Anda di halaman 1dari 5

UAS

Nama : Annisa Amelia


NIM : 11910120462
Mata kuliah : Studi Qur’an III
Jurusan/Semester : PAI (Al-Qur’an Hadits) / IV(Empat)

Jawaban
1. Adapun pengertian tafsir, takwil dan terjemah menurut beberap ahli:1
Pengertian tafsir
 Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keduanya,
kisahnya dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafaz yang
menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali.
 Menurut Husein Adz-Dzahabi, tafsir itu ialah mengungkap makna-makna
yang masih sulit.
Pengertian takwil

 Menurut Al-Jurjani, takwil ialah memalingkan lafadz dari makna yang


dzahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang mu’yamil tidak
berlawanan dengan Al-Qur’an dan As-sunnah.
 Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Musthafa, sesungguhnya takwil
itu ialah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafadz yang bersifat
probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat
dari makna yang ditujukan oleh lafadz dzahir.
Pengertian terjemah

 Menurut al-Zarqoni, terjemah adalah mentransformasikan dari bahasa


yang satu ke bahasa yang lain.
 Menurut Adz-Dzahabi, terjemah di bagi menjadi dua
1. Terjemah harfiah, yaitu secara huruf atau secara teks atau susunan
kalimat bahasa aslinya. Tapi dalam Al-qur’an itu sangat sulit bahkan
mustahil menerjemahkannya dengan harfiyah, karena susunan Al-
Qur’an itu berbeda dengan susunan bahasa Indonesia
2. Terjemah maknawiyah/tafsiriyah, dalam hal ini berbeda dengan
harfiyah. Terjemah maknawiyah atau tafsiriyah ini yang sering kita
temukan di kitab atau Al-Qur’an terjemah, dan tentu dalam hal ini
walaupun tafsiriyah atau maknawiyah artinya tidak jauh dari susunan
kalimat aslinya.

1
Zainuddin dan Moh. Ridwan , Tafsir, Takwil dan Terjemah , JURNAL Studi Al-Qr’an dan
Tafsir: Al-Allam Journal, 1, 1 desember 2020.
 Jadi berdasarkan beberapa defenisi yang telah di ungkapkan oleh beberapa
para ahli dan pakar studi Qur’an dan tafsir tersebut. Dapat saya jelaskan
kembali bahwa terjemah adalah mentransformasikan dari bahasa yang satu
ke bahasa yang lain, dalam hal ini dari bahasa arab ke bahasa Indonesia,
karena apa? Bahasa Indonesia adalah bahasa kita. Kemudian tafsir, dalam
kitab lisanul ‘arob tafsir itu berasal dari kata al-fasru yang artinya bayan
atau menjelaskan. Tadi telah dijelaskan Menurut Husein Adz-Dzahabi,
tafsir itu ialah mengungkap makna-makna yang masih sulit. Nah dalam
tafsir ini sejauh mana kemampuan penafsir maka sejauh itu pula makna
yang dapat diungkap atau diselami. Karena tafsir itu adalah mengungkap
maknanya, maksudnya atau dari segi lainnya. Kemudian yang terakhir
adalah Ta’wil, takwil itu berasal dari kata aul yang artinya kembali
kepada asalnya. Takwil itu sama-sama menjelaskan.
 Adapun hubungan antara tafsit, takwil dan terjemah ialah seperti yang
terdapat pada surah al-‘Anbiya ayat 95 “Dia mengeluarkan yang hidup
dari yang mati”. Apabila yang di maksudkan di situ adalah mengeluarkan
burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi apabila yang dimaksudkan
disitu adalah mengeluarkan orang yang berilmu dar orang yang bodoh,
maka itulah takwil. Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwah takwil lebih
dalam dari tafsir,dan tafsir itu berdasarkan kepada makna dzahir lafadz
harfiah ayat-ayat Al-Qur’an.
 Adapun kegunaan dari tafsir, takwil dan tarjemah :
Kegunaan tafsir adalah sebagai alat atau sarana untuk memahami al-
Qur’an. Kemudian kegunaan takwil adalah untuk menerangkan makna
ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudian kegunaan terjemah ialah mengalihkan
atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya
dengan menerangkan maksud yang terkandung dalam bahasa yang di
fahami.
 Perbedaan:
Tafsir: menjelaskan makna yang kadang-kadang dengan panjang lebar,
lengkap dengan penjelasan hukum dan hikmah yang dapat diambil dari
ayat itu dan seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan ayat
tersebut.
Takwil: mengalihkan lafadz ayat al-aqur’an dari arti yang lahir dan rajah
kepada arti lain yang samar dan marjuh
Terjemah: hanya mengubah kata-kata dari bahasa arab kedalam bahasa
lain tanpa memberikan penjelasan arti kandungan secara panjang lebar dan
tidak menyimpulkan dari isi kandungan.

2. Sesungguhnya ramai ulama yang berpendapat bahwa I’ijazal-Qur’an pada


abad ke-20 ialah I’jaz ‘ilminya. Ini karena banyak ayat-ayat yang mengandung
hakikat ilmiah yang tidak diperhitungkan atau tidak di sadari oleh golongan
terdahulu, dan tidak jelas maknanya melainkan selepas keputusan ilmiah
dihasilkan. Maka dari sini bermula usaha untuk menggali ayat-ayat Al-Qur’an
dengan pendekatan tafsir ‘ilmi (santifik). Namun menurut Yusuf al-Qardawi,
hakikat I’ijaz ‘ilmi dalam al-aqur’an hanyalah kemuljizatan secara retoris,
Dimana tidka ada pertentangan ayat al-aqur’an yang telah turun 14 abad lalu,
dengan berbagai penemuan sains kontemporer, bahkan sebagian telah pula
dinyatakan al-Qur’an secara global.
Menurut Husain al-Dhahabi, yang di maksud dengan tafis ‘ilmi adalah corak
penafsiran yang menggunakan nomenklatur ilmiah dalam menafsirkan Al-
Qur’an, sambil mengusahakan untuk menguatkan ilmu pengetahuan modern
baru darinya.2

Ada berbagai pandangan para pakar tentang tafsir ilmiah ini. Ada yang
menolak da nada pula yang mendukung nya. Adapun yang menolaknya yaitu
salah satunya M. Husein al-Dhahabi, beliau menolak penafsiran dengan
pendekatan ilmiah karena penafsiran semacam itu keluar dari maksud dan
menyimpang dari tujuan al-Qur’an. al-qur’an tidak diturunkna sebagai sumber
berbagai ilmu, kedokteran, astronomi, matematika, kimia, memanggil arwah
dll. Namun sebagai buku petunjuk bagi manusia yang mengeluarkannya dari
kegelapan menuju alam terang benderang. Kemudian yang mendukung
adanya tafsir ilmiah ini adalah salah satunya Muhammad ‘Abduh. Ia
berpandangan bahwa al-Qur’an memuat hakikat imiah (permasalahan alam,
secara empiris maupun rasional). Jika diamati maka seluruh pendukung tafsir
saintifik selalu menggunakan tendensi bahwa al-qur’an merupakan kitab yang
memuat segala hal didunia tanpa ada yang terlewat satupun, sesuai dengan
firman Allah bahwa kitab suci al-qur’an memuat segala hal tanpa terkecuali.
Problematika medical, kosmologi, astronomi, bahkan biologi dan fisika
sejatinya telah terungkap dengan rapi dalam lipatan-lipatan mushaf tersebut.

Adapun argumentasi bahwa penafsiran al-Qur’an dapat dilakukan dengan


pendekatan ilmiah yaitu seperti dalam kitab tafsirnya Tantawi
(ulama dan mufasir yang tertarik dengan keajaiban alam dan temuan ilmiah),
pada proses turunnya hujan dalam QS(24):43, menurut tantawi di awali
dengan Allah menggerakkan awan hingga terbentuk gumpalan tebal
disebabkan dorongan angina QS(25):48, QS(15):22, kedua ayat ini merupakan
keajaiban dan rumus bagi ilmu pengetahuan. Bukti kekuasaan Allah dengan
mengirim angina dan menurunkan hujan agar bumi yang gersang menjadi
hidup kembali. Kemudian tiupan angin berfungsi untuk penyerbukan
tumbuh0-tumbuhan. Kata penyerbukan merupakan salah satu petunjuk dari
pemahaman terhadap al-Qur’an. Ilmu tentang penyerbukan sangat penting
dalam ilmu botani karena jumlah daun yang terdapat pada bunga jantan dan
betina merupakan hasil dari proses ilmu ini.3
Boleh jadi Tantawi dan pendukung tafsir saintifik punya niat baik untuk
membuktikan kebenaran al-qur’an dan membangkitkan semangat kaum
muslimin ditengah stagnasi dan kemunduran. Namun metode yang ditempuh
kurang tepat karena ada rambu-rambu yang mengikat sebuah penafsiran, baik
2
Armainingsih, STUDI TAFSIR SAINTIFIK: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya
Syeikh Tantawi Jauhari , JURNAL At-Tibyan, 1, 1 januari 2016.

3
ibid
dari sisi bahasa maupun kaidah penafsiran. Cukup kiranya dengan
mengatakan bahwa di dalam alQur’an tidak ada sastupun nas yang berlawanan
dengan teori dan kaidah keilmuan yang ada dan akan ditemukan, selama teori
dan kaidah itu dilandasi oleh prinsip kebenaran bersumber pada realitas yang
benar pula.

3. Al-Qur’an mrupakan sebuah kitab yang sifatnya universal yakni shalih likulli
zaman wa makan. Sebagian Al-Qur’an tidak diturunkan secara tiba-tiba begitu
saja, melainkan sebagian ayat Al-Qur’an turun dikarenakn sebagai jawaban
atas suatu permasalahan yang sedang terjadi. Oleh karena itu, pengetahuan
terhadap asbabun nuzul sangat di perlukan sekali dalam menafsirkan Al-
Qur’an. Kemudian jika kita melihat dan membaca sekilas terhadap Al-Qur’an,
maka akan tampak tidak konsistennya Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan pada
satu sisi ayat Al-Qur’an menyatakan ayat yang berkaitan dengan suatu hal,
kemudian ayat selanjutnya ternyata menyatakan hal berbeda. Hal inilah yang
pernah dilontarkan oleh para orientalis bahwa Al-Qur’an itu tidak konsisten.
Akan tetapi hal ini kemudian ditolak dan di sanggah oleh para mufassir. Para
mufassir mengatakan bahwa tidak mungkin antara ayat satu dengan ayat yang
lain dalam Al-Qur’an tidak berkaitan dan saling berhubungan. Kemudian
lahirlah karya-karya serta pendekatan tafsir yang sekarang yang memfokuskan
perhatiannya pada munasabah antar ayat dengan ayat. Kemudian mengapa
terjadi perbedaan penafsiran al-Qur’an yang menimbulkan berbagai corak
tafsir ? karena memang corak penafsiran al-Qur’an tidak terlepas dari
perbedaan, kecenderungan, inters, motivasi mufassir, perbedaan misi yang di
emban dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta
perbedaan situasi dan kondisi dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan
berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-
macam dengan metode yang berbeda-beda. Dan semua itu terkandung kondisi
bahwa umat islam pada kenyataannya selalu tidak puas dengan salah satu
tafsir saja, sehingga berkembang berbagai macama metode dan corak dalam
tafsir Al-Qur’an4. Di sisi lain ilmu yang berkembang di tubuh umat islam
selama periode abad pertengahanyang bersentuhan langsung dengan ke
islaman adalah ilmu fiqih, kalam, tasawuf, bahasa, sastra dan filsafat. Karena
banyaknya orang yang berminat besar dalam studi setiap disiplin ilmu itu yang
menggunakan basis pengetahuannya sebagai kerangka dalam memahami al-
Qur’an maka muncullah berbagai perbedaan corak tafsir dalam Al-Qur’an.
Jadi dalam menafsirkan Al-Qur’an, ada sangat banyak factor yang
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kesimpulan yang diperoleh penafsir
dengan penafsir lainnya. Misalnya, factor kesubjektifan penafsir yang tidak
bisa dilepaskan ketika mengkaji Al-Qur’an, metode dan pendekatan yang
banyak dan berbeda-beda, bahkan perbedaan penafsiran dapat terjadi
disebabkan oleh Al-Qur’an itu sendir, hal ini misalnya tidak diketahui dengan
jelas sebuah kata atau kalimat bersifat muhkam atau mutasyabih, atau sebuah
kata bersifat khusus atau umum, dan lain sebagainya.
4
Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir ( Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau
Corak Mufassirin) , JURNAL Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008..
Kemudian sikap untuk mengahadapi realitas tersebut adalah kita tidak bisa,
bahkan dilarang untuk menghalangi dan membatasi penafsiran yang muncul,
apalagi menganggap penafsiran kita sebagai penafsiran yang benar dan yang
lain salah, karena menganggap penafsiran yang lain salah adalah sebuah
kesalahan untuk kita. Karena itu semestinya ketika terjadi perbedaan
penafsiran, dan setiap hasil penafsiran kita senantiasa diakhiri dengan ucapan
Wa Allahu A’lam bi ash-Showab. Lebih jauh, sikap terbuka, saling
menghormati dan tentunya sikap toleransi harus terus diterapkan dalam setiap
sudut perbedaan itu.

4. Menurut saya tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab ini di kategorikan


kepada ragam metode tematik. Karena alasan yang di kemukakan menurut
Quraish Shihab bahwa penafsir yang menggunakan atau menerapkan metode
tematik mengundang Al-Qur’an untuk berbicara langsung menyangkut
problem yang dihadapi oleh masyarakat. Melalui judul yang ditetapkan,
sipenafsir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam
benaknya dan seperti mempersilahkan Al-Qur’an berbicara. M. Quraish
Shihab mengatakan bahwa metode tematik mempunyai dua pengertian,
pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-qur’an dengan
menjelaskan tujuan secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam
surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga tema tersebut, sehingga satu
surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-
ayat al-Qur’an yang di bahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau
surat al-Qur’an sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,
kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna
menarik petunjuk ayat al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang di bahas
itu. Kemudian merujuk kepada karya tafsir al misbah ini karya tafsir al-Qur’an
terbesar pada periode kontemporer, di lihat dari kondisi ini kebutuhan umat
pada zaman modern, metode maudhu’I atau tematik mempunyai peran yang
sangat besar dalam penyelesaian suatu tema dengan mendasarkan ayat-ayat al-
Qur’an. Dengan demikian metode maudhu’I mampu menghantarkan ummat
atau pembaca tafsir ke suatu maksud dan hakikat atau persoalan dengan cara
yang paling mudah, sebab tanpa harus bersusah payah dan memnuhi kesulitan
dalam memahami tafsir. Menurut Quraish Shihab bahwa tidak ada metode
tafsir yang terbaik sebab masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri,
kekurangan, kelebihan serta tergantung kebutuhan mufassir. Kalau kita ingin
menuntaskan topic maka jawabannya ada pada metode tafsir maudhu’I,
namun bila kita ingin menerapkan kandungan suatu ayat dalam berbagai
segimya maka jawabannya ada pada metode tahlili.5

5
Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir ( Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau
Corak Mufassirin) , JURNAL Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008..

Anda mungkin juga menyukai