Editor:
Adiarso
Bambang Marwoto
Netty Widyastuti
Priyambodo D.
Manifas Zubair
Socia Prihawantoro
www.bppt.go.id
www.ppipe.bppt.go.id
i
OUTLOOK TEKNOLOGI KESEHATAN 2021
Inisiatif Industrialisasi Bahan Baku Obat Amoksisilin
ISBN 978-602-1328-19-4
Diterbitkan oleh
Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi (PPIPE)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Gedung BPPT II, Lantai 11
Jl. M.H. Thamrin 8, Jakarta 10340
`
Telp. : (021) 7579-1391
Fax : (021) 7579-1391
email : sekr-ppipe@bppt.go.id
ISBN 978-602-1328-19-4
338.476 151
ii
OUTLOOK TEKNOLOGI KESEHATAN 2021
Inisiatif Industrialisasi Bahan Baku Obat Amoksisilin
PENGARAH
Kepala BPPT
Dr. Ir. Hammam Riza, M.Sc., IPU
PENANGGUNGJAWAB
Direktur Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi
Dr. Ir. Adiarso, MSc.
Kepala Program Kajian Rantai Pasok dan Dampak Ekonomi Industri BBO
Dr. Socia Prihawantoro, SE, ME
TIM PENYUSUN
INFORMASI
Sekretariat Tim Penyusun Outlook Teknologi Kesehatan – BPPT
Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi
Gedung 720 Pusat Inovasi Bisnis dan Teknologi
Lt. 2 Kawasan Puspiptek - Serpong, Tanggerang Selatan, Banten 15314
Telp /Fax : (021) 75791391; E-mail : sekr-ppipe@bppt.go.id
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penyusunan Outlook Teknologi Kesehatan 2021 ini dapat
terselesaikan dengan baik. Outlook Teknologi Kesehatan 2021 ini disusun dalam rangka
memberikan informasi kondisi teknologi dan produksi dalam rantai pasok bahan baku obat
(BBO) amoksisilin saat ini dan proyeksi tentang kebutuhannya pada masa yang akan datang.
Bahan baku obat amoksisilin menjadi tema yang menarik dan strategis untuk dikedepankan,
karena Indonesia masih belum mandiri dalam bidang ini.
Skenario membangun industri amoksisilin dapat dilakukan secara bertahap dengan
mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan kemampuan teknologi di dalam negeri
dengan konsep “berawal dari akhir”. Industri amoksisilin dibangun mulai dari industri hilir
dan berlanjut secara bertahap membangun industri hulunya. Di samping itu peningkatan
tingkat komponen dalam negeri (TKDN) melalui program peningkatan penggunaan produk
dalam negeri (P3DN) menjadi salah satu daya tarik bagi investor untuk hadir membangun
industri BBO amoksisilin di dalam negeri.
Karenanya, Outlook Teknologi Kesehatan 2021 ini mengangkat tema “Inisiatif Industrialisasi
Bahan Baku Obat (BBO) Amoksisilin”. Buku ini berisi gambaran umum kebutuhan dan impor
BBO amoksisilin, para pelaku dan daya saing industri BBO amoksisilin yang dipetakan dengan
pendekatan klaster industri, perkembangan riset dan kebijakan untuk mendorong industri
BBO amoksisilin, kemampuan teknologi dan potensi TKDN industri BBO amoksisilin, serta
proyeksi kebutuhan BBO amoksisilin dan analisis dampak ekonominya.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama mitra risetnya telah memiliki
kemampuan teknologi untuk memproduksi BBO amoksisilin dan terus melakukan
pengembangan untuk siap transfer teknologi kepada mitra industri. Dorongan pemerintah
dan kemitraan strategis triple-helix sangat diperlukan, sehingga transfer teknologi dapat
berjalan sesuai dengan harapan.
Buku Outlook Teknologi Kesehatan 2021 ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkeinginan mewujudkan industri bahan baku obat
nasional yang mandiri dan berdaya saing.
Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Pusat Teknologi Farmasi dan Medika
(PTFM-BPPT), Pusat Teknologi Bioindustri (PTB-BPPT), Balai Bioteknologi BPPT dan pihak lain
yang telah berkontribusi terhadap penyusunan Outlook Teknologi Kesehatan 2021 ini. Buku
ini tentunya belum sempurna sehingga sekiranya ada kesalahan atau kekurangan di
dalamnya dengan segala kerendahan hati kami bersedia menerima masukan perbaikan.
Penyusun
iv
SAMBUTAN
KEPALA BPPT
Puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa buku Outlook
Teknologi Kesehatan 2021 dengan tema Inisiatif
Industrialisasi Bahan Baku Obat Amoksisilin ini dapat
diselesaikan. Buku ini memberikan gambaran mengenai
berbagai hal yang terkait dengan inisiatif industrialisasi BBO
amoksisilin di Indonesia. Industri farmasi Indonesia sudah
dapat memenuhi kebutuhan obat antibiotik amoksisilin
melalui industri formulasi yang ada. Namun, hampir seluruh
kebutuhan bahan baku obat (BBO) amoksisilin masih
diimpor dari luar negeri. Tingginya impor BBO amoksisilin ini
menjadikan rentannya ketahanan obat nasional, apalagi jika
terjadi gangguan pasokan dari luar negeri.
Buku ini diawali dengan memberikan gambaran umum mengenai industri farmasi di Indonesia,
antara lain data-data historis tentang impor BBO amoksisilin, baik dalam volume maupun nilai
moneternya. Selanjutnya, buku ini membahas tentang peta klaster industri jika BBO amoksisilin
diproduksi di Indonesia. Diskripsi tentang kapabilitas teknologi dan perkembangan riset BBO
amoksisilin disampaikan pada bagian selanjutnya. Hal lain yang penting untuk dibahas di dalam
buku ini adalah potensi TKDN BBO amoksisilin dan eksplorasi tentang kebijakan nasional yang
dapat mendukung industrialisasi BBO amoksisilin. Untuk memperluas informasi, dalam buku ini
juga dilakukan proyeksi kebutuhan BBO amoksisilin dan analisis pengaruh pengembangan
industrinya terhadap perekonomian nasional. Selanjutnya, pada bagian akhir dari buku ini
disampaikan beberapa rekomendasi untuk pengembangan industri BBO amoksisilin di Indonesia.
Buku Outlook Teknologi Kesehatan 2021 ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan
acuan bagi instansi pemerintah, lembaga legislatif, swasta, industri, akademisi serta masyarakat
pada umumnya dalam pengembangan teknologi kesehatan untuk mendukung kemandirian
industri farmasi nasional, khususnya industri BBO amoksisilin.
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Tim Penyusun dari Pusat Pengkajian
Industri Proses dan Energi (PPIPE), serta semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan
sehingga buku ini bisa diterbitkan.
Terima kasih
v
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pada saat ini Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan obat antibiotik
amoksisilin melalui industri formulasi yang ada. Namun, hampir seluruh
bahan baku obat (BBO) amoksisilin masih diimpor dari luar negeri, terutama dari China dan
India. Untuk mengurangi ketergantungan impor dan sekaligus menjaga ketahanan
pelayanan kesehatan, maka direncanakan pada tahun 2024 Indonesia dapat mulai
memproduksi BBO amoksisilin di dalam negeri.
Tujuan penyusunan outlook ini adalah memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang
sedang dan akan terjadi yang harus dipertimbangkan dalam rencana industrialisasi BBO
amoksisilin. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan tersebut antara lain perkembangan
kebutuhan nasional, perkembangan impor, perkembangan riset, kapabilitas teknologi,
kebijakan yang ada, peta klaster industri dan dampak ekonomi BBO amoksisilin. Berdasarkan
gambaran tersebut, di dalam outlook ini juga diberikan rekomendasi berkenaan dengan
inisiatif industrialisasi BBO amoksisilin.
Selama sepuluh tahun terakhir, volume impor bahan baku obat amoksisilin Indonesia
meningkat rata-rata sekitar 10,3% per tahun, atau naik dari sekitar 400 ton di tahun 2010
menjadi hampir 1.100 ton di tahun 2020. Sedangkan jika berdasarkan besaran nilainya,
impor bahan baku obat amoksisilin hanya meningkat sekitar 5,5% per tahun. Hal ini
disebabkan oleh turunnya harga impor bahan baku amoksisilin dari sekitar US$ 33/kg pada
tahun 2010 menjadi sekitar US$ 20/kg pada tahun 2020.
Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, Indonesia mengimpor bahan baku obat
amoksisilin terbanyak dari China dan India. Selama 10 tahun terakhir industri bahan baku
obat amoksisilin China berkembang sangat cepat. Pabrik bahan baku obat mereka mampu
memproduksi dalam kapasitas besar dan menjualnya dengan harga yang murah. China
menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat amoksisilin
Indonesia yang pangsanya naik menjadi dua kali lipat dari 45% di tahun 2010 menjadi 90%
di tahun 2020.
Hasil analisis menunjukkan bahwa industri BBO amoksisilin dapat dilakukan secara
terintegrasi dengan industri obat (formulasi) amoksisilin. Identifikasi melalui pemetaan
klaster industri menunjukkan terdapat beberapa produsen formulasi yang berpotensi
menjadi produsen BBO amoksisilin. Beberapa industri pendukung dan industri terkait,
industri pengguna serta lembaga pendukung juga sudah teridentifikasi. Namun demikian,
industri BBO amoksisilin dihadapkan permasalahan tentang daya saing. Hal ini karena belum
ada sama sekali industri pemasok bahan baku di Indonesia, termasuk juga industri yang
memberikan dukungan peralatan pabrik seandainya BBO amoksisilin diproduksi di dalam
negeri.
vi
Rekomendasi yang diusulkan untuk memperkuat daya saing ini antara lain
adalah pembangunan industri amoksisilin dilakukan secara bertahap
dengan konsep berawal dari akhir, yaitu industri yang paling awal dibangun
adalah industri BBO Amoksisilin, dilanjutkan membangun industri
intermediate yaitu 6-APA, HPGME serta enzim penisilin G asilase (PGA),
dan terakhir adalah industri penisilin G.
Pada saat ini teknologi pembuatan BBO amoksisilin sudah dikuasai. Prototipe BBO
amoksisilin melalui proses enzimatis sudah dihasilkan oleh BPPT. Prototipe ini segera
dikembangkan pada skala pilot dan kemudian digulirkan kepada industri untuk
komersialisasi. Namun, perlu diantisipasi bahwa upaya komersialisasinya akan menghadapi
persaingan harga dengan BBO amoksisilin impor. Karena itu, inisiatif kebijakan yang
diusulkan untuk mengatasinya antara lain dengan mengembangkan strategi non-tariff
barrier agar produk industri BBO domestik (amoksisilin) bisa digunakan. Sebagai contoh
adalah diterapkannya batasan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), bobot manfaat
perusahaan (BMP) dan standarisasi mutu.
Setelah industri BBO amoksisilin berjalan, maka dilanjutkan dengan industrialisasi bahan
bakunya. Teknologi untuk memproduksi bahan baku BBO amoksisilin, yaitu 6-
aminopenicillanic acid (6-APA), juga sudah dikuasai oleh BPPT. Sedangkan 4-Hydroxy-d-(-)-
phenylglycine methyl ester (HPGME) yang diperlukan dalam proses enzimatis sedang
dikembangkan oleh BPPT dan ITB. Bahan baku 6-APA, yaitu penisilin G asilase (PGA) juga
sedang dikembangkan oleh BPPT dan UGM.
Industrialisasi BBO amoksisilin akan memberi dukungan pada struktur industri obat
(formulasi) amoksisilin. Hal ini akan memberikan efek penggandaan (multiplier effect) pada
perekonomian nasional. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode input-
output, diketahui bahwa efek penggandaan industri obat amoksisilin terhadap
perekonomian cukup tinggi, baik terhadap output nasional, penyerapan tenaga kerja,
pendapatan masyarakat maupun produk domestik bruto (PDB).
Industrialisasi BBO amoksisilin, sebagai bagian dari pengembangan industri farmasi di
Indonesia, perlu memperhatikan kebijakan pemerintah yang mendukung; baik kebijakan
fiskal, kebijakan riset farmasi, kebijakan industri, dan kebijakan non fiskal lainnya.
Beberapa kebijakan pemerintah yang perlu dimanfaatkan antara lain super deduction tax
untuk kegiatan penelitian dan pengembangan farmasi, fasilitas pajak bagi industri pionir
dan pengembangan kawasan industri khusus farmasi.
Untuk membangun industri BBO amoksisilin secara menyeluruh pada akhirnya diperlukan
dukungan (kesiapan) industri hulu, sehingga ketergantungan impor intermediate dan raw
material dari luar negeri bisa diminimumkan. Oleh karena itu perlu mendorong tumbuhnya
industri kimia dasar (petrokimia) di tanah air. Integrasi vertikal antara industri hulu
(upstream) yakni industri kimia dasar (petrokimia), industri intermediate, industri BBO
serta industri hilirnya (downstream), yakni industri farmasi, tentu sangat diharapkan dalam
memperkuat industrialisasi BBO amoksisilin.
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iv
SAMBUTAN KEPALA BPPT v
RINGKASAN EKSEKUTIF vi
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Tujuan 4
1.3 Kerangka Pikir 4
1.4 Tahapan Kegiatan 5
1.5 Ruang Lingkup 5
1.6 Metodologi 6
BAB 2 GAMBARAN UMUM INDUSTRI BBO AMOKSISILIN 9
2.1 Industri Farmasi di Indonesia 10
2.2 Industri BBO Amoksisilin 12
BAB 3 KLASTER INDUSTRI BBO AMOKSISILIN 17
3.1 Pohon Industri BBO Amoksisilin 18
3.2 Pelaku dan Inisiasi Pengembangan Klaster Industri BBO
23
Amoksisilin
3.3 Daya Saing Industri BBO Amoksisilin 27
BAB 4 KAPABILITAS RISET DAN TEKNOLOGI BBO AMOKSISILIN
4.1 Perkembangan Riset BBO Amoksisilin 32
4.2 Kemampuan Teknologi Produksi BBO Amoksisilin 44
BAB 5 TKDN AMOKSISILIN 53
5.1 Potensi Nilai TKDN BBO Amoksisilin 54
5.2 Potensi Nilai TKDN Obat Amoksisilin 57
BAB 6 KEBIJAKAN INDUSTRI BBO AMOKSISILIN 63
6.1 Kebijakan Industri 64
6.2 Kebijakan Fiskal dan Non Fiskal 76
viii
6.3 Dampak dan Tantangan Implementasi Kebijakan
85
Industrialisasi Bahan Baku Obat
BAB 7 DAMPAK EKONOMI INDUSTRI BBO AMOKSISILIN 86
7.1 Analisis Kebutuhan BBO Amoksisilin 90
7.2 Rantai Nilai Produksi BBO Amoksisilin 92
7.3 Analisis Dampak Ekonomi 96
BAB 8 REKOMENDASI 97
DAFTAR PUSTAKA xv
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Sumber Data dan Informasi 6
Tabel 2.1 Volume Impor Amoksisilin (ton) 13
Tabel 2.2 Nilai Impor Amoksisilin (juta USD) 14
Tabel 3.1 Perusahaan Dalam Negeri yang Memproduksi Fenol 19
Tabel 3.2 Produsen NaOH Dalam Negeri 19
Tabel 4.1 Daftar Bahan untuk Produksi dan Purifikasi 6-APA 42
Tabel 4.2 Indikator Tingkat Kesiapterapan Teknologi Bidang Farmasi 44
Tabel 4.3 Rekap Kemampuan Teknologi Riset BBO Amoksisilin 49
Perhitungan Nilai TKDN BBO Amoksisilin Sebagai Bahan Aktif
Tabel 5.1 55
(API)
Tabel 5.2 Potensi Nilai TKDN Bahan Baku Produksi BBO Amoksisilin 55
Tabel 5.3 Potensi Nilai TKDN Proses R&D Produksi BBO Amoksisilin 56
Tabel 5.4 Perhitungan Nilai TKDN Proses Produksi BBO Amoksisilin 56
Tabel 5.5 Perhitungan Nilai TKDN Proses Pengemasan BBO Amoksisilin 57
Tabel 5.6 Perhitungan Potensi Nilai TKDN Amoksisilin (sebagai Obat)
57
dengan Formula Tablet
Tabel 5.7 Perhitungan Potensi Nilai TKDN Amoksisilin (sebagai Obat)
58
dengan Formula Non Tablet
Tabel 5.8 Perhitungan Nilai TKDN Bahan Baku Produksi Amoksisilin
58
(sebagai Obat) dengan Formula Tablet dan Non Tablet
Tabel 5.9 Perhitungan Nilai TKDN Proses R&D Produksi Amoksisilin
59
(sebagai Obat) dengan Formula Tablet
Tabel 5.10 Perhitungan Nilai TKDN Proses R&D Produksi Amoksisilin
59
(sebagai Obat) dengan Formula Non Tablet
Tabel 5.11 Perhitungan Nilai TKDN Proses Produski Amoksisilin (sebagai
60
Obat) dengan Formula Tablet dan Non Tablet
Tabel 5.12 Perhitungan Nilai TKDN Proses Pengemasan Amoksisilin
60
(sebagai Obat) dengan Formula Tablet dan Non Tablet
Tabel 5.13 Nilai TKDN Amoksisilin Produk Industri Sesuai Dokumen
61
P3DN Kemenperin
Tabel 6.1 Peta Jalan Kemandirian Bahan Baku Obat 65
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-
Tabel 6.2 67
2035
Tabel 6.3 Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2016 68
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat
Tabel 6.4 69
Kesehatan
x
Tabel 6.5 Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2015-2045 72
Pokok-pokok Kebijakan Jaminan Ketersediaan Bahan Baku
Tabel 6.6 dan Penolong Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 73
Tahun 2021
Tabel 6.7 Fasilitas Super Deduction Tax Penelitian dan Pengembangan 78
Tabel 6.8 Fasilitas Super Deduction Tax Kegiatan Vokasi 79
Tabel 6.9 Pajak Bagi Industri Pionir 79
Tabel 6.10 Fasilitas Pajak Pada Investasi Prioritas Tinggi 80
Tabel 6.11 Fasilitas Pajak Bagi Investasi Usaha Padat Karya 80
Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Impor Barang Untuk
Tabel 6.12 81
Kepentingan Umum
Tabel 6.13 Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Impor Vaksin Covid-19 81
Tabel 6.14 Kebijakan Pembangunan Kawasan Industri 82
Tabel 6.15 Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 82
Tabel 6.16 Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan TKDN 83
Tabel 6.17 Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan TKDN 84
Tabel 6.18 Jumlah Industri Binaan Kemenkes, Tahun 2016-2019 85
Tabel 6.19 Manfaat Insentif Pajak dan Non-Pajak 87
Tabel 7.1 Kebutuhan Bahan Baku Produk Amoksisilin 93
Tabel 7.2 Kebutuhan Bahan Baku Produk 6-APA 93
Tabel 7.3 Disagregasi Tabel Input Output BPS 2016 96
Tabel 7.4 Struktur Input (Juta Rupiah) 97
Distribusi Input Primer untuk Sektor Industri Farmasi (Juta
Tabel 7.5 97
Rupiah)
Tabel 7.6 Struktur Output Sektor Farmasi (Juta Rupiah) 98
Tabel 7.7 Pengganda Output Sektor Farmasi 99
Tabel 7.8 Pengganda Tenaga Kerja Sektor Farmasi 100
Tabel 7.9 Pengganda Pendapatan 101
Tabel 7.10 Pengganda Pertambahan Nilai 101
Tabel 7.11 Nilai Indeks Keterkaitan ke Depan Sektor Farmasi 102
Tabel 7.12 Nilai Indeks Keterkaitan ke Belakang Sektor Farmasi 103
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta Jalan BBO Amoksisilin 3
Kerangka Pikir Penyusunan Buku Outlook Teknologi
Gambar 1.2 4
Kesehatan 2021
Tahapan Kegiatan Penyusunan Buku Outlook Teknologi
Gambar 1.3 5
Kesehatan 2021
Gambar 1.4 Rantai Pasok Bahan Baku Obat 5
Gambar 2.1 Jenis Industri Farmasi Indonesia Tahun 2020 10
Gambar 2.2 Sepuluh Besar Impor BBO Indonesia Tahun 2020 12
Gambar 2.3 Perbandingan Pangsa Volume Impor Amoksisilin 13
Gambar 2.4 Harga CIF Impor Amoksisilin Indonesia 14
Gambar 3.1 Pohon Industri BBO Amoksisilin 18
Proses produksi BBO Amoksisilin dengan intermediate
Gambar 3.2 21
material Dane Salt dan 6-APA
Proses produksi BBO Amoksisilin dengan intermediate
Gambar 3.3 21
material 6-APA dan HPGME
Gambar 3.4 Sintesis Produksi BBO Amoksisilin Secara Enzimatis 22
Produsen Intermediate Material BBO dan BBO Amoksisilin di
Gambar 3.5 24
Dunia
Beberapa Importir Intermediate Material BBO dan BBO
Gambar 3.6 24
Amoksisilin di Indonesia
Gambar 3.7 Peta Pelaku Klaster Industri BBO Amoksisilin 26
Gambar 3.8 Analisis Daya Saing BBO Amoksisilin 29
Gambar 4.1 Roadmap Litbang Amoksisilin 33
Gambar 4.2 Peran Lembaga dalam Roadmap Amoksisilin 34
Peran Lembaga dalam Proses Produksi BBO Amoksisilin
Gambar 4.3 35
(Metode Kimiawi)
Peran Lembaga dalam Proses Produksi BBO Amoksisilin
Gambar 4.4 36
(Metode Enzimatis)
Gambar 4.5 Penicillium Chrysogenum 36
Capaian Riset Balai Bioteknologi BPPT (Penisilin G, Penisilin G
Gambar 4.6 40
Asilase, 6-APA)
SDM dan Fasilitas Pendukung Riset 6-APA di Balai
Gambar 4.7 41
Bioteknologi BPPT
Gambar 4.8 Mini Pilot Plant 6-APA 41
Nilai Komponen pada Perhitungan TKDN Berdasarkan
Gambar 5.1 54
Permenperin No. 16 Tahun 2020
Tantangan Bahan Baku Obat (BBO) Nasional dan Kebijakan
Gambar 6.1 64
Pemerintah
xii
Gambar 6.2 Dukungan Regulasi Pengembangan Industri Farmasi Nasional 75
Keterkaitan Kebijakan Kesehatan, Perindustrian dan Riset
Gambar 6.3 76
Nasional
Gambar 6.4 Kebijakan Fiskal dan Non-Fiskal 76
Gambar 6.5 Super Deduction Tax 78
Regresi PDB per Kapita Dibandingkan dengan Konsumsi BBO
Gambar 7.1 90
Amoksisilin
Gambar 7.2 Proyeksi Penduduk Indonesia 91
Gambar 7.3 Proyeksi PDB Indonesia 91
Gambar 7.4 Proyeksi Kebutuhan BBO Amoksisilin 92
Gambar 7.5 Struktur Input Industri Farmasi 94
Gambar 7.6 Rantai Nilai BBO Amoksisilin 95
Indeks Keterkaitan ke Depan dan Indeks Keterkaitan ke
Gambar 7.7 104
Belakang Industri Farmasi dalam Kuadran
Gambar 7.8 Efek Riak Industri Amoksisilin 105
xiii
xiv
1
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan obat antibiotik amoksisilin
melalui industri formulasi yang ada. Namun demikian, hampir seluruh bahan baku obat
(BBO) amoksisilin masih diimpor, terutama dari China dan India. Tingginya impor BBO
amoksisilin ini menjadikan rentannya ketahanan obat nasional, terutama jika terjadi
fluktuasi nilai tukar rupiah dan ganggunan pasokan dari luar negeri seperti yang terjadi saat
ini akibat pandemi Covid-19 (Santosa dkk., 2021).
Obat antibiotik amoksisilin termasuk obat generik esensial yang menempati 5 teratas dari
25 jenis obat dalam Rencana Kebutuhan Obat (RKO) di JKN. Amoksisilin pernah diproduksi
di Indonesia pada tahun 1987, PT. Kimia Farma (Persero) Tbk membentuk bekerjasama
dengan PT. Sandoz, PT. Biochemie dan PT. Anugerah Daya membentuk joint venture (PT.
Sandoz Biochemie Farma Indonesia) untuk memproduksi amoksisilin dan ampisilin.
Kapasitas produksinya 100 MT per tahun. Joint venture ini akhirnya mengalami kegagalan
karena tingginya biaya produksi dan tidak mampu bersaing dengan kompetitor dari Cina
dan India yang produknya lebih murah. Penyebabnya adalah bahan intermediate 6-APA (6-
aminopenicillanic acid) dan Dane Salt (D-p-Hidroksifenilglisin) masih bergantung pada
impor (Priyambodo dkk., 2021 dan Widiati dkk.,2021)
Pada saat ini volume impor BBO amoksisilin Indonesia meningkat rata-rata sekitar 7% per
tahun. Tahun 2020 Indonesia mengimpor sekitar 1,1 ribu ton BBO amoksisilin. Sedangkan
nilai impornya hanya meningkat sedikit akibat dari turunnya harga impor BBO amoksisilin
dari sekitar US$ 60/kg pada tahun 1996 menjadi sekitar US$ 21/kg pada tahun 2020 (PPIPE-
BPPT, Kajian Penguatan Rantai Pasok dan Dampak Ekonomi Industri BBO, 2021).
Perkembangan industri kesehatan Indonesia saat ini sebenarnya sudah cukup
menggembirakan. Downstream industri kesehatan Indonesia, termasuk industri farmasi di
dalamnya, telah berkembang pesat. Pertumbuhan pasar farmasi Indonesia rata-rata 9% per
tahun dengan nilai pasar tahun 2019 sebesar 88,4 triliun rupiah. Sekitar 90% kebutuhan
obat Indonesia sudah bisa dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri. Bahkan Indonesia
telah mengekspor produk farmasi ke beberapa negara ASEAN. Hanya saja, sebagian besar
industri farmasi masih merupakan industri formulasi yang masih menggantungkan bahan
bakunya dari sumber impor. Selain itu terkait dengan obat amoksisilin, dari 11 industri BBO
yang ada saat ini tidak satupun yang merencanakan untuk memproduksi BBO amoksisilin
(Santoso dkk., 2021). Menurut data dari Kementerian Kesehatan, hingga tahun 2021, ada
241 industri pembuatan obat-obatan, 17 industri bahan baku obat-obatan, 132 industri
obat-obatan tradisional, dan 18 industri ekstraksi produk alami (bkpm.go.id,2021).
Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan impor BBO
amoksisilin ini. Skenario pengembangan industri BBO telah dituangkan pada regulasi dan
dokumen perencanaan, yaitu: Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 17 tahun 2017
tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Peraturan
Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035, Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) Tahun 2017-2045
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, serta Prioritas Riset Nasional (PRN)
Tahun 2020-2024 (Priyambodo dkk., 2021)
2
Gambar 1.1. Peta Jalan BBO Amoksisilin
Data dari Kementerian Perindustrian sampai dengan tahun 2020, telah menunjukkan
terjadinya penurunan 2,72% impor BBO sehingga total impor menjadi 92%. Pada tahun
2024, impor ditargetkan turun 20,52% menjadi 74%. Beberapa BBO telah diproduksi oleh
PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia. Meskipun impor BBO menunjukkan
kecenderungan yang menurun, namun total impor BBO masih cukup besar, tahun 2020
masih pada kisaran 90% dengan nilai impor sebesar Rp. 73,41 trilyun (Setiadi dkk., 2021)
Sejalan dengan kebijakan pemerintah tersebut, saat ini BPPT bersama mitra (UGM, ITB, PT.
Mersi Farma) sedang melakukan riset untuk mengembangkan teknologi produksi BBO
amoksisilin. Dalam kerjasama ini peran BBPT. dan mitra adalah sebagai berikut: BPPT
melakukan penelitian tentang 6-APA, ITB melakukan penelitian terkait dengan Dane Salt,
UGM dan BPPT melakukan pengembangan Penisilin G Asilase. PT. Mesifarma sebagai mitra
industri farmasi yang akan memanfaatkan hasil riset BPPT, UGM, ITB untuk memproduksi
BBO amoksisilin.
Kemajuan yang dicapai oleh kemitraan riset tersebut pada tahun 2020 adalah telah
tercapainya produksi pada skala laboratorium bahan baku 6-APA dengan yield 80% dan
kemurnian >97%. Pada riset ini juga telah dilakukan kajian keekonomian, hasil kajiannya
menunjukkan pembangunan pabrik amoksisilin secara sintesis dengan kapasitas 1.200 ton
per tahun baru mencapai kelayakan bisnis pada harga jual 50 USD/kg. Hasil analisis
indikator bisnis lainnya menunjukkan: return on investment (ROI) 25,14%, payback period
(PP) 7,86 tahun, internal rate of return (IRR) 19,10% pada harga jual tersebut (Marwoto,
2020).
Nampaknya upaya untuk menghilirkan hasil riset BPPT dan mitra ini tidak mudah.
Tantangan yang dihadapi adalah rendahnya harga produk dari para pesaing luar negeri.
Pada tahun 2017 harga Amoksisilin Na dari Cina adalah 18,67 USD/kg, India 20,98 USD/kg,
Spanyol 45,06 USD/kg, Korea 60 USD/kg, Austria 53.32 USD/kg (Setiadi dkk., 2021).
3
1.2 Tujuan
Dalam peta jalan yang telah disampaikan bahwa BBO amoksisilin akan segera diproduksi
pada tahun 2024. Tujuan penyusunan outlook ini adalah :
1) Memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang sedang dan akan terjadi yang
harus dipertimbangkan dalam rencana industrialisasi BBO amoksisilin. Faktor-faktor
yang perlu dipertimbangkan tersebut antara lain perkembangan kebutuhan
nasional, perkembangan impor, perkembangan riset, kapabilitas teknologi,
kebijakan yang ada, peta klaster industri dan dampak ekonomi BBO amoksisilin.
2) Memberikan rekomendasi berkenaan dengan inisiatif industrialisasi BBO
amoksisilin.
Rencana Industrialisasi
BBO Amoksisilin
Identifikasi Faktor-faktor
yang Mempengaruhi:
Fokus pada Rantai Pasok
Analisis Perkembangan
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi dan
Proyeksi
Rekomendasi
Industrialisasi BBO
Amoksisilin
Gambar 1.2. Kerangka Pikir Penyusunan Buku Outlook Teknologi Kesehatan 2021
4
1.4 Tahapan Kegiatan
Penyusunan buku Outlook Teknologi Kesehatan 2021 dilakukan sejak Bulan Januari sampai
dengan Agustus 2021. Tahapan kegiatan penyusunan outlook adalah sebagai tabel berikut.
Gambar 1.3. Tahapan Kegiatan Penyusunan Buku Outlook Teknologi Kesehatan 2021
Keterangan:
PBBBF : Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi
PBF : Pedagang Besar Farmasi
Gambar 1.4. Rantai Pasok Bahan Baku Obat
Secara substansial tinjauan pada outlook ini meliputi: peta klaster industri, kapabilitas riset
dan teknologi, tingkat komponen dalam negeri (TKDN), analisis pasar dan nilai tambah;
serta analisis kebijakan terkait industri BBO amoksisilin di Indonesia. Tinjauan berikutnya
adalah proyeksi kebutuhan BBO amoksisilin beberapa tahun mendatang serta analisis
dampak ekonominya. Pada akhir tinjauan disampaikan rekomendasi yang merupakan
masukan atas kesenjangan (gap) yang terjadi antara kondisi industri BBO amoksisilin saat
ini dengan kondisi yang diharapkan.
5
1.6 Metodologi
Outlook teknologi kesehatan ini mencakup tinjauan/review terhadap kemampuan
teknologi dan kondisi industri BBO amoksisilin di dalam negeri saat ini. Tinjauan ini sesuai
lingkup rantai pasok industri yang mengalir dari hulu industri hingga hilirnya. Buku Outlook
teknologi kesehatan ini disusun berdasarkan hasil kajian data dan informasi yang diperoleh
dari berbagai sumber, baik dari data primer maupun data sekunder.
Sumber Data
Data primer diperoleh dari narasumber baik melalui hasil survei lapangan maupun dengan
mengadakan FGD. Sumber data dan informasi tersebut berasal dari berbagai pihak yang
terkait, seperti tercantum dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.1. Sumber Data dan Informasi
1 Institusi Pemerintah
Kementerian Kebijakan industri Diperoleh secara online
Perindustrian farmasi
Kementerian Kebijakan fiskal Diperoleh secara online
Keuangan
Kementerian Impor BBO Amoksisilin Diperoleh secara online
Perdagangan
Kementerian Kebijakan kesehatan Diperoleh secara online
Kesehatan
Badan Pusat Jumlah penduduk, PDB, Diperoleh secara online
Statistik perdagangan
internasional
Badan POM Peraturan tentang Diperoleh secara online
pembuatan obat
2 Lembaga Riset
BRIN Perkembangan riset Diperoleh melalui
farmasi secara umum penelusuran online dan
diskusi
BPPT Perkembangan riset BBO Melalui diskusi dengan para
Amoksisilin, 6-APA, peneliti
Pen.G, PGA, HPGME
3 Pelaku Industri Pengalaman melakukan Diskusi online
industri farmasi
6
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer
didapat dengan melakukan survei lapangan melalui wawancara langsung maupun diskusi
terfokus atau FGD. Wawancara dilakukan melalui in-depth interview terhadap para
pembuat kebijakan, pelaku industri, akademisi, maupun asosiasi industri farmasi nasional.
Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi yang berhubungan dengan
pokok bahasan kegiatan penelitian.
Data sekunder dalam penelitian ini adalah data kualitatif maupun kuantitatif yang
diperoleh dari berbagai sumber antara lain; Kementerian, Lembaga serta berbagai instansi
terkait lainnya yang telah disebutkan di atas, dan juga diperoleh melalui studi pustaka dari
media offline maupun online yang berkaitan dengan industri BBO maupun farmasi.
7
8 8
9
2.1 Industri Farmasi di Indonesia
Industri farmasi memiliki pangsa terbesar kedua dalam industri pengolahan non-migas
nasional. Terlebih di masa pandemi, industri farmasi tumbuh positif lebih dari 9%
dibandingkan dengan industri non-migas lainnya yang mayoritas menurun. Secara
keseluruhan, pada tahun 2020 industri farmasi memberikan kontribusi sebesar 2%
terhadap perekonomian Indonesia (BPS, 2021b). Dengan potensinya yang kuat dan
menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi, industri farmasi memainkan peran
penting dalam ranah industri di Indonesia.
Saat ini pasar produk farmasi Indonesia adalah yang paling besar untuk wilayah ASEAN yang
diperkirakan akan mencapai 141,6 triliun rupiah atau lebih dari 10 miliar USD pada tahun
2021 (BKPM, 2021). Jumlah perusahaan farmasi di Indonesia berdasarkan data yang dirilis
oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengalami pertumbuhan sekitar 8%
atau meningkat dari 210 perusahaan pada 2015 menjadi 227 perusahaan pada 2020. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 209 (92,07%) perusahaan khusus memproduksi produk jadi
kimia dan tujuh perusahaan (3,08%) memproduksi bahan baku obat. Sisanya (4,85%)
bergerak pada berbagai jenis produk lainnya (Gambar 2.1.). Berdasarkan kepemilikannya,
167 industri farmasi berasal dari dalam negeri (PMDN), 48 industri farmasi berasal dari luar
negeri (PMA), 8 industri farmasi BUMN dan 4 industri farmasi Nasional (BPOM,2021).
10
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian, sektor farmasi memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap impor Indonesia. Impor BBO Indonesia mencapai 95%,
berasal dari China (70%), kemudian India (20%) dan negara-negara kawasan Eropa serta
Amerika Serikat (10%) (Kemenperin, 2021a). Ketergantungan pada BBO impor ini
menjadikan posisi industri farmasi Indonesia sangat rentan. Apalagi dengan menurunnya
kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing akan berdampak pada peningkatan biaya
produksi. Di samping itu, impor BBO yang tinggi juga akan membebani neraca perdagangan
Indonesia.
Pemerintah terus mengupayakan pengurangan impor sebesar 35% hingga akhir tahun 2022
(Kemenperin, 2021b). Pemerintah telah menyiapkan peta jalan untuk mempercepat
pembangunan industri farmasi, termasuk prosedur serta sasaran pengembangan produk
dan jangka waktunya agar mampu memproduksi bahan baku berteknologi tinggi. Fokus
jangka panjangnya adalah untuk membantu industri farmasi menjadi industri mandiri dan
dapat memenuhi kebutuhan penduduk, sehingga dapat menurunkan ketergantungan pada
produk impor.
Berdasarkan data Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), investasi asing masih
mendominasi industri farmasi dengan pangsa 62% atau mencapai hampir 30 triliun rupiah
dari total investasi 48,1 triliun rupiah selama periode 2015-2020. Jika dilihat dari sisi rata-
rata pertumbuhan per tahun, investasi pada sektor farmasi relatif lebih lambat, hanya
tumbuh 3,8% per tahun atau masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Dibandingkan dengan investasi asing, PMDN tumbuh paling rendah hanya 1,7 % per tahun
(BKPM, 2021b).
Investasi asing yang memiliki pangsa signifikan di sektor farmasi dapat menciptakan
positive spillover dengan meningkatkan daya saing dalam negeri serta mendorong
penggunaan sumber daya yang secara efisien sehingga meningkatkan produktivitas. Secara
umum, perlambatan investasi pada sektor farmasi akan berdampak pada semakin besarnya
impor BBO. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mendorong agar peningkatan investasi
sektor farmasi diarahkan pada pemenuhan ketersediaan BBO dalam negeri (Martawardaya
dan Nugorho, 2020).
11
2.2 Industri BBO Amoksisilin
Antibiotik merupakan golongan obat anti infeksi yang paling dibutuhkan oleh masyarakat
Indonesia, khususnya amoksisilin. Namun, seperti industri farmasi Indonesia yang
mayoritas berada di hilir, industri amoksisilin baru sebatas formulasi dan seluruh bahan
bakunya dipenuhi dari impor. Hal ini menunjukkan bahwa industri amoksisilin dalam negeri
sangat bergantung pada impor dan rentan terhadap fluktuasi harga serta pelemahan nilai
rupiah. Data perdagangan luar negeri Indonesia menunjukkan pasar antibiotik amoksisilin
menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh besar impor BBO di tahun 2020 dengan pangsa
sebesar 8,4% (Gambar 2.2).
12
Gambar 2.3. Perbandingan Pangsa Volume Impor Amoksisilin
Volume impor BBO amoksisilin dari China tahun 2020 mencapai 963 ton atau sekitar 19,9
juta USD. India dan Spanyol yang pada tahun 2010 mempunya pangsa masing-masing
sebesar 33% dan 18%, tidak mampu bersaing dengan produk China. Pangsa impor kedua
negara ini turun drastis menjadi 9% (India) dan kurang dari 1% (Spanyol). Nilai impor bahan
baku obat amoksisilin dari India pada tahun 2020 mencapai 2,35 juta USD dengan volume
sekitar 95 ton. Sementara, di tahun yang sama, impor dari Spanyol hanya sebesar 270 ribu
USD dengan volume kurang dari lima ton (Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Volume Impor Amoksisilin (ton)
Negara 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
CHINA 181,3 528,7 661,6 883,3 1336,5 964,2 1240,6 1115,3 1175,9 1043,8 963,0
INDIA 132,1 188,7 177,2 221,5 354,7 68,7 174,5 83,9 83,6 132,9 95,4
SPANYOL 71,8 26,5 23,7 15,9 11,9 10,4 25,4 13,7 13,8 10,8 4,6
AUSTRIA 2,8 1,2 16,7 20,6 27,3 22,6 24,1 17,1 6,1 2,0 2,0
ITALIA 1,1 0,6 0,6 1,1 4,1 7,3 7,0 1,1 4,4 2,1 1,6
SINGAPURA 7,8 7,8 8,8 2,2 0,1 0,9 0,0 - - 0,8 0,0
JEPANG 2,0 3,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
PERANCIS - 1,9 - 1,2 1,1 0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
TOTAL 399,0 759,1 888,5 1.145,8 1.738,1 1.074,7 1.471,6 1.231,1 1.283,9 1.192,4 1.066,8
13
Tabel 2.2. Nilai Impor Amoksisilin (juta USD)
Negara 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
CHINA 5,37 14,48 17,08 24,22 37,04 23,96 23,90 21,85 30,01 24,58 19,87
INDIA 3,90 5,59 4,96 6,35 10,98 1,94 3,51 1,76 2,42 3,22 2,35
SPANYOL 2,70 1,41 1,18 0,89 0,55 0,44 1,14 0,62 0,65 0,52 0,27
AUSTRIA 0,16 0,06 1,01 1,34 1,53 1,12 1,34 0,87 0,36 0,12 0,12
ITALIA 0,19 0,10 0,10 0,17 0,28 0,62 0,44 0,08 0,28 0,09 0,01
SINGAPURA 0,83 0,47 0,23 0,10 0,01 0,04 0,00 - - 0,00 0,00
JEPANG 0,11 0,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
PERANCIS - 0,16 - 0,06 0,06 0,04 0,00 0,01 0,01 0,00 0,00
TOTAL 13,27 22,51 24,56 33,12 50,78 28,15 30,34 25,18 33,72 28,53 22,62
Selama sepuluh tahun terakhir, volume total impor BBO amoksisilin Indonesia meningkat
rata-rata sekitar 10,3% per tahun, atau naik dari sekitar 400 ton di tahun 2010 menjadi
hampir 1.100 ton di tahun 2020. Sedangkan jika berdasarkan besaran nilainya, impor BBO
amoksisilin hanya meningkat sekitar 5,5% per tahun. Hal ini diakibatkan turunnya harga
impor BBO amoksisilin dari sekitar US$ 33/kg pada tahun 2010 menjadi sekitar US$ 20/kg
pada tahun 2020. Pergerakan harga impor (CIF: cost, insurance, and freight) BBO
amoksisilin dapat dilihat pada Gambar 2.4.
60
50
Harga CIF (USD/kg)
40
30
20
10
0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
14
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, harga impor rata-rata BBO amoksisilin pada
tahun 1996 mencapai lebih dari 60 USD/kg. Namun pada tahun 1998 harga ini turun drastis
menjadi kurang dari 40 USD/kg. Hal ini disebabkan dua negara asal impor BBO amoksisilin
yang mendominasi saat itu, yaitu Austria (47% dari total volume impor) dan Mesir (29%
dari total volume impor) berhasil memangkas ongkos produksi mereka lebih dari sepertiga.
Austria yang pada tahun 1996 menjual BBO amoksisilin dengan harga 90 USD/kg, pada
tahun 1998 turun menjadi 47 USD/kg. Sedangkan harga BBO amoksisilin Mesir turun dari
sekitar 63 USD/kg menjadi 42 USD/kg. Di tahun yang sama, China bahkan sudah mampu
menjual produk BBO amoksisilin mereka dengan harga dibawah 30 USD/kg. Oleh karena
itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, seiring dengan bertambahnya kapasitas
produksi, China mulai mendominasi impor BBO amoksisilin Indonesia sehingga harga impor
rata-rata terus turun hingga mendekati angka 20 USD/kg di tahun 2020.
15
16 16
17
3.1 Pohon Industri BBO Amoksisilin
Peta yang dapat menggambarkan kondisi struktur industri secara lengkap dapat berupa
Pohon Industri dan Bill of Materials. Pohon industri menggambarkan turunan produk dari
bahan mentah yang mencerminkan nilai tambah yang dihasilkan dari proses produksi
dengan teknologi tertentu. Sedangkan Bill of Materials menggambarkan komponen-
komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi barang jadi. Dengan kata lain, pohon
industri menggambarkan hilirisasi dari suatu bahan mentah/bahan baku, sedangkan Bill of
Materials menggambarkan hulunisasi dari produk/barang jadi (Kemenperin, 2019).
Saat ini belum ada industri BBO amoksisilin yang beroperasi di Indonesia. Produksi BBO
amoksisilin di Indonesia masih dilakukan dalam skala pilot plant/skala riset. Meskipun
begitu, teknologi pembuatan BBO amoksisilin sudah dikenalkan cukup lama. Pada tahun
1972 para ilmuwan di Beecham Research Laboratories menemukan amoksisilin dan
memproduksinya dalam skala industri, yang kemudian menjadi bahan pokok antibiotik
(www.gsk.com). Pada awal tahun 90-an amoksisilin masuk dalam daftar WHO untuk obat
esensial (Bruggink & Roy, 2001). Produksi BBO amoksisilin menjadi salah satu topik riset
dalam Kebijakan Riset dan Prioritas Riset Nasional (PRN) 2020-2024 dan BPPT. menjadi
salah satu lembaga pelaksananya. Informasi yang didapat dari pilot plant BPPT. tersebut
sudah cukup untuk menggambarkan komponen-komponen penyusun BBO amoksisilin.
Berikut ini disajikan pohon industri dari BBO amoksisilin.
18
Berdasarkan komponen-komponen dari gambar di atas, maka dikelompokkan menjadi
beberapa bagian sebagai berikut:
1. Bahan awal/ raw materials berupa Penisilin G yang diperoleh dari jamur Penicillium
chrysogenum
2. Bahan antara/ intermediate yang terdiri dari HPGME, 6-APA, dan Dane Salt.
3. Enzim, yaitu Penisilin G Asilase dan Amoksisilin Asilase
4. Bahan tambahan
5. Barang jadi, berupa obat amoksisilin untuk manusia dan antibiotik ikan dan udang
Industri bahan-bahan 1-3 belum ada di Indonesia, sehingga kebutuhan dalam negeri
dipenuhi dari impor. Akan tetapi, beberapa bahan yang digunakan untuk membuat Dane
salt sudah diproduksi dalam negeri, seperti Fenol. Di Indonesia terdapat 4 pabrik Fenol yang
saat ini beroperasi (lihat Tabel 3.1.).
Tabel 3.1. Perusahaan Dalam Negeri yang Memproduksi Fenol
Kapasitas
Nama Lokasi
(Ton/ Tahun)
PT. Metropolitan Phenol Pratama Serang, Banten 40.000
PT. Lambang Tri Usaha Cibitung Bekasi, Jawa Barat 45.000
PT. Batu Penggal Chemical Industri Samarinda, Kalimantan Timur 35.000
PT. Bumi Banjar Utama Sakti Barito Kuala, Kalimantan Selatan 5.250
Sumber: Istiqomah dan Hayuningtias, 2019
Bahan tambahan lain yang sudah bisa diproduksi oleh industri kimia di Indonesia, meliputi:
metanol, natrium hidroksida, asam klorida, etanol, asam fosfat, etilen glikol dan amoniak.
Indonesia memiliki satu pabrik metanol yaitu PT. Kaltim Methanol Industri di Bontang,
Kalimantan Timur dengan kapasitas 660 ribu ton/tahun. Kebutuhan metanol di Indonesia
sendiri pada tahun 2021 diprediksi mencapai 871 ribu ton, sedangkan saat ini pasokan
hanya dari produksi PT. Kaltim Methanol Indonesia sebesar 330 ribu ton per tahun yang
semuanya untuk memenuhi kebutuhan domestik (Kemenperin, 2021).
Permintaan Natrium Hidroksida (NaOH) di Indonesia sangat tinggi dan terus meningkat dari
tahun ke tahun, namun produksi NaOH dalam negeri belum mencukupi. NaOH sebagian
besar digunakan untuk industri kimia. Produsen NaOH di Indonesia dapat dilihat pada Tabel
3.2.
Tabel 3.2. Produsen NaOH Dalam Negeri
Kapasitas
Nama Perusahaan Lokasi
(ton/ tahun)
PT. Asahimas Subentra Chemicals Cilegon, Banten 700.000
PT. Sulfindo Adiusaha Serang, Banten 215.000
Sumber: Azhaar, 2018
19
Asam klorida di dalam negeri diproduksi antara lain oleh PT. Asahimas Chemical, PT.
Sulfindo Adiusaha, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, dan PT. Petrokimia Gresik.
Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 5
perusahaan dalam negeri yang memproduksi etanol yaitu PT. Energi Agro Nusantara di
Mojokerto, PT. Indo Acidatama di Solo, PT. Indolampung Distillery di Lampung Tengah, PT.
Molindo Raya Industrial di Malang, dan PG Rajawali II PSA Palimanan di Cirebon.
Konsumsi asam fosfat dalam negeri mencapai 862.272 ton/tahun. Angka ini lebih tinggi
sedikit dari kapasitas produksi nasional sebesar 800.000 ton/tahun. Ada tiga perusahaan
yang memproduksi asam fosfat yaitu PT. Petrokimia Gresik berkapasitas 400.000
ton/tahun, PT. Pupuk Kaltim berkapasitas 200.000 ton/tahun, dan PT. Pupuk Sriwijaya
berkapasitas 200.000 ton/ tahun (Suswanto, 2020).
Pabrik amoniak di Indonesia adalah PT. Kaltim Pasifik Amoniak, Fa. Bahagia, PT. Pupuk
Kujang (Persero), PT. Kaltim Parna Industri, dan PT. Petrokimia Gresik (Persero).
PT. Polychem Indonesia,Tbk hingga saat ini merupakan satu-satunya perusahaan yang
memproduksi etilen glikol di Indonesia. Perusahaan ini menghasilkan etilen glikol sebanyak
216.000 ton per tahun, dengan penjualan 81% untuk konsumsi domestik dan 19% untuk
ekspor ke Asia dan Amerika Utara. Impor masih diperlukan untuk memenuhi permintaan
etilen glikol di Indonesia (Wulanndari & Ardiani, 2017).
BBO amoksisilin menjadi input produksi bagi industri formulasi obat, baik untuk manusia
maupun hewan. Salah satu obat hewan yang memakai amoksisilin yaitu Amoxcell yang
merupakan antibiotik ikan yang diproduksi oleh Nutricell. Industri formulasi obat untuk
manusia akan dibahas pada subbab selanjutnya.
Pada tahun 2014, Balai Bioteknologi BPPT. menerbitkan buku Kajian Tekno Ekonomi
Produksi 6-Aminopenicillanic Acid (6-APA). Hasil kajian dalam buku tersebut menyimpulkan
hal berikut.
Dengan asumsi harga bahan baku Penisilin G sebesar 18 USD/kg, harga jual 6-APA
sebesar 30 USD/kg dan kapasitas produksi 6-APA sebesar 360 ton/tahun, pendirian
industri 6-APA di Indonesia pada saat ini belum layak secara ekonomi.
Agar menjadi layak maka harga Penisilin G perlu diturunkan dari 18 USD/kg menjadi
10 USD/kg melalui subsidi pemerintah dengan harga jual produk 6-APA sebesar 30
USD/kg.
Dalam proses produksi 6-APA masih menyisakan sekitar 15% penisilin G yang belum
terkonversi (sekitar 0,29 kg Penisilin G/kg 6-APA) serta dihasilkan produk samping Phenyl
Acetic Acid (PAA) sebesar 0,63 kg PAA/kg 6-APA. Sehingga dalam satu tahun terdapat 104,7
ton penisilin G dan 226,6 ton PAA yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu pemanfaatan
bahan baku Penisilin G sisa reaksi dan produk samping akan memberikan nilai tambah bagi
industri 6-APA. PAA biasa digunakan untuk industri tembakau, fragrance, essence dan
parfum.
20
Pelaku dan Inisiasi Pengembangan Klaster Industri BBO
3.2
Amoksisilin
Pendekatan klaster industri ini dimaksudkan untuk mengembangkan industri yang
terintegrasi, dimana terdapat kumpulan industri yang saling berkaitan seperti industri
pemasok (raw material, intermediate material), industri inti (BBO Amoksisilin). Selain itu
terdapat pula industri pendukung, industri terkait dan konsumen/pengguna yang masuk
dalam pengembangan klaster industri.
Industri-industri pemasok material (komponen bahan baku untuk diproses menjadi BBO).
Bahan baku dari BBO Amoksisilin dibagi menjadi 2 jenis yaitu bahan baku awal/raw
material dan bahan baku antara/intermediate material.
Bahan baku awal/raw material untuk BBO Amoksisilin adalah Penicilium crysogenum yang
diproses bersama Penicilin G Asilase menjadi Penicilin G, sedangkan Jenis bahan farmasi
intermediate untuk BBO Amoksisilin antara lain adalah dane salt, HPGME dan 6 – APA.
Hingga saat ini, penelitian mengenai dane salt telah dilakukan oleh Sekolah Farmasi,
Institut Teknologi Bandung (ITB), sedangkan untuk 6 – APA dilakukan oleh Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Berdasarkan penelusuran data sekunder,
belum ada industri di Indonesia yang menghasilkan kedua bahan dari BBO amoksisilin
tersebut.
Metode konvensional untuk memperoleh amoksisilin secara kimiawi (menggunakan dane
salt) biasanya melibatkan lebih dari 10 langkah, memerlukan suhu reaksi rendah (-30° C),
dan menggunakan pelarut beracun seperti metilen klorida dan reagen sililasi. Dilaporkan
bahwa produksi satu kilogram amoksisilin menghasilkan hingga sekitar 70 kg limbah yang
tidak dapat didaur ulang.
Gambar 3.2. Proses produksi BBO Amoksisilin dengan intermediate material Dane Salt
dan 6-APA
Akan tetapi, selain proses penggabungan dane salt dengan 6-APA, ada teknik lain yaitu 6-
APA diproses dengan metode enzimatis. Metode enzimatis (HPGME) membutuhkan
langkah yang jauh lebih sedikit, menggunakan kondisi reaksi yang lebih ringan, dan
menghasilkan lebih sedikit limbah.
Gambar 3.3. Proses produksi BBO Amoksisilin dengan intermediate material 6-APA dan
HPGME
21
Secara rinci, proses sintesis BBO Amoksisilin dengan metode enzimatis dapat dilihat pada
Gambar 3.4.
Industri Inti
Industri BBO di Indonesia hingga saat ini masih belum menjadi industri yang dominan di
sektor farmasi. Hal ini dikarenakan banyak industri farmasi di Indonesia lebih memilih fokus
di bagian formulasi obat, yang merupakan lanjutan dari produksi BBO.
Pada tanggal 20 Februari 2020, telah dilaksanakan penandatangan MoU antara Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung
(ITB) dan PT. Mersifarma Tirmaku Mercusana terkait pengembangan BBO Amoksisilin.
PT. Mersifarma Tirmaku Mercusana merupakan perusahaan farmasi yang berdiri sejak
tahun 1997, PT. Mersifarma berkomitmen untuk melakukan manufakturisasi berbagai
produk farmasi khususnya obat untuk segmen pasar yang luas. Reputasi yang diharapkan
oleh PT. Mersifarma menggunakan slogan “Membuat obat ekivalen riset standar
internasional”. Hingga Tahun 2005, PT. Mersifarma sudah memproduksi 75 produk farmasi,
hal ini disesuaikan dengan tujuan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Indonesia
Sehat 2010.
Untuk mendukung aktivitas industri, PT. Mersifarma terus melengkapi fasilitas mesin
manufaktur guna meningkatkan potensi pasar baik domestik maupun ekspor. Seluruh
aktivitas manufakturisasi PT. Mersifarma dilakukan di daerah Cikembar, Sukabumi, Jawa
Barat (https://www.mersifarma.com/?page_id=44).
Pembeli/Pengguna
Para pembeli BBO amoksisilin antara lain terdiri dari distributor, pengecer, pemakai
langsung (industri obat). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
245/Men.kes/SKV/1990 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian izin
usaha industri farmasi, dinyatakan bahwa industri farmasi adalah industri obat jadi dan
industri BBO. Industri Farmasi dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
22
1. Industri farmasi manufaktur yang meliputi:
a. Proses fermentasi;
b. Sintesa kimia;
c. Proses biologi dan ekstraksi
2. Industri farmasi formulasi mencakup proses pencampuran dan pembuatan senyawa.
Berdasarkan kelompok di atas, maka industri yang masuk dalam kategori
pembeli/pengguna dalam klaster industri BBO ini adalah industri formulasi/industri obat.
Akan tetapi jika dilihat secara lebih menyeluruh, maka terdapat kategori
pembeli/pengguna dalam klaster BBO, diantaranya:
a. Pabrik Formulasi Obat
Beberapa industri yang melakukan formulasi obat berbahan baku amoksisilin di
antaranya:
1. PT. Sanbe Farma (Amoxsan®/Amoksisilin Tabelt 250 mg)
2. PT. Hexpharm Jaya (Amoksisilin 500 generic dan Ampicillin Branded)
3. PT. Graha Farma (Moxigra 500 mg)
4. PT. Holi Farma (Holimox)
5. PT. Ifars Pharmaceutical Lab (Yusimox, Amoksisilin)
6. PT. Mersifarma Tirmaku Mercusana (Produk: Amoksisilin 500)
7. PT. Lapi Laboratories (Produk: Aclam/Aclam Forte)
8. PT. Gracia Pharmindo (Produk: Amiclav)
9. PT. Caprifarmindo Laboratories, (Produk: Amoxsan/Amoxsan Forte)
10. PT. Armoxindo Farma (Produk: Arcamox)
11. PT. Dexa Medica (Produk: Dexyclav 500/Ds/Fds)
12. PT. Kalbe Farma (produk: Kalmoxillin)
b. Pedagang Besar Farmasi
c. Instalasi Kesehatan (Rumah Sakit/ Klinik, Apotek)
d. BPJS (Badan Pengelola Jaminan Sosial) – JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)
e. Pasien
f. Perikanan/Tambak ikan
Industri terkait
Ada beberapa industri yang masuk dalam kategori industri terkait dalam klaster industri
BBO kimia aktif, mencakup industri pesaing/kompetitior, industri yang melengkapi
(komplementer) serta industri yang dapat mensubstitusi BBO kimia aktif, di antaranya
adalah:
a. Industri bahan baku kosmetik
b. Industri suplemen makanan/minuman
c. Industri Farmasi Herbal/ Biofarmaka/obat tradisional
d. Industri BBO kimia aktif Impor
e. Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi (PBBBF)/Importir BBO amoksisilin
Saat ini PT. Mersifarma sedang melakukan penjajagan dengan Sinopharm Weiqida
Pharmaceutical Co.,Ltd (China) dalam hal pasokan intermediate material untuk produksi
BBO amoksisilin. Hal ini merupakan bagian dari proses alih teknologi yang dilakukan
23
Sinopharm Weiqida kepada PT. Mersifarma dalam pengembangan BBO amoksisilin.
Sinopharm Weiqida Pharmaceutical Co.,Ltd merupakan salah satu produsen besar 6-APA
di dunia (Gambar 3.5)
Gambar 3.5. Produsen Intermediate Material BBO dan BBO Amoksisilin di Dunia
Perusahaan pengimpor intermediate material BBO dan BBO amoksisilin di Indonesia dapat
dilihat pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6. Beberapa Importir Intermediate Material BBO dan BBO Amoksisilin di
Indonesia
24
Industri Pendukung
Industri pendukung dalam pengembangan klaster BBO adalah industri-industri yang
berperan mendukung aktivitas industri BBO. Berbeda dengan industri pemasok yang
memang fokus memasok material-material yang menjadi bahan baku dari BBO, industri
pendukung lebih luas cakupannya, seperti pihak yang memberikan pembiayaan untuk
menjalankan industri BBO. Dalam klaster industri BBO ini, terdapat beberapa kategori
Industri pendukung, antara lain:
Peralatan (Permesinan, Alat Bantu); Peralatan manufaktur/ formulasi BBO
Industri eksipien (bahan tambahan dari BBO untuk menjadi Obat)
Lembaga Pendukung
Lembaga pendukung pada klaster industri adalah lembaga pemerintah atau swasta yang
mendukung aktivitas klaster industri dalam beberapa hal seperti regulasi/kebijakan, riset
yang terkait klaster industri maupun standarisasi produk. Dalam klaster industri BBO
amoksisilin, terdapat beberapa lembaga pendukung antara lain:
1. Lembaga Pemerintah
Kementerian Kesehatan
Kementerian Perindustrian
Kementerian Perdagangan
Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN
Kementerian BUMN
Badan Pengawas Obat dan Makanan
2. Lembaga Penelitian, Pengembangan, Pengkajian dan Penerapan (Litbangjirap)
Perguruan Tinggi: ITB, UGM
Lembaga Riset (LPNK): BPPT
Pada pengembangan BBO amoksisilin, terdapat lembaga Penelitian, Pengembangan,
Pengkajian dan Penerapan (litbangjirap) baik itu lembaga pemerintah non kementerian
(LPNK) maupun perguruan tinggi yang memiliki fokus riset terkait BBO amoksisilin.
Kelompok Keahlian (KK) Farmakokimia, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB),
melakukan riset dan pengembangan produksi amoksisilin secara mandiri di Indonesia.
25
26
Gambar 3.7. Peta Pelaku Klaster Industri BBO Amoksisilin
3.2 Daya Saing Industri BBO Amoksisilin
27
tumbuhnya industri start up berbasis teknologi. Sebagai contoh, berdasarkan literatur di
negara China banyak industri start up yang bergerak di sektor kesehatan dan farmasi.
Kemudian kebijakan lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi
iklim usaha adalah menerapkan kebijakan non-tariff barrier, seperti: kebijakan TKDN, e-
Katalog, standarisasi mutu.
Industri Terkait dan Pendukung
Berkembangnya industri BBO amoksisilin ditentukan pula oleh keberadaan industri
pendukung dan terkait. Industri pendukung yang telah tumbuh di dalam negeri adalah
industri eksipien, bahan yang berfungsi sebagai bahan pendukung/ tambahan obat
amoksisilin. Industri pendukung yang masih perlu ditumbuhkan adalah industri peralatan-
mesin produksi untuk memenuhi kebutuhan industri BBO amoksisilin. Peralatan penelitan
dan pengembangan BBO amoksisilin pada lembaga riset/ perguruan tinggi juga perlu
ditingkatkan agar hasil risetnya dapat mengimbangi kebutuhan industri.
Kebijakan industri untuk meningkatkan kemampuan industri dan lembaga pendukung ini
dapat diupayakan dalam bentuk dukungan insentif bagi kegiatan litbangjirap teknologi
produksi BBO amoksisilin yang sedang dilakukan oleh lembaga penelitian/ perguruan tinggi
sehingga aktivitas litbangjirap pada lembaga riset ini dapat berlangsung optimal.
Kondisi Permintaan
Permintaan obat amoksisilin di pasar domestik cukup besar, dimana obat ini menempati
urutan 5 teratas dari 25 jenis obat dalam Rencana Kebutuhan Obat (RKO) di JKN. Karenanya
obat amoksisilin termasuk kedalam kategori Obat Esensial Nasional dan Formularium
Nasional yang mengharuskan ketersediaannya terjamin pada program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Kebutuhan pada pasar regional/ ASEAN juga menjadi peluang bagi industri
BBO amoksisilin.
Potensi permintaan obat amoksisilin yang besar pada pasar nasional dan regional perlu
diantisipasi oleh pemerintah melalui kebijakan yang mampu menarik hadirnya investor
agar mau menanamkan modalnya pada sektor farmasi di Indonesia.
28
29
Gambar 3.8. Analisis Daya Saing BBO Amoksisilin
30 30
31
4.1 Perkembangan Riset BBO Amoksisilin
Amoksisilin merupakan salah satu penisilin semisintetis yang ditemukan oleh ilmuwan
Beecham pada tahun 1958. Kemudian melalui serangkaian riset, tahun 1972 mulai digunakan
secara medis dan dipasarkan (Roy, Jiben, 2012). Amoksisilin pernah diproduksi di Indonesia
pada 1987, namun tidak bisa bersaing karena biaya produksi yang tinggi akibat bahan
intermediate 6-APA (6-aminopenicillanic acid) dan Dane Salt (D-p-Hidroksifenilglisin) masih
impor.
Industri farmasi memiliki karakteristik padat teknologi dan padat modal dengan regulasi yang
ketat. Teknologi dan kapabilitas R&D merupakan determinan yang sangat esensial dalam
persaingan farmasi di pasar global. Oleh karena itu, aktivitas R&D dan inovasi produk menjadi
suatu keharusan.
Anggaran riset di Indonesia termasuk sangat rendah. Persentase anggaran riset nasional
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar 0,09%, masih jauh di bawah
Malaysia (1,00%), Singapura (2,60%), USA (2,80%), Jerman (2,90%) dan Jepang (3,40%)
(Kompas, 2016). Anggaran penelitian dan pengembangan Indonesia paling rendah di
antara negara-negara di ASEAN. Pada 2019 dan 2020, proporsi dana riset naik menjadi
0,31 persen dari PDB. Namun, jumlah tesebut masih jauh di bawah Singapura yang
mencapai 2,64% atau Malaysia 1,29% (Yenglis Dongche, 2021).
Alokasi anggaran pemerintah yang diinvestasikan untuk riset bidang farmasi dan kesehatan
oleh perusahaan farmasi BUMN, swasta nasional, dan swasta asing di Indonesia sampai saat
ini belum ada data yang valid. Data yang valid diperoleh dari pendanaan riset dari APBN yang
berasal dari Kemenristekdikti, LPNK di bawah koordinasi Kemenristekdikti (BPPT, LIPI dan
BATAN), Kemenkes, Kementan, Kemenkeu melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan
(LPDP) maupun yang berasal dari perusahaan besar farmasi melalui kerjasama kemitraan.
Industri farmasi nasional sendiri pada umumnya belum melakukan riset secara intensif dan
mandiri. Kegiatan riset di industri masih terbatas pada peningkatan efisiensi proses produksi
dari formulasi sediaan obat jadi. Obat baru (new molecular entities, NMEs) yang ditemukan
dan dipasarkan oleh industri farmasi nasional sampai saat ini belum pernah ada. Rendahnya
aktivitas riset oleh industri farmasi nasional disebabkan oleh banyak faktor, antara lain
rendahnya dukungan finansial, minimnya ketersediaan SDM ahli, dan iklim riset yang belum
kondusif.
Industri jasa uji klinik di Indonesia juga belum berkembang secara optimal. Namun demikian,
beberapa industri farmasi swasta nasional mulai tertarik untuk mengembangkan riset produk
farmasi, baik yang dikembangkan melalui kerjasama dengan universitas dan lembaga litbang
nasional maupun melalui kerjasama dengan luar negeri.
32
4.1.2. Telaah Penelitian dan Pengembangan Amoksisilin Nasional
Sumber: Diolah dari Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristekdikti
33
Produksi Dane-Salt skala pilot plant, produksi amoksisilin skala pilot plant, produksi Penisilin
G skala lab dan pilot plant, teknologi produksi enzim Penisilin G Asilase, dan produksi 6-APA
skala pilot plant akan direncanakan sebagai produk BBO amoksisilin. Fokus penelitian adalah
untuk :
1.Mengetahui spesifikasi dane-salt yang bisa direaksikan dengan 6-APA untuk
menghasilkan BBAO amoksisilin.
2.Mengetahui teknologi produksi enzim Penisilin G Asilase,
3.Mengoptimalkan rendemen dari enzim Penisilin G Asilase,
4.Memprediksi kebutuhan bahan aktif yang digunakan dalam proses produksi 6-APA.
Teknologi produksi amoksisilin akan memiliki kandungan lokal tinggi apabila dilakukan mulai
dari hulu (fermentasi penisilin G) untuk menghasilkan 6-APA secara enzimatis sehingga dapat
memutus rantai impor intermediate material. Dengan demikian pembangunan industri
amoksisilin nantinya akan mampu memberikan nilai tambah terhadap kandungan lokal dan
memiliki daya saing serta akan mendorong industri terkait lainnya.
Penelitian dan Pengembangan untuk menghasilkan amoksisilin, dari mulai raw material,
intermediate material hingga bahan aktif obat dikerjakan bersama sama dengan beberapa
lembaga litbang (Gambar 4.2). Pada skala laboratorium, BBO amoksisilin diproduksi melalui
kombinasi 6-APA yang dikembangkan BPPT dengan Dane Salt yang dikembangkan oleh
Farmasi ITB. Selanjutnya dilakukan upscaling sintesa amoksisilin dari kedua intermediate
material tersebut. Produksi BBO amoksisilin pada skala industri akan dilakukan oleh PT.
Mersifarma Tirmaku Mercusana.
Sumber: Diolah dari Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristekdikti
Gambar 4.2. Peran Lembaga dalam Roadmap Amoksisilin
34
Ada dua metode untuk memperoleh amoksisilin, yaitu :
1) Metode konvensional secara kimiawi dengan menggunakan 6-APA yang direaksikan
dengan Dane Salt (seperti pada gambar 4.3), yang biasanya melibatkan lebih dari 10
langkah, dan menggunakan pelarut beracun seperti metilen klorida dan reagen sililasi.
Dilaporkan bahwa produksi 1 kilogram amoksisilin menghasilkan hingga sekitar 70 kg
limbah yang tidak dapat didaur ulang.
Di samping fakta di atas, berdasarkan United State Pharmacopeia (USP), pembuatan
amoksisilin tidak digunakan 4 parahidroksifenil glisin (D-(-)-4-hidroksifenil-glisin) tetapi
menggunakan D-(-)-2-p-hydroxiphenyl glisine chloride. Jika menggunakan dane-salt,
rendemen yang diperoleh sekitar 50%, tetapi jika menggunakan selain dane-salt bisa
diperoleh rendemen sekitar 80%. Di sini terlihat pentingnya suatu formula awal, sehingga
dari formula tersebut dapat ditentukan mana yang paling efisien.
Sumber: Diolah dari Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristekdikti
Gambar 4.3. Peran Lembaga dalam Proses Produksi BBO Amoksisilin (Metode Kimiawi)
2) Metode enzimatis, hanya membutuhkan langkah yang jauh lebih sedikit, menggunakan
kondisi reaksi yang lebih ringan, dan menghasilkan relatif lebih sedikit limbah. Langkah
perkembangan riset terkait amoksisilin kemudian beralih ke metode enzimatis, dengan
pembagian peran seperti pada gambar 4.4 berikut ini.
35
Sumber: Bambang Marwoto. 2021.
Gambar 4.4. Peran Lembaga dalam Proses Produksi BBO Amoksisilin (Metode Enzimatis)
Penisilin pertama kali diterapkan untuk aplikasi klinik tahun 1942. Beberapa kelebihan
penisilin yaitu mempunyai spektrum yang luas, aktif terhadap bakteri gram positif dan
mempunyai toksisitas yang rendah sehingga penggunaan penisilin G dengan dosis tinggi tidak
menyebabkan alergi (Crueger & Crueger 1984). Salah satu jamur yang dikenal luas dapat
menghasilkan penisilin adalah Penicillium chrysogenum (Houbraken et al. 2012; Kardos &
Demain 2011).
Penisilin diproduksi oleh galur Penicillium notatum atau Penicillium chrysogenum yang
diinokulasikan pada medium dengan nutrien yang sesuai. Taskin dkk. (2010) menyatakan
bahwa penisilin yang dihasilkan oleh Penicillium chrysogenum merupakan penisilin G yang
labil terhadap kondisi asam. Menurut Volk dan Wheeler (1993), mekanisme kerja penisilin
adalah dengan mengganggu sintesis dinding sel, khususnya ketika proses transpeptidasi pada
sintesis peptidoglikan dinding sel.
36
Menurut Madigan dan Martinko (2006), pertumbuhan mikroorganisme di dalam kultur sekali
unduh (batch culture) dapat digambarkan sebagai kurva pertumbuhan yang menjelaskan
siklus pertumbuhan suatu mikroorganisme seutuhnya, yang umumnya terbagi menjadi 4 fase,
yaitu:
1. Fase lag, merupakan fase awal yang muncul ketika mikroorganisme menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru (medium baru). Fase tersebut dapat muncul karena
perbedaan nutrisi medium pada kultur awal dan baru atau bisa juga karena umur
inokulum yang sudah cukup tua.
2. Fase eksponensial, merupakan suatu fase ketika sel mulai aktif membelah diri dengan
waktu generasi yang panjang. Fase tersebut akan berhenti sesuai dengan ketersediaan
nutrisi di dalam medium dan beberapa faktor lain.
3. Fase stasioner, merupakan suatu fase ketika jumlah sel mikroorganisme di dalam
kultur tidak mengalami pertambahan maupun pengurangan, sehingga membentuk
keseimbangan. Fase tersebut muncul karena dua faktor umum, yaitu karena nutrient
penting di dalam medium sebagian besar telah habis digunakan dan karena adanya
beberapa produk buangan dari metabolisme sel yang terakumulasi di dalam medium
dan menghambat pertumbuhan.
4. Fase kematian, merupakan suatu fase ketika sebagian besar sel di dalam kultur
mengalami kematian dan lisis sel karena kehabisan nutrisi.
Produksi penisilin oleh jamur Penicillium chrysogenum terjadi selama fase stasioner sehingga
dikenal sebagai metabolit sekunder. Oleh karena itu, di dalam proses produksi metabolit
sekunder ini, dikenal juga istilah fase pertumbuhan (tropofase) dan fase pembentukan produk
(idiofase).
Produksi penisilin menggunakan Penicillium chrysogenum berlangsung dari 0-140 jam (sekitar
5-6 hari). Fase pertumbuhan penisilin mempunyai jangka waktu sekitar 40 jam. Selama waktu
tersebut, massa sel dibentuk. Setelah fase pertumbuhan (logaritma) berlangsung, tahap
produksi penisilin yang sebenarnya baru dimulai. Pemberian nutrien, seperti glukosa dan
nitrogen di dalam berbagai komponen medium kultur dapat memperlama tahap produksi
penisilin, dari 120-180 jam.
Laju produksi antibiotik merupakan hasil dari sintesis selama proses fermentasi. Pemilihan
medium yang murah dan berkualitas bagi industri antibiotik sangat penting. Penggunaan
molase dan air lindi (leachate) dapat menjadi alternatif digunakan sebagai medium untuk
pertumbuhan Penicillium chrysogenum. Air lindi dapat digunakan sebagai sumber nitrogen
(Laksmi dan Rahayu 1995) dan molase dapat digunakan sebagai sumber karbon karena
mengandung konsentrasi karbohidrat sebesar 45-60% (Farooq et al. 2012). Keterbatasan
nutrisi dan penurunan kecepatan pertumbuhan akan menghasilkan sinyal yang mempunyai
efek regulasi sehingga menyebabkan diferensiasi kimia (metabolit sekunder) dan diferensiasi
morfologi (morfogenesis) (Demain 1998). Pada saat tersebut, metabolisme sekunder dan
produksi mikroorganisme berlangsung lebih lambat daripada mikroorganisme primer.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi fermentasi Penicillin, yaitu:
a. Temperatur: Fermentasi untuk pembuatan Penicillin akan menghasilkan produk yang
maksimum apabila temperatur operasi dijaga pada 24 C. Temperatur berkaitan erat
dengan pertumbuhan mikroorganisme, karena kenaikan temperatur dapat
37
meningkatkan jumlah sel mikroorganisme baru. Apabila temperatur sistem meningkat
melebihi temperatur optimumnya, maka produk yang dihasilkan akan berkurang,
karena sebagian dari media fermentasi akan digunakan oleh mikroorganisme untuk
mempertahankan hidupnya.
b. pH: Pengaturan pH dilakukan untuk mencegah terjadinya fluktuasi pH sistem.
Menurut Moyet dan Coghill kehilangan Penicillin dapat terjadi pada pH dibawah 5 atau
pH diatas 7,5. PH medium dipengaruhi oleh jenis dan jumlah karbohidrat (glukosa atau
laktosa) dan buffer. Karbohidrat akan difermentasi menjadi asam-asam organik.
Fermentasi glukosa yang berlangsung cepat akan menurunkan pH, sedangkan laktosa
terfermentasi dengan sangat lambat sehingga perubahan pH berlangsung lambat
pula. Konsentrasi gula hasil fermentasi ini berfungsi mempertahankan kenaikan pH
agar tetap lambat. Larutan buffer dapat digunakan untuk mempertahankan pH sistem.
Kalsium karbonat merupakan senyawa yang sering digunakan untuk tujuan ini.
Kalsium karbonat mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pH sistem saat
ditambahkan media fermentasi.
c. Aerasi: Aerasi yang cukup merupakan hal penting untuk memaksimalkan Penicillin,
sebab aerasi dapat menghasilkan oksigen yang dihasilkan oleh Penicillum
chrysogenum untuk metabolismenya.
d. Pengadukan: Pemilihan jenis pengaduk dan kecepatan pengadukan yang sesuai akan
memperbaiki hasil Penicillin ketika laju aerasi konstan. Kecepatan pengadukan proses
fermentasi umumnya berkisar pada range 250 – 500 cm/detik. Pembentukan busa
yang berlebihan selama proses fermentasi dapat dieliminasi dengan penambahan
tributinit sutrat. Secara umum, busa akan menurunkan pH apabila konsentrasinya
terus bertambah.
e. Sterilisasi: Kontaminasi dapat dihindarkan dengan cara sterilisasi sistem perpipaan,
fermentol, dan peralatan lain yang kontak langsung dengan Penicillin. Uap panas
umumnya digunakan untuk sterilisasi media fermentasi dan peralatan tersebut. Zat
anti busa dan udara untuk aerasi juga hasus disterilkan terlebih dahulu sebelum
diumpankan kedalam media fermentasi (Sarah 2002).
38
4.1.5. Perkembangan Riset Penisilin G Asilase (PGA)
Dalam rangkaian proses menuju BBO amoksisilin, selain bahan-bahan berupa raw material
dan intermediate material, juga dibutuhkan katalis berupa enzim, diantaranya Penisilin G
asilase (PGA). Penicillin G Acylase (PGA) adalah enzim kunci yang digunakan dalam produksi
antibiotik β-laktam. PGA menghidrolisis rantai samping Penisillin G dan melepaskan 6-amino
penicillanic acid (6-APA), yang merupakan bahan baku pembuatan Penisilin semisintetik.
Produksi antibiotik β-Laktam semi-sintetik membutuhkan PGA dalam jumlah besar, dimana
konsumsi tahunan enzim ini diperkirakan berkisar antara 10-30 juta ton. Oleh karena itu,
diperlukan PGA dengan harga yang dapat diterima yang bisa dicapai dengan optimasi
produksi PGA agar didapat antibiotik β-Laktam dengan harga terjangkau (PTB, 2021).
Penelitian tentang Penisilin G Asilase (PGA, EC 3.5.1.11; penicilin amidohydrolase, penisilin
acylase) dimulai pada tahun 1950 ketika enzim ini mulai dideskripsikan oleh Sakaguchi dan
Murao (1950). Struktur enzim, karakterisasi fisikokimia, sintesis, dan pematangan dalam galur
(strain) yang memproduksinya dapat ditemukan pada beberapa publikasi ilmiah (Rajendhran
dan Gunasekaran,2004; Sio et al., 2003; Chandel et al., 2008; Srirangan et al., 2013).
PGA dari Escherichia coli (PGAEc) adalah enzim yang kuat yang diketemukan pada tahun 1960
dan telah diakui oleh beberapa perusahaan farmasi sebagai enzim dengan potensi industri
yang tinggi: dengan aktivitas optimal hingga 60 °C (Erarslan et al., 2007), suhu denaturasi Tm
pada 64,5 °C (Grinberg et al. 2008), dan mempunyai stabilitas yang tahan lama setelah
dilakukan imobilisasi (Ospina et al., 1996). Pada 1980-an, enzim ini digunakan sebagai katalis
industri untuk produksi skala besar asam nukleat β-laktam 6-amino penicilanic acid (6-APA)
dan asam 7aminodeacetoxy cephalosporanat (7-ADCA) yang digunakan untuk produksi kimia
SSBAs. Langkah pertama adalah menggantikan produksi secara kimia SSBAs dengan
biokatalisis menggunakan PGA hidrolitik.
Permintaan penisilin yang meningkat memicu permintaan untuk penisilin G asilase karena
aktivitas katalitiknya selama produksi penisilin G pada skala industri, di mana ia digunakan
dalam produksi antibiotik β-laktam. Meningkatnya resistensi obat telah memicu pasar
antibiotik semisintetik, di mana penisilin G asilase digunakan untuk menghasilkan zat antara
yang membantu dalam produksi β-laktam.
Di pasar global, permintaan penisilin G asilase meningkat karena hidrolisis katalitik penisilin
G menjadi asam fenil asetat dan 6-APA (asam penicillanic 6-amino) dan sintesis antibiotik semi
sintetik. Penisilin G Asilase juga menghidrolisis sefalosporin G menjadi asam 7-Amino-3-metil-
3-cephem-4-karboksilat (7ADCA). Asam 6-aminopenicillanic dan asam 7-Amino-3-metil-3-
cephem-4-karboksilat adalah perantara utama dalam produksi antibiotik semi sintetik β-
laktam.
Berdasarkan aplikasi, pasar global penisilin G asilase disegmentasi sebagai:
Produksi penisilin semi-sintetis
Produksi sefalosporin
Perlindungan dalam sintesis peptida
Produksi Amoksisilin
Peningkatan resistensi obat patogen telah menciptakan permintaan pengembangan obat
baru untuk menangkal patogenesis patogen. Dalam rangka meelawan patogenisitas ini,
39
industri farmasi berfokus menghasilkan antibodi semi-sintetik atau modifikasi di mana
penisilin G asilase menjadi sangat penting untuk menghasilkan antibiotik β-laktam.
Secara proses, perusahaan BBO di Indonesia belum menggunakan enzim (biokatalis)
melainkan menggunakan katalis kimia. Oleh karena itu potensi perkembangan teknologi di
industri enzim pada bidang kesehatan dan farmasi sangat terbuka lebar. Guna memenuhi
kebutuhan pasar domestik di Indonesia diperlukan pengembangan teknologi enzim di industri
farmasi.
Sumber: Anis H Mahsunah, Agung Eru Wibowo, Tim BBO Antibiotik Balai Bioteknologi BPPT, 2019.
Gambar 4.6. Capaian Riset Balai Bioteknologi BPPT (Penisilin G, Penisilin G Asilase, 6-APA)
Di samping riset terkait amoksisilin (penisilin, 6-APA), Balai Bioteknologi BPPT juga telah
menyusun Kajian Tekno Ekonomi Produksi 6-APA.
40
Sumber: Anis H Mahsunah, Agung Eru Wibowo, Tim BBO Antibiotik Balai Bioteknologi BPPT, 2019.
Gambar 4.7. SDM dan Fasilitas Pendukung Riset 6-APA di Balai Bioteknologi BPPT
Targetnya, dari proses dihasilkan powder 6-APA hasil skala mini pilot plant (1 kg 6-APA)/
batch) dengan rendemen di atas 75%. Di samping 6-APA, proses yang dilakukan juga akan
menghasilkan by product berupa PAA, hasil purifikasi skala lab. PAA ini dibutuhkan oleh
industri parfum dan flavour.
41
Tabel 4.1. Daftar Bahan untuk Produksi dan Purifikasi 6-APA
Biokonversi 6-APA
1 Penisilin G Na Salt -
2 Enzim penisilin G -
Asilase (PGA) amobil
3 K2HPO4 Merck for analysis EMSURE
4 KH2PO4 Merck for analysis EMSURE
5 NaOH Merck for analysis EMSURE
6 HCl Merck for analysis EMSURE
Purifikasi 6-APA
1 NaOH Merck for analysis EMSURE
2 HCl Merck for analysis EMSURE
3 Etanol Merck for analysis EMSURE
Analisa Produk
1 Standar 6-APA Wako Analytical standart FUJIFILM Wako
Chemical Corporation
2 Standar PAA Sigma Analytical standart Merck Kga, Darmstadt,
Gemany
3 Standar Penisilin G TCI Pharmaceutical grade TCI Europe NV
4 H3PO4 Merck for analysis EMSURE
5 Asetinitril Merck Hypergrade for LC-MS
Bahan Lainnya
1 Etilen Glikol - Technical
Sumber: Diolah dari Sasmito Wulyoadi, 27 Mei 2021
42
4.1.7. Perkembangan Riset HPGME
43
4.2 Kemampuan Teknologi Produksi Bahan Baku Obat
Amoksisilin
Status kemampuan teknologi produksi BBO amoksisilin dapat diukur menggunakan TRL
(Technology Readiness Level) atau TKT (Tingkat Kesiapan Teknologi). Melalui TRL dapat
diberikan informasi dan manfaat sebagai berikut:
Teknologi dapat diadopsi oleh pengguna, baik oleh pemerintah, industri maupun
masyarakat
Mengetahui status kesiapterapan teknologi
Membantu pemetaan kesiapterapan teknologi
Mengevaluasi pelaksanaan program atau kegiatan riset dan pengembangan
Mengurangi risiko kegagalan dalam pemanfaatan teknologi
Meningkatkan pemanfaatan hasil riset dan pengembangan
(Elmatsani HM, 2018)
TKT sebagai alat pengukur status riset terbagi kedalam 9 level, dimana pada masing-masing
level terdapat beberapa indikator. Level 1-3 dapat dikategorikan sebagai riset dasar, level 4-
6 sebagai riset terapan, dan level 7-9 adalah riset pengembangan. Khusus untuk TKT bidang
farmasi, indikator dari tiap level yang disusun oleh Ristek/BRIN `dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 4.2. Indikator Tingkat Kesiapterapan Teknologi Bidang Farmasi
Level Tahapan/ Kriteria Indikator Penilaian
TRL
Review dan penilaian penemuan ilmiah sebagai pondasi untuk
penggolongan teknologi baru.
Prinsip dasar dari
1 teknologi diteliti dan Telah dilakukan survei awal tentang market dan penilaiannya
dilaporkan
Telah ada penjelasan tentang penerapan ilmiah yang potensial untuk
masalah-masalah yang telah ditentukan
Telah dihasilkannya hipotesa
Formulasi konsep dan/
2 atau aplikasi formulasi. Telah dikembangkan, diulas dan disetujuinya research plan dan atau
research protocol
Telah dilakukan dan dibuktikannya proof of concept awal sebagai
Pembuktian konsep obat kandidat dalam model riset in vitro dan in vivo dalam jumlah
fungsi dan/ atau terbatas
3 karakteristik penting Telah dimulainya riset dasar, pengumpulan data dan analisa untuk
secara analitis dan menguji hipotesa, mengeksplorasi konsep alternatif dan
eksperimental mengidentifikasi serta mengevaluasi teknologi yang mendukung
pengembangan obat.
Riset dilakukan di laboratorium non GLP (Good laboratory Practice)
Validasi komponen/
dalam suatu desain percobaan yang ketat (kondisi terburuk).
4 subsistem dalam
lingkungan laboratorium Telah dilakukan riset eksplorasi obat kandidat (yaitu formulasi, cara
pemberian obat, metode sintesa, sifat fisik dan kimiawi, jalur
44
Level Tahapan/ Kriteria Indikator Penilaian
TRL
metabolisme dan eksresi atau pengeluaran dari tubuh, dan
pengukuran dosis pemakaian).
Telah dilakukan pengujian obat kandidat pada hewan model untuk
mengidentifikasi dan menilai potensi keamanan dan toksisitasnya,
ketidakcocokan, dan efek samping
Telah dilakukan dan dibuktikannya proof of concept (bukti konsep)
dan keamanan formulasi kandidat obat pada skala laboratorium atau
pada hewan model yang ditetapkan
Tercapainya poin keputusan dimana dipastikan adanya kecukupan
data terkait obat kandidat dalam draft technical data package untuk
mendukung kelanjutan proses dengan persiapan permohonan
Investigational New Drug (IND)
Telah dilakukan riset non-klinis dan klinis secara ketat meliputi
pengumpulan data parameter dan analisis dalam metode yang
dirumuskan dengan baik dengan pilot lot (prototipe yang tervalidasi)
obat kandidat.
Validasi komponen/ Hasil riset menggunakan pilot lot memberikan landasan untuk proses
5 subsistem dalam suatu produksi yang memenuhi cGMP (current Good Manufacturing
lingkungan yang relevan Practice)-compliant pilot lot production.
Telah dilakukannya kajian keamanan dan toksisitas secara GLP
menggunakan hewan model
Telah dilakukan identifikasi endpoint khasiat klinis (clinical efficacy)
atau surrogate nya
Telah dilakukan kajian untuk mengevaluasi farmakokinetik dan
farmakodinamik obat kandidat.
Telah dimulai riset stabilitas.
45
Level Tahapan/ Kriteria Indikator Penilaian
TRL
benefit dari pemberian obat kandidat dan untuk memberikan
landasan yang cukup untuk pemberian label obat (drug labeling).
DOSSIER dipersiapkan dan diajukan ke BPOM.
Persetujuan DOSSIER untuk obat olehBPOM.
Fasilitas skala produksi komersial telah ada dan telah diinspeksi
BPOM.
Sistem benar-benar Farmasetikal (obat) atau alat medis telah didistribusikan/dipasarkan.
teruji/ terbukti melalui
9 keberhasilan
Telah dilakukan riset dan pengawasan postmarketing (non-klinis
maupun klinis).
pengoperasian.
Keterangan:
Warna arsir hijau menandakan bahwa indikator ini tidak berlaku untuk BBO (raw material,
intermediate, bahan aktif obat), tidak berlaku bagi yang tergolong bukan obat baru. Sebagai gantinya,
cukup dengan mengacu pada ketentuan yang ada dalam Farmakope.
DOSSIER = berkas atau dokumen
Riset tentang Penisilin G sudah dilakukan di Balai Bioteknologi BPPT sejak lama (sejak tahun
1990 an). Balai Bioteknologi BPPT sudah bisa menghasilkan Penisilin G dalam skala pilot.
Target tahun 2020 untuk riset terkait Penisilin G ini adalah dihasilkannya prototipe Penisilin G
pada skala laboratorium. Capaian di tahun 2020, sudah dapat diperoleh Penisilin G dengan
titer 5,360 mg/liter pada skala kultur kocok hasil seleksi galur unggul Penicillium
chrysogenum.
Ditinjau dari sisi tingkat kesiapterapan teknologinya (TKT), riset Penisilin G dalam rangka
kemandirian BBO Amoksisilin ini telah mencapai level 3, berupa pembuktian konsep fungsi
dan/ atau karakteristik penting secara analitis dan eksperimental, karena adanya beberapa
kendala teknis, peningkatan level TKT menjadi terhambat.
Dalam kaitannya dengan kemungkinan hilirisasi ke industri, untuk kasus di Indonesia Penisilin
G ini masih sulit diaplikasikan menjadi industri mandiri, kecuali ada kepastian pasar dari
industri pengguna.
4.2.2 Kemampuan Teknologi Penisilin G Asilase (PGA) Hasil Riset PTB BPPT
Sejak tahun 2014 Pusat Teknologi Bioindustri (PTB) BPPT merintis penelitian berbagai enzim
untuk aplikasi industri, yang selama ini bahan bakunya 100% impor. Riset yang dilakukan oleh
PTB BPPT dalam rangka kemandirian BBO Amoksisilin adalah untuk menghasilkan enzim
Penisilin G Asilase (PGA). Potensi aplikasi PGA bisa lebih luas, tidak hanya sebatas hidrolisis
dan sintesa untuk menghasilkan 6-APA (untuk menghasilkan bahan aktif amoksisilin pada
tahap selanjutnya), tetapi pada tahap berikutnya juga bisa digunakan dengan 7-ACA untuk
menghasilkan cefalosporin.
46
Penelitian yang dilakukan PTB BPPT ini adalah untuk membuat prototipe enzim Penisillin G
Asilase (PGA) yang terkarakterisasi dan terimobilisasi dari strain lokal maupun Improved strain
untuk sintesis Penicillin G menjadi 6-APA maupun langsung menjadi amoksisilin. Penelitian
tersebut untuk mendukung kemandirian industri BBO nasional melalui Prioritas Riset Nasional
(PRN) kesehatan, juga untuk melakukan inovasi teknologi produksi BBO amoksisilin secara
enzimatis.
Target yang dituju dari penelitian ini adalah:
Diperolehnya enzim PGA untuk sintesis 6-APA
Diperolehnya kondisi optimal produksi enzim PGA dari isolat PTB maupun isolat Vland.
Prototipe enzim PGA yang terimobilisasi
Didapatkan metode produksi enzim PGA yang optimal
Dalam penelitian ini tidak menghasilkan senyawa aktif baru, sehingga tidak perlu dilakukan
uji klinis dan uji praklinis, tetapi dengan mengacu pada ketentuan senyawa obat yang ada
dalam Farmakope, dalam hal ini terkait fisikokimia dan potensi biotik untuk amoksisilin.
Proses produksi enzim Penisillin G Asilase (PGA) untuk sintesis 6-APA sebagai bahan baku
antibiotik β-Laktam merupakan hal yang baru di Indonesia dimana industri bahan baku
antibiotik dan teknologi untuk produksi antibiotik semi sintetik di Indonesia masih belum ada.
Di kancah global, India, China, Eropa dan Amerika Serikat merupakan beberapa produsen BBO
dengan teknologi enzim menggunakan PGA yang kebanyakan berasal dari bakteri Escheria
coli. Penelitian oleh PTB-BPPT salah satunya akan menggunakan isolat Bacillus thuringiensis
sebagai produsen PGA nya, yang nantinya akan di-imobilisasi guna meningkatkan kualitas
ketahanan terhadap thermal dan pelarutnya. Oleh karena itu PGA dari mikroba hasil isolasi
PTB-BPPT untuk sintesis bahan baku antibiotik semi sintetik 6-APA tergolong sebagai
penelitian yang baru dan merupakan terobosan teknologi dalam meningkatkan nilai BBO
serta mendukung PRN di bidang kesehatan.
Riset PGA oleh PTB-BPPT ini masih pada tahap awal, dengan posisi TKT di level 3. Kegiatan ini
berupa pengembangan galur mikroba untuk menghasilkan PGA, melalui rekayasa genetik
untuk menghasilkan enzim.
Dalam upaya pengembangan teknologi, BPPT bekerja sama dengan industri di Cina yaitu
Qingdao Vland Biotech Group, yang merupakan salah satu industri enzim terbesar di Cina.
Kerjasama ini bersifat in-official (diskusi, permintaan sampel enzim) dengan MoU, belum
ditindaklanjuti perjanjian kerja sama (PKS). Perusahaan Qingdao Vland Biotech membantu
riset yang dilakukan PTB-BPPT dalam hal menggali informasi teknis kajian enzim PGA. Qingdao
Vland Biotech bersedia melakukan transfer teknologi dengan royalti. Tim PTB-BPPT akan
menjalani pelatihan di China dalam rangka untuk downstream processing riset PGA.
Hasil riset dari PTB-BPPT ini (enzim PGA) nantinya akan digunakan oleh Balai Bioteknologi
BPPT sebagai salah satu bahan untuk menghasilkan 6-APA.
Seperti terlihat pada gambar 4.2, dalam riset PGA ini dilakukan kerjasama antara PTB-BPPT
dengan Univesitas Gajah Mada (UGM). UGM mengembangkan enzim PGA untuk hidrolisis.
UGM mengembangkan PGA dari dua sumber yaitu Escheria coli dan Bacillus megaterium, dan
saat ini masih dalam verifikasi skala laboratorium.
47
Tahun 2021 ini PTB-BPPT melakukan rekayasa genetik untuk menghasilkan PGA ke arah
sintesanya. Dengan TKT yang berada pada level 3 (proof of concept), saat ini dalam tahap
verifikasi gen yang sedang disintesa. Pekerjaan sifatnya masih dalam skala laboratorium.
Semua bahan menggunakan bahan impor, baik bahan baku untuk media produksi maupun
untuk keperluan pengembangan rekayasa genetika. Potensi untuk menggunakan bahan lokal
belum dieksplore karena masih dalam skala laboratorium.
Jika hasil riset ini akan dihilirisasi ke industri, diperlukan analisis lebih lanjut terkait potensi
pasarnya. Sebagai gambaran, industri penghasil enzim di China memproduksi multi enzim
agar aktivitasnya ekonomis.
Target di tahun 2020 yang ditetapkan untuk riset 6-APA adalah dihasilkannya satu prototipe
6-Aminopenicillanic acid (6-APA) pada skala laboratorium. Tahun 2020 telah diperoleh
powder 6-APA hasil biosintesis dan purifikasi skala laboratorium dengan rendemen
biokonversi 95%, rendemen purifiasi 77% dan derajat kemurnian mencapai 98%.
Riset 6-APA yang dilakukan Balai Bioteknologi BPPT telah mencapai TKT level 4, yaitu validasi
kode, komponen dan/ atau bread board validation dalam lingkungan laboratorium.
Balai Bioteknologi BPPT sudah mampu menghasilkan amoksisilin dengan 6-APA hasil konversi
sendiri dengan hasil yang bagus, dengan bahan baku enzim PGA impor dari Korea dan China.
Hilirisasi raw material maupun intermediate ke industri dapat dilakukan secara individual atau
terintegrasi dengan industri amoksisilin. Hilirisasi secara terintegrasi lebih feasible untuk
diterapkan.
Penelitian HPGME di Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (PTFM) BPPT saat ini mencapai TKT
level 4. Walaupun demikian, ada indikator untuk di level 6 yang sudah dicapai yaitu teknologi
produksi yang sudah dibuktikan melalui uji mutu.
Penelitian HPGME yang dilakukan PTFM-BPPT paralel waktunya dengan riset di PTB-BPPT dan
Balai Bioteknologi BPPT. PTFM-BPPT belum menggunakan 6-APA hasil riset Balai Bioteknologi
BPPT, masih menggunakan dari sumber impor. Penggunaan bahan-baku dalam negeri,
berupa amoniak, HCL, bahan kimia pembantu lainnya.
Tahun ini peralatan di PTFM-BPPT akan ditingkatkan skala batch (dalam skala kilogram) untuk
memenuhi produksi amoksisilin yang akan selesai pada Oktober 2021.
Riset HPGME oleh PTFM-BPPT dilakukan bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung
(ITB) dan mitra industri PT. Mersifarma Tirmaku Mercusana. ITB berkontribusi dalam sintesa
48
HPGME, dengan dukungan insentif pendanaan PRN. PT. Mersifarma berkontribusi dalam
hilirisasi produk amoksisilin dan informasi data pasar amoksisilin (bulk standar industri).
Dalam proses untuk menghasilkan HPGME, terdapat side product yang bisa digunakan untuk
veteriner. Sedapat mungkin dilakukan recovery sehingga bermanfaat dan memberikan nilai
tambah bagi industri.
Hal yang perlu diperhatikan dalam hilirisasi hasil riset kepada industri adalah skala produksi
amoksisilin yang belum feasible jika target pasarnya adalah kebutuhan dalam negeri yang saat
ini hanya 4,9% pasar dunia. Oleh karena itu pengukuran kesiapan hilirisasi hasil riset tidak
hanya melihat TKT atau TRL, namun juga pengukuran DRL (Demand Readiness Level).
Tabel 4.3. Rekap Kemampuan Teknologi Riset BBO Amoksisilin
49
Tahapan/ Penisi 6- HPG
TKT Indikator Penilaian PGA
Kriteria lin G APA ME
50
Tahapan/ Penisi 6- HPG
TKT Indikator Penilaian PGA
Kriteria lin G APA ME
51
52 52
53
5.1 Potensi Nilai TKDN BBO Amoksisilin
Metode perhitungan nilai TKDN produk farmasi, termasuk BBO amoksisilin menggunakan
metode processed based, berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 16 Tahun 2020,.
Pada perhitungan tersebut komponen produksi dihitung nilai TKDN berdasarkan kelompok
bahan baku, research & development, proses produksi dan pengemasan. Masing-masing
kelompok ini ditetapkan nilai maskimalnya sebagaimana pada Gambar 5.1 berikut :
Research &
Development
Batch
Release
Bahan
Tambahan/
Excipient
Gambar 5.1. Nilai Komponen pada Perhitungan TKDN Berdasarkan Permenperin No. 16
Tahun 2020
Perhitungan nilai TKDN dengan menggunakan Permenperin No. 16 Tahun 2020 diharapkan
akan mendorong kegiatan R&D obat/farmasi, karena kegiatan R&D diberikan nilai yang besar
yakni 30%.
Saat ini belum ada industri dalam negeri yang memproduksi BBO amoksisilin, sehingga
perhitungan TKDN dilakukan dengan beberapa asumsi, dan hasilnya disebut sebagai
perhitungan potensi. Karena bahan baku (baik raw material maupun bahan antara) sebagaian
besar diimpor, maka komponen yang memberikan kontribusi dalam perhitungan nilai TKDN
adalah komponen R&D, proses produksi dan pengemasan.
Perhitungan nilai TKDN BBO amoksisilin berikut ini menggunakan perhitungan dengan proses
enzimatis.
Bahan baku produksi BBO amoksisilin terdiri atas bahan baku aktif yang meliputi 6-APA (6-
Aminopenicillanic acid), HPGME (p-Hydroxyphenylglycine methyl ester) dan enzim amoksisilin
asilase. Ketiga bahan ini adalah bahan intermediate dalam produksi BBO amoksisilin. Karena
bahan ini masih diperoleh secara impor, maka nilai TKDN masing-masing 0%. Sedangkan
54
bahan tambahan terdapat 5 bahan, terdiri atas 2 bahan produk impor dan 3 bahan produk
dalam negeri. Nilai maksimum komponen bahan baku adalah 50%. Dengan data tersebut
perhitungan nilai TKDN bahan baku sebesar 5%. Hasil perhitungan Total Nilai TKDN adalah 56
%. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1. Perhitungan Nilai TKDN BBO Amoksisilin Sebagai Bahan Aktif (API)
SUB
NILAI
FAKTOR PENENTUAN BOBOT BOBOT TOTAL
No KRITERIA BOBOT
PERUSAHAAN MAKSIMUM NILAI
AKHIR
TKDN (%)
- Tidak Ada
I Kandungan Bahan Baku 30% 50% 15%
- Ada
- Tidak Ada
II Proses Penelitian dan Pengembangan 70% 30% 21%
- Ada
- Tidak Ada
III Proses Produksi 100% 15% 15%
- Ada
- Tidak Ada
IV Proses Pengemasan 100% 5% 5%
- Ada
Total Nilai TKDN 56%
Hasil perhitungan tersebut diperoleh dengan asumsi nilai TKDN bahan baku, R&D, proses
produksi dan proses pengemasan sebagai berikut :
Asumsi Perhitungan TKDN Bahan-Baku
Asumsi nilai TKDN bahan baku adalah 15% sebagaimana pada Tabel 5. 2 berikut ini.
Tabel 5.2. Potensi Nilai TKDN Bahan Baku Produksi BBO Amoksisilin
I. KANDUNGAN BAHAN BAKU
KRITERIA SUB
NILAI TOTAL
ALOKASI
No URAIAN KATEGORI BOBOT NILAI
ADA TIDAK PENILAIAN
AKHIR TKDN
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Spesifi
I Bahan Baku Aktif 70% 0 X 0% 0% 0%
kasi
6-APA X 0%
HPGME X 0%
Enzim Amoksisilin Asilase X 0%
Bahan Baku Spesifi
II 30% 30 100% 100% 30%
Tambahan kasi
Ammonia 2,5% X 100%
Asam klorida 3M X 100%
Aqua DM X
Total Nilai TKDN 30% 15%
55
Bahan baku aktif ada tiga yakni 6-APA, HPGME dan enzim amoksisilin asilase yang
masing-masing adalah komponen impor (KLN) sehingga nilai TKDN nya adalah 0%.
Adapun komponen bahan tambahan ada tiga, yakni Ammonia, asam klorida dan aqua
DM yang masing-masing merupakan komponen dalam negeri (KDN) dengan alokasi
dan kategori 100% sehingga nilai TKDN bahan baku 15%.
Asumsi Perhitungan TKDN Proses Penelitian dan Pengembangan (R&D)
Untuk perhitungan penelitian dan pengembangan (R&D) komponen yang dihitung
meliputi: (1) aspek pengembangan obat baru; (2) uji klinis; (3) formulasi; dan (4) BA
(bioabilitas)/BE (bioekivalensi). Nilai maksimum TKDN penelitian dan pengembangan
adalah 30% dengan asumsi memiliki komponen pengembangan obat baru, formulasi
dan BA/BE. Hasil perhitungan nilai TKDN penelitian dan pengembangan adalah 21%
sesuai Tabel 5.3 berikut ini.
Tabel 5.3. Potensi Nilai TKDN Proses R&D Produksi BBO Amoksisilin
SUB
KRITERIA NILAI TOTAL
ALOKASI
No URAIAN KATEGORI BOBOT NILAI
ADA TIDAK PENILAIAN
AKHIR TKDN
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I Pengembangan Obat Baru 25% X 100% 100% 25%
II Uji Klinis 30% X 0% 0% 0%
III Formulasi 35% X 100% 100% 35%
BA (Bioavabilitas)/BE
IV 10% X 100% 100% 10%
(Bioekivalensi)
Sub Total 70% 21%
56
Asumsi Perhitungan TKDN Proses Pengemasan
Adapun nilai TKDN proses pengemasan meliputi batch release, pengemasan primer
dan pengemasan sekunder. Nilai maksimum TKDN proses pengemasan adalah 5%.
Hasil perhitungan nilai TKDN proses pengemasan diperoleh 5% sebagaimana pada
Tabel 5.5 berikut.
Nilai TKDN Obat amoksisilin sangat ditentukan oleh nilai TKDN BBO amoksisilin (API)
mencakup: bahan baku, proses R&D, proses produksi dan proses pengemasan (potensi Nilai
TKDN BBO Amoksisilin telah dihitung pada sub-bab 5.1).
Dengan formula tablet amoksisilin potensi nilai TKDN bisa dicapai sebesar 49% sesuai Tabel
5.6, sedangkan jika formula non tablet potensi nilai TKDN amoksisilin sebesar 46% sesuai
Tabel 5.7.
Tabel 5.6. Perhitungan Potensi Nilai TKDN Amoksisilin (sebagai Obat) dengan Formula Tablet
SUB
NILAI
FAKTOR PENENTUAN BOBOT BOBOT TOTAL
No KRITERIA BOBOT
PERUSAHAAN MAKSIMUM NILAI
AKHIR
TKDN (%)
- Tidak Ada
I Kandungan Bahan Baku 30% 50% 15%
- Ada
- Tidak Ada
II Proses Penelitian dan Pengembangan 45% 30% 14%
- Ada
- Tidak Ada
III Proses Produksi 100% 15% 15%
- Ada
- Tidak Ada
IV Proses Pengemasan 100% 5% 5%
- Ada
Total Nilai TKDN 49%
Format Tabel : Permenperin No.16 Tahun 2020.
57
Tabel 5.7. Perhitungan Potensi Nilai TKDN Amoksisilin (sebagai Obat) dengan Formula Non
Tablet
SUB
NILAI
FAKTOR PENENTUAN BOBOT BOBOT TOTAL
No KRITERIA BOBOT
PERUSAHAAN MAKSIMUM NILAI
AKHIR
TKDN (%)
- Tidak Ada
I Kandungan Bahan Baku 30% 50% 15%
- Ada
- Tidak Ada
II Proses Penelitian dan Pengembangan 35% 30% 11%
- Ada
- Tidak Ada
III Proses Produksi 100% 15% 15%
- Ada
- Tidak Ada
IV Proses Pengemasan 100% 5% 5%
- Ada
Total Nilai TKDN 46%
Format Tabel : Permenperin No.16 Tahun 2020.
Asumsi yang digunakan pada perhitungan tersebut adalah dengan nilai TKDN 15%
sebagaimana pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Perhitungan Nilai TKDN Bahan Baku Produksi Amoksisilin (sebagai Obat) dengan
Formula Tablet dan Non Tablet
KRITERIA SUB
NILAI TOTAL
ALOKASI
No URAIAN KATEGORI BOBOT NILAI
ADA TIDAK PENILAIAN
AKHIR TKDN
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Spesifi
I Bahan Baku Aktif 70% 0 X 0% 0% 0%
kasi
BBO (API) Amoksisilin X 0%
Bahan Baku Spesifi
II 30% 30 100% 100% 30%
Tambahan kasi
PVP Industri X 100%
CMC Na Industri X 100%
Sukrosa Industri X 100%
Vanilin Industri X 100%
Na Benzoat Industri X 100%
Total Nilai TKDN 30% 15%
Format Tabel : Permenperin No.16 Tahun 2020.
Adapun perhitungan nilai proses R&D produksi amoksisilin dengan formula tablet adalah 14%
sebagaimana Tabel 5.9 dan formula non tablet sebesar 11% sebagaimana pada Tabel 5.10.
58
Tabel 5.9. Perhitungan Nilai TKDN Proses R&D Produksi Amoksisilin (sebagai Obat) dengan
Formula Tablet
SUB
KRITERIA
NILAI TOTAL
ALOKASI
No URAIAN KATEGORI BOBOT NILAI
ADA TIDAK PENILAIAN
AKHIR TKDN
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I Pengembangan Obat Baru 25% X 0% 0% 0%
II Uji Klinis 30% X 0% 0% 0%
III Formulasi 35% X 100% 100% 35%
BA (Bioavabilitas)/BE
IV 10% X 100% 100% 10%
(Bioekivalensi)
Sub Total 45% 14%
Format Tabel : Permenperin No.16 Tahun 2020.
Tabel 5.10. Perhitungan Nilai TKDN Proses R&D Produksi Amoksisilin (sebagai Obat) dengan
Formula Non Tablet
SUB
KRITERIA
NILAI TOTAL
ALOKASI
No URAIAN KATEGORI BOBOT NILAI
ADA TIDAK PENILAIAN
AKHIR TKDN
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I Pengembangan Obat Baru 25% X 0% 0% 0%
II Uji Klinis 30% X 0% 0% 0%
III Formulasi 35% X 100% 100% 35%
BA (Bioavabilitas)/BE
IV 10% X 0% 0% 0%
(Bioekivalensi)
Sub Total 35% 11%
Format Tabel : Permenperin No.16 Tahun 2020.
59
Adapun perhitungan nilai proses produksi amoksisilin adalah 15% baik untuk formula tablet
maupun non tablet sebagaimana pada Tablet 5.11.
Tabel 5.11. Perhitungan Nilai TKDN Proses Produski Amoksisilin (sebagai Obat) dengan
Formula Tablet dan Non Tablet
SUB
KRITERIA NILAI TOTAL
ALOKASI
No URAIAN KATEGORI BOBOT NILAI
ADA TIDAK PENILAIAN
AKHIR TKDN
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I Proses Pencampuran 60% X 100% 100% 60%
II Dosage Forming 40% X 100% 100% 40%
Sub Total 100% 15%
Format Tabel : Permenperin No.16 Tahun 2020.
Adapun perhitungan nilai proses pengemasan amoksisilin adalah 5% baik untuk formula
tablet maupun non tablet sebagaimana pada Tablet 5.12.
Tabel 5.12. Perhitungan Nilai TKDN Proses Pengemasan Amoksisilin (sebagai Obat) dengan
Formula Tablet dan Non Tablet
SUB
KRITERIA NILAI TOTAL
ALOKASI
No URAIAN KATEGORI BOBOT NILAI
ADA TIDAK PENILAIAN
AKHIR TKDN
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I Batch Release 50% X 100% 100% 50%
II Pengemasan Primer 40% X 100% 100% 40%
III Pengemasan Sekunder 10% X 100% 100% 10%
Sub Total 100% 5%
Format Tabel : Permenperin No.16 Tahun 2020.
Produk obat amoksisilin dipasarkan dalam bentuk sediaan amoksisilin, yang paling umum
adalah sediaan per oral berupa tablet 500 mg, sirup kering 125 mg/5ml. Selain itu ada pula
bentuk sediaan kapsul 250 mg yang mengandung amoksisilin trihidrat setara dengan
amoksisilin anhidrat 250 mg. Tersedia pula sediaan parenteral dengan kekuatan 500 mg
dalam vial 10 ml (Riawati, 2021). Adapun niai TKDN produk obat amoksisilin yang dihasilkan
industri dalam negeri sebagaimana dipublikasikan oleh Kemenperin/P3DN berkisar pada
angka sekitar 30,50-35,91% sebagaimana terdapat pada Tabel 5.13.
60
Tabel 5.13. Nilai TKDN Amoksisilin Produk Industri Sesuai Dokumen P3DN Kemenperin
Perusahaan Jenis Merek dan Tipe Spesifikasi Nilai
Produk, TKDN
Tahun
AMOXICILLIN
PT. Sejahtera Lestari Generik, Dus, 10 strip
TRIHYDRATE 30,50%
Farma 16/12/2020 @ 10 Kaplet
Kaplet
AMOXICILLIN
Generik, Dus, 10 strip
PT. Pharma Laboratories TRIHYDRATE 30.50%
8/10/2020 @ 10 kaplet
Kaplet
AMOXICILLIN
Generik, Dus, botol @
PT. Pharma Laboratories TRIHYDRATE 31.05%
8/10/2020 15 mL
Sirup Kering
AMOXICILLIN
PT. Ifars Pharmaceutical Generik, Dus, 10 strip
TRIHYDRATE 34.88%
Laboratories 6/8/2020 @ 10 kaplet
Kaplet
AMOXICILLIN
PT. Ifars Pharmaceutical Generik, Dus, 1 botol @
TRIHYDRATE 35.91%
Laboratories 6/8/2020 60 mL
Sirup kering
Sumber: Kemenperin, 2021
61
62 62
63
6.1 Kebijakan Industri
Sebagai upaya membangun industri BBO di dalam negeri, Pemerintah telah menerbitkan
berbagai kebijakan dalam dekade terakhir. Namun demikian kebijakan-kebijakan tersebut
belum mampu menumbuhkan industri BBO Nasional yang mampu mengurangi
ketergantungan impor BBO. Kebijakan-kebijakan yang telah digulirkan meliputi:
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 87 Tahun 2013 Tentang
Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana
Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035 (RIPIN)
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan
Industri Farmasi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017 Tentang
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi Dan Alat Kesehatan
Perpres 38 tahun 2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2015-2045
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus
Gambar 6.1. Tantangan Bahan Baku Obat (BBO) Nasional dan Kebijakan Pemerintah
64
6.1.1 Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 87 Tahun 2013 Tentang
Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat
Sebagai upaya mengurangi ketergantungan BBO pada sumber impor, pada tahun 2013
pemerintah telah membuat rencana strategis berupa peta jalan (roadmap) pengembangan
BBO di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2013-2020. Rencana strategis tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 87 Tahun 2013
Tentang Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat. Berikut ini adalah peta jalan tersebut.
No Langkah langkah 2013 2014 2016 2018 2020 Output Penanggung Follow Instansi
Jawab up Terkait
1 Mengembangkan V V V V V Hasil review Kemkes 2013- BPOM
kebijakan yang dan 2020 -
berpihak pada rekomendasi Kemkes Kemenkeu
pengembangan BBO kebijakan, Kemenperin
Kebijakan
(PP, UU,
Perpres,
Kepmen atau
Permen)
Juklak dan
juknis, SOP
Insentif
65
No Langkah langkah 2013 2014 2016 2018 2020 Output Penanggung Follow Instansi
Jawab up Terkait
2 Meningkatkan V V V V V Aliansi yang Kemkes 2013- Perg Tinggi
sinergitas ABG memiliki 2020
(jejaring, pokja, payung oleh Industri
pemetaan & hukum Kemkes Kemenkokesra,
peningkatan Kemenkoekuin,
kemampuan industri Kemenperin,
BBO LIPI, BPPT,
Kemenristek
1) Produksi scaling- V V V V
up (Herbal, Kimia
& Bioteknologi)
2) Produksi oleh V
industri (Herbal,
Kimia &
Bioteknologi)
66
Tabel 6.2 Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035
Visi RIPIN Menjadi negara industri tangguh, bercirikan:
1) Strutkur industri nasional yang kuat, dalam, sehat, dan berkeadilan
2) Industri yang berdaya saing tinggi di tigkat global dan
3) Industri yang berbasis inovasi teknologi,
Misi RIPIN 1) Mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional;
2) Mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur industri;
3) Mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau;
4) Mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan
atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan
masyarakat;
5) Membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja;
6) Mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia guna
memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan
7) Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Tahapan Tahap I (2015-2019): meningkatkan nilai tambah sumber daya alam pada industri hulu,
Pembangu diikuti pembangunan industri pendukung dan andalan melalui penyiapan SDM serta
nan penguasaan teknologi.
Industri Tahap II (2020-2024): mencapai keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan
melalui penguatan struktur industri, penguasaan teknologi, dan SDM berkualitas.
Tahap III (2025-2035): menjadi negara Industri Tangguh yang bercirikan struktur industri
kuat, berdaya saing tinggi di tingkat global, serta berbasis inovasi dan teknologi.
67
6.1.3 Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri
Farmasi
Sebagai upaya mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi
dan alat kesehatan dalam negeri, Presiden Republik Indonesia telah memberikan instruksi
kepada 9 Menteri dan 3 Kepala Lembaga terkait untuk melakukan langkah-langkah
percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan sesuai tugas, fungsi dan
kewenangan masing-masing lembaganya. Amanat Presiden RI tersebut dituangkan dalam
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016.
Instruksi Umum 1) menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya
peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional;
2) meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan di dalam negeri
dan ekspor;
3) mendorong penguasaan teknologi dan inovasi dalam bidang farmasi dan alat
kesehatan;
4) mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat,
dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta
memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri/ utilisasi kapasitas industri.
68
6.1.4 Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017 Tentang
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi Dan Alat Kesehatan
Agar kebijakan pengembangan industri farmasi dan instruksi percepatannya oleh Presiden
RI dapat terimplementasi sesuai yang diharapkan, maka Menteri Kesehatan menyusun
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan melalui Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Rencana Aksi
Pengembangan Industri Farmasi Dan Alat Kesehatan.
Tabel 6.4. Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
Tujuan Rencana Aksi Untuk meningkatkan koordinasi dan sinergisme antar pemangku kepentingan
dalam pengembangan industri farmasi Indonesia
69
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi
Amanat Inpres No.6 Th.2016 Tujuan Pengembangan Rencana Aksi Program Target Kinerja Instansi Terkait
Industri Farmasi
1.Menyusun dan menetapkan Meningkatkan a) pembentukkan TIM POKJA Pengembangan Industri SK Tim Pokja Pengembangan Kemenkes,
rencana aksi pengembangan kemampuan industri Farmasi Industri Farmasi dirilis Badan POM,
industri farmasi; farmasi kearah b) mereview pedoman penelitian dan pengembangan yang maksimal akhir tahun Kemenristekdikt
research and implementatif; pertama RAP, dan mencakup i, Kemenperin,
development (R&D) c) menetapkan skema dan mekanisme fasilitasi terkait keterwakilan seluruh stake Lembaga
(transformasi industri proses manufacturing sehingga inisiasi produksi holder industri farmasi di penelitian
farmasi) intermediate, API dapat dimulai dan dapat menginisiasi Indonesia.
siklus produksi yang kontinyu; Rancangan Permenkes
d) menyusun skema dan aturan baik dipusat dan daerah tentang Rencana aksi
dalam rangka peningkatan dan optimalisasi infrastruktur Pengembangan Industri
distribusi intermediate, API, sediaan jadi farmasi Farmasi
diseluruh daerah Indonesia dan untuk ekspor; Database Nasional fasilitas
e) menginventarisasi data kapasitas dan kapabilitas R&D R&D, kapasitas dan potensi
Farmasi Nasional di dindustri farmasi dan juga di instansi riset instansi terkait
dan lembaga riset (termasuk perguruan tinggi)
2.Memfasilitasi pengembangan Mampu melakukan Pembentukan FGD yang melibatkan unsur peneliti dari Daftar bahan yang akan Kemenkes,
industri farmasi terutama ke R&D dibidang farmasi lembaga riset, perguruan tinggi dan industri farmasi untuk dikembangkan secara berkala Badan POM,
arah biopharmaceutical, dengan berupaya dilaksanakan bertahap dalam pengembangan bahan baku Kesepahaman antar lembaga Kemenristek
vaksin, Natural dan API mengembangkan obat terdiri dari biopharmaceutical, vaksin, Natural dan API riset, perguruan tinggi dengan dikti,
bahan baku obat di industri farmasi mengenai Kemenperin,
dalam negeri roadmap pengembangan bahan Lembaga
baku dan produk farmasi penelitian
3.Mendorong dan Meningkatkan a) merumuskan kebijakan yang mendorong transfer Kebijakan kearah transfer Kemenkes,
mengembangkan kemampuan industri teknologi atau lisensi, terutama atas produk impor teknologi Badan POM,
penyelenggaraan R&D farmasi kearah R&D dengan kebutuhan tinggi atau penyakit menular, Bahan obat yang prioritas Kemenristek-
sediaan farmasi dalam rangka maksimal 5-10 tahun setelah perolehan izin edar; untuk dikembangkan dikti,
kemandirian industri farmasi b) bersinergi untuk menyusun data dan menetapkan Kemenperin,
database yang dapat memperlihatkan kebutuhan API, Kemenkumham,
intermediate, raw material, solvent, katalis dan bahan BKPM, Lembaga
pendukung dalam negeri regional maupun internasional penelitian
beserta trendnya sehingga industri memiliki acuan dalam
penyusunan feasilibity study implementasi investasi,
70
70
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi
Amanat Inpres No.6 Th.2016 Tujuan Pengembangan Rencana Aksi Program Target Kinerja Instansi Terkait
71
Industri Farmasi
produksi dan perdagangan intermediate;
c) menyusun suatu sistem surveilans terkait masa paten
obat dan menyusun skema perlindungan hukum terkait
hal tersebut;
4.Memprioritaskan Meningkatkan a) peningkatan kemampuan produksi bahan baku sediaan
penggunaan produk sediaan penggunaan bahan farmasi agar digunakan oleh industri dalam negeri;
farmasi dalam negeri melalui baku dalam negeri b) menetapkan sistem promosi dan focal point atas ekspor
e-tendering dan e-purchasing untuk kebutuhan intermediate dan API.
berbasis e-catalogue produksi obat dalam c) peningkatan kapasitas produksi obat generik Indonesia
negeri d) mengkaitkan dengan pajak atau bea masuk yang
dikenakan pada industri farmasi
e) memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri
melalui e-procurement berbasis e-catalogue
5.Mengembangkan sistem data Meningkatkan Pangsa Sistem data dan informasi terkait kebutuhan produksi dan Kebutuhan industri farmasi Kemenkes,
dan informasi secara Pasar Produk farmasi distribusi Badan POM,
terintegrasi yang berkaitan Kemenristek
dengan kebutuhan produksi dikti,
dan distribusi sediaan Kemenperin
farmasi, pelayanan kesehatan
6.Menyederhanakan sistem Meningkatkan Investor Layanan perizinan dalam pengembangan industri farmasi Industri yang kearah Kemenkes,
dan proses perizinan dalam Industri Farmasi transformasi Badan POM,
pengembangan industri Kemenperin,
farmasi Kemendagri,
BKPM
7. Melakukan koordinasi Meningkatkan Pangsa a) koordinasi dengan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Kemampuan produksi industri Kemenkes,
dengan Badan Penyelenggara Pasar Produk farmasi Barang/Jasa Pemerintah) dan Faskes untuk farmasi dalam negeri LKPP,
Jaminan Sosial (BPJS) meningkatkan penggunaan produk dalam negeri baik Kemenperin,
kesehatan untuk jenis maupun volume; KemenBUMN
meningkatkan kapasitas BPJS b) Pembinaan kepada industri farmasi untuk meningkatkan
sebagai payer dan kemampuan dan kapasitas produksi dalam negeri
memperluas kontrak
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017
71
6.1.4 Rencana Induk Riset Nasional 2015-2045
Perpres 38 tahun 2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2015-2045
Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) Tahun 2017-2045 sebagai rencana jangka panjang
sektor riset, disusun untuk mendukung strategi pembangunan sektor industri yang telah
dirumuskan pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 (RIPIN), sektor
energi melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN), serta sektor Ekonomi Kreatif melalui
Rencana Induk Ekonomi Kreatif Nasional (RIEKN). Hal ini untuk mewujudkan penguatan
ekonomi nasional berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermuara pada industri
berbasis teknologi, kedaulatan energi serta ekonomi kreatif berbasis ilmu pengetahuan dan
teknologi inovatif. Tujuan tersebut dituangkan kedalam visi Riset Nasional Tahun 2017-
2045 yaitu Indonesia Berdaya Saing dan Berdaulat Berbasis Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi.
Kesehatan dan Obat menjadi salah satu dari 10 fokus riset dalam RIRN 2017-2045. Topik
dalam bidang fokus riset Kesehatan dan Obat ini meliputi: 1) Teknologi Produk
Biofarmasetika; 2) Teknologi Alat Kesehatan dan Diagnostik; 3) Teknologi Kemandirian
Bahan Baku Obat (BBO).
Tabel 6.5. Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2015-2045
Visi Indonesia Berdaya Saing dan Berdaulat Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Misi 1) mencitakan masyarakat Indonesia yang inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan
teknologi
2) menciptakan keunggulan kompetitif bangsa secara global
Tujuan 1) meningkatkan literasi ilmu pengetahuan dan teknologi
2) meningkatkan kapasitas, kompetensi dan sinergi Riset Nasional
3) memajukan perekonomian nasional berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi
Fokus Riset 1) Pangan - Pertanian; 2) Energi - Energi Baru dan Terbarukan; 3) Kesehatan - Obat; 4)
Transportasi; 5) Teknologi Informasi dan Komunikasi; 6) Pertahanan dan Keamanan; 7)
Material Maju; 8) Kemaritiman; 9) Kebencanaan; dan 10) Sosial Humaniora - Seni Budaya -
Pendidikan.
72
Integrasi Fokus Riset Kesehatan-Obat
Tema Riset Topik Riset Dukungan Institusi Target Link
Anggaran Terkait RIPIN
Teknologi Pengembangan Kemenkes, Kemenkes, Pemanfaatan biodiversitas Farmasi
Kemandirian fitofarmaka LIPI, BPPT Kemenperin, sebagai fitofarmaka dan
Bahan Baku berbasis sumber LIPI, BPOM, kosmetik
Obat (BBO) daya lokal BPPT
Bahan baku Kemenkes, Kemenkes, Vitamin A berbasis pigmen Farmasi
impor LIPI, BPPT Kemenperin, Sefalosporin dan antibiotik dan
LIPI, BPOM, lain Dextrose Mono kosmetik
BPPT Hydrate
Saintifikasi jamu Kemenkes, Kemenkes, Bahan baku ekstrak Farmasi
dan herbal, LIPI, BPPT LHK, KKP, tumbuhan obat dan
teknologi Kemenperin, kosmetik
Obat herbal terstandar
produksi LIPI, BPOM,
pigmen alami BPPT
Sumber: Perpres 38 tahun 2018
Tabel 6.6. Pokok-pokok Kebijakan Jaminan Ketersediaan Bahan Baku dan Penolong Dalam
Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2021
Pokok Kebijakan Uraian
Penggunaan Industri harus menggunakan Bahan Baku atau Bahan Penolong dalam proses
Bahan produksi secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan
Industri harus mengutamakan penggunaan Bahan Baku dan Bahan Penolong yang
dan Bahan
berasal dari dalam negeri
Penolong oleh
Industri
Kemudahan Pemerintah Pusat dan Daerah menjamin ketersediaan dan penyaluran Bahan Baku
dan Bahan Penolong dari dalam negeri luar negeri bagi Industri
Mendapatkan
Pemerintah Pusat dapat melakukan pelarangan/ pembatasan ekspor Bahan Baku
Bahan Baku dan
dan Bahan Penolong
Bahan Penolong
Pemerintah Pusat dapat memberikan kemudahan impor Bahan Baku dan Bahan
Penolong
Jaminan ketersediaan Bahan Baku dan Bahan Penolong dilakukan melalui:
73
Pokok Kebijakan Uraian
o Pemetaan dan penetapan wilayah penyediaan
o Pengenalan penggunaan Bahan Baku dan Bahan Penolong alternatif
o Pembangunan industri hulu dan industri antara berbasis sumber daya alam
Pembatasan ekspor dilakukan atas dasar pertimbangan Bahan Baku dan Bahan
Penolong:
o Sudah dapat diolah di dalam negeri, namun pasokannya belum mencukupi
kebutuhan industri dalam negeri
o Memiliki nilai tambah tinggi
o Menjaga kestabilan harga
o Kepentingan nasional lainnya
Kemudahan impor dilakukan atas dasar pertimbangan Bahan Baku dan Bahan
Penolong:
o Tidak ada ketersediaan pasokan
o Ketersediaan belum mencukupi dari sisi volume atau kualitas
Kemudahan impor Bahan Baku dan Bahan Penolong dapat berupa: fasilitas fiskal,
fasilitas non-fiskal atau pemenuhan jumlah impor sesuai kebutuhan
Neraca Dalam rangka menjamin ketersediaan Bahan Baku dan Bahan Penolong, Pemerintah
Komoditas Pusat menetapkan Neraca Komoditas yang didalamnya memuat data yang akurat
tentang kebutuhan dan pasokan Bahan Baku dan Bahan Penolong untuk industri
Usulan pembatasan ekspor maupun kemudahan impor Bahan Baku dan Bahan
Penolong didasarkan pada Neraca Komoditas
Sumber: Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2021
74
a. Fasislitasi dan kemudahan perpajakan, kepabeanan, dan cukai, mencakup:
o Pajak Penghasilan
o Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah
o Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor;
o Cukai
b. Fasislitasi dan kemudahan lalu lintas barang
c. Fasislitasi dan kemudahan ketenagakerjaan
d. Fasislitasi dan kemudahan keimigrasian;
e. Fasislitasi dan kemudahan pertanahan dan tata ruang;
f. Fasislitasi dan kemudahan Perizinan Berusaha
g. Fasilitas dan kemudahan lainnya
75
Gambar 6.3. Keterkaitan Kebijakan Kesehatan, Perindustrian dan Riset Nasional
Super Deduction
Tax Litbang
Super Deduction
Tax Vokasi
Kawasan
Industri
76
6.2.1 Kebijakan Fiskal
United Nations Conferrence on Trade and Development (UNCTAD) mendefinisikan insentif
pajak sebagai segala bentuk insentif yang mengurangi beban pajak perusahaan dengan
tujuan untuk mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk berinventasi di proyek
atau sektor tertentu (Prasetyo, 2008). Menurut Nigel A. Chalk dalam Santoso dan Rahayu
(2013), alasan pemberian insentif pajak di antaranya:
1) Industrial policy, khususnya mendorong gerak majunya industri tertentu;
2) The transfer of proprietary knowledge or technology, secara khusus ditujukan pada
investor dengan skala industri makro untuk dapat mentransfer pengetahuan dan
alih teknologi;
3) Employment objectives, berupa penciptaan lapangan kerja baru;
4) Training and human capital development, berguna untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia;
5) Economic diversification, dalam hal ekspektasi tumbuhnya sektor industri baru;
6) Access to overseas market, menstimulasi perdagangan internasional untuk
mendorong kegiatan ekspor;
7) Regional or locational objectives, untuk mempercepat pertumbuhan wilayah yang
menjadi target pemberian insentif pajak.
Insentif pajak dapat didefinisikan sebagai ketentuan pajak khusus yang diberikan kepada
proyek investasi yang memenuhi syarat (Kristian; 2018). Di dalam buku Tax Incentives for
Foreign Direct Investment (Easson, 2004) dijelaskan bawa faktor paling penting dari insentif
pajak yang efektif adalah spesial atau khusus dan tidak umum, jadi jika diberikan kepada
semua investor maka bukanlah termasuk ke dalam insentif pajak, walaupun perlakuan
tersebut mungkin hanya dapat memberikan keuntungan kepada beberapa investor saja.
Karenanya harus dibuat perbedaan antara ketentuan yang merupakan insentif atau yang
diberikan secara umum, walaupun hal ini sangat sulit untuk dilakukan.
Super Deduction Tax adalah jenis insentif pajak berbasis biaya (cost-based tax incentive).
Insentif akan diperoleh ketika wajib pajak melakukan suatu kegiatan tertentu yang
umumnya enggan dilakukan karena memberikan beban tambahan bagi wajib pajak.
Kebijakan fiskal yang telah dikeluarkan antara lain:
77
Tabel 6.7 Fasilitas Super Deduction Tax Penelitian dan Pengembangan
Tujuan Meningkatkan peran industri dalam menumbuhkan inovasi serta pemanfaatan teknologi
Kebijakan terkini dalam proses produksi
Mendorong transfer of knowledge melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di Indonesia
Fasilitas Pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% dari biaya penelitian dan pengembangan,
meliputi:
1) Pengurangan penghasilan bruto 100% dari jumlah biaya litbang
2) Tambahan pengurangan penghasilan bruto dari jumlah biaya yang dikeluarkan dalam
jangka waktu tertentu:
50% jika litbang menghasilkan Paten dan hak PVT di dalam negeri
25% jika litbang juga menghasilkan Paten dan hak PVT di luar negeri
100% jika mencapai tahap komersialisasi
25% jika litbang yang menghasilkan Paten atau Hak PVT dan/ atau mencapai tahap
komersialisasi yang dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga litbang
pemerintah dan/ atau lembaga pendidikan di Indonesia
Kegiatan 1) Pangan;
Litbang Yang
2) Farmasi, kosmetik dan alat kesehatan;
Mendapat
Fasilitas 3) Tekstil, kulit, alas kaki dan aneka;
4) Alat transportasi;
5) Elektronika dan telematika (ICT);
6) Energi;
7) Barang modal, komponen dan bahan penolong;
8) Agro industri;
9) Logam dasar dan bahan galian bukan logam;
10) Kimia dasar berbasis migas dan batubara;
11) Pertahanan dan keamanan
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan nomor 153/PMK.010/2020 tentang Pemberian Pengurangan
Penghasilan Bruto Atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia
300% Potongan
Pajak Penghasilan
bruto
78
Fasilitas Super Deduction Bagi Kegiatan Vokasi
Peraturan Menteri Keuangan nomor 128/PMK.010/2019 tentang Pemberian Pengurangan
Penghasilan Bruto Atas Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan dan/ atau Pembelajaran
Dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis
Kompetensi Tertentu
Tabel 6.8. Fasilitas Super Deduction Tax Kegiatan Vokasi
Tujuan Mendorong keterlibatan industri dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan vokasi
Kebijakan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja dan mengurangi gap/ kesenjangan demand-
supply tenaga-kerja sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing industri
Fasilitas Pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% dari jumlah yang dikeluarkan, meliputi:
Pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/ atau pembelajaran; dan
Tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 100% dari jumlah biaya
yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/ atau pembelajaran.
Penerima Industri atau pelaku usaha yang mengeluarkan biaya untuk penyelenggaraan:
Fasilitas
1) Kegiatan praktik kerja
2) Pemagangan
3) pembelajaran
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan nomor 128/PMK.010/2019 tentang Pemberian Pengurangan
Penghasilan Bruto Atas Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan dan/ atau Pembelajaran Dalam
Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu
79
Fasilitas Pajak Bagi Investasi Pada Usaha Sektor Prioritas Tinggi
Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.010/2020 tentang fasilitas pajak penghasilan
untuk penanaman modal di bidang bidang usaha tertentu dan atau didaerah tertentu
Tabel 6.10. Fasilitas Pajak Pada Investasi Prioritas Tinggi
Tujuan peningkatan penanaman modal langsung
Kebijakan
percepatan dan pemerataan pembangunan di bidang-bidang usaha tertentu dan di
daerah-daerah tertentu
mendorong kemudahan berusaha guna peningkatan penanaman modal
Fasilitas Investor dalam negeri maupun asing yang melakukan penanaman di sektor kegiatan
ekonomi atau daerah yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan
fasilitas perpajakan berupa :
a) pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dalam 6 tahun
b) tingkat penyusutan dan amortisasi 2 kali lebih cepat
c) pajak dividen yang diterima investor asing paling tinggi 10%
d) tambahan periode kompensasi kerugian paling lama 10 tahun
Penerima 166 bidang usaha tertentu (mulai dari pertanian jagung hingga Kawasan Pariwissata)
Fasilitas
17 bidang usaha tertentu di daerah tertentu (mulai dari pembesaran ikan air tawar hingga
aktivitas taman bertema)
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.010/2020 tentang fasilitas pajak penghasilan
untuk penanaman modal di bidang bidang usaha tertentu dan atau didaerah tertentu
80
Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Impor Barang Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK 04/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk
atas Impor Barang Oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Yang Ditujukan Untuk
Kepentingan Umum
Tabel 6.12. Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Impor Barang Untuk Kepentingan Umum
Tujuan Penyederhanaan prosedur kepabeanan untuk meningkatkan pengawasan dan pelayanan
Kebijakan dalam pemberian pembebasan bea masuk atas impor barang untuk Kepentingan Umum.
Dalam hal ini adalah barang-barang yang digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara
atau kepentingan masyarakat yang tidak mengutamakan kepentingan di bidan keuangan
Fasilitas Bebas Bea Masuk
Tidak dipungut PPN dan PPnBM
Dikecualikan dari Pemungutan PPh Pasal 22
Penerima Pemerintah Pusat
Fasilitas
Pemerintah Daerah (Provinsi, Kota, Kabupaten)
Badan Layanan Umum (BLU), misal: Rumah Sakit Umum (RSU), Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD)
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK 04/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk atas
Impor Barang Oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Yang Ditujukan Untuk
Kepentingan Umum
81
6.2.2 Kebijakan Non Fiskal
Pembangunan Kawasan Industri
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan
Industri
Tabel 6.14. Kebijakan Pembangunan Kawasan Industri
Tujuan Percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah RI
Kebijakan melalui pembangunan Kawasan Industri
Mengembangkan industri yang berwawasan lingkungan, memberikan kemudahan dan daya
tarik dengan pendekatan efisiensi, tata ruang dan lingkungan hidup
Pokok Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya bertanggungjawab atas
Kebijakan pencapaian tujuan pembangunan Kawasan Industri
Pembangunan Kawasan Industri dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk badan hukum
(BUMN, BUMD, Koperasi atau Perseroan Terbatas) dan berkedudukan di Indonesia
Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing
menyediakan infrastrukstur industri dan infrastruktur penunjang
Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan infrastruktur dasar di dalam Kawasan
Industri
Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki IUKI (Ijin Usaha Kawasan Industri)
Setiap perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan kawasan wajib memiliki ijin
Perluasan Kawasan Industri
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh IIUKI dapat diberikan Hak Guna
Bangunan atas tanah yang akan diusahakan dan dikembangkan
Pengelolaan Kawasan Industri dilakukan oleh Perusahaan Kawasan Industri
Fasilitas Kawasan Industri:
o Insentif perpajakan
o Fasilitas kemudahan pembangunan dan pengelolaan tenaga listrik
o Insentif daerah
Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar Kawasan Industri
Untuk mendukung pencapaian pembangunan Kawasan Industri dibentuk Komite Kawasan
Industri
Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
82
Pokok 1) Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah wajib menggunakan produk dalam negeri,
Kebijakan termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional.
2) Kewajiban penggunaan produk dalam negeri dilakukan jika terdapat peserta yang
menawarkan barang/jasa dengan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) ditambah
nilai Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) paling rendah 40%.
3) Pengadaan barang impor dapat dilakukan, dalam hal:
a. barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; atau
b. volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.
4) Preferensi harga :
a. Preferensi harga merupakan insentif bagi produk dalam negeri pada pemilihan
Penyedia berupa kelebihan harga yang dapat diterima.
b. Preferensi harga diberlakukan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang bernilai paling
sedikit di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
c. Preferensi harga diberikan terhadap barang/ jasa yang memiliki TKDN paling rendah
25% (dua puluh lima persen).
Sumber: Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
Tabel 6.16. Ketentuan Dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri
Tujuan Memberi pedoman untuk ketentuan dan tata cara penghitungan tingkat komponen dalam
Kebijakan negeri
Metoda TKDN barang dihitung berdasarkan perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga
Penghitungan komponen luar negeri terhadap harga barang jadi
TKDN
Harga barang jadi merupakan biaya produksi yang dikeluarkan untuk memproduksi barang,
meliputi:
a) Biaya untuk bahan (material) langsung
b) Biaya tenaga-kerja langsung
c) Biaya tidak langsung pabrik (factory overhead)
Penentuan komponen dalam negeri berdasarkan kriteria :
a) Bahan (material) langsung berdasarkan negara asal (country origin)
b) Alat/ fasilitas kerja berdasarkan kepemilikan dan negara asal
c) Tenaga kerja berdasarkan kewarganegaraan
Penentuan komponen dalam negeri untuk alat kerja/fasilitas kerja:
a) 100% > jika alat kerja diproduksi di dalam negeri dan dimiliki oleh penyedia
barang/jasa dalam negeri
83
b) 75% > jika alat kerja diproduksi di dalam negeri dan dimilki oleh penyedia
barang/jasa luar negeri
c) 75% +% > jika alat kerja diproduksi di dalam negeri dan dimilki oleh penyedia
barang/jasa kerjasama antara perusahaan dalam negeri dan perusahaan luar
negeri, dinilai komponen dalam negeri 75% ditambah dengan 25%
proporsional terhadap komposisi sahan perusahaan dalam negeri
d) 75% > alat kerja yang diproduksi di luar negeri dan dimiliki oleh penyedia
barang/jasa dalam negeri
e) 0% > alat kerja yang diproduksi di luar negeri dan dimiliki oleh penyedia
barang/jasa luar negeri
f) +% > alat kerja yang diproduksi luar negeri dan dimiliki oleh penyedia barang/jasa
kerjasama antara perusahaan dalam negeri dan perusahaan luar negeri,
dinilai komponen dalam negerinya secara proporsional terhadap komposisi
saham perusahaan dalam negeri
Sumber: Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2020 Tentang Ketentuan
Dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Farmasi
84
Dampak dan Tantangan Implementasi Kebijakan
6.3
Industrialisasi Bahan Baku Obat
Sejak tahun 2009 pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan terkait dengan industri
kesehatan dan layanan kesehatan nasional. Kebijakan tersebut pada intinya merupakan
upaya pemerintah meningkatkan layanan kesehatan masyarakat dan mendorong
tumbuhnya industri bahan baku obat (BBO) dan industri obat. Kebijakan ini juga bertujuan
untuk menggerakkan kegiatan riset di dalam negeri sehingga berujung pada pemanfaatan
hasil riset oleh industri. Melalui kebijakan ini diharapkan ketergantungan kebutuhan BBO
dan produk obat nasional dari sumber impor dapat ditekan.
Kebijakan yang sudah digulirkan pemerintah terkait dengan obat dan BBO sudah cukup
banyak namun dampaknya belum terasa signifikan. Impor BBO pada tahun 2020 masih
tinggi yaitu sebesar Rp. 73,41 trilyun (asumsi kurs 1 USD = Rp.15.000) (tirto.id, 2020).
Kemandirian dalam penyediaan BBO antara lain ditempuh melalui kolaborasi riset
pengembangan teknologi produksi BBO amoxicillin antara lembaga litbang, perguruan
tinggi dan industri, masih terkendala pada output hasil risetnya yang harga
keekonomiannya tidak kompetitif.
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 mengamanatkan kepada Kementerian dan
Lembaga Pemerintah Non-Kementerian untuk melakukan pengembangan dan
penumbuhan produk susbtitusi impor pada industri farmasi dan alat kesehatan sesuai
tugas dan fungsinya. Kementerian dan lembaga tersebut meliputi: Kementerian Kesehatan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Ristek, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Pertanian, LKPP.
Inisiatif kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal perlu dioptimalkan agar produksi BBO dalam
negeri mendapatkan harga yang sesuai dengan harga produk BBO impor. Kebijakan yang
cukup penting terkait ini adalah Super deduction tax untuk kegiatan litbang dan kebijakan
TKDN. Stimulus kebijakan fiskal juga telah digulirkan Pemerintah sebagai upaya menarik
investor pada industri farmasi dengan memberikan insentif pajak berupa: Super Deduction
Tax untuk Vokasi, Investment Allowance, Tax Allowance, Tax holiday, Super Deduction Tax
untuk Litbang, Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus.
Dampak dari implementasi kebijakan pemerintah selama kurun waktu 2016-2019 sudah
mulai terasakan. Terlihat dari peningkatan jumlah industri yang dibina oleh Kemenkes,
seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 6.18. Jumlah Industri Binaan Kemenkes, Tahun 2016-2019
No. Jenis Industri 2016 2019 % Peningkatan
1 Produk Farmasi 209 230 10,05 %
2 Bahan Baku Obat 8 14 75,00 %
3 Obat Tradisional 88 120 36,36 %
4 Ekstrak Bahan Alam 8 17 112,50 %
5 Industri Alat Kesehatan 215 313 45,58 %
Sumber: Kemenkes, 2020 diolah.
85
Sampai tahun 2019 BBO yang sudah dikembangkan sebanyak 21 yang terdiri dari 1 item
produk bioteknologi, 1 item produk vaksin, 7 item produk natural, dan 12 item produk
bahan baku obat kimia (sumber : Kemenkes, 2020).
Data dari Kementerian Perindustrian sampai dengan tahun 2020 telah menunjukkan
terjadinya penurunan 2,72% impor bahan baku obat sehingga total impor menjadi 92%.
Ditargetkan pada tahun 2024 akan dapat turun 20,52% sehingga total impor menjadi 74%.
Beberapa bahan baku obat telah diproduksi oleh PT Kimia Farma Sungwoon Pharmacopia
(KFSP) seperti Simvastatin (4,2 metrik ton), Atrovastatin (0,7 metrik ton), Clopidogrel (7,6
metrik ton), dan Entecavir (371 gram). (ekonomi.bisnis.com, 2020).
Pada aktifitas riset juga telah dilakukan kajian keekonomian oleh BPPT, hasilnya
menunjukkan bahwa pembangunan pabrik amoksisilin secara sintesis dengan kapasitas
1.200 ton per tahun baru mencapai kelayakan bisnis pada harga jual 50 USD/ Kg.
Nampaknya upaya untuk menghilirkan hasil riset BPPT dan mitra ini tidak mudah.
Tantangan yang dihadapi adalah rendahnya harga produk dari para pesaing luar negeri.
Pada tahun 2017 harga Amoxicillin dari Cina adalah 18,67 USD/ Kg, India 20,98 USD/ Kg,
Spanyol 45,06 USD/ Kg, Korea 60 USD/ Kg, Austria 53.32 USD/ Kg. Harga produk hasil riset
BPPT dan mitra belum mampu menyaingi harga produk China dan India, namun masih bisa
bersaing harga dengan produk Spanyol, Korea dan Austria (STKP BBO, 2020).
Saat ini belanja litbang di Indonesia masih didominasi oleh belanja pemerintah, yaitu
sebesar 85,83%. Kontribusi oleh Litbang lainnya: Industri Manufaktur 6,26%, Perguruan
Tinggi 5,49%, Pemerintah Daerah 2,27% dan Litbang swasta non-profit 0,15% (Muhammad
Dimyati, 2021). Tampak disini keterlibatan industri sebagai pengguna akhir hasil riset masih
sangat kecil. Peran litbang oleh industri yang masih rendah dapat membawa konsekuensi
pada output kegiatan litbang pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri
sehingga industri akan cenderung mengimpor teknologi dari negara lain. Dari beberapa
kasus, masih ada keengganan pada industri untuk melakukan kegiatan litbang sendiri
maupun bekerjasama dengan lembaga penelitian atau perguruan tinggi mengingat biaya
yag harus dikeluarkan cukup besar serta belum tentu berhasil. Ketiadaan fasilitas litbang
dan keterbatasan SDM litbang menjadi kendala utama bagi industri untuk dapat melakukan
kegiatan riset sendiri. Namun demikian beberapa industri farmasi dalam negeri telah
berupaya mengeluarkan dananya untuk kegiatan litbang, meskipun jumlahnya masih relatif
kecil dibanding omzet penjualannya. Sebagai contoh PT Kimia Farma Tbk sebesar 5,3 juta
USD (0,84% sales), PT Kalbe Farma 17,42 juta USD (1,1% sales) dan PT Tempo Scan Pasific
0,15 juta USD (0,04% sales) (Pamian Siregar, 2020).
Dari inovator dikatakan bahwa industri yang akan terlibat adalah PT Mesifarma dalam
kaitan hilirisasi hasil riset. Dengan adanya hasil kajian keekonomian yang menyatakan
bahwa secara produk BBO amoxicilin tidak masuk skala ekonomi, perlu adanya kebijakan
lain terkait dengan kemandirian industri, sementara dari pihak Kemenperin menyatakan
pemerintah berkomitmen memberikan fasilitas kepada para penanam modal di Indonesia,
antara lain melalui pemberian berbagai insentif fiskal maupun nonfiskal dan akan
memberikan dukungan fiskal terhadap pertumbuhan industri farmasi melalui tax
allowance, tax holiday, serta Super Deduction Tax, yang diberikan bagi industri yang terlibat
dalam program vokasi serta inovasi melalui kegiatan riset. Sementara itu, untuk pemberian
insentif non-fiskal, di antaranya adalah program pelatihan dan sertifikasi SDM, penerapan
Objek Vital Nasional Sektor Industri (OVNI), sertifikasi standar dan kegiatan litbang bagi
industri kecil menengah (IKM), pembangunan infrastruktur industri, dukungan promosi,
86
serta konsultasi bantuan hukum dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Secara spesifik
Kementerian Perindustrian memiliki 6 strategi kemandirian industri farmasi :
1. Membangun ekosistem industri yang kondusif
2. Menarik investasi
3. Penerapan industri 4.0
4. Kolaborasi swasta
5. Memacu TKDN
6. Pengembangan industri terkait
(Kementerian Perindustrian, 2020)
Sebagai upaya untuk mendukung industrialisasi BBO amoxicilin, perlu skenario kebijakan
yang memanfaatkan berbagai insentif serta mendorong kemandirian sebagai salah satu
aspek yang harus mendapat insentif sebagai berikut :
87
88
88
89
7.1 Analisis Kebutuhan BBO Amoksisilin
90
350
Populasi
300
250
200
Juta Jiwa
150
100
50
50.000
45.000
40.000
PDB (Triliun Rupiah)
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
-
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2040 diperkirakan akan mencapai 313 juta jiwa. Sedangkan
proyeksi PDB pada tahun yang sama akan mencapai 29 ribu triliun rupiah (harga konstan 2010)
(Gambar 7.3).
Dari kedua grafik proyeksi penduduk dan ekonomi, PDB per kapita masyarakat Indonesia pada
tahun 2040 diperkirakan akan mencapai Rp.92 juta (harga konstan 2010). Dengan peningkatan PDB
per kapita tersebut, kebutuhan BBO amoksisilin akan tumbuh sekitar 5,8% per tahun atau akan
mencapai sekitar USD 70 Juta pada tahun 2040. Jika diasumsikan harga BBO amoksisilin stabil pada
angka USD 20/kg maka permintaan BBO amoksisilin pada tahun 2040 akan mencapai 3,5 ribu ton.
91
80
70
70
Kebutuhan (Juta US$)
60 54
50 43
40 34 36 34 35
27
29 29 30 29
30 24 25 25
23 23
20 20
20 16
13
11
9 8
10 7
-
2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040
Produksi BBO amoksisilin memerlukan suatu rangkaian proses yang panjang yaitu dari
pembuatan Penicillin G lalu dilanjutkan ke produksi 6-APA dan terakhir adalah pembuatan
BBO amoksisilin. Ada dua metode dalam membuat BBO amoksisilin, pertama dengan reaksi
kimia yang memerlukan senyawa Dane Salt dan yang kedua melalui proses enzimatis
dengan eksipien HPGME. Saat ini pembuatan BBO amoksisilin secara kimia sudah mulai
ditinggalkan karena menghasilkan limbah beracun yang cukup besar. Selain memberikan
tahapan proses yang lebih sedikit dan hasil yang lebih baik, proses enzimatis tidak
menimbulkan limbah yang berbahaya.
Skema pembuatan BBO amoksisilin baik secara kimiawi maupun enzimatis sudah
digambarkan dalam Bab 4. Bahan utama pembuatan BBO amoksisilin adalah 6-APA, dan
bahan utama pembuatan 6-APA adalah penisilin G. Pembuatan BBO amoksisilin dengan
metode enzimatis dapat mengikuti standar produksi sebagaimana tabel berikut.
92
Tabel 7.1. Kebutuhan Bahan Baku Produk Amoksisilin
Produk
Amoksisilin Trihidrat 7,2
Bahan Baku
6-APA 11,40
HPGME 10,07
Enzim Amoksisilin Asilase 0,038 Digunakan 300 cycle
Bahan Penunjang
Ammonia 2,5% 51,43
Asam Klorida 3 M 5,48
Karbon Aktif 0,44 6%@produk
Resin Kation 0,007 0,1%@produk
Resin Anion 0,007 0,1%@produk
Sumber: Marwoto, 2021
Proses produksi 6-APA dapat mengikuti standar produksi sebagaimana tabel berikut.
Produk
6-APA 100 Kg
Bahan Biokonversi
Penisilin G 200 Kg
Penisilin G Asilase 1620 Kg
Lainnya Jumlah relatif kecil K2HPO4, H3PO4, Anhydrous
Sodium sulpahate, NaOH, HCl
Bahan Recovery NaOH, HCl
Bahan Analisis
Penisilin G Standard 5 Gr
PAA Standard 5 Gr
6-APA Standard 5 Gr
Lainnya KH2PO4, H3PO4, KOH,
Asetonitril
Sumber: Wibisana, dkk, 2021
93
Kedua tabel produksi di atas menunjukkan struktur input secara riil. Berapa nilai input
dalam nilai uang? Wibisana, dkk (2014) menyebutkan bahwa harga per kg 6-APA adalah
USD 30 dan harga per kg penisilin G USD 18. Selanjutnya dari hasil analisis ekonomi yang
dilakukan, produksi baru layak jika harga penisilin G adalah USD 10.
Dalam penjelasan pada bab-bab sebelumnya disebutkan bahwa pasar BBO amoksisilin
Indonesia saat ini hampir 100% dikuasai produk impor dari China dan India. Biaya produksi
BBO amoksisilin di kedua negara tersebut cukup rendah. Dalam Bab 2 telah disampaikan
data historis harga impor BBO amoksisilin ketika sampai ke Indonesia yang cenderung turun
dari tahun ke tahun. Pada saat ini harga BBO amoksisilin impor berkisar antara USD 21 –
25 per kg. Pertanyaan yang muncul adalah jika harga BBO amoksisilin yang layak dijual
adalah 25 USD /kg maka berapa harga produk:
6-APA
Penicillin G dan
Penicillium chrysogenum
yang layak agar bisa bersaing dengan produk impor dari China dan India?
Untuk mengetahui rantai nilai BBO amoksisilin tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu
struktur input produksi BBO amoksisilin. Dengan menggunakan Tabel Input-Output (I-O)
Indonesia 2016 yang diterbitkan BPS pada tahun 2021, maka dapat dihitung proporsi input
antara dalam pembuatan obat amoksisilin. Dalam hal ini proporsi input antara BBO
amoksisilin (juga 6-APA dan penisilin G) diasumsikan sama dengan proporsi input obat
amoksisilin. Proporsi input antara tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut. Penguraian
sektor obat amoksisilin dalan Tabel I-O dijelaskan dalam subbab 7.3.
Struktur Input
94
6-APA memiliki porsi impor penisilin G sebagai bahan utama 70%, maka harga satuan setiap
bahan tersebut dalam sebuah rantai nilai dapat diperkirakan.
Untuk menghasilkan BBO amoksisilin dengan harga bersaing, yaitu USD 25 per kg, maka
harga 6-APA yang diperlukan adalah USD 15 per kg dan harga penisilin G adalah USD 10,5
per kg. Hubungan tersebut terlihat dalam gambar rantai nilai di bawah (Gambar 7.6.).
Gambar tersebut bisa dijadikan pedoman dalam kebijakan industrialisasi BBO amoksisilin.
Sebagai industri yang bersaing harus mampu menjual dengan harga pasar dunia, yaitu USD
25 per kg. Namun sebagai industri bayi (infant industri), kemungkinan biaya produksinya
rata-rata lebih dari USD 25 per kg. Karena itu kebijakan pemerintah diperlukan, agar
produsen tidak mengalami kerugian. Kebijakan yang diambil bisa dipilih sesuai jenis
kebijakan yang telah diuraikan dalam Bab 6.
BBO Amoksisilin
6-APA US$ 25
Penisilin G US$ 15
US$ 10,5 Harga per kg
95
7.3 Analisis Dampak Ekonomi
96
memberikan dampak terhadap perekonomian. Dari keseluruhan proses pembuatan obat
amoksisilin hingga siap dikonsumsi, pangsa biaya impor BBO amoksisilin dari harga obat
sekitar 30%, sisanya 70% dibelanjakan di dalam negeri. Dampak ekonomi dari industri
amoksisilin bisa dianalisis dengan metode I-O. Dampak ekonomi yang dianalisis mencakup
dampak terhadap output industri, income, lapangan kerja dan pertambahan nilai/PDB.
Dari Tabel 7.4 tersebut dapat diketahui bahwa sektor industri farmasi lainnya memiliki nilai
input antara terbesar. Artinya, sektor industri farmasi lainnya lebih banyak menggunakan
komponen input (pasokan bahan baku) yang berasal dari dalam negeri dalam proses
produksinya. Sementara itu, sektor industri amoksisilin memiliki input antara terkecil,
sebaliknya memiliki porsi impor terbesar. Dengan struktur input seperti itu, maka
pengembangan industri obat amoksisilin akan memberikan dampak ekonomi ke luar negeri
lebih besar dibanding ke dalam negeri. Untuk mengurangi kebocoran aliran manfaat
ekonomi ke luar negeri, maka BBO amoksisilin harus diproduksi di dalam negeri.
Pada Tabel I-O, balas jasa produksi (input primer) terdistribusi dalam bentuk upah dan gaji,
surplus usaha, pajak dikurang subsidi lainnya atas produksi. Besarnya distribusi nilai input
primer untuk sektor farmasi ditunjukkan oleh Tabel 7.5.
Tabel 7.5. Distribusi Input Primer Untuk Sektor Industri Farmasi (Juta Rupiah)
Kode IO Distribusi Input primer Kompensasi Surplus Pajak dikurangi
Tenaga Kerja Usaha Bruto Subsidi Lainnya Atas
Produksi
105a Industri Obat Farmasi 9.783.904 5.054.532 1.163.935
lainnya
105b Industri Obat Amoksisilin 113.992 58.890 13.561
106 Industri Obat Tradisional 1.853.467 2.299.233 1.213.110
97
Dari Tabel 7.5, sebagian terbesar dari nilai input primer untuk sektor industri farmasi
lainnya dan amoksisilin adalah kompensasi tenaga kerja. Sedangkan industri obat
tradisional, yang terbesar adalah untuk surplus usaha bruto. Komponen surplus usaha
tersebut mencakup sewa properti (tanah, bangunan, dan sebagainya), bunga yang dibayar
dan keuntungan perusahaan. Sedangkan komponen upah dan gaji merupakan balas jasa
yang diberikan kepada buruh dan karyawan/pegawai, baik dalam bentuk uang maupun
barang. Termasuk dalam komponen upah dan gaji, semua tunjangan (perumahan,
kendaraan dan kesehatan) dan bonus, serta uang lembur yang diberikan perusahaan
kepada buruh dan pegawainya. Semua komponen upah dan gaji tersebut adalah dalam
bentuk bruto, yakni belum dipotong pajak penghasilan.
Komponen distribusi nilai input primer terkecil adalah dalam bentuk pajak tidak langsung.
Komponen ini merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah untuk setiap transaksi
penjualan yang dilakukan terhadap produk olahan yang dihasilkan perusahaan. Contoh dari
pajak tidak langsung ini adalah pajak pertambahan nilai. Apabila besarnya pajak tidak
langsung dikurangi dengan subsidi, maka akan diperoleh nilai pajak tidak langsung netto
(bersih).
Dari Tabel 7.6, sektor industri obat farmasi lainnya mempunyai nilai permintaan antara dan
permintaan akhir yang paling besar. Hanya saja pada sektor industri obat farmasi lainnya
dan amoksisilin, nilai permintaan antaranya hampir sama besar dengan permintaan akhir.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar output digunakan untuk memenuhi permintaan
antara dan akhir dengan seimbang. Untuk sektor industri obat tradisional, nilai permintaan
antara lebih kecil dibandingkan nilai permintaan akhir. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar atau hampir 100% output industri obat tradisional digunakan untuk
memenuhi permintaan akhir. Rantai pasok industri obat tradisional lebih sedikit
dibandingkan dengan obat farmasi lainnya dan amoksisilin. Hal ini bisa dipahami karena
industri obat tradisional lebih sederhana dibandingkan obat amoksisilin atau farmasi
lainnya.
98
B. Hasil Analisis Dampak Ekonomi Industri BBO Amoksisilin
Berdasarkan Tabel I-O 2016, dapat dihitung besarnya pengganda sektor-sektor farmasi
terhadap perekonomian nasional. Pengganda yang dihitung meliputi pengganda output,
pengganda tenaga kerja, pengganda pendapatan dan pengganda pertambahan nilai.
Pada analisis dampak terhadap perekonomian nasional, Tipe I menunjukkan besarnya
dampak langsung dan tidak langsung yang terjadi. Adapun Tipe II menunjukkan bahwa
dampak yang terjadi tidak hanya berupa dampak langsung dan tidak langsung, tetapi juga
karena adanya perubahan pola konsumsi dan pendapatan rumah tangga (induced effect)
(BPS, 2021).
Pengaruh total II merupakan akumulasi dari pengaruh langsung, industrial dan konsumsi,
atau merupakan penjumlahan pengaruh total I dengan pengaruh konsumsi. Dengan
meningkatnya output nasional seperti digambarkan pada pengaruh total I di atas, maka
otomatis pembayaran upah pekerja juga mengalami kenaikan, yang berakibat pada
kenaikan konsumsi (belanja) masyarakat, sehingga akan menaikkan lagi besarnya output
nasional. Dari Tabel 7.7 dapat dilihat bahwa setiap kenaikan permintaan akhir subsektor
99
obat amoksisilin sebesar satu rupiah akan menyebabkan kenaikan output nasional sebesar
2,07749 rupiah yang merupakan akumulasi pengaruh langsung, industrial dan konsumsi.
Pengganda Tipe I adalah besarnya perbandingan antara pengaruh total I dengan inisial.
Sedangkan pengganda Tipe II adalah besarnya perbandingan antara pengaruh total II
dengan inisial. Untuk pengganda output, besarnya Pengaruh Total sama dengan
Pengganda, namun tidak untuk pengganda tenaga kerja, pengganda pendapatan dan
pengganda pertambahan nilai yang akan dijelaskan kemudian.
100
B.3. Pengganda Pendapatan
Besarnya pengganda pendapatan setiap subsektor farmasi dapat dilihat pada Tabel 7.9.
Pengaruh awal (inisial) terhadap kenaikan upah, akibat adanya peningkatan permintaan
akhir, yang terjadi pada subsektor industri obat amoksisilin adalah yang terkecil. Setiap
peningkatan satu unit rupiah permintaan akhir pada sektor industri amoksisilin akan
meningkatkan pendapatan total pekerja sebesar 0,13388. Sedangkan Pengaruh Total I
terhadap pendapatan nasional adalah 0,23296 dan Pengaruh Total II sebesar 0,34932.
Pengaruh awal terbesar terjadi pada subsektor industri obat farmasi lainnya, disusul
subsektor industri obat tradisional. Angka pengganda pendapatan tertinggi justru terjadi
pada subsektor industri obat tradisional. Hal ini bisa dipahami karena industri obat
tradisional lebih padat karya dibandingkan industri farmasi lainnya dan amoksisilin. Angka
pengganda sektor industri obat amoksisilin dan farmasi lainnya adalah yang terkecil. Setiap
satu rupiah peningkatan pendapatan di subsektor industri obat amoksisilin akan
meningkatkan pendapatan nasional sebesar Rp. 1,74003 (Tipe I) atau Rp. 2,60909 (Tipe II).
101
C. Analisis Keterkaitan Antar Sektor Industri
C.1. Analisis Keterkaitan ke Depan (Forward Linkage)
Analisis keterkaitan ke depan menjelaskan bagaimana hubungan ke depan tercipta ketika
investasi dalam suatu sektor tertentu mendorong investasi pada tahap produksi
berikutnya. Ukuran untuk mengetahui keterkaitan ke depan suatu sektor adalah indeks
keterkaitan ke depan (forward linkage) dinotasikan dengan FL. Hasil perhitungan dari
indeks keterkaitan ke depan sektor-sektor pendukung farmasi pada kajian ini ditunjukkan
oleh Tabel 7.11.
Hasil perhitungan pada Tabel 7.11 dapat diinterpretasikan dengan menggunakan
ketentuan bahwa:
jika FL > 1 maka keterkaitan ke depan sektor farmasi lebih tinggi dari rata-rata
keterkaitan ke depan seluruh sektor;
jika FL < 1 maka keterkaitan ke depan sektor farmasi lebih rendah dari rata-rata
keterkaitan ke depan seluruh sektor;
Tabel 7.11. Nilai Indeks Keterkaitan ke Depan Sektor Farmasi
No. Sektor Nama Sektor FL
105a Obat Farmasi Lainnya 0,77485
105b Obat Amoksisilin 0,61765
106 Obat Tradisional 0,61782
Sumber: diolah dari Tabel I-O 2016
Dari Tabel 7.11 diketahui bahwa seluruh Industri farmasi mempunyai nilai FL kurang dari 1.
Bisa dijelaskan bahwa sebagian besar penggunaan produk-produk farmasi hanya terbatas
untuk memenuhi kebutuhan sekunder dari suatu sektor, bukan sebagai bahan baku
utama/primer dari proses produksi. Kondisi ini menyebabkan produk farmasi tidak
mempunyai keterkaitan ke depan yang kuat. Keterkaitan ke depan industri obat amoksisilin
yang terkecil dibandingkan industri obat farmasi lainnya dan obat tradisional.
102
Tabel 7.12. Nilai Indeks Keterkaitan ke Belakang Sektor Farmasi
Kode I-O Nama Sektor BL
105a Obat Farmasi Lainnya 1,15861
105b Obat Amoksisilin 0,92508
106 Obat Tradisional 1,05257
Sumber: diolah dari Tabel I-O 2016
Dari Tabel 7.11 dan 7.12 tersebut terlihat bahwa kedua nilai FL dan BL industri amoksisilin
kurang dari 1. Artinya, industri amoksisilin Indonesia mempunyai tingkat keterkaitan ke
depan dan belakang yang lemah. Hal ini bisa dipahami karena hampir 100% BBO amoksisilin
masih diimpor sehingga keterkaitan ke belakang industri formulasi amoksisilin dengan
industri pendukungnya cukup lemah
103
Sumber: Diolah dari Tabel I-O BPS 2016
Gambar 7.7. Indeks Keterkaitan ke Depan dan Indeks Keterkaitan ke Belakang Industri
Farmasi dalam Kuadran
Terlihat bahwa kedua nilai FL dan BL industri amoksisilin kurang dari 1. Artinya, industri
amoksisilin Indonesia mempunyai tingkat keterkaitan ke depan yang lemah dan tidak
banyak menyerap sektor industri pendukungnya.
Hal ini bisa dipahami karena industri amoksisilin di Indonesia masih merupakan industri
formulasi dan 100% bahan baku aktif industri obat amoksisilin masih diimpor dari Cina dan
India
Seluruh Industri farmasi mempunyai nilai FL kurang dari 1. Bisa dijelaskan bahwa sebagian
besar penggunaan produk-produk farmasi hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan
sekunder dari suatu sektor, bukan sebagai bahan baku utama/primer dari proses produksi.
Dari grafik efek riak berikut (Gambar 7.8) terlihat bahwa dari setiap 1 rupiah investasi
industri amoksisilin pada putaran 0 (awal), sekitar 0,698 rupiah atau 70% dibelanjakan
produk impor pada putaran 1.
Pada putaran ke 2, dari 0,302 rupiah yang diinvestasikan industri pendukung amoksisilin di
Indonesia, sekitar 0,183 rupiah atau 61% untuk belanja impor. Dan begitu seterusnya
hingga putaran terakhir.
Kondisi ini menghasilkan dampak industri amoksisilin terhadap perekonomian Indonesia
yang tidak terlalu besar karena belanja impor masih sangat mendominasi.
104
1 0
0,9
0,8
0,7
0,698
0,6
0,5 1
0,4
0,3
0,2 0,183
0,302
0,1 0,070 0,029
0,119 0,012 0,005
0,049 0,020
0 0,009 0,004
Putaran 0 Putaran 1 Putaran 2 Putaran 3 Putaran 4 Putaran 5 Putaran 6
105
106
106
107
REKOMENDASI
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI BBO AMOKSISILIN
Dengan melihat data historis pada saat ini dan proyeksi kebutuhan bahan baku obat (BBO)
amoksisilin ke depan serta dilandasi oleh keprihatinan: (1) hampir 95% BBO yang
diperlukan masih harus diimpor, (2) setiap tahunnya Indonesia harus memproduksi
amoksisilin rata-rata 1.200 ton/tahun, (3) produk amoksisilin ini banyak digunakan di
Indonesia untuk pengobatan lini utama pada infeksi bakteri gram positif dan gram negatif,
yang hingga saat ini masih tinggi jumlahnya di Indonesia, (4) tingginya impor BBO
amoksisilin ini menjadikan rentannya ketahanan obat nasional, apalagi jika terjadi
gangguan pasokan dari luar negeri; maka di dalam buku Outlook Teknologi Kesehatan 2021
ini disampaikan rekomendasi sebagai berikut.
A. Perkuatan Litbang
3. Ekosistem inovasi yang kondusif bagi aktivitas riset BBO amoksisilin perlu diwujudkan
5
dengan memperoleh dukungan infrakstruktur riset oleh pemerintah misalnya dalam
bentuk pengadaan peralatan laboratorium yang tervalidasi dan tersertifikasi pada
skala pilot, serta ketersediaan bahan baku bagi keperluan riset.
Dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kualitas SDM perlu
6
ditingkatkan untuk melakukan penelitian terkait dengan pengembangan BBO
amoksisilin, termasuk pengembangan inovasi dan komersialisasinya.
108
B. Pengembangan Industri
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa kebutuhan BBO amoksisilin di Indonesia akan
1
terus meningkat. Sementara itu dari hasil perhitungan dampak ekonomi, tambahan
produksi obat amoksisilin di dalam negeri akan lebih besar dampak impornya (salah
satunya impor BBO amoksisilin) dibanding dampak domestiknya. Setiap tambahan
pembelian satu rupiah produk amoksisilin di dalam negeri akan memberi dampak
kepada impor sebesar Rp. 0,698 dan kepada ekonomi domestik sebesar Rp. 0,302.
Oleh karena itu industrialisasi BBO amoksisilin di dalam negeri perlu disegerakan.
C. Untuk percepatan kemandirian obat amoksisilin, disamping mewujudkan
2
kemandirian dalam produski BBO amoksisilin, juga perlu mendorong produksi
bahan intermediate (bahan antara) berupa 6-APA, HPGME maupun enzim PGA. Jika
saat ini ditargetkan produksi bahan antara ini tercapai pada tahun 2026, dengan
melakukan percepatan produksi bahan antara ini maka produksi obatnya dapat
dilakukan sebelum tahun 2026. Disamping itu nilai TKDN BBO amoksisilin dapat
ditingkatkan pula. Pengembangan ini diharapkan menjadi menjadi titik awal dari
kemandirian BBO di Indonesia.
D. Transformasi industri farmasi dari yang semula mengandalkan bahan baku impor
3
baik bahan aktif (Active Pharmaceutical Ingredients/ API) maupun bahan tambahan
(eksipien), menjadi industri farmasi berbasis riset, perlu diperkuat untuk
meningkatkan daya saing.
E. Membangun industri BBO amoksisilin melibatkan banyak pelaku, sehingga
4
diperlukan kemitraan bisnis yang kuat antar pelaku industri untuk terbangunnya
rantai pasok industri yang efektif dan efisien. Pendekatan klaster industri yang
mengintegrasikan seluruh pelaku industri terkait industri BBO amoksisilin dapat
menjadi konsep dasar pengembangan industri BBO amoksisilin.
F. Kebijakan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus dapat menjadi insentif bagi
5
berdirinya kawasan industri BBO. Tersedianya kawasan industri khusus BBO
amoksisilin, menjadi peluang berdirinya industri BBO yang terintegrasi, efisien dan
berkelanjutan
G. Untuk membangun industri BBO secara menyeluruh diperlukan dukungan
6
(kesiapan) industri hulu, sehingga ketergantungan impor intermediate dan raw
material bisa diminimumkan. Oleh karena itu perlu mendorong tumbuhnya industri
kimia dasar (petrokimia) di tanah air. Integrasi vertikal antara industri hulu
(upstream) yakni industri kimia dasar (petrokimia), industri intermediate, industri
BBO serta industri hilirnya (downstream), yakni industri farmasi, tentu sangat
diharapkan dalam memperkuat industrialisasi BBO amoksisilin.
109
C. Regulasi
Dari kebijakan fiskal super deduction tax terdapat daya tarik pengurangan pajak
1
penghasilan bruto hingga 300% dan dari TKDN bila mencapai lebih dari 25%, akan
mendapat preferensi harga 25% untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Oleh karena itu perlu dibuat skenario/simulasi dengan memasukan pengaruh
insentif terutama kebijakan fiskal dan TKDN terhadap harga keekonomian.
Memberikan insentif fiskal untuk menarik investasi melalui tax allowance, tax
2
holiday maupun pengurangan bea masuk, serta mendorong industri melakukan
program vokasi dan inovasi melalui research and development (R&D) super
deduction tax yang diberikan bagi industri yang terlibat.
Agar produk BBO amoksisilin dalam negeri mampu bersaing dengan BBO impor,
3
maka perlu diimplementasikan kebijakan ‘non-tariff barrier’. Sebagai contoh:
kebijakan TKDN, Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) dan standarisasi mutu.
D. Komersialisasi
Produksi obat dalam negeri khususnya amoksisilin perlu ditingkatkan dengan
1 memprioritaskan penggunaan produk sediaan farmasi dalam negeri melalui e-
tendering dan e-purchasing berbasis e-catalogue.
Dalam perhitungan TKDN produk BBO amoksisilin, komponen bahan baku
2
memberikan kontribusi terbesar, yaitu 50%, karena itu pengembangan industri BBO
amoksisilin dalam negeri perlu menjadi prioritas nasional.
Saat ini pelaku industri Amoksisilin eksisting lebih banyak pada sektor hilir (industri
formulasi).
3H. Nilai TKDN produk obat amoksisilin saat ini sesuai sertifikat yang telah dikeluarkan
oleh Kementerian Perindustrian berkisar antara 30,50% - 35,91%. Jika dilakukan
optimalisasi pada proses produksi dan pengemasan serta penggunaan komponen
bahan baku dalam negeri maka nilai TKDN berpotensi meningkat menjadi sekitar
46% sehingga dapat ditetapkan sebagai produk wajib dalam pengadaan barang/
jasa oleh pemerintah.
I. Kepastian jaminan pasar bagi industri BBO amoksisilin dalam negeri perlu
4
diwujudkan agar skala ekonomis produksi dapat tercapai, yaitu dengan
memasukkan produk amoksisilin dalam negeri kedalam daftar obat JKN/BPJS.
110
110
111
Azhaar, D. H. 2018. Pabrik Natrium Hidroksida dari Garam NaCl dengan Proses Elektrolisis Sel
Membran .Disertasi. Surabaya : Institute Technologi Sepuluh Nopember.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 2016. Peluang Investasi Industri Bahan Baku Obat di
Indonesia.Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur Tahun Anggaran 2016. Jakarta. 25
hal.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 2021b. Realisasi Penanaman Modal PMDN-PMA:
Triwulan IV dan Januari-Desember Tahun 2020. Jakarta, 25 Januari 2021.35 hal.
Badan Koordinasi Penanaman Modal(BKPM). 2021a. Potensi Menjanjikan di Industri Farmasi dan
Kesehatan Indonesia. (Diakses melalui
https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/potensi-menjanjikan-di-industri-
farmasi-dan-kesehatan-indonesia pada tanggal 12 Juli 2021)
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2021. Data Industri Farmasi dan Sarana Khusus di
Indonesia yang Memiliki Sertifikat CPOB Terkini (Per 31 Maret 2021). Jakarta. 31 hal.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2021a. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Impor 2020 Jilid I.
Nomor Katalog : 8202027; Nomor Publikasi : 06100.2128; ISSN / ISBN : 2745-6757; Tanggal
Rilis : 2021-06-10; Ukuran File : 11.45 MB
Badan Pusat Statistik (BPS). 2021b. Produk Domestik Bruto Lapangan Usaha (Seri 2010).
Bloom DE, Canning D, Sevilla J. 2004. The effect of health on economic growth: a production function
approach. World Dev. 32: pp 1–13. doi: 10.1016/j.worlddev.2003.07.002
Bruggink, A., and Roy, P. D. 2001. Industrial synthesis of semisynthetic antibiotics. In Synthesis of β-
lactam antibiotics .Springer, Dordrecht. pp 12-54.
Christianingrum, R., dan Mujiburrahman. 2021. Dinamika Industri Farmasi: Setengah Dekade Pasca
Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional. Buletin APBN Vol. VI. Ed. 7.Jakarta. 16 hal.
Crueger W and Crueger A. 1985. Biotechnology: A Textbook of Industrial Microbiology. Sinauer
Associates Inc. Sunderland Vol16: No.1. 308 p.
Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristekdikti, Prioritas Riset Nasional
2020-2024 Fokus Riset Kesehatan
Dongche, Yenglis. 2021. Anggaran Riset Indonesia Terendah di ASEAN. 04 Mei 2021.
(https://infoanggaran.com/detail/anggaran-riset-indonesia-terendah-di-asean diakses
06 Juli 2021).
Elmatsani, HM. 2018. Pengantar Pengukuran Tingkat Kesiapterapan Teknologi. Direktorat Sistem
Riset dan Pengembangan Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan.
Ristekdikti.16 hal.
xv
Houbraken J., Frisvad JC., Seifert KA., Overy DP and Tuthill DM. 2012. New Penicillin-Producing
Penicillium Species and An Overview of Section Chrysogena. Persoonia. Vol 29: pp. 78–100.
https://kemenperin.go.id/artikel/19715/Genjot-Produksi-Metanol,-Pembangunan-
Kawasan-Industri-Teluk-Bintuni-Dipacu diakses 2 Juli 2021
Istiqomah, N Q A., dan Hayuningtias, D. 2019. Pra Rancangan Pabrik Fenol Dari Klorobenzene dan
NaOH Dengan Katalis Zeolit Kapasitas 35.000 Ton/ Tahun. Disertasi . Malang : Universitas
Islam Indonesia.
Kardos N. and Demain AL. 2011. Penicillin: The Medicine with The Greatest Impact on Therapeutic
Outcomes. Applied Microbiology and Biotechnology. Vol 92: pp. 677-687.
Kato, K., K Kawahara, T Takahashi and S Igarasi. 1980. Enzymatic Synthesis of Amoxicillin by the Cell-
Bound α-Amino Acid Ester Hydrolase of Xanthomonas citri. Agricultural and Biological
Chemistry, 44:4, pp 821-825.
Kementerian Perindustrian. 2018. Genjot Produksi Metanol, Pembangunan Kawasan Industri Teluk
Bintuni Dipacu. 14 September 2018.
Kementerian Perindustrian. 2019. Pohon Industri dan Bill of Materials.
https://kemenperin.go.id/pohon-industri
Kementerian Perindustrian. 2021a. Buku Analisis Pembangunan Industri - Edisi II 2021: Membangun
Kemandirian Industri Farmasi Nasional.
Kementerian Perindustrian. 2021b. Tiga Langkah Strategis Pacu Substitusi Impor 35 Persen Sektor
IKFT. Diakses melalui https://www.kemenperin.go.id/artikel/22515/Tiga-Langkah-
Strategis-Pacu-Substitusi-Impor-35-Persen-Sektor-IKFT pada tanggal 12 Juli 2021
Khayam, M. 2021. Strategi Kementerian Perindustrian Dalam Mendorong Pengembangan Industri
Bahan Baku Obat dan Pengembangan Obat Baru. Kuliah Tamu Fakultas Farmasi Militer
Universitas Pertahanan, 25 Februari 2021.
Laksmi, B.J. dan Rahayu, W.P. 1995. Penanganan Limbah Industri Pangan. Edisi Kedua. Kanisius.
Yogyakarta. ISBN 9794137693. p 173-176.
Mahsunah, AH., Agung E W., dan Tim BBO Antibiotik Balai Bioteknolog –BPPT. 2019. Menuju
Hilirisasi Produk Antibiotik. The 3rd Bioeconomic Innovations on Agroindustrial Technology
and Biotechnology 2019, Business Gathering 6 Februari 2019.
Martawardaya, B., dan Nugroho, A.S. 2020. Mendorong Investasi Asing Langsung di Sektor Farmasi.
INDEF Policy Brief Vol 1. No. 1/II/2020
Marwoto, Bambang. 2021. STKP BBO API – PTFM, BPPT. Disampaikan pada Focus Group Discussion
Kegiatan Kajian Penguatan Rantai Pasok dan Dampak Ekonomi Industri Bahan Baku Obat
(BBO), Tangerang Selatan 20 Mei 2021.
Öztürk, S and Topcu, E. 2014. Health Expenditures and Economic Growth: Evıdence from G8
Countries. International Journal of Economics and Empirical Research. 2: p 256-261.
Porter, ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Boston: Harvard Business School Press.
Priyambodo. 2021. Inisiatif Membangun Industri Bahan Baku Obat Amoksisilin. Policy Brief No. 09
Bidang Industri Proses dan Energi 2021.
Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi. 2021. Kajian Penguatan Rantai Pasok dan
Dampak Ekonomi Industri BBO. Laporan Akhir PIPE-BPPT 2021
xvi
Pusat Teknologi Bioindustri BPPT.2021. Optimasi Produksi dan Imobilisasi Penisilin G Asilase untuk
Mendukung Produksi BBO Amoksisilin. Proposal Riset 2021.
Pusat Teknologi Farmasi dan Medika -BPPT. 2016. Outlook Teknologi Kesehatan: Teknologi untuk
Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ,
Jakarta. 138 hal.
Raghupathi V and Raghupathi W. 2020. Healthcare Expenditure and Economic Performance:
Insights from the United States Data. Front. Public Health 8:156. doi:
10.3389/fpubh.2020.00156.
Republik Indonesia. 2015.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 142 Tahun 2015
tentang Kawasan Industri.
Republik Indonesia .2018. Peraturan Presiden 38 tahun 2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional
(RIRN) 2015-2045.
Republik Indonesia. 2019. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 188/PMK.04/2020 tentang
Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan Atas Impor Pengadaan
Vaksin Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Republik Indonesia. 2020. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2020 tentang
Pemberian fasilitas pengurangan penghasilan netto atas penanaman modal baru atau
perluasan usaha pada bidang tertentu yang merupakan industri padat karya.
Republik Indonesia. 2020. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 16 tahun
2020 tentang tata cara perhitungan TKDN Farmasi berbasis proses.
Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017
Tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi Dan Alat Kesehatan.
Republik Indonesia. 2019. Peraturan Menteri Keuangan nomor 128/PMK.010/2019 tentang
Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto Atas Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan dan/
atau Pembelajaran Dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Berbasis Kompetensi Tertentu.
Republik Indonesia. 2019. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK 04/2019 tentang
Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah Yang Ditujukan Untuk Kepentingan Umum.
Republik Indonesia. 2020. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2020 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam
Negeri Produk Farmasi.
Republik Indonesia.2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 87 Tahun 2013
Tentang Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat.
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Tentang
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035 (RIPIN).
Republik Indonesia. 2016. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pengembangan Industri Farmasi
Republik Indonesia. 2018. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Republik Indonesia.2019. Kepmenkes No. HK.01.07/MENKES/813/2019 terkait Formularium
Nasional (Fornas). Kementerian Kesehatan, Jakarta.
xvii
Republik Indonesia.2020. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 tentang
Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Republik Indonesia.2020. Peraturan Menteri Keuangan nomor 153/PMK.010/2020 tentang
Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto Atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan
Tertentu di Indonesia.
Republik Indonesia. 2020. Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.010/2020 tentang fasilitas
pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang bidang usaha tertentu dan atau
didaerah tertentu.
Republik Indonesia. 2021. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
Republik Indonesia. 2021. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus.
Riawati. 2021. Obat Antiinfeksi Antibakteri Amoksisilin Formulasi dan Penggunaan.
(https://www.alomedika.com/obat/antiinfeksi/antibakteri/amoksisilin/formulasi-dan-
penggunaan; diakses 22 Juli 2021).
Roy, Jiben.2012. An introduction to pharmaceutical sciences production, chemistry, techniques and
technology. Cambridge: Woodhead Pub. p. 239. ISBN 978-1-908818-04-1. Archived from
the original on 2017-09-08.
Santosa, dkk. 2021. Tantangan dan Peluang Industri Bahan Baku Obat Amoksisilin di Indonesia.
Policy Brief No. 08 Bidang Industri Proses dan Energi 2021.
Setiadi, dkk. Inisiatif Kebijakan dalam Hilirisasi Hasil Riset Bahan Baku Obat. Policy Brief No. 13
Bidang Industri Proses dan Energi 2021.
Siregar, Pamian.2020. Tantangan dan Peluang Industri Farmasi Menuju Kemandirian Bahan Baku
Obat (BBO). Webinar Unhan, 25 Februari 2020.
Suswanto, I. F.2020. Pra Rencana Pabrik Asam Fosfat Dari Batuan Fosfat dan Asam Sulfat Dengan
Proses Basah Kapasitas 70.000 Ton/ Tahun, Alat Utama. Disertasi. Malang : Institut
Teknologi Nasional Malang.
Thomas, VF.2020. Dikeluhkan Jokowi, Impor Bahan Baku Obat 2020 Capai USD 4,89 Miliar.
https://tirto.id/f6NU.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). 2020. Kajian Kebijakan Pengadaan
Obat Untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional 2014-2018, Tim Nasional Percepatan
Penanggukangan Kemiskinan, Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, Jakarta. 134
hal.
WHO. 2019. World Health Organization Model List of Essential Medicines, 21st List, 2019. Geneva:
World Health Organization. Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
Wibisana, A dan Gany H. 2014. Kajian Tekno Ekonomi Produksi 6-Aminopenicillanic Acid (6-APA).
Serpong: BPPT - Balai Pengkajian Bioteknologi.
Widiati. 2021. Upaya Peningkatan Kemampuan Riset Bahan Baku Obat Amoksisilin. Policy Brief No.
11 Bidang Industri Proses dan Energi 2021.
World Bank. 2020. Doing Business 2020: Comparing Business Regulation in 190 Economies. World
Bank Group.149 p.
xviii
Wulanndari, T. G., dan Ardiani, F. 2017. Pabrik Etilen Glikol dari Etilen dengan Proses Oksidasi
Langsung dengan Udara Dilanjutkan Hidrolisis Etilen Oksida . Tugas Akhir. Surabaya:
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
xix