Obat menurut World Health Organization (WHO) adalah zat yang dapat memengaruhi
aktivitas fisik dan psikis. Berdasarkan Permenkes 917/Menkes/Per/X/1993, obat adalah
sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki
secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi.1
Namun, obat pula dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan berupa adverse drug
reaction (Reaksi Simpang Obat). Erupsi alergi obat merupakan salah satu bagian dari adverse
drug eruption yaitu suatu respon terhadap obat yang dapat bersifat toksis, berbahaya, dan
tidak diharapkan, dengan dosis normal yang digunakan sebagai profilaksis, diagnosis, terapi
suatu penyakit.1
Erupsi obat alergik bermanifestasi pada kulit dan mukosa. Erupsi pada kulit adalah
manifestasi yang paling umum terjadi. Satu macam erupsi dapat disebabkan oleh berbagai
macam obat, sedangkan satu macam obat dapat menyebabkan berbagai macam erupsi.
Gambaran klinis dari erupsi obat memiliki pola yang beragam sehingga membutuhkan
pedekatan secara detail dan sistematis untuk membedakan dengan penyakit kulit lainnya.
Erupsi akibat penggunaan obat-obatan yang terjadi dapat ringan sampai berat hingga
mengancam jiwa.2,3
Meskipun patomekanisme dari erupsi obat alergik masih belum diketahui secara pasti, namun
penelitian mengenai penyakit ini masih terus dikembangkan. Misalnya; mengidentifikasi dan
mengelompokkan pola gejala klinis yang spesifik untuk reaksi hipersensitivitas obat pada
kulit, identifikasi kerentanan genetik terhadap suatu obat tertentu dengan efek sampingnya
serta penerapan langkah-langkah skrining genetik sebagai tindakan preventif untuk kelompok
pasien dan kelompok obat tertentu.4
Definisi
Erupsi obat alergi atau adverse cutaneous drug eruption adalah reaksi hipersensitivitas
terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan
mukosa. Yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,
profilaksis, dan pengobatan. Berikut ini yang merupakan manifestasi klinis dari erupsi obat
alergi adalah Urtikaria, Angioderma Erupsi Makulopapular, Fixed Drug Eruption (FDE),
Pustulosis Eksantematous Generalisata Akut, Eritroderma, Drug Reaction with Eosinophilia
and Systemic Symptoms (DRESS), Steven-Johnson Syndrome (SJS), dan Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN).5
Epidemiologi
Insidensi erupsi obat alergik bervariasi, tidak hanya terjadi pada suatu populasi tertentu.
Pada pasien rawat inap, risiko untuk terkena erupsi obat alergi berkisar antara 10% hingga
15%. Manifestasi klinik yang paling sering ditemukan adalah makulopapular (56%).
Penelitian pada pasien rawat jalan diperkirakan sekitar 2,5% hingga 12% anak-anak dalam
masa pengobatan akan mengalamai reaksi akibat penggunaan obat. Sedangkan pada pasien
lanjut usia tampaknya tidak memiliki peningkatan risiko timbulnya eksantema makulopapular
Kelompok orang yang memiliki resiko tinggi terhadap reaksi obat adalah pasien dengan HIV,
Etiologi
1. Sutedja, E. 2018. Erupsi Alergi Obat. Website Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin.
Bandung. Diakses pada [20 November 2021] https://perdoski.id/mdvi/detail/1178-erupsi-alergi-obat
2. Zalewska-Janowska A, Spiewak R, Kowalski ML. Cutaneous Manifestation of Drug Allergy
and Hypersensitivity. Immunol Allergy Clin North Am. 2017 Feb;37(1):165-181. doi:
10.1016/j.iac.2016.08.006. PMID: 27886905.
3. Kang S, et al. 2019. ‘Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition’. Volume 1. McGraw Hill
Education, United States. p748
5. Menaldi S.W, et al. 2019. ‘ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN’. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; pp. 190-195
6. Harlim A. 2016. ‘Temu Ilmiah Siang Klinik: Erupsi Obat’. Rumah Sakit Umum
Universitas Kristen Indonesia. Jakarta.