Anda di halaman 1dari 15

Internalisasi Etika Jawa sebagai Wujud Kearifan Lokal

dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Abstrak: Etika Jawa sebagai bagian dari budaya Jawa yang adiluhung mewujudkan manusia yang
sesungguhnya (genuine man). Etika Jawa mengarahkan manusia dalam menjalani hidup melalui rangkaian
tindakan sehari-hari. Termasuk dalam pendidikan. Etika Jawa telah menginternal dalam sistem pendidikan
nasional (pembelajaran bahasa Indonesia). Menginternal dalam arti bahwa proses norma-norma etika jawa
tersebut tidak berhenti sampai institusionalisasi saja melainkan telah mendarah daging dalam jiwa pendidikan
nasional. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia etika Jawa menginternal baik melalui pembelajaran kebahasaan
maupun kesusastraan, misalnya melalui pembelajaran dongeng Jawa. Etika Jawa sebagai bentuk kearifan lokal
yang diusung melalui dongeng Jawa merupakan salah satu cara pendidikan karakter bangsa yang efektif.
Kata Kunci: Etika Jawa, Dongeng Jawa, Internalisasi, Kearifan Lokal

Pendahuluan
Dunia pendidikan kita telah mengalami perubahan yang cukup pesat. Hal tersebut
menandakan bahwa masyarakat memiliki cipta, rasa, dan karsa dan terus mengembangkannya
dalam rupa budaya yang semakin modern. Perubahan tersebut terjadi di segala aspek
termasuk pada tatanan kehidupan sosial ekonomi, politik, kebahasaan dan kebudayaan. Apa
pun bentuk perubahan itu tentunya tidak boleh melupakan akar budaya yang telah ada
karena budaya-budaya itu mengandung nilai-nilai yang sangat luhur dan harus terus
dilestarikan. Akar budaya tersebut merupakan kearifan lokal yang perlu terus digali dan
dipertahankan pada era modern ini. Melupakan kearifan lokal berarti mengingkari eksistensi
warisan budaya nenek moyang yang sangat bernilai tinggi.

Pengertian Etika
Diskusi etika bermula dari ditemukannya berbagai manuskrip atau naskah-naskah
kuno buah karya pemikiran Yunani klasik. Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang
berarti adat kebiasaan. Etika merupakan salah satu teori yang mendasari teori nilai dan ilmu
kesusilaan terkait pembahasan perbuatan baik dan hal-hal yang dianggap benar. Istilah etika
berasal dari kata latin, yakni “ethic” yang dalam bahasa Yunani disebut ethikos, yaitu a body
of moral principle or values. Ethic, arti sebenarnya adalah kebiasaan atau habit. Dalam
pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik adalah yang sesuai dengan kebiasaan
masyarakat (pada saat itu). Lambat laun pengertian etika berkembang sesuai dengan
perkembangan kebutuhan manusia. Perkembangan etika tidak lepas dari substansinya bahwa
etika merupakan suatu ilmu tentang perbuatan dan tingkah laku manusia baik dan buruk.
Istilah lain dari etika adalah moral, susila, budi pekerti atau akhlak. Menurut ensyclopedia
britanica, ”ethics is the systematic study of the nature of value concepts, good, bad, ought,
right, wrong, etc. And of the general principles which justify us in applying them to anything;
also called moral philosphy. Di dalam etika terkandung juga pemahaman tentang nilai, baik
buruknya sesuatu, benar atau salah, yang kesemuanya itu jika diterapkan akan dinamai moral.

Etika Jawa
Mulder (2002) menyebut etika jawa sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang
dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan hidupnya. Kekhasan etika
hidup Jawa adalah sebagaimana diseratkan dalam Serat Wedhatama yakni suatu tindakan
bernilai moral jika mendukung dan menjamin keselarasan umum. Dengan kata lain, etika
Jawa lebih memperhatikan dimensi kemanusiaan dan kesusilaan. Kesusilaan adalah
permasalahan nilai yang lekat dengan kodrat manusia. Etika berlaku pada seluruh bagian dan
lapisan, dari orang Jawa sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara. Etika sosial
setiap strata sosial berbeda-beda. Perbedaan ini didasarkan pada “unen-unen” negara mawa
tata, desa mawa cara, artinya masing-masing tempat memiliki etika yang berbeda. Etika ini
menyangkut sikap, tingkah laku, etika bahasa, dan etika pertemuan. Etika sosial biasanya
berbentuk anjuran dan larangan bersikap dan berbuat sesuatu (Endraswara:2012).
Etika sosial masyarakat Jawa mendasarkan diri pada keselamatan semesta dengan
sikap syukur dan berpikir pada ajaran yang disampaikan melalui tokoh Kidang Wicara bahwa
dalam hidup hendaknya dapat membawa diri dalam segala hal, tidak memusuhi dalam segala
urusan. Lebih lengkap etika sosial yang diajarkan oleh Ki Pariwara kepada Ki Jati Pitutur dan
dikenal dengan nama Pepali Ki Ageng Sela anjuran bagi masyarakat Jawa agar tidak (1)
menyombongkan diri, (2) sentimentil, (3) ingin menangnya sendiri, (4) serakah, (5)
mengambil milik orang lain, (6) ingin dipuji, (7) berpikiran buruk, (8) diperbudak harta, (9)
menyamakan manusia dengan hewan, (10) angkuh, (11) ceroboh, (12) gila kekuasaan; dan
juga anjuran agar membuat orang lain (1) senang, (2) berhati-hati dalam ucapan, pandangan,
dan hati, (3) memiliki rasa malu, dan (4) membangun persahabatan yang baik. Ajaran etika
sosial juga diajarkan dengan mengacu pada karakter tokoh pewayangan Sengkuni yang
memiliki etika tidak baik yakni senang mencela, membuat orang lain sakit hati,
membicarakan di belakang orang, menganggap diri benar. Secara keseluruhan anjuran dan
larangan tersebut bermakna hendaknya manusia beretika baik terhadap Tuhan dan sesama
manusia agar selamat dunia akhirat.
Etika Jawa yang ditujukan bagi para pemimpin (wong gedhe) selain telah tersebut
juga harus menjadi suri tauladan, harus ing ngarsa sung tuladha yang terkandung dalam
penafsiran badaling Hyang Widhi. Pemimpin harus membudayakan etika saling pengertian
dengan sesama dan bawahan agar bot-repote negara saling bisa diatasi. Hal tersebut dapat
terwujud jika manunggaling Kawula-Gusti.
Etika Jawa yang terkait dengan bawahan (abdi) bertujuan mendapatkan kemuliaan
hidup meliputi: (1) mengikuti wiradat; upaya sendiri tanpa mengandalkan bantuan pihak lain
(menghindari KKN), mengikuti ombyaking kahanan/perkembangan zaman; dengan berbagai
cara meningkatkan kualitas diri, (2) rajin bekerja, (3) membantu menjaga ketentraman
negara, (4) menjaga agar negara tidak rugi, (5) ikut menjaga negara jika negara dalam
keadaan bahaya, misalnya dengan cara wajib militer, (6) tidak ikhlas jika negara dirusak
orang lain.
Seseorang yang akan mengabdi, agar selamat sebaiknya: (1) tidak mudah sakit hati
jika diingatkan atasan, (2) rajin bekerja, (3) berbuat baik dan tidak congkak terhadap sesama
abdi. Calon abdi (calon apa saja) dalam mencapai cita-cita harus dilandasi laku, yakni dengan
sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Sembah raga adalah laku yang juga disebut sarengat,
dalam melaksanakan harus dengan jalan yang benar, dengan tingkatan yang tepat, tekun, dan
ajeg. Sembah cipta (tarekat) adalah menyembah kepada Tuhan dengan membersihkan hati
dengan cara tata (teratur), titi (teliti), ngati-ati (berhati-hati), tetep (konsisten), telaten (rajin),
dan atul (terbiasa). Berbeda dengan abdi, prajurit juga memiliki etika dalam bekerja yakni:
(1) tidak mudah berputus asa dan tetap semangat, (2) berhati-hati dalam melaksanakan
kewajiban, (3) menjaga kesehatan, (4) menjaga keselamatan leluhur dan jangan sampai punah
keturunannya, (5) taat aturan negara, (6) memegang teguh janji suci, (7) taberi/hemat dan
berhati-hati, (8) temen/sungguh-sungguh.

Kearifan Lokal
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan
lokal (local) atau setempat. Kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Nilai
terpenting dari kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu
daerah. Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang
melembaga secara tradisional. Kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi budaya
masyarakat suatu bangsa yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan
fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah
bangsa. Kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan dalam
artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi
pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang
bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang
diterima secara universal oleh masyarakat. Nilai tradisi untuk menyelaraskan kehidupan
manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini
dapat dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung yang intinya
adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup dan diwujudkannya sebagai
tradisi.
Secara sederhana kearifan lokal dapat diartikan nilai-nilai budaya yang ada di dalam
suatu masyarakat. Untuk mengetahui kearifan lokal di suatu wilayah maka harus bisa
memahami nilai-nilai budaya yang ada di dalam wilayah tersebut. Nilai-nilai kearifan lokal
telah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua dan leluhur kepada anak keturunannya.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam
menyiasati lingkungan hidup sekitar mereka. Menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari
budaya dan memperkenalkan serta meneruskannya dari generasi ke generasi. Beberapa
bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-
nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang
mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan menganggapnya sebagai bagian dari
kehidupan mereka. Dengan cara tersebut, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari
budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari
karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal
diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan dan memanfaatkannya dalam aktifitas
keseharian dan interaksi dengan sesama serta dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti
bencana yang datang tiba-tiba.

Etika Jawa sebagai Peletak Dasar Kebijakan Pendidikan Nasional


Pendidikan nasional bertujuan menjadikan manusia yang sesungguhnya (genuine
man). Pendidikan yang bermartabat dan beretika mampu mewujudkan hal tersebut. Etika
Jawa sebagai bagian dari budaya Jawa yang adiluhung mengantarkan pendidikan
mewujudkan manusia yang hakiki. Dalam segala tempat dan waktu, manusia terpengaruh
oleh adat istiadat, golongan, dan bangsanya, karena manusia hidup di dalam lingkungannya.
Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya dapat terpelihara dengan harmoni karena
masing-masing berpedoman pada etika yang berlaku. Etika Jawa dalam perkembangannya
sangat mempengaruhi pendidikan dan kehidupan manusia. Etika Jawa memberi manusia
orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Hal
tersebut berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat
dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu manusia mengambil keputusan
tentang tindakan apa yang perlu dilakukan dan yang harus dipahami bersama bahwa etika
tersebut dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan.
Potret buram pendidikan kita belum juga terhapus. Para pemangku keputusan sibuk
mencari sosok ideal guna mengembalikan hakikat pendidikan nasional. Perdebatan panjang
yang menghasilkan berbagai kebijakan yang berganti-ganti membuat bingung insan
pendidikan. Kiblat etika beralih ke dunia pendidikan barat sementara bangsa kita memiliki
jati diri pendidikan bangsa yang sesungguhnya yang diusung Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar
Dewantara merangkum konsep yang dikenal dengan istilah Among Methode atau sistem
among. Among adalah buah dari etika Jawa yang memiliki pengertian menjaga, membina,
dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana “among” (momong) disebut PAMONG,
yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Pendidikan nasional
bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun
anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur,
cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat
yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada
umumnya.
Sistem Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dengan “menemukenali”
pribadi dan karakter anak didik. Bila diperlukan, perilaku anak didik boleh dikoreksi
(handayani) namun koreksi tersebut tetap dilaksanakan dengan kasih sayang. Ki Hajar
Dewantara merupakan pencetus pendidikan yang tidak mencabut akar budaya yang membuat
peserta didik menjadi asing dengan realitasnya. Pendidikan harus membuat manusia di
Indonesia menjadi peka dan peduli akan etika dan budi pekerti. Kepekaan inilah yang
membuat manusia Indonesia menjadi pribadi hakiki, memiliki kekuatan batin dan
berkarakter. Artinya, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan citra manusia di Indonesia
menjadi berpendirian teguh untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Dalam tataran praksis
kehidupan, manusia di Indonesia menyadari tanggungjawabnya untuk melakukan apa yang
diketahuinya sebagai kebenaran. Ekspersi kebenaran itu terpancarkan secara indah dalam dan
melalui tutur kata, sikap, dan perbuatannya terhadap lingkungan alam, dirinya sendiri dan
sesamanya. Etika dan budi pekerti adalah istilah yang memayungi perkataan, sikap, dan
tindakan yang selaras dengan kebenaran ajaran agama, adat-istiadat, hukum positif, dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Para pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan terutama terkait kebijakan
dalam pendidikan hendaknya lebih arif dan bijaksana dengan meneladani etika luhur bangsa.
Kebijakan-kebijakan yang beretika tidak hanya untuk mencari keuntungan bagi dirinya
sendiri, baik dalam arti ekonomis maupun dalam arti psikis, tetapi untuk pengabdian pada
masyarakat. Hal ini berarti bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan, merusak, atau
menimbulkan malapetaka bagi orang lain dan bagi masyarakat terutama dunia pendidikan.
Sebaliknya kebijakan tersebut harus berusaha menimbulkan kebaikan, keberuntungan, dan
kesempurnaan serta kesejahteraan bagi masyarakat. Para pengambil kebijakan adalah abdi
masyarakat dan abdi bangsa. Dalam etika Jawa, pengabdian diri berarti lebih mengutamakan
kepentingan orang banyak.
Pemahaman akan etika dibutuhkan saat mengambil keputusan. Misalnya jika sejalan
dengan etika Jawa, para pengambil kebijakan menerapkan pola pembelajaran among Ki Hajar
Dewantara, diwajibkan bagi guru agar lebih sebagai pengasuh daripada sekadar transfer ilmu
saja. Artinya dalam mengasuh, guru juga menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa,
niscaya akan tumbuh manusia-manusia Indonesia yang berbudi luhur.

Internalisasi Etika Jawa sebagai Wujud Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia

Hadirnya dua bahasa atau lebih dalam suatu wilayah dan masyarakat berpeluang pada
tiga kemungkinan berikut. Pertama ada semacam koeksistensi damai di antara kedua bahasa
tersebut. Artinya, warga masyarakat yang bersangkutan menggunakan B1 atau B2 secara
bebas. Pemilihan B1 atau B2 semata-mata didasarkan kepada dalil sosiolinguistik, yaitu siapa
berbicara, kepada siapa, di mana, kapan, tentang apa, dan sebagainya. Kedua, B1 dan B2
setelah masa yang lama berpadu menjadi antarbahasa (interlanguage) yang barangkali
diawali oleh interferensi dari B1 ketika warga menggunakan B2, atau sebaliknya. Perubahan
dari dua sistem bahasa menjadi satu sistem itu tentu saja memerlukan waktu yang sangat
lama. Kemungkinan ketiga yang timbul dari adanya kehadiran dua bahasa di dalam suatu
masyarakat adalah bahwa lama-lama warga masyarakat itu mempunyai preferensi bahasa apa
yang akan dipakai di dalam suatu interaksi (Gunarwan 2006:96). Kemungkinan-kemungkinan
tersebut pada dasarnya juga akan diikuti oleh kemungkinan-kemungkinan pergeseran budaya
beserta nilai-nilai yang ada dalam bahasa tersebut.
Dalam wilayah kesatuan Indonesia terdapat banyak bahasa yang tentunya berpeluang
mempengaruhi bahasa Indonesia. Pengaruh bahasa tersebut dibarengi dengan pengaruh
budaya karena bahasa adalah produk dari suatu budaya. Termasuk pengaruh bahasa Jawa
terhadap bahasa Indonesia. Pengaruh bahasa Jawa terhadap bahasa Indonesia tidak hanya
pada area kebahasaan saja, melainkan juga ideologi Jawa. Sebagai contoh etika jawa.
Terdapat berbagai contoh penggunaan bahasa yang mencerminkan wujud etika jawa.
Misalnya dongeng. Dongeng jawa sebagai salah satu bagian kecil dari pembelajaran foklor
mengusung ideologi masyarakat Jawa salah satunya etika jawa. Dongeng Jawa seperti juga
dongeng-dongeng yang lain sebagai produk sastra lisan memiliki kandungan nilai-nilai yang
bermanfaat bagi pembacanya.
Keberadaan nilai dalam dongeng direfleksikan oleh pembacanya dalam perwujudan
tingkah laku, baik secara pribadi maupun kelompok. Dongeng jawa sebagai cerita yang
menghibur dan yang isi ceritanya dianggap tidak benar-benar terjadi sarat akan ajaran etika
dan moral yang tersampaikan baik melalui sindiran maupun secara langsung yang patut
untuk diteladani. Pada masyarakat Jawa, dongeng jawa biasanya dikenalkan pada anak-anak
melalui cerita ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, atau mungkin dari kakak dan teman, juga
guru. Masyarakat Jawa memiliki kebiasaan menemani anak-anak mereka menjelang tidur.
Pada saat itulah terjalin komunikasi kreatif yang seringkali diisi kisah-kisah menarik dari
dongeng jawa. Penceritaan dongeng menjelang tidur oleh orang tua tidak sekadar sebagai
pengisi waktu saja, melainkan terkandung juga misi-misi tertentu yakni memberikan nasihat-
nasihat berupa etika yang di kemudian hari akan sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka
kelak. Dongeng Jawa tersebar luas di kalangan masyarakat Jawa mulai daerah pesisir pantai
hingga masyarakat agraris di pedalaman atau di pegunungan.
Terdapat sejumlah dongeng Jawa yang dapat digolongkan berdasarkan kriteria: (1)
indikator nama-nama pelaku yang merujuk pada identitas Jawa, (2) bahasa yang
dipergunakan cenderung berbahasa Jawa, dan (3) pergerakan cerita seputar kehidupan dan
kebudayaan Jawa. Penjaringan data mengarah pada kelompok dongeng Jawa yang tetap
hidup hingga penelitian ini dilakukan adalah Ande-ande Lumut, Angling Darmo, Bawang
Merah Bawang Putih, Cinde Laras, Joko Kandhung, Joko Kendil, Putri Keong Mas, Si
Kancil, dan Timun Mas.
Beberapa dongeng tersebut sarat akan nilai-nilai luhur dan bermanfaat pembacanya.
Dari kelompok usia anak hingga orang dewasa, dongeng memberi manfaat bagi kehidupan
pribadinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Danandjaya (2002:141) bahwa dongeng
berfungsi sebagai: (1) sistem proyeksi keinginan terpendam bagi para pemuda, (2) alat
pengesahan pranata kebudayaan, (3) alat kendali masyarakat, dan (4) alat pendidikan anak.
Pada dongeng Angling Darma terdapat nilai religi yang tinggi yang dapat diteladani
oleh pembacanya. Prabu Angling Darma begitu kuat ketaatannya kepada sang dewata,
bahkan ketika sang istri meminta diajarkan untuk dapat memiliki kekuatan yang dapat
mengerti bahasa hewan, Prabu Angling Darma menolak. Prabu Angling Darma memegang
teguh janjinya pada Dewata bahwa tidak akan menularkan kesaktiannya tersebut kepada
siapa pun, bahkan ke istrinya sendiri. Nilai ini mengajarkan untuk setia memegang teguh janji
yang telah diucapkan terutama pada sang pencipta.
Mematuhi ajaran agama (beriman, bertakwa, dan bertawakal) merupakan salah satu
perwujudan nilai etika dalam beragaman masyarakat Jawa. Beriman diwujudkan dengan
mengingat akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan, bertakwa diwujudkan dengan
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan Tuhan, sedangkan bertawakal
diwujudkan dengan sikap berserah diri kepada Allah setelah berusaha semaksimal mungkin.
Dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan serta berserah diri, manusia
berharap memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Sejalan dengan penjelasan tersebut,
Saryono (2011:55) berpendapat bahwa nilai religius orang Jawa dibagi menjadi dua yaitu
nilai keselamatan dan nilai kesempurnaan. Nilai keselamatan diwujudkan dalam awas-eling
(takwa), eneng (iman), dan ening (tauhid). Sikap yang menunjukan usaha untuk berakhlak
mulia dan keinginan memperoleh keselamatan adalah seperti penggambaran Raja Angling
Darma dalam Dongeng Jawa Angling Darma. Dalam usaha menuju kesempurnaan hidup di
dunia dan di akhirat, prabu Angling Darma sering melakukan tapabrata. Dalam budaya Jawa,
bertapa sebagai upaya untuk menahan hawa nafsu (aluamah, amarah, supiah, dan
mutmainah) dan menuju kekeramatan (Yana, 2010:33).
Etika religius juga diwujudkan dalam hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Hal
ini berarti menunjukan sikap menerima kehadiran orang lain yang memiliki perbedaan agama
beserta isi ajarannya. Menurut Endraswara (2012:41), orang Jawa dapat hidup berdampingan
dengan agama lain secara sinkretis maupun toleransi beragama. Sikap menerima perbedaan
agama juga disinggung dalam makna sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa. Pada sila tersebut menjamin warga negara untuk memeluk agama masing-masing dan
menjamin berkembangnya toleransi antar umat beragama (Rukiyati, 2008:66).
Terkait Pancasila sebagai dasar negara kita, masyarakat Jawa memiliki sikap Hambeg
Manembah, yakni sikap ketaqwaan seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa (Yana,
2010:89). Masyarakat Jawa sebagai makhluk ciptaanNya wajib untuk memiliki rasa
rumangsa lan pangrasa (menyadari) bahwa keberadaannya di dunia ini sebagai hamba
ciptaan Ilahi, yang mengemban tugas untuk selalu mengabdi hanya kepadaNya. Dengan sikap
ketaqwaan ini, masyarakat Jawa yang kelak diajarkan pada anak-anak bahwa sebagai
manusia berperan sama dan berorientasi serta menunjukkan semua gerak langkah demi
mencapai rahmat Ilahi Tuhan Yang Maha Bijaksana Hyang Suksma Kawekas.
Nilai kejujuran dalam etika jawa ditemukan pada dongeng Ande-ande Lumut.
Dikisahkan pada saat menyeberangi sungai besar, Klenthing Abang, Klenthing Ijo, dan
Klenthing Ungu melakukan ”jalan pintas” yakni dengan meminta bantuan Yuyu Kangkang
yang terkenal suka “bersenang-senang” dengan wanita. Demi untuk segera bertemu Ande-
ande Lumut mereka memenuhi persyaratan yang diajukan Yuyukangkang. Ande-ande Lumut
mengetahuinya hal tersebut dan menanyakan kebenarannya pada ketiga Klenthing tersebut
namun mereka menyangkalnya. Mendapati bahwa ketiga Klenthing tersebut tidak jujur maka
Ande-ande Lumut menolak pinangan mereka. Ande-ande Lumut lebih memilih Klenthing
Kuning yang dekil dan kotor namun jujur.
Nilai kejujuran yang terdapat dalam Dongeng Jawa diwujudkan dalam perkataan dan
perbuatan. Jujur dalam perkataan berarti apa yang diucapkan sesuai dengan kenyataan. Pada
dongeng Ande-ande Lumut secara tersirat terdapat nasihat untuk bersikap jujur. Perbuatan
jujur merupakan perbuatan yang dapat dipercaya, tidak bohong, lurus hati, berkata apa
adanya, tidak curang, tulus, dan ikhlas (KBBI, 2005:406). Kesuma (2011:16) menyatakan
bahwa jujur sebagai sebuah nilai sebagai hasil keputusan seseorang untuk mengungkapkan
dalam bentuk perasaan, kata-kata dan atau perbuatan tentang realitas tanpa manipulasi atau
hal-hal curang untuk keuntungan dirinya.
Pada masyarakat Jawa, kejujuran sangat dijunjung tinggi. Orang yang tidak jujur
dianggap melakukan hal yang tabu dan pada taraf tertentu akan mendapatkan sanksi dari
masyarakat sekitar. Hal tabu tersebut dapat membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari
masyarakat sekitar (Yana, 2010:213).
Nilai kedisiplinan dalam etika jawa ditemukan dalam Dongeng Jawa Joko Kandhung.
Kedisiplinannya tampak pada kesungguhannya mempelajari ilmu bela diri. Setiap hari
dengan semangat membara Joko Kandhung berlatih tanpa kenal lelah. Berkat kedisiplinannya
tersebut Joko Kandhung menuai hasil yakni keterampilan bela diri yang sangat hebat,
melebihi kemampuan beladiri para pemuda seusianya.
Wujud nilai etika kedisiplinan adalah melakukan kegiatan sesuai dengan ketentuan
dan peraturan yang berlaku. Ketentuan dan peraturan tersebut merupakan kesepakatan
bersama. Peraturan yang disepakati bersama menjadi tanggung jawab bersama. Sesuai
dengan penjelasan dari Kemendiknas (dalam Gunawan, 2012:33) bahwa nilai disiplin adalah
tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Nilai tersebut dalam budaya Jawa terangkum pada nilai kepastian dan nilai keteraturan. Dua
nilai ini saling berhubungan. Nilai tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terdapat
di alam semesta sudah memiliki kepastian (ketentuan) dan sudah berada dalam keteraturan
(Saryono, 2011:77).
Etika gigih dan bekerja keras ditemukan pada Dongeng Jawa Ande-ande Lumut dan
Bawang Putih Bawang Merah. Pada dua dongeng tersebut tersapat kesamaan karakter yakni
tokoh Klenthing Kuning pada dongeng Ande-ande Lumut dan Bawang Putih pada dongeng
Bawang Putih Bawang Merah digambarkan sebagai sosok yang rajin bekerja tanpa kenal
lelah. Dengan ikhlas menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga tanpa sedikit pun
mengeluh.
Orang Jawa menganggap bekerja sebagai salah satu kewajiban di dunia. Bahkan
orang Jawa menjunjung tinggi konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe. Ungkapan tersebut
dapat diartikan bahwa dalam bekerja, orang Jawa tidak mementingkan imbalan karena
keiklasan mereka. Mereka lebih mengutamakan rasa kekeluargaan dan persaudaraan. Bahwa
dengan saling membantu antar sesama maka akan terjalin rasa kekeluargaan yang semakin
erat. Orang Jawa seringkali tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
keluarga, bekerja untuk masyarakat, atau bekerja untuk kemanusiaan. Menurut pendapat
Kesuma (2011:17), kerja keras merupakan suatu upaya yang terus dilakukan dalam
menyelesaikan pekerjaan atau tugas untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan manusia
dan lingkungannya.
Nilai kemandirian dalam etika jawa ditemukan pada Dongeng Ande-ande Lumut.
Sikap mandiri terlihat dari perilaku tokoh Klenthing Kuning yang berhasil menyeberangi
sungai tanpa bantuan Yuyu Kangkang. Menyeberangi sungai besar bagi seorang wanita
tampaknya menjadi suatu pekerjaan yang sulit, namun tetap dilaksanakan Klenting Kuning
seorang diri tanpa bantuan yang lain. Klenting Kuning berkeyakinan akan keputusannya
menolak bantuan Yuyu Kangkang karena menurutnya, tokok Yuyu Kangkang berharap
sebuah imbalan yang tak mungkin ia berikan. Dalam hal ini Klenting Kuning juga teguh
dalam memegang prinsip. Tokoh tersebut digambarkan menyelesaikan tugas dan pekerjaan
tanpa mengandalkan orang lain.
Nilai etika kemandirian diwujudkan dengan menyelesaikan tugas atau pekerjaan tanpa
bantuan orang lain. Sejak kecil anak-anak Jawa telah dibiasakan untuk melakukan pekerjaan
sendiri tanpa harus bergantung pada bantuan orang lain. Hal ini dicontohkan oleh tokoh
Klenthing Kuning yang dengan cekatan menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga tanpa
bantuan kakak-kakak maupun sang ibu tiri. Klenthing Kuning adalah sosok yang patut
diteladani oleh banyak anak Jawa bahwa semua pekerjaan jika dijalankan dengan ihklas dan
senang hati tidak akan menjadi berat. Sikap mandiri yang diteladankan tokoh Klenthing
Kuning tersebut bukan berarti kemudian anak Jawa harus lepas dari hubungan sosial atau
tidak menggambarkan rame ing gawe. Sejalan dengan hal itu, Schiller (2002:76) juga
berpendapat bahwa individu yang sehat adalah individu yang mandiri di dalam
kesalingtergantungan antar manusia untuk memenuhi kebutuhan akan bertahan hidup.
Etika kepedulian ditemukan pada Dongeng Jawa Cinde Laras. Rasa ingin tahu sebagai
wujud kepedulian raja pada suara kokok ayam jago Cinde Laras dalam dongeng Cinde Laras
membuahkan hasil yang indah. Bermula dari rasa ingin tahu raja, kemudian terkuaklah siapa
sesungguhnya Cinde Laras yang ternyata tak lain dan tak bukan adalah anak kandung raja
sendiri yang menjadi korban kedengkian selir raja.
Nilai etika kepedulian dalam masyarakat jawa yang tertuang pada dongeng Jawa
diwujudkan dengan keinginan untuk memahami apa yang ada di lingkungan sekitar. Banyak
sekali kisah dongeng Jawa yang mengajarkan pembacanya untuk memiliki rasa ingin tahu
yang positif, mendalami apa yang telah dipelajari, dilihat, dan didengar untuk memperoleh
jalan kebenaran. Menurut Endraswara (2012:224), sosialisasi anak dilakukan dengan cara
asosiasi diri anak terhadap lingkungan sekitar. Rasa ingin tahu ini pencerminan orang Jawa
yang hidup cerdas dalam menata hidupnya (Yana, 2010:158). Bahkan apabila dicermati
terdapat pepatah Jawa yang berbunyi bathok bolu isi madu yang berarti wong asor nanging
sugih kepinteran. Hal tersebut menunjukkan bahwa serendah apa pun strata sosial masyarakat
Jawa, jika selalu mencari tahu hal-hal positif maka akan menjadi seorang yang pandai.
Etika semangat dan loyalitas kebangsaan ditemukan pada dongeng Joko Kandhung.
Nilai kebangsaan tersebut tampak dalam diri Joko Kandhung yang sangat menguasai ilmu
bela diri. Atas petunjuk pelatihnya yang tak lain adalah kakeknya sendiri, Joko Kandhung
melamar sebagai prajurit kerajaan. Kesetiaan dan pengabdiannya kepada kerajaan
membuatnya disayang Raja hingga akhirnya menjadi punggawa kesayangan raja. Semangat
kebangsaannya ia tunjukkan dengan cara berusaha membunuh raja yang sekarang, karena
konon raja adalah seorang pemberontak yang menggulingkan raja sebelumnya dan mengusir
permaisuri. Loyalitas yang tinggi terhadap kerajaan membuat Joko Kandhung berhasil
membunuh dan mencari permaisuri yang telah lama menghilang.
Nilai etika Jawa semangat dan loyalitas kebangsaan diwujudkan dengan
menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi (Endraswara, 2012:94).
Bendera sebagai simbol kepentingan bangsa dan negara. Rumah dapat disimbolkan sebagai
kepentingan pribadi karena mengaca pada salah satu dari lima tugas dan kewajiban pria Jawa,
yaitu angayani (memberikan nafkah lahir batin), ngomahi (membuat rumah), angayomi
(pembimbing keluaarga), angayemi (menjaga kondisi keluarga), dan angamatjani
(memberikan keturunan) (Endraswara, 2012:54).
Sikap lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara juga diwujudkan dengan
berkoban ketika negara mendapatkan ancaman dari luar. Hal ini mengisyaratkan bahwa
warga negara harus rela mati untuk membela negarnya. Sikap semangat kebangsaan tersebut
sesuai dengan etika wong cilik (rakyat). Menurut pemikiran orang Jawa, wong cilik harus
menjalankan: (1) menjalankan wiradat (upaya sendiri), (2) rajin bekerja, (3) menjaga
ketentraman negara, (4) menjaga agar negara tidak rugi, (5) ikut menjaga negara dalam
keadaan bahaya, dan (6) menjaga negara agar tidak dirusak oleh negara lain (Endraswara,
2012:142).
Etika menjunjung tinggi tata krama masyarakat Jawa. Pada dasarnya menjunjung
tinggi tata krama ini terdapat dalam semua dongeng Jawa, namun secara eksplisit kisah-kisah
yang secara kental menampilkan ajaran tata krama masyarakat Jawa terdapat dalam dongeng
Ande-ande Lumut, Bawang Putih Bawang Merah, Cinde Laras, dan Angling Darmo. Pada
dongeng Ande-ande Lumut, tampak banyak contoh konkrit tata krama masyarakat Jawa,
misalnya sikap Ande-ande Lumut yang menghormati ibunya, demikian pula sebaliknya, dan
sikap Klenthing Kuning yang juga sangat santun kepada orang yang lebih tua. Pada dongeng
Bawang Putih Bawang Merah juga terdapat banyak contoh kesopanan sang tokoh Bawang
Putih kepada semua orang. Demikian juga pada dongeng Cinde laras dan Angling Darmo
yang sarat contoh positif dalam etika berkomunikasi dengan lawan biacaranya.
Tata krama merupakan tata cara atau aturan turun-temurun yang berkembang dalam
suatu budaya masyarakat yang mengatur pergaulan antarindividu maupun kelompok untuk
saling mengerti, saling menghormati menurut adat yang berlaku. Tata krama suku Jawa
meliputi banyak segi seperti unggah-ungguh, sopan-santun, etika yang mencakup hubungan
selengkapnya atara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan
alam sekitar. Dalam masyarakat Jawa sangat dianjurkan agar semua dilakukan dengan sopan,
tidak melanggar aturan, tidak merugikan orang lain, mengerti batasan dan sebagainya. Tata
krama dalam masyarakat Jawa tidak hanya tampak pada tatanan bahasa yang digunakan,
tetapi juga pada gerakan tubuh. Dari isyarat gerakan tubuh maupun tatanan bahasa yang
digunakan dapat diketahui dengan siapa seseorang berhadapan.
Tata krama yang sangat menonjol pada masyarakat Jawa adalah tata krama dalam
percakapan sehari-hari dan bahasa yang dipergunakan. Berbahasa Jawa krama atau halus
adalah pernyataan menghargai atau menghormati lawan biacara. Berbagai tata krama Jawa
diajarkan sejak dini dengan harapan bisa menggunakan tata krama tersebut di mana pun
dalam segala situasi dan kondisi. Bagi masyarakat Jawa, tata krama berfungsi sebagai kontrol
sosial dan lebih ditekankan sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih tua. Sikap ini
karena pada dasarnya sangat berhubungan dengan prinsip hidup orang Jawa yang selalu
berpijak pada sikap hormat dan rukun sebagai pencerminan dan penciptaan suatu keselarasan,
keharmonisan dan menjauhkan konflik atau pertentangan (Yana, 2010:139).
Nilai persahabatan dan komunikatif diwujudkan dengan sikap rasa senang memiliki
banyak teman dan senang berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini merupakan sebuah
tindakan yang komunikatif dengan sesama manusia. Dalam bahasa Jawa disebut blater,
grapyak, sumeh, dan seneng aruh-aruh (Saryono, 2011:83). Dalam berkomunikasi dan
bersahabat, dalam budaya masyarakat Jawa terdapat suatu tata cara atau aturan yang secara
turun temurun telah disepakati bersama dalam persahabatan antarindividu maupun kelompok
agar terwujud saling pengertian dan hormat-menghormati. Kesepakatan tersebut terwujud
dalam perilaku sopan, tidak melanggar aturan, dan mengerti batas persahabatan. Bentuk
komunikasi dalam budaya Jawa dibedakan antara yang muda dengan yang tua (anak-orang
tua, kakak-adik, murid-guru), atasan dengan bawahan, dengan sebaya dan lain sebagainya
(Yana, 2010:137). Bentuk komunikasi yang sangat menonjol dalam keluarga Jawa adalah tata
krama dalam percakapan sehari-hari dan bahasa yang digunakan. Berbahasa Jawa halus atau
krama inggil adalah pernyataan menghargai atau menghormati kepada lawan bicara. Begitu
besar peran cara berkomunikasi orang Jawa bahkan terdapat falsafah Jawa ajining diri soko
lathi yang berarti harga diri seseorang diantaranya bergantung pada tutur kata, ucapan, dan
bahasanya. Kata-kata yang fasih, manis, dan empan papan (sesuai konteks) akan
menyenangkan hati, sebaliknya, perkataan yang kotor, jorok, dan kasar akan menyakitkan
orang lain.
Etika mencintai perdamaian yang ditemukan dalam Dongeng Jawa Ande-ande Lumut
dan Bawang Putih Bawang Merah. Terdapat kesamaan nilai-nilai etika jawa pada tokoh
Klenthing Kuning dan Bawang Putih yakni sikap mengalah demi menghindari pertengkaran
dengan saudara. Dalam situasi apa pun kedua tokoh dalam dongeng tersebut selalu
mengutamakan kedamaian meskipun harus mengorbankan diri.
Wujud nilai cinta damai adalah menciptakan suasana yang tenang, nyaman, dan
menyenangkan. Suasana yang tenang, nyaman, dan menyenangkan diwujudkan dengan sikap,
perkataan, dan tindakan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Kemendiknas juga
mendeskripsikan nilai cinta damai sebagai sikap dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya (Wibowo, 2012:43). Endraswara (2012:38)
juga berpendapat bahwa prinsip yang dianut dalam mencapai kedamaian adalah konsep
rukun. Kerukunan tercipta ketika tercapainya keseimbangan sosial. Dalam kehidupan
masyarakat Jawa sangat dijunjung tinggi tepa sarira sebagai bentuk tradisi yang secara turun
temurun diwariskan oleh nenek moyang bangsa Jawa. Tepa sarira dapat diartikan sebagai
seseorang yang mau dan bisa merasakan perasaan orang lain. Tepa sarira artinya membuat
enak, senang, dan damai perasaan sesamanya (Yana, 2010:134).
Dalam budaya Jawa terdapat falsafah memayu hayuning bawana yang artinya watak
dan perbuatan yang senantiasa mewujudkan dunia selamat, sejahtera, dan bahagia yang
mengarahkan manusia untuk berperilaku ke arah ketentraman hidup dan bukan konflik terus
menerus sehingga terwujud perdamaian dunia. Memayu hayuning bawana ini mengisyaratkan
manusia untuk selalu berbuat baik. Sikap seperti ini sangat terpuji karena mampu menghiasi
dan memperindah dunia. Ketentraman dan kedamaian adalah dasar kemuliaan hidup
masyarakat Jawa. Dunia sekitar manusia adalah ciptaan Tuhan yang patut dihiasi dengan
perbuatan baik (Yana, 2010:107).

Penutup
Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang seutuhnya, tidak hanya
manusia yang berpengetahuan luas namun juga beretika. Etika Jawa dapat diinternalisasi
dalam pendidikan nasional karena etika Jawa yang berbasis budaya Jawa adiluhung dan
harmoni selaras dengan cita-cita pendidikan nasional. Tugas para pendidik dan pengambil
kebijakan untuk terus menggali nilai-nilai luhur bangsa guna menghasilkan manusia
Indonesia yang hakiki tanpa selalu silau dan selalu mengadopsi sistem pendidikan dari luar
karena yang dari luar belum tentu baik dan sesuai dengan karakter pendidikan bangsa.

Daftar Pustaka

Anwar, Muhammad. 2014. Filasafat Pendidikan. Jakarta: Prenadamedia Group


Endraswara, Suwardi. 2012. Falsafah Hidup Jawa: Menggali Mutiara Kebijakan dari
Intisari Filsafat Kejawen. Jakarta:Cakrawala
Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Endraswara, S. 2012. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.
Gunawan, H. 2012. Pendidikan Karakter Konsep Dan Implementasi. Bandung: Alabeta.
Kesuma, D., Cepi T., & Johar P. 2011. Pendidikan Karakter:Kajian Teori Dan Praktik Di
Sekolah (Anang S.W., Ed). Bandung: Re
Magnis S, Frans. 1985. Etika Jawa. Jakarta :Sinar Harapan
Mulder, Nies. 2002. Moralitas Jawa Kini Mulai Tergusur dalam Matabaca.
Jakarta:Gramedia.
Muslich, M. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
Jakarta: Bumi Aksara
Perspektif Antropologi Linguistik”. Linguistik Indonesia, 1:115—129.
Pranowo. 2003. “Ungkapan Bahasa Jawa sebagai Pendukung Pembentukan Kebudayaan
Nasional.” Linguistik Indonesia, 2:269— 286.
Pusposari, Dewi. 2015. Dongeng Jawa sebagai Pembentuk Karakter Anak. Jembatan Merah
vol 11 edisi Juni 2015
Rukiyati. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press.
Saryono, D. 2011. Sosok Nilai Budaya Jawa. Malang: Aditya Media Publishing.
Schiller, R. & Tamara B. 2002. 16 Moral Dasar Bagi Anak. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Undang-Undang R.I No. 2 Tahun 1989; Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Penjelasannya. Bandung:Citra Umbara.
maja Rosdakarya.
Wibowo, A. 2012. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa
Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yana M. H. 2010. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Absolut.

Anda mungkin juga menyukai