Anda di halaman 1dari 42

HUBUNGAN AKSES KE POSYANDU DAN TINGKAT KEMANDIRIAN

DENGAN KEAKTIFAN LANSIA DALAM MENGIKUTI

POSYANDU LANSIA

DI WILAYAH KERJA UPT PUSKESMAS SUMBERMANJING KULON

Oleh:

Tri Ayu Novembrianti

2123023

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

PROGRAM SARJANA ALIH JALUR

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini

dengan judul “Hubungan Akses ke Posyandu dan Tingkat Kemandirian dengan

Keaktifan Lansia dalam Mengikuti Posyandu Lansia” sebagai salah satu persyaratan

Akademis dalam mengikuti ujian akhir program.

Dalam penulisan proposal skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan

pengarahan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Riza Fikriana, S.Kep, Ns., M.Kep Selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Kepanjen Kabupaten Malang

2. Ibu Faizatur Rohmi, S.Kep, Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi Program

Sarjana.

3. Ibu Wiwit Dwi N, S.Kep, Ns., M.Kep, selaku Dosen Pembimbing dalam

penelitian ini yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,

kesabaran dan pengarahan kepada penulis.

4. Kepala UPT Puskesmas Sumbermanjing Kulon, dr.Cynthia Aristi

5. Kepada Kader dan Lansia di Posyandu Lansia di wilayah kerja UPT Puskesmas

Sumbermanjing Kulon

6. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang juga telah

membantu penulisan dalam penyusunan proposal skripsi Penelitian

Peneliti menyadari didalam penyusunan proposal skripsi ini ini mungkin jauh

dari sempurna oleh karena itu peneliti mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan.

Akhirnya peneliti berharap semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca dan bagi penulis pada khususnya. Amin.

BAB I
Kepanjen. 11 Desember 2021
PENDAHULUAN
Penulis

1.1 LATAR BELAKANG


Tri Ayu Novembrianti
Pada Sensus Penduduk tahun 2020
NIM. 2123023
jumlah Lanjut Usia di Indonesia sebanyak

26.841.922 (9,93%) jiwa dari total jumlah

penduduk 270.203.917 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2020). Dan diperkirakan akan terus

meningkat dimana tahun 2035 menjadi 48,2 juta jiwa (15,77%). Menurut data dari BPS

tahun 2020 jumlah Lanjut Usia di Jawa Timur sebanyak 5.314.698 jiwa. Kemudian jumlah

Lanjut Usia tahun 2020 di wilayah kerja UPT Puskesmas Sumbermanjing Kulon sebagai

berikut, Desa Sumbermanjing Kulon 3.923 jiwa, Desa Pandanrejo 616 jiwa, Desa Sempol

2.401 jiwa dan Desa Sumberkerto 768 jiwa.

Definisi Lansia menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Bab 1 Pasal 1 Ayat 2

tentang kesejahteraan lanjut usia (lansia), seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

(enam puluh) tahun keatas. Penelitian menurut Efendi (2013), menyatakan lansia merupakan

kelompok usia 60 tahun keatas yang dimana rentan terhadap kesehatan fisik dan mental.

Lansia akan mengalami proses penuaan atau “aging” yang merupakan tahap lanjut dari

proses kehidupan seseorang yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk

beradaptasi dengan stress lingkungan. Penurunan kemampuan seorang lansia meliputi organ

dan fungsi system tubuh yang bersifat alamiah atau fisiologis.


Salah satu upaya Pemerintah dalam menyediakan fasilitas kesehatan dan

penyelenggaraan upaya kesehatan antara lain adalah dengan mengadakan posyandu.

Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah

tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa

mendapatkan pelayanan kesehatan. Posyandu lansia merupakan pengembangan dari

kebijakan pemerintah melalui pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraan-nya

melalui program puskesmas dan dalam penyelenggaraannya melibatkan peran serta para

lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial (Depkes RI, 2003).

Berbagai kegiatan dan program posyandu lansia tersebut sangat baik dan banyak

memberikan manfaat bagi para lansia di wilayahnya. Seharusnya para lansia berupaya

memanfaatkan adanya posyandu tersebut sebaik mungkin, agar kesehatan para lansia dapat

terpelihara dan terpantau secara optimal. Lansia yang tidak aktif dalam memanfaatkan

pelayanan kesehatan di posyandu lansia, maka kondisi kesehatan mereka tidak dapat

terpantau dengan baik, sehingga apabila mengalami suatu resiko penyakit akibat penurunan

kondisi tubuh dan proses penuaan dikhawatirkan dapat berakibat fatal dan mengancam jiwa

mereka (Maryam dkk, 2008).

Kegiatan posyandu lansia yang berjalan dengan baik akan memberi kemudahan bagi

lansia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, sehingga kualitas hidup masyarakat di

usia lanjut tetap terjaga dengan baik dan optimal. Penyuluhan, senam dan sosialisasi tentang

manfaat posyandu lansia perlu terus ditingkatkan dan perlu mendapat dukungan berbagai

pihak, baik keluarga, pemerintah maupun masyarakat itu sendiri (Maryam dkk, 2008).

Masalah utama bagi lanjut usia adalah pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan,

oleh karena itu perlu dikembangkan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan upaya

peningkatan, pencegahan, dan pemeliharaan kesehatan disamping upaya penyembuhan dan

pemulihan. Langkah-langkah konkrit yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan


dalam rangka peningkatan derajat kesehatan lanjut usia untuk mencapai lanjut usia yang

sehat, mandiri, aktif, produktif dan berdaya guna bagi keluarga dan masyarakat adalah

dengan pemanfaatan Posyandu Lansia

Tidak semua kelompok lanjut usia memanfaatkan Posyandu Lansia dalam hal asuhan

kesehatan lansia dan permasalahannya, karena akses ke Posyandu Lansia yang jauh, medan

yang sulit dan tidak ada yang mengantarkan. Adapun tujuan penelitian adalah menganalisis

hubungan akses ke posyandu lansi dan tingkat kemandirian dengan keaktifan lansia dalam

mengikuti posyandu lansia di wilayah kerja UPT Puskesmas Sumbermanjing Kulon.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka rumusan masalah adalah

apakah terdapat hubungan antara akses ke posyandu dan tingkat kemandirian lansia dengan

keaktifan lansia dalam mengikuti posyandu lansia di wilayah kerja UPT Puskesmas

Sumbermanjing Kulon.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara akses ke posyandu dan tingkat kemandirian lansia dengan

keaktifan lansia dalam mengikuti posyandu lansia di wilayah kerja UPT Puskesmas

Sumbermanjing Kulon.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui akses ke posyandu lansia di wilayah kerja UPT Puskesmas

Sumbermanjing Kulon

2. Mengetahui tingkat kemandirian lansia di wilayah kerja UPT Puskesmas

Sumbermanjing Kulon
3. Mengetahui keaktifan lansia dalam mengikuti posyandu lansia di wilayah kerja UPT

Puskesmas Sumbermanjing Kulon

4. Mengetahui hubungan akses ke posyandu lansia dengan keaktifan lansia dalam

mengikuti posyandu lansia di wilayah kerja UPT Puskesmas Sumbermanjing Kulon

5. Mengetahui hubungan tingkat kemandirian dengan keaktifan lansia dalam mengikuti

posyandu lansia di wilayah kerja UPT Puskesmas Sumbermanjing Kulon

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Institusi Pendidikan di Bidang Keperawatan

Sebagai salah satu referensi tentang peran kader pada posyandu lansia.

2. Posyandu Lansia

Sebagai acuan dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan di dalam kegiatan

posyandu untuk memelihara kemandirian lansia sehingga diharapkan lansia dapat aktif

mengikuti kegiatan posyandu.

3. Masyarakat

Diharapkan dapat memberikan dorongan pada lansia untuk lebih aktif dalam mengikuti

berbagai kegiatan di Posyandu lansia dan memberikan pengetahuan terhadap masyarakat

tentang manfaat Posyandu lansia sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam

mendukung pelaksanaan Posyandu lansia.

4. Bagi Peneliti
Dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman yang baru dalam melakukan penelitian

serta mengetahui hubungan antara akses ke posyandu dan tingkat kemandirian lansia

dengan keaktifan lansia dalam mengikuti posyandu lansia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. LANSIA

Definisi Lansia

Definisi Lansia menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Bab 1 Pasal 1 Ayat 2

tentang kesejahteraan lanjut usia (lansia), seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

(enam puluh) tahun keatas. Lansia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari,

lansia adalah suatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis.

Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian

(Hidayat, 2006).

Lanjut usia menurut Hardywinoto (1999) terdiri dari 3 kategori, yaitu young old (70 –

75 tahun), old (75 – 80 tahun) dan very old (di atas 80 tahun).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merumuskan batasan lanjut usia sebagai berikut:

a. Usia pertengahan (middle age) yaitu antara usia 45 – 59 tahun

b. Lanjut usia (elderly) yaitu antara usia 60 – 74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) yaitu antara usia 75 – 90 tahun


d. Usia sangat tua (very old) yaitu di atas usia 90 tahun

Dirjen kesehatan juga mengelompokkan usia diatas 40 tahun sebagai berikut:

a. usia menjelang lanjut 40 sampai 55 tahun

b. usia lanjut masa presenium 55 sampai 64 tahun

c. usia lanjut masa senescensdiatas atau sama dengan 65 tahun

d. usia lanjut usia resiko tinggi diatas 70 tahun.

Usia lanjut dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat mencapai usia

tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan keperawatan, baik yang

bersifat promotif maupun preventif, dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia

lanjut yang berguna dan bahagia. Penuaan yang ditandai dengan adanya kemundurun

biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain kulit mengendur,

timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan

berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi

penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul (Maryam dkk, 2008).

Karakteristik Lansia

Menurut Maryam dkk (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 13 tentang kesehatan)

2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan

biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptive

3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

Tipe Lansia
Tipe lansia di jabarkan dalam beberapa macam menurut (Nugroho, 2008; Maryam

dkk, 2008) lansia memiliki tipe-tipe sebagai berikut:

a. Tipe arip bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,

mempunyai kesibukan, peramah, rendah hati, sederhana, dermawan memenuhi

undangan, selalu berpikir positif, dan menjadi panutan.

b. Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru selektif dalam mencari pekerjaan,

bergaul dengan teman, mengupayakan apa yang biasa dilakukan dan memenuhi

kebutuhan.

c. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, banyak

keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan dengan seksama, tidak sabar,

mudah tersinggung, sulit di layanin, dan banyak menuntut.

d. Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, menerima segala sesuatu yang dia terima, tidak

banyak mengalami gejolak, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan kegiatan apa

saja.

e. Tipe bingung

Kaget kehilangan kepribadian, tidak siap mengahadapi sesuatu hal, mengasingkan diri,

minder, menyesal, pasif dan acuh tak acuh.

Perubahan Fisik pada Lansia


Perubahan fisik pada lansia mencakup perubahan pada sel, system indra, system

mulkuloskeletal, system kardiovaskuler dan respirasi, pencernaan dan metabolism,

perkemihan, system saraf, dan system reproduksi.

1. Sel

Sel pada tubuh manusia akan mengalami peerubahan dari keadaan awal. Ukuran sel

pada lansia menjadi lebih besar namun jumlahnya semakin sedikit. Jumlah sel otak akan

mengalami penurunan, proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati menurun.

Mekanisme perbaikan sel juga akan terganggu (Nugroho, 2008).

2. System indra

Perubahan penglihatan yang akan terjadi pada kelompok lanjut usia erat kaitannya

dengan adanya kehilangan kemampuan akomodatif mata. Kerusakan kemampuan

akomodasi terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan lensa kristalin

mengalami sclerosis (Stanley &Beare, 2006). Kondisi ini dapat diatasi dengan

penggunaan kacamata dan system penerangan yang baik (Azizah, 2011). Ukuran pupil

menurun (miosis pupil) dengan penuaan karena sfinkter pupil mengalami sclerosis.

Miosis pupil ini dapat mempersempit lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan

perifer pada tingkat tertentu. Peningkatan kekeruhan lensa dengan perubahan warna

menjadi menguning juga terjadi pada system penglihatan lansia. Hal ini berdampak pada

penglihatan yang kabur, sensitivitas terhadap cahaya, penurunan pada penglihatan pada

malam hari, dan kesukaran dengan persepsi kedalaman (Stanley &Beare, 2006).

Perubahan pendengaran pada lansia erat kaitannya dengan presbiakusis (gangguan

pendengaran).Hal ini berkaitan dengan hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga

dalam, terutama terhadap nada-nada tinggi, suara yang tidak jelas, dan kata-kata yang

sulit dimengerti (Azizah, 2011).Otoskop dengan pemeriksaan histologi, mikrobiologi,


biokimia serta radiologi dapat dilakukan untuk memeriksa adanya gangguan

pendengaran pada lansia (Stanley &Beare, 2006).

3. System Muskuloskeletal

Perubahan system musculoskeletal pada lansia terjadi pada jaringan penghubung,

kartilago, tulang, otot, maupun sendi.Kolagen sebagai pendukung uta pada kulit, tendon,

tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang

tidak teratur.Perubahan pada kolagen tersebut menimbulkan dampak berupa nyeri,

penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, dan hambatan dalam

melakukan kegiatan sehar-hari.Perubahan yang terjadi pada jaringan kartilago

mengakibatkan sendi mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan

terganggunya aktivitas sehari-hari (Azizah, 2011). Tulang kehilangan densitasnya dan

makin rapuh, hal ini menyebabkan terjadinya osteoporosis bahkan terjadi fraktur

terutama pada vertebrae, bumerus, radius, femur, dan tibia.System musculoskeletal

terjadi penurunan tinggi badan akibat menipis dan menjadi pendeknya discus

intervertebralis.Tendon mengalami pengerutan dan sclerosis, begitu juga dengan serabut

otot yang mengalami atrofi (Nugroho, 2008).Sendi menjadi kurang dapat di gerakkan

(Potter & Perry, 2005).

4. System kardiovaskuler

System kardiovaskuler mengalami perubahan dimana arteri menjadi kehilangan

elastisitasnya (Azizah, 2011). Katub jantung menjadi lebih tebal dan kaku, serta

elastisitas jantung dan arteri menurun. Vena menjadi berbelok-belok, dinding arteri

penuh dengan timbunan kalsium dan lemak (Smeltzer, 2012). Massa jantung

bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi, dan kemampuan peregangan jantung

berkurang karena perubahan pada jaringan ikat dan penumpukkanlipofusin. Katub

jantung mengalami fibrosis dan klasifikasi SA node dan jaringan konduksi berubah
menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang

sampai dengan 50 persen. Pembuluh darah kapiler mengalami penurunan elastisitas dan

permeabilitas, terjadinya perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan vaskuler

sehingga menyebabkan terjadinya hipotensi postural curah jantung (cardiac output)

menurun akibat penurunan denyut jantung maksimal dan volume cukup. Respon

vasokontriksi untuk mencegah terjadinya pengumpulan darah menurun sehingga respon

terhadap bipoksi menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal berkurang

sehingga kapasitas vital paru menurun (Irfayani, 2012).

5. Sistem respirasi

Otot-otot pernapasan menjadi kaku dan kehilangankekuatan, aktifitas silia menurun,

elastisitas paru-paru menurun, volume resudi meningkat, alveoli melebar dan jumlahnya

berkurang, tekanan oksigen arteri menurun menjadi 75 mmHg serta terjadi penurunan

kemampuan batuk (Nugroho, 2008). Pada system respirasi, terjadi perubahan otot,

kartilago, dan sendi toraks yang mengakibatkan gerakan pernapasan menjadi terganggu

dan mengurangi kemampuan peregangan thoraks (Azizah,2011).

6. System Gastrointestinal

Perubahan yang terjadi pada system pencernaan, yaitu sensitivitas lapar menurun, asam

lambung menurun, peristaltic melemah, serata ukuran hati yang mengecil. Kehilangan

gigi juga seringkali terjadi pada lansia (Azizah, 2011). Penurunan saliva, kesulitan

menelan makanan, perlambatan, pengosongan esophagus dan lambung, serta penurunan

motilitas gastrointestinal (Irfayani, 2012).

7. System perkemihan

Dalam system perkemihan, terjadi perubahan yang signifikan meliputi: kemunduran laju

filtrasi, ekskresi, dan reabsorbsi oleh ginjal. Hal ini akan memberikan efek dalam

pemberian obat pada lansia. Inkontinensia urin juga meningkat pada lansia (Azizah,
2011). Kapasitas kandung kemih menurun dan individu lansia tidak mampu lagi

mengosongkan kandung kemihnya dengan sempurna. Wanita lanjut usia biasanya

mengalami penurunan tonus otot perineal yang mengakibatkan stress inkontinensia dan

urgensi. Hyperplasia ProstatBenigna merupakan temuan yang sering pada pria lanjut

usia (Irfayani, 2012). Sistem perkemihan menurun pada lansia yang ditandai dengan

penurunan laju filtrasi glomerulus, penurunan aliran ginjal sekitar 53 persen skunder

akibat penurunan curah jantung dan perubahnaterosklerotik, pelemahan kandung kemih

yangmenyebabkan pengosongan yang tidak sempurna dan retensi urine kronis, dan

penurunan kemampuan untuk berespon terhadap berbagai aupan natrium (Irfayani,

2012).

8. System saraf

Surini&Utomo mengemukakan bahwa lansia mengalami penurunan kemampuan

beraktivitas. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensori dan respon motoric pada

susunan saraf pusat serta penurunan reseptor proprioseptif. Hal ini terjadi karena

susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia (Azizah,

2011).

9. Sistem reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan mengecilnya ovary dan uterus.

Payudara pada lansia wanita juga mengalami atrofi. Selaput lender vagina menurun,

permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang, dan sifat reaksinya menjadi alkali.

Testis pada lansia pria masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun terjadi

penurunan secara berangsur-angsur (Azizah, 2011). Penurunan fungsi reproduksi lansia

pada wanita ditandai dengan penurunan kadar estrogen dan progesterone karena

berhentinya ovulasi, penurunan ukuran ovarium, penyusutan jaringan vulva, terbatasnya

introitus, dan hilangnya elasitas jaringan. Penurunan pada pria yaitu terjadi perubahan
produksi testosterone yang mengakibatkan penurunan libido serta atrofidanpelunakan

testis, penurunan produksi sperma sekitar 48 persen sampai 69 persen antara usia 60 dan

80 tahun, pembesaran kelenjar prostat, dengan penurunan sekresi, penurunan volume

dan viskositas cairan semen (Stockslager, 2008).

Perubahan Spiritual

Perubahan Spiritual Agama atau kepercayaan makin berintegrasi dalam kehidupan

lansia (Azizah 2011). Nugroho (2008) menyatakan bahwa lansia makin teratur dalam

menjalankan rutinitas kegiatan keagamaannya sehari-hari. Lansia juga cenderung tidak takut

terhadap konsep dan realitas kematian (Azizah, 2011).

Perubahan Kognitif

Perubahan Kognitif Lansia mengalami penurunan daya ingat, yang merupakan salah

satu fungsi kognitif. Ingatan jangka panjang kurang mengalami perubahan, sedangkan

ingatan jangka pendek memburuk. Lansia akan kesulitan mengungkapkan kembali cerita

atau kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya (Azizah, 2011). Nugroho (2008)

mengungkapkan bahwa factor yang mempengaruhi perubahan kognitif pada lansia, yaitu:

perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan, dan lingkungan.

Perubahan Psikososial

Perubahan Psikososial yang dialami oleh lansia, yaitu masa pensiun, perubahan aspek

kepribadian, dan perubahan dalam peran sosial di masyarakat. Pensiun adalah tahap

kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan perubahan peran yang menyebabkan

stress psikososial. Hilangnya kontak sosial dari area pekerjaan membuat lansia pensiunan

merasakan kekosongan. Menurut Budi Darmojo dan Martono, lansia yang memasuki masa
pensiun akan mengalami berbagai kehilangan, yaitu: kehilangan finansial, kehilangan status,

kehilangan teman, dan kehilangan kegiatan (Azizah, 2011). Lansia mengalami penurunan

fungsi kognitif dan psikomotor.

Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian

yang menyebabkan reaksi dan prilaku lansia menjadi semakin lambat. Fungsi psikomotor

meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak yang mengakibatkan lansia

menjadi kurang cekatan. Adanya penurunan kedua fungsi tersebut menbuat lansia

mengalami perubahan kepribadian (Azizah, 2011). Perubahan dalam peran social di

masyarakat dapat terjadi akibat adanya gangguan fungsional maupun kecacatan pada lansia.

Hal ini dapat menimbulkan perasaan keterasingan pada lansia. Respon yang ditunjukkan

oleh lansia, yaitu perilaku regresi (Stanley &Beare, 2006).

Penurunan Fungsi Dan Potensial Seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia seringkali berhuubungan dengan

berbagai gangguan fisik. Factor psikologis yang menyertai lansia berkaitan dengan

seksualitas, yaitu: rasa tahu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.

Sikap keluarga dan masyarakat juga kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan

budaya (Azizah, 2011).

Perubahan Pola Tidur Dan Istirahat

Perubahan otak akibat proses penuaanmengahasilkaneksitas dan inhibisi dalam sistem

saraf. Bagian korteks otak dapat berperan sebagai inhibitor pada sistem terjaga dan fungsi

inhibisi ini menurun seiring dengan bertambahnya usia. Korteks frontal juga mempengaruhi

alat regulasi tidur (Maas, 2011). Penurunan aliran darah dan perubahan dalam mekanisme

neurotransmitter dan sinapsis memainkan peran penting dalam perubahan tidur dan terjaga
yang dikaitkan dengan faktor pertambahan usia. Faktor ekstrinsik, seperti pensiun, juga

dapat menyebabkan perubahan yang tiba-tiba pada kebutuhan untuk beraktivitas dan

kebutuhan energi sehari-hari serta mengarah pada perubahan kebutuhan tidur. Keadaan

sosial dan psikologis yang terkait dengan faktor kehilangan dapat menjadi faktor

predisposisi terjadinya depresi pada lansia, yang kemudian dapat mempengaruhi pola tidur-

terjaga lansia. Pola tidur dapat dipengaruhi oleh lingkungan, bukan seluruhnya akibat proses

penuaan (Maas,2011).

Masalah Kesehatan Lansia

Menurut Mangoenprasodjo&Hidayati (2005), permasalahan yang sering dialami usia

lanjut, yaitu:

a. Kondisi mental

Secara psikologis, umumnya pada usia lanjut terdapat penurunan baik secara kognitif

maupun psikomotor. Contohnya adalah penurunan pemahaman dalam menerima

permasalahan dan kelambanan dalam bertindak.

b. Keterasingan (loneliness)

Terjadi penurunan kemampuan pada individu dalam mendengar, melihat dan aktivitas

lainnya sehingga merasa tersisihkan dari masyarakat.

c. Post power syndrome

Kondisi ini terjadi pada seseorang yang semula mempunyai jabatan pada masa aktif

bekerja. Setelah berhenti bekerja, merasa ada sesuatu yang hilang dalam kehidupannya.

d. Masalah penyakit

Selain karena proses fisiologis yang menuju arah degenerative juga banyak ditemukan

gangguan pada usia lanjut. Antara lain infeksi, jantung dan pembuluh darah,

penyakitmetabolik (osteoporosis), kurang gizi, penggunaan obat dan alcohol, penyakit

saraf (stroke) serta gangguan jiwa terutama depresi dan kecemasan.


e. Masalah ekonomi

Penerimaan atau pendapatan pada usia lanjut tidak seperti pada masa produktif, sehingga

masalah ekonomi merupakan salah satu masalah yang perlu dipahami.

2. TINGKAT KEMANDIRIAN LANSIA

Definisi Kemandirian pada lansia dari pendapat para ahli Ruhidawati (2005)

mengartikan kemandirian merupakan suatu keadaan diamana seorang individu memiliki

kemauan dan kemampuan berupaya untuk memenuhi tuntunan kebutuhan hidupnya secara

sah, wajar dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya, namun demikian

tidak berarti berarti bahwa orang yang mandiri bebas lepas tidak memiliki kaitan dengan

orang lain.

Mutadin (2002) juga mengatakan bahwa untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan

kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan disekitarnya, agardapat

mencapai otonomi atas diri sendiri. Selain itu kemandirian bagi orang lanjut usia dapat

dilihat dari kualitas hidup. Kualitas hidup orang lanjut usia dapat dinilai dari kemampuan

melakukan aktivitas sehari – hari. Menurut mu’tadin (2002) kemandirian mengandung

pengertian yaitu suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju

demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah

yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas – tugasnya, bertanggung

jawab terhadap apa yang dilakukan. Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan

atau bantuan pribadi yang masih aktif. Seseorang lansia yang menolak untuk melakukan

fungsi dianggap sebagai tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu (Maryam.

R.Siti, 2008).

Konsep Kemandirian Lansia


Suatu bentuk pengukuran kemampuan seseorang untuk melakukan activity of daily

living secara mandiri. Penentuan kemandirian fungsional dapat mengidentifikasi

kemampuan dan keterbatasan klien sehingga memudahkan pemilihan intervensi yang tepat

(Maryam, 2008). Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan pribadi

yang masih aktif. Seseorang lansia yang menolak untuk melakukan fungsi dianggap sebagai

tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu. Kemandirian adalah kemampuan atau

keadaan dimana individu mampu mengurus atau mengatasi kepentingannya sendiri tanpa

bergantung dengan orang lain (Maryam, 2008). Adapun kemandirian disini dihubungkan

dengan kemampuan klien dalam melakukan fungsi tanpa memerlukan supervisi, petunjuk,

maupun bantuan aktif dengan pengecualian. Misalnya bagi lansia yang menolak untuk

melakukan sendiri suatu fungsi tertentu (padahal mungkin ia masih mampu) dianggap tidak

bisa melakukannya.

Menurut (Noorkasiani S. Tamher, 2008) untuk menetapkan apakah salah satu fungsi

tersebut mandiri atau dependen (yaitu memperlihatkan tingkat ketergantungan) diterapkan

standar sebagai berikut:

1. Mandi

Dinilai kemampuan klien untuk menggosok atau membersihkan sendiri seluruh bagian

badanya, atau dalam hal mandi dengan cara pancuran (shower) atau dengan cara masuk

dan keluar sendiri dari bath tub. Dikatakan independen (mandiri), bila dalam melakukan

aktivitas ini, lansia hanya memerlukan bantuan untuk misalnya

menggosok/membersihkan sebagian tertentu dari anggota badannya. Lansia mampu

mandiri sendiri tapi tak lengkap seluruhnya. Dikatakan dependen bila klien memerlukan

bantuan untuk lebih dari satu bagian badannya. Juga bila klien tak mampu masuk keluar

bath tub sendiri.


2. Berpakaian

Dikatakan independen bila tak mampu mengambil sendiri pakaian dalam lemari atau laci

misalnya, mengenakan sendiri bajunya, memasang kancing atau resleting (mengikat tali

sepatu, dikecualikan).

3. Toileting

Dikatakan independen bila lansia tak mampu ke toilet sendiri, berajak dari kloset,

merapikan pakaian sendiri organ eskresi, bila harus menggunakan bed pan atau pispot.

Untuk keluar masuk toilet menggunakannya serta merapikan pakaiannya selalu

memerlukan bantuan.

4. Transferring

Dikatakan independen bila mampu naik turun sendiri dari tempat tidur atau kursi/kursi

roda. Bila hanya memerlukan sedikit bantuan atau bantuan yang bersifat mekanis, tidak

termasuk. Sebaliknya, dependen bila selalu memerlukan bantuan untuk kegiatan tersebut

diatas. Atau tidak mampu melakukan satu atau lebih aktifitas transferring.

5. Kontinensia atau eliminasi

Dikatakan indenpenden bila mampu buang hajat sendiri (urinasi dan defekasi).

Sebaliknya, termaksud dependen bila pada salah satu atau keduanya (miksi atau

defekasi) memerlukan enema dan kateter. Juga bila lansia menggunakan bed pan secara

regular.

6. Makan

Dikatakan independen, bila mampu menyuap makanan sendiri, mengambil dari piring.

Dalam penilaian tidak termaksud mengiris poto gan daging. Misalnya, juga menyiapkan

hidangan. Keadan sebaliknya tergolong dependen.

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Lansia Dalam ADL


Menurut Hardywinoto (2007), kemauan dan kemampuan untuk melakukan activity of

daily living tergantung pada beberapa faktor, yaitu:

a. Umur dan status perkembangan

Umur dan status perkembangan seorang klien menunjukkan tanda kemauan dan

kemampuan, ataupun bagaimana klien bereaksi terhadap ketidakmampuan melaksanakan

activity of daily living. Saat perkembangan dari bayi sampai dewasa, seseorang secara

perlahan–lahan berubah dari tergantung menjadi mandiri dalam melakukan activity of

daily living.

b. Kesehatan fisiologis

Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan partisipasi dalam

activity of daily living, contoh sistem nervous mengumpulkan, menghantarkan dan

mengolah informasi dari lingkungan. Sistem muskuloskeletal mengkoordinasikan

dengan sistem nervous sehingga dapat merespon sensori yang masuk dengan cara

melakukan gerakan. Gangguan pada sistem ini misalnya karena penyakit, atau trauma

injuri dapat mengganggu pemenuhan activity of daily living (Hardywinoto, 2007).

c. Fungsi Kognitif

Tingkat kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan activity

of daily living. Fungsi kognitif menunjukkan proses menerima, mengorganisasikan dan

menginterpretasikan sensor stimulus untuk berpikir dan menyelesaikan masalah. Proses

mental memberikan kontribusi pada fungsi kognitif dapat mengganggu dalam berpikir

logis dan menghambat kemandirian dalam melaksanakan activity of daily living

(Hardywinoto, 2007)

d. Fungsi Psikososial

Fungsi psikologi menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengingat sesuatu hal yang

lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang realistik. Proses ini meliputi
interaksi yang kompleks antara perilaku intrapersonal dan interpersonal. Gangguan pada

intrapersonal contohnya akibat gangguan konsep diri atau ketidakstabilan emosi dapat

mengganggu dalam tanggung jawab keluarga dan pekerjaan. Gangguan interpersonal

seperti masalah komunikasi, gangguan interaksi sosial atau disfungsi dalam penampilan

peran juga dapat mempengaruhi dalam pemenuhan activity of daily living (Hardywinoto,

2007).

e. Tingkat stress

Stress merupakan respon fisik nonspesifik terhadap berbagai macam kebutuhan. Faktor

yang dapat menyebabkan stress (stressor), dapat timbul dari tubuh atau lingkungan atau

dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Stressor tersebut dapat berupa fisiologis seperti

injuri atau psikologi seperti kehilangan.

f. Ritme biologi

Ritme atau irama biologi membantu makhluk hidup mengatur lingkungan fisik

disekitarnya dan membantu homeostasis internal (keseimbangan dalam tubuh dan

lingkungan). Salah satu irama biologi yaitu irama sirkardian, berjalan pada siklus 24

jam. Perbedaaan irama sirkardian membantu pengaturan aktivitas meliputi tidur,

temperatur tubuh, dan hormon. Beberapa faktor yang ikut berperan pada irama

sirkardian diantaranya faktor lingkungan seperti hari terang dan gelap, seperti cuaca

yang mempengaruhi activity of daily living.

g. Status mental

Status mental menunjukkan keadaan intelektual seseorang. Keadaan status mental akan

memberi implikasi pada pemenuhan kebutuhan dasar individu. Seperti yang

diungkapkan oleh Cahya yang dikutip dari Baltes, salah satu yang dapat mempengaruhi

ketidakmandirian individu dalam memenuhi kebutuhannya adalah keterbatasan status

mental. Seperti halnya lansia yang memorinya mulai menurun atau mengalami
gangguan, lansia yang mengalami apraksia tentunya akan mengalami gangguan dalam

pemenuhan kebutuhan – kebutuhan dasarnya (Hardywinoto,2007).

h. Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan dan sosial kesejahteraan pada segmen lansia yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat salah satunya

adalah posyandu lansia. Jenis pelayanan kesehatan dalam posyandu salah satunya adalah

pemeliharan Activity of Daily Living. Lansia yang secara aktif melakukan kunjungan ke

posyandu, kualitas hidupnya akan lebih baik dari pada lansia yang tidak aktif ke

posyandu (Pujiono, 2009).

Pengukuran Kemampuan ADL

Kemandirian bagi lansia juga dapat dilihat dari kualitas hidup. Kualitas hidup lansia

dapat dinilai dari kemampuan melakukan activity of daily living. Menurut Setiati (2000),

Activity of Daily Living (ADL) ada 2 yaitu, ADL standar dan ADL instrumental. ADL

standar meliputi kemampuan merawat diri seperti makan, berpakaian, buang air besar/kecil,

dan mandi. Sedangkan ADL instrumental meliputi aktivitas yang kompleks seperti

memasak, mencuci, menggunakan telepon, dan menggunakan uang.

Pengukuran Activity daily living pada lansia dapat diukur dengan menggunakan

instrument sebagai berikut:

1. Barthel Indeks

Barthel Indeks merupakan suatu instrument pengkajian yang berfungsi mengukur

kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas serta dapat juga

digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan fungsional bagi pasien-pasien

yang mengalami gangguan keseimbangan menggunakan 10 indikator, yaitu:


N JENIS ADL KATEGORI SKOR

O
1 Makan (Feeding) 0 = tidak dapat

1 = perlu bantuan untuk memotong, dll

2 = mandiri
2 Mandi (Bathing) 0 = tergantung orang lain

1 = mandiri
3 Perawatan Diri 0 = perlu bantuan

(Grooming) 1 = mandiri
4 Berpakaian 0 = tergantung

(Dressing) 1 = sebagian dibantu/perlu

2 = mandiri
5 Buang air kecil 0 = Tidak bisa mengontrol (perlu di kateter dan

(Bowel) tidak dapat mengatur

1 = BAK kadang-kadang (sekali /24 jam)

2 = Terkontrol penuh (lebih dari 7 hari) 6.

Buang air besar (Bladder)


6 Buang air besar 0 = Inkontinensia (perlu enema)

(Bladder) 1 = Kadang Inkontensia (sekali seminggu)

2 = Terkontrol penuh
7 Penggunaan toilet 0 = Tergantung bantuan orang lain orang lain

1 = Perlu bantuan tetapi dapat melakukan

sesuatu sendiri

2 = Mandiri
8 Berpindah (tidur 1 = Tidak dapat

atau duduk) 1 = Butuh bantuan u (2 orang)

2 = Dapat duduk dengan sedikit

3 = Mandiri
9 Mobilitas 0 = tidak bergerak/tidak mampu
2 = mandiri dengan kursi roda

3 = berjalan dengan bantuan

4 = mandiri
10 Naik turun tangga 0 = tidak mampu

1 = perlu bantuan

2 = mandiri

Interpretasi hasil :

20 : Mandiri

12-19 : Ketergantungan Ringan

9-11 : Ketergantungan Sedang

5-8 : Ketergantungan Berat

0-4 : Ketergantungan

2. Kats Indeks

Katz indeks adalah suatu instrument pengkajian dengan sistem penilaian yang

didasarkan pada kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-

hari secara mandiri. Penentuan kemandirian fungsional dapat mengidentifikasikan

kemampuan dan keterbatasan klien sehingga memudahkan pemilihan intervensi yang

tepat (Maryam, R. Siti, dkk, 2011). Pengkajian ini menggunakan indeks kemandirian

Katz untuk aktivitas kehidupan sehari-hari yang berdasarkan pada evaluasi fungsi

mandiri atau bergantung dari klien dalam hal, makan, kontinen (BAB atau BAK),

berpindah, ke kamar kecil, mandi dan berpakaian (Maryam, R. Siti, dkk, 2011).
SKORE KRITERIA
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen (BAB atau BAK),

berpindah, ke kamar kecil mandi dan berpakaian.


B Kemandirian dalam semua hal kecuali satu dari fungsi tersebut.
C Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu fungsi

tambahan.
D Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian dan satu

fungsi tambahan.
E Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke kamar

kecil dan satu fungsi tambahan.


F Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke kamar

kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan.


G Ketergantungan pada ke enam fungsi tersebut.
Lain-lain Tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak dapat

diklasifikasikan sebagai C, D, E atau F

Keterangan: Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan aktif dari orang

lain. Seseorang yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan fungsi,

meskipun sebenarnya mampu.

1. Mandi

Mandiri: bantuan hanya pada satu bagian mandi (seperti punggung atau ekstermitas yang

tidak mampu) atau mandi sendiri sepenuhnya. Bergantung: bantuan mandi lebih dari satu

bagian tubuh, bantuan masuk dan keluar dari bak mandsi, serta tidak mandi sendiri.

2. Berpakaian
Mandiri: mengambil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan pakaian,

mengancingi atau mengikat pakaian.

Tergantung: tidak dapat memakai baju sendiri atau baju hanya sebagian.

3. Ke Kamar Kecil

Mandiri: masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan genitalia sendiri.

Tergantung: menerima bantuan untuk masuk ke kamar kecil dan menggunakan pispot.

4. Berpindah

Mandiri: berpindah ke dan dari tempat tidur untuk duduk, bangkit dari kursi sendiri.

Tergantung: bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau kursi, tidak melakukan

satu, atau lebih berpindah.

5. Kontinen

Mandiri: BAK dan BAB seluruh dikontrol sendiri.


Tergantung: Inkontinensia parsial atau lokal; penggunaan kateter, pispot, enema, dan

pembalut (pampres).

6. Makan

7. Mandiri: mengambil makanan dari piring dan menyuapinya sendiri. Bergantung: bantuan

dalam hal mengambil makanan dari piring dan menyuapinya, tidak makan sama sekali,

dan makan parenteral (NGT).

Modifikasi Indeks kemandirian Katz

MANDIR
N TERGANTUNG
AKTIVITAS I NILAI
O NILAI (0)
(1)
1 Mandi di kamar mandi (menggosok,

membersihkan, dan mengeringkan badan).


2 Menyiapkan pakaian, membuka, dan

menggunakannya.
3 Memakan makanan yang telah disiapkan
4 Memelihara kebersihan diri untuk penampilan

diri (menyisir rambut, mencuci rambut,

mengosok gigi, mencukur kumis).


5 Buang air besar di WC (membersihkan dan

mengeringkan daerah bokong).


6 Dapat mengontrol pengeluaran feses (tinja).
7 Buang air kecil di kamar mandi

(membersihkan dan mengeringkan daerah

kemaluan).
8 Dapat mengontrol pengeluaran air kemih.
9 Berjalan di lingkungan tempat tinggal atau ke

luar ruangan tanpa alat bantu, seperti tongkat.


10 Menjalankan agama sesuai agama dan

kepercayaan yang dianut.


11 Melakukan pekerjaan rumah, seperti:
merapikan tempat tidur, mencuci pakaian,

memasak, dan membersihkan ruangan


12 Berbelanja untuk kebutuhan sendiri atau

kebutuhan keluarga.
13 Mengelola keuangan (menyimpan dan

menggunakan uang sendiri).


14 Mengguanakan sarana transfortasi umum

untuk berpergian.
15 Menyiapkan obat dan minum obat sesuai

dengan aturan (takaran obat dan waktu

minum obat tepat).


16 Merencanakan dan mengambil keputusan

untuk kepentingan keluarga dalam hal

penggunakan uang, aktivitas sosial yang

dilakukan dan kebutuhan akan pelayanan

kesehatan
17 Melakukan aktivitas di waktu luang (kegiatan

keagamaan, sosial, rekreasi, olah raga dan

menyalurkan hobi.
Jumlah Poin Mandiri

Analisi Hasil :

Point : 13 – 17 : Mandiri

Point : 0 – 12 : Ketergantungan

3. POSYANDU LANSIA

Defiinisi Posyandu Lansia


Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan dan

keluarga berencana. Posyandu adalah pusat pelayanan keluarga berencana dan 35 kesehatan

yang dikelola dan diselenggarakan untuk dan oleh masyarakat dengan dukungan teknis dari

petugas kesehatan dalam rangka pencapaian NKKBS (Effendy, 2004). Posyandu lansia

adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang

sudah di sepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan

pelayanan kesehatan (Dinkes, 2006).

Posyandu merupakan wahana pemberdayaan masyarakat, yang dibentuk dan dikelola

oleh masyarakat, dengan bimbingan dari petugas puskesmas, lintas sektor dan lembaga

terkait lainnya untuk menyelenggarakan lima program prioritas secara terpadu pada satu

tempat dan pada waktu yang sama guna meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat

hidup sehat. Posyandu lansia merupakan wahana pelayanan bagi kaum lansia, yang

dilakukan dari, oleh dan untuk kaum usila yang menitikberatkan pada pelayanan promotif

dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitative (Notoadmodjo, 2007).

Kegiatan posyandu lansia yang berjalan dengan baik akan memberi kemudahan bagi

lansia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, sehingga kualitas hidup masyarakat di

usia lanjut tetap terjaga dengan baik dan optimal. Berbagai kegiatan dan program posyandu

lansia tersebut sangat baik dan banyak memberikan manfaat bagi para orang tua

diwilayahnya. Seharusnya para lansia berupaya memanfaatkan adanya posyandu tersebut

sebaik mungkin, agar kesehatan para lansia dapat terpelihara dan terpantau secara optimal.

Lansia yang tidak aktif dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan diposyandu lansia, maka

kondisi kesehatan mereka tidak dapat terpantau sehingga apabila mengalami suatu resiko

penyakit akibat penurunan kondisi tubuh dan proses penuaan dikhawatirkan dapat berakibat

fatal dan mengancam jiwa mereka. Penyuluhan dan sosialisasi tentang manfaat posyandu
lansia perlu terus ditingkatkan dan perlu mendapat dukungan berbagai pihak, baik keluarga,

pemerintah maupun masyarakat itu sendiri (Maryam dkk, 2008).

Penyelenggaraan Posyandu

Kegiatan posyandu lansia yang berjalan dengan baik akan memberi kemudahan bagi

lansia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, sehingga kualitas hidup masyarakat di

usia lanjut tetap terjaga dengan baik dan optimal. Berbagai kegiatan dan program posyandu

lansia tersebut sangat baik dan banyak memberikan manfaat bagi para orang tua

diwilayahnya. Seharusnya para lansia berupaya memanfaatkan adanya posyandu tersebut

sebaik mungkin, agar kesehatan para lansia dapat terpelihara dan terpantau secara optimal.

Lansia yang tidak aktif dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan diposyandu lansia, maka

kondisi kesehatan mereka tidak dapat terpantau sehingga apabila mengalami suatu resiko

penyakit akibat penurunan kondisi tubuh dan proses penuaan dikhawatirkan dapat berakibat

fatal dan mengancam jiwa mereka. Penyuluhan dan sosialisasi tentang manfaat posyandu

lansia perlu terus ditingkatkan dan perlu mendapat dukungan berbagai pihak, baik keluarga,

pemerintah maupun masyarakat itu sendiri (Maryam dkk, 2008).

Lokasi Posyandu

Syarat lokasi/letak yang harus dipenuhi meliputi menurut Effendi (1998):

1. Berada di tempat yang mudah didatangi oleh masyarakat

2. Ditentukan oleh masyarakat itu sendiri

3. Dapat merupakan lokal tersendiri

4. Bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan di rumah penduduk, balai rakyat, pos

RT/RW atau pos lainnya (Effendi, 1998).


Tujuan Posyandu Lansia

Tujuan dibentuknya posyandu lansia adalah untuk memelihara kondisi kesehatan

dengan aktifitas fisik sesuai kemampuan dan aktifitas mental yang mendukung. Memelihara

kemandirian secara maksimal. Melaksanakan diagnosa dini secara tepat dan memadai.

Melaksanakan pengobatan secara tepat. Membina lansia dalam bidang kesehatan fisik

spiritual. Sebagai sarana untuk menyalurkan minat lansia. Meningkatkan rasa kebersamaan

diantara lansia. Meningkatkan kemampuan lansia untuk mengembangkan kegiatan

kesehatan dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang sesuai dengan kebutuhan. Tujuan

pembentukan posyandu lansia secara garis besar antara lain, meningkatkan jangkauan

pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga terbentuk pelayanan kesehatan yang

sesuai dengan kebutuhan lansia. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta

masyarakat dan swasta dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi

antara masyarakat usia lanjut (Soedomo, 2004).

Manfaat Posyandu Lansia

Manfaat dari posyandu lansia adalah kesehatan fisik usia lanjut dapat dipertahankan

tetap bugar. Kesehatan rekreasi tetap terpelihara, dan dapat menyalurkan minat sertabakat

untuk mengisi waktu luang (Depkes RI, 2006).

Mekanisme Pelayanan Posyandu

Depkes (2006) posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja dalam pelayanan terhadap

balita, posyandu lansia hanya menggunakan sistem pelayanan 3 meja, dengan kegiatan

sebagai berikut :

a. Meja I : pendaftaran lansia, pengukuran tinggi badan dan penimbangan berat badan.
b. Meja II : Melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, Indeks Massa Tubuh

(IMT). Pelayanan kesehatan seerti pengobatan sederhana dan rujukan kasus juga

dilakukan di meja II ini.

c. Meja III : melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling, disini juga bisa dilakukan

pelayanan pojok gizi

Bentuk Pelayanan Posyandu Lansia

Pelayanan Kesehatan di Posyandu lanjut usia meliputi pemeriksaan Kesehatan fisik

dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk

mengetahui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau ancaman masalah

kesehatan yang dihadapi. Jenis Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada usia lanjut di

Posyandu Lansia seperti pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar

dalam kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat

tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya (Depkes, 2006).

a. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental emosional

dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua) menit.

b. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi

badan kemudian dicatat pada grafik Indeks Masa Tubuh (IMT).

c. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta penghitungan

denyut nadi selama satu menit.

g. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan kelainan

pada pemeriksaan butir 1 hingga

h. Penyuluhan Kesehatan (Depkes, 2006).

Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat seperti

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan memperhatikan aspek kesehatan dan gizi
lanjut usia dan kegiatan olah raga seperti senam lanjut usia untuk meningkatkan kebugaran.

Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan di Posyandu Lansia, dibutuhkan, sarana dan

prasarana penunjang, yaitu: tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat terbuka), meja

dan kursi, alat tulis, buku pencatatan kegiatan, timbangan dewasa, meteran pengukuran

tinggi badan, stetoskop, tensi meter, peralatan laboratorium sederhana, thermometer, Kartu

Menuju Sehat (KMS) lansia (Depkes, 2006).

Sasaran Posyandu Lansia

Sasaran langsung yaitu kelompok usia virilitas/ pra lansia 45 – 59 tahun, kelompok

lansia 60 – 69 tahun dan kelompok lansia resiko tinggi 70 tahun ke atas. Sasaran tidak

langsung yaitu keluarga yang mempunyai lansia, masyarakat dilingkungan lansia berada,

organisasi sosial yang bergerak dalam pembinaan lansia, masyarakat luas (Depkes RI,

2006).

Dasar Pelaksanaan Posyandu Lansia

Penyelenggaraan posyandu didasarkan pada keputusan bersama antara menteri dalam

negeri, menteri kesehatan dan BKKBN melalui Surat Keputusan Bersama: dengan Nomor

23 tahun 1985, 21/ Men.Kes/ Inst.B./ IV 1985, dan 112/ HK-011/ A/ 1985 tentang

penyelenggaraan posyandu, yaitu: Meningkatkan kerjasama lintas sektoral untuk

menyelenggarakan posyandu dalam lingkup LKMD dan PKK, mengembangkan peran serta

masyarakat dalam meningkatkan fungsi posyandu serta meningkatkan peran serta

masyarakat dalam program-program pembangunan masyarakat, meningkatkan peran fungsi

LKMD dan PKK dengan mengutamakan peran kader pembangunan (Depkes RI, 2003).
Pembiayaan

Biaya kegiatan posyandu merupakan kegiatan partisipasi masyarakat, dari masyarakat

untuk masyarakat. Secara umum biaya berasal dari masyarakat itu sendiri melalui berbagai

cara antara lain: iuran dari para warga, donator tidak tetap atau tetap, usaha mandiri dari

posyandu, bantuan dari dunia usaha/ CSR (corporate social responsibility), bantuan dari

kelurahan, subsidi pemerintah, dll (Depkes RI, 2010).

Strata Posyandu Lansia

Semua posyandu didata tingkat pencapaiannya, baik dari segi pengorganisasian

maupun pencapaian programnya. Tujuannya adalah melakukan kategorisasi atau stratifikasi

posyandu, yang bisa dikelompokkan menjadi 4 tingkat, yaitu berturut-turut dari terendah

sampai tertinggi sebagai berikut:

1. Posyandu Pratama (dengan warna merah), posyandu yang masih belum mantap,

kegiatannya belum bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas. Keadaan ini

dinilai gawat sehingga intervensinya adalah pelatihan kader ulang. Artinya kader yang

ada perlu ditambah dan dilakukan pelatihan dasar lagi.

2. Posyandu Madya (dengan warna kuning), posyandu pada tingkat madya sudah dapat

melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun dengan rata-rata jumlah kader tugas

5 orang atau lebih. Akan tetapi cakupan program utamanya (KB, KIA, Gizi dan

Imunisasi) masih rendah yaitu kurang dari 50%. Ini berarti, kelestarian posyandu

sudah baik tetapi masih rendah cakupannya. Intervensi untuk posyandu madya ada 2

yaitu: a) Pelatihan Toma dengan modul eskalasi posyandu yang sekarang sudah

dilengkapi dengan metoda simulasi


b) Penggarapan dengan pendekatan PKMD (SMD dan MMD) untuk menentukan

masalah dan mencari penyelesaiannya, termasuk menentukan program tambahan yang

sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

3. Posyandu Purnama (dengan warna hijau), posyandu yang frekuensinya lebih dari 8

kali per tahun, rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih, dan cakupan 5 program

utamanya (KB, KIA, Gizi dan Imunisasi) lebih dari 50%. Sudah ada program

tambahan, bahkan mungkin sudah ada Dana Sehat yang sederhana. Intervensi pada

posyandu di tingkat ini adalah:

a) Penggarapan dengan pendekatan PKMD untuk mengarahkan masyarakat

menentukan sendiri pengembangan program di posyandu

b) Pelatihan Dana Sehat, agar 44 di desa tersebut dapat tumbuh Dana Sehat yang kuat

dengan cakupan anggota minimal 50% KK atau lebih.

4. Posyandu Mandiri (dengan warna biru), posyandu ini berarti sudah dapat melakukan

kegiatan secara teratur, cakupan 5 program utama sudah bagus, ada program tambahan

dan Dana Sehat telah menjangkau lebih dari 50% KK. Intervensinya adalah

pembinaan Dana Sehat, yaitu diarahkan agar Dana Sehat tersebut menggunakan

prinsip JPKM (Depkes RI, 2006)


BAB III

METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain pada penelitian ini adalah korelasi yaitu peneliti menguji kekuatan hubungan

antar variabel akses ke posyandu dan tingkat kemandirian lansia dengan keaktifan lansia

dalam mengikuti posyandu lansia.

2. Waktu dan Tempat penelitian

a. Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2022 – 2023.

b. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Posyandu Lansia wilayah kerja UPT Puskesmas

Sumbermanjing Kulon.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek objek penelitian (Arikunto,2006).

Populasi dalam penelitian ini adalah rata-rata lansia yang datang ke posyandu lansia di

wilayah kerja UPT Puskesmas Sumbermanjing Kulon sebanyak 420 lansia.

b. Sampel

Pengambilan Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai

subjek penelitian (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel

menggungkan teknik sampling random sederhana (Simple Random Sampling).

Sampel acak sederhana adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga

setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan

yang sama untuk dipilih sebagai sampel.

4. Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampling

Sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 84 responden.

Jumlah sampel diperoleh dengan rumus sampel:

n= N

1 + N (d) ²

Keterangan :

n : Jumlah Sampel

N : Jumlah Populasi

d : Tingkat Signifikasi 10% ( 0,1)

Jadi :

n= 540

1 + 540(0,1) ²

= 84,375

= 84 responden

5. Kriteria Sampel

Kriteria sampel dalam penelitian ini meliputi

a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum dari subjek penilaian yang layak untuk

dilakukan penilaian.

Kriteria inklusi dalam penilaian ini meliputi:

- Usia 60 tahun ke atas

- Terdaftar sebagai anggota posyandu lansia di wilayah kerja UPT Puskesmas

Sumbermanjing Kulon

- Bersedia menjadi responden

- Responden kooperatif, bisa membaca, mendengar dan berbicara

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah subjek penelitian yang tidak dapat mewakili sampel karena

tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. Kriteria eksklusi penelitian ini

adalah:

- Responden tidak bersedia menjadi responden

- Responden yang sedang tidak berada di tempat penelitian pada saat penelitian

dilakukan

- Responden yang mengalami pikun

6. Variabel

Variabel dalam penelitian ini yaitu:

1. Variabel bebas (independent)

Variabel bebas merupakan variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya

variabel terikat, jadi variabel independent adalah variabel yang mempengaruhi.

Variabel independent dalam penelitian ini adalah akses ke posyandu dan tingkat

kemandirian lansia

2. Variabel terikat (dependent)


Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat

karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2005). Variabel dependent dalam penelitian

ini adalah keaktifan lansia dalam mengikuti posyandu lansia.

7. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis Data

a. Data primer

Data Primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi lansung

dengan menggunakan kuesioner yang dibagikan pada seluruh lansia

b. Data sekunder

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari Posyandu Lansia wilayah kerja UPT

Puseksmas Sumbermanjing Kulon yang terkait dengan gambaran umum, lokasi

penelitian dan jumlah lansia.

Cara Pengumpulan Data

Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan

lembar kuesioner.

8. Instrumen Penelitian

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar kuesioner yang

telah dimodifikasi bartel dengan katz, berisi tentang pernyataan sesuai dengan variabel

penelitian.

9. Pengolahan data dan analisa data

Pengolahan data

a. Editing

Editing adalah kegiatan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner.
b. Coding

Coding merupakan membuat data atau kode pada tiap-tiap data yang termaksud

kategori yang sama (Notoatmodjo, 2010)

c. Scoring

Scoring adalah memberi skor pada data ysng telsh dikumpulkan

d. Tabulating

Tabulating adalah membuat table yang berisikan data yang telah dikode sesuai dengan

analisis yang dibutuhkan.

10. Penyajian Data

Pada penelitian ini yaitu dalam bentuk table yang kemudian dinarasikan secara

deskriftif (memaparkan) variabel yang telah diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Prof. Dr. 2006. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Azizah, Lilik M. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu

Depkes RI. 2006. Pedoman pelatihan kader kelompok usia lanjut bagi petugas kesehatan.

Direktorat kesehatan keluarga

Depkes, 2008, Pedoman Pembinaan Kesehatan Jiwa Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan.

Available from:http//www.depkes.go.id/download/Keswa_Lansia

Effendi, Nasrul, 1998. Dasar-Dasar Perawatan Kesehatan Masyarakat, Jakarta: EGC.

Hidawati, Lathifah, S. Abi Muchlisin, and M. Kep. Hubungan Akses Ke Posyandu, Dukungan

Keluarga, Dan Keluhan Fisik Dengan Keaktifan Lansia Mengikuti Kegiatan Posyandu
Puspasari Abadi V Di Gonilan Kartasura. Diss. Universitas Muhammadiyah Surakarta,

2016.

https://www.kemkes.go.id/article/view/19070500004/indonesia-masuki-periode-aging-

population.html

https://sensus.bps.go.id/

Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia. Sekretariat Negara. Jakarta

Intarti, Wiwit Desi, and Siti Nur Khoriah. "Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan

posyandu lansia." JHeS (Journal of Health Studies) 2.1 (2018): 110-122.

Irfayani (2012). Perawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika

Kurniaty, Yayuk. Hubungan Keaktifan Lansia mengikuti Posyandu dan Peran Kader dengan

tingkat Kemandirian Lansia di Dusun Krapyak Wetan, Bantul. Diss. STIKES Jenderal A.

Yani Yogyakarta, 2016.

Maas, L. Meridian (2011). Asuahan Keperawatan Geriatric: Diagnosis NANDA, Kriteria Hasil

NOC, Intervensi NIC. Jakarta: EGC

Mangoenprasodjo A. 2005. Mengisi Hari Tua Dengan bahagia. Yogyakarta.

Mangoenprasodjo&Hidayati.(2005). Masalah-Masalah kesehatan Lansia dan

Perawatannya.Yogyakarta: Graha Ilmu

Maryam R. Siti, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba

Medika.

Nugroho, (2000), Keperawatan Gerontik. Edisi 2 Penerbit buku Kedokteran. Jakarta. EGC.

Sari, Aspina Purba. Hubungan antara Sikap dan Keaktifan Lansia ke Posyandu Lansia. Diss.

University of Muhammadiyah Malang, 2017.

Soedomo, H., dkk. (2004). Gangguan Saraf Pada Usia Lanjut. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro
Stanley, Mickey &Beare, P.G. (2006).Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Jakarta: EGC

Stockslager, Jaime. (2008). Asuhan Keperawatan Gerontik.Edisi 2. Jakarta: EGC

Wahono, Hesthi. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia Di

Gantungan Makamhaji. Diss. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010.

Anda mungkin juga menyukai