Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masih banyak spesies tumbuhan di Indonesia yang belum dikenal manfaatnya,

sehingga berpeluang untuk diteliti lebih lanjut, salah satunya adalah jenis jambu-jambuan

yang termasuk dalam famili myrtaceae merupakan jenis yang dapat ditemukan pada

setiap tingkat pertumbuhan, memiliki lebih dari 1000 spesies dan merupakan flora utama

hutan hujan tropis di daerah Malaysia (Asif et al, 2013). Tanaman jenis ini banyak juga

ditemukan di Indonesia mungkin disebabkan famili ini merupakan jenis tumbuhan yang

memiliki penyebaran sangat mudah dilakukan yaitu oleh binatang pemakan biji.

Telah diketahui salah satu spesies genus syzygium yaitu syzygium myrtifolium

Walp. (tanaman pucuk merah) memiliki senyawa sekunder sebagai pewarna alami,

antioksidan, sitotoksik, antitumor, dan antiangiogenesis serta memiliki sifat sitotoksik

(Hariyanti, 2015). Juga memiliki senyawa metabolik sekunder seperti alkaloid,

triterpenoid, steroid, saponin, fenolik dan flavonoid (Memon et al, 2014).

Menurut penelitian (Nur aini et al, 2015) menyatakan bahwa pada ekstrak total

dan fraksi etil asetat daun merah syzygium myrtifolium Walp. bersifat toksik karena pada

konsentrasi <1000 ppm mampu menyebabkan kematian 50% hewan uji.

Berdasarkan uraian diatas telah banyak penelitian tentang spesies genus Syzygium.

Namun belum ditemukan adanya penelitian tentang kandungan fenolik total, flavonoid

total dan aktivitas sitotoksik khususnya pada ekstrak Syzygium napiforme. Pada saat

survei ke lapangan ditemukan adanya gall pada batang Syzygium napiforme dan juga

menarik untuk diteliti, bahwa dari reverensi yang didapat gall adalah pertumbuhan yang

tidak normal pada jaringan luar tanaman, mirip dengan tumor atau terjadinya

pembengkakan (Merriam, 2007). Pembengkakan yang terjadi adalah bentuk pertahanan


tanaman terhadap serangan-serangan hama atau bakteri dari luar. Namun, penelitian

tentang perbedaan metabolit sekunder dan aktivitas sitotoksik dari gall Syzygium

napiforme dengan tanaman Syzygium napiforme yang tidak terkena gall itu belum di

temukan.

Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti kandungan fenolik total, flavonoid total

dan aktivitas sitotoksik baik pada tumbuhan Syzygium napiforme dan gall Syzygium

napiforme. Peneliti menggunakan metode fraksi batang dan gall syzygium napiforme

untuk dilakukan uji aktivitas sitotoksisitasnya menggunakan larva udang Artemis salina

(metode BSLT), yang mana akan dilakukan perbandingan antara batang Syzygium

napiforme dan gall Syzygium napiforme, untuk melihat apakah tumbuhan syzygium

napiforme dan gall Syzygium napiforme memiliki aktivitas sitotosik.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Berapakah kadar fenolik total dan flavonoid total dari ekstrak batang dan gall

Syzygium napiforme ?

1.2.2 Bagaimana aktivitas sitotoksik fraksi batang dan gall Syzygium napiforme dengan

metode BLST ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui kadar fenolik total dan flavonoid total dari ekstrak batang dan

gall Syzygium napiforme.

1.3.2 Untuk aktivitas sitotoksik fraksi batang dan gall Syzygium napiforme dengan

metode BLST.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

1. Dapat menerapkan ilmu yang didapat selama masa pendidikan.


2. Dapat mengetahui uji sitotoksik kandungan fenolik dan flavonoid total fraksi

batang dan gall syzygium napiforme.

1.4.2 Bagi Institusi

Dapat menjadi pedoman dalam mengembangkan penggunaan ekstrak

Syzygisum napiforme dalam penentuan kadar fenolik total dan flavonoid total, uji

sitotoksik menggunkan metode fraksinasi.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Dapat memberikan informasi serta menjadi obat baru dari tanaman Syzygium

napiforme penentuan kadar fenolik total dan flavonoid total serta faksinasi

aktivitas sitotoksik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Syzygium Napiforme

2.1.1 Morfologi

Ada pun penjelasan tanaman Syzygium Napiforme ini menurut (Tukirin

et al, 2020) ialah :

2.1.1.1 Perawakan

Pohon sedang sampai besar dengan diameter batang mencapai 100 cm

dan tinggi total mencapai 40 m. Tubuh silindris agak berkepang kulit luar

coklat kemerahan kulit kasar bagian dalam coklat merah muda. Cabang-

cabangnya silindris abu-abu halus ujungnya segi empat dan tidak ada simpul.

Daunnya tunggal berhadapan pertulangan daun menyirip dengan tulang daun

sekunder rapat, urat daun tidak nyata, gundul. Perbungaan muncul di ujung

cabang. Bunga berwarna putih kemerah-merahan benang sari banyak dan

menonjol. Buahnya berdaging berwarna hijau hingga putih dan beruah

menjadi merah saat matang.

2.1.1.2 Biologi

Berbunga musiman diserbuki oleh serangga terutama lebah kupu-kupu

dan ulat. Buahnya dimakan oleh urung kelelawar dan primata. Penyebarannya

didukung oleh kelompok hewan. Biji berkecambah dengan cepat sehingga

tidak bertahan lama. Perbanyak dengan biji.

2.1.1.3 Penyebarannya

Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa dan Borneo (seluruh pulau).


2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi ilmiah Syzygium napiforme adalah sebagai berikut :

(Roskov et al, 2014)

Nama ilmiah : Syzygium Napiforme

Kerajaan : Plantea

Filum : Tracheophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Syzygium

2.1.3 Nama Lokal

Menurut (Wirdateti, 2005) nama lain dari syzygium napiforme adalah

Merang, tumbuhan ini sebagai pakan dan habitat Kukang yang berlokasi kan

di kawasan Hutan Pasir Panjang, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Menurut (Mustafah, 2015) nama dari syzygium napiforme adalah

Tulang Ular atau Ubah. Sedangkan menurut (Tukirin et al, 2020) adalah Obah,

Tekam dan Ubah.

Gambar. 1 Pohon, Daun, Bunga dan Buah Syzygium Napiforme


Gambar 2. Bagian yang terkena gall

2.2 Gall pada Tumbuhan

2.2.1 Pengertian Tumbuhan Sakit

Banyak ahli yang memberikan definisi mengenai tumbuh- tumbuhan

yang di sebut sakit. Dari beberapa definisi dan pengertian yang telah diberikan

para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu tumbuhan dikatakan sakit

jika mengalami perubahan dalam proses fisiologis karena faktor-faktor

penyebab penyakit sehingga jelas ditunjukkan adanya gejala. Faktor-faktor

penyebab penyakit tersebut dapat meliputi (Agrios, 1997):

1. Faktor biotik seperti : fungi, bakteri, virus, mikoplasma, nematoda, dan

tumbuhan tingkat tinggi;

2. Faktor abiotik seperti : cuaca, suhu, mineral, senyawa toksik, dan

penyebab lainnya.

Penyebab penyakit biologis adalah penyakit menular juga dikenal

sebagai penyakit fisiologis. Dalam beragai literatur yang berhubungan dengan

penyakit tanaman (phytopatology) pembahasan lebih lanjut telah dilakukan

tentang penyakit tanaman yang disebabkan oleh faktor biologis atau mikroa.

Penyakit tanaman dapat didefinisikan sebagai studi tentang virus bakteri jamur
nematoda dan tanaman tingkat tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan

pada tanaman atau tegakan dan hasil tanaman.

2.2.2 Pengertian Gall

Galls dari bahasa Latin galla, 'oak-apple' atau cecidia dari bahasa

Yunani kēkidion, (segala sesuatu yang memancar keluar) adalah jenis

pembengkakan pada jaringan luar tanaman, jamur, atau hewan. Empedu

tanaman adalah pertumbuhan yang tidak normal dari jaringan tanaman, mirip

dengan tumor jinak atau kutil pada hewan. Gall dapat disebabkan oleh

berbagai parasit, dari virus, jamur dan bakteri, hingga tanaman lain, serangga

dan tungau. Empedu tanaman seringkali merupakan struktur yang sangat

terorganisir sehingga penyebab empedu seringkali dapat ditentukan tanpa agen

yang sebenarnya diidentifikasi. Ini berlaku terutama untuk beberapa serangga

dan kutu tanaman (Merriam, 2007).

Secara umum kandungan empedu didefinisikan sebagai perubahan

patologis yang terjadi pada sel, jaringan, atau organ-organ tumbuhan dalam

bentuk hypertrophy (peningkatan ukuran sel atau sel membesar), hyperplasia

(peningkatan jumlah sel) akibat dari stimulasi organisme asing. Ilmu yang

mempelajari tentang gall pada tumbuhan disebut Cecidology, sehingga

penyebab gall (gall formers) dari hewan berupa serangga dan nematoda

disebut Cecidozod. Pembentukan gall hanya terjadi pada jaringan-jaringan

meristematis tumbuhan seperti pada pucuk, tunas, daun muda, bunga, batang

muda, dan ujung akar (Gullan & Cranston, 1994).


Gambar 3. Empedu Mahkota pada Kalanchoe yang terinfeksi Agrobacterium
tumefaciens.

Gambar 5. Empedu dari Tanaman Giok (Crassula ovata)

2.2.3 Penyebab Gall pada Tanaman

2.2.3.1 Serangga dan Tungau

Galls serangga adalah struktur tanaman yang sangat khusus yang

dibentuk oleh beberapa serangga herbivora tertentu sebagai habitat mikro

mereka sendiri. Ini adalah jaringan tanaman yang dikendalikan oleh serangga.

Empedu berfungsi sebagai habitat dan sumber makanan bagi pembuat empedu.

Bagian dalam empedu dapat mengandung pati bergizi yang dapat dimakan

oleh jaringan lain. Bagian dari empedu bertindak sebagai "penyerap

fisiologis", memusatkan sumber daya dalam empedu di bagian tanaman di

sekitarnya. Galls dapat memberikan serangga perlindungan fisik dari predator

(Larson, 1991).
Galls serangga biasanya disebabkan oleh bahan kimia yang disuntikkan

ke dalam tanaman oleh larva serangga, dan dapat merusak diri senditi. Setelah

galls terbentuk, larva yang berkembang di dalam hingga dewasa sepenuhnya

sampai mereka pergi. Untuk membentuk galls, serangga harus memanfaatkan

waktu ketika pembelahan sel tanaman terjadi dengan cepat pada saat musim

tanam, biasanya musim semi di daerah beriklim sedang, tetapi diperpanjang di

daerah tropis. (Weis, A. E. & Kapelinski, A., 1994).

Gambar 6. Empedu marmer kayu ek yang dipotong menunjukkan


"sel" pusat, ruang inquiline, dan lubang keluar dengan spesimen
empedu berbentuk kerdil yang mungkin diparasit.

Pada meristem di mana pembelahan sel tanaman terjadi adalah letak

biasa gall, meskipun gall serangga dapat ditemukan di bagian lain dari

tanaman, seperti daun, batang, cabang, tunas, akar, dan bahkan bunga dan

buah-buahan. Serangga penginduksi empedu biasanya spesifik spesies dan

terkadang spesifik jaringan pada tanaman yang mereka ambil. Serangga

penginduksi empedu termasuk tawon empedu, pengusir hama empedu, lalat

empedu (misalnya, lalat empedu goldenrod), Agromyzidae, kutu daun (seperti

Melaphis chinensis, Pemphigus spyrothecae, dan Pemphigus betae), serangga

skala, psyllids, thrips, ngengat empedu (misalnya, Epiblema scudderiana), dan

kumbang penggerek (Volovnik, S. V. 2010).


Empedu yang dihasilkan oleh serangga dan tungau antara lain:

(Volovnik, S. V. 2010).

1. Tangkai daun dan stipule galls : galls berbentuk bola yang tebal dapat

berkembang pada tangkai daun dan batang. Banyak di antaranya

disebabkan oleh serangga yang disebut phylloxerans yang sangat mirip

dengan kutu daun. Galls kayu yang keras dapat tetap berada di pohon

selama beberapa tahun. Biasanya, ada satu generasi setiap tahun dan

serangga selama musim dingin di pohon dalam tahap telur.

2. Galls pada pucuk Willow: pembengkakan pucuk, ranting, atau tangkai

daun, dapat disebabkan oleh lalat kecil (tungau) atau tawon kecil

(sawflies). Empedu tumbuh lebih besar selama proses pertumbuhan.

Mereka tidak menyebabkan cedera yang tidak sigifikan. Kutu dapat

dikurangi dengan memangkas dan menghancurkan daerah galled sebelum

serangga dewasa muncul, biasanya di akhir musim panas.

2.2.3.2 Fungi

Fungi (filum Eumycophyta) atau fungi merupakan tumbuh-tumbuhan

yang tidak mempunyai klorofil Dengan tidak adanya klorofil, maka fungi tidak

akan mengadakan transpirasi, respirasi, dan fotosintesis, dapat hidup sama baik

di tempat gelap atau tempat terang, sinar matahari langsung tidak di perlukan,

makanannya dari zat organic hidup lainnya atau zat organic yang mati. Fungi

tumbuh dan ber siklus dimulai dari spora. Spora adalah bagian tubuh fungi

berukuran sangat kecil, hanya dapat dilihat dengan alat pembesar dan

bentuknya dapat berbentuk bermacam-macam (Sutarman, 2017).


Gambar 7. Rhododendron ferrugineum terinfeksi oleh jamur
Exobasidium.

Banyak jamur karat menyebabkan pembentukan empedu, termasuk

karat empedu barat yang menginfeksi berbagai pohon pinus dan karat apel

cedar . Galls sering terlihat pada daun dan buah Millettia pinnata. Daun

empedu tampak seperti tongkat kecil. Namun, galls bunga berbentuk bulat.

Exobasidium sering menginduksi galls menakjubkan pada inangnya (Terrell,

E. E. & Batra, L. R., 1982).

Jamur Ustilago esculenta yang berasosiasi dengan Zizania latifolia,

padi liar, menghasilkan empedu yang dapat dimakan yang bernilai tinggi

sebagai sumber makanan di provinsi Zhejiang dan Jiangsu di Cina (Terrell, E.

E. & Batra, L. R., 1982).

2.2.3.3 Bakteri dan Virus

Bakteri (filum Schizomycophyta) merupakan tumbuhan uniseluler dan

dinding selnya terdiri dari kelompok nitrogen; banyak dari mereka ditutupi

gelatin, dinding selnya tipis sehingga makanan dapat menembusnya.

Berdasarkan bentuknya, sel bakteri dibagi menjadi:

1. Bentuk kokus (cocccus), yaitu sel bakteri berbentuk bulat.

2. Bentuk batang (bacillus), yaitu sel bakteri berbentuk batang

3. Bentuk spiral (sirillum), yaitu bakteri berbentuk seperti spiral.


4. Bentuk koma (comma), yaitu bakteri berbentuk batang dan membengkok.

Sel bakteri dapat berpasangan dalam bentuk cincin atau rantai, tetapi

kelompok ini hanya satu kelompok. Biasanya hanya jenis batang yang

menyebabkan penyakit tanaman (Agrios, 1997).

Virus adalah tubuh yang berada di antara benda mati dan benda hidup.

Dikatakan benda mati karena dapat mengkristal, sedangkan dikatakan benda

hidup karena dapat berkembang biak seperti organisme hidup jika berada

dalam sel inangnya, tetapi di luar inang virus hanya partikel saja yang

merupakan molekul (Sutarman, 2017).

Klasifikasi virus sebagai patogen penyakit tanaman didasarkan pada

perbedaan gejala, cara penularan, sifat fisik dan kimia serologi, dan fenomena

penghambatan. Gejala penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus sering

kali lambat dan sulit dideteksi, seperti perubahan warna (daun), tumbuh

kerdil, layu/keriting, dan lain-lainya (Sutarman, 2017).

2.2.3.4 Nematoda

Nematoda adalah cacing mikroskopis yang hidup di dalam tanah.

Beberapa nematoda (spesies Meloidogyne atau nematoda akar tulang)

menyebabkan galls pada akar tanaman yang rentan. Galls kecil, individu dan

seperti biji di beberapa inang. Pada spesies tumbuhan ini, dapat berupa

akumulasi besar jaringan berdaging yang berdiameter lebih dari 25 mm.

Beberapa nematoda ektoparasit (nematoda yang hidup di luar tanaman di

dalam tanah), seperti nematoda menyengat dan akar pendek, dapat

menyebabkan ujung akar membengkak.


Bakteri pengikat nitrogen (spesies Rhizobium) menyebabkan

pembengkakan pada akar legum (seperti semanggi, kacang polong dan kacang-

kacangan). Tonjolan ini, yang disebut nodul, mudah dibedakan dari galls

dengan perbedaan bagaimana mereka menempel pada akar dan isinya. Nodul

melekat longgar pada akar, sedangkan akar-simpul galls berasal dari infeksi

pada bagian tengah akar, sehingga merupakan bagian integral dari akar. Selain

itu, nodul Rhizobium segar mengandung cairan berwarna coklat kemerah-

merahan di dalamnya, sedangkan empedu di ganglion akar memiliki jaringan

yang lebih kaku dan mengandung nematoda akar tunggang (mutiara putih

krem dengan diameter kurang dari 1 mm atau 1/32 di diameter) di dalam

jaringan empedu (Garcia, Lynne S, 1999).

2.3 Simplisia dan Ekstraksi

2.3.1 Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang

digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan.

Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari,

di angin-angin, atau menggunakan oven, kecuali dinyatakan lain suhu

pengeringan dengan oven tidak lebih dari 60°. (Farmakope Herbal

Indonesia, 2017). Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan

sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali

dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 2000).

Simplisia terdiri dari 2 jenis yaitu : (Farmakope Herbal Indonesia,

2017).

2.3.1.1 Simplisia Segar adalah bahan alam segar yang belum dikeringkan.
2.3.1.2 Simplisia Nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh,

bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan

adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau

dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau zat nabati lain

yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya.

2.3.2 Karakteristik Simplisia

Karakterisasi merupakan sebuah langkah dalam menentukan kualitas

secara sederhana, sehingga hasil tersebut dapat dijadikan sebagai standar

untuk pengembangan penelitian selanjutan (Supomo, dkk., 2016). Suatu

jenis simplisia dikatakan bermutu baik jika memenuhi persyaratan mutu

yang tercntum dalam monografi simplisia, antara lain susut pengeringan,

kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut air, kadar sari

larut etanol, dan kandungan kimia simplisia. Persyaratan mutu ini berlaku

untuk simplisia yang digunakan untuk pengobatan dan pemeliharaan

kesehatan (Depkes RI, 2008).

Karakteristik simplisia dalam penelitian ini meliputi uji

organoleptik, parameter kadar abu, parameter kadar air, parameter kadar

sari larut etanol dan air dan parameter susut pengeringan.

2.3.2.1 Organoleptis (Depkes RI, 2000).

Parameter organoleptis simplisia adalah pendeskripsian

menggunakan pancaindra meliputi warna, bentuk, bau dan rasa. Penentuan

parameter ini bertujuan untuk memberikan pengenalan awal yang

sederhana pada simplisia.


2.3.2.2 Parameter kadar abu dan kadar abu tidak larut asam (Depkes RI,

2000).

Parameter Kadar abu simplisia adalah simplisia dipanaskan pada

temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi serta

menguap. Sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik. Tujuannya

memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang

berasal dari proses awal sampai terbentuknya simplisia. Sedangkan kadar

abu tidak larut asam tujuannya ialah untuk mengetahui jumlah abu yang di

peroleh dari faktor luar, bersumber dari pengotor yang berasal dari pasir

atau tanah silikat.

2.3.2.3 Parameter kadar air (Depkes RI, 2000).

Pengertian dan prinsip:Pengukuran kandunagn air yang

berada didalam bahan, dilakukan dengan cara tepat diantara titrasi,

destialsi atau gravimetri. Tujuan Memberikan batasan minimal atau

rentang tentang besarnya kandungan air didalam bahan.

2.3.2.4 Parameter kadar sari larut etanol dan air (Depkes RI, 2000).

Parameter kadar sari larut etanol dan air adalah melarutkan

simplisia dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan jumlah

solut yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri.

Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain

misalnya heksana, diklorometan, metanol. Tujuannya memberikan

gambaran awal jumlah senyawa kandungan.


2.3.2.5 Parameter Susut Pengeringan (Depkes RI, 2000).

Parameter susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah

pengeringan pada suhu 1050C selama 30 menit atau sampai berat konstan,

yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak

mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap)

identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada

diatmosfir/lingkungan udara terbuka. Tujuannya memberikan batasan

maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses

pengeringan.

2.3.3 Persyaratan Parameter dari Karakterisasi Simplisa

No. Parameter Depkes RI, 1989

1. Kadar abu total ≤ 6%

2. Kadar abu tidak larut asam ≤ 1,5%

3. Kadar air ≤ 10%

4. Kadar sari larut dalam air ≥ 18%

5. Kadar sari larut etanol ≥ 12,5%

6. Susut pengering -

Tabel 1. Persyaratan parameter Depkes RI, 1989

2.3.4 Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari

jaringan tumbuhan maupun hewan dengan menggunakan penyari yang

sesuai. Ekstrak adalah sediaan dalam bentuk kering, kental atau cair yang

diperoleh dengan ekstraksi simplisia dari nabati atau hewani berdasarkan


cara yang sesuai, terlepas dari pengaruh cahaya matahari langsung

(Depkes RI, 2000).

Ekstraksi adalah pemisahan zat aktif dari bagian tanaman. Tujuan

dari proses ekstraksi adalah untuk mengekstrak komponen kimia yang ada

dalam bahan yang akan diekstraksi. Ekstraksi terjadi karena perpindahan

massa komponen zat padat ke dalam dimulai dari antarmuka difusi masuk

ke dalam pelarut. Proses ekstraksi komponen kimia dalam sel tanaman

pada pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat aktif (Hambali, dkk. 2014). Bahn aktif

yang di ekstraksi dari bahan pada setelah pemisahan dari pelarut dikenal

sebagai ekstrak. Ekstrak dapat disajikan sebagai sediaan kering, kental

atau cair.

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan

menyari simplisia nabati menurut cara yang cocok, di luar pengaruh

cahaya matahari langsung (Farmakope Herbal Indonesia, 2017).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan

mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani

menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua

pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan

sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar

ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi.

Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan cara destilasi dengan

pengurangan tekanan, agar bahan utama obat sesedikit mungkin terkena

panas (Depkes RI, 2014).

2.3.5 Metode Ekstraksi


Metode ekstraksi bahan alam ada 2 yaitu cara dingin dan cara

panas. Metode ekstraksi yang termasuk cara dingin adalah maserasi dan

perkolasi, sedangkan yang termasuk cara panas adalah refluks, digesti,

infusa, dekoktasi dan ekstraksi sinambung dengan menggunakan soxhlet

(Depkes RI, 2000).

2.3.5.1 Metode ekstraksi cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pembuatan ekstrak simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu

ruangan 20oC - 25oC. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan

prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi

kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus).

Remaserasi yang berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya

(Depkes RI, 2000)

Keuntungan maserasi adalah bahan yang sudah halus

memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan

melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan

terlarut, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan pelarut dalam

jumlah banyak, waktu yang lama dan penyarian kurang sempurna

(Ansel, 1989).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah poses ekstraksi dengan pelarut yang selalu

baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya

dilakukan pada suhu ruangan. Proses terdiri dari tahapan


pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya (penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh

ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000).

Kelebihan dari metode ini yaitu tidak diperlukan proses

tambahan untuk memisahkan padatan dengan ekstrak, sedangkan

kerugian metode ini adalah jumlah pelarut yang dibutuhkan cukup

banyak dan proses juga memerlukan waktu yang cukup lama, serta

tidak meratanya kontak antara padatan dengan pelarut (Sarker, S.D., et

al, 2006).

2.3.5.2 Metode ekstraksi cara panas

a. Refluks

Refluks adalah proses terbentuknya ekstrak dengan pelarut

pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah

pelarut terbatas yang relatif stabil dengan adanya pendingin balik.

Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai

3-5 kali sehingga dapat disebut proses ekstraksi sempurna (Depkes,

RI., 2000).

Kelebihan metode refluks adalah padatan yang memiliki tekstur

kasar dan tahan terhadap pemanasan langsung dapat diekstrak dengan

metode ini. Kerugian metode ini adalah memerlukan jumlah pelarut

yang banyak (Irawan, B., 2010).

b. Sokletasi

Sokletasi adalah proses terbentuknya ekstrak menggunakan

pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat yang

disebut Soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah


pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, RI.,

2000).

Pada metode ini, padatan disimpan dalam alat soxhlet dan

dipanaskan, sedangkan yang dipanaskan hanyalah pelarutnya. Pelarut

di dinginkan dalam kondensor, kemudian mengekstraksi padatan.

Kelebihan metode soxhlet adalah proses ekstraksi berlangsung secara

berkelanjutan, memerlukan waktu ekstraksi yang lebih sebentar dan

jumlah pelarut yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan metode

maserasi atau perkolasi. Kerugiannya ialah dapat menyebabkan

rusaknya komponen lainnya yang tidak tahan panas karena pemanasan

ekstrak yang dilakukan secara terus menerus (Sarker, S. D. et al.

2006). Kemudian dapat bekerja dalam waktu yang lama bisa berjam –

jam bahkan berhari – hari (Rassem et al. 2016).

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan secara

berkelanjutan) pada suhu yang lebih tinggi dari suhu ruangan, yaitu

secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C (Depkes, RI., 2000).

d. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan pemanasaan

menggunakan pelarut air selama 15 menit pada suhu 90 0C (Depkes,

RI., 2000).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan pemanasan

menggunakan pelarut air selama 30 menit pada suhu 90oC

(Depkes,RI., 2000).
2.4 Skrining Fitokimia dan Metabolit Sekunder

2.4.2 Pengertian Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia adalah metode yang digunakan untuk mempelajari

komposisi senyawa aktif yang terdapat dalam suatu sampel yaitu struktur

kimia biosintesis distribusi alami dan fungsi biologis isolasi dan perbandingan

komposisi kimia tumbuhan. Contoh tumbuhan yang digunakan dalam

pengujian botani adalah daun batang, buah, bunga dan akar yang berkhasiat

obat sebagai bahan aku pemuatan obat tradisional dan oat modern.

(Agustina, dkk. 2016).

Skrining fitokimia merupakan langkah awal dalam penelitian fitokimia

yang bertujuan untuk memerikan prediksi tentang jenis senyawa yang ada

pada tanaman yang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan

mengamati reaksi uji zat warna dengan pereaksi zat warna. Hal penting yang

berperan dalam proses ekstraksi tumbuhan adalah pemilihan pelarut dan

metode ekstraksi ekstrak tumbuhan dalam bentuk serbuk dan ekstrak termasuk

pengujian kandungan ekstrak tumbuhan alkaloid, flavonoid, terpenoid, steroid

tanin dan saponin. sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Harone.

(Khusnul Khotimah, 2016).

2.4.3 Metabolit Sekunder

2.4.3.1 Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar yang senyawanya terdiri

dari C6-C3-C6 dan dan banyak terdapat pada berbagai tumbuhan sebagai

glikosida atau gugus gula yang terdiri dari satu atau lebih gugus hidroksil
fenolik (Sirait, 2007). Flavonoid adalah senyawa fenolik, sehingga warnanya

dapat berubah ketika basa atau amoniak ditambahkan. Ada sekitar 10 jenis

flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon,

biflavonil, kalkon, auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne, 1987).

Pengujian flavonoid dapat menggunakan uji warna khususnya uji

fitokimia untuk mengetahui adanya senyawa golongan flavonoid dan penguji

adanya senyawa polifenol. Pengujian adanya senyawa flavonoid dari dalam

sampel menggunakan uji Wilstatter, uji Bate-Smith, dan uji dengan NaOH

10% (Achmad, 1996).

2.4.3.2 Tanin

Tanin merupakan senyawa yang umum ditemukan pada tumbuhan

berpembuluh, memiliki gugus fenol, memiliki rasa kelat dan mampu

menyamak kulit karena kemampuannya menyambung silang protein. Ketika

direaksikan dengan protein, ia membentuk ke polimer stabil yang tidak larut

dalam air. Secara kimia, tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin

terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terhidrolisis atau flavolan dapat

dibentuk dengan biosintesis dengan cara mengkondensasi katekin sederhana

untuk membentuk senyawa dinner dan kemudian oligomer yang lebih tinggi.

Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis dengan

cara direbus dalam asam klorida encer (Harbone, 1987).

Uji tanin dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak sampel dalam

metanol sampai sampel terendam seluruhnya. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes

larutan FeCL3 1 %. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna

hitam kebiruan atau hijau (Sangi dkk, 2008).


2.4.3.3 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol yang telah ditemukan di

lebih dari 90 spesies tanaman. Glikosida adalah kompleks gula pereduksi

(glikon) dan non-gula (aglikon). Banyak saponin memiliki hingga 5 unit gula

dan bahan umum adalah asam glukuronat. Kehadiran saponin dalam tanaman

ditunjukkan dengan pembentukan busa selama ekstraksi tanaman atau dengan

konsentrasi ekstrak (Harbone, 1987).

Uji saponin dilakukan dengan cara memasukkan ekstrak sampel

sebanyak 1 gram ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan air suling

hingga terendam seluruhnya, dididihkan selama 2-3 menit, dan selanjutnya

didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat. Hasil positif ditunjukkan dengan

pembentukan bui yang stabil (Sangi dkk, 2008).

2.4.3.4 Terpenoid

Terpenoid merupakan konsisten tumbuhan yang berbau dan dapat

diisolasi dari bahan tumbuhan dengan penyulingan yang disebut minyak atsiri

Terpen adalah suatu senyawa yang terdiri dari isoprene CH2=C(CH3)-

CH=CH2 dan kerangka karbon nya dibangun dengan menggabungkan oleh

penyambungan 2 atau lebih unit C5 ini. Terpenoid terdiri beberapa jenis

senyawa seperti monoterpen dan seskuiterpen yang mudah menguap, diterpen

yang sukar menguap, dan triterpen dan sterol yang tidak mudah menguap.

Pada umum senyawa ini larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel

tumbuhan. Biasanya senyawa ini diekstraksi dengan menggunakan petroleum


eter, eter, atau kloroform. Steroid adalah senyawa triterpen yang terdapat

dalam bentuk glikosida (Harborne, 1987).

Uji triterpenoid dilakukan dengan menguapkan larutan uji menjadi 2

ml. Residu yang dihasilkan dilarutkan dalam 0,5 mL kloroform, kemudian

ditambahkan 0,5 mL asam asetat anhidrat. Kemudian teteskan campuran ini

dengan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung reaksi. Jika terbentuk

warna hijau kebiruan, ini menunjukkan adanya sterol. Jika hasilnya berupa

cincin berwarna coklat atau ungu pada batas kedua pelarut, hal ini

menunjukkan adanya triterpenoid. (Jones and Kinghorn, 2006).

2.4.3.5 Alkaloid

Alkaloid adalah sekelompok senyawa yang ditemukan secara luas di

sebagian besar tanaman. Semua alkaloid mengandung setidaknya satu atom

nitrogen yang biasanya bersifat basa dan membentuk cincin heterosiklik

(Harbone,1987). Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit

kayu dari tanaman. Kadar alkaloid tanaman bisa mencapai 10-15 %. Alkaloid

sebagian besar beracun, tetapi beberapa sangat berguna secara medis. Alkaloid

merupakan senyawa tanpa warna, sering kali bersifat optic aktif, kebanyakan

berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cair seperti nikotin pada

suhu kamar (Harbone, 1987).

Jika reaksi positif yang membentuk endapan paling sedikit dua reaksi

dari kelompok reaksi endapan yang dilakukan, maka sampel tersebut dikatakan

mengandung alkaloid. Kebanyakan alkaloid tidak larut atau sedikit larut dalam

air, tetapi bereaksi dengan asam untuk membentuk garam yang larut dalam air.

Alkaloid bebas biasanya larut dalam eter atau kloroform atau pelarut non-polar
lainnya, kebanyakan berbentuk kristal, tetapi ada juga yang amorf dan sangat

sedikit yang berbentuk cair pada suhu kamar. Garam alkaloid berbentuk

kristal. Alkaloid biasanya tidak berwarna dan memiliki rasa pahit (Setiawan,

2013).

2.5 Penentuan Kadar Fenolik Total dan Flavonoid Total

2.5.2 Fenolik Total

Metode yang digunakan untuk mengetahui kandungan fenol total

dalam ekstrak tanaman adalah metode kolorimetri menggunakan

spektrofotometri UV-Vis. Metode spektrofotometri UV-Vis dengan prinsip

kolorimetri memerlukan standar baku untuk menentukan konsentrasi total

gugus hidroksil fenolik dalam ekstrak tanaman. Metode ini sederhana, cepat,

murah, dan dapat dilakukan pada laboratorium biasa (Salim,dkk. 2020).

Pereaksi Folin-Ciocalteu (FC) menghasilkan pereaksi redoks yang

bereaksi secara spesifik dengan senyawa fenolik ekstrak tumbuhan

membentuk kompleks biru yang kadarnya dapat diukur dengan

spektrofotometri UVVis. Kandungan total fenol dihitung menggunakan asam

galat sebagai standar, sehingga hasilnya menggunakan setara mg asam galat

per gram ekstrak. Asam galat lebih banyak digunakan sebagai standar untuk

fenol karena merupakan salah satu senyawa fenolik yang stabil secara alami

dan banyak terdapat pada substrat pakan ternak (Salim et al., 2020).

Kemampuan senyawa fenolik sebagai senyawa bioaktif memegang peranan

penting dalam kemaslahatan manusia. Salah satunya adalah antioksidan untuk

mencegah atau mengobati penyakit degeneratif seperti kanker, penuaan dini

dan gangguan sistem kekebalan tubuh (Apsari dan Susanti, 2011).


Asam galat termasuk kedalam senyawa fenolik yang berasal dari asam

hidroksibenzoat yang tergolong asam fenolik sederhana. Asam galat bereaksi

dengan pereaksi Folin Ciocalteau menghasilkan wama kuning yang

teridentifikasi bahwa terdapat senyawa fenolik, setelah itu ditambahkan

dengan larutan Na2CO3 sebagai pemberi suasana basa. Selama reaksi

berlangsung, gugus hidroksil pada senyawa fenol bereaksi dengan pereaksi

Folin Ciocalteau, membentuk kompleks molibdenum- tungsten berwarna biru

dengan struktur yang belum diketahui dan dapat dideteksi dengan

spektrofotometer. Warna biru yang terbentuk akan semakin pekat, setara

dengan konsentrasi ion fenolak yang terbentuk, maksudnya semakin besar

konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolak yang akan

mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) menjadi kompleks

molibdenum-tungsten sehingga wama yang dihasilkan semakin pekat

(Viranda. 2009).

Gambar 8. persamaan reaksi antara senyawa fenol dan reagent Folin


Ciocalteau (Tursiman dkk. 2012)

2.5.3 Flavonoid Total

Penentuan jumlah flavonoid total dapat ditentukan secara kolorimetri

yang mempunyai prinsip pengukuran berdasarkan pembentukan warna.

Terdapat dua metode kolorimetri yaitu, metode aluminium klorida dan metode

2,4- dinitrofenilhidrazin. Metode aluminium klorida digunakan untuk

menentukan golongan flavon dan flavonol senyawa yang bereaksi jika


mengandung gugus keto dan gugus hidroksi. Sedangkan metode 2,4-

dinitrofenilhidrazin untuk menentukan golongan flavanon dan flavanonol yang

dianalisis dengan metode kolorimetri senyawa yang bereaksi adalah senyawa

yang mengandung gugus NH2, gugus aldehid dan gugus keton (Harborne.

1987).

Senyawa yang digunakan sebagai standar pada penentuan kadar

flavonoid ini adalah quersetin, karena quersetin merupakan senyawa flavonoid

golongan flavonol yang memiliki gugus keto pada atom C-4 dan juga gugus

hidroksil pada atom C-3 dan C-5 yang bertetangga (Azizah, dk., 2014).

Penambahan kalium/natrium asetat untuk penentuan kadar flavonoid

total bertujuan untuk menstabilkan dan mempertahankan panjang gelombang

pada rentang tampak, sedangkan perlakuan inkubasi selama 30 menit sebelum

pengukuran bertujuan agar reaksi aktif sempurna. sehingga memberikan

intensitas warna maksimum (Azizah, dkk. 2014).

Gambar 9. Persmaan reaksi antara quersetin dan AlCl3 (Lindawati dan


Ma’ruf, 2020)

2.6 Spektrofotometri UV-Vis

2.6.2 Pengertian Spektrofotometri UV-Vis


Spektrofotometri UV-Vis singkatan dari spektrofotometri sinar ultra

violet dan visivle (cahaya tampak). Metode ini didasari pada pengukuran

energi cahaya oleh suatu zat kimia pada panjang gelombang maksimum

tertentu. Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-

400 nm, dan sinar tampak (visible) mempunyai panjang gelombang 400-750

nm (Handbook, 2017).

Analisis spektrofotometri kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi

senyawa organik dengan membandingkan spektrum serapan dengan spektrum

senyawa yang sudah diketahui jika data tersedia, sedangkan analisis

spektrofotometri kuantitatif digunakan untuk menentukan jumlah spesies

molekul yang menyerap radiasi. Teknik spektrofotometri sederhana, cepat,

cukup spesifik dan cocok untuk mengukur sejumlah kecil senyawa. (Behera,

dkk., 2012).

Hukum Beer menyatakan bahwa intensitas sinar radiasi monokromatik

paralel berkurang secara eksponensial dengan jumlah molekul yang di serap.

Dengan kata lain, absorbansi sebanding dengan konsentrasi. Hukum Lambert

menyatakan bahwa intensitas sinar radiasi monokromatik paralel berkurang

secara eksponensial ketika melewati media dengan ketebalan homogen.

Kombinasi kedua hukum ini menghasilkan hukum Beer-Lambert (Behera,

dkk., 2012).

2.6.3 Tipe – tipe Spektrofotometri UV-Vis

Menurut (Tati, 2017) menyatakan bahwa pada umumnya terdapat 2

tipe instrumen Spektrofotometer yaitu :

2.6.3.1 Singel-beam
Gambar 5. Diagram alat spektrofotometri UV-Vis (Singel Beam).
Singel beam dapat digunakan secara kuantitatif dengan mengukur

absorbansi pada panjang gelombang tunggal. Single-beam instrument

memiliki keuntungan yaitu kesederhanaan, biaya rendah, dan pengurangan

biaya yang ada merupakan keuntungan yang nyata. Beberapa alat

menghasilkan single-beam instrument untuk pengukuran sinar ultra violet

dan caya tampak. Panjang gelombang terrendah adalah 190 sampai 210

nm dan tertinggi adalah 800 sampai 1000 nm (Skoog, DA, 1996).

2.6.3.2 Double-beam

Gambar 6. Diagram Spektrofotometer UV-Vis Double beam

Double-beam dirancang untuk digunakan pada panjang gelombang

antara 190nm - 750 nm. Ada dua sinar yang dibentuk oleh potongan

cermin yang berbentuk V yang disebut pemecah sinar. Sinar pertama

melewati larutan blanko dan sinar kedua secara serentak melewati sampel

(Skoog, DA, 1996) Sumber sinar polikromatis, untuk sinar UV adalah


lampu deuterium, sedangkan sinar Visibel atau sinar tampak adalah lampu

wolfram. Monokromator pada spektrometer UV-Vis di gunakaan lensa

prisma dan filter optik. Sel sampel berupa kuvet yang terbuat dari kuarsa

atau gelas dengan lebar yang bervariasi. Detektor berupa detektor foto

atau detektor panas atau detektor dioda foto, berfungsi menangkap cahaya

yang diteruskan dari sampel dan mengubahnya menjadi arus listrik.

2.7 Farksinasi

2.7.1 Pengertian Fraksinasi

Fraksinasi pada prinsipnya adalah proses penarikan senyawa pada

suatu ekstrak dengan menggunakan dua macam pelarut yang tidak saling

bercampur. Pelarut yang umumnya dipakai untuk fraksinasi adalah n-heksan,

etil asetat, dan metanol. Untuk menarik lemak dan senyawa non polar

digunakan n-heksan, untuk senyawa semi polar etil asetat untuk menarik,

sedangkan metanol untuk menarik senyawa-senyawa polar. Dari proses ini

dimungkinkan untuk memperkirakan polaritas senyawa yang akan dipisahkan.

Diketahui senyawa non polar larut dalam pelarut yang non polar sedangkan

senyawa polar akan larut dalam pelarut yang bersifat polar juga (Mutiasari,

2012).

Fraksinasi dengan menggunakan pelarut merupakan salah satu metode

pemisahan yang baik dan populer karena dapat dilakukan pada tingkat mikro

dan makro. Fraksinasi terdiri dari dua jenis yaitu ekstraksi padat-cair dan cair-

cair. Fraksinasi padat- cair dilakukan dengan alat sokhlet, dimana

keseimbangan di antara fase padat dan fase cair (pelarut) tercapai (Harborne,

2006).
Ekstrak awal adalah campuran dari banyak senyawa yang berbeda.

Ekstrak awal sulit dipisahkan menggunakan teknik pemisahan tunggal untuk

mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu, ekstrak awal harus dipisahkan

menjadi fraksi dengan polaritas dan ukuran molekul yang sama. Fraksinasi

dapat dilakukan dengan ekstraksi cair-cair atau dengan kromatografi cair

vakum (KCV), kromatografi kolom (KK), size-exclution chromatography

(SEC), solid-phase extraction (SPE), yaitu : (Sarker SD, dkk., 2006).

2.7.1.1 Fraksinasi Cair-cair

Fraksinasi cair-cair adalah suatu pemisahan yang berdasarkan pada

perbedaan kelarutan komponen dua pelarut yang tidak saling bercampur. Alat

yang digunakan adalah alat yang sederhana yaitu corong pisah. Prinsip

fraksinasi menggunakan pelarut didasarkan pada distribusi zat terlarut dan

perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak dapatbercampur

(Harborne, 2006).

2.7.1.2 kromatografi cair vakum (KCV)

Fraksinasi adalah proses pemisahan komponen ekstrak berdasarkan

perbedaan kepolarannya. Prinsipnya adalah pemisahan secara partisi dan

adsorpsi yang dipercepat menggukan pompa vakum (Hostettmann et al, 1997).

Keuntungannya terletak pada jumlah fase gerak yang digunakan. Fase

geraknya hanya 80% atau kurang dari kromatografi konvensional dan

kelemahannya adalah membutuhkan waktu yang cukup lama (Hostettmann et

al, 1997). Kromatografi dikeringkan dengan vakum untuk menutupi wadah dan

maksimal, pelarut polar rendah dituangkan ke permukaan penyerap kemudian

secara bertahap meningkatkan polaritas. (Hostettmann dkk, 1997).


2.7.1.3 Kromatografi Kolom (KK)

Kromatografi kolom dapat digunakan untuk memisahkan senyawa

dalam jumlah yang banyak. Teknik kromatografi kolom ini pertama kali

digunakan oleh Tswett, seorang ahli botani Rusia. Tempat untuk memisahkan

klorofil dari pigmen tumbuhan lainnya adalah dengan menggunakan tabung

gelas sempit yang diisi dengan kalsium karbonat sebagai fase diam dan elusi

dengan protein eter sebagai fase gerak yang menghasilkan pita berwarna yang

dikenal sebagai kromatogram. (Determan, 1969).

Kromatografi pemisahan didasarkan pada fase diam dan fase gerak.

Komponen yang akan dipisahkan memiliki afinitas yang berbeda terhadap

adsorben, sehingga komponen nonpolar tidak sama dengan komponen polar.

Ukuran kolom sangat bervariasi, tetapi secara umum panjang kolom

setidaknya 10 kali diameter dalam dan mungkin hingga 100 kali. Rasio

panjang terhadap lebar sangat ditentukan oleh kemudahan atau kesulitan

pemisahan. Ukuran kolom dan jumlah fase diam yang digunakan ditentukan

oleh massa campuran yang akan dipisahkan. Ukuran partikel fase diam kolom

lebih besar dari pada KLT. Dimensinya adalah 63.350 m untuk kolom yang

dioperasikan secara gravitasi. Kolom analisis tekanan biasanya mengandung

40-63 µm atau lebih partikel halus (Stahl, 1969 ).

2.7.1.4 Size-exclution chromatography (SEC)

Metode fraksinasi SizeExclusive Chomatography (SEC) didasarkan

pada pengukuran berat molekul. Prinsip operasi SEC adalah bahwa analit

melewati fase diam berpori. Molekul yang lebih besar dari ukuran pori fase

diam akan terelusi untuk pertama kali keluar dari kolom, sedangkan molekul
yang lebih kecil akan masuk ke dalam pori fase diam sehingga tertahan oleh

kolom tergantung pada ukuran molekul. Pemisahan ini dapat terjadi karena

adanya pembatasan ukuran yang terjadi pada partikel gel. Metode ini

dikelompokkan menjadi dua kategori sebagai kromatografi permeasi gel untuk

pemisahan makromolekul yang larut dalam air dan kromatografi filtrasi gel

untuk makromolekul yang dilarutkan dalam pelarut organik. Untuk bekerja di

lingkungan yang tidak berair, gel yang cocok untuk digunakan adalah

Sephadex LH20 (Purbowati, 2017).

2.7.1.5 solid-phase extraction (SPE),

Solid-Phase Extraction (SPE) dalah metode yang lebih efisien dan

ekonomis yang dapat secara signifikan mengurangi volume pelarut organik

yang dibutuhkan. Ada langkah proses SPE, yaitu: (Silva, 2012)

1. Kemasan cartridge (absorbent) diisi dengan pelarut sampel untuk

membasahi permukaan adsorben dan untuk menghasilkan nilai pH yang

sama untuk ''menghindari perubahan kimia yang tidak diinginkan selama

penyisipan sampling.

2. Sampel retensi, yaitu larutan sampel dilewatkan melalui suatu kartrid atau

untuk menahan analit yang dimaksud sementara sampel komponen lain

dicuci elusi, atau untuk menahan komponen yang tidak diinginkan selama

alanit target dielusi.

3. Bilas, yaitu menghilangkan komponen yang tidak tertahan oleh adsorben

selama penyimpanan.

4. Elusi adalah langkah penyerapan analit yang diharapkan jika analit

dipertahankan dalam adsorben

2.7.2 Pelarut yang digunakan dalam Fraksinasi


2.7.2.1 Etanol

Etanol adalah zat kimia organik yang berbentuk cair pada suhu kamar,

memiliki karakteristik bau alkohol, mudah terbakar, berwarna terang dan dapat

diturunkan dari fraksi biomassa atau minyak bumi dengan rumus molekul

C2H5OH dengan berat jenis dengan berat molekul 6,07 ( Daud, 201). Etanol

sendiri merupakan kelompok senyawa alkohol yang mengandung gugus

hidroksil OH. Etanol dapat menggantikan timbal sebagai penambah oktan pada

bensin. Hal ini disebabkan karena tingginya angka oktan etanol (Muhammad,

2014)

2.7.2.2 Etil Asetat

Asetat Etil asetat adalah larutan bening, tidak berwarna, toksisitas

rendah dan non-higroskopis yang merupakan larutan polar yang mudah

menguap dan umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tinta, plastik atau

perekat. Etil asetat adalah pelarut semi-polar. Selain sebagai pelarut, etil asetat

memiliki fungsi lain sebagai aditif untuk meningkatkan angka oktan bensin

dan juga sebagai bahan baku kimia untuk keperluan umum (Lidiawati et al.,

2018).

2.7.2.3 Kloroform

Kloroform adalah haloalkana dengan tiga atom klorin halida (CI)

dalam rantai C. Kloroform, juga dikenal sebagai trikloromena, memiliki

rumus kimia CHCl3. Kloroform umumnya digunakan sebagai pelarut

untuk lemak, anestesi dan pelarut non-polar di laboratorium atau industri.

Selain itu, dikatakan bahwa kloroform adalah senyawa kimia yang


berfungsi sebagai prekursor dalam produksi polytetrafluoroethylene

(Teflon). (Rahman & Akbar, 2018),

2.7.2.4 n-Heksana

n-Heksana adalah hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H1.

n-heksana merupakan pelarut non polar yang merupakan hasil

penyulingan minyak mentah. Komposisi dan fraksi pelarut ini

dipengaruhi oleh sumber minyak. Solvent nHexane umumnya digunakan

dalam formulasi alas kaki, produk kulit, atap dan produk pembersih.

Pelarut n-hekasane yang biasa digunakan sebagai pelarut organik menarik

karena bersifat non-polar. (Utomo, 2016).

2.8 Kanker

Kanker adalah suatu bentuk sel yang tumbuh dan menyebar secara tidak

terkendali dan dapat menyerang hampir semua bagian tubuh manusia. Pertumbuhan

dan penyebaran sel yang tidak terkendali ini ditemukan di banyak jaringan di

sekitarnya dan dapat bermetastasis ke tempat lain. (WHO, 2018).

Kanker merupakan penyebab kematian utama di negara berkembang.

Berdasarkan data tahun 2013, kanker serviks dan kanker payudara merupakan

kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia yang menyerang wanita, sedangkan

kanker prostat dan kanker paru-paru merupakan kanker yang paling banyak

menyerang pria. (Kemenkes, 2015)

Banyak orang sudah menggunakan obat yang telah dikembangkan untuk

melawan kanker. Namun, kebanyakan obat kanker menyebabkan efek samping yang

tidak diinginkan. Hal ini disebabkan efek nonselektif obat antikanker, karena dapat

menghambat pembelahan sel normal (Yuandani, et al, 2017). Pengobatan yang relatif

mahal dan efek samping pengobatan yang signifikan, mendorong pencarian sumber
baru senyawa nabati yang nantinya dapat menjadi pilihan dalam pengobatan kanker.

(Indiyani et al. 2006).

Kanker berkembang melalui serangkaian proses yang dikenal sebagai

karsinogenesis. Onkogenesis pada dasarnya dibagi menjadi dua fase utama, yaitu

inisiasi dan promosi, tetapi beberapa publikasi menambahkan bahwa tahap

perkembangan kanker diikuti oleh proliferasi metastatik dan neoplasia. (Dinnel,

1987).

Kanker adalah proliferasi sel yang tidak normal. Dalam beberapa kasus,

tingkat proliferasi sangat tinggi. Yang membedakan kanker dari pembelahan sel

normal adalah sel kanker tidak berhenti membelah (Kimball, 1983).

Ada banyak jenis karsinogen dan sering berkaitan erat dengan pola makan dan

gaya hidup manusia, seperti paparan sinar ultraviolet, sinar gamma, asbes, merkuri,

asap kendaraan bermotor, asap rokok, daun, pengawet makanan seperti natrium

benzoat, pewarna makanan seperti sebagai rhodamin, tidak ketinggalan bumbu masak

sintetik (penyedap makanan), khususnya monosodium glutamat

(Monosodium/Mononarium Glutamat) yang semakin beragam dan semakin banyak

digunakan karena harganya yang relatif murah dan ketersediaan nya yang bersifat

artificial flavor. Ditambah dengan penggunaan yang jauh lebih nyaman dibandingkan

bumbu masak alami, alasan sebagian besar konsumen saat ini untuk menggunakan

bumbu sintetik ini sudah cukup. (Alam, 2011).

2.9 Toksisitas

2.9.1 Pengertian Uji Toksisitas

Toksisitas adalah efek berbahaya dari obat pada organ target. Pengujian

toksikologi dilakukan untuk mengetahui seberapa aman dan berbahaya suatu zat. Ada

beberapa sumber zat beracun yang bisa berasal dari bahan alami atau sintetis.
Toksisitas diukur dengan mengamati kematian hewan percobaan. Kematian hewan

percobaan dianggap sebagai respons terhadap efek senyawa uji, sehingga hubungan

reaksi menggunakan kematian sebagai respons toksik adalah titik awal untuk studi

toksisitas. (Shahidi and Botta, 1994).

Dalam pengujian toksisitas laboratorium, istilah yang dikenal untuk

menunjukkan toksisitas suatu zat. Jika kematian hewan uji disebabkan oleh zat

beracun yang masuk ke dalam tubuh, disebut dosis letal (LD). Jika kematian hewan uji

karena reaksi konsentrasi zat terjadi di luar tubuh organisme uji, hal itu disebut

konsentrasi letal (LC). Uji toksisitas dilakukan secara berurutan dengan melihat

tingkat nutrisi organisme, yaitu sepanjang rantai makanan di lingkungan. (Drs.

Priyanto dan apt. M.Biomed. 2009)

Secara umum, metode pengujian toksikologi dibagi menjadi dua kelompok.

Yang pertama adalah uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi efek umum

suatu senyawa pada hewan laboratorium. Tes-tes ini telah didefinisikan sebagai tes

toksisitas sub-elektron, tes toksisitas akut, dan tes toksisitas kronis. Perbedaan antara

ketiga jenis pengujian tersebut terletak pada sifat dan durasi penggunaan atau infus

senyawa uji serta tujuan dan hasil pengujiannya. Yang kedua terdiri dari uji

toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi dengan rinci tipe toksisitas spesifik

meliputi uji potensial, uji reproduksi, uji kemutagenikan, uji karsinogenikan, uji kulit

dan mata, serta uji perilaku (Loomis, 1978).

2.9.2 Metode Uji Toksisitas

2.9.2.1 Uji toksisitas akut

Toksisitas akut adalah efek berbahaya yang terjadi dalam tubuh

segera setelah terpapar suatu zat, baik tunggal atau sintetis (zat) satu kali

atau lebih dalam waktu singkat. Uji toksisitas ini penting untuk penilaian
keamanan dan merupakan prasyarat untuk uji klinis sebelum penggunaan

obat. (Drs. Priyanto dan apt. M.Biomed. 2009).

Pengertian uji toksisitas akut adalah metode untuk menentukan mean

lethal dose (LD50, LC50). mekanisme kerja dan organ target dari zat yang

berpotensi toksik. Sedangkan definisi LD50 atau LC50 adalah dosis atau

konsentrasi yang diberikan sekali (sekali) atau beberapa kali dalam 2 jam

suatu zat yang secara statistik diketahui membunuh 50% hewan percobaan.

Beberapa keuntungan lain dari pengujian toksisitas akut: (Drs. Priyanto dan

apt. M.Biomed. 2009).

1. Menentukan interval dosis untuk uji berikutnya, yaitu uji farmakologi,

toksistas subakut, subkronik, dan toksiistas jangka panjang

2. Mengidentifikasi kemungkinan target organ atau sistem fisiologi yang

dipengaruhi

3. Untuk mengklasifikasikan zat uji

4. Mengetahui hubungan antara dosis dengan timbulnya efek seperti

perubahan perilaku, koma, dan kematian

5. Mengetahui gejala-gejala toksisitas akut sehingga bermanfaat untuk

membantu diagnosis adanya kasus keracunan

6. Untuk memenuhi prasyarat regulasi, jika zat uji akan dikembangkan

menjadi obat.

7. Mencari zat-zat potensial sebagai anti kanker, karena jika suatu zat

memiliki LD50/LC50 kurang dari 100 mg/KgBB atau konsentrasi 1000

ug/ml. zat ini dianggap potensial sebagai sitotoksik.

8. Mengetahui pengaruh umur, jenis kelamin, cara pemberian dan faktor

lingkungan hidup terhadap toksisitas suatu zat.


9. Untuk keperluan evaluasi bahaya suatu zat melalui data yang diperoleh

seperti nilai slope dari grafik hubungan antara log dosis versus respon.

2.9.2.2 Uji Toksisitas Subkronis atau Subakut

Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang

diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama 1 sampai 3

bulan (Huang dkk, 2010).

Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spectrum efek toksik

senyawa uji serta untuk memperlihatkan apakah spectrum efek toksik itu

berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2001) Pengamatan dan

pemerikasaan yang dilakukan dari uji ketoksikan subkronis meliputi :

1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali.

2. Gejala kronis umum yang diamati setiap hari

3. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan

yang diukur paling tidak tujuh hari sekali.

4. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali pada awal dan

akhir uji coba.

5. Pemeriksaan kimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji

coba.

6. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba.

7. Analisis urin paling tidak sekali.

2.9.2.3 Uji Toksistas Kronik

Uji toksisitas kronik zat dilakukan pada dosis harian dan diamati di

sebagian besar siklus hidup hewan uji. Tes toksisitas spesifik mengevaluasi

secara rinci efek spesifik suatu zat pada organ tertentu dari hewan uji. Tes
toksisitas khusus termasuk pengujian ketinggian, pengujian teratogenisitas,

pengujian kulit dan mata (Loomis, 1978).

Petunjuk toksisitas yang dapat digunakan untuk evaluasi toksikologi

adalah dengan menggunakan kematian sebagai bentuk untuk memperkirakan

dosis lethal yang mungkin terjadi pada manusia (Cassaret dan Doull’s, 1975)

Baru-baru ini banyak uji toksisitas telah dikembangkan untuk

pencarian produk alami yang potensial sebagai bahan antineoplastik. Metode

pengujian tersebut antara lain Simple Brench-Top Biassay (terdiri dari Brine

Shrimp Lethality test, Lemna Minor Bioassay dan Crown-Gall Potato disc

bioassay), yaiu :

1. BSLT (Brine Shrimp Lethality Tes)

BSLT (Brine Shrimp Lethality Tes) dalah tes biologis pertama

yang didedikasikan untuk mempelajari bahan alami dan salah satu

metode untuk menguji bahan berbahaya. Bioassay adalah pengujian

yang menggunakan organisme hidup untuk mengetahui efektivitas bahan

hidup atau bahan organik dan anorganik (Hanif, 2012).

Uji toksisitas menggunakan larva Artemia salina (Brine Shrimp

Lethality Test) umumnya mirip dengan kemampuan obat untuk

memiliki efek antikanker. Direkomendasikan untuk menggunakan

metode ini untuk menyaring senyawa bioaktif alami karena telah

terbukti berhubungan dengan metode sitotoksik lainnya secara in vitro

(Carballo, et al., 2002).

Tabel 2. Kategori toksisitas bahan (Meyer et al, 1982)

Kategori LC50 (µg/ml)


Sangat toksik <30
Toksik 30-1000

Tidak Toksik >1000

Aturannya, yaitu dengan menentukan nilai LC50 (letal

concentration) dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva

Artemia Salina Leach. Tingkat toksisitas suatu bahan dapat dilihat pada

tabel 2.

Metode BSLT ini merupakan uji penapisan farmakologi awal

yang memiliki beberapa keunggulan, yaitu: (Cahyadi. R, 2009).

1) Relatif tidak mahal dan tidak membutuhkan keahlian tertentu.

2) Merupakan uji tahap awal isolasi senyawa-senyawa toksik yang

terkandung dalam ekstrak suatu tanaman

3) Metode ini juga telah teruji tingkat kepercayaannya sebesar 95%

untuk mengamati aktivitas toksik dalam suatu senyawa.

4) Metode ini juga dapat dikaitkan dengan metode penapisan untuk

penyaringan senyawa anti kanker dari tanaman.

2. Lemna Minor Biossa

Metode ini terutama digunakan untuk pengujian pendahuluan,

ada bahan yang dapat menghambat dan meningkatkan pertumbuhan

tanaman. Dengan uji coba ini, dapat diamati bahwa senyawa anti tumor

alami juga dapat menghambat pertumbuhan Lemna, meskipun

korelasinya dengan uji anti tumor lainnya tidak baik. Oleh karena itu, uji

coba ini lebih berorientasi pada penemuan herbisida baru dan pemacu

pertumbuhan tanaman.

3. Crown-Gall Potato Bioassay


Metode ini merupakan uji toksisitas yang relatif cepat dan murah

yang tidak memerlukan hewan laboratorium dan menunjukkan korelasi

yang sangat baik dengan uji anti-tumor lainnya. Crown-Gall adalah

kanker tanaman yang disebabkan oleh bakteri gram negatif

Agrobacterium tumefaciens, yang kemudian menyebabkan jaringan

tumor tumbuh secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh mekanisme

kontrol tanaman konvensional. Pengujian dilakukan dengan mengukur

kemampuan suatu senyawa dalam menghambat pertumbuhan tumor

Crown-Gall pada umbi kentang yang terinfeksi bakteri Agrobacterium

tumefaciens.

2.10 Hewan Uji

2.10.1 Klasifikasi (Bougis, 1979)

Phylum : Arthropoda

Classis : Crustaceae

Subclassis : Branciopoda

Ordo : Anostraca

Famili : Artemidae

Genus : Artemia

Spesies : Artemia salina Leach

2.10.2 Morfologi

Artemia adalah sekelompok udang dalam arthropoda, Artemia yang

hidup di danau garam di seluruh dunia. Spesies udang ini toleran terhadap

berbagai salinitas, dari garam ringan hingga garam jenuh. Jika kadar garam

kurang dari 6% maka telur Artemia akan tenggelam sampai telur gagal
menetas, dan jika kadar garam diatas 25% maka telur dalam keadaan suspensi

dan dapat menetas secara normal. (Purwakusuma, 2009).

Tingkat kelangsungan hidup Artemia salina Leach melewati banyak

tahap, tetapi dapat dengan jelas diamati dalam 3 bentuk yang sangat berbeda

yaitu bentuk telur, nauplius (larva) dan artemia dewasa. Secara berkala, pada

saat air laut atau danau menguap, partikel-partikel yang berwarna coklat,

berdiameter sekitar 0,2-0,3 mm akan naik kepermukaan, oleh angina akan di

bawa hanyut ke darat. Partikel tersebut merupakan telur-telur inaktif atau tidur

dari Artemia salina Leach.

Gambar 7. Tahapan Penetasan Artemia salina Leach (Isnansetyo dan


Kurniastuti, 1995

Selama telur terhidrasi dan dalam keadaan kering, mereka akan

memiliki kekuatan dan stabilitas untuk waktu persiapan yang lama. Jika telur

(dengan embrio dalam keadaan ovum) terendam air asin (air laut), telur akan

menyerap air laut hingga menetas. Penyerapan ini terjadi dengan cara super

suction, yaitu tekanan osmotik di dalam telur lebih tinggi daripada di luar.

Setelah telur membengkak dan metabolisme kembali, dibutuhkan

sekitar 15 jam untuk mencapai tingkat ini. Pemecahan cangkang telur yang

keras dibantu oleh kerja enzim, yaitu enzim yang menetas pada pH lebih dari

8. Sekitar 17 jam perendaman, embrio yang muncul dari cangkang yang masih
terbungkus membran penetasan berkembang terus menerus sampai akhirnya

muncul. dari membran menjadi organisme hidup baru, yaitu 19 jam, hingga

rata-rata 24 - 36 jam.

Selama perkembangan selanjutnya, benih mengalami metamorfosis. Di

Instar I, kandungan energinya masih cukup tinggi. Sekitar 2 jam kemudian,

mereka berubah menjadi Instar II yang mulai memiliki mulut, saluran

pencernaan, dan anus. Jadi cari makan. Begitu seterusnya hingga Instar XV.

Itu kemudian berubah menjadi Artemia dewasa. Proses ini biasanya memakan

waktu 13 minggu. Tubuh terbagi menjadi kepala, dada dan perut, di kepala ada

2 mata, 2 antena dan 2 antena. Toraks dibagi menjadi 11 segmen, masing-

masing dengan sepasang kaki renang, sedangkan perut dibagi menjadi 8

segmen.

Gambar 8. Morfologi Nauplius (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995)

Artemia salina dewasa memiliki bentuk yang sempurna. Reproduksi

Artemia salina dapat dilakukan dengan pemijahan atau pemijahan. Rotasi

reproduksi ini dilakukan dengan jumlah klorofil dalam makanan dan faktor

oksigen di lingkungan. Konsentrasi oksigen yang rendah dan kandungan

klorofil yang tinggi dalam makanan menginduksi reproduksi ovipar, dan

sebaliknya menginduksi reproduksi dengan melahirkan. (Mudjiman, 1998).


Gambar 9. Morfologi Artemia salina Leach (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995)

Komposisi kimia dalam tubuh Artemia salina kaya akan protein dan

asam lemak. Nilai gizi Artemia dewasa memiliki kelebihan yaitu kandungan

proteinnya meningkat dari rata-rata 7% pada nauplius menjadi 60% pada

Artemia dewasa yang telah di kering (Gebo, 2000)

2.10.3 Lingkungan Hidup

Artemia salina hidup di perairan planktonik dengan salinitas tinggi,

suhu yang diinginkan antara 25oC dan 30oC, oksigen terlarut sekitar 3 mg/L,

dan pH antara 7,3 dan 8,4. Artemia salina Leach tidak dapat mempertahankan

diri dari pemangsa musuhnya karena tidak memiliki alat atau sarana untuk

mempertahankan diri, salah satu cara untuk menghindari pemangsa hewan lain

adalah dengan pindah ke kondisi alami di bawah lingkungan garam tinggi.

Pada umumnya predator tidak dapat lagi hidup dalam keadaan ini (Mudjiman,

1995). Diet Artemia salina termasuk alga etnis, bakteri dan jamur. Selama

pengawetan, makanan yang diberikan adalah dedak, tepung terigu, bungkil

kedelai dan ragi (Mudjiman, 1995)

2.10.4 Perkembangan dan Siklus Hidup

Perkembangannya bersifat hermaprodit dan alergi. Keduanya bisa

menjadi pemakan ovovivipar atau avipar. Pada hewan reproduktif, ibu muncul

sebagai bayi yang dikenal sebagai naplius, sedangkan pada ovipara anak
muncul dari ibu sebagai telur, dengan cangkang tebal yang disebut Siste.

Reproduksi hermaprodit melibatkan perkawinan antara laki-laki dan

perempuan. Dalam jenis reproduksi ini tidak ada perkawinan karena tidak

pernah ada jantan nya. Jadi, betina akan beranak dengan sendirinya tanpa

perkawinan (Mudjiman, 1995).

Gambar 10. Siklus Hidup Artemia salina Leach (Isnansetyo dan Kurniastuty,
1995)

2.10.5 Penggunaan Artemia salina Leach pada Penelitian

Metode uji biologis yang cocok dan murah untuk skrining penentuan

toksisitas ekstrak tumbuhan aktif menggunakan 17 hewan uji Artemia salina

Leach. Artemia telah digunakan dalam berbagai pengujian biologis seperti

pengujian pestisida, polutan, mikotoksin, anestesi, senyawa seperti morfin,

potensi karsinogenik dan zat beracun dalam air laut. Penelitian menggunakan

Artemia salina memiliki beberapa keunggulan, antara lain cepat, murah, dan

sederhana.

Untuk menetaskan telur Artemia salina dengan baik harus

memperhatikan beberapa faktor, yaitu: kelembaban folikel, aerasi, penyinaran,

suhu, keasaman (pH) dan kepadatan telur di lingkungan inkubasi. Penelitian

dengan larva daun sirih Artemia salina telah digunakan oleh Purdue Cancer

Center, Universitas Purdue di Lafayette untuk senyawa tanaman yang


umumnya aktif dan tidak spesifik untuk agen antikanker. Namun, terdapat

hubungan yang signifikan antara sampel toksik dengan larva Artemia salina

Leach yang juga memiliki aktivitas sitotoksik. Atas dasar ini, larva Artemia

salina Leach dapat digunakan untuk uji sitotoksisitas (Mayer, 1982).

BAB III

MATODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan sampai di Laboratorium

Kima Bahan Alam Institut Kesehatan Mitra Bunda Batam.

3.2 Pengambilan Sampel

Sampel penelitian yang akan digunakan adalah Syzygium Napiforme dan

pengambilan tanaman Syzygium napiforme ini dilakukan di Batu Besar, Kecamatan

Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau.

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat

Alat – alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu timbangan digital,

toples, kertas saring, waterbath, rotary evaporator, cawan, kaca arloji, esikator,

penangas, pipet tetes, tabung reaksi, rak tabung reaksi, votex, spektrofotometri

UV-Vis, corong pisah, corong, tiang statif, labu ukur, oven, aluminium foil,

lampu, vial, beker gelas dan gelas ukur.

3.3.2 Bahan

Bahan – bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu ekstrak

Syzygium napiforme, etanol 96%, serbuk mg, kloroform, H2SO4 pekat, H2SO4,
pereaksi mayer, pereaksi wegner, pereaksi dragendroff, regen folin-ciocalleu,

Na2CO3, AlCl3, n-heksana, etil asetat, larva artemia dan sulfoksida (DMSO) .

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Penyiapan Simpilisa (Depkes, 1985).

Pengumpulan tanaman Syzygium napiforme di Batu Besar, Kecamatan

Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau. sortasi basah dilakukan untuk

memisahkan kotoran atau bahan asing lainnya, pencucian dengan air bersih

dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang melekat

pada bahan simplisi, perajangan di potong kecil-kecil atau di blender bahan

yang akan digunakan, pengeringan mendapatkan simplisia yang tidak mudah

rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama, sortasi kering

untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang

tidak diinginkan dan pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada

simplisia kering, pengepakan, penyimpanan dan pemeriksaan mutu

3.4.2 Karakterisasi Simplisia

3.4.2.1 Uji Makroskopis (Midian dkk, 1987)

Dilakukan penelitian morfologi dilakukan dengan mengamati daun

segar yang dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau tanpa

menggunakan alat. Metode ini digunakan untuk menemukan morfologi

spesifik, ukuran dan warna simplisia yang diuji.

3.4.2.2 Uji Mikroskipik (Midian dkk, 1987)

Dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang derajat pembesarnya

disesuaikan dengan perbesaran yang disesuaikan dengan kebutuhan studi

anatomi dan histologi preparat daun. Dibuat sediaan daun yang langsung

diamati dalam media air dalam mikroskop. Selanjutnya dilakukan reaksi warna
dalam medium kloralhidrat (dipanaskan) dengan pewarnaan floroglusin HCl.

Sediaan yang diamati adalah irisan melintang melalui ibu tulang daun, irisan

melintang mesofil daun, sayatan membujur epidermis atas, dan sayantan

membujur epidermis bawah daun.

3.4.2.3 Penetapan Kadar Abu (Depkes RI, 2000)

Timbang dengan hati-hati sekitar 2 g hingga 3 g yang telah digerus

ditimbang seksama. Dimasukkan dalam krus porselen yang telah dipijarkan

dan ditara. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan dan

ditimbang. jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air

panas, disaring melalui kertas saring bebas abu. Sisa dan kertas saring

dipijarkan dalam krus yang sama. Dimasukkan filtrat kedalam krus, diuapkan,

dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Hitung kadar abu terhadap bahan

yang telah dikeringkan di udara.

W 1−W 2
% Kadar Abu = x 100%
W
Keterangan :
W = bobot contoh sebelum diabukan, dalam gram.
W1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan, dalam gram
W2 = bobot cawan kosong, dalam gram

3.4.2.4 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam (Depkes RI,

2000)

Abu yang diperoleh dari penetapan abu, direbus dengan 25 ml asam

klorida encer selama 5 menit dikumpulkan bagian yang tidak larut dalam

asam, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas,
dipijarkan hingga tersisa masa tetap, ditimbang. dihitung kadar air yang tidak

larut dalam asam terhadap bahan yang dikeringkan di udara.

W 1−W 2
Kadar abu tak larut dalam asam = x 100%
W

Keterangan :

W1 = bobot cawan + abu, dalam gram

W2 = bobot cawan kosong, dalam gram

W = bobot cuplikan, dalam gram

3.4.2.5 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air (Depkes RI, 2000)

Serbuk dikeringkan di udara, di rendam selama 24 jam 5,0 g serbuk

dengan 100 ml air kloroform P, menggunakan labu ber sumbat sambil

berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama

18 jam. Disaring, diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan

dangkal berdasar rata yang telah ditara, dipanaskan sisa pada suhu 105oC

hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen sari yang larut dalam air,

dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

berat sari larut air 100


Kadar sari larut air (g/g) = x x 100%
berat bahan awal 20

3.4.2.6 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol (Depkes RI, 2000)

Serbuk dikeringkan di udara, direndam selama 24 jam 5,0 g serbuk

dengan 100 ml etanol (95%), menggunakan labu ber sumbat sambil berkali-kali

dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring

cepat dengan menghindarkan penguapan etanol (95%), Diuapkan 25 ml filtrat

hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, dipanaskan

sisa pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen

sari yang larut dalam etanol (95%), dihitung terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara.

berat sari larut air 100


Kadar sari larut etanol (g/g) = x x 100%
berat bahan awal 20

3.4.2.7 Penetapan Kadar Air (Badan Standar Nasional, 1992).

Metode destilasi: Timbang dengan seksama 5-10 gram cuplikan,

masukkan ke dalam labu didih dan tambahkan 300 ml xylol serta batu didih.

Sambungkan dengan alat Aufhauser dan panaskan di atas penangas listrik

selama 1 jam dihitung sejak mulai mendidih. Setelah cukup 1 jam matikan

penangas listrik dan biarkan alat Aufhauser mendingin. Bilas alat pendingin

dengan xylol murni/toluene. Baca jumlah volume air Perhitungan:

V
Kadar air = x 100%
W

Keterangan :

W = bobot cuplikan, dalam gram

V = volume air yang dibaca pada alat Aufhauser, dalam m

3.4.2.8 Penetapan Susut Pengeringan (Depkes RI, 2000).

Botol timbang disiapkan, dipanaskan pada suhu 105°C selama 30

menit, lalu ditimbang. Hal tersebut dilakukan sampai memperoleh bobot botol

timbang yang konstan atau perbedaan hasil antara 2 penimbangan tidak

melebihi 0,005 g. Sebanyak 1 g bahan uji ditimbang, dimasukkan ke dalam

botol timbang. Bahan uji kemudian dikeringkan pada suhu 105°C selama 5

jam dan ditimbang kembali. Proses pengeringan dilanjutkan dan timbang

kembali selama 1 jam hingga perbedaan antara penimbangan berturut-turut

tidak lebih dari 0,25%.

a−c
Susut pengeringan (%) = × 100%
a

Keterangan :
a = berat awal simplisia (g)

b = berat akhir simplisia (g)

3.4.3 Pembuatan Ekstrak Etanol Batang dan gall Syzygium Napiforme

Timbang 100 gram serbuk batang dan gall Syzygium Napiforme yang

telah dikeringkan dan dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, di

maserasi kinetik selama 1 jam dengan menggunakan pelarut etanol 96%

sebanyak 800 ml, Simplisia yang akan diekstraksi ditempatkan pada wadah

atau bejana yang bermulut lebar bersama larutan penyari yang telah

ditetapkan, bejana ditutup rapat kemudian dikocok berulang – ulang sehingga

memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan simplisia (Ansel, 1989).

Rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegahreaksi

yang dikatalisis oleh cahaya atau perubahan warna). Waktu maserasi pada

umumnya 5 hari, setelah waktu tersebut keseimbangan antara bahan yang

diekstraksi pada bagian dalam sel dengan luar sel telah tercapai. Dengan

pengocokan dijamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi lebih cepat

dalam cairan. Keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya

perpindahan bahan aktif (Voight, 1994).

3.4.4 Skrining Fitoimia (Harborne, 1987)

1. Uji Alkaloid

Masing-masing sebanyak 1 mL ekstrak ditambahkan kloroform dan

NH. Lalu dipanaskan di atas penangas air. Ditambahkan 1 tetes H 2SO4

pada masing-masing tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan pereaksi

Mayer. Tabung kedua wegner. Sedangkan tabung ketiga ditambahkan

pereaksi Dragendroff. Tabung pertama terbentuk endapan putih, tabung


kedua terbentuk endapan jingga dan cokelat di tabung ketiga menunjukkan

adanya alkaloid (Farnsworth, 1966).

2. Uji Flavonoid

Identifikasi senyawa flavonoid dilakukan dengan menggunakan

pereaksi serbuk magnesium (Mg) dan asam klorida pekat (HCl).

Penambahan serbuk Mg bertujuan agar membentuk ikatan dengan gugus

karbonil pada senyawa flavonoid. Penambahan HCl bertujuan untuk

membentuk garam flavilium yang ditandai dengan perubahan warna

menjadi merah jingga.

3. Uji Saponin

Uji saponin dilakukan dengan melarutkan sampel dalam akuades

kemudian dipanaskan selama 15 menit lalu dikocok selama 10 detik. Jika

terbentuk buih yang stabil selama kurang lebih 10 menit dan ditambahkan

beberapa tetes asam klorida 2 N, maka sampel positif mengandung

saponin.

4. Uji Tanin / Polifenol

Uji tanin/ polifenol dilakukan dengan menambahkan larutan FeCl3

5% terhadap sampel. Sampel yang mengandung polifenol akan membentuk

senyawa kompleks Fe3+ - tanin / polifenol dengan ikatan koordinasi dengan

terjadinya perubahan warna menjadi biru kehitaman atau hijau kecoklatan.

Hal ini terjadi karena atom O pada tanin / polifenol dapat mendonorkan

pasangan elektron bebasnya ke Fe3+ yang memiliki orbital d kosong

membnetuk ikatan kovalen koordinat untuk menjadi suatu senyawa

kompleks.
5. Uji terpenoid dan steroid

Uji terpenoid/ steroid dilakukan dengan melarutkan sampel dengan

pereaksi Liebermann Burchard (asam asetat anhidrat dan asam sulfat

pekat). Sampel yang mengandung senyawa golongan steroid akan berubah

warna menjadi hijau kebiruan. Sedangkan senyawa golongan triterpenoid

akan berubah warna membentuk cincin coklat atau violet.

3.4.5 Uji Kandungan Fenolik Total (Jeong et al, 2004).

Ambil Sampel ekstrak 200 ppm sebanyak 1 ml ditambahkan dengan 1

ml reagen Folin-Ciocalteu (50%) dalam tabung reaksi dan kemudian campuran

divortex selama 3 menit. Setelah interval waktu 3 menit, 1 mL larutan Na2CO3

2% ditambahkan. Selanjutnya campuran disimpan dalam ruang gelap selama

30 menit. Absorbansi ekstrak dibaca dengan spektrofotometer pada λ 750 nm.

Hasilnya dinyatakan sebagai ekuivalen asam galat dalam mg/kg ekstrak

3.4.6 Uji Kandungan Flavonoid Total (Meda et al, 2005).

Ambil 1 ml sampel ekstrak 200 ppm ditambahkan dengan 2 ml AlCl 3

2% yang telah dilarutkan dalam metanol, kemudian divortex dan ditera pada λ

415 nm. Kandungan total flavonoid dinyatakan sebagai ekuivalen kuersetin

dalam mg/kg ekstrak

3.4.7 Fraksinasi (Harborne, 1987).

Ekstrak batang dan gall syzygium napiforme yang diperoleh masing-

masing dimasukkan ke dalam corong pemisah, kemudian dilarutkan dengan

pelarut n-heksan dengan perbandingan 1 : 1 v/v setelah itu dikocok dalam

corong pisah sampai homogen. Dibiarkan hingga terbentuk lapisan etanol

lapisan n-heksan. Masing-masing lapisan ditampung dalam wadah yang

berbeda. Lapisan n-heksan selanjutnya di evaporasi menggunakan rotary


evaporator hingga kering, lalu ditimbang dan hasil inilah yang dinamakan

fraksi n-heksan. Selanjutnya lapisan etanol ditambahkan etil asetat dengan

perbandingan 1 : 1 v/v setelah itu dikocok dalam corong pisah sampai

homogen. Dibiarkan hingga terbentuk dua lapisan yaitu lapisan etanol dan

lapisan kloroform. Masing-masing lapisan ditampung dalam wadah yang

berbeda. Lapisan kloroform selanjutnya di evaporasi menggunakan rotary

evaporator hingga kering lalu ditimbang dan hasil inilah yang dinamakan

fraksi etil asetat. Lapisan etanol air di evaporasi menggunakan rotary

evaporator hingga kering lalu ditimbang Ketiga fraksi yang diperoleh akan

digunakan dalam pengujian sitotoksik metode BSLT.

3.4.8 Uji Toksisitas Menggubkan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Ngibad,

K. 2013)

1. Penetasan Larva Artemia

Larva artemia ditetaskan dalam sebuah wadah yang dibagi menjadi 2

bagian. Kemudian dimasukkan 1 L laut yang telah disaring dengan kertas

saring. Salah satu sisi wadah ditutup dengan alumunium foil dan

ditambahkan telur udang Artemia salina L. Sekitar 50 mg yang dilengkapi

dengan aerator. Sisi lainnya dibiarkan terbuka dan diletakkan di bawah

lampu selama 48 jam. Larva yang menembus daerah terang setelah

berumur 48 jam siap digunakan untuk uji BSLT.

2. Persiapan Larutan Sampel

Larutan induk dibuat dengan melarutkan 1 g sampel dalam 1000

ml air laut. Sampel yang sukar larut ditambahkan sulfoksida (DMSO)

0,1%. Kemudian di pipet 1, 2, 4, 6, dan 8 ml larutan induk, sehingga


diperoleh konsentrasi 100, 200, 400, 600, dan 800 ppm. Masing kontrol

dibuat 3 kali pengulangan.

3. Uji Toksisitas

Dibuat pengenceran larutan uji konsentrasi 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm,

600 ppm, dan 800 ppm dari larutan induk 1000 ppm. Sebanyak 10 larva

udang dalam 10 µL air laut dimasukkan ke dalam vial uji. Kemudian

ditambahkan air laut dalam masing -masing vial uji, untuk setiap kali

konsentrasi dilakukan 3 pengulangan. Dibuat blanko dengan perlakuan

yang sama tanpa penambahan larutan sampel pada vial uji. Pengamatan

dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah larva yang masih

hidup dan yang sudah mati, kemudian dihitung % mortalitas nya

menggunakan persamaan berikut :

akumulasimati
% Mortalitas = x 100 %
akumulasi mati+ akumulasihidup

Anda mungkin juga menyukai