIAH PRAKTISI
KESEHATAN MASYARAKAT SULAWESI TENGGARA, 3(2), 6–10.

Nadirawati. (2018). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. 1st edn. Edited By Anna.
Bandung: PT Refika Aditama

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NIOC. Yogyakarta: MediAction.

Padila. (2012). Buku Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Purwanti, L. E., & Maghfirah, S. (2016). FAKTOR RISIKO KOMPLIKASI KRONIS


(KAKI DIABETIK) DALAM DIABETES MELLITUS TIPE 2. THE
INDONESIAN JOURNAL OF HEALTH SCIENCE, 7(1), 26–39.

Puspa, G., Marek, S., & Adi, M. S. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG


BERPENGARUH TERHADAP TERJADINYA HIPERTENSI PADA PENDERITA
DIABETES MELITUS TIPE II (Studi di Wilayah Puskesmas Kabupaten Pati).
XIII(1), 47–59.

Resnayati, Y & Widagndo, w. 2019. Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Jakarta:


Kemenkes RI.

Zakaria, A. 2017. Asuhan Keperawatan Keluarga Pendekatan Teori dan Konsep.


Purwokerto: CV IRDH

Anda mungkin juga menyukai