Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERBANDINGAN PEMERINTAHAN DAERAH

OTONOMI KHUSUS DI PEMERINTAHAN NANGGROE ACEH


DARUSSALAM DAN OTONOMI DAERAH DI PEMERINTAHAN
KOTA SURABAYA

Dosen Pengampu:
1. Dr. Andi Tenri Sompa, S. IP, M. Si
2. Prof. Dr. H. Budi Suryadi, S. Sos., M. Si.
3. Arif Rahman Hakim, S. Sos., M.IP.

Disusun oleh:
Enni Novisa (1910413220044)

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
saya panjatkan puja dan puji syukur ke hadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, serta inayah-Nya kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Otonomi Khusus di Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam
dan Otonomi Daerah di Pemerintahan Kota Surabaya tepat pada waktunya.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak dan literatur. Maka dari itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah ikut berperan serta dan membantu dalam pembuatan
makalah ini.
Selain itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya bisa memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang Otonomi Khusus di
Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam dan Otonomi Daerah di Pemerintahan Kota
Surabaya ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi kepada pembaca.

Banjarmasin, 27 Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I ............................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan................................................................................................ 3
BAB II .............................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 4
A. Otonomi Daerah ................................................................................................. 4
B. Pengertian Otonomi Khusus .............................................................................. 4
C. Implementasi Otonomi Khusus oleh Pemerintah Provinsi Nanggro Aceh
Darussalam ................................................................................................................... 5
D. Implementasi Otonomi Daerah oleh Pemerintah Kota Surabaya ...................... 9
BAB III .......................................................................................................................... 11
PENUTUP ..................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam tatanan kehidupan bernegara, penyelenggaraan pemerintah daerah
sebagai subsistem pemerintah pusat dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas
dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan pada masyarakat.
Sebagaimana ketentuan yang telah diatur pada penjelasan pasal 17 ayat 3 dalam
Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 83 ayat 2
berikut penjelasannya dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Per-
imbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, jumlah
kumulatif defisit anggaran tidak diperkenankan melebihi 3% dari Produk Domestik
Regional Bruto tahun bersangkutan. Sesuai ketentuan Undang-undang otonomi
daerah, kewenangan daerah adalah memiliki tanggung jawab menyelenggarakan
berbagai pelayanan kepada masyarakat dengan prinsip keterbukaan, partisipasi dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Prinsip dasar otonomi tersebut didasarkan atas pertimbangan daerahlah yang
lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya.
Hal ini tentunya sesuai dengan konsep otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peundang-undangan (UU
No .32 Tahun 2004. Pasal 1: 5). Atas dasar pertimbangan inilah maka pemberian
otonomi diharapkan akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat di daerah masing-masing.
Dalam pelaksanaan pembangunan daerah sebagai subsistem pemerintah
Indonesia selama ini, pembiayaan pembangunan bagi kebanyakan daerah masih
sangat mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari
pemerintah pusat. Hal ini terlihat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), dimana sekitar dua pertiga dari total pengeluaran pemerintah daerah dibiayai
dari bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat (Shah dkk. 1997). Rendahnya
kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang sah selama ini,

1
selain disebabkan oleh faktor sumber daya manusia dan kelembagaan juga disebabkan
oleh batasan hukum (Mardiasmo, 2000:2).
Pemberlakuan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 (revisi Undang- undang
Nomor 33 tahun 2004) yang mengalokasikan sebagian jenis-jenis pajak yang gemuk
bagi pemerintah pusat, merupakan salah satu penyebab keterbatasan kemampuan
daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaan- nya. Kondisi semacam ini, jelas
tidak akan mampu mendukung pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana yang
diharapkan. Penyelenggaraan otonomi perlu diimbangi dengan kemampuan untuk
menggali dan kebebasan untuk mengalokasikan sumber-sumber pem- biayaan
pembangunan sesuai dengan prioritas dan preferensi daerah masing- masing.
Menyadari akan hal ini dan dalam upaya untuk mengakomodisikan
berbagai tuntutan dan aspirasi yang berkembang di daerah selama ini pemerintah telah
mens yahkan Undang- undang nomor 22 dan 25 tahun 1999 (revisi Undang-undang
Nomor 33 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Pemberlakuan kedua Undang- undang ini akan membawa banyak
perubahan dalam tata pemerintahan dan tata hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah.
Bagi daerah, pemberlakuan kedua Undang-undang ini khususnya Undang-
undang nomor 25 tahun 1999 (revisi Undang-undang Nomor 33 tahun 2004) telah
semakin membuka peluang dan harapan untuk memperoleh sumber- sumber
pembiayaan pembangunan yang lebih adil dan proporsional. Di samping itu,
pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan diharap- kan akan
menjadi lebih sederhana dan cepat karena dilakukan oleh pemerintah yang dekat
dengan rakyatnya (Sidik, 2002 :1).
Dampak implementasi undang- undang ini terhadap satu daerah dengan
daerah lainnya akan berbeda-beda, tergantung pada sumber-sumber penerimaan
(khususnya dari sumber penerimaan bagi hasil) yang dimiliki oleh masing-masing
daerah. Dengan demikian pengimplementasian undang- undang ini, disamping akan
memacu pembangunan di daerah juga mem- punyai potensi untuk mendorong
munculnya disparitas antar daerah. Namun demikian keberadaannya pada akhirnya
memberikan perubahan kearah yang lebih baik khususnya pada sektor penerimaan
keuangan daerah.

2
Dalam pasal 4 PP No. 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertaggung-
jawaban keuangan daerah ditegaskan pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan
secara tertib, taat kepada peraturan perundang- undangan yang berlaku, efisien,
efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan
kepatutan. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan yang
dituangkan dalam APBD yang langsung mapun tidak langsung mencerminkan
kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat wajib menyampaikan
laporan pertanggung- jawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah
daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Salah satu alat untuk
menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengola keuangan daerahnya adalah
dengan analisis rasio keuagan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan di-
laksanakannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkanlah beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Otonomi Daerah secara Luas dan Otonomi Khusus?
2. Bagaimana Implementasi Otonomi Khusus oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam?
3. Bagaimana Implementasi Otonomi Daerah oleh Pemerintah Kota Surabaya?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari Otonomi Daerah secara Luas dan Otonomi
Khusus.
2. Untuk mengetahui Implementasi Otonomi Khusus oleh Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Untuk mengetahui Implementasi Otonomi Daerah oleh Pemerintah Kota
Surabaya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah menurut UU No 23 pasal 1 ayat 6 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Bab I ketentuan umum adalah hak, wewenang, dan kewajiban
Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daerah Otonom dalam definisi tersebut merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya ke
Pendapatan Asli Daeraha Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat.
Tujuan Otonomi Daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa tujuan Otonomi Daerah
ialah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah, dengan
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya
saing daerah.

B. Pengertian Otonomi Khusus


Dalam peraturan perundang-Undangan, eksistensi otonomi khusus dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia, diundangkannya dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh jo Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Pola penyelesaian melalui perwujudan pendekatan kesejahteraan (welfare
approach), serta pendekatan hukum (law approach) yang berkeadilan dan harmonis,
melalui rekonsiliasi yang panjang dan mengikat, pada gilirannya mampu menyepakati
otonomi khusus. Model otonomi khusus, di tengah keberlangsungan otonomi daerah
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, sempat menjadi perdebatan yang sangat serius dari banyak
kalangan. Namun demikian, dalam perjalanan waktu pelaksanaan otonomi khusus
tersebut, perdebatan yang menolak dan menerima otonomi khusus tidak terjadi lagi.

4
Dalam artian, otonomi khusus yang oleh beberapa pakar disebut sebagai
“desentralisasi asmetrik” diterima secara meluas di kalangan masyarakat Indonesia.

C. Implementasi Otonomi Khusus oleh Pemerintah Provinsi Nanggro Aceh


Darussalam
Urusan Pemerintah Aceh adalah pelayanan administrasi umum pemerintahan
lintas kabupaten/kota sedang yang menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota adalah
pelayanan administrasi umum pemerintahan kabupaten yang bersangkutan saja. Pasal
16 dan Pasal 17 UUPA menetukan bahwa Urusan wajib lainnya yang menjadi
kewenangan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/Kota merupakan pelaksanaan
keistimewaan Aceh antara lain:
1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam
bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat
beragama;
2. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan
lokal sesuai dengan syari’at Islam; dan
4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh.
Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak jelas mana yang bisa dilakukan oleh
provinsi dan mana yang bisa dilakukan oleh kabupaten/kota dan dari mana sumber
pembiayaannya, apa menjadi beban APBA atau APBK. Oleh karena itu, pembagian
urusan pemerintahan antara Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota perlu dilakukan
secara rinci, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan tarik menarik kewenangan.
Adanya tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Aceh dan
kabupaten/kota yang mengakibatkan timbulnya persepsi yang berbeda, sehingga
mengakibatkan pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana diatur dalam UUPA
berjalan lamban.
Berdasarkan hal tersebut, seharusnya perlu diperjelas secara rinci pembagian
kewenangan antar pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/Kota,
baik kewenangan mengenai tugas dan tanggung jawab maupun mengenai penggalian
sumber dana dan pembiayaan pembangunan yang didukung oleh semangat
desentralisasi dan otonomi daerah, serta mendorong kerjasama antar pemerintah

5
kabupaten/kota termasuk peran pemerintah provinsi dalam mengkoordinir
pelaksanaan pembangunan yang dana bersumber dari dana otonomi khusus dan bagi
Minyak dan Gas.
Menata kelembagaan pemerintah daerah agar lebih proporsional berdasarkan
kebutuhan nyata daerah, ramping, hierarki yang pendek, fleksibel dan adaptif, diisi
banyak jabatan fungsional, sehingga mampu memberikan pelayanan masyarakat
dengan lebih baik dan efisien, serta hubungan kerja antar tingkat pemerintahan,
masyarakat, dan lembaga non pemerintah secara optimal sesuai dengan peran dan
fungsinya, menyiapkan ketersediaan aparatur pemerintah daerah yang berkualitas
secara proporsional di seluruh daerah kabupaten/kota, menata keseimbangan antara
jumlah aparatur pemerintah daerah dengan beban kerja di setiap lembaga satuan kerja
perangkat daerah, serta meningkatkan kualitas aparatur pemerintah daerah melalui
pengelolaan sumber daya manusia di daerah berdasarkan standar kompetensi.
Meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah, termasuk pengelolaan
keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan
profesionalisme, sehingga tersedia sumber dana dan pembiayaan yang memadai bagi
kegiatan pelayanan masyarakat dan pelaksanaan urusan pemerintahan serta
percepatan pembangunan daerah tertinggal, karena selama ini daerah Aceh sudah jauh
tertinggal pembangunannya, baik pembangunan fisik maupun pembangunan sumber
daya manusia, ketertinggalan ini disebabkan oleh konflik yang berkepanjangan dan
juga dampak dari bencana tsunami.
Selain itu, berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 11 Tahun
2006, beberapa peraturan pelaksana masih banyak yang belum diselesaikan dan perlu
segera diatur, diantaranya, peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres)
dan Qanun Aceh maupun Qanun Kabupaten.
Pasal 213 dan Pasal 214 UUPA menentukan bahwa Pemerintah Aceh,
Pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan,
pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah, baik hak guna
bangunan maupun hak guna usaha. Permasalahan di sini adalah, dalam memberikan
Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU), berapa hektar tanah yang
merupakan kewenangan Pemerintah Aceh untuk mengatur dan memperuntukkan
HGB dan HGU tersebut, dan berapa hektar pula yang merupakan kewenangan yang

6
boleh diatur dan diperuntukkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Untuk memperjelas
kewenangan yang merupakan urusan Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota sebaiknya
perlu diberi batasan secara jelas dan rinci, Pemerintah Aceh diberikan kewenangan
untuk mengurus, memperuntukkan, memberi pemanfaatan serta memberi izin
penggunaan tanah seluas seribu hektar. Sedangkan di bawah seribu hektar merupakan
kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Aceh adalah memberikan
pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi
atas usulan kabupaten/kota, sedangkan yang menjadi urusan pemerintahan
kabupaten/kota adalah memberikan pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan
pembatalan surat Keputusan izin lokasi dengan pertimbangan kepala Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 253 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 disebutkan dan
kantor pertanahan kabupaten/kota menjadi perangkat Daerah Aceh dan perangkat
daerah kabupaten/kota paling lambat awal tahun Anggaran 2008. Namun hingga saat
ini, Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tentang pengalihan Kantor wilayah
BPN belum ada, dan Kanwil Badan Pertanahan Nasional ini masih tunduk di bawah
pemerintah pusat, dalam hal ini BPN Pusat. Apabila Perpres ini tidak segera
dikeluarkan dikhawatirkan hal-hal lain yang segera dilakukan menjadi tertunda juga.
Dalam hal ini, seharusnya Pemerintah Aceh harus pro aktif utnuk berkomukasi serta
mengingatkan Pemerintah Pusat, agar peraturan presiden tersebut segera
ditindaklanjuti, dengan perkataan lain Pemerintah Aceh jangan hanya menunggu bola
akan tetapi harus menjemput bola.

1. Pelaksanaan Syariat Islam Dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus


Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Aceh didasarkan kepada Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV tahun 1999, UU No. 44 tahun 1999;
dan UU No. 11 tahun 2006. Muatan dalam ketiga peraturan perundang-undangan
tersebut mencerminkan otonomi khusus bagi Provinsi Aceh, di antaranya
kewenangan untuk melaksanakan Syari’at Islam. Apa yang diusulkan oleh para
tokoh masyarakat Aceh, sebagaimana tercermin dalam Rancangan UU tentang
Pemerintahan adalah otonomi di bidang hukum.

7
Dalam kaitan ini Pasal 128 Ayat (1) UUPA menyebutkan: “Peradilan
syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam
lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang
bebas dari pengaruh pihak mana pun”. Hal ini sesuai dengan otonomi itu sendiri
yaitu kekuasaan yang dipencarkan Pemerintah kepada daerah adalah urusan
pemerintahan bukan urusan kenegaraan, sehingga pelaksanaan Syari’at Islam di
Provinsi Aceh, tetap sebagai sub sistem hukum nasional.
Dari penelaahan tentang hubungan pelaksanaan Syari’at Islam dengan
sistem hukum nasional diperoleh gambaran bahwa dasar pelaksanan Syari’at
Islam di Provinsi Aceh, merujuk kepada UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 11
tahun 2006. Berdasarkan rujukan di atas ditetapkan Qanun oleh Pemerintah Aceh
dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Masukan substansi Syari’at Islam
sebagai bahan pembuatan Qanun (perda) berasal dari Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU),23 sebagai badan normatif yang memiliki kedudukan sejajar
dengan Pemerintah Aceh dan DPRA.
Adapun tugas MPU adalah memberikan masukan, pertimbangan,
bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam mengeluarkan kebijakan daerah
dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintah Aceh maupun kepada
masyarakat. Masukan pertimbangan dan saran-saran ini yang ditujukan kepada
kebijakan atau pembentukan Qanun mengikat, agar kebijakan yang dikeluarkan
tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Syariat Islam.
Pasal 127 Ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2006 menentukan bahwa
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam. Selanjutnya Pasal 128 Ayat (3)
menyebutkan Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al- syakhsiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at Islam. Ketentuan tersebut merupakan suatu ketentuan
yang sangat luar biasa yang bersifat khusus 23 MPU ini dibentuk berdasarkan
Perda No. 3 Tahun 2000, untuk memberi peran Ulama dalam menetapkan
kebijakan daerah sesuai dengan UU No. 44 Tahun 1999 jo. UU No. 11 Tahun
2006.

8
Kewenangan pembentukan Mahkamah Syar’iyah tidak biasa terjadi pada
desentralisasi bidang peradilan dalam suatu negara yang berbentuk negara
kesatuan. Pelimpahan kewenangan demikian biasanya terjadi pada negara- negara
yang berbentuk federal. Misalnya, di negara Inggris (United Kingdom) dan
Belanda sebagai negara yang berbentuk kesatuan dengan sistem desentralisasi
yang luas, urusan badan peradilan tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat.
Namun berbeda halnya dengan yang berlaku di RRC, sebagai negara yang secara
tegas dinyatakan dalam Konstitusinya, negara menganut prinsip the people’s
democratic dictatorschip, dan lembaga-lembaga pemerintahan di RRC
menggunakan prinsip democratic centralism, tetapi dalam sistem RRC adanya
ketentuan tentang desentralisasi di bidang peradilan, khususnya pelimpahan
kewenangan pengangkatan hakim di daerah kepada Pemerintah Daerah.
Seandainya sedikit menoleh kebelakang, sebelum dikeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan
Mahkamah Syarí’yah Provinsi Aceh, terdapat dua pandangan tentang
pembentukan Mahkamah Syar’iyah ini. Pertama, Mahkamah Syar’iyah
merupakan badan peradilan tersendiri di luar Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama. Kedua, Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan dari
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang mengacu kepada UU No.
7 tahun 1989, Tentang Pengadilan Agama.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan (3) Keppres No. 11 tahun 2003
menyebutkan bahwa Pengadilan Agama yang telah ada di Provinsi Aceh diubah
menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh diubah
menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi.

D. Implementasi Otonomi Daerah oleh Pemerintah Kota Surabaya


Sepintas tampak peranan pembangunan ekonomi Kota Surabaya di tengah-
tengah kawasan Gerbang- kertosusila maupun lebih luas lagi yaitu lingkup Provinsi
Jawa Timur demikian dominan. Hal ini terlihat dari proporsi sumbangan PDRB Kota
Surabaya terhadap Satuan Wilayah Pembangunan I maupun secara total terhadap
Jawa Timur.

9
Terhadap perekonomian Jawa Timur sumbangan PDRB Kota Surabaya
adalah sebesar 21,86% pada tahun 1993 berturut-turut mengalami kenaikan hingga
tahun 1997 masing- masing sebesar 22,47%; 22,95%; 23,39%; dan 23,53%.
Selanjutnya mulai tahun 1998 sumbangan tersebut mengalami penurunan yang cukup
drastis sehingga mencapai kontraksi sebesar 18.01%. Tentunya dapat dimengerti pada
saat itu perekonomian regional maupun nasional sedang dilanda krisis ekonomi.
Namun demikian pada tahun berikutnya, yaitu tahun 1999 perlahan-lahan per-
ekonomian bangkit dan pada tahun tersebut sumbangan PDRB Kota Surabaya
meningkat hingga mencapai 21,83%.
Terhadap kawasan SWP I maka sumbangan PDRB Kota Surabaya adalah
sebesar 53,04% pada tahun 1993 berturut-turut mengalami kenaikan pada tahun
selanjutnya 1994 hingga 1997 masing-masing sebesar 53,58% hingga 54,68%.
Dengan kata lain lebih dari separuh pusat aktivitas ekonomi di kawasan
Gerbangkertosusila bertumpu pada Kota Surabaya.
Adapun sumbangan SWP I atau Gerbangkertosusila sendiri terhadap
pembentukan PDRB Provinsi Jawa Timur pada periode tersebut bergerak pada
kisaran 40% hingga 43%, kecuali pada tahun 1998 dimana pada saat kondisi makro
ekonomi regional maupun nasional terpuruk pada kondisi resesi ekonomi.
Distribusi PDRB atau pemerataan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa
Timur masih belum merata. Hal ini tampak dari angka-angka tersebut dominasi sektor
perekonomian pada sembilan Satuan Wilayah Pembangunan di Jawa Timur hampir
separuh disumbang oleh SWP I atau kota-kota di kawasan Gerbangkertosusila. Dapat
dikatakan terdapat beberapa sektor penentu yang peranannya cukup besar dalam
membentuk PDRB Kota Surabaya. Sektor-sektor inilah yang nantinya perlu
mendapatkan perhatian dari instansi atau pihak terkait agar dalam aktivitasnya
mendapat iklim yang kondusif sehingga akan semakin mampu memberikan
sumbangannya bagi perekonomian Kota Surabaya.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Muatan dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut mencerminkan
otonomi khusus bagi Provinsi Aceh, di antaranya kewenangan untuk melaksanakan
Syari’at Islam. Apa yang diusulkan oleh para tokoh masyarakat Aceh, sebagaimana
tercermin dalam Rancangan UU tentang Pemerintahan adalah otonomi di bidang
hukum. Hal ini sesuai dengan otonomi itu sendiri yaitu kekuasaan yang dipencarkan
Pemerintah kepada daerah adalah urusan pemerintahan bukan urusan kenegaraan,
sehingga pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Aceh, tetap sebagai sub sistem
hukum nasional. Berdasarkan rujukan di atas ditetapkan Qanun oleh Pemerintah Aceh
dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Masukan substansi Syari’at Islam sebagai bahan pembuatan Qanun berasal
dari Majelis Permusyawaratan Ulama, sebagai badan normatif yang memiliki
kedudukan sejajar dengan Pemerintah Aceh dan DPRA. Adapun tugas MPU adalah
memberikan masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam
mengeluarkan kebijakan daerah dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintah
Aceh maupun kepada masyarakat. Masukan pertimbangan dan saran-saran ini yang
ditujukan kepada kebijakan atau pembentukan Qanun mengikat, agar kebijakan yang
dikeluarkan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Syariat Islam. Selanjutnya Pasal
128 Ayat menyebutkan Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al- syakhsiyah ,
muamalah , dan jinayah yang didasarkan atas syari’at Islam.
Ketentuan tersebut merupakan suatu ketentuan yang sangat luar biasa yang
bersifat khusus 23 MPU ini dibentuk berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2000, untuk
memberi peran Ulama dalam menetapkan kebijakan daerah sesuai dengan UU No.
Kewenangan pembentukan Mahkamah Syar’iyah tidak biasa terjadi pada
desentralisasi bidang peradilan dalam suatu negara yang berbentuk negara kesatuan.
Pelimpahan kewenangan demikian biasanya terjadi pada negara- negara yang
berbentuk federal.

11
Misalnya, di negara Inggris dan Belanda sebagai negara yang berbentuk
kesatuan dengan sistem desentralisasi yang luas, urusan badan peradilan tetap
menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Namun berbeda halnya dengan yang berlaku
di RRC, sebagai negara yang secara tegas dinyatakan dalam Konstitusinya, negara
menganut prinsip the people’s democratic dictatorschip, dan lembaga-lembaga
pemerintahan di RRC menggunakan prinsip democratic centralism, tetapi dalam
sistem RRC adanya ketentuan tentang desentralisasi di bidang peradilan, khususnya
pelimpahan kewenangan pengangkatan hakim di daerah kepada Pemerintah Daerah.
Kedua, Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama yang mengacu kepada UU No. 11 tahun 2003
menyebutkan bahwa Pengadilan Agama yang telah ada di Provinsi Aceh diubah
menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh diubah
menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi.
Selanjutnya mulai tahun 1998 sumbangan tersebut mengalami penurunan
yang cukup drastis sehingga mencapai kontraksi sebesar 18.01%. Dapat dikatakan
terdapat beberapa sektor penentu yang peranannya cukup besar dalam membentuk
PDRB Kota Surabaya. Sektor-sektor inilah yang nantinya perlu mendapatkan
perhatian dari instansi atau pihak terkait agar dalam aktivitasnya mendapat iklim yang
kondusif sehingga akan semakin mampu memberikan sumbangannya bagi
perekonomian Kota Surabaya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. UPP AMP YKPN,
Yogyakarta.
Helfert, Erich. 2000. Teknik Analisa Keuangan. Jakarta: Erlangga.
Djunasien dan Hidayat. 1989. Ekonomi Indonesia: Masalah dan Prospek 1989/1990.
Jakarta: Universitas Indonesia
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andin
Mangkoesoebroto, Guritno. 1998. Ekonomi Publik. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE.
Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Suparmoko. 1999. Keuangan Negara Dalam Teori Dan Praktek, Edisi Kelima.
Yogjakarta: BPFE.
Suparmoko. 2003. Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE
Slamet Munawir. 1995. Analisa Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberty.
Simanjutak Robert. 2001. Berbagai Isu Penerimaan Daerah di Era Desentralisasi.
Jakarta: Yayasan Indonesia Forum Kerjasama dengan fakultas Ekonomi UI.
Yuliati. 2001. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam menghadapai Otonomi
Daerah, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.

13

Anda mungkin juga menyukai