Anda di halaman 1dari 44

KOMUNIKASI TERAPEUTIK DI RUANG ICU PADA PASIEN

STROKE NON HEMORAGIK (SNH)


Untuk memenuhi salah satu tugas Komunikasi Keperawatan II
Dosen Pembimbing: Ibu Dr. Marni Karo, SST., M.Keb.

Disusun oleh:
MULHAYANA
HERLINA
ERIKA FITRIA
RATU ANDINI N Y
SITI NURLATIFAH
SRI HANDAYANI
SIVA FAUZIAH
SAPITRI
VINGKA ANBA L

1C KEPERAWATAN (S1)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Medistra Indonesia


Jl. Cut Mutia Raya No. 88 A Sepanjang Jaya, Kecamatan Rawalumbu-Bekasi 17114
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Atas berkat dan rahmatnya penulis
dapat menyelesaikan MAKALAH KOMUNIKASI KEPERAWATAN DI RUANG ICU
PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK (SNH) ini dengan baik. Makalah ini ditulis
untuk memenuhi salah satu tugas Komunikasi Keperawatan II.

Penulis juga berterimakasih kepada kedua orang tua yang selalu mendukung dan
mensuport penulis dalam pembuatan makalah ini, dan tidak lupa kepada rekan dan kerabat
yang selalu mendoakan penulis agar bisa menyelesaikan tugas ini denag baik.

Akhirnya, harapan penulis semoga makalah komunikasi Keperawatan pada Pasien


Stroke Non Hemoragik (SNH) ini bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah berusaha sebisa
mungkin untuk menyelesaikan makalah ini. Namun penulis menyadari makalah ini belumlah
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
guna menyempurnakan makalah ini.

Bekasi, 19 Mei 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasien diruang ICU (Intensive Care Unit) adalah pasien dalam keadaan
gawat yang mengancam kehidupan. Untuk itu perawat diruang ICU cenderung
cepat dan cermat serta kegiatannya dilakukan secara terus menerus dalarn 24 jam.
Perawatan diruang ICU sering menggunakan alat-alat canggih yang asing bagi
pasien maupun keluarga.
Keadaan tersebut dapat menimbulkan krisis dalam keluarga, terutama jika
sumber krisis merupakan stimulus yang belum pernah dihadapi oleh keluarga
sebelumnya. Selain itu peraturan di ICU cenderung ketat, keluarga tidak boleh
menunggu pasien secara terus menerus sehingga hal ini akan menimbulkan
kecemasan bagi keluarga pasien yang dirawat di ICU mengingat keluarga adalah
suatu system terbuka dimana setiap ada perubahan atau gangguan pada salah satu
system dapat mengakibatkan perubahan atau gangguan pada salah satu system
dapat mengakibatkan perubahan atau gangguan bagi seluruh system tersebut.
Keluarga yang mengerti di ICU pun mengalami kecemasan apalagi keluarga yang
tidak mengerti perawatan di ICU akan semakin memperberat kecemasan. Oleh
karena itu kecemasan yang dialami oleh salah satu keluarga mempengaruhi
seluruh keluarga lain (Kusuma, 2007)
McAdam and Puntillo (2009), dalam penelitiannya mengidentifikasi
bahwa sumber kecemasan anggota keluarga di ruang perawatan intensif adalah :
jenis kekerabatan dengan pasien, tingkat pendidikan, tipe perawatan pasien,
kondisi medis pasien, pertemuan keluarga dengan tim perawatan, cara 2
penanggulangan, dan kebutuhan keluarga, terpisah secara fisik dengan
keluarganya yang dirawat diruang ICU, tarif yang mahal, perawat yang kurang
memberi penjelasantentang penyakityang di derita oleh pasien dan mengapa perlu
untuk dirawat di ICU. Waktu kunjungan keluarga terhadap pasien yang dibatasi
oleh peraturan jam kunjungan. Padahal kunjungan keluarga tidak menimbulkan
efek buruk pada stabilitas pasien, atau konsekuensi negatif pada pasien
atau keluarga, bahkan kehadiran keluarga lebih sering memiliki efek positif pada
kondisi pasien (Durant et al., 2007; Roland et al.,2001 dalam Komarudin, 2011)
Bagi keluarga pasien yang berada dalam keadaan kritis (critical care
paients) dalam kenyataannya memiliki stress emosional yang tinggi.
Mendapatkan informasi tentang kondisi medis pasien dan hubungan dengan
petugas pemberi pelayanan merupakan prioritas utama yang diharapkan dan
diperlukan oleh keluarga pasien. Disamping itu perawatan pasien diruang ICU
menimbulkan stress bagi keluarga pasien juga karena lingkungan rumah sakit,
dokter dan perawat merupakan bagian yang asing, bahasa medis yang sulit
dipahami dan terpisahnya anggota keluarga dengan pasien. Untuk itu pelayanan
keperawatan perlu memberikan perhatian untuk memenuhi kebutuhan keluarga
dalam frekuensi, jenis, dan dukungan komunikasi. Sejalan dengan itu, pelayanan
keperawatan juga perlu memahami kepercayaan, niali-nilai keluarga, menghormati
struktur, fungsi, dan dukungan keluarga (Potter & Perry, 2009)
Pelayanan keperawatan menjadi tumpuan bagi pasien dan keluarganya
karena keberadaan perawat yang terus menerus bersama pasien sehingga secara
terus menerus pula bertanggung jawab untuk mempertahankan homeostatis
pasien. Perhatian, rasa percaya, dan dukungan yang diberikan perawat kepada
pasien dan keluarganya menjadi dasar yang membuat hubungan perawat, pasien dan
keluarganya unik dan kuat. Tidak ada pelayanan kesehatan profesional lain yang
mempunyai kesempatan yang konsisten dan sering berinteraksi dengan pasien pada
kerangka kerja yang sama. Pelayanan keperawatan dapat mengusahakan sumber
dukungan yang kuat bagi pasien yang dapat diperoleh dari dukungan keluarga (Hudak
dan Gallo, 2007).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana komunikasi perawat di ruang ICU dengan pasien tidak sadarkan
diri?
2. Bagaimana komunikasi perawat dengan tenaga medis lainnya di ruang ICU?
3. Bagaimana komunikasi perawat dengan keluarga pasien yang berada di ruang
ICU?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui komunikasi perawat di ruang ICU dengan pasien tidak sadarkan
diri.
2. Mengetahui komunikasi perawat dengan tenaga medis lainnya di ruang ICU.
3. Mengetahui komunikasi perawat dengan keluarga pasien yang berada di
ruang ICU.

D. Manfaat Penulisan
1. Agar mengetahui komunikasi perawat di ruang ICU dengan pasien tidak
sadarkan diri.
2. Agar mengetahui komunikasi perawat dengan tenaga medis lainnya di ruang
ICU.
3. Agar mengetahui komunikasi perawat dengan keluarga pasien yang berada di
ruang ICU.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar ICU


1. Definisi
ICU adalah ruang rawat rumah sakit dengan staf dan perlengkapan khusus
ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit, trauma, atau kompliksi
yang mengancam jiwa.
2. Peran ICU
Erat hubungannya dengan rumah sakit didaerah itu agar pelayanan lebih
rasional dan optimalisasi dalam pemakaian sumber daya.
Ada 3 level ICU :
a. Level I di rumah sakit daerah (tipe C dan D)
Pada rumah sakit didaerah yang kecil, disini ICU lebih tepat disebut
dengan unit ketergantungan tinggi (high dependency). Disini
dilakukan observasi perawatan tetap dengan monitor EKG. Resusitasi
segera dapat dikerjakan, tetapi ventilator hanya diberikan kurang dari
24 jam.
b. Level II di rumah sakit tipe B
Mampu melakukan ventilasi jangka lama, punya dokter residen yang
selalu unit ditempat dan mempunyai hubungan dengan fasilita
fisioterapi, patologi dan radiologi. Bentuk fasilititas untuk menunjang
kehidupan (misal dialysis), monitor invasive (monitor tekanan
itraslanial) dan pemeriksaan canggih (CT Scan) tidak perlu rutin ada,
kecuali menunjang peranan rumah sakit (misal sebagai trauma center).
c. Level III di rumah sakit tertier (tipe A)
Biasanya pada rumah sakit tipe A memiliki semua aspek yang
dibutuhkan ICU agar dapat memenuhi peran sebagai rumah sakit
rujukan.
Personil meliputi intesivist dengan trainee, perawat spesialis,
profesioal kesehatan (MRI dan CT Scan) tersedia dengan dukungan
spesialis semua disiplin.
3. Fungsi ICU
Fungsi ICU
Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi :

1. ICU Medik
2. ICU trauma/bedah
3. ICU umum
4. ICU pediatrik
5. ICU neonatus
6. ICU respiratorik
Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu
mengelola pasien yang sakit kritis sampai yang terancam jiwanya. ICU di
Indonesia umumnya berbentuk ICU umum, dengan pemisahan untuk CCU
(Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU. Alasan utama untuk hal ini adalah
segi ekonomis dan operasional dengan menghindari duplikasi peralatan dan
pelayanan dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.

4. Indikasi Masuk Dan Keluar Icu


Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas
sedangkan kebutuhan pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka
diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas. Kepala ICU bertanggung
jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU.

 Kriteria Masuk
1. Golongan pasien prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan
terapi intensif dan tertitrasi seperti: dukungan ventilasi, alat
penunjang fungsi organ, infus, obat vasoaktif/inotropic, obat anti
aritmia. Sebagai contoh pasien pasca bedah kardiotoraksis, sepsis
berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang
mengancam nyawa.
2. Golongan pasien prioritas 2
Golongan pasien memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU,
sebab sangat beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera,
misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial
catheter. Sebagai contoh pasien yang mengalami penyakit dasar
jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat atau pasien yang telah
mengalami pembedahan mayor. Terapi pada golongan pasien prioritas
2 tidak mempunyai batas karena kondisi mediknya senantiasa
berubah.

3. Golongan pasien priorotas 3


Pasien golongan ini adalah pasien kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, yang disebabkan penyakit yang mendasarinya
atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi.
Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada golongan
ini sangat kecil. Sebagai contoh ntara lain pasien dengan keganasan
metastatic disertai penyulit infeksi, pericardial tamponande, sumbatan
jalan nafas, atau pesien penyakit jantung, penyakit paru terminal
disertai kmplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien
golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan
usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi
jantung paru.

4. Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala ICU,
indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan
dengan catatan bahwa pasien golongan demikian sewaktu-waktu
harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas terbatas dapat
digunakan untuk pasien prioritas 1,2,3. Sebagai contoh: pasien yang 
memebuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang
agresif dan hanya demi perawataan yang aman saja, pasien dengan
perintah “Do Not Resuscitate”, pasien dalam keadaan vegetative
permanen, pasien yang ddipastikan mati batang otak namun hanya
karena kepentingan donor organ, maka pasien dapat dirawat di ICU
demi menunjang fungsi organ sebelum dilakukan pengambilan orga
untuk donasi.

 Kriteria Keluar
1. Penyakit pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak
memerluka terapi atau pemantauan yang intensif lebih lanjut.
2. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak
bermanfaat atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi
pada waktu itu pasien tidak menggunakan alat bantu mekanis khusus
(Kemenkes RI, 2011).

B. Komunikasi Terapeutik di ICU

Banyak orang mengira bahwa klien yang berada dalam keadaan tidak sadar di
ruang ICU tidak perlu diajak bicara. Perkiraan ini sama sekali tidak benar, karena
pada keadaan tidak sadar, sesungguhnya klien masih bisa mendengar semua
pembicaraan orang-orang disekitarnya berdasarkan pengalaman seorang perawat
senior yang bertugas di ruang ICU selama lebih dari 15 tahun, klien pernah berkata
bahwa dia mengetahui semua yang terjadi di ruang ICU sewaktu dia tidak sadar.
Menurut hasil penelitian Christopher dkk. (2012) di USA, disimpulkan bahwa
komunikasi yang baik merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan
kualitas pelayanan di ICU.
Dari kasus tersebut, perawat dan tenaga kesehatan lainnya tidak boleh lupa
untuk memberikan perhatian (komunikasi) terhadap klien yang dirawat di ruang ICU.
Berdasarkan systematic review yang diakukan oleh lenore dan ogle (1999) terhadap
komunikasi perawat-klien ruang ICU di australia, ditemukan bahwa komunikasi
perawat diruang ICU masih sangat kurang meskipun mereka memiliki pengetahuan
yang sangat tinggi tentang komunikasi teraupetik. Hal ini dialami oleh teman penulis
ketika anaknya dirawat di ICU rumah sakit K. Dia merasa perawat ICU rumah sakit
tersebut sangat tidak mempertimbangkan perasaannya dan klien ketika
berkomunikasi, serta sangat tidak seportif dan cenderug tidak empati.
Komuniksi diruang ICU merupakan sebuah proses yang membutuhkan banyak
kesabaran, karena kebanyakan klien berada dalam keadaan tidak sadar untuk itu,
perawat jangan merasa bosan untuk mengajak klien berbicara walaupun tidak ada
respon verbal dari klien. Selain itu, perawat sebaiknya perawat melakukan
komunukasi nonverbal seperti sentuhan. Sentuhan yang tepat dapat memberikan
semangat hdup bagi klien.
Komunikasi terapeutik juga sangat penting di ICU, karena perawat sering
dituntut untuk menyampaikan informasi penting yang mungkin sulit diterima oleh
klien atau keluarga (christopher dkk.,2012), seperti keadaan klien yang semakin
memburuk. Banyak perawat yang tidak mau menyampaikan keadaan klien yang
sebenarnya karena perawat ingin menjaga perasaan keluarga agar terus memiliki
harapan (christopher dkk.,2012) sikap seperti ini tidak sepenuhnya benar, karena
bagaimana pun keluarga harus tahu tentang kondisi klien yang sebenarnya. Untuk
menyampaikan berita yang tidak menyenangkan atau berita buruk, perawat perlu
mengetahui terlebih dahulu tentang mekanisme koping dan kesiapan klien atau
keluarga untk menerima informasi tersebut. Setelah itu, sampaikan informasi secara
berhati-hati, sambil memperhatikan respon klien atau keluarga.

C. Komunikasi Perawat dengan Pasien ICU (Pasien tidak Sadar)

Walaupun tidak sadar, klien diruang ICU masih mempunyai kemampuan


mendengar sehingga klien masid dapat merasakan rangsangan dari luar dirinya.
Misalnya, suara orang-orang yang mengajaknya komunikasi, berkomunikasi, suara
alat-alat dan mesin di ICU, dan lain-lain. Respon klien terhadap rangsangan dari luar
tersebut biasanya berupa gerakan halus seperti gerakan jari tangan, ataupun respon
yang berupa luapan emosi (perasaan) seperti tetesan air mata. Tindakan yang harus
dilakukan perawat dalam kondisi seperti ini adalah memegang atau menyentuh tangan
klien, sambil mengungkapkan kata-kata yang memberikan semangat seperti, “saya
yakin ibu/bapa akan mampu melewati semua ini”, atau “kita semua selalu berdoa
untuk kesembuhan ibu/bapa”, tindakan ini bukan merupakan tindakan yang
mengungkapkan perasaan sentimentil atau romantis, tetapi merupakan tindakan
keperawatan mengungkapkan perhatian secara tepat.(Suryani.2015.Komunikasi
Terapeutik : Teori 7 praktik, Ed 2. Jakarta:Buku Kedokteran EGC)
Pasien di ICU agak berbeda dengan pasien di rawat inap biasa, karna pasien
ICU dapat dikatakan ada ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perawat dan
dokternya. Di ICU dapat sakit kritis atau kehilangan kesadaran atau mengalami
kelumpuhan, sehingga segala sesuatu yang terjadi pada diri pasien hanya dapat
diketahui melalui monitoring dan recording yang baik dan teratur. Perubahan yang
terjadi harus di analisis secara cermat untuk mendapatkan tindakan atau pengobatan
yang tepat. (Musliha.2010.Keperawatan gawat darurat. Yogyakarta;Nuha Medika)

D. Komunikasi Perawata dengan Tenaga Medis di Ruang ICU


Komunikasi antara perawat dengan dokter di ruang ICU cenderung lebih
berisiko terjadi kasus-kasus sentinel. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran implementasi komunikasi efektif perawat dengan doker. Pengukuran
frekuensi implementasi komunikasi perawat dengan dokter dilakukan menggunakan
lembar audit teknik komunikasi SBAR dan TBAK, dan survey menggunakan
kuesioner. Hasil penelitian ini ditemukan komponen assesment merupakan
komponen komunikasi SBAR demham frekuensi terendah (21%). Audit teknik
komunikasi TBAK menemukan perawat tidak melakukan konfirmasi kembali (()%)
ketika berkomunikaso dengan dokter melalui. Permasalahan yang dialami perawat
ketika berkomunikasi dengan dokter diantaranya perawat sulit menghubungi dokter
(50%) dan perawat merasa mengganggu dokter sebelum berkomunikasi (50%).
Kebiasaan dokter berkomunikasi dan pembatasan waktu ruangan merupakan situasi
sulit yang sering dialami perawat saat berkomunikasi. Lemahnya kemampuan
perawat berkomunikasi dan belum adanya pembakuan teknik komunikasi adalah
faktor penghambat komunikasi efektif. Pengembangan standar komunikasi efektif
dengan (n=8) dan pelatihan komunikasi bagi tenaga kesehatan (n=7) merupakan 2
solusi terpiih. (jurnal Universitas Kristen Satya Wacana)
E. Komunikasi perawat dengan anggota keluarga di ruang ICU

Karena pasien tidak dapat ditunggu oleh keluarga di dalam ruang ICU
diperlukan komunikasi yang baik antara dokter/perawat ICU dengan keluarga secara
teratur dan konsisten. Harus dijelaskan secara jelas keadaan sebenarnya dari pasien
dengan bahasa sederhana saat masuk atau bilamana ada perubahan keadaan pasien.
Bila keadaan pasien dalam keadaan sakartul maut, keluarga dapat dipersilahkan
masuk untuk melakukan ritual agama tertentu. Keluarga yang penuh kecemasan takut
kehilangan keluarga, penolakan terhadap penyakit yang menimpa, perasaan tidak
percaya, rasa berdosa atau rasa marah perlu mendapatkan pendekatan yang baik dari
petugas ICU.

Ada tahapan yang dapat dijadikan panduan untuk menyampaikan kabar buruk
kepada keluarga pasien:

1. Kontak pertama dengan keluarga sebaiknya dilakukan secara langsung,


namun jika anggota keluarga tidak berada di rumah sakit kontak dapat
dilakukan melalui telepon dengan meminta keluarga datang ke rumah sakit
segera.
2. Ajak keluarga pasien ke ruangan yang lebih tenang, hindari
menyampaikan kabar buruk di koridor rumah sakit.
3. Kabar buruk lebih baik disampaikan kepada anggota keluarga pasien
yang sudah mengetahui riwayat penyakit pasien (jika memungkinkan).
4. Berita kematian disampaikan dengan menyebutkan nama pasien dan
menggunakan kata-kata yang sederhana dan jelas yakni meninggal,
hindari penggunaan kata seperti “tidak bersama kita lagi, pergi” .
5. Untuk membantu keluarga pasien memahami berita kematian, dapat
dikaitkan dengan keadaan pasien sebelum masuk ICU seperti “aldo
mengalami kecelakaan, terluka parah dan tidak sadarkan diri ketika
ditemukan ditempat kejadian, terlepas dari usaha yang dilakukan oleh
tim dokter, aldo meninggal dunia”.
6. Berdiam sejenak bersama keluarga pasien dan lakukan gestur yang
menunjukan empati
7. Memberikan apresiasi terhadap usaha keluarga pasien dalam mencari
pengobatan dapat meringankan keluarga pasien yang mungkin merasa
bersalah.
F. Proses Komunikasi Terapeutik
1. Tahap pra interaksi
Perawat diruang ICU atau ICCU melakukan prainteraks dengan preconference
yang bertujuan untuk memahami kondisi pasien. Informasi yang didapatkan dari
pasien sebagaia acua dalam menangani pasien, baik dari segi kondisi pasien,
perilaku, kepercayaan dan pendidikan. Perawat dalam melakukan tugasnya,
selalu bersikap profesional, tidak melibatkan masalah pribadi dala pekerjaannya.
2. Tahap perkenalan ICU atau ICCU melakukan tahap perkenalan terhadap pasien
dan keluarga pasien, ha tersebut membuat pasien merasa nyaman dan senang
dengan keramahan yang diberikan oleh perawat. Keramahan dan rasa nyama
memunculkan sikap pasien yang terbuka memudahkan perawat dalam melakukan
tindakan keperawatan. Rasa nyaman yang dirasakan mampu menurunkantingkat
kecemasan.
3. Tahap orientasi
Pada tahap ini perawat menyampaikan kepada pasien tindakan keperawatan yang
dilakukan, menjelaskan prosedur, tujuan tindakan dan menanyakan perasaan
klien bertujuan mengetahui kondisi klien.
4. Tahap kerja
Perawat bersikap baik dalam melakukan tindakan seperti berinteraksi, tersenyum
dan bertutur kata halus seta melakukan tindakan keperawatan sesuai prosedur
mampu membuat pasien merasa nyaman. Rasa nyama pada pasien mempermudah
perawat dalam mengatasi masalah yang dialami oleh pasien.
5. Tahap terminasi
Dimana perawat akan memberhentikan interaksi dengan klien, tahap ini bisa
merupakan tahap perpisahan atau terminasi sementara ataupun perpisahan atau
terminasi akhir tugas perawat pada tahap ini adalah membina realitas tentang
perpisahan, meninjau kemampuan terapi dan pencapaian tujuan-tujuan, serta
menggali secara timbal balik perasaan penolakan, kesedihan dan kemarahan serta
perilaku yang terkait lainnya.

G. Hambatan Komunikasi Terapeutik di Ruang ICU

H. Konflik peran
I. Hal ini diungkapkan oleh
seluruh
J. informan bahwa 10
perawat yang
K. Informan
L. Jenis Kelamin
M. Usia
N. Pendidikan
O. Lama Bekerja di ICU
P. 1
Q. 2
R. 3
S. 4
T. 5
U. 6
V. 7
W. 8
X. 9
Y. 10
Z. Laki-Laki
AA. Perempuan
BB. Perempuan
CC. Perempuan
DD. Perempuan
EE. Laki-Laki
FF. Laki-Laki
GG. Laki-Laki
HH. Laki-Laki
II. Perempuan
JJ. 26 tahun
KK. 37 tahun
LL. 38 tahun
MM. 39 tahun
NN. 36 tahun
OO. 40 tahun
PP. 39 tahun
QQ. 29 tahun
RR. 33 tahun
SS. 32 tahun
TT. D3 Keperawatan
UU. D3 Keperawatan
VV. D3 Keperawatan
WW. D3 Keperawatan
XX. D3 Keperawatan
YY. D3 Keperawatan
ZZ. D3 Keperawatan
AAA. D3 Keperawatan
BBB. D3 Keperawatan
CCC. D3 Keperawatan
DDD. 6 tahun
EEE. 6 tahun
FFF. 5 tahun
GGG. 8 tahun
HHH. 3 tahun
III. 4 tahun
JJJ. 5 tahun
KKK. 4 tahun
LLL. 7 tahun
MMM. 3 tahun
NNN. Tabel 1. Karakteristik
responden
OOO. Arumsari,!D.P.,!Emaliyawati,!
E.,!&!Sriati,!A!
PPP. Jurnal!Pendidikan!
Keperawatan!Indonesia.!
2016;2(2):104–114!
107!
QQQ. diwawancara
menyatakan tidak enak dan
RRR. menjadi malas saat
berkomunikasi dengan
SSS. keluarga pasien
dikarenakan keluarga pasien
TTT. terkadang bersikap jutek
seperti yang
UUU. diungkapkan oleh
beberapa informan di
VVV. bawah ini.
WWW. “……. cuma ya jadi
males ke kitanya
XXX. gitu kan nggak enak
kan ya ngomong sama
YYY. orang tapi mukanya jutek
gitu” (P2)
ZZZ. “……. ya jadi nggak
enak aja gitu ke
AAAA. kitanya juga kadang
suka rada males tapi ya
BBBB. mau gimana lagi kan
da tugas perawat kan
CCCC. emang gitu jadi kalo
ada yang nggak enak
DDDD. yaudah” (P3)
EEEE. “…….. kadang ke
kitanya jadi ikutan
FFFF. BT juga ……“ (P7)
GGGG. Dilema komunikasi
yang dirasakan oleh
HHHH. perawat tidak hanya
terkait sikap yang
IIII.ditunjukkan oleh keluarga
pasien saat
JJJJ. berhadapan dengan
mereka saja melainkan juga
KKKK. kondisi psikologis dan
fisik mereka seperti
LLLL.ketika mereka sedang
lelah atau saat sedang ada
MMMM. masalah pribadi
terkadang perawat sering
NNNN. melupakan
penampilannya saat
berkomunikasi
OOOO. dengan keluarga
pasien. Hal tersebut tentunya
PPPP. dapat menjadi
penghambat perawat dalam
QQQQ. berkomunikasi dengan
keluarga pasien.
RRRR. Beberapa informan
menyatakan adanya kondisi
SSSS. dimana terkadang
mereka sering melupakan
TTTT.penampilan mereka di
depan keluarga pasien
UUUU. seperti yang
diungkapkan oleh 4 orang
dari 10
VVVV. informan yang
diwawacara
WWWW. “Kalo lupa
senyum
1. Konflik peran
2. Faktor Demografi Keluarga
3. Usia
4. Ekonomi
5. Kesalahpahaman

baca lengkap disini

https://www.researchgate.net/publication/322760246_HAMBATAN_KOMUNIKASI_EFEKTIF_PERAWAT
_DENGAN_KELUARGA_PASIEN_DALAM_PERSPEKTIF_PERAWAT

6. Dilema komunikasi yang


dirasakan oleh
7. perawat tidak hanya terkait
sikap yang
8. ditunjukkan oleh keluarga
pasien saat
9. berhadapan dengan mereka
saja melainkan juga
10. kondisi psikologis dan fisik
mereka seperti
11. ketika mereka sedang lelah
atau saat sedang ada
12. masalah pribadi terkadang
perawat sering
13. melupakan penampilannya
saat berkomunikasi
14. dengan keluarga pasien.
Hal tersebut tentunya
15. dapat menjadi penghambat
perawat dalam
16. berkomunikasi dengan
keluarga pasien.
17. Beberapa informan
menyatakan adanya kondisi
18. dimana terkadang mereka
sering melupakan
19. penampilan mereka di
depan keluarga pasien
20. seperti yang diungkapkan
oleh 4 orang dari 10
21. informan yang diwawacara
22. Dilema komunikasi yang
dirasakan oleh
23. perawat tidak hanya terkait
sikap yang
24. ditunjukkan oleh keluarga
pasien saat
25. berhadapan dengan mereka
saja melainkan juga
26. kondisi psikologis dan fisik
mereka seperti
27. ketika mereka sedang lelah
atau saat sedang ada
28. masalah pribadi terkadang
perawat sering
29. melupakan penampilannya
saat berkomunikasi
30. dengan keluarga pasien.
Hal tersebut tentunya
31. dapat menjadi penghambat
perawat dalam
32. berkomunikasi dengan
keluarga pasien.
33. Beberapa informan
menyatakan adanya kondisi
34. dimana terkadang mereka
sering melupakan
35. penampilan mereka di
depan keluarga pasien
36. seperti yang diungkapkan
oleh 4 orang dari 10
37. informan yang diwawacara
38. Dilema komunikasi yang
dirasakan oleh
39. perawat tidak hanya terkait
sikap yang
40. ditunjukkan oleh keluarga
pasien saat
41. berhadapan dengan mereka
saja melainkan juga
42. kondisi psikologis dan fisik
mereka seperti
43. ketika mereka sedang lelah
atau saat sedang ada
44. masalah pribadi terkadang
perawat sering
45. melupakan penampilannya
saat berkomunikasi
46. dengan keluarga pasien.
Hal tersebut tentunya
47. dapat menjadi penghambat
perawat dalam
48. berkomunikasi dengan
keluarga pasien.
49. Beberapa informan
menyatakan adanya kondisi
50. dimana terkadang mereka
sering melupakan
51. penampilan mereka di
depan keluarga pasien
52. seperti yang diungkapkan
oleh 4 orang dari 10
53. informan yang diwawacara

Konflik peran
Hal ini diungkapkan oleh
seluruh
informan bahwa 10 perawat
yang
Informan
Jenis Kelamin
Usia
Pendidikan
Lama Bekerja di ICU
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Laki-Laki
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Perempuan
26 tahun
37 tahun
38 tahun
39 tahun
36 tahun
40 tahun
39 tahun
29 tahun
33 tahun
32 tahun
D3 Keperawatan
D3 Keperawatan
D3 Keperawatan
D3 Keperawatan
D3 Keperawatan
D3 Keperawatan
D3 Keperawatan
D3 Keperawatan
D3 Keperawatan
D3 Keperawatan
6 tahun
6 tahun
5 tahun
8 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
4 tahun
7 tahun
3 tahun
Tabel 1. Karakteristik responden
Arumsari,!D.P.,!Emaliyawati,!E.,!&!
Sriati,!A!
Jurnal!Pendidikan!Keperawatan!
Indonesia.!2016;2(2):104–114!
107!
diwawancara menyatakan tidak
enak dan
menjadi malas saat
berkomunikasi dengan
keluarga pasien dikarenakan
keluarga pasien
terkadang bersikap jutek seperti
yang
diungkapkan oleh beberapa
informan di
bawah ini.
“……. cuma ya jadi males ke
kitanya
gitu kan nggak enak kan ya
ngomong sama
orang tapi mukanya jutek gitu”
(P2)
“……. ya jadi nggak enak aja
gitu ke
kitanya juga kadang suka rada
males tapi ya
mau gimana lagi kan da tugas
perawat kan
emang gitu jadi kalo ada yang
nggak enak
yaudah” (P3)
“…….. kadang ke kitanya jadi
ikutan
BT juga ……“ (P7)
Dilema komunikasi yang
dirasakan oleh
perawat tidak hanya terkait sikap
yang
ditunjukkan oleh keluarga pasien
saat
berhadapan dengan mereka saja
melainkan juga
kondisi psikologis dan fisik
mereka seperti
ketika mereka sedang lelah atau
saat sedang ada
masalah pribadi terkadang
perawat sering
melupakan penampilannya saat
berkomunikasi
dengan keluarga pasien. Hal
tersebut tentunya
dapat menjadi penghambat
perawat dalam
berkomunikasi dengan keluarga
pasien.
Beberapa informan menyatakan
adanya kondisi
dimana terkadang mereka sering
melupakan
penampilan mereka di depan
keluarga pasien
seperti yang diungkapkan oleh 4
orang dari 10
informan yang diwawacara
“Kalo lupa seny Konflik peran
BAB III

KASUS

Pasien Nn.Z berusia 65 tahun di bawa ke ICU RS Internasional of Oxford


Indonesia dengan kodisi tidak sadarkan diri, keluarga pasien mengatakan pasien
tertidur selama 24 jam ketika keluarga pasien membangunkan pasien tidak ada
respon. Sebelum tidur pasien mengalami pusing, kehilangan keseimbangan, dan
kesulitan bergerak. pasien mempunyai riwayat hipertensi. Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan. Tingkat kesadaran 3 dan tanda-tanda vitalnya, Nadi 92x/menit, Respirasi
26x/menit, suhu 37^0C dan TD 140/100 mmHg. Hasil laboratorium Hb 13,9,
Kolestrol 236 mg/dl, HDL 49 mg/dl, LDL 164 mg/dl. Setelah mendapatkan intensif
perawatan selama 2 hari di ruang ICU pasien belum ada perkembangan sama sekali,
sehingga keluarga pasien marah-marah kepada petugas kesehatan yang menangani
pasien Nn.Z. keluarga pasien menuntut kepada perawat bahwa ruangan ICU yang di
tempati oleh pasien Nn.Z kurang nyaman, selain itu keluarga selalu menanyakan
berbagai macam jenis obat kepada perawat ketika perawat hendak memberikan
pengobatan.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Komunikasi dengan Pasien Stroke Non Hemoragik (SNH) di ICU


Menurut Dale G. Leathers (1976) yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat,
menyebutkan enam alasan mengapa pesan nonverbal sangat penting.
Pertama, faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi
interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, kita banyak
menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan nonverbal. Pada
gilirannya orang lain pun lebih banyak “membaca” pikiran kita lewat petunjuk-
petunjuk nonverbal. Menurut Birdwhistell,”barangkali tidak lebih dari 30% sampai
35% makna sosial percakapan atau interaksi dilakukan dengan kata-kata.” Sisanya
dilakukan dengan pesan nonverbal. Mehrabian, penulis The Silent Message, bahkan
memperkirakan 93% dampak pesan diakibatkan oleh pesan nonverbal. Dalam
konteks ini juga kita dapat memahami mengapa kalimat-kalimat yang tidak lengkap
dalam percakapan masih dapat diberi arti. Anda maklum apa yang dimaksud oleh
rekan anda ketika ia melukiskan kecantikan seorang wanita dengan kalimat yang
tidak selesai,
”Pokoknya…….,” ketika anda melihat gerak kepala, tubuh dan tangannya.
Kedua, perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal
ketimbang pesan verbal. Bagaimana harus anda tuliskan dalamsurat Anda getaran
suara, tarikan napas, kesayuan mata, dan detak jantung? Meurut Mahrabian (1967),
hanya 7% perasaan kasih sayang dapat dikomunikasikan dengan kata-kata.
Selebihnya, 38% dikomunikasikan lewat suara, dan 55% dikomunikasikan melalui
ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan sebagainya).
Ketiga, pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas
dari penipuan, distorsi dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh
komunikator secara sadar. Sejak Zaman Prasejarah, wanita selalu mengatakan
“tidak” dengan lambang verbal, tetapi pria jarang tertipu. Mereka tahu ketika “tidak”
diucapkan, seluruh anggota tubuhnya mengatakan “ya”. Dalam situsi yang “double
binding” ketika pesan nonverbal bertentangan dengan pesan verbal orang bersandar
pada pesan nonverbal.
Keempat, pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat
diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi
metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud
dan makna pesan. Diatas telah disebutkan bahwa pesan nonverbal mempunyai fungsi
repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen dan aksentuasi. Semua ini menambah
kadar informasi dalam penyampaian pesan.
Kelima, pesan nonverbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih efisien
dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak
efisien. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengunkapkan pikiran kita secara
verbal daripada secara nonverbal. Keenam, pesan nonverbal merupakan sarana
sugesti yang paling tepat. Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk
mengungkapkan gagasan atau emosi secara tidak langsung. Sugesti disini
dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (tersirat).
Sugesti paling efektif disampaikan melalui pesan nonverbal.

B. Komunikasi Terapeutik Pada Keluarga Yang Marah-Marah, Komplain, Dan


Rewel Di Ruang Icu
1. Teknik Berkomunikasi Terapeutik untuk Mengatasi Keluarga Marah
Ruang konsultasi bisa jadi selalu penuh dengan emosi, khususnya dari pasien.
Ketika pasien tidak bisa mengontrol emosi, dokter dan perawat terkadang perlu
mengatasinya dengan komunikasi terapeutik. Berikut beberapa tips bagaimana Anda
bisa menangani pasien atau anggota keluarga pasien yang marah.

a. Siaplah untuk menghadapi emosi yang beragam


Ketika menghadapi orang sakit, Anda mungkin akan menemukan berbagai
reaksi emosi. Sesaat setelah mulai bekerja, Anda perlu mempersiapkan diri
untuk menghadapi ketidaknyamanan yang mungkin muncul. Anda juga perlu
mengidentifikasi kapan sesuatu akan berubah menjadi buruk, berdasarkan
bahasa tubuh pasien
b. Tunjukkan empati
Ketika ada pasien marah, cara terbaik menghadapinya adalah mendengarkan
dan menunjukkan empati daripada ikut berdebat dan berargumen. Sulit
mengetahui akar penyebab kemarahan, bisa jadi karena mereka sedang
kesakitan, ketakutan, atau hal lain. Perawat perlu tetap sabar dan
mendengarkan keluhan pasien mereka, meskipun kadang tidak masuk akal.
Agar bisa melakukannya, cobalah posisikan diri Anda di posisi mereka dan
rasakan sakit yang mereka rasakan. Anda mungkin tidak perlu menghiraukan
ketika mereka mengeluarkan kata-kata kasar ke diri Anda
c. Hati-hati dalam berbicara
Kata-kata dokter bisa dijadikan alat oleh pasien. Dalam situasi marah, dokter
perlu berhati-hati saat berbicara, sehingga tidak memperparah situasi. Kata-
kata memiliki kekuatan, jadi daripada memperpanas kemarahan, Anda
mungkin bisa membiarkan pasien Anda mencurahkan dan menyampaikan
perasaan mereka. Dengan cara bicara
d. Jangan menghiraukan perasaan mereka
Tidak ada pasien marah yang suka dihiraukan oleh dokter atau perawat.
Tenaga kesehatan justru perlu memberi perhatian khusus ke pasien ini. Cara
Anda menunjukkan respek akan menunjukkan kepedulian Anda terhadap
situasi yang sedang mereka hadapi. Ini juga bisa dianggap sebagai
perlindungan diri, untuk mencegah keluhan atau komentar negatif di media
sosial.
e. Hiburlah mereka
Jika Anda telah berusaha meredakan amarah pasien dan tidak berhasil,
biarkan saja pasien marah. Tidak ada orang yang sempurna, dan jika
pasien ingin marah, biarkan mereka sedikit marah, karena Anda tahu Anda
telah memberi yang terbaik dan Anda tahu tidak Ada lagi yang bisa Anda
lakukan. Ingatlah untuk tetap tenang dan berusaha menghibur mereka, dan
sampaikan bahwa Anda memahami perasaan mereka. Biarkan
keberuntungan, pelampiasan, dan waktu - akan menyelesaikannya.

2. Teknik Berkomunikasi Terapeutik untuk Mengatasi Keluarga Komplain


Rumah sakit harus memiliki sistem yang baik dalam menangani
complain yang ada. Harus mendapat kebijalkan yang menaungi proses
merespon complain ini yang kemudian pelaksanaannya akan nyata dalam
bentuk standar prosedur oprasional (SPO).
a. Pemberitahuan hak-hak pasien
Saat pasien masuk ke rawat inap, sudah seharusnya mereka menerima
penjelasan mengenai hak-hak mereka sebagai pasien. Sebagai salah satu
hak pasien, mereka harus diberi tahu bahwa mereka diperbolehkan untuk
mengajukan complain mengenai perawat mereka dan pengjuan complain
tersebut tidak akan mempengaruhi proses perawatan selanjutnya.
b. Proses penanganan complain
Rumah sakit sebaiknya membentuk tim khusus penanganan complain
ketika akan membuat kebijakan serta sistem menejemen complain. Tim
tersebut terdiri dari petugas administrasi, staff pendamping pasien, manager
resiko, manager mutu, tim hukum dan perawat/staff lain yang berhubungan
langsung dengan pasien.
c. Respon tertulis
Ketika complain yang diajukan sudah dapat diselesaikan, rumah sakit
harus memberikan respon tertulis kepada pasien yang berisikan tindakan-
tindakan investigasi yang sudah dilakukan.
d. Keluhan/complain dan peningkatan mutu
Ruumah sakit sebaiknya mengumpulkan setiap keluhan/complain yang
masuk bersama dengan respon tertulis yang diberikan, sebagai bagian dai
program penilaian dan peningkatan mutu.

3. Teknik Berkomunikasi Terapeutik untuk Mengatasi Keluarga Rewel

a. Mendengarkan apa yang menjadi keluhan keluarga pasien


b. Diam (mengolah pikiran apa yang di keluhkan oleh keluarga)
c. Menjawab dengan kata-kata yang hati-hati
d. Bersabar ketika menghadapi keluarga pasien yang rewel
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemampuan menerapkan teknik komunikasi terapeutik memerlukan latihan
dan kepekaan serta ketajaman perasaan, karena komunikasi terjadi tidak dalam
kemampuan tetapi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi
keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien dan
juga kepuasan bagi perawat. Komunikasi juga akan memberikan dampak terapeutik
bila dalam penggunaanya diperhatikan sikap dan tehnik komunikasi terapeutik. Hal
lain yang cukup penting diperhatikan adalah dimensi hubungan. Dimensi ini
merupakan factor penunjang yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan
kemampuan berhubungan terapeutik.

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman sudi memberikan kritik dan saran yang  membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan- kesempatan
berikutnya.
Semoga makalah ini  berguna bagi penulis pada khususnya juga para  pembaca yang
budiman pada umumnya.
Daftar Pustaka

 https://www.google.com/search?
safe=strict&ei=KJDjXNNOiYW9BK2ck9gI&q=hubungan+komunikasi+dengan+tingkat+kece
masan+pada+keluarga&oq=hubungan+komunikasi+dengan+tingkat+kecemasan+pada+ke
luarga&gs_l=psy-ab.3..33i22i29i30l2.53276.88100..88316...1.0..6.7291.31013.3-1j2j1j1j9-
4......0....1..gws-wiz.....6..0i71j35i39.oj7Gboc1ZoQ
 Dalami,Ermawati.2009. Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Jakarta : TransInfo
Media
 Nurhasanah, Nunung. (2010). Ilmu komunikasi dalam konteks keperawatan.
Jakarta : Trans Info Media.
 https://wijanarkosite.wordpress.com/2016/01/01/makalah-komunikasi-terapeutik/
 http://nailalcantik.blogspot.com/2017/12/makalah-komunikasi-terapeutik.html
 https://www.researchgate.net/publication/322760246_HAMBATAN_KOMUNIKASI_EFEK
TIF_PERAWAT_DENGAN_KELUARGA_PASIEN_DALAM_PERSPEKTIF_PERAWAT
Roleplay

A.    Tahap Pra-interaksi
1.      Mempersiapkan :
-          Topik                           : Pemberian obat melalui injeksi IV pada pasien koma yang
menderita SNH.
-          Subtopik                      : Menyembuhkan pasien.
-          Tujuan jangka panjang : Setelah dilakukan tindakan, diharapkan beberapa lama
kemudian pasien sadar dan kembali seperti keadaan semula.
-          Tujuan jangka pendek  : Tidak terjadi penurunan kestabilan dan kesadaran.
-          Sasaran                          : Pasien koma.
-          Tempat                          : Di R.S. International of Oxford Indonesia.
-          Waktu                           : 5 menit.
2.      Karakteristik Klien :
-          Nama                           : Nn. Z.
-          Umur                           : 65 tahun.
-          Jenis kelamin               : Perempuan.
-          Kondisi                       : Menderita koma selama enam bulan.
-          Riwayat Penyakit        : Seorang pasien yang bernama Nn. Z adalah kakak dari Ny.
B, sebelumnya Nn. z pernah dirawat dirumah sakit dengan keadaan koma dan
sekarang harus dirawat lagi di RS International of Oxford Indonesia.di tempatkan
diruang ICU.
-          Keadaan umum           : Pasien masuk RS International of Oxford Indonesia.
dengan keadaan koma.

B.     Tahap Orientasi :
Perawat       : Selamat pagi Bu.
Keluarga     : Selamat pagi Ners.
Perawat      : Bagaimana kabar Nn. Z Bu?
Keluarga      : Ya begitulah Ners, seperti biasanya masih belum ada perkembangan.
Kakak saya masih belum sadar, padahal Dokter bilang beliau sudah melewati masa
kritis. Tapi kenapa kakak saya belum sadar ya Ners?
Perawat            : Sabar ya Bu, lebih baik Ibu banyak berdoa agar Nn. Z segera sadar dan
bisa berkumpul dengan keluarga seperti dulu.
Keluarga           : Amin, tapi kira-kira sampai berapa lama Ners?
Perawat            : Kalau masalah itu saya belum bisa memastikan Bu, tapi yang pasti
kami akan berusaha merawat Nn. Z sebaik mungkin untuk  membantu proses
penyembuhan. Ibu, hari ini saya akan memberikan obat pada Nn. Z, nanti Nn. Z
akan disuntik menggunakan obat ini. (sambil menunjukkan obatnya)
Apakah saya di perbolehkan memberi obat ini pada Nn. Z?

Keluarga          : Silahkan Ners, lakukan yang terbaik untuk kakak saya.

   Lalu perawat masuk ke ruang ICU, kemudian mempersiapkan alat untuk injeksi.
Perawat           : Selamat pagi ibu, perkenalkan saya perawat Sinta yang akan merawat
Ibu hari ini. Bapak  hari ini saya akan memberikan obat melalui injeksi IV. (sambil
menyentuh pasien)

C.     Tahap Kerja
Perawat           : ibu, saya akan menyuntikkan obatnya sekarang ya? (Sambil menyentuh
pasien), Bismillah.

D.    Tahap Terminasi
  Beberapa menit kemudian perawat telah selesai melakukan tindakan.
Perawat           : ibu saya sudah selesai memberi obat pada ibu, semoga obat yang saya
masukan bisa membantu bapak agar cepat sembuh dan segera bertemu dengan
keluarga ibu, karena keluarga ibu sudah ingin bertemu dengan ibu lagi. (sambil
menyentuh dan menghadap pasien)
Perawat           : Baik ibu, karena saya sudah selesai memberi tindakan, saya pamit dulu
ya? Permisi ibu.

  Perawat keluar dari ruangan dan kembali bertemu dengan keluarga pasien.
Keluarga          : Bagaiman keadaan kaka saya Ners?
Perawat           : Kondisi kakak Ibu stabil, akan tetapi masih belum ada perkembangan
yang menunjukkan tanda-tanda sadar. Ibu tetap sabar, banyak berdoa untuk
kesembuhan Nn.Z. Kalau Ibu tidak pantang menyerah, pasti akan membawa dampak
positif pada kesehatan Nn. Z.
Keluarga          : Baik Ners, saya ingin kakak saya segera sadar dan bisa berkumpul
dengan keluarga lagi.
Perawat           : Kalau begitu saya permisi dulu ya Bu? Kalau Ibu membutuhkan
bantuan saya atau perawat yang lain, silahkan datang ke nursestation ya? Semoga
Nn. Z cepat sembuh, Assalamualaikum.
Keluarga          : Amin, terimakasih Ners. Waalaikumsalam.
Selama 2 hari pasien mendapatkan intensif di ruang ICU, pasien tidak
mengalami perkembangan, seperti tingkat kesadarannya tidak ada
peningkatan melainkan penurunan.. Keluarga pasien memasuki ruang
konsultasi.

Keluarga : ners, bagaimana ini kok kakak saya sudah 2 hari belum juga sadarkan
diri?

Perawat : iya ibu selamat pagi, tadi ada apa ibu?

Keluarga : ini bagaimana kakak saya kok sudah 2 hari masih belum sadar juga di
ruang ICU?

Perawat : maaf ibu sebelumnya ibu dari keluarga pasien atas nama siapa ya ibu?

Keluarga : saya keluarga pasien atas nama Nn.Z yang dirawat di ruang ICU sejak 2
hari kemarin , ko kakak saya belum ada perkembangan sama sekali, selain itu tidak
sadarkan diri padahal sudah 2 hari di rawat di ruang ICU, eh ners saya perhatikan di
ruangan ICU itu kurang nyaman bagi kakak saya, ruanag ICU yang terdiri dari
beberapa pasien itu membuat ketidaknyaman pasien ners harus tau itu, saya disini
bayar mahal, saya bawa kakak saya karena saya pikir ini rumah sakit internasional,
tapi apa nyatanya kakak saya malah di satukan dengan beberapa pasien di ruang
ICU, selain itu saya juga sering tanya kepada ners obat apa yang di berikan kepada
kakak saya, saya sudah rewel kepada ners, tapi itu semua tidak ada hasilnya.

Perawat : oh iya ibu, dengan pasien Nn.Z di ruang ICU nomor bed 02 ya ibu. Ibu
pasien Nn. Z mengalami penurunan kesadaran ibu karena pasien Nn.Z tidak ada
respon apapun setelah perawat melakukan tindakan kepada pasien Nn.Z ibu, untuk
lebih jelasnya ibu saya akan mengantarkan ibu kepada dokter yang menangani
pasien Nn.Z untuk memberikan penjelesan yang lengkap mengenai penyakit Nn.Z
kepada ibu. Ibu yang sabar ya pasti Nn.Z akan sembuh kembali dengan bantuan dari
tenaga kesehatan dan itu akan lebih berhasil lagi apabila ibu selalu mendoakannya,
semua penyakit yang diberikan tuhan pasti ada obatnya, ibu jangan terlalu terlalut
dalam kesedihan ibu harus memberikan kekuatan kepada Nn.Z dengan selalu
medoakannya dan kami akan selalu memberikan pelayanan kami semaksimal
mungkin. Sebaiknya ibu harus selalu sabar dan berdoa.

Anda mungkin juga menyukai