Anda di halaman 1dari 24

Tugas Paper Mata Kuliah Farmakologi Oleh ULFA NURHABIBAH (21 06 9)

Tugas Paper Mata Kuliah


Farmakologi
Dosen Penghimpun : Muh. Nur. S.Farm, Apt, M.Farm

Judul Paper :
Farmakokinetik

OLEH

Ulfa NurHabibah
NIM : 21 06 9

PROGRAM STUDI D3 AKADEMI KEPERAWATAN


JUSTITIA PALU TAHUN AJARAN 2021/2022

1
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat
mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang
sangat luas cakupannya. Namun untuk tenaga medis, ilmu ini dibatasi
tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan,
diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu agar mengerti bahwa
penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit.
Farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia
dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja,
absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat.
Seiring berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut telah
berkembang menjadi ilmu tersendiri (Setiawati dkk,1995)

Cabang farmakologi diantaranya farmakognosi ialah cabang ilmu


farmakologi yang memepelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang
merupakan sumber obat, farmasi ialah ilmu yang mempelajari cara
membuat, memformulasikan, menyimpan, dan menyediakan obat.
farmakologi klinik ialah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat
pada manusia. farmakoterapi cabang ilmu yang berhubungan dengan
penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit, toksikologi
ialah ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia, termasuk obat, zat yang
digunakan dalam rumah tangga, pestisida dan lain-lain serta
farmakokinetik ialah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam
tubuh yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya dan
farmakodinamik yang mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan
biokimia berbagai oran tubuh serta mekanisme kerjanya.

2
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui apa itu farmakokinetik dan
farmakodinamik dalam cabang farmakologi.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui mekanisme farmakokinetik dan farmakodinamik
 

obat dalam tubuh manusia.

3
II. PEMBAHASAN

A. Farmakokinetik
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian
umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di
tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi, obat di ekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini di
sebut farmakokinetik. Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar
(barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel
ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antar sel, kecuali
pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam proses
farmakokinetik ialah transport lintas membran.
Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase
hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik di antaranya.
Molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau
menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul-molekul
protein ini membentuk kanal hidrofilik untuk transport air dan molekul
kecil lainnya yang larut dalam air. Cara-cara transport obat lintas membran
yang terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif; yang terakhir
melibatkan komponen-komponen membran sel dan membutuhkan energi.
Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport ialah bentuk dan
ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat
Umumnya absorbsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif.
Mula-mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran
sel, kemudian molekul obat akan melintasi membran dengan melarut
dalam lemak membran. Pada proses ini obat bergerak dari sisi yang
kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf mantap (steady state) di
capai, kadar obat bentu non-ion di kedua sisi membran akan sama.
Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atu basa
lemah. Dalam larutan, elektrolit lemah ini akan terionisasi, derajat ionisasi
ini tergantung dari pka obat dan PH larutan. Untuk obat asam, pka rendah
berarti relatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pka tinggi yang relatif kuat.

4
Bentuk non-ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah
berdifusi melintasi membran. Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi
membran karena sukar larut dalam lemak. Pada taraf mantap, kadar obat
bentuk non-ion saja yang sama di kedua sisi membran, sedangkan kadar
obat bentuk ionnya tergantung dari perbedaan ph di kedua sisi membran.
Membran sel merupakan membran semipermeabel,artinya hanya
dapat dirembesi air dan molekul-molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir
melalui kanal hidrofilik pada membran akibat perbedaan tekanan
hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama aliran air akan terbawa zat-
zat terlarut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100-200
misalnya urea, etanol, dan antipirin. Meskipun berat atomnya kecil, ion
anorganik ukurannya membesar karena mengikat air sehingga tidak dapat
melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah ditemukan kanal selektif
untuk ion-ion natrium, kalium, kalsium.
Transport obal melintasi endotel kapiler terutama melalui celah-
celah antar sel, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Celah antar sel
endotel kapiler demikian besarnya sehingga dapat meloloskan semua
molekul yang berat molekul nya kurang dari 69000 (BM albumen), yaitu
semua obat bebas, termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk ion
sekalipun. Proses ini berperan dalam absrofsi obat seltelah pemberian
parenteral dan dalam filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal.
Pinositosis ialah cara transport dengan membentuk vesikal, misalnya
untuk makro molekul seperti protein. Jumlah obat yang di angkut dengan
cara ini sangat sedikit.
Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan
tubuli ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang di peroleh dari aktivitas
membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar
atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara konpetitif, transport
aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat
mengalami kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport
aktif zat-zat endogen, dan transport aktif suatu obat dapat pula di
pengaruhi obat lain.

5
Difusi terfasilitasi (facilitated diffucion) ialah suatu proses
transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor pembawa ( carrier)
yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan energi
sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik.
Proses ini, yang juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang
transport nya secara difusi biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya
glukosa kedalam sel perifel.
Farmakokinetik secara singkat ialah mengamati jenis-jenis proses
seperti absorbsi, distribusi,diotransformasi (metabolisme) dan ekskresi.

B. Absorpsi dan Bioavailabilitas


Kedua istilah tersebut tidak sam artinya. Absorpsi yang Merupakan
proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan
dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan di nyatakan dalam persen dari
jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah
bioavailabitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap
dosis, yang mencapai sirkulasi sitemik dalam bentuk utuh/ aktif. Ini terjadi
karena, untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang di absorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan di
metabolisme oleh ezim di dinding usus pada pemberian oral dan atau di
hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme
ini di sebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass
metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian
mempunyai biovailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi
oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavalibilitas
menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus sistemik.
Eliminasi lintas pertama ini dapat di hindari atau dikurangi dengan cara
pemberian parenteral ( misalnya lidokain ), sublingual ( misalnya
nitrogliserin ), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
1. Bioekuivalensi

6
Ekuivalensi kimia merupakan kesataraan melalui obat dalam
sediaan belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan
jaringan yaitu yang di sebut ekuivalensi biologik atau bioekuivalensi. Dua
sediaan obat yang berekivalensi kimia tetapi tidak berekivalensi biologik
dikatakan memperlihatkan bioinekuivalensi. Ini terutama terjadi pada
obat-obat yang absorpsi nya lambat karena sukar larut dalam cairan
saluran cerna, misalnya di goksin dan difenilhidantoin, dan pada obat yang
mengalami metabolisme selama absorpsi nya, misalnya eritromisin dan
levodopa. Perbedaan bioavailabilitas sampai dengan 10% umumnya tidak
menimbulkan perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya
memperkihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat
menimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk obat-obat yang indeks
terapinya sempit, misalnya di goksin, difenilhidantoin, teofilin.
2. Pemberian Obat Per Oral
Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum
dilakukann karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya ialah banyak
faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Obat dapat meniritasi
saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita tidak bisa
dilakukan bila pasien koma. Absorpsi obat melalui saluran cerna pada
umumnya terjadi secra difusi pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila
obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat
di usus halus selalu jauh lebih cepat di bandingkan di lambung karena
permukaan epitel usus halus jauh lebih luas di bandingka dengan epitel
lambung. Selain itu, epitel lambung tertutup lapisan mukus yang tebal
dan mempunyai tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan
kecepatan pengosongan klambung biasanya akan meningkatkan
kecepatan absorpsi obat, dan sebaliknya. Akan tetapi, perubahan dalam
kecepatan pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna boiasanya
tidak mempengaruhi kjumlah obat yang di absorpsi atau yang mencapai
sirkyulasi sistemik, kecuali pada tiga hal berikut ini.(1) obat yang
absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan usus (misalnya
digoksin,difenilhidantoin, prednison) memerlukan waktu transit dalam

7
saluran cerna yang cukup panjang untuk absorpsinya. (2) sediaan salut
enterik atau sediaan lepas lambat yang absorpsinya biasanya kurang baik
atau inkonsisten akibat perbedaan pelepasan obat di lingkungan berbeda,
memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk meninggatkan
jumlah yang di serap. (3) pada obat-obat yang mengalami metabolisme di
saluran cerna, misalnya penisilin G dan eritromisin oleh asam lambung,
levodopa dan klorpromazin oleh enzim dalam dinding saluran cerna,
pengosongan lambung dan transit gastrointestinal yang lambat akan
mengutrangi jumlah obat yang di serap untuk mencapai sirkulasi
sistemik. Untuk obat yang waktu paruh eliminasinya pendek misalnya
prokainamid, perlambatan absorpsi akan menyebabkan kadar terapi tidak
dapat di capai, meskipun jumlah absorpsinya tidak berkuran.
Absorpsi secara transport aktif terjadi terutama di usus halus untuk
zat-zat makanan: glukosa dan gula lain, asam amino, basa purin dan
pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga terjadi untuk
obat-obat yang strukut kimianya mirip struktur zat makanan tersebut,
misalnya levodopa, metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-fluorourasil.

Kecepatan absorpsi obat bentuk padat di tentukan oleh kecepatan


disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang
berbeda dapat berbeda pula bioavailabilitasnya. Adakalanya sengaja di
buat sediaan yang waktu disolusinya lebih lama untuk memperpanjang
masa absorpsi sehingga obat dapat diberikan dengan interval lebih lama.
Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (sustainet-release). Obat yang
dirusal oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritas lambung
sengaja di buat tidak terdisintegrasi di lambung yaitu sebagai sediaan
salut enterik (enteric coated).
3. Pemberian Secara Suntikan
Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah : (1)
efeknya timbul lebih cepat dan teratur di bandingkan dengan pemberian
per oral; (2) dapat di berikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak
sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam keadaan darurat.

8
Kerugiannya ialah di butuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, ada
bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita,
dan tidak ekonomis.
1.      Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar
obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan
langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya
dapat di berikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relatif
tidak sensitif dan bila di suntikan perlahan-lahan, obat segera di
encerkan oleh darah. Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi
karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan.
2.      Suntikan subkutan (SK) hanya boleh di gunakan untuk obat yang tidak
menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat
dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk
suspensi di serap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan.
Pencampuran obat dengan vasokontriktor juga akan memperlambat
absorpsi obat tersebut. Obat dalam bentuk padat yang di tanamkan di
bawah kulit dapat di absorpsin selama beberapa minggu atau beberapa
bulan.
3.      suntikan intramuskular (IM), kelarutan obat , dalam air menentukan
kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air
pada PH pisiologik misalnya digoksin, fenitoin dan diazepam akan
mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat,
tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air di serap
cukup cepat, tergantung dari aliran darah di tempat suntikan. Absorpsi
lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus
maksimus. Obat-obat dalam larutan minyak atau dalam bentuk
suspensi akan di absorpsi dengan sangat lambat dan konstan (suntikan
depot), misalnya penisilin. Obat yang terlalu iritatif untuk di suntikan
secara SK kadang-kadang dapat di berikan secara IM.
4.      Suntikan intratekal, yakni suntikan langsung ke dalam ruang
subaraknoid spinal atau pengobatan infeksi SSP yang akut. Suntikan

9
intratekal tidak dilakukan pada karena bahaya infeksi dan adesi terlalu
besar.
4. Pemberian Melalui Paru-Paru
Cara inhalasi ini hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau
cairan yang mudah menguap misalnya anestetik umum, dan untuk obat lain
yang dapat di berikan dalam bentuk aerosal. Absorpsi terjadi melalui epitel
paru dan mukosa saluran nafas. Keuntungannya, absorpsi terjadi secara cepat
karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas pertama di
hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat
diberikan lansung pada bronkus. Sayangnya pada cara pemberian ini
diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit di kerjakan, sukar
mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.

5. Pemberian Topikal
Pemberian topikal pada kulit.tidak banyak obat yang dapat
menembus kulit utih. Jumlah obat yang di serap bergantung pada luas
permukaan kulit yang terpajan serta kelarutan obat dalam lemak karena
epidermis bertindak sebagai sawar lemak. Demis permeabel terhadap
banyak zat sehingga absorpsi terjadi jauh lebih mudah bila kulit berkelupas
atau terbakar. Beberapa zat kimia yang sangat larut lemak, misalnya
inteksida organofosfat, dapat menimbulkan efek toksit akibat absorpsi
melalui kulit ini. Inflamasi dan keadaan lain yang meningkatkan aliran
darah kulit juga akan memacu absorpsi melalui kulit. Absorpsi dapat di
tinggkatkan dengan membuat suspensi obat dalam minyak dan
menggosokkannya ke kulit, atau dengan menggunakan penutup di atas kulit
yang terpajan. Obat yang banyak digunakan untuk penyakit kulit sebagai
salep kulit ialah antibiotik, kortikostoroid, antihistamin, dan fungisid, tetapi
beberapa obat sistemik di buat juga sebagai sediaan topikal, misalnya
nitrogliserin dan skopolamin.
Pemberian topikal pada mata. Cara ini terutama dimadsudkan untuk
mendapatkan efek lokal pada mata, yang biasanya memerlukan absorpsi
obat melalui kornea. Absorpsi terjadi lebih cepat bila kornea mengalami

10
infeksi atau trauma. Absorpsi sistemik melalui saluran nasolakrikmal
sebenarnya tidak diinginkan; absorpsi disini dapat menyebabkan efek
sistemik karena obat tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati,
maka bloker yang diberikan sebagai tetes mata misalnya pada glaikoma
dapat menimbulkan toksisitas sistemik.
C. Distribusi
Setelah di absorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah,distribusi obat juga di tentukan oleh sifat fisikokimianya.
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam
tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke
organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan
yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan
jringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu
yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi cepat karena
celah antar sel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat
bebas, kecuali di otak.

Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan
terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak
akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas
terutama di cairin ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada
protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai
keseimbangan. Derajat afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan
kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang
pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
D. Biotransformasi
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan
struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan di katalisis oleh enzim,
pada proses ini molekul obat di ubah menjadi lebih polar artinya lebih
mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah
di ekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif,

11
sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat.
Tetapi, ada obat yang metabolismenya sangat aktif, lebih aktif atau lebih
toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug)justru di aktifkan
oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan
mengalamibiotransformasi lebih lanjut dan atau di ekskresi sehingga
kerjanya berakhir.

Reaksi biokimia yang terjadi dapat di bedakan atas reaksi fase I dan
fase II. Yang termasuk reaksi fase I ialah oksidasi, hidrolisis dan reduksi.
Rekasi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang
dapat bersifat inaktif daripada bentuk aslinya. Reaksi fase II, yang di sebut
juga fase sintetik, merupakan konyugasi obat vatau metabolik hasil reaksi
fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat
atau asam amino. Hasil konyugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah
terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi. Metabolik hasil konyugasi
biasanya tidak aktif kecuali untuk prodrug tertentu. Tidak semua obat di
metabolisme melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami
reaksi fase I saja (satu atau beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja
(satu atau beberapa macam reaksi). Tetapi kebanyakan obat di
metabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan
menjadi beberapa macam metabolit.

Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat di bedakan


berdasarkan letaknya di dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat
dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk
mikrosom), dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme
ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain
misalnya ginjal, paru, epitel saluran cerna, dan plasma.di lumen saluran
cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang di hasilkan oleh flora usus.
Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi glukuronoid, sebagian
besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Edangkan

12
enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya, beberapa
reaksi oksidasi, serta reaksi hidrolisis dan reduksi.
E. Ekskresi
Obat di keluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam
bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat
atau metabolit polar di ekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak
kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi
dari glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal dan reabsorpsi pasif di
tubuli proksimal dan distal. Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler
dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah
antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma
mengalami filtrasi disana. Di tubuli proksimal, asam organik (penisilin,
probenesid,salisilat,konyugat glukurunoid dan asam urat) di sekresi aktif
melalui sistem transport untuk asama organik, dan basa organik
(neostigmin,kolin, histamin) diekskresi aktif melalui sistem transport untuk
basa organik. Kedua sistem transport tersebut relatif tidak selektif sehingga
terjadi kompetisi antar asam organik dan antar basa organik dalam sistem
transportnya nasing-masing. Untuk zat-zat endogen misalnya asam urat,
sistem transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya terjadi sekresi dan
reabsorpsi.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk ion-
ion. Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi
ini bergantung pada PH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasinya.
Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga
reabsorpsinya berkurang akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila
urin lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang.

F. Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek
biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya (setaiwati dkk,1995)
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama

13
obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan
peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang
baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi nasional dan berguna dalam
sintesis obat baru.
1. Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan
resptor pada sel suatu organisme. interaksi obat dengan reseptornya ini
mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan
respon khas untuk obat tersebut. Reseptor obat mencakup 2 konsep
penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal
tubuh fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen secara umum konsep ini masih
berlaku sampai sekarang setiap komponen makromolekul fungsional
dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat
tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endrogen
(hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai
senyawa endrogen disebut agonis. Sebaiknya, senyawa yang tidak
mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif
efek suatu agonis ditempat ikatan agonis (agonist bind-ing site) disebut
antagonis.

2. Reseptor Obat
1.Sifat Kimia
Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah
protein ( mis.asetilkoli nesterase, na+ K+ -A Tpase, Tubulin, dsb.).
asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting
misalnya untuk sitostatika.iaktan obat reseptor dapat berupa ikatan
ion, hidrogen, hidrofobik,van der walls, atau kovalen, tetapi
umumnya merupakan campuran berbagai ikatan diatas. Perlu
diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat
sehingga lam kerja obat sering kali, tetapi tidak selalu panjang.

14
Walaupun demikina ikatan non kovalen yang aafinitasnya tinggi
juga dapat bersifat permanen.
2.Hubungan Struktur-Aktivitas
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya
terhadap reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan
kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat
menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.
Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat
dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio
terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap
jaringan tertentu.
3. Reseptor Fisiologis
Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya
obat untuk menimbulkan respons telah diuraikan diatas. Tetapi
terdapat juga protein seluler yang berfungsi sebagai reseptor
fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon, neurotransmitor,
dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi lipatan ligand yang
sesuai (oleh ligand binding domain ) dan penghantar sinyal ( oleh
effektor domain ) yang dapat secara langsung menimbulkan efek
intra sel atau secar tidak langsung memulai sintesis maupun
penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second
messenger.
Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi
secaraerat dengan protein seluler lain membentuk sistem resptor-
efektor seluler lain menimbulkan respons. Contohnya, sistem
adenilat siklase : reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase
sedang kan efektornya mensitesis cAMP sebagai second
messenger. Dalam sistem ini protein G lahyang berfungsi sebagai
perantara reseptor dengan enzim tersebut. Terdapat dua macam
protein G yang satu berfungsi sebagai penghantaran yang lain
berfungsi sebagai penghamabatan sinyal. Berikut ini akan dibahas
berbagai reseptor fisiologik tersebut.

15
3. Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis iyalah proses yang menyebabkan suatu
substansi extra seluler ( extracellular chemikal ) menimbulkan suatu
respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem penghantaran ini di mulai
dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam
sitoplasma oleh transmitor. Kebanyakan messengger ini bersifat polar.
Contoh transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah
katekolamin, TRH,LH; sedangkan untuk reseptor yang terdapat di dalam
sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal ), tiroksin, vitamin D.
Reseptor di membran sel bekerja dengan cara mengikat ligand yang
sesuai kemudian meneruskan sinyalnya ke sel target itu, baik secara
langsung ke intrasel atau dengan cara memproduksi molekul pengatur
lainnya ( second messenger ) di intrasel. Suatu reseptor mungkin
memerlukan suatu protein seluller tertentu untuk dapat berfugsi ( sistem
reseptor-efektor ) misalnay adenilat siklase. Pada sistem ini, reseptor
mengatur aktivitas adenilat siklase, dan efektor mensintesis, siklik-AMP.
Yang merupakan second messenger.
Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma, merupakan protein terlarut
pengikat DNA (solubble DNA-binding protein ) yang mengatur transkripsi
gen-gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hormon yang sesuai akan
meningkatkan sintesis protein tertentu. Reseptor hormon peptida yang
mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan (dan dalam
keadaan akut juga aktivitas metabolik ) umumnya ialah suatu protein
kinase yang mengkatalisis fosforilasi protein target pada residu tirosin.
Kelompok reseptor ini meliputi reseptor cairan insulin, epidermal growth
factor, p[latelet-deri-ved growht dan limfokin tertentu. Reseptor hormon
peptida yang terdapat di membran plasma berhubungan dengan bagian
katalitiknya yang berupa protein kinase intrasel, melalui rantai pendek
asam amino hidrovobik yang menembus membran plasma.
Pada reseptor untuk atrial natriuretic peptide, bagian komplek intrasel
ini bukan protein kinase, melainkan guanilat siklase yang mensintesis

16
siklik-GMP. Sejumlah reseptor untuk neutrotransmitor tertentu
membentuk kanal ion selektif di membran plasma dan menyampaikan
sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau
komposisi ion. Contoh kelompok ini ialah nikotinik, gamma-amino butirad
tipe A, glutamat, aspartap,dan glisin. Reseptor ini merupakan protein
multi-subunit yang rantainya menembus membran beberapa kali
membentuk kanal ion. Mekanisme terikatnya suatu transmitor dengan
kanal yang terdapat di bagian extracell sehingga kanal menjadi terluka,
belum di ketahui.
Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja membantu protein
efektor tertentu dengan perantaraan sekelompok GTP biding protein yang
di kenal sebagai protein G. Yang termasuk kelompok ini ialah reseptor
untuk aminbiogenik, eikosanoik,dan hormon protein lainnya. Reseptor ini
bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada protein G spesifik yang
selanjutnya mengatur aktivitas efektor-efektor spesifik seperti adenilat
siklase, fosfolipase A2 dan C, kanal Ca2+ , K2 atau Na+ , dan beberapa
protein yang berfungsi dalam transportasi. Suatu sel dapat mempunyai 5
atau lebih protein G yang masing-masing dapat memberikan respon
terhadap beberapa resptor yang berbeda, dan mengatur beberapa efektor
yang berbeda pula.
Second messenger sitoplasma. Penghantaran sinyal biologis dalam
sitoplasma dilansungkan dengan kerja second messenger antara lain
berupa cAMP, ion Ca2+ , dan yang akhir-akhir ini sudah diterima ialah
1,,5 inositol trisphosphate (IP3 ) dan diasilgliserol (DAG). Substansi ini
memenuhi kriteria sebagai second messenger yaitu diproduksi dengan
sangat cepat, bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal
ekstenalnya tidak ada mengalami penyingkiran secara spesifik. Siklik-
AMP ialah second messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini
dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap
respon terhadap aktivitas bermacam-macam reseptor.

17
4. Interaksi Obat – Reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan
enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, van
der waals) dan jarang berupa ikatan kovalen
1. Hubungan Dosis Dengan Intensitas Efek
Menurut teori pendudukan reseptor (reseptor occupancy),
intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang
diduduki atau diikat nya, dan intensitasnya efek mencapai
maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena
interaksi obat-reseptor ini analog dengan interaksi substrat-enzim,
maka di sini berlaku persamaan michaelis-menten.
Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu [D], dan
besarnya efek E terlihat sebagai kurva dosis-intensistas efek
(graded dose-effect curve = DEC) yang berbentuk hiperbola.
Tetapi kurva log dosis-intesitas efek ( Log DEC) akan berbentuk
sigmoid.. Bila efek yang diamati merupakan gabungan beberapa
efek, maka log DEC dapat bermacam-macam , tetapi masing-
masing berbentuk sigmoid.
Log DEC lebih sering digunakan karena mencakup rentang
dosis yang luas dan mempunyai bagian yang linear, yakni pada
besar efek = 16-8 % (= 50%± 1 SD ), sehingga lebih mudah untuk
memperbandingkan beberapa DEC.
1/KD menunjukan afinitas obat terhadap reseptor, artinya
kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor, artintnya
kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptornya (kemampuan
obat untuk membentuk kompleks obat-reseptor). Jadi makin besar
KD (= dosis yang menimbulkan ½ efek maksimal), makin kecil
afinitas obat terhadap reseptornya Emax menunjukan aktivitas
intrinsik atau efektivitas obat, yakni kemampuan intrinsik
kompleks obat-reseptor untuk menimbulkan aktivitas dan/atau
efek farmakologik.

18
2. Variabel Hubungan Dosis-intensitas efek obat
Hubungan dosis dan intesitas efek dalam keadaan
sesungguhnya tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja
secara kompleks dalam menghasilkan efek. Efek antihipertensi,
misalnya merupakan kombinasi efek terhadap jantung,
vaskular,dan sistem saraf. Walaupun demikian, suatu kurva efek
kompleks dapat diuraikan kedalam kurva-kurva sederhana untuk
masing- masing komponennya. Kurva sedrhana ini, bagaimana pun
bentuknya, selalu mempunyai 4 variabel yaitu potensi kecuramjan
(slope), efek maksimal, dan variasi biologik.
Potensi menunjukan rentang dosis obat yang menimbulkan
efek. Besarnya ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor,
yang tergantung dari sifat farmakokinetik obat, dan afinitas obat
terhadap reseptornya. Variabel ini relatif tidak penting karena
dalam klinik digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya.
Hanya, potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena dosis
yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru
merugikan atau membayangkan bila obatnya mudah menguap atau
di serap melalui kulit.
Efek maksimal ialah respons yang maksimal yang ditimbulkan
obat bila diberikan pada dosis yang tinggi. Ini di tentukan oleh
akyivitas intrinsik obat dan di tunjukan oleh dataran (lpateau) pada
DEC. Tetapi dalam klinik, dosisi obat di batasi oleh timbulnya efek
samping; dalam hal ini efek maksimal yand di capai dalam klinik
mungkin kurang dari efek maksimal yand sesunguhnya. Ini
merupakan variabel yang penting. Misalnya morfin dan aspirin
berbeda dalam efektivitasnya sebagai analgesik; morfin dapat
menghilangkan rasa nyeri yang hebat, sedangkan aspirin tidak.
Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya.
Slopeatau lereng log DEC merupakan variabel yang
penting karena menunjukan batas keamanan obat. Lereng yang
curam, misalnnya untuk fenobarbital, menunjukan bahwa dosis

19
yang menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan dosis yang menimbulkan sedasi/tidur.
Variasi biologik adalah variasi antar individu dalam
besarnya respons terhadap dosis yang sama dari suatu obat. Suatu
graded DEEC hanya berlaku untuk satu orang pada satu waktu,
tetapi dapat juga merupakan nilai rata-rata dari populasi. Dalam hal
yang berakhir ini, variasi biologik dapat di perhatikan sebagai garis
horijontal atau vertikal. Garis horijontal menunjukkan bahwa untuk
menunjukan efek obat dengan intensitas tertentu pada suatu
populasi di perlukan suatu rentang dosis. Garis vertikal
menunjukkan bahwa pemberian obat dengan dosis tertentu pada
populasi akan menimbulkan suatu intensitas efek
.
5. Kerja Obat yang Tidak Diperantai Reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan
reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh,
berinteraksi dengan ion molekul kecil, atau masuk komponen sel.
1.Efek Nonspesifik dan Gangguan pada Membran
Perubahan sifat osmotik. Diueretik osmotik (urea manitol ),
misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrat glomelurus sehingga
mengurangi reabsorbsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek
diuretik. Dengan demikian juga katartik osmotik (MgSO4), gliserol
yang mengurangi udem selebral, dan pegganti plasma (polivinil
pirolidon = PVP) untuk menambah volume intravaskuler
Perubahan sifat asam/asam. Kerja ini diperlihatkan oleh antasid
dalam menetralkan asam lambung, NH4CL dalam mengasam kan
urine, dan asam-asam organik sebagai antiseptik saluran kemih atau
sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai spermisid topikal dalam
saluran vagina. Kerusakan Nonspesifik. Zat perusak nonspesofik
digunakan sebagai antiseptik dan disenfektan, dan kontrasepsi,
contohnya, (1) detergen merusak integritas membran lipoprotein;(2)

20
halogen, peroksida, dan oksidator lain merusak zat organik (3)
denaturan merusak integritas dan kapasitas sibseluler dan protein.
Gangguan fungsi membran. Anestetik umum yang mudah menguap
misalnya eter, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan
melarut dalam lemak membran sel di SSP sehingga ektabilitasnya
menurun
2. Interkasi dengan Molekul Kecil atau Ion
Kerja ini diperhatikan oleh kelator ( Chelating agents) misalnya
CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif
pada kercunan Pb. Demikian juga kerja penisilamin yang mengikat
Cu2+ bebas pada penyakit wilson dan dimerkaprol ( BAL= British
antilewisite) pada keracuanan logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi). Kelat
yangf terbentuk larut dalam air sehingga mudah dikelurkan melalui
ginjal.
3. Masuk ke dalam Komponen Sel
Obat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat
berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya.
Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-
merkaptopurinb, 5-fluorourasil, flusitosin dan anti kanker atau anti
mokroba lain.

6. Terminologi
1. Spesifisitas dan Selektivitas
Suatu obat dikatak spesifik bila kerjanya terbatas pada suatu
jenis reseptor, dan dikatak selektif bila menghasilkan satu efek pada
dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar.
Obat yang spesifik belum tentu selektif, tetapi obat yang tidak spesifik
dengan sendirinya tidak selektif. Klorpromazin bukan obat yang
spesifik karena ia bekerja pada berbagai jenis reseptor; kolinergik,
adrenergik dan histaminergik, selain pada reseptor dopaminergik di
SSP. Atropin adalah bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi
tidak selektif karena reseptor ini terdapat di berbagai organ.salbutamol

21
ialah agonis bheta-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif, obat ini
memblok reseptor bheta2 dan pada dosis terapi hanya berefek di
bronkus.
Selain tergantung dari dosis, selektivitas obat juga tergantung dari cara
pemberian. Pemberian obat langsung di tempat kerjanya akan
meningkatkan selektivitas obat. Misalnya salbutamol, selektivitas obat
ini pada reseptor bheta2 di bronkus di tingkatkan bila di berikan
sebagai obat semprot langsung ke saluran napas.
2. Istilah Lain
Dosis rendah sekali cukup untuk penderita hipereaktif,
sedangkan dosis tinggi sekali di butuhkan oleh penderita yang
hiporeaktif. Istilah hipersensitif digunakan untuk efek yang
berhubungan dengan alergi obat. Istilah supersensitif di gunakan untuk
keadaan hiperaktif akibat denervasi atau akibat pemberian kronik suatu
bliker reseptor yang merupakan denervasi farmakologik. Istilah
toleransi digunakan untuk keadaan hiporeaktif akibat pajanan obat
bersangkutan sebelumnya. Toleransi yang terjadi dengan cepat setelah
pemberian hanya beberapa dosis obat di sebut toleransi akut atau
takifilaksis. Bila toleransi timbul akibat pembentukan antibodi
terhadap obat, digunakan istilah resisten misalnya terhadap insulin.
Istilah idiosinkrasi di gunakan untuk efek obat yang aneh (bizzare),
ringan maupun berat, tidak tergantung dari besarnya dosis dan sangat
jarang terjadi. Istilah ini sering kali digunakan secara simpang siur
maka sebaiknya istilah ini tidak di gunakan lagi

22
III. Kesimpulan

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian


umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di
tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi, obat di ekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini di sebut
farmakokinetik.
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia
dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme
kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat
dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon
yang terjadi.
Pemahaman mahasiswa keperawat terhadap bidang ilmu farmakologi
dalam hal ini aspek farmakokinetik dan farmakodinamik harus terus di
tingkatkan dengan proses pembelajaran yang kontinyu selain untuk
meningkatkan pemahaman yakni sebagai upaya meningkatkan displin ilmu
yang lebih kompeten, berjiwa pengetahuan dan selalu berfikir kritis terhadap
ilmu tersebut.

23
DAFTAR PUSTAKA

Setiawati dkk. Pengantar Farmakologi dalam farmakologi dan terapi edisi


4. Jakarta. Gaya Baru:1995     
Katzung G Betram. Farmokologi dasar dan klinik edisi 2. Jakarta.
Salemba medika:2002  
Katzung G Betram. Farmokologi dasar dan klinik edisi 3. Jakarta. Salemba
medika:2002
http://farma – farmakologi. Blogspot.com/2011/11/Pengertian.html.diakses
pada tanggal 17 oktober 2013 pukul 14.20 wib

24

Anda mungkin juga menyukai