Anda di halaman 1dari 43

PRESENTASI KASUS DIPERSIAPKAN

Tumor Otak: SOL ec. Tumor Metastasis

Pembimbing:
Dr. Yuniarti, Sp.S

Disusun oleh:
Muhammad Azharan Alwi
41161096100071

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di stase Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. Dr. Yuniarti, Sp.S selaku pembimbing presentasi kasus ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Jakarta.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan,
oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah ini
sangat kami harapkan. Semoga makalah presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua
dan dapat menambah wawasan di bidang neurologi.

Jakarta, November 2018

Penyusun
BAB 1
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. ER
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Boyolali
Pendidikan : Tamat SLTA
Masuk RS : 06 November 2018
II. ANAMNESIS
a. KELUHAN UTAMA

Kejang sejak 2 jam SMRS

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang ke IGD denga keluhan kejang sejak 1 jam SMRS. Saat
kejang terjadi tangan kiri dan tangan kanan kaku dan kelonjotan, mata tidak
mendelik ke atas. Kejang berlangsug kurang lebih selama 1 jam, saat diperjalanan
juga pasien masih kejang. Sebelum pasien kejang, pasien masih beraktivitas dan
mengeluh sakit kepala. Setelah kejang pasien sadar dan tampak lemas. Pasien
riwayat kejang pertama kali 1 bulan lalu sesaat sebelum operasi ginjal, saat itu
kejang berlangsung selama 5 menit, kaki tangan kaku. Lalu 2 minggu yang lalu
juga kejang 2x kurang lebih selama 3 menit namun kejang berhenti sendiri.
Pasien mengatakan bahwa 2 bulan terakhir pasien nyeri kepala yang semakin
memberat sejak 1 minggu terakhir. Nyeri kepala yang dirasakan sepertu tertusuk-
tusuk dan lebih sering dirasakan saat bangun pagi. Nyeri kepala hampir
berlangsung setiap hari dan dirasakan kurang lebih 1 jam setiap harinya. Saat itu
nyeri kepala VAS 6, disertai mual, tidak muntah, dan terkadang pusing seperti
berputar. Nyeri kepala terasa seperti berdenyut, dirasakan di atas kepala. Pasien
kemudian berobat ke klinik dekat rumah dikatakan vertigo dan diberi obat.
Namun pasien tidak merasakan nyeri kepalanya semakin baik.

Keluhan nyeri awalnya dirasakan hilang timbul, namun semakin lama


semakin sering muncul sampai seperti saat ini. Nyeri selalu dirasakan di bagian
kepala yang sama. Nyeri dirasakan semakin lama semakin berat tiap kali muncul.
Nyeri diperberat oleh batuk atau ketika pasien mengedan. Keluhan pingsan,
muntah menyemprot disangkal. 1 bulan lalu saat pasien di rawat di RS, saat itu
pasien pernah mengalami kedutan di wajah sisi kiri. Keluhan lain seperti
gangguan penciuman, pennglihatan atau pendengaran, mulut mencong, sering
tersedak, kelemahan anggota gerak disangkal. Pasien merasa selama sakit ini BB
nya turun karena terlihat tampak kurus, namun pasien tidak pernah mengukur BB
nya selama di rumah.

c. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien mempunyai riwayat tumor ginjal kanan yang baru didiagnosis


sejak 4 bulan lalu, 1 bulan yang lalu pasien post operasi nefroktomi dan dilakukan
biopsi di RSF. Riwayat hipertensi, diabetes, alergi, asma disangkal. Riwayat sakit
paru, sakit jantung. Riwayat jatuh disangkal.

d. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Riwayat keluhan serupa (kejang dan sakit kepala) yang berlangsung lama
di keluarga tidak ada. Riwayat keganasan, hipertensi, diabetes mellitus, alergi,
dan asma pada keluarga pasien disangkal.

e. RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Kebiasaan mengonsumsi
alkohol dan merokok disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : E4M6V5
Tanda vital :
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Frekuensi nadi : 82 x/m, regular, kuat, isi cukup, ekual
 Frekuensi napas : 20 x/m, regular
 Suhu : 36.8 ºC
Status Generalis :
 Kepala : Normocephal, tidak ada jejas, tidak ada hematoma (-)
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, kekeruhan lensa (-/-)
 Hidung : Septum deviasi (-), mukosa hiperemis (-), secret (-/-), Napas cuping
hidung (-/-)
 Mulut : Mukosa bibir basah, atrofi lidah (-), gigi karies (-)
 Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
 Leher : Trakea terletak ditengah, KGB tak teraba
 Paru :
- Inspeksi : Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, penggunaan otot bantu
napas (-/-)
- Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan
- Perkusi : Sonor pada paru kiri dan kanan
- Auskultasi : Suara napas vesikular (+/+), Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung :
- Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictuc kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas jantung kanan di ICS IV linea sternalis dextra, batas jantung kiri di
ICS V linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
- Inspeksi : Datar, supel
- Auskultasi : Bising usus positif normal
- Palpasi : Lemas, Nyeri tekan (+) di regio hipokondrium dextra, Hepar/lien tak
teraba
- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
 Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-/-/-/-), CRT < 3 detik

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS


A. GCS : E4M6V5 = 15
B. Rangsang Selaput Otak Kanan Kiri
Kaku Kuduk : Negatif
Laseque : > 70° > 70°
Kernig : > 135° > 135°
Brudzinski I : (-) (-)
Brudzinski II : (-) (-)
C. Saraf-saraf Kranialis
N. I : Normosmia / Normosmia
N.II Kanan Kiri
Acies Visus : 6/60 6/60
Visus Campus : normal normal
Melihat Warna : normal normal
Funduskopi : tidak dilakukan tidak dilakukan
N. III, IV, VI Kanan Kiri
Kedudukan Bola Mata : Ortoposisi Ortoposisi
Pergerakan Bola Mata
Ke Nasal : normal normal
Ke Temporal : normal normal
Ke Nasal Atas : normal normal
Ke Nasal Bawah : normal normal
Ke Temporal Atas : normal normal
Ke Temporal Bawah : normal normal
Eksopthalmus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
Pupil : Isokhor Isokhor
Bentuk : Bulat, Ø 3mm Bulat, Ø 3mm
Refleks Cahaya Langsung : (+) (+)
Refleks Cahaya Konsensual: (+) (+)
Akomodasi : normal normal
Konvergensi : ` normal normal
Kesan: Parese N. VI Sinistra Perifer

N. V Kanan Kiri
Cabang Motorik : normal normal
Cabang Sensorik
Optahalmika : normal normal
Maxilla : normal normal
Mandibularis : normal normal
N. VII Kanan Kiri
Motorik
M.Frontalis : normal normal
M.Orbicularis oculi : normal normal
M.Buccinator : normal normal
M.Orbicularis oris : normal normal
Pengecap Lidah : tidak dinilai tidak dinilai

N. VIII
Vestibular
Vertigo : (-)
Nistagmus : (-)
Chocler
AD AS
Rhinne : (+) (–)
Weber : tidak ada lateralisasi
Swabach : normal normal
N. IX, X
Motorik : Baik
Sensorik : Baik
Uvula : letak di tengah
Arkus faring : simetris kanan dan kiri
Refleks muntah : +/+ dinding faring kanan dan kiri
N. XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu : normal normal
Menoleh : normal normal
N. XII
• Pergerakan Lidah : Deviasi (-), tidak ada gangguan dalam pengucapan huruf T, L, R

Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Tremor : (-)
D. Sistem Motorik
55555 5555

55555 5555
E. Gerakan Involunter
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Atetose : (-)
Mioklonik : (-)
Tics : (-)
F. Trofik : Eutrofi
G. Tonus : Normotonus
H. Sistem Sensorik
Proprioseptif : normal/normal
Eksteroseptif : normal/normal

I. Fungsi Cerebellar dan Koordinasi


Ataxia : (-)
Tes Rhomberg : Baik
Disdiadokinesia : (-)
Jari-Jari : Baik
Jari-Hidung : Baik
Tumit-Lutut : Baik
Rebound Pheomenon : Baik
Hipotoni : -/-
J. Fungsi Luhur
Astereognosia : (-)
Apraksia : (-)
Afasia : (-)

K. Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi Keringat : Baik

L. Refleks-refleks Fisiologis Kanan Kiri


Bisep : (+2) (+2)
Trisep : (+2) (+2)
Patela : (+2) (+2)
Aciles : (+2) (+2)
Kremaster : Tidak diperiksa
Sfingter Ani : Tidak diperiksa
M. Refleks-refleks Patologis Kanan Kiri
Hoffman Tromner : (-) (-)
Babinsky : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Gonda : (-) (-)
Schaeffer : (-) (-)
Klonus Lutut : (-) (-)
Klonus Tumit : (-) (-)

N. Keadaan Psikis
Intelegensia : baik
Tanda regresi : (-)
Demensi : (-)

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

05 November 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai normal

HEMATOLOGI    

Hemoglobin 11,3 g/dl 11.7 – 15.5

Hematokrit 35 % 32 - 45

Leukosit 14,6 ribu/ul 5.0 - 10,0

Trombosit 665 ribu/ul 150 - 440

Eritrosit 4,44 juta/ul 3.80 – 5.20

VER/HER/KHER/RDW    

VER 79,0 fl 80.0 - 100

HER 25,5 pg 26,0 - 34,0

KHER 32.3 g/dl 32,0 - 36,0

RDW 21,6 % 11,5 - 14,5

FUNGSI HATI

27 U/l 0 – 34
SGOT

13 U/l 0 – 40
SGPT
FUNGSI GINJAL    
Ureum 24 mg/dl 20-40

Kreatinin 1,0 mg/dl 0,6-1,5

DIABETES  

Gula Darah Sewaktu 105 mg/dl 70-140

ANALISA GAS DARAH

pH 7,483 7,370-7,440

PCO2 36,0 mmHg 35,0-45,0

PO2 186,4 mmHg 83,0-108,0

BP 759,0 mmHg

HCO3 26,4 mmol/L 21,0-28,0

O2 99,4 % 95-99

BE 3,2 mmol/L -2,5-2,5

Total CO2 27,5 mmol/L 19-24

ELEKTROLIT DARAH    

Natrium 139 mmol/l 135-147

Kalium 3,13 mmol/l 3,1-5,1

Klorida 103 mmol/l 95-108

06 November 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai normal

HEMATOLOGI    

LED 55,0 mm 0,0-20,0

FUNGSI HATI    

Albumin 3,60 g/dL 3,40-4,80

FUNGSI GINJAL

Asam urat darah 5,4 mg/dL <7,0

LEMAK

Trigliserida 66 mg/dl <150

Kolesterol total 144 mg/dl <200

Kolesterol HDL 43 mg/dl 34-87

Kolesterol LDL Direk 97 mg/dl <130


DIABETES

Glukosa Darah Puasa 111 mg/dl 80-100

Glukosa Darah 2 Jam PP 106 80-145

VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS


Radiografi Toraks Proyeksi PA (24 Agustus 2018)

Trakea di tengah
Mediastirum superior tidak
melebar.
Cor : bentuk dan ukuran baik.
CTR<50%.
Aorta baik.
Pulmo: Kedua hillus tidak
menebal
Corakan bronkovaskular
kedua paru baik.
Tidak tampak infiltrat
maupuri nodu!
Kedua sinus kostofrenikus dan
hemidiafragma baik.
Tulang-tulang kesan intak.
Kesan:
Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo saat ini.
CT Scan Kepala dengan kontras (05 November 2018)

Tampak lesi ovoid iso-hiperdens berukuran 1,8 x 1,2 x 1,7 cm (APxCCxLL) di korteks
subkorteks lobus frontoparietal kanan dengan penyengatan pasca kontras, disertai edema
perifocal finger-like yang menyempitkan ventrikel lateralis kanan dan menyebabkan
pergeseran garis midline ke kiri sejauh 0,6cm.
Fisura Sylvii dan sulci hemisfer kanan kesan menyempit dengan gyrus mendatar, sulkcus dan
gyrus kiri baik.
Ventrikel latertalis kiri, ventrikel 3, ventrikel IV tidak melebar/menyempit
Serebellum dan pons baik. Serebello pontin angle tak tampak kelainan
Sinus paranasal yang tervisualisasi bersih
Mastoid air cell bersih
Tulang-tulang kepala intak.
Kesan
- Nodus di lobus frontoparietal kanan dengan perifocal edema finger-like, sugestif
nodul metastasis, yang mengakibatkan herniasi subfalcine ke kiri sejauh 0,6cm.
- Edema hemisfer serebri kanan.

VII. DIAGNOSIS KERJA

• Diagnosis klinis : Cefalgia sekunder, kejang

• Diagnosis etiologis : Massa desak ruang (SOL)

• Diagnosis topis : Lobus frontoparietal kanan

• Diagnosis patologis : Tumor metastasis

• Diagnosis Kerja : - SOL ec Tumor metastasis

- Epilepsi sekunder
- Tumor Ginjal
VII. Anjuran Pemeriksaan
- MRI
- Biopsi dan patologi anatomi
VIII. PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
- Tirah baring elevasi kepala 30ᵒ
- Jangan mengedan / batuk keras
- Pantau hemodinamik
- Konsul Bedah saraf

2. Medikamentosa
- IVFD NaCl 500cc/ 12 jam
- Dexamethasone 1x10 mg IV (tapering off)
- Citicholin 2x500 mg IV
- Omeprazol 2x40 mg IV
- Ketorolac 3x1 amp IV
- Diazepam 1Amp bila kejang

IX. PROGNOSA

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Saraf Pusat

Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon,
pons, dan medula oblongata. Bila kalvaria dan duramater disingkirkan, dibawah lapisan
arachnoid mater kranialis dan piamater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks
serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi lebih kecil yang
disebut lobus.

Gambar 2.1. Bagian-bagian otak


Seperti yang terlihat pada gambar diatas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Serebrum (otak besar)

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer. Hemisfer kanan
berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk
mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus.
Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus
oksipital dan lobus temporal.
a. Lobus pariteal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal
bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik
dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini
berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan
dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik.
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum.
Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini
terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata, area broca
sebagai pusat bicara, dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas
intelektual.
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis
yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal
berperan penting dalam kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa
dalam bentuk suara.
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini
berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.

Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi beberapa area yang
mempunyai fungsi masing-masing, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.2 Area Otak


2. Serebelum (Otak Kecil)

Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum terletak di
bagian bawah belakang kepala, berada dibelakang batang otak dan di bawah lobus oksipital,
dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas
gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya : mengatur sikap
atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain itu,
serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang
dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci
pintu dan sebagainya.

3. Batang Otak

Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan
memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah,
denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada
batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otot wajah baik satu
maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun.
Batang otak terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga midbrain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III dan IV
diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran.
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada di antara midbrain dan medulla
oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf kranial (CN) V diasosiasikan
dengan pons.
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan
berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial
posterior. CN IX, X, dan XII diasosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII
berada pada perhubungan dari pons dan medulla.
Tumor Otak

Tumor intrakranial adalah suatu massa abnormal yang ada di dalam tengkorak yang
disebabkan oleh multiplikasi sel-sel yang berlebihan dan menyebabkan adanya proses desak
ruang. Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna), membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intracranial) atau di sumsum
tulang belakang (medulla spinalis).

Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya dapat berupa tumor primer maupun
metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri, disebut tumor otak primer
dan bila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti ; kanker paru, payudara, prostate, ginjal
dan lain-lain, disebut tumor otak sekunder. Tumor otak metastasis merupakan neoplasma yang
berasal pada jaringan diluar sistem saraf pusat dan menyebar secara sekunder ke otak.
Penyebaran sel tumor terjadi melalui sistem vaskular atau limfatik.

Epidemiologi

Tumor Intrakranial menduduki peringkat ke-6 sebagai tumor terbanyak pada orang
dewasa, dan merupakan tumor solid terbanyak yang diderita oleh anak-anak. Metastasis otak
dijumpai pada 20-40% pasien kanker dan memiliki perbandingan 10:1 dengan tumor otak
primer. Diperkirakan 98.000 hingga 170.000 pasien didiagnosis dengan tumor otak metastasis
setiap tahunnya di Amerika Serikat. Jenis kanker yang paling sering bermetastasis ke otak adalah
kanker paru, yaitu 30-60% dari seluruh metastasis otak

Insidensi terbanyak dari tumor intrakranial primer pada pasien di bawah usia 20 tahun
adalah medulloblastoma, astrocytoma pilocytic, ependymoma, dan astrocytoma (WHO grade II);
dari usia 20 sampai usia 45 tahun, astrocytoma (WHO grade II), oligodendroglioma, neuroma
akustik (schwannoma), dan ependymoma; di atas usia 45, glioblastoma, meningioma, neuroma
akustik, dan oligodendroglioma. Sedangkan untuk insiden terendah dimiliki oleh tumor hipofisis
(termasuk metastasis hipofisis), craniopharyngioma, limfoma intrakranial dan sarkoma
intrakranial.

Etiologi

Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun telah
banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu :
 Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota sekeluarga.
Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai manifestasi
pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma
tersebut tidak ada bukti-buakti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang
kuat pada neoplasma.
 Sisa-sisa sel embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang mempunyai
morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya sebagian dari bangunan
embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya.
Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan
kordoma.
 Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan
degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma. Pernah
dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
 Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan
dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi
hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor
pada sistem saraf pusat.
 Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah diakui
bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini
berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.

Klasifikasi
1. Klasifikasi tumor berdasarkan asal sel
a. Neuroepitelial (Glioma)
 Astrositoma
o Astrositoma pilositik, grade I
o Astrositoma difusa, grade II
o Astrositoma anaplastik, grade III
o Glioblastoma, grade IV
 Oligodendroglioma
 Ependimoma
 Choroid plexus papilloma atau karsinoma
 Tumor neuronal dan neuronal-glial
 Tumor parenkim pineal
 Tumor embrional
b. Tumor intrakranial lainnya
 Meningioma : tumor meningen
 Tumor vaskular : hemangioblastoma
 Primary CNS limfoma
 Tumor germ cell : germinoma, teratoma
 Tumor pituitari
 Tumor syaraf perifer : neurilemmoma, schwannoma, neurofibroma
 Developmental tumor : DNET, kraniofaringioma, kista koloid, kista epidermoid
dan dermoid
 Tumor metastatik : tumor payudara dan tumor bronkus merupakan tumor
terbanyak yang bermetastasis di otak.

2. Klasifikasi berdasarkan keganasan


a. Tumor jinak
 Astrositoma : Astrositoma pilositik (WHO grade I), Low-grade astrositoma
(WHO grade II), Oligodendroglioma (WHO grade II), Pleomorfik
xanthoastrositoma (WHO grade II).
 Meningioma (WHO grade I)
 Papilloma plexus koroidalis (WHO grade I)
 Hemangioblastoma (WHO grade I)
 Ependimoma (WHO grade I-II)
b. Tumor ganas
 Astrositoma anaplastik (WHO grade III) dan Glioblastoma (WHO grade IV)
 Limfoma serebral primer (WHO grade IV)
 Oligodendroglioma anaplastik (WHO grade III)
 Ependimoma anaplastik (WHO grade III)
 Tumor neuroektodermal primitif (PNET) (WHO grade IV)
 Sarkoma serebral primer (WHO grade IV)
3. Klasifikasi tumor berdasarkan lokasi.
a. Regio supratentorial
 Kista koloid di ventrikel ketiga
 Kraniofaringioma (WHO grade I)
 Adenoma pituitari (WHO grade I)
 Tumor pineal : germinoma (WHO grade III), pineositoma (WHO grade I),
dan pineoblastoma (WHO grade IV)
b. Regio infratentorial
 Neuroma akustik (WHO grade I)
 Kordoma
 Paraganglioma : pheochromositoma, simpatetik paraganglioma
(kemodetektoma)

Tumor primer otak diklasifikasikan berdasarkan gambaran histologinya, dan asal


selnya. Tumor primer otak diklasifikasikan menjadi dua, yaitu glioma dan non glioma. Kasus
glioma berjumlah > 80% kasus dari tumor primer otak dan termasuk asrositoma,
oligodendroglioma, ependimoma, dan campuran tumor oligodendroglial dan astrositik. Non
glioma terdiri dari tumor jinak seperti meningioma, dan pituitari adenoma seganas
medulloblastoma, limfoma primer sistem saraf pusat, dan tumor sel germinal sistem saraf
pusat. Tumor jinak otak yang paling sering adalah meningioma, muncul sekitar 20% dari
tumor primer otak. Tumor ganas yang sering muncul adalah astrositoma termasuk
glioblastoma multiformis. Separuh dari tumor yang di dalam otak adalah tumor primer, dan
setengahnya berasal dari luar otak. Tumor yang paling sering mengalami metastasis ke otak
adalah karsinoma mammae, kolon dan melanoma maligna.
Sedangkan tipe tumor primer otak yang paling sering muncul pada dewasa adalah :
a. Glioblastoma Multiforme and Anaplastic Astrocytoma
High grade glioma terjadi sekitar 20% dari semua tumor intrakranial dan lebih
dari 80% glioma di hemisfer serebri pada dewasa. Meskipun lokasi tersering berada di
serebrum tetapi bisa juga berada di batang otak, serebelum, maupun medulla spinalis.
Insidens puncak terjadinya glioblastoma pada dewasa yaitu pada usia 56 -60 tahun
sedangkan astrositoma anaplastik pada 46 tahun. Insidensi meningkat pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 1,6 : 1. Glioma kebanyakan
berasal dari white matter sebagai massa heterogen dan cepat menginfiltrasi otak secara
ekstensif, dapat mengenai permukaan meningens ataupun dinding ventrikel yang
menyebabkan terjadinya peningkatan protein >100mg /dL, sel pleositosis 10-100,
paling sering limfosit. Cairan serebrospinal normal meski sel maligna dapat terbawa
melalui CSS namun sangat jarang membentuk focus jauh pada medula spinalis atau
meningeal gliomatosis penyebaran jauh.
Metastasis extraneural sangat jarang terjadi, kecuali bila telah dikraniotomi.
50% glioblastoma terjadi lebih dari satu lobus di satu hemisferi, diantara 3 hingga 6 %
menunjukkan pertumbuhan focus multisentrik.
Gambaran tumor beraneka ragam, kadang
keabu-abuan, oranye, merah ataupun coklat
bergantung dari derajat nekrosis dan disertai
perdarahan baik baru ataupun lama. Pada CT-
scan tampak massa homogen, sering disertai
hipointens pada bagian tengahnya, bentuk tebal
dan irregular, ataupun thin ring of enchancement dikelilingi edema. Bagian ventrikel lateral
sering terdistorsi dan kedua ventrikel lateral dan tiga terdorong. Gambaran histologi dari
glioblastoma adalah sel yang besar dengan pleomorfism dan nukleus atipikal, astrosit
terindentifikasi dengan fibrils dengan kombinasi bentukan sel primitif; sel giant tumor,
dan sel mitosis, hiperplasia sel endotel pembuluh darah kecil, dan nekrosis,
perdarahan, dan trombosis pembuluh darah. Yang membedakan antara glioblastoma
dari anaplastik astrositoma adalah mitosis yang sering dan sitogenik atipikal tetap
tanpa nekrosis yang besar atau area hemorrhagis. Bagian nekrosis dan kadang-kadang
area kistik tampak hipointens.
Usia merupakan faktor prognostik yang penting, kurang dari 10% pasien usia
lebih dari 60 tahun bertahan selama 18 bulan, pada perbandingan 2/3 pasien lebih
muda dibawah usia 40 tahun. Angka keberlangsungan hidup astrositoma anaplastik
bertahan 3 hingga 5 tahun. Edema serebri dan peningkatan intra kranial biasanya
menyebabkan kematian.

b. Low and intermediate grade astrositoma


Lower-grade astrositoma
(Klasifikasi WHO derajat II), dengan
konstitusi antara 25-30% glioma serebral
terjadi pada otak atau medulla spinalis.
Lokasi tersering berada di serebrum,
serebelum, hipotalamus, nervus optikus,
dan kiasma optikum serta pons.
Astrositoma pada hemisfer serebri muncul
pada dekade ketiga ataupun ke empat,
seringnya pada fossa posterior dan nervus
oprikus, dan lebih sering pada anak-anak
dan remaja. Astrositoma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran histologis :
protoplasmic or fibrillary; gemistocytic (enlarged cellsdistended with hyalineand
eosinophilic material); pilocytic (elongated, bipolar cells); dan mixed astrocytoma-
oligodendroglioma types. Bentuk yang paling sering muncul adalah well-
differentiated fibrillary astrocytes. Sel tumor mengandung glial fibrillary acidic
protein (GFAP) marker diagnostik pada spesimen biopsi. Beberapa astrositoma
serebral muncul sebagai campuran dari astrositoma dan glioblastoma. Astrositoma
serebral pertumbuhan tumor sangat lambat dibandingkan tumor infiltrasi lainnya
dengan kecendrungan pada beberapa kasus untuk membentuk cavitas yang besar atau
pseudokista. Tumor lain tidak berkavitas dan tampak keabu-abuan, tegas, relative,
avaskular, dan hampir tidak dapat dibedakan dengan white matte normal. Granula-
granula kalsium dapat terdeposit di dalam tumor, namun untuk tumor pertumbuhan
lambat lebih mencirikan oligodendroglioma. Cairan serebrospinal bersifat aselular,
dengan peningkatan tekanan dan protein. Tumor mungkin menyimpangkan ventrikel
lateral dan ketiga dan mendorong arteri serebri media dan anterior yang dapat terlihat
CT-scan, MRA, dan Angiogram konvensional.
2/3 pasien dengan astrositoma, dengan gejala pertama kejang umum ataupun
fokal, dan diantara 60-70% memiliki kejang berulang. Gejala serebral mengikuti
beberapa bulan kemudian terkadang beberapa tahun kemudian. Sakit kepala dan gejala
peningkatan intra kranial terjadi belakangan.
MRI dapat membedakan frequent fibrillary dari astrositoma pilositik. Tipe
pilositik demarkasi tegas, dengan batas yang halus dan sedikit edema. Pada MRI T1W,
isointens atau hipointens, T2 hiperintens, dan menyangat setelah pemberian
gadolinium. Pembentukan kista dan jumlah kalsium yang sedikit sering khususnya
pada tumor serebellar. Tumor fibrilari memiliki less-stereotyped appearance, massa
hipodens dengan batas kurang tegas dan sedikit atau tidak menyangat. Pada anak,
tumor astrositik biasanya berasal dari serebelum dan gejalanya yang muncul adalah
gait unsteadiness, unilateral ataxia, dan peningkatan intra kranial (sakit kepala dan
muntah).
Eksisi astrositoma serebral angka kelangsungan hidup dalam 5 tahun terjadi
lebih dari 90% kecuali bila lokasinya di serebelum. Glioma low grade berproliferasi
sangat lambat meskipun ganas, hasil survei dari tumor low grade supratentorial
menunjukkan angka kelangsungan hidup dalam 10 tahun setelah dioperasi berkisar 11-
40%.Pemberian radioterapi pada dewasa meningkatkan angka kelangsungan hidup
pasien 5.3 tahun dibandingkan dengan hanya diobservasi saja 3.4 tahun.Peningkatan
kejang atau defisit neurologis yang memburuk harus dilakukan radiasi ataupun
pembedahan. Pembedahan berulang memperpanjang hidup pasien, meskipun ditambah
kombinasi kemotrerapi belum ada data yang signifikan mengenai keberhasilan.

c. Meningioma
Meningioma berasal dari duramater ataupun akrakhnoid. 15% tumor primer
intrakranial berasal dari meningioma. Lebih sering muncul pada wanita dibandingkan
laki-laki dengan perbandingan 2 : 1, dengan usia pucak dekade ke 6 atau 7 kehidupan.
Beberapa dari mereka adalah keturunan. Riwayat terapi radiasi pada scalp atau
kranium menyebabkan orang rentan terkena meningioma dan muncul pada usia dini.
Kemudian terdapat laporan bahwa meningioma juga muncul pada lokasi trauma
seperti garis fraktur, namun belum diketahui hubungannya.
Mutasi gen neurofibromatosis 2 pada kromosom 22q sering menyebabkan
terjadinya meningioma. Selain kromosom 22 q, juga dapat terjadi delesi pada
kromosom lain seperti 1 p, 6q, 9p, 10q, 14q, dan 18q. Penyebab lain yaitu protein
seperti vascular endothelial growth factor pada meningioma sangat angiogenik
sehingga pada meningioma kaya vaskularisasi dan menyebabkan edema. Beberapa
meningioma memiliki reseptor estrogen dan progesteron yang menjelaskan mengapa
meningioma lebih sering pada perempuan, membesar saat hamil, dan berhubungan
dengan kanker payudara. Meningioma berasal dari fibroblas dura, dan sel
meningotelial arakhnoidyang sering berasal dari vili arakhnoid. Karena sel arakhnoid
penetrasi ke dalam dura dalam jumlah yang besar ke sekitar sinus venosus, yang
menjadi lokasi predileksi tumor. Pada makroskopik, tumor berbatas tegas, berwarna
keabu-abuan, dan mengambil celah untuk bertumbuh; ada yang datar dan berbentuk
plak, bulat dan berlobus. Meningioma masuk ke dalam otak dan pia-arakhnoid
menutupi meningioma sebagai kapsul, demarkasi jelas kecuali batas tidak tegas pada
meningioma malignan invasif. Meningioma berasal dari sel arakhnoid dalam pleksus
koroid yang membentuk meningioma intraventrikuler.
Lokasi meningioma tersering berada di regio sylvii dari hemisfer serebri, lobus
frontal dan lobus parietal permukaan parasagital superior, olfactory groove, os
sphenoid wing minor, tuberculum sellae, permukaan superior serebelum,
cerebellopontine angle, dan kanalis spinals. Sangat jarang sekali tumor tumbuhnya
multipel. Karena meningioma memanjang dari permukaan dari dura, meningioma
sering mengenai os kranium atau menyebabkan reaksi osteoblastik, terkadang terjadi
eksostosis permukaan kranium eksternal sehingga terkadang muncul di parasagittal,
sylvii dan permukaan area lain dari serebrum.kejang fokal adalah gejala awal
meningioma yang berlokasi dari serebrum. Sedangkan meningioma yang terletak di
frontoparietal parasagital menyebabkan kelemahan spastik atau mati rasa pada satu sisi
tungkai, dan inkontinensia pada stadium yang terlambat. Meningioma di sylvii yang
luas menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan afasia bergantung lokasi dan
disertai kejang.
Tatalaksana dari meningioma adalah eksisi bedah, rekurensi terjadi jika
pembedahan meningioma tidak sepenuhnya diangkat. Kemoterapi konvensional dan
terapi hormonal kemungkinan tidak efektif. Terapi hidroksiurea dapat menyusutkan
meningioma yang tidak direseksi dan rekurens meningioma.
Pada Ct-scan didapatkan gambaran isointens atau hiperdens jika dibandingkan
dengan jaringan otak. Terkadang halus, terkadang berlobul-lobul, dan mungkin
terdapat kalsifikasi. Sangat menyengat dan homogens, namun bila terdapat kalsifikasi
penyengatan tidak terlihat. Berbatas jelas, dan berdasarkan dural. Hiperostosis terlihat
pada 25% pasien. Pada MRI, tumor dapat isointens (65%) atau hipointens (35%) bila
dibandingkan pada jaringan otak di T1 ataupun T2W.
Pada angiografi didapatkan massa hipervaskular,
dan fase vena mungkin dapat menilai aliran pada sinus
contohnya terdapat trombosis ataupun kompresi
karena tumor, vena jugular interna, dan vena Labbe.
Angiografi dilakukan hanya jika embolisasi pre-
operasi direncakan untuk menurunkan risiko
perdarahan intra-operasi. MRA dan venografi telah
menggantikan posisi angiografi.

Gambar CT-scan Meningioma

d. Oligodendroglioma
Oligodendroglioma berasal dari sel oligodendrosit. Oligodendroglioma sering
terjadi pada dekade ketiga ataupun ke empat, dengan puncak awal pada usia 6 hingga
12 tahun. Lebih sering muncul pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan
perbandingan 2 : 1. Berdasarkan makroskopik, oligodendroglioma berwarna pink
keabu-abuan dan multilobular, avaskular serta tidak mudah rapuh, memiliki kapsul
dan terbentuk calcium serta kista kecil. Sedangkan secara mikroskopik memiliki
nukleus bulat kecil dan sitoplasma halo membentuk gambaran telur goreng. Prosesus
sel sedikit dan pendek hanya terlihat dengan pewarnaan silver carbonate. Beberapa
oligodendrosit memiliki imunoreaktivitas dengan GFAP, hampir mirip dengan myelin-
forming oligodendrocytes normal. Kalsifikasi mikroskopis diobservasi secara sering di
dalam tumor dan jaringan otak.
Lokasi dari oligodendroglioma lebih sering berasal dari lobus temporalis dan
frontalis sekitar 40-70%, sering di dalam ganglia basal (white matter) dengan satu
ataupun beberapa lapis kalsium yang berukuran sedikit ataupun tanpa disertai dengan
edema. Oligodendroglioma bermetastasis ke ventrikel dan rongga subarakhnoid
melalui dinding ependim ataupun piamater. Oligodendroglioma tumbuh sangat
lambat, dan pasien yang memiliki oligodendroglioma memiliki keluhan kejang umum
ataupun fokal yang persisten selama beberapa tahun. 15% persen masuk ke RS dengan
tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial, dan sangat sedikit dengan keluhan
hemiparese (tanda focal cerebral). Kemudian terjadi rigiditas unilateral
ekstrapiramidal, ataksia serebelar, sindrom Parimaid, dan perdarahan intratumor, dan
oligodendrogliosis meningeal (saraf kranio-spinal palsi, hidrosefalus, limfosit, dan sel
tumor di cairan serebrospinal) tetapi sangat sedikit.
Pada pencitraan didapatkan hasil berupa massa hipodens dekat permukaan
korteks dengan batas tegas. Kalsium juga terlihat di CT-scan yang dapat membantu
penegakkan diagnosis oligodendroglioma namun pada
konteks kejang, penemuan ini dapat meningkatkan
kemungkinan adanya malformasi arterivena ataupun
astrositoma derajat rendah. Pada umumnya
oligodendroglioma tidak mengalami peningkatan
kontras.
Penatalaksaan oligodendroglioma adalah bedah
eksisi disertai dengan terapi radiasi. Pada well-
differentiated oligodendroglioma tidak seharusnya
diberikan radiasi jika kejang terkontrol dan
tidak ada defisit neurologis. Gambar 3.6 CT-scan Oligodendroglioma

e. Ependimoma
Ependimoma merupakan tumor yang berasal dari sel ependim yang menjadi
lapisan dari ventrikel otak dan kanalis sentralis medula spinalis. Letak tersering
ependimoma ada di ventrikel empat, meskipun dapat terjadi di ventrikel tiga juga.
Ependimoma memiliki dua tipe yaitu ependimoma dan ependimoma anaplastik.
Terdapat ependimoma tipe miksopapillomatosa yang terletak secara khusus di filum
terminal medulla spinalis yang memberikan gambaran kornu medullaris dan kauda
equina berupa skiatika atau nyeri femoral, gangguan berkemih, saddle anesthesia, dan
kelemahan tungkai bawah spastik.
Pada makroskopis, ventrikel empat tampak pink keabu-abuan, keras,
pertumbuhannya seperti kembang kol. Pada serebrum, tumor yang berasal dari dinding
ventrikel lateral, kemungkinan membesar (diameter beberapa sentimeter), abu-abu
kemerahan, lembut, dan demarkasi terlihat jelas dari jaringan sekitarnya dibandingkan
astrositoma, tetapi tidak memilik kapsul. Sel tumor cenderung membentuk bentukan
bunga mawar pada lumen sentral atau pseudorosette (susuanan sirkular di sekitar
pembuluh darah). Beberapa ependimoma, yang disebut epitelial bersel tebal; dan
lainnya membentuk papillae. Beberapa dari tumor ventrikel empat berdiferensiasi baik
karena kemungkinan berasal dari astrosit subependimal.
Ependimoma anaplastik diindentifikasi dari aktivitas mitosis yang tinggi dan
proliferasi endotel, atipikal nuklear, dan necrosis. Gejala yang muncul pada
ependimoma bergantung pada lokasi dari neoplasma tersebut. Manifestasi klinis
berupa peningkatan tekanan intra kranial yang berupa letargia, mual dan muntah serta
papil edema pada anak, serta hidrosefalus. Pada CT-scan ditemukan massa hiperdens
dengan dermakasi heterogen baik dengan penyengatan kontras fairly uniform.
Kalsifikasi dan beberapa derajat perubahan kista sering muncul pada tumor
supratentorial, tetapi jarang di infratentorial. Pada MRI, T1 hipointens dan T2
hiperintens. Lokasi intraventrikular mendukung diagnosis ependimoma, tetapi
meningioma dan tumor lainnya juga ditemukan pada lokasi ini. Interval antara gejala
pertama dan diagnosis berkisar dari empat minggu hingga 7 sampai 8 tahun.
Pada penelitian di Norwegia, dimana ependimoma terjadi 1.2 % dari semua
tumor primer intrakranial dan sebesar 32% pada tumor intraspinal, memberikan
gambaran angka keberlangsungan post operasi yang buruk. Dalam setahun, 47%
pasien meninggal, walaupun 13% masih dapat bertahan selama 10 tahun. Prognosis
ependimoma bergantung pada derajat anaplasia (Mork dan Loken), lokasi tumor, dan
apakah dapat dioperasi atau tidak. Pembedahan dilakukan dengan pemberian terapi
radiasi pada ependimoma yang diperkirakan memiliki kecepatan pertumbuhan yang
tinggi yang menyebar ke ventrikel atau aksis spinal. Pada ependimoma anaplastik,
dilakukan kombinasi terapi radiasi dengan antineoplastik.

PATOFISIOLOGI
Metastasis merupakan proses dinamis yang melibatkan berbagai proses. Mekanisme
spesifik dan urutan kejadian yang menyebabkan metastasis otak belum sepenuhnya dimengerti.
Baik sel kanker yang bermetastasis ke otak maupun lingkungan pada otak itu sendiri memainkan
peranan yang penting. Agar sel metastatik dapat meninggalkan tumor primer, sel-sel ini harus
memiliki kemampuan untuk melepaskan diri, bersirkulasi dan menginvasi. Penyebaran sel tumor
terjadi melalui sistem vaskular atau limfatik. Sebagian besar sel tumor menyebar melalui
pembuluh darah atau limfatik (hipotesis hemodinamik) dan tertahan secara mekanik pada kapiler
atau nodus limfarik yang pertama kali dijumpai. Sel-sel ini kemudian menjadi lokasi
perkembangan tumor. Walaupun begitu, mekanisme ini tidak berlaku untuk seluruh fenomena
metastasis. Walaupun otot, ginjal dan kulit merupakan struktur dengan vaskularisasi yang
banyak, organ ini jarang menjadi tempat metastasis. Pada tahun 1889, Stephen Paget
menganalisa hasil autopsi dari 735 kasus kanker payudara dan menemukan bahwa walaupun
aliran darah ke ginjal dan limpa lebih banyak, namun organ hepar merupakan tempat metastasis
yang lebih sering. Ia menunjukkan bahwa tampaknya ada karakteristik organ host itu sendiri
yang mempengaruhi dimana sel-sel tumor ini akan berkembang. Ini menghasilkan hipotesis
“seed and soil”. Ia menyatakan bahwa sel-sel tumor (seed) hanya dapat berkembang jika berada
pada organ yang tepat (soil).
Banyak bukti yang mendukung hipotesis seed and soil atau molecular recognition. Sel-
sel tumor mencapai organ melalui jalur vaskular dan limfatik. Setelah mencapai organ tertentu,
sukses tidaknya sel-sel ini berkembang menjadi tumor bergantung pada kesesuaian ‘soil’. Satu
studi otopsi memprediksi bahwa hipotesis hemodinamik berperan pada 66% metastase, sedagkan
20% mungkin disebabkan hipotesis molecular recognition. Metastasis lokal tampaknya
disebabkan oleh proses hemodinamik, sedangkan penyebaran yang lebih jauh tampaknya
disebabkan oleh molecular recognition antara sel-sel tumor dan host organ.

Kaskade Metastatik
Kaskade metastatik adalah rangkaian proses yang terjadi pada proses penyebaran kanker.
Tidak semua mekanisme dan faktor yang berperan telah teridentifikasi, namun sejumlah growth
factors, sitokin, mediator imunologis dan jalur molekular tampaknya memainkan peran. Urutan
kejadiannya meliputi: detachment, intravasation, transpor embolisasi, ekstravasasi, kolonisasi
dan angiogenesis.
 Detachment
Setelah sel normal mengalami perubahan genetik yang mengubahnya menjadi sel tumor,
agar dapat bermetastasis sel tersebut pertama kali harus melepaskan diri sendiri dari massa
tumor. Seperti pada sel normal, perlekatan antar sel sebagian besar dimediasi oleh cadherins.
Cadherins merupakan bagian dari kelompok protein permukaan sel yang disebut cellular
adhesion molecules (CAMS). CAMS adalah protein permukaan sel yang memungkinkan
perlekatan sel satu sama lain, atau ke extracelluler matrix (ECM). Dari berbagai jenis cadherins,
epitel cadherin (E-chaderin) adalah protein penting yang terlibat dalam interaksi antar sel; pada
dasarnya molekul ini merupakan ‘lem’ yang merekatkan sel-sel ini bersama-sama. Sel-sel tumor
menonaktifkan E-chaderin, fase penting pada detachment. Selain hilangnya E-chaderin, sel-sel
tumor mengaktifkan N-cadherin, yang meningkatkan motilitas dan invasi dengan memungkinkan
sel tumor untuk melekat dan menginvasi stroma di bawahnya. Kehilangan adhesi adalah langkah
penting pada epithelial-mesenchymal transition (EMT). Down-regulation E-chaderin dan up-
regulation N-chaderin merupakan dua peristiwa kunci yang terjadi selama EMT. Dengan
demikian, sel dengan penurunan ekspresi E-chaderin memiliki potensi metastasis yang lebih
tinggi. Beberapa bukti terakhir menunjukkan bahwa up-regulation dari N-cadherin dengan
sendirinya dapat menyebabkan detachment dan motilitas.

 Intravasasi
Setelah memisahkan diri dari tumor primer, sel-sel tumor yang bermetastasis akan
bergerak menuju pembuluh darah kemudian menembus membran endotel dan ECM. ECM
berfungsi tidak hanya sebagai penopang untuk sel atasnya, namun juga terlibat dalam signaling,
proliferasi dan mengkoordinasi migrasi. Sel-sel ini memulai proses dengan melepaskan beberapa
faktor untuk menghancurkan membran basal. Matrix metalloproteins (MMPs) adalah salah satu
enzim proteolitik kunci yang terlibat dan dirancang untuk menghancurkan sejumlah protein
seperti kolagen, laminin dan fibronektin. Dalam sel non-neoplastik yang secara aktif bermitosis,
ini memungkinkan remodelling dari ECM untuk mengakomodasi sel progeni. MMPs telah
diklasifikasikan sesuai dengan kemampuan mereka untuk mendegradasi protein tertentu.
MMP-2 dan MMP-9 dianggap yang paling menonjol dalam perkembangan metastasis.
Enzim-enzim ini diklasifikasikan sebagai gelatinases karena kemampuan khusus mereka untuk
menghancurkan denaturated kolagen. Peningkatan ekspresi MMP-9 telah ditemukan pada
metastasis otak dan tumor otak primer. MMPs menunjukkan keragaman fungsi dan dapat bekerja
pada banyak tepat di sepanjang kaskade metastatik termasuk proliferasi , migrasi, diferensiasi,
angiogenesis, dan apoptosis sel. Misalnya, MMPs adalah salah satu kekuatan pendorong EMT
dan mereka juga dapat bertindak untuk menghancurkan E-chaderin. Urokinase plasminogen
activator (UPA) merupakan protease aktif lainnya. Jika terikat ke molekul permukaan sel,
urokinase aktivator plasminogen reseptor (uPAR), UPA yang aktif mengkonversi zymogens
lainnya menjadi protease aktif. Yang paling penting dari ini adalah plasminogen, yang dipecah
menjadi plasmin. Plasmin kemudian dapat mengaktifkan MMPs lainnya, terutama jenis 1,2,3,9
dan 14, atau bisa langsung mencerna fibrin. Seperti MMP-2, kadar uPAR yang tinggi dapat
menunjukkan perjalanan yang lebih agresif dan prognosis yang buruk. Selain meningkatkan
degradasi membran basal, kedua protease juga dianggap dapat mengaktifkan faktor pertumbuhan
dan kemokin yang pada akhirnya mendorong tumorigenesis. Studi dari Rojiani et al (2010) pada
28 kasus tumor otak metastasis menemukan bahwa 57.14% tumor metastatik menunjukkan
immunoreaktivitas untuk MMP-2, sedangkan 42.86% negatif.

 Transpor dan Embolisasi


Sel-sel kanker, seperti semua sel-sel lain, bergantung pada kontak dengan elemen stroma
agar dapat bertahan hidup. Biasanya, begitu sel-sel berada dalam pembuluh darah dan tidak lagi
terikat ke matriks yang mendasarinya, sel-sel ini mengalami apoptosis, yang disebut anoikis,
bahasa Yunani untuk "tunawisma". Sel-sel metastatik bersifat resisten terhadap anoikis. Over-
ekspresidari integrin-linked kinase (ILK), suatu protein yang terlibat dalam down-regulation dari
E-chaderin, diperkirakan berkontribusi terhadap resistensi terhadap anoikis. Baru-baru ini
sebuah molekul anti-apoptosis baru telah diidentifikasi. TrkB adalah reseptor untuk beberapa
protein faktor pertumbuhan yang menginduksi kelangsungan hidup dan diferensiasi sel populasi.
Sel-sel tumor yang terlepas juga harus menahan serangan dari sel natural killer, makrofag dan
elemen lain dari sistem kekebalan tubuh serta bertahan dari kerusakan mekanik dari velocity-
related shear forces. Untuk mengatasi ini, sel-sel tumor sering merekatkan dirinya dengan
trombosit dan leukosit yang bertindak sebagai pendamping. Selectins, subset lain dari CAMS
milik leukosit (L-selectin), platelet (P-selectin) dan sel endotel (E-selectin), memungkinkan sel
tumor untuk melekat pada trombosit dan leukosit, sehingga memudahkan transportasi mereka.
Sebagian besar metastase mencapai otak melalui pembuluh darah, yaitu menyebar hematogen.
Setelah berjalan melalui sirkulasi vena dan melewati jantung, sel tumor akan menetap di kapiler
bed pertama kali dijumpai, yaitu paru-paru. Dari sini mereka mengikuti sirkulasi ke jantung kiri
dan kemudian ke organ lain. Sekitar 20% dari cardiac output adalah ke otak, karena itu tidak
mengejutkan bahwa tumor paru-paru baik primer atau sekunder sering kali merupakan sumber
metastasis otak. Penyebaran melalui CSS dapat dijumpai pada beberapa kasus penyebaran
leptomeningeal, dan metastasis dural atau parenkim dapat terjadi melalui ekstensi langsung dari
tumor basis kranii.
Metastase otak yang paling ditemukan di perbatasan grey-white matter, dimana
pembuluh darah menyempit hingga ke titik kritis untuk menjebak emboli tumor. Selain itu,
distribusi aliran darah serebral sebagian besar adalah ke hemisfer otak (80%), kemudian ke
serebelum dan batang otak. Dengan demikian, 85% dari metastase otak ditemukan dalam
cerebrum, 10-15% di serebelum dan 3% di batang otak. Temuan ini mendukung penyebaran
hemodinamik sebagai mekanisme primer yang terlibat. Namun, untuk alasan yang tidak
diketahui, tumor gastrointestinal dan pelvis memiliki kecenderungan yang tidak biasa untuk
bermetastasis kefosa posterior; sekitar 50% dari metastase tunggal dari tumor ini dijumpai pada
serebelum. Hal ini tampaknya disebabkan oleh karena afinitas molekul antara sel-seltumor dan
lingkungan. Jadi, di otak pola metastasis dapat dijelaskan dengan hipotesis hemodinamik dan
molecular recognition.

 Adhesi
Mikroemboli tumor yang bersirkulasi akhirnya berhenti di suatu vascular bed, proses
tertahannya ini berhubungan dengan untuk ukuran tumor, tetapi juga dengan pengikatan sel
tumor ke molekul permukaan pada endotel yang disebut addressins endotel. Molekul-molekul ini
unik untuk kapiler organ tertentu. Protein ini bertindak sebagai berth untuk sel-sel tumor yeng
bersirkulasi yang mengekspresikan protein pelengkap, seperti integrin. Integrin, subset lain dari
CAMS, adalah protein integral tertanam dalam membran plasma sel. Peran utamanya terkait
dengan perlekatan sitoskeleton selular ke ECM serta transduksi sinyal dari ECM ke sel.
Beberapa bukti menunjukkan mereka terlibat dalam adhesi sel tumor ke trombosit selama
embolisasi, serta induksi protease seperti MMPs selama intravasasi. CD44 adalah protein
membran integral yang memediasi adhesi sel tumor ke endotel di lokasi sekunder. Ekspresinya
meningkat pada hampir 50% dari metastase otak, terutama pada payudara, tiroid dan melanoma.
E-selektin yang diekspresikan pada sel endotel juga dapat membantu dalam adhesi sel tumor.
 Ekstravasasi
Proses ini seperti halnya intravasasi membutuhkan degradasi ECM. Dengan demikian
beberapa faktor yang sama yang terlibat dalam intravasasi, termasuk MMPs dan UPA, juga
terlibat di sini. Salah satu langkah yang lebih penting dalam ekstravasasi melibatkan degradasi
proteoglikan heparan sulfat (HSPG) dalam membran basal dan ECM oleh endoglycosidase
heparinase yang mencerna rantai HSPG. Normalnya diekspresikan oleh trombosit dan leukosit,
heparinase juga dapat dihasilkan oleh sel termasuk astrosit dan kanker tertentu seperti prostat.
Kompleks UPA-uPAR juga aktif dalam restrukturisasi basement membran dan mengaktifkan
protease lainnya. Sel tumor dapat memperoleh akses ke jaringan sekitarnya dengan gaya geser
(shear force). Sebuah fokus tumor yang kecil, sekali tertahan di pembuluh darah, dapat mulai
berproliferasi dan tumbuh menjadi massa yang memungkinkannya mendorong melalui lapisan
sel endotel pembuluh darah untuk berkontak dengan membran basal.

 Kolonisasi
Setelah berhasil menyerang jaringan parenkim, sel-sel kanker sekarang dapat tumbuh
untuk membentuk massa. Ini adalah titik krusial yang menentukan nasib sel ini. Jika mereka
tidak mampu tumbuh mereka akan tetap berada dalam keadaan dorman sebagai suatu
micrometastasis. Micrometastasis didefinisikan sebagai fokus tumor kurang dari atau sama
dengan 2 mm dalam dimensi terbesar. Dapat dijumpai jumlah yang tak terhitung dari sel ini yang
tersebar di seluruh tubuh tetap dorman sampai mereka mencapai kemampuan untuk
berproliferasi. Beberapa bukti menunjukkan bahwa langkah awal dari metastasis relatif mudah
dan langkah terakhir dari kolonisasi ini yang tidak mudah oleh karena itu, hal ini dianggap
sebagai rate-limiting step dari kaskade ini. Satu penelitian menunjukkan bahwa 80% dari sel
melanoma disuntikkan ke tikus bertahan sampai titik diman amereka mencapai ekstravasasi.
Namun begitu kurang dari 3% mikrometastases, dan hanya 1% yang terus membentuk metastase
klinis jelas yang jelas.

 Angiogenesis
Semua jaringan baik neoplastik atau tidak tergantung pada suplai darah yang cukup.
Suatu tumor tidak dapat tumbuh melebihi 1 sampai 2 mm 3 jika tidak memperoleh suplai darah
sendiri, biasanya melalui angiogenesis. Sejumlah factor yang menyebabkan pembentukan
pembuluh darah baru termasuk vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast
growth factor (bFGF), plateletderived growth factor (PDGF), dan epidermal growth factor
(EGF). VEGF tampaknya adalah yang paling signifikan. VEGF juga disebut vascular
permeabilitas factor (VPF), memainkan peran penting dalam edema otak yang berhubungan
tumor. VEGF berikatan dengan reseptor pada selendotel dan menginduksi neovaskularisasi,
meningkatkan permeabilitas dan mengaktifkan UPA. Hal ini juga tampaknya merupakan
penanda untuk pertumbuhan dan perkembangan tumor dan dapat berfungsi sebagai suatu
penanda prognostik. Angiogenesis adalah proses dengan berbagai langkah. Pertama, sel-sel
endotel berproliferasi dan menembus ECM host. Mereka kemudian berkumpul menjadi
pembuluh darah yang sangat ireguler dibandingkan dengan jaringan normal. Migrasi dan
transformasisel endoteldapat dimediasi oleh bFGF, yang juga dapatmerangsang produksi
protease. Pembuluh darah yang baru ini memiliki bentuk yang tidak normal, ukuran bervariasi,
dan memiliki orientasi yang tidak teratur. Mereka tidak memiliki barrier endotel yang tipikal.
Sel-sel endotel ini tidak kohesif, dan memiliki tight junction yang jarang. Faktor-faktor ini
menyebabkan pembuluh darah baru menjadi lebih permeabel. Keuntungan dari neovaskularisasi
dua kali lipat karena tidak hanya memungkinkan sel tumor untuk berkembang, tetapi pembuluh
darah ini lebih permeabel memungkinkan sel untuk memasuki sirkulasi dengan mudah dan
menyebabkan metastasis. Hypoxic ischemic factor (HIF) merupakan mediator penting lain pada
angiogenesis. HIF-1 terkait erat dengan oksigenasi jaringan. Dalam kondisi sel hipoksia, seperti
yang terlihat pada sel tumor yang terlalu aktif metabolismenya, HIF-1 meningkat. Hal ini
kemudian memicu up-regulation factor lain yang penting untuk meningkatkan oksigenasi
termasuk VEGF dan eritropoietin. Pertumbuhan mikrometastasis yang dorman tampaknya
ditekan oleh factor anti-angiogenesis yang dilepaskan dari kanker primer. Saat tumor primer
dibuang, mediator anti-angiogenesis mediator dihilangkan dan menyebabkan pertumbuhan
metastasis jauh. Sel-sel stroma di sekitarnya juga dapat berfungsi sebagai faktor pro-
angiogenesis. Ini termasuk selendotel yang dapat mengeluarkan angiopoietin, yang merangsang
diferensiasi sel, serta makrofag host yang mengekspresikan beberapa faktor pertumbuhan seperti
VEGF, TGF-α, dan interleukin-8.
Gejala Klinis

Neoplasma sistem saraf pusat umumnya menyebabkan disfungsi neurologis yang


progresif. Pada neoplasma benigna dengan pertumbuhannya lambat, gejala klinis muncul
perlahan-lahan, apalagi bila lokasi neoplasma di daerah otak yang tidak terlalu vital atau tidak
memberikan gangguan organ yang nyata, misalnya pada lobus frontalis. Sehingga kebanyakan
ditemukan sudah dalam ukuran yang cukup besar. Neoplasma intrakranial yang terletak di
daerah otak vital atau dekat dengan struktur yang penting, maka akan memberikan gejala klinis
yang cepat meskipun ukurannya masih kecil. Gejala klinis yang bersifat akut progresif umumnya
disebabkan adanya komplikasi perdarahan intraserebral atau sumbatan aliran CSS.
Gambaran klinis neoplasma intrakranial secara umum dibagi dalam tiga kelompok yaitu
gambaran klinis umum, terlokalisir, dan terlokalisir palsu.
a. Gambaran klinis umum
Gejala dan tanda umum biasanya disebabkan oleh meningkatnya TIK, infiltrasi difus
dari massa neoplasma, edem serebri, atau hidrosefalus. Gambaran klinis umum yang lebih sering
terlihat adalah nyeri kepala, muntah, kejang, perubahan status mental. Tanda klinisnya berupa
edem pada papil nervus optikus (N.II).
 Nyeri kepala
Nyeri kepala merupakan gejala umum yang dirasakan pada neoplasma intrakranial.
Nyerinya paling hebat terjadi di pagi hari, karena selama tidur malam, tekanan
karbondioksida (PCO2) arteri serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan
cerebral blood flow (CBF) dan dengan demikian akan meningkatkan TIK.
 Muntah
Muntah terdapat pada 30% kasus, sering dijumpai pada neoplasma intrakranial di
fossa posterior. Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur disebabkan oleh
tekanan intrakranial yang meninggi selama tidur malam, di mana tekanan karbondioksida
(PCO2) serebral meningkat. Sifat muntah pada penderita dengan TIK meningkat adalah
proyektil tanpa didahului oleh mual.

 Kejang fokal
Kejang fokal timbul sebagai manifestasi dari TIK yang melonjak secara cepat. Perlu
dicurigai penyebab bangkitan kejang adalah tumor intrakranial bila :
a. Bangkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun
b. Mengalami post iktal paralisis
c. Mengalami status epileptikus
d. Persisten terhadap obat-obat epilepsi
e. Bangkitan disertai dengan gejala peningkatan TIK yang lain.
 Perubahan status mental
Tumor intrakranial dapat mengakibatkan gangguan mental berupa mudah tersinggung,
emosi labil, pelupa, perlambatan aktivitas mental dan sosial, kehilangan inisiatif dan
spontanitas, anxietas, da ndepresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat dijumpai pada
2/3 kasus. Gangguan emosi juga akan terjadi terutama jika neoplasma intrakranial
tersebut mendesak sistem limbik (khususnya amigdala dan girus singuli) karena sistem
limbik merupakan pusat pengatur emosi.
 Papil edema
Papil edema menunjukkan adanya edem atau pembengkakan diskus optikus yang
disebabkan oleh peningkatan TIK yang menetap selama lebih dari beberapa hari atau
minggu. Edema itu berhubungan dengan obstruksi CSS, dimana peningkatan TIK pada
selubung nervus optikus menghalangi drainase vena dan aliran aksoplasmik pada neuron
optikus dan menyebabkan pembengkakan pada diskus optikus dan retina serta perdarahan
disukus. Papil edema tahap lanjut dapat terjadi atrofi sekunder pada nervus optikus.

b. Gejala spesifik tumor otak terlokalisir.

1. Lobus frontal
 Menimbulkan gejala perubahan kepribadian
 Bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontra lateral, kejang
fokal
 Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia
 Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster kennedy
 Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia
2. Lobus parietal
 Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi homonym
 Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada girus angularis
menimbulkan gejala sindrom gerstmann’s
3. Lobus temporal
 Akan menimbulkan gejala hemianopsi, bangkitan psikomotor, yang didahului dengan
aura atau halusinasi
 Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia dan hemiparese
 Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan gejala
choreoathetosis, parkinsonism.
4. Lobus oksipital
 Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan
 Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia berkembang menjadi
hemianopsia, objeckagnosia
5. Tumor di ventrikel ke III
 Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala menimbulkan obstruksi
dari cairan serebrospinal dan terjadi peninggian tekanan intrakranial mendadak, pasen
tiba-tiba nyeri kepala, penglihatan kabur, dan penurunan kesadaran
6. Tumor di cerebello pontin angie
 Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma
 Dapat dibedakan dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa gangguan
fungsi pendengaran
 Gejala lain timbul bila tumor telah membesar dan keluar dari daerah pontin angel
7. Tumor Hipotalamus
 Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe
 Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan perkembangan seksuil
pada anak-anak, amenorrhoe,dwarfism, gangguan cairan dan elektrolit, bangkitan
8. Tumor di cerebelum
 Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat erjadi disertai
dengan papil udem
 Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme dari otot-otot
servikal
9. Tumor fosa posterior
 Ditemukan gangguan berjalan, nyeri kepala dan muntah disertai dengan nystacmus,
biasanya merupakan gejala awal dari medulloblastoma

c. Gambaran gejala tumor intrakranial terlokalisir palsu


Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan gejala klinis yang tidak sesuai dengan fungsi
bagian otak yang didududkinya. Adapun manifestasi tersebut adalah :
1. Kelumpuhan saraf otak
Saraf otak dapat tertarik atau tertekan karena proses desakan tumor. Desakan tidak
harus langsung terhadap saraf otak. Suatu tumor di insulae kanan dapat mendesak
batang otak ke kiri dan menyebabkan salah satu saraf otak sisi kiri dapat mengalami
gangguan. Saraf otak yang sering terkena pengaruh secara tak langsung dari neoplasma
adalah saraf otak ke III, IV, dan VI.
2. Refleks patologis yang positif pada kedua sisi
Hal ini dapat ditemukan pada pasien neoplasma intrakranial pada salah satu hemisfer.
Oleh karena pergeserah mesensefalon ke sisi kontralateral, pedunkulus serebri pada sisi
kontralateral mengalami kompresi dan refleks patologis pada sisi neoplasma menjadi
positif. Refleks patologis pada sisi kontralateral terhadap neoplasma menjadi positif
karena kerusakan jaras kortikospinalis di tempat yang diduduki neoplasma itu sendiri.

3. Gangguan mental
Gangguan mental dapat timbul pada semua pasien neoplasma intrakranial pada letak
manapun.
4. Gangguan endokrin
Gangguan endokrin dapat muncul karena proses desak ruang di daerah hipofise, tapi
juga dapat terjadi akibat desakan tidak langsung dari neoplasma di ruang supratentorial.
Pemeriksaan Penunjang

1. CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar-X dan dengan penggunaan
komputer yang akan menghasilkan gambar organ-organ tubuh manusia. CT Scan dapat
digunakan apabila MRI tidak tersedia. Namun, low-grade tumor pada posterior fossa dapat
terlewatkan oleh CT Scan.
CT Scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasen yang diduga
menderita tumor otak. Sensitifitas CT Scan untuk mendeteksi tumor yang berpenampang kurang
dari 1 cm dan terletak pada basis kranil. Gambaran CT Scan pada tumor otak, umumnya tampak
sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor
otak dikelilingi jaringan udem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah. Adanya
kalsifikasi, perdarahan atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya
yang hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu  pemeriksaan CT
Scan disertai dengan pemberian zat kontras.
Penilaian CT Scan pada tumor otak:
a. Tanda proses desak ruang:
 Pendorongan struktur garis tengah itak
 Penekanan dan perubahan bentuk ventrikel
b. Kelainan densitas pada lesi:
 hipodens
 hiperdens atau kombinasi
c. kalsifikasi, perdarahan
 Udem perifocal

2. MRI
Diagnosis terbaik pada brain tumor adalah dengan penggunaan cranial MRI. MRI harus
menjadi pemeriksaan pertama pada pasien dengan tanda dan gejala kelainan pada intracranial.
MRI menggunakan magnetic field bertenaga untuk menentukan nuclear magnetic spin dan
resonansi yang tepat pada sebuah jaringan bervolume kecil. Jaringan yang berbeda memiliki
nuclear magnetic spin dan resonansi yang berbeda pula.
Diagnosis

Bagi seorang ahli bedah saraf dalam menegakkan diagnosis tumor otak adalah dengan
mengetahui informasi jenis tumor, karakteristiknya, lokasinya, batasnya, hubungannya dengan
system ventrikel, dan hubungannya dengan struktur vital otak misalnya sirrkulus willisi dan
hipotalamus. Selain itu juga diperlukan periksaan radiologis canggih yang invasive maupun non
invasive. Pemeriksaan non invasive mencakup CT Scan dan MRI bila perlu diberikan kontras
agar dapat mengetahui batas-batas tumor.Pemeriksaan invasive seperti angiografi serebral yang
dapat memberikan gambaran system pendarahan tumor, dan hungannya dengan system
pembuluh darah sirkulus willisy selain itu dapat mengetahui hubungan massa tumor dengan vena
otak dan sinus duramatrisnya yang vital itu.
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita tumor otak yaitu
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti, adapun pemeriksaan penunjang
yang dapat membantu yaitu CT-Scan dan MRI. () Dari anamnesis kita dapat mengetahui gejala-
gejala yang dirasakan oleh penderita yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah
diuraikan di atas. Misalnya ada tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui
pemeriksaan fisik neurologik mungkin ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan defisit
lapangan pandang.

Diagnosa Banding
Gejala yang paling sering dari tumor otak adalah peningkatan tekanan intrakranial, kejang
dan tanda deficit neurologik fokal yang progresif. Setiap proses desak ruang di otak dapat
menimbulkan gejala di atas, sehingga agak sukar membedakan tumor otak dengan beberapa hal
berikut :
 Abses intraserebral
 Epidural hematom
 Hipertensi intrakranial benigna
 Meningitis kronik.

Penatalaksanaan

Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa faktor, antara lain  :
 kondisi umum penderita
 tersedianya alat yang lengkap
 pengertian penderita dan keluarganya
 luasnya metastasis.
Pengobatan pada brain tumor dapat berupa terapi suportif dan terapi definitif.

1. Terapi Suportif
Terapi suportif berfokus pada meringankan gejala dan meningkatkan fungsi
neurologik pasien. Terapi yang utama digunakan adalah antikonvulsan dan kortikosteroid.
a. Antikonvulsan
Anticonvulsants diberikan pada pasien yang menunjukan tanda-tanda seizure. Phenytoin
(300-400mg/d) adalah yang paling umum digunakan, tapi carbamazepine (600-1000mg/h),
Phenobarbital (90-150mg/h), dan valproic acid (750-1500mg/h) juga dapat digunakan.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangi tekanan intrakranial.
Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone adalah corticosteroid yang
dipilih karena aktivitas mineralocorticoid yang minimal. Dosisinya dapat diberikan mulai dari 16
mg/h, tetapi dosis ini dapat ditambahkan maupun dikurangi untuk mencapai dosis yang
dibutuhkan untuk mengontrol gejala neurologik.
2. Terapi Definitif
Tatalaksana definitif tumor intrakranial meliputi pembedahan, radiotherapy, kemoterapi
dan yang sedang dikembangkan yaitu immunotherapy.
a. Pembedahan
Berbagai pilihan pembedahan telah tersedia, dan pendekatan pembedahan yang dipilih
harus berhati-hati untuk meminimalisir resiko deficit neurologic setelah operasi. Tujuan
pembedahan : (1) menghasilkan diagnosis histologic yang akurat, (2) mengurangi tumor pokok,
(3) memberikan jalan untuk CSF mengalir, (4) mencapai potensial penyembuhan.

b. Terapi Radiasi
Terapi radiasi memainkan peran penting dalam pengobatan brain tumor pada orang
dewasa. Terapi radiasi adalah terapi nonpembedahan yang paling efektif untuk pasien dengan
malignant glioma dan juga sangat penting bagi pengobatan pasien dengan low-grade glioma.

c. Kemoterapi
Kemoterapi hanya sedikit bermanfaat dalam treatment pasien dengan malignant glioma.
Kemoterapi tidak memperpanjang rata-rata pertahanan semua pasien, tetapi sebuah subgroup
tertentu nampaknya bertahan lebih lama dengan penambahan kemoterapi dan radioterapi.
Kemoterapi juga tidak berperan banyak dalam pengobatan pasien dengan lowgrade astrocytoma.
Sebaliknya, kemoterapi disarankan untuk pengobatan pasien dengan oligodendroglioma.
d. Imunoterapi
Imunoterapi merupakan pengobatan baru yang masih perlu diteliti lebih lanjut. Dasar
pemikiran bahwa sistem imun dapat menolak tumor, khususnya allograft, telah didemonstrasikan
lebih dari 50 tahun yang lalu. Hal itu hanya sebuah contoh bagaimana sistem imun dapat
mengendalikan pertumbuhan tumor. Tumor umumnya menghasilkan level protein yang berbeda
(dibandingkan protein normal) disekitar jaringan, dan beberapa protein mengandung asam amino
substitusi atau deletions, atau mengubah phosphorylation atau glycosylation. Beberapa
perubahan protein oleh tumor sudah mencukupi bagi sistem imun untuk mengenal protein yang
dihasilkan tumor sebagai antigenik, dan memunculkan imun respon untuk melawan protein-
protein tersebut.

Prognosis

Prognosisnya tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di Negara-negara maju,


dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan
radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan angka
ketahanan hidup 10 tahaun (10 years survival) berkisar 30-40%. Terapi tumor otak di Indonesia
secara umum prognosisnya masih buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada
beberapa rumah sakit di Jakarta.
Prognosis juga tergantung pada tipe tumor. Untuk glioblastoma multiforme yang cepat
membesar “rata-rata survival time” tanpa pengobatan adalah 12 minggu; dengan terapi
pembedahan yang optimal dan radiasi, 32 minggu. Beberapa astrositoma yang tumbuh mungkin
menyebabkan gejala-gejala minimal atau hanya serangan kejang-kejang selama 20 tahun atau
lebih.

DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono. 2015. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimounan spesialis saraf Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

2. Siska, zam. 2017. Space Ocupying Lession. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung :

Baian Saraf.

3. Satyanegara. Ilmu bedah saraf satyanegara. Edisi ke-5. Jakarta: PT Gramedia; 2014. hlm.

265.
4. Haeberland C, et al. Tumours of Nervous System in Clinical Neuropathology. 2014

5. Manji H., Connolly S., Doward N., Kitchen N., Mehta A., Wills A., 2008. Oxford Handbook

of Neurology. Oxford University Press: London.

6. Mardjono M, Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis Dasar, ed 14. PT. Dian Rakyat. Jakarta.

7. Prabawani AT, 2011. Hubungan Topis dan Volume Neoplasma Intrakranial dengan Lokasi

dan Intensitas Nyeri Kepala Relations Between Topis and Volume of Intracranial Neoplasm

with Headache Location and Intensity. Universitas Diponegoro : Semarang.

8. Ropper AH, Brown RH, Adams RDI, Victor M. Adams and Victor's principles of neurology.

Edisi ke-8. New York: McGraw- Hill; 2014.

Anda mungkin juga menyukai