Anda di halaman 1dari 26

PROPOSAL TESIS

PENGATURAN TERHADAP PENYIDIKAN YANG


MEMERLUKAN BANTUAN LABORATORIUM FORENSIK
UNTUK MEMERIKSA BARANG BUKTI ELEKTRONIK.
MATA KULIAH : METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
DOSEN : DR.SARWIRINI,S.H,M.S

OLEH :

INDAH CITRA FITRIANI


NIM : 092114853011

PROGRAM STUDI MAGISTER


KAJIAN ILMU KEPOLISIAN
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021

i
Daftar Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi


dan Transaksi Elektronik;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang perubahan


atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik;

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009


Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis
Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik
Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

ii
Daftar Isi

1. Latar Belakang ................................................................................ 1

2. Rumusan Permasalah....................................................................... 2

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................ 2

4. Kajian Pustaka.................................................................................. 6

4.1. Pembuktian............................................................................... 6

4.2. Pembuktian Dalam Perkara Pidana.......................................... 7

4.3. Barang Bukti Elektronik dan Barang Bukti Digital................. 16

4.4. Kedudukan Alat Bukti Elektronik............................................. 17

4.5. Kendala Dalam Pembuktian Alat Bukti Elektronik.................. 19

4.6. Forensik..................................................................................... 21

5. Metode Penelitian............................................................................ 22

5.1. Jenis Penelitian......................................................................... 22

5.2. Sifat Penelitian......................................................................... 22

5.3. Tipe Penelitian.......................................................................... 22

5.4. Sumber Bahan Hukum.............................................................. 23

5.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum........................................ 24

6. Sistematika Penulisan....................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA

iii
1. Latar Belakang Masalah

Laboratorium Forensik adalah laboratorium pengujian atau pemeriksaan

yang digunakan untuk membantu dalam pengungkapan suatu perkara tindak

pidana. Dalam tahap penyidikan, Laboratorium Forensik biasanya digunakan

untuk memeriksa barang bukti tertentu. Salah satu barang bukti yang sering sekali

dilakukan pemeriksaan di Laboratorium Forensik adalah barang bukti elektronik.

Pemeriksaan terhadap barang bukti elektronik di Laboratorium Forensik perlu

dilakukan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang ada di

dalam barang bukti elektronik dapat dianggap terjamin validitasnya. Hal ini sesuai

dengan inti dari bunyi Pasal 6 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu bahwa Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus dapat terjamin keutuhan,

keotentikan, dan ketersediaannya, atau dengan kata lain dapat dianggap terjamin

validitasnya.

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap barang bukti elektronik ini diatur

dalam Pasal 17 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

10 Tahun 2009 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan

Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik.

Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik

Indonesia, yang menyatakan bahwa pemeriksaan barang bukti perangkat

elektronik, telekomunikasi, komputer (bukti digital) dan penyebab proses

elektrostatis dilaksanakan di Laboratorium forensik Polri dan/atau di TKP.

4
5

Namun jika dilihat lagi di dalam Pasal tersebut masih terdapat

ketidakjelasan, yaitu tidak disebutkan barang bukti elektronik seperti apa yang

kiranya perlu dilakukan pemeriksaan di Laboratorium Forensik atau dengan kata

lain belum ada kriteria tertentu yang menentukan barang bukti elektronik seperti

apa yang perlu dilakukan pemeriksaan di Laboratorium Forensik.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin membuat penelitian dalam Tesis

dengan judul : PENGATURAN TERHADAP PENYIDIKAN YANG

MEMERLUKAN BANTUAN LABORATORIUM FORENSIK UNTUK

MEMERIKSA BARANG BUKTI ELEKTRONIK.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

Tesis ini dirumuskan sebagai berikut :

a) Bagaimana pengaturan terhadap penyidikan yang memerlukan bantuan

Laboratorium Forensik untuk memeriksa barang bukti elektronik ?

b) Apa akibat hukum jika barang bukti elektronik tidak dilakukan pemeriksaan di

Laboratorium Forensik ?

3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

a. Dalam penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan terhadap penyidikan yang memerlukan

bantuan Laboratorium Forensik untuk memeriksa barang bukti elektronik.

2. Untuk mengetahui akibat hukum apa yang terjadi jika barang bukti

elektronik tidak dilakukan pemeriksaan di Laboratorium Forensik.


6

b. Adapun manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritits :

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum

pada umumnya dan di bidang hukum acara pidana pada khususnya.

2. Manfaat Praktis :

a. Untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang

dinamis dan penerapan hukumnya

b. Untuk memberikan masukan pengetahuan kepada mahasiswa Kajian

Ilmu Kepolisian Universitas Airlangga

4. Kajian Pustaka

4.1. Pembuktian

Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian bukti adalah

sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, kebenarannya, saksi, tanda

hal yang menjadi tanda perbuatan jahat.1 Menurut Andi Hamzah, bukti merupakan

sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian dan dakwaan.2

Alat bukti dalam bahasa belanda disebut dengan bewijsmiddelen yang

berarti alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu

peristiwa hukum.3 Menurut Andi Hamzah, alat bukti ialah upaya pembuktian

melalui alai-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau

dalam perkara pidana dakwaan disidang pengadilan, misalnya keterangan

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai
Pustaka 2008), hal. 133.
2
Bastianto Nugroho, Peranan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana Dalam Putusan Hakim
Menurut KUHAP, Peranan Alat Bukti, Vol. 32 No. 1, 2017, hal. 25.
3
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian (Jakarta: Erlangga, 2012), hal 17.
7

terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan termasuk persangkaan

dan sumpah.4 Di dalam persidangan perkara pidana alat bukti biasanya digunakan

oleh jaksa untuk membuktikan bahwa benar terdakwa telah bersalah sesuai

dengan tuduhan yang didakwakan kepadanya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan perngertian alat bukti

jika dalam perkara pidana adalah suatu hal yang digunakan untuk pembuktian

guna menimbulkan keyakinan pada hakim bahwa terdakwa telah melakukan suatu

tindak pidana atau bisa juga dibilang bahwa alat bukti merupakan suatu hal yang

menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Adapun pengertian barang bukti adalah salah satu hal selain keterangan

saksi yang merupakan landasan hukum untuk dimulainya tindakan penyidikan.

Selain itu barang bukti biasanya juga digunakan sebagai pendukung alat bukti

yang sah yang dihadirkan di persidangan. Barang bukti tidak harus selalu ada

dalam perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang tidak memerlukan

barang bukti dalam proses pembuktiannya. Yang perlu diketahui tentang barang

bukti adalah sebuah barang bukti untuk dapat diketahui posisinya dalam perbuatan

pidana memerlukan penjelasan dari pihak lain yang statusnya sebagai alat bukti,

baik itu keterangan saksi, ataupun keterangan terdakwa.5

4.2. Pembuktian Dalam Perkara Pidana

Dalam perkara pidana, pembuktian merupakan upaya yang dilakukan

untuk menyatakan bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan untuk

menyatakan bahwa terdakwa telah bersalah, sehingga harus


4
Andi Hamzah, Kamus Hukum (Ghalia Indonesia 1986), hal. 253.
5
Monang Siahaan, Perbedaan Hakiki Alat Bukti Dengan Barang Bukti, Jurnal Surya
Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Vol. 3 No. 2, 2016, hal. 55.
8

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pembuktian dalam perkara pidana

berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata. Didalam hukum acara pidana

hakim bersifat aktif dan berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk

membuktikan dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa. Hal ini dilakukan

karena hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil yaitu

kebenaran yang sesungguhnya.

Tahap pembuktian merupakan tahap yang penting di dalam persidangan.

Pada tahap inilah yang nantinya akan ditemukan fakta-fakta atas suatu peristiwa

yang kemudian akan menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

putusan. Pembuktian dilakukan dengan mendatangkan alat-alat bukti yang telah

ditentukan oleh undang-undang. Dalam perkara pidana alat-alat bukti yang sah

diatur dalam Pasal 184 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana. Adapun yang menjadi alat-alat bukti sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 184 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana, adalah sebagai berikut:

a. Keterangan saksi

Jika dilihat dari Pasal 1 Butir 26 Undang-Undang Nomor 8 tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana, “saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri dan ia alami sendiri.” Sedangkan yang dimaksud dengan

keterangan saksi berdasarkan Pasal 1 Butir 27 Undang-Undang Nomor 8

tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana “keterangan saksi adalah salah
9

satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri

dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Sebuah alat bukti berupa keterangan saksi atau kesaksian akan

mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian jika pokok ketentuan yang

harus dipenuhi oleh seorang saksi terpenuhi. Artinya, agar sebuah

keterangan dari seorang saksi dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah

dan memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan

sebagai berikut: Pertama, harus mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini

diatur dalam Pasal 160 Ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana, sebelum saksi memberi keterangan, wajib

mengucapkan sumpah atau janji, adapun sumpah atau janji, dilakukan

menurut cara agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi

saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain

dari pada yang sebenarnya. Mengenai saksi yang menolak mengucapkan

sumpah atau janji, tanpa alasan yang sah: dapat dikenakan sandera,

penyanderaan dilakukan berdasar “penetapan” hakim ketua sidang,

penyandera dalam hal seperti ini paling lama empat belas hari.

Kedua, keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti. Tidak semua

keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti, keterangan

saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang

dijelaskan Pasal 1 butir 27 yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri,

dan saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
10

Dari penegasan bunyi Pasal 1 butir 27 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana dihubungkan dengan bunyi penjelasan

Pasal 185 Ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap keterangan saksi di

luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau

di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi,

keterangan yang diberikan diluar pendengaran, penglihatan, atau

pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak

dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti.6

Ketiga, keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan. Agar

keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang

dinyatakan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal

185 Ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana. Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang

didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai

suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila

keterangan itu saksi nyatakan di siding pengadilan.

Keempat, keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

Ketentuan Pasal 185 ayat 2 keterangan seorang saksi saja belum dapat

dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan

terdakwa, atau “unustestis nullus testis” ini berarti jika alat bukti yang

dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa

ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain,
6
Bastianto Nugroho, op.cit., Hal. 28.
11

“kesaksian tunggal” yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti

yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungannya

dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Kelima, keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Pasal 185

Ayat 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

menegaskan, keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu

kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dengan

syarat apabila keterangan saksi itu “ada hubungannya” satu dengan yang

lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian

atau keadaan tertentu.

b. Keterangan ahli

Berdasarkan Pasal 1 Butir 28 undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana, Keterangan ahli adalah keterangan yang

diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan. Jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti

yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut:

- Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan;

- Keterangan ahli yang diminta dan diberikan disidang.

Maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang

diperiksa menjadi terang demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang

bersangkutan.
12

c. Surat

Definisi dari surat dalam proses perdata juga berlaku bagi proses

pidana, definisinya adalah sebagai berikut:

“Surat-surat adalah semua benda yang berisi tanda-tanda baca yang dapat

dimengerti yang dipergunakan untuk mengemukakan isi pikiran”. Dengan

demikian, maka foto-foto dari benda-benda lain, denah-denah (plattegrond),

gambar-gambar keadaan (situatie tekening), bukanlah termasuk surat dalam

proses pidana, tetapi merupakan tanda bukti umpama surat-surat yang dicuri

atau dipalsukan.7

Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana tidak ditemukan pengertian dari surat, namun dalam Pasal 187

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

merumuskan syarat agar surat dapat dijadikan alat bukti yang sah di

persidangan. Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat 1 huruf c,

dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :

- Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat

keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang

dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang

keterangannya itu;

- Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang - undangan atau

surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata

7
Ali Imron dan Muhamad Iqbal, 2019. Hukum Pembuktian (Tanggerang Selatan:
UNPAM PRESS), hal. 80.
13

laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi

pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

- Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta

secara resmi dan padanya;

- Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari

alat pembuktian yang lain.

d. Petunjuk

Esensi alat bukti petunjuk ini diatur dalam ketentuan Pasal 188

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang

berbunyi sebagai berikut :

- Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian,

baik antara satu dan yang lain, maupun tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

- Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh

dari: keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa.

- Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan

berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa adalah keterangan yang disampaikan oleh

terdakwa di persidangan. Sebagai alat bukti, keterangan terdakwa tidak harus


14

berbentuk pengakuan. Keterangan terdakwa bisa berupa penyangkalan,

pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan.

Selanjutnya, terhadap keterangan terdakwa telah diatur oleh Pasal 189

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang

berbunyi sebagai berikut:

- Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

- Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk

membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung

oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan

padanya.

- Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

- Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti lain.

Dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana menyatakan sebagai berikut: “hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang‐kurangnya dua alat

bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar‐benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Atas dasar

ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana ini, maka dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembuktian

seorang hakim sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa harus terlebih


15

dahulu memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa berdasarkan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Yahya Harahap, dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP memberikan pengertian secara umum tentang pembuktian dalam perkara

pidana, yaitu merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dan juga merupakan ketentuan yang

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh

dipergunakan oleh hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan.8

Tahap pembuktian merupakan tahap yang mempunyai peranan penting

di persidangan. Di tahap pembuktian inilah yang akan menentukan bagaimana

nasib terdakwa kedepannya. Apabila hasil dari pembuktian dengan

menggunakan alat- alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak

cukup atau tidak dapat membuktikan bahwa benar terdakwa telah bersalah,

maka terdakwa akan dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya jika dengan alat-

alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dapat membuktikan bahwa

terdakwa benar telah melakukan kesalahan sesuai yang didakwakan

kepadanya, maka terdakwa akan dinyatakan bersalah dan akan dijatuhi

hukuman oleh hakim.

8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jilid II
(Pustaka Kartini 1993), hal. 793.
16

4.3. Barang Bukti Elektronik dan Barang Bukti Digital

Barang bukti elektronik memuat semua perangkat digital yang sifatnya

fisik dan dapat dikenali secara visual. Contoh dari barang bukti elektronik adalah

komputer, laptop/notebook, flashdisk, harddisk, telepon genggam, CCTV, kamera

digital, kamera video, dan semacamnya. Sedangkan barang bukti digital adalah

konten yang terdapat dalam barang bukti elektronik. Barang bukti digital ini

dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

dikenal dengan istilah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

Barang bukti digital (Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik) juga

biasa disebut sebagai alat bukti elektronik.

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi,

alat bukti pun mengalami perkembangan dengan munculnya alat bukti berupa

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, yang dikenal dengan istilah

alat bukti elektronik. Berdasarkan Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Informasi Elektronik yang dimaksud

dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,

teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau

perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang

yang mampu memahaminya.


17

Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah

Berdasarkan Pasal 1 Butir 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan

Transaksi Elektronik yang dimaksud Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi

Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam

bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat

dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto

atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang

memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik merupakan dua hal

yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Informasi Elektronik ialah

data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik

ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita

berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau

musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan

Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.

4.4. Kedudukan Alat Bukti Elektronik

Berdasarkan infromasi yang didapat oleh peneliti selama penelitian,

kedudukan alat bukti elektronik terbagi menjadi dua pandangan, yaitu:

- Pandangan pertama, adalah bahwa alat bukti elektronik merupakan

pengkategorian dari bukti yang sudah ada, atau dengan kata lain alat bukti

elektronik tidak berdiri sendiri. Hal ini terlihat dalam Undang-Undang


18

Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan, di undang-undang

tersebut alat bukti elektronik dikategorikan sebagai perluasan dari alat

bukti surat sebagaimana dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Karena mengingat dokumen

elektronik merupakan bagian dari dokumen perusahaan dan dokumen

perusahaan yang dimaksud merupakan bagian dari alat bukti surat.9

Kemudian di dalam Pasal 26A huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa alat

bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah yang berupa

petunjuk.

- Pandangan kedua, menyatakan bahwa alat bukti elektronik merupakan alat

bukti yang berdiri sendiri. Menurut Anugrah untuk menentukan

kedudukan alat bukti elektronik harus ditelaah lebih jauh substansi atau isi

dari alat bukti elektronik tersebut. 10 Berdasarkan substansi dari bukti

elektronik tersebut itulah yang nantinya bukti elektronik bisa

dikategorikan sebagai perluasan alat bukti surat atau alat bukti petunjuk.

Menurut Nur Laili Isma dan Arima Koyimatun dalam jurnalnya yang

berjudul: Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi Elektronik Pada

Dokumen Elektronik Serta Hasil Cetaknya Dalam Pembuktian Tindak

Pidana, berpendapat bahwa alat bukti elektronik itu memiliki sifat yang

9
Nur Laili Isma dan Arima Koyimatun, Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi
Elektronik Pada Dokumen Elektronik Serta Hasil Cetaknya Dalam Pembuktian Tindak Pidana,
Jurnal Penelitian Hukum,Vol. 1 No. 2, 2014, hal. 111.
10
Ibid., hal. 112
19

berbeda dengan alat bukti yang telah ada dalam Pasal 184 KUHAP

terutama jika melihat alat bukti Informasi Elektronik dan Dokumen

Elektronik sebagai perluasan dari alat bukti surat dan petunjuk.11 Hal ini

karena surat yang dimaksud dalam KUHAP hanya surat secara

konvensional, sedangkan dokumen elektronik tidak hanya terbatas pada

surat pada bentuk tulisan saja. Tapi juga suara, gambar, peta, rancangan,

foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau

perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang

yang mampu memahaminya.12 Selanjutnya alasan mengapa alat bukti

elektronik tidak bisa dijadikan sebagai perluasan sumber perolehan alat

bukti petunjuk adalah karena mengingat untuk keberadaan alat bukti

petunjuk itu digunakan pada setelah menghadirkan alat bukti lain. Padahal

alat bukti elektronik untuk beberapa kasus pidana bisa menjadi alat bukti

utama dalam pembuktian, terutama jika berkaitan dengan kejahatan dunia

maya atau cybercrime.13

4.5. Kendala Dalam Pembuktian Alat Bukti Elektronik

Dalam proses perkara pidana, pembuktian merupakan salah satu tahapan

yang memiliki peranan penting di persidangan, karena dari pembuktianlah yang

nantinya akan ditentukan apakah terdakwa benar bersalah atau tidak. Dalam

pembuktian, ada yang disebut dengan batas minimal pembuktian. Batas minimal

pembuktian berfungsi agar alat bukti tersebut memiliki nilai pembuktian untuk

mendukung kebenaran. Penilaian batas minimal pembuktian tidak ditentukan dari


11
Ibid
12
Ibid.
13
Ibid.
20

jumlah banyaknya alat bukti yang ada, tetapi dari kualitas alat bukti tersebut yaitu

yang telah memenuhi syarat formil dan materil dari suatu alat bukti.14

Permasalahan terjadi ketika pihak yang ingin menjadikan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dituntut untuk

memenuhi syarat materilnya, syarat materilnya adalah Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya,

dan ketersediaanya. Agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dapat terjamin ketersediaan, keutuhan, dan keotentikannya, hanya bisa dilakukan

oleh ahli forensik.

Alat bukti elektronik mempunyai kelemahan dari segi pembuktian.

Misalnya sebuah bukti elektronik berupa surat elektronik, karena surat elektronik

yang bersifat virtual, surat elektronik sangat rentan untuk diubah, dipalsukan atau

bahkan dibuat oleh orang yang sebenarnya bukanlah para pihak yang berwenang

membuatnya tetapi bersikap seolah-olah sebagai para pihak yang berwenang. 15

Hal-hal seperti ini sering membuat Informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik yang dijadikan alat bukti diragukan validitasnya. Karena sifat

alamiahnya bukti elektronik sangat tidak konsisten, maka bukti elektronik tidak

dapat langsung dijadikan alat bukti untuk proses persidangan sehingga dibutuhkan

standar agar bukti elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan

yaitu:

14
Theo Alif Wahyu Sabubu, Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Positif Indonesia Dan Hukum Islam, [Tesis Program Studi Ahwal
Al-Syakhshiyah], Yogyakarta, Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2018,
hal. 48
15
Dewi Asimah, Menjawab Kendala Pembuktian Dalam Penerapan Alat Bukti
Elektronik, Jurnal Hukum Peratun , Vol. 3 No.2, 2020, hal. 105.
21

1. Dapat diterima yaitu data harus mampu diterima dan digunakan demi

hukum mulai dari kepentingan penyelidikan sampai dengan kepentingan

pengadilan;

2. Asli, yaitu bukti tersebut harus berhubungan dengan kejadian/kasus yang

terjadi dan bukan rekayasa;

3. Lengkap, yaitu bukti dapat dikatakan bagus dan lengkap jika di dalamnya

terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu investigasi;

4. Dapat dipercaya, yaitu bukti dapat mengatakan hal yang terjadi di

belakangnya, jika bukti tersebut dapat dipercaya, maka proses investigasi

akan lebih mudah dan syarat ini merupakan suatu keharusan.16

4.6. Forensik

Forensik adalah bidang ilmu pengetahuan yang menggunakan proses

penerapan ilmu atau sains untuk membantu proses penegakan keadilan. Dalam

kelompok ilmu-ilmu forensik ini dikenal antara lain ilmu kimia forensik, ilmu

fisika forensik, ilmu psikologi forensik, ilmu toksikologi forensik, ilmu

kedokteran forensik, ilmu psikiatri forensik, komputer forensik, dan sebagainya.

Adapun orang yang menekuni bidang ilmu forensik dan menerapkannya dalam

dunia pekerjaan disebut sebagai seorang ahli forensik. Ilmu forensik berperan

penting untuk membuat suatu perkara menjadi jelas yaitu dengan cara berusaha

mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya tentang

suatu tindak pidana yang telah tejadi. Peranan ilmu forensik dalam usaha untuk

memecahkan kasus-kasus kriminalitas adalah sangat besar, hal ini dapat dilihat

dari berbagai kasus yang ada, dimana ilmu forensik dipakai untuk menentukan
16
Ibid., 102
22

keaslian suatu tulisan ataupun dokumen, lalu penggunaan ilmu forensik untuk

mengindentifikasi korban kejahatan ataupun bencana, dan yang paling utama

adalah penggunaan ilmu forensik untuk mengetahui tersangka dari suatu tindak

kejahatan.17

5. Metode penelitian

5.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif dimana

penelitian ini menekankan pada pengkajian dan penelusuran bahan hukum

sebagai akibat dari adanya kekaburan maupun kekosongan hukum terhadap

Hukum Acara Pidana.

5.2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian penulisan Tesis ini adalah sifat penelitian deskriptif analitis,

adapun definisi dari deskriptif analitis menurut Sugiono yaitu mendeTesiskan

atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel

yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan

membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

5.3. Tipe Penelitian

Tipe penelitian dalam penulisan Tesis ini adalah kekaburan norma dalam

Pasal 17 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10

Tahun 2009 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan

Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik

Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik


17
Distty Rosa Permanasari Harry Tanto, Fungsi Dan Peran Laboratorium Forensik
Dalam Mengungkap Sebab-Sebab Kematian korban Tindak Pidana Pembunuhan, Semarang,
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2011, hal. 40
23

Indonesia mengenai pengaturan terhadap penyidikan yang memerlukan

bantuan Laboratorium Forensik untuk memeriksa barang bukti elektronik.

5.4. Sumber Bahan Hukum

Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data

sekunder yang diperoleh dari sumber kepustakaan, antara lain:

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang berasal dari peraturan

perundang-undangan. Peraturan perundangan tersebut meliputi:

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016

Tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik;

- Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10

Tahun 2009 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan

Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan

Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium

Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Bahan hukum Sekunder adalah yaitu semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi atas

buku-buku literatur atau bacaan yang menjelaskan mengenai barang

bukti, alat bukti, alat bukti elektronik, barang bukti elektronik dan

Laboratorium Forensik.
24

c. Bahan Hukum Tersier antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan

Jurnal Hukum.

5.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini dipergunakan metode penelusuran bahan yang

diambil dari hasil studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Bahan-bahan

hukum ini diperoleh dengan studi kepustakaan yang didapat dari

Perpustakaan Universitas Airlangga, dan Website di internet.

6. Sistematika Penulisan

Penulisan Tesis ini akan terdiri dari 4 (empat) bab yang masing-masing

bab terdiri atas beberapa sub-sub bab yang berhubungan satu sama yang lainnya

sehingga membentuk suatu uraian yang sistematis dalam satu kesatuan sebagai

berikut :

- Di dalam Bab I tentang pendahuluan, merupakan bab yang berisikan tentang

latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian serta sistematika penulisan.

- Di dalam Bab II merupakan bab yang berisikan bagaimana pengaturan

terhadap penyidikan yang memerlukan bantuan Laboratorium Forensik

untuk memeriksa barang bukti elektronik

- Bab III membahas mengenai apa akibat hukum jika barang bukti elektronik

tidak melalui pemeriksaan di Laboratorium Forensik.

- Di dalam Bab IV merupakan bab terakhir yang berisikan beberapa

kesimpulan dan saran tehadap pokok permasalahan.


25
DAFTAR PUSTAKA

Ali Imron dan Muhamad Iqbal, 2019. Hukum Pembuktian (Tanggerang Selatan:
UNPAM PRESS)
Andi Hamzah, Kamus Hukum (Ghalia Indonesia 1986)
Bastianto Nugroho, Peranan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana Dalam Putusan
Hakim Menurut KUHAP, Peranan Alat Bukti, Vol. 32 No. 1, 2017
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai
Pustaka 2008
Dewi Asimah, Menjawab Kendala Pembuktian Dalam Penerapan Alat Bukti
Elektronik, Jurnal Hukum Peratun , Vol. 3 No.2, 2020
Distty Rosa Permanasari Harry Tanto, Fungsi Dan Peran Laboratorium Forensik
Dalam Mengungkap Sebab-Sebab Kematian korban Tindak Pidana
Pembunuhan, Semarang, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang,
2011
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian (Jakarta: Erlangga, 2012)
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jilid II
(Pustaka Kartini 1993)
Monang Siahaan, Perbedaan Hakiki Alat Bukti Dengan Barang Bukti, Jurnal
Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Vol. 3
No. 2, 2016
Nur Laili Isma dan Arima Koyimatun, Kekuatan Pembuktian Alat Bukti
Informasi Elektronik Pada Dokumen Elektronik Serta Hasil Cetaknya
Dalam Pembuktian Tindak Pidana, Jurnal Penelitian Hukum,Vol. 1 No.
2, 2014
Theo Alif Wahyu Sabubu, Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Positif Indonesia Dan Hukum Islam, [Tesis
Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah], Yogyakarta, Fakultas Ilmu
Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2018

Anda mungkin juga menyukai