Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

Anestesi Pada CA Mammae

Logo univ……..

PEMBIMBING:
…………………………….

Disusun oleh
………………………..

……………………………………………………………….
……………………………………………………..
……………………………………….
………………………………………………………………
…………………………

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................4
BAB III..................................................................................................................26
KESIMPULAN.....................................................................................................26
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................27

2
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi merupakan tindakan menghilangkan nyeri dan rumatan pasien


sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Anestesi (pembiusan; berasal dari
bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk
merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel
Holmes Sr pada tahun 1846.1
Ca mamae merupakan penyakit neoplastik dengan perjalanan alamiah
yang bersifat fatal pada jaringan payudara. Tidak seperti sel-sel tumor jinak, sel
kanker menunjukan sifat invasi dan metastatis, serta sangat anaplastik. Salah satu
terapi bedah yang dapat dilakukan pada pasien ca mamae adalah mastektomi
radikal modifikasi (MRM). MRM merupakan teknik bedah dengan mereseksi
seluruh kelenjar mamae dan tetap mempertahankan m.pectoralis mayor dan
minor.2
Pemilihan jenis anestesi yang tepat diperlukan untuk MRM, berdasarkan
usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum. Oleh karena itu, pada tinjauan
pustaka ini, penulis hendak memaparkan tindakan anestesia yang dilakukan dalam
operasi mastektomi, baik dari preoperatif hingga post operatif.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Payudara


2.1.1 Definisi
Kanker merupakan penyakit neoplastik dengan perjalanan alamiah yang
bersifat fatal. Tidak seperti sel-sel tumor jinak, sel kanker menunjukan sifat invasi
dan metastatis, serta sangat anaplastik. Istilah kanker kadang-kadang digunakan
sebagai sinonim istilah karsionoma.2
Kanker payudara (KPD) merupakan keganasan pada jaringan payudara
yang dapat berasal dari epitel duktus maupun lobulusnya.3

2.1.2 Epidemiologi
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker terbanyak di
Indonesia. Berdasarkan Pathological Based Registration di Indonesia, KPD
menempati urutan pertama dengan frekuensi relatif sebesar 18,6%. (Data Kanker
di Indonesia Tahun 2010, menurut data Histopatologik ; Badan Registrasi Kanker
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia (IAPI) dan Yayasan Kanker
Indonesia (YKI)). Diperkirakan angka kejadiannya di Indonesia adalah
12/100.000 wanita,sedangkan di Amerika adalah sekitar 92/100.000 wanita
dengan mortalitas yang cukup tinggi yaitu 27/100.000 atau 18 % dari kematian
yang dijumpai pada wanita. Penyakit ini juga dapat diderita pada laki - laki
dengan frekuensi sekitar 1 %. Menurut laporan angka kejadian kanker payudara di
RS Kanker Dharmais menurut stadium, stadium I 6%, stadium II 18%, stadium III
44% dan stadium IV 32%.9 Oleh karena itu perlu pemahaman tentang upaya
pencegahan, diagnosis dini, pengobatan kuratif maupun paliatif serta upaya
rehabilitasi yang baik, agar pelayanan pada penderita dapat dilakukan secara
optimal.3,4

4
Berdasarkan Sumber Data Riset Kesehatan Dasar 2013, berikut prevalensi
kejadian kanker payudara beberapa provinsi di Indonesia.
Table 1. Prevalensi Kanker Payudara di Indonesia.5
Provinsi ‰ Diagnosis Dokter Estimasi Jumlah Absolut
Sumatera Utara 0,4 2.682
Bengkulu 0,8 705
DKI Jakarta 0,8 3.946
Jawa Barat 0,3 6.701
Jawa Tengah 0,7 11.511
DI Yogyakarta 2,4 4.325
Jawa Timur 0,5 9.688
Sulawesi Selatan 0,7 2.975

2.1.3 Faktor Resiko


Faktor resiko adalah seluruh karakteristik, variable, atau hazard yang apabila
muncul pada individu akan meningkatkan kemungkinan terjadinya kanker
payudara. Faktor resiko kanker payudara terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
yang dapat dan tidak dapat diubah. Beberapa contoh faktor resiko yang tidak
dapat diubah yaitu, usia, riwayat keluarga, menarche dine, dan menopause lambat.
Sedangkan pada faktor resiko yang dapat diubah yaitu, obesitas pascamenopause,
penggunaan terapi sulih hormone, konsumsi alcohol, dan aktivitas fisik yang
rendah.5,6
1. Usia
Faktor usia paling berperan dalam menimbulkan kanker payudara.
Dengan semakin bertambahnya usia seseorang, insiden kanker payudara
akan meningkat. Satu dari delapan keganasan payudara invasif ditemukan
pada wanita berusia dibawah 45 tahun. Dua dari tiga keganasan payudara
invasif ditemukan pada wanita berusia 55 tahun.1,4 Di amerika serikat,
resiko dalam hidup seorang wanita untuk menderita kanker payudara
adalah 12,15% sepanjang hidupnya.5
2. Genetik dan Familial
Risiko seseorang yang satu anggota keluarga tingkat pertamanya
(ibu, anak, kakak atau adik kandung dan anak) menderita kanker payudara,

5
meningkat dua kali lipat, dan meningkat lima kali lipat bila ada dua
anggota keluarga tingkat pertama yang menderita kanker payudara.
Walaupun faktor familial merupakan faktor risiko kanker payudara yang
signifikan, 70-80% kanker payudara timbul secara sporadis.6,7
Seseorang dicurigai mempunyai faktor presdiposisi genetik
herediter sebagai penyebab kanker payudara yang dideritanya jika (1)
menderita kanker payudara sewaktu berusia kurang dari 40 tahun, dengan
atau tanpa riwayat keluarga; (2) menderita kanker payudara sebelum
berusia 50 tahun, dan satu atau lebih kerabat tingkat pertamanya menderita
kanker payudara atau kanker ovarium; (3) menderita kanker payudara
bilateral; (4) menderita kanker payudara pada usia berapapun, dan dua atau
lebih kerabat tingkat pertamanya menderita kanker payudara; serta (5)
laki-laki yang menderita kanker payudara.7
Mutasi genetic berhubungan dengan kanker payudara yang
diturunkan dalam keluarga. BRCA1, BRCA2, CHEK2, TP53, PTEN
merupakan onkogen yang berperan dalam proses ini. Wanita dengan
BRCA1 diperkirakan mempunyai resiko 48% untuk terjadi kanker
payudara di usia 80 tahun sedangkan pada mutasi BRCA2 mempunyai
resiko sebesar 74%. Berdasarkan hasil pemetaan gen yang dilakukan baru-
baru ini, mutasi germline pada gen BRCA1 dan BRCA2 pada kromosom
17 dan 13 ditetapkan sebagai gen presdiposisi kanker payudara dan
kanker ovarium herediter.6
Gen ATM merupakan merupakan gen yang mengatur perbaikan
DNA. Penderita kanker payudara familial cenderung mengalami mutasi
gen ini. Mutasi pada gen CHEK2 meningkatkan resiko kanker payudara
hingga dua kali lipat. Pada wanita yang mengalami mutasi gen CHEK2
dan beberapa familinya menderita keganasan payudara, risiko wanita
tersebut terkena kanker payudara jauh lebih meningkat lagi, dan pada laki-
laki bisa 10 kali lipat bilamana ada delesi pada CHEK2 dari gen regulator
siklus sel ini. Mutasi pada gen supresor tumor p53 meningkatkan risiko

6
terkena kanker payudara dan juga kanker lainnya seperti leukemia, tumor
otak dan sarkoma.6,7
3. Reproduksi dan Hormonal
Faktor reproduksi dan hormonal mempunyai efek terhadap
terjadinya kanker payudara. Difrensiasi sel akan terjadi dalam masa
kehamilan dan laktasi. Faktor hormone endogen ( estrogen dan
progesterone) dan eksogen ( kontrasepsi oral dan terapi sulih
hormone)menyebabkan proliferasi sel epitel payudara dan merupakan
rangsangan karsinogenik. Oleh karena sel payudara yang tidak
berdifrensiasi lebih rentan terhadap rangsangan karsinogenik, maka wnaita
yang tidak memiliki anak (nulipara), tidak laktasi, menggunakan
kontrasepsi oral dan terapi sulih hormone (TSH) memiliki resiko lebih
tinggi.1
Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risikonya sebesar 1,24
kali; penggunaan terapi sulih-hormon (TSH) pascamenopause
meningkatka risiko sebesar 1,35 kali bila digunakan lebih dari 10 tahun;
dan penggunaan estrogen penguat kandungan selama kehamilan
meningkatkan risiko sebesar dua kali lipat. Sebaliknya, menyusui bayi
menurunkan risiko terkena kanker payudara terutama jika masa menyusui
dilakukan selama 27-52 minggu. Penurunan risiko ini diperkirakan karena
masa menyusui mengurangi masa menstruasi seseorang.6,7
Usia menarchee yang lebih dini, yakni dibawah 12 tahun,
meningkatkan risiko kanker payudara sebanyak 3 kali, sedangkan usia
menopause yang lebih lambat, yakni diatas 55 tahun, meningkatkan risiko
kanker payudara sebanyak 2 kali. Perempuan yang melahirkan bayi aterm
lahir hidup pertama kalinya pada usia diatas 35 tahun mempunyai risiko
tertinggi mengidap terkena kanker payudara.7

4. Gaya Hidup6,7
 Berat badan. Obesitas pada masa pascamenopause meningkatkan
risiko kanker payudara; sebaliknya obesitas pramenopause justru
menurunkan risikonya. Hal ini disebabkan oleh efek tiap obesitas

7
yang berbeda terhadap kadar hormon endogen. Walaupun
menurunkan kadar hormon seks terikat-globulin dan menurunkan
pajanan terhadap estrogen, obesitas pramenopause meningkatkan
kejadian anovulasi sehingga menurunkan pajanan payudara
terhadap progesteron. Pada masa pascamenopause, penurunan
risiko kanker payudara yang disebabkan oleh obesitas
pramenopause secara bertahap menghilang, dan peningkatan
bioavailabilitas estrogen yang terjadi pada masa ini akan
meningkatka risiko kanker payudara.
 Aktivitas fisik. Olahraga selama 4 jam setiap minggu menurunkan
risiko sebesar 30%. Olahraga rutin pada masa pascamenopause
juga menurunkan risiko sebesar 30-40%. Untuk mengurangi risiko
terkena kanker payudara, American Cancer Society
merekomendasikan olahraga selama 45-60 menit setiap harinya.
 Merokok. Merokok terbukti meningkatkan risiko kanker payudara.
 Alkohol. Lebih dari 50 penelitian membuktikan bahwa konsumsi
alkohol secara berlebihan meningkatkan risiko kanker payudara.
Alkohol meningkatkan kadar estrogen endogen sehingga
memengaruhi responsivitas tumor terhadap hormon.konsumsi 2
gelas perhari meningkatkan resiko sampai 21%.
Kumpulan analisis terakhir membuktikan bahwa risiko relatif
kanker payudara meningkat dari 7% kini menjadi 10% untuk setiap
drink* tambahan per harinya dan keduanya berbanding lurus.
Walaupun tidak semua data konsisten, konsumsi alkohol berlebih
berkorelasi kuat dengan kanker payudara ER (estrogen receptor)
dan PR (progesterone receptor) positif sesuai dengan perkiraan.
5. Lingkungan7
Wanita yang semasa kecil atau dewasa mudanya pernah menjalani
terapi penyinaran pada daerah dada, biasanya keganasan limfoma Hodgkin
maupun non-Hodgkin, mereka berisiko menderita keganasan payudara
secara signifikan. Risiko keganasan payudara terutama meningkat jika

8
terapi penyinaran dilakukan pada usia dewasa muda saat payudara sedang
berkembang.
Pajanan eksogen dari lingkungan hidup dan tempat kerja juga berisiko
menginduksi timbulnya kanker payudara. Salah satu zat kimia tersebut
yaitu pestisida atau DDT yang sering kali mencemari bahan makanan
sehari-hari. Jenis pekerjaan lain yang berisiko mendapat pajanan
karsinogenik terhadap timbulnya kanker payudara antara lain, penata
kecantikan kuku yang tiap harinya menghirup uap pewarna kuku, penata
radiologi, dan tukang cat yang sering menghirup cadmium dari larutan
catnya.
6. Perubahan Payudara Tertentu6,7
Beberapa wanita mempunyai densiitas payudara yang tinggi termasuk
kedalam faktor resiko kanker payudara 4-6 kali lenih besar.selain itu jika
terdapat sel-sel dari jaringan payudara yang terlihat abnormal pada
pemeriksaan mikroskopik. Risiko kanker akan meningkat bila memiliki
tipe-tipe sel abnormal tertentu, seperti atypical ductal hyperplasia (ADH)
dan lobular carcinoma in situ (LCIS).

2.1.4 Patogenesis7
Terdapat dua jenis sel utama pada payudara orang dewasa; sel mioepitel
dan sel sekretorik lumen. Tumorigenesis kanker payudara merupakan proses
multitahap, tiap tahapnya berkaitan dengan satu mutasi tertentu atau lebih di gen
regulator minor dan mayor.Secara klinis dan histopatologis, terjadi beragam tahap
morfologis dalam perjalanan menuju keganasan. Hiperplasia duktal, ditandai oleh
proliferasi sel-sel epitel polikloal yang tersebar tidak rata yang pola kromatin dan
bentuk inti-intinya saling bertumpang tindih dan lumen duktus yang tidak teratur,
sering menjadi tanda awal kecenderungan keganasan. Sel-sel diatas relatif
memiliki sedikit sitoplasma dan batas selnya tidak jelas dan secara sitologis jinak.
Perubahan dari hiperplasia ke hiperplasia atipik (klonal), yang sitoplasma selnya
lebih jelas, intinya lebih jelas dan tidak tumpang tindih, dan lumen duktus yang
teratur, secara klinis meningkatkan risiko kanker payudara. Setelah hiperplasia
atipik, tahap berikutnya adalah timbulnya karsinoma in situ, baik karsinoma

9
duktal maupun lobular. Pada karsinoma in situ, terjadi proliferasi sel yang
memiliki gambaran sitologis sesuai dengan keganasan, tetapi proliferasi sel
tersebut belum menginvasi stroma dan menembus membran basal.
Karsinoma in situ lobular biasanya menyebar ke seluruh jaringan payudara
(bahkan bilateral) dan biasanya tidak teraba dan tidak terlihat dalam pencitraan.
Sebaiknya karsinoma in situ duktal merupakan lesi duktus segmental yang dapat
mengalami kalsifikasi sehingga memberikan penampilan yang beragam. Setelah
sel-sel tumor menembus membran basal dan menginvasi stroma, tumor menjadi
invasif dapat menyebar secara hematogen dan limfogen sehingga menimbulkan
metastasis.

2.1.5 Manifestasi klinis


Ca mamae mempunyai gambaran klinis sebagai berikut : 1) terdapat
benjolan keras yang lebih terfiksir; 2) tarikan pada kulit di atas tumor; 3) ulserasi;
4) peau d’orange; 5) discharge dari puting susu; 6) payudara asimetris; 7) retraksi
puting sus; 8) pembesaran kelenjar getah bening ketiak; 9) tumor satelit di kulit;
10) edema.

2.1.6 Tatalaksana
Terapi pada kanker payudara harus didahului dengan diagnosa yang
lengkap dan akurat ( termasuk penetapan stadium ). Terapi pada kanker payudara
sangat ditentukan luasnya penyakit atau stadium dan ekspresi dari agen
biomolekuler atau biomolekuler-signaling. Tatalaksana kanker payudara meliputi
tindakan operasi, kemoterapi, radioterapi, terapi hormon, targetting therapy,
terapi rehabilitasi medik, serta terapi paliatif.3,6,7
A. Operasi ca mamae yang sering dipakai adalah
 Mastektomi radikal Klasik
 Mastektomi radikal modifikasi (MRM)
 Mastektomi simple
 Mastektomi segmental plus diseksi kelenjar limfe aksila
B. Radioterapi

10
C. Kemoterapi
D. Terapi hormonal
E. Terapi target

2.2 Anestesi Umum


Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan
relaksasi otot .
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah
jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran
menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang
memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan
stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang
tidak diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada
dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara
pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek
samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah
dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.8,9

2.2.1 Macam-macam Teknik Anestesi

11
a. Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk
anestesik yang menguap, peralatan sangat sederhana dan
tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang
diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang
dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat
anestetik menguap ke udara terbuka.
b. Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop,
hanya untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan
masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap
kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk
menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi
minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
c. Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama
oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian
dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat
ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke
udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur
dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan
hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh
gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
d. Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed
hanya udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat
mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik
dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai
premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.9,11
2.2.2 Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat

12
sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan
menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I
: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri
dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.8,9,10
2.2.3Pemeriksaan praoperasi anestesi
I. Anamnesis

13
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit
paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit
jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi
obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan
interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat
antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid,
dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari
tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan
intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang,
narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti
hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan
umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal,
hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan
dermatologi.

II. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan
sesudah pembedahan.

14
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi
pernafasan, serta suhu tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk
mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu,
gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi.
Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi
pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau
tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding
posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla

pharingeal

ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula,


dinding posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV: palatum durum saja
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites,
hernia, atau tanda regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal,
sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-
tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
A. Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG

15
B. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
2.2.4 Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal :
tracurium, sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas
atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan
fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan
prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang
akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat
pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi
sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh
terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam
operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan9,10
1. Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :12

16
a.Sulfas atropin
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat
pilihan utama untuk mengurangi efek bronkial dan kardial
yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik akibat obat
atau anestesikum maupun tindakan lain dalam operasi.
Disamping itu, efek lainnya adalah melemaskan tonus otot
polos organ-organ dan menurunkan spasme gastrointestinal.
Setelah penggunaan obat ini dalam dosis terapetik
teradapat perasaan kering di rongga mulut dan penglihatan
kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk
anestesi regional. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita
dengan suhu diatas normal dan pada penderita penyakit
jantung.
Atropin tersedia dalm bentuk atropin sulfat dalam ampul
0.25 mg dan 0.5 mg. Diberikan secara suntikan subkutis,
intramuskular, atau intravena.
b.Ondensetron
Merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT 3 selektif.
Digunakan untuk mencegah dan mengobati mual dan muntah
pasca bedah. Efek samping obat ini berupa hipotensi,
bronkospasme, konstipasi, dan sesak nafas.
c.Fentanyl
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan
analgesik opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi
dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-
0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan
remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat
onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi
pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan
selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan
larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara

17
akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi
berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari
itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah
digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan
baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk
memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali
morfin. Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek
dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik fentanil
diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna
diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu
suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai
anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang
jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek
opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di
antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya
untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi
pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk
suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan
droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang
berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk
menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan
dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut
sebagai neurolepanestesia.

2.2.5 Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan
dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau
memperdalam stadium anestesi setelah induksi.

a. Propofol

18
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2%
phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5
mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi10,12
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan
barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan
pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain
itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi
karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi
dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan.
Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan
pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai
sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan
dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan
dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang
cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi
arteri perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri
sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi
perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali
normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-
kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih
cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke

19
dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total
anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga
eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek
analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih
cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah
propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya
depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada
sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi,
bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan
dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan
lidokain (20-50 mg).10,12
b. Atrakurium Basylate
Merupakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tidak dapat bekerja. Atrakurium memiliki struktur
benzilisoquinolin yang memiliki beberapa keuntungan antara lain

20
metabolisme di dalam darah melalui suatu reaksi yang disebut
eliminasi hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan gfungsi
ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang,
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.

2.2.6 Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N 2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.8,10,12

b. Sevoflurane
Seoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna
tanpa stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa.
Tidak terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat
maupun panas. Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi
lancar dan cepat serta pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan.
Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi
inhalasi termasuk reticulat activating system, cerebral cortex,

21
cuneate nucleus, olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi
inhalasi juga mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama
pada level dorsal horn interneuron yang bertanggung jawab terhadap
transmissi rasa sakit.12

2.2.7 Intubasi Endotrakeal


Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
Intubasi trakea bertujuan untuk :8
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.

2.2.8 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi
yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada
ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka
bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24

22
jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :12
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana
perdarahan kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan
dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 %
maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan
defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari
pasien. 8

2.2.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca
operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar
atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau
anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif
di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat
terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.9,11
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai
untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara
Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi

23
sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa.
Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.9

No. Kriteria Skor


1 Aktivitas  Mampu menggerakan empat ekstremitas 2
Motorik  Mampu menggerakan dua ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakan ekstremitas 0
2 Respirasi  Mampu napas dalam, batuk, dan tangis 2
 Sesak atau pernapasan terbatas 1
 Henti napas 0
3 Tekanan  Berubah sampai 20 % dari prabedah 2
Darah  Berubah sampai 20-50 % dari prabedah 1
 Berubah sampai > 50 % dari prabedah 0
4 Kesadaran  Sadar baik dan orientasi baik 2
 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
5 Warna Kulit  Kemerahan 2
 Pucat agak suram 1
 Sianosis 0
Tabel 1. Aldrete Scoring System

2.2.10 Manajemen Post - Operatif


Pemantauan post operatif di antaranya bertujuan untuk mengurangi risiko
yang dapat timbul dari penggunaan anestesia selama operasi. Di antaranya adalah
obstruksi saluran napas bagian atas (misalnya karena residu anestesi atau edema
jalan napas atas), hypoxemia arterial, hipoventilasi, hipotensi atau hipertensi,
disritmia jantung, oliguria, penurunan suhu tubuh, agitasi atau delirium, delayed
awakening, mual dan muntah, serta nyeri. Pemantauan jalan napas, serta koreksi
oksigen, cairan, serta elektrolit dan perbaikan suhu tubuh umumnya dapat
mengatasi kondisi di atas secara umum. Selain itu nyeri yang ditimbulkan setelah
operasi juga memerlukan perhatian khusus.

24
Opioid merupakan obat-obatan analgetik yang dapat diberikan pasca
operasi. Obat-obatan tersebut dapat diberikan melalui IV maupun epidural.
Sedangkan untuk pemberian obat-obatan melalui IM sudah tidak
direkomendasikan lagi untuk terapi pasca operasi. Fentanyl, merupakan poten
sinteti opioid, dengan penggunaan obat ini mampu untuk airway dengan baik.
Dosis intravena dapat dititrasi sedikit demi sedikit sebanyak 25 sampai 50 mcg.
Obat-obatan analgesi lain juga efektif seperti ibuprofen, acetaminophen, dan
indomethacin.9,11

25
BAB III

KESIMPULAN

Ca mamae merupakan penyakit neoplastik dengan perjalanan alamiah


yang bersifat fatal pada jaringan payudara. Salah satu terapi bedah yang dapat
dilakukan pada pasien ca mamae adalah mastektomi radikal modifikasi (MRM).
MRM merupakan teknik bedah dengan mereseksi seluruh kelenjar mamae dan
tetap mempertahankan m.pectoralis mayor dan minor.
Pemilihan jenis anestesi yang tepat diperlukan untuk MRM, berdasarkan
usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum. Anestesia selama operasi dapat
dilakukan dengan anestesia umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa
endotrakea dan nafas kendali. Manajemen post operatif yang utama meliputi
pemantauan efek samping dari obat-obatan anestesia dan manajemen nyeri.
Nyeri pasca operasi mastektomi yang bersifat akut dapat menghalangi
proses penyembuhan dan rehabilitasi pasca operasi dan dapat menjadi nyeri
kronik. Manajemen nyeri post operatif mastektomi dapat dilakukan dengan
multimodal terapi dengan tujuan memperoleh terapi yang sufisien sambil
mengurangi dosis efek samping yang dapat timbul dari obat-obat anestesia
tersebut.

26
DAFTAR PUSAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R., 2007. Anestesiologi. Jakarta:


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Dorland, W.A. Newman. 2012. Kamus Kedokteran Dorland; Edisi 28.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
3. Kementeriaan Kesehatan RI. Panduan penatalaksanaan kanker payudara.
Jakarta: Kemenkes RI; 2014.
4. Suzanna E, Sirait T, Rahayu PS, Shalmont G, Anwar E, Andalusia R et al.
Registrasi kanker berbasis rumah sakit di rumah sakit kanker “Dharmais”-
pusat kanker nasional, 1993-2007. Indonesian Journal of Cancer. 2012;6:
1-12.
5. Sumber Data Riset Kesehatan Dasar 2013, Badan Litbangkes Kementerian
Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin Kementerian
Kesehatan RI, 2015
6. Purwanto, Heru. Et all. 2015. Panduan Penatalaksanaan Kanker Payudara.
Edisi II. Jakarta. PERABOI.
7. Jong D. Samsuhidayat. 2013. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott
Williams & Wilkins
9. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
10. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing
Disease. 5th edition. NY : Elsevier

27
11. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar
untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
12. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi
FKUI, edisi ke- 4. Jakarta: Gaya baru.

28

Anda mungkin juga menyukai