Anda di halaman 1dari 99

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

1. Proses Penelitian

Penelitian tentang bela diri tradisional suku Dayak di Kalimantan Tengah

yang secara mendalam membahas tentang sejarah, filosofi dan teknik seni bela diri

tradisional ini berlokasi di tiga kabupaten yaitu kabupaten Barito Timur dengan

objek penelitiannya adalah Perguruan Seni Bela Diri Silat Tradisional Kuntau

Pangunraun Pitu, di mana ada tiga desa yang dijadikan tempat penelitian yaitu desa

Tampa, desa Unsum dan desa Hayaping. Lokasi penelitian yang kedua adalah di

kabupaten Katingan di mana objek penelitiannya yaitu Perguruan Silat Sakti

Salamat Kambe yang berada di desa Jahanjang, kecamatan Kamipang. Kabupaten

ketiga tempat dilakuannya penelitian yaitu kabupaten Pulang Pisau dengan objek

penelitiannya yaitu Perguruan Palampang Panerus Tinjek, di mana lokasi penelitan

berada di desa Mintin.

Penelitian dimulai dengan melakukan wawancara, catatan lapangan dan

dokumentasi pada saat latihan di Perguruan Bela Diri Silat Tradisional Kuntau

Pangunraun Pitu pada tanggal 9-17 Maret 2018 di tiga desa yaitu desa Tampa, desa

Unsum dan desa Hayaping dengan narasumber dari salah satu pendiri perguruan

yaitu Anthonius Limpau dan pelatih perguruan Herdiman.

Penelitian selanjutnya dilakukan di perguruan Silat Sakti Salamat Kambe di

desa Jahanjang, kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan pada tanggal 4-6 April

60
2018 dengan narasumber yaitu pelatih sekaligus pendiri perguruan Sainin dan

Sarwepin S. Sal selaku pembina pada perguruan Silat Sakti Salamat Kambe.

Penelitian dilakukan dengan metode wawancara dan catatan lapangan serta

melakukan dokumentasi melalui video pada setiap teknik bela diri pada perguruan

tersebut.

Penelitian pada ketiga perguruan di tiga kabupaten tersebut disempurnakan

dengan melakukan wawancara terhadap beberapa tokoh budayawan yang memiliki

kompetensi di bidang kebudayaan suku Dayak dan bela diri tradisional suku Dayak

Kalimantan Tengah.

2. Alur Sejarah silsilah Tiga Perguruan

Alur Sejarah atau silsilah dari perguruan merupakan suatu gambaran singkat

yang menjelaskan bagaimana suatu sejarah perguruan atau cikal bakal lahirnya

suatu perguruan melalui beberapa tokoh-tokoh yang berperan penting dalam

tetrciptanya suatu perguruan dan bagaimana penyebaran seni bela diri tradisional

suku Dayak di Kalimantan Tengah yang lebih dikenal dengan sebutan kuntau atau

main.

Alur atau bagan dibawah ini menjelaskan bagaimana hadirnya perguruan

Seni Bela Diri Tradisional Kuntau Pangunraun Pitu, Perguruan Palampang Panerus

Tinjek, dan Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe/Perguruan Singa Jambung

Tinjek-Salamat Kambe. Berikut adalah alur dari tiga perguruan yang dirangkum

dari hasil penelitian yang dilaksanakan di tiga kabupaten di Kalimantan Tengah

61
yaitu kabupaten Barito Timur dengan perguruan Pangunraun Pitu, kabupaten

Katingan dengan perguruan Silat Sakti Salamat Kambe/Perguruan Singa Jambung

Tinjek-Salamat Kambe, dan kabupaten Pulang Pisau dengan perguruan Palampang

Panerus Tinjek.

TEMPEL

ANTHONIUS LIMPAU
ABADI adalah salah satu berlatih dengan Tempel pada
murid dari Tempel kemudian tahun 1989 selama 90 hari dan
mendirikan Perguruan Sanga melanjutkan kembali pada
Tantai tahun 1991-1994 berguru
dengan Abadi

Perguruan Pangunraun Pitu


berdiri pada tanggal 13 maret
2011 dengan tiga orang
pendiri ANTHONIUS
LIMPAU, KETMAN, DAN
MISRANTO

Gambar 2. Silsilah Perguruan Pangunraun Pitu

62
SAWANG

SAUN

MAHUSIN SAUN SALAMAT SAUN


(KAMBE) TAHUN 1887- BUNGKING
(TINJEK) 1873-1990
1983 Penyebaran di Barito
Penyebaran di Kapuas
Penyebaran di Katingan

Taufik H.M Saun MANGGUNG Sadrmansyah SENDY PUTIR


SAININ adalah (ANAK (ANAK (ANAK (ANAK
mengajar keliling murid dari Salamat PERTAMA KEDUA KETIGA KEEMPAT
Kambe dan SALAMAT SALAMAT SALAMAT SALAMAT
mendirikan SAUN) KAMBE) KAMBE) KAMBE)
KARYADI bin
HAMRI adalah cucu perguruan Silat
dari MAHUSIN Sakti Salamat PERGURUAN SINGA
SAUN mengajar Kambe JAMBUNG (BERDIRI
keliling ke desa-desa TAHUN 2018)
DIDIRIKAN OLEH
DEDYANSAH
Tomi ADALAH GENERASI
ketua cabang KETIGA DARI
Singa Jambung SILSILAH TINJEK
Kuala Kapuas
IPUNG (CUCU
TINJEK) PENDIRI
PERGURUAN
PALAMPANG
PANERUS TINJEK
TAHUN 2016

Gambar 3. Alur Silsilah Pergurun Tinjek dan Salamat Kambe

B. PEMBAHASAN DAN TEMUAN

1. Perguruan Seni Bela Diri Silat Tradisional Kuntau Pangunraun Pitu

Perguruan Pangunraun Pitu adalah suatu perguruan bela diri yang

mengedepankan teknik bela diri tradisional suku Dayak yaitu kuntau. Dalam

perguruan ini terdapat tiga aliran atau gaya yang diberikan kepada murid sebagai

materi latihan yaitu kuntau, bangkui dan sanganan.

63
Nama perguruan Pangunraun Pitu sendiri memiliki arti yang terdiri dari dua

kata yaitu Pangunraun dan Pitu. Pangunraun adalah suatu ciri khas dimana

menandakan suatu identitas orang Dayak “maanyan” salah satu sub suku Dayak

di Kalimantan Tengah yang mendiami daerah aliran sungai (DAS) Barito. Istilah

pangunraun itu sering digunakan pada saat acara pernikahan dan secara harfiah

pengertian pangunraun itu adalah kumpulan bahasa sastra yang sangat indah

bahasanya, tidak kasar/dengan lembut.

Kedua pitu, ialah merupakan hasil dari penjumlahan “empat” ditambah

“tiga”. Empat melambangkan entitas milik manusia, misalnya ada timur, barat,

utara, ada selatan itu seluruh jagat raya, jadi dimiliki oleh manusia yang hidup

diatas bumi adalah empat. Kemudian Tiga, filosofinya adalah menggambarkan

entitas “Tuhan”, yang dalam kepercayaan kekristenan yaitu Allah Bapa yang

mencipta alam semesta, Yesus Kristus Sang Putera, dan ketiga ada Roh Kudus

yang mana penyebutannya adalah Tritunggal. jadi secara filosofis pitu adalah

gabungan dari sifat-sifat yang dimiliki manusia dengan sifat-sifat yang dimiliki

Tuhan, sehingga itulah yang menjadi nilai filosofis dari nama perguruan

Pangunraun Pitu.

Perguruan ini pada awalnya didirikan oleh tiga orang pendiri yaitu

Anthonius Limpau, Ketman, dan Misranto pada tanggal 13 Maret 2011 di Tewah

Pupu dengan nama awal adalah Survival Figting Pangunraun Pitu. Dari tiap-tiap

orang ini memiliki bidang keahlian yang berbeda-beda dalam bela diri, Anthonius

Limpau adalah seorang praktisi kuntau, sedangkan Ketman ini adalah praktisi

64
Karate dan Taekwondo serta Misranto adalah seorang praktisi pencak silat dari

perguruan Setia Hati Terate.

a. Sejarah berdirinya Perguruan Bela Diri Silat Tradisional Kuntau


Pangunraun Pitu

Perguruan ini didirikan berangkat dari keprihatinan seorang praktisi bela

diri bernama Ketman, yang melihat bahwa bela diri tradisional ini pada minat

masyarakat untuk mempelajarinya sangat minim dikarenakan dalam bela diri

tradisional ini ada begitu banyak kelemahan-kelemahan dan kurang menarik

bagi anak muda untuk mempelajarinya. Dalam seni bela diri tradisional ini

jarang sekali ditemukan adanya tendangan, sehingga berangkat dari

keprihatinan itulah tiga orang pendiri meramu dan mengkombinasikan

beberapa gerakkan bela diri modern ke dalam bela diri tradisonal ini sehingga

lebih terbuka, lebih luwes dan menjadi lebih menarik untuk dipertontonkan.

Seni bela diri kuntau dalam perguruan ini dipegang oleh Antonius

Limpau, beliau pertama kali mempelajari seni bela diri ini pada tahun 1989

dengan seorang guru bernama Tempel. Menyelesaikan latihan yang disebut

dengan batamat selama sembilan puluh hari (Tiga bulan) penuh. Kemudian

yang kedua, beliau kembali berlatih di perguruan Sanga Tantai selama empat

tahun yaitu dari tahun 1991 hingga tahun 1994 dengan seorang guru bernama

Abadi, dimana beliau sekaligus menjadi salah satu pelatih dalam perguruan

tersebut.

65
Gambar 4. Pendiri Perguruan Pangunraun Pitu, Anthonius Limpau

(sumber: Perguruan Pangunraun Pitu)

66
Gambar 5. Pendiri Perguruan Pangunraun Pitu, Ketman.

(sumber: Perguruan Panguunraun Pitu)

67
Gambar 6. Pendiri Perguruan Pangunraun Pitu, Misranto

(sumber: Perguruan Panguunraun Pitu)

b. Filosofi Perguruan Bela Diri Silat Tradisional Kuntau Pangunraun

Pitu

Semboyan yang ada dalam perguruan Pangunraun Pitu adalah “musuh

satu terlalu banyak, teman seribu terlalu banyak, sekalipun ada musuh harus

68
dihadapi dengan kesabaran” dimana arti dari semboyan tersebut adalah

walaupun kita menghadapi seorang musuh, kita harus menghadapinya dengan

kesabaran dan tetap menghormati musuh tersebut karena sekalipun dia adalah

musuh, pasti dia memiliki hati.

Kedua adalah “Hindari pertarungan, tetapi kalau harus bertarung maka

kita harus memenangkan pertarungan” dalam artian walaupun harus kalah

secara fisik, tetapi harus tetap menag dalam prinsip. Walaupun harus mati raga

tetapi nama akan selalu dikenang karena tetap memegang teguh prinsip yang

benar.

Filosofi yang lebih mendalam pada perguruan Pangunraun Pitu terletak

pada lambang perguruan dan terletak pula pada warna sabuk yang dikenakan

pada tiap-tiap tingkatan. Sabuk pada Perguruan Seni Bela Diri Tradisional

Kuntau Pangunraun Pitu terdiri dari empat warna sabuk yang diawali dari sabuk

putih sampai yang tertinggi adalah sabuk merah. Arti dari warna masing-masing

sabuk tersebut adalah sebagai berikut;

1. Sabuk putih melambangkan kemurnian dan kesucian. Kemurnian dan

kesucian ini merupakan kondisi dasar dari pemula untuk menerima dan

mengolah hasil latihan dari guru masing-masing. Artinya berkembang atau

tidaknya pemain kuntau ini tergantung dari apa yang diberikan oleh Guru

atau Shinse mereka. Kemudian, setelah materi atau nilai kuntau telah

69
disampaikan sesuai dengan apa yang seharusnya, selanjutnya tanggung

jawab ada pada masing-masing individu.

2. Sabuk kuning melambangkan warna matahari pagi yang baru terbit di upuk

timur, yang diibaratkan bahwa pemain kuntau telah melihat hari baru di

mana dia telah mampu memahami semangat kuntau, berkembang dalam

karakter kepribadiannya dan juga teknik yang telah dipelajari. Sabuk kuning

juga merupakan tahapan yang biasanya sudah mulai belajar tahapan-tahapan

gerakan fight (pertarungan) dan mulai ikut dalam suatu turnamen.

3. Sabuk biru, warna sabuk ini mengingatkan akan luasnya serta birunya

samudera raya dan birunya langit ketika orang-orang Maanyan mengadakan

pelayaran dari propinsi Yunan melewati kepulauan India bagian belakang,

melewati samudera Indonesia, menyusuri pulau Sumatra hingga sampai di

tanah Borneo. Seorang yang belajar kuntau di perguruan Pangunraun Pitu

yang telah sampai pada jenjang sabuk biru harus mempunyai semangat

setinggi angkasa dan mempunyai wawasan yang luas, seluas dan sedalam

samudera. Pemain kuntau harus berani untuk menghadapi tantangan dengan

semangat tinggi, dan berpikir bahwa proses latihan adalah sesuatu yang

menyenangkan dan bisa merasakan manfaat yang didapatkan.

4. Arti warna merah, melambangkan kekuatan, kehangatan, cinta dan bahaya.

merah sebagai simbol berani menghadapi segala macam tantangan, ancaman

dan hambatan. Kemudian arti warna kuning, melambangkan sifat yang

70
selalu optimis, sifat yang selalu ingin bertumbuh dan tidak pernah putus

harapan. arti titik putih melambangkan kemurnian dan kesucian hati.

Sabuk merah, bukan hanya sebagai simbol berani, melainkan simbol

terang seperti merahnya matahari, disaat matahari bersinar maka segala

aktivitaspun lancar sehingga manusia dapat bahagia, makmur dan sentosa.

Walaupun ketiganya telah didapatkan dalam diri manusia, jangan lupa berbagi

kepada orang lain, paling tidak curahkan cinta kasih kepadanya, siapapun

orangnya. Oleh sebab itu, pemain kuntau yang sudah menyandang sabuk merah

wajib menjadi seorang guru.

Sabuk merah strip I (satu) sampai dengan tingkat IV (empat) disebut

uria. Istilah Uria adalah diambil dari cerita pemimpin masing-masing

kelompok orang Maanyan ketika meninggalkan Bumi Nansarunai Tanah Ipah

Bawai wahai karena Usak Jawa dan masuk kedaerah-daerah, di mana orang-

orang Maanyan berada sekarang. Uria-Uria yang dikenal sampai sekarang.

1. Uria Napulangit: Berangkat ke daerah Paju Epat.

2. Uria Biring: Berangkat ke daerah Dayu

3. Uria Mapas/Uria Rena: Berangkat kedaerah Banua Lima dan Kampung

Sapuluh.

4. Uria Pulanggiwa: Berangkat kedaerah Kapuas, Kahayan dan Manuhing.

5. Uria Rantau: Berangkat ke Paku Karau

6. Uria Buman: Berangkat ke daerah Tabalong dan Banjarmasin

7. Uria Puneh: Berangkat kedaerah Taboyan dan Tanah Siang.

71
Sabuk Merah Strip I sampai strip III melambangkan keteguhan dan

sikap kepercayaan diri yang didasari pada nilai kebaikan universal. Warna

sabuk ini menjadi idaman bagi setiap pemain kuntau untuk mendapatkannya.

Namun, di balik semua jenjang pada sabuk merah terdapat tanggung jawab

besar bagi para pemain kuntau. Pada tahap ini, pemegang sabuk merah mulai

dari Uria I sampai Uria III adalah masa untuk memasuki tahap untuk

mendalami kuntau yang lebih mendalam. Teknik maupun penguasaan makna

hakiki dari kebaikan nilai kuntau sudah harus menjadi bagian dari diri pemain

kuntau.

Sabuk merah strip IV (empat) atau bisa disebut dengan shinse atau

master kuntau, pemegang sabuk ini adalah para pendiri perguruan termasuk

pencipta jurus-jurus utama pada Perguruan Seni Bela Diri Kuntau Pangunraun

Pitu. Orang lain mungkin berkenan menempati posisi ini, jika salah satu dari

tiga Sinshe/Master telah dipanggil oleh Tuhan. Pemilihan pengganti dilakukan

oleh para Uria tingkat IV (empat) terhadap pemegang sabuk merah strip III

(tiga).

Maka warna sabuk dalam kuntau selain sebagai pembeda antara pemain

kuntau yang baru belajar/pemula dengan yang sudah lama menekuni kuntau,

makna lain dari sabuk akan lebih luas dari itu yakni sebagai proses pendorong

bagi pemain kuntau untuk terus giat belajar dan berlatih. Selain itu juga,

bagaimana perbedaan sabuk ini justru menjadi dorongan bagi semua pemain

kuntau untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

72
Gambar 7. Lambang Perguruan Pangunraun Pitu

(Dokumentasi: Perguruan Pangunraun Pitu)

Arti Yin dan Yang dalam perguruan Pangunraun Pitu adalah lambang

keseimbangan dalam hidup, mereka saling berpandangan, tak sepatah katapun

yang terucapkan. Sinar mata mereka penuh kasih yang menghanyutkan sukma,

senyum mereka yang begitu halus dan tulus, mereka saling memeluk, dibelai

oleh angin dalam jagad raya ini. Hidup itu dua rupa: siang dan malam, tangis

dan tawa, bahagia dan sedih, suka dan duka, hidup dan mati. Saudaraku kau

selalu dalam aku, dan aku selalu dalam engkau.

Gambar daun rirung, atau dalam Bahasa Dayak Ngaju adalah sawang

artinya adalah pohon kehidupan yang dikenal oleh orang Dayak Maanyan

sudah ada sejak awal mula kehidupan sehingga daun ini sangat disakralkan dan

73
bagi murid perguruan Pangunraun Pitu sangat dilarang keras memperlakukan

daun ini dengan sembarangan.

Gambar padi, padi yang dimaksudkan adalah Parei Lungkung, padi ini

merupakan padi yang dianggap keramat oleh orang-orang Maanyan. Padi

merupakan pangkal kehidupan yang diturunkan oleh Tuhan kepada orang-

orang Maanyan untuk kelangsungan hidup. Ilmu padi adalah semakin tua

semakin merunduk, filosofi ini menjadi pegangan Perguruan Seni Bela Diri

Pangunraun Pitu. Semakin tinggi ilmu semakin rendah hati.

Arti gambar trisula keatas dan kebawah, melambangkan hubungan

timbal balik antara manusia sebagai ciptaan dengan Tuhan sebagai penciptanya.

Arti lingkaran hitam menandakan kematangan, kematangan bukan berarti

tertinggi. Semakin tinggi ilmu yang dipelajari, semakin kita akan merasakan

bahwa kita tidak memiliki apa-apa. Seperti warna hitam yang gelap, sebagai

simbol proses pencarian jati diri untuk tetap belajar dan belajar sampai mati,

karena kalau ada gelap, pasti ada terang. Arti warna dasar putih ialah lambang

kesempurnaan, walau bagaimanapun keinginan manusia jika didasari dengan

kemurnian dan kesucian hati maka segala malapetaka akan terhindar darinya.

Pemain kuntau harus sudah bisa mengontrol emosi dan berdisiplin, pada

sabuk biru ini pemain kuntau mengalami masa yang sangat menentukan, karena

pada masa ini akan ditemukan banyak pilihan-pilihan. Pada sabuk ini banyak

kesulitan-kesulitan yang ditemukan sebelum menemukan kepastian. Pepatah

74
mengatakan “Memilih memang sulit apalagi memastikan, tetapi lebih sulit

menerima sesuatu yang tidak dipilih tetapi diterima”.

c. Teknik Seni Bela Diri Perguruan Bela Diri Silat Tradisional Kuntau

Pangunraun Pitu

Teknik seni bela diri pencak silat setidaknya terdiri dari beberapa unsur

di dalamnya, seperti pola dan sikap pasang, termasuk di dalamnya. Sikap

hormat dan kuda-kuda, pola langkah, serangan baik yang pukulan maupun

tendangan, dan belaan yang di dalamnya menghindar, tangkisan dan kuncian

dan yang terakhir adalah teknik penggunaan senjata dalam pertarungan. Berikut

adalah bagaimana teknik seni bela diri tradisional yang ada pada Perguruan

Bela Diri Tradisional Kuntau Pangunraun Pitu.

1. Sikap Hormat dan Sikap Pasang

Sikap hormat yang ada dalam perguruan Pangunraun Pitu memiliki

filosofi dalam suatu perkelahian ketika kedua tangan yang disatukan (tangan

kanan dikepal dan tangan kiri terbuka) masih bersatu artinya masih

diupayakan untuk berdamai dan menghindari perkelahian, tetapi pada saat

bentuk hormat tersebut terbuka artinya sudah menemui alan buntu dan harus

diselesaikan dengan perkelahian.

Langkah-langkah dari melakukan hormat ini diawali dengan sikap

sempurna yaitu dengan posisi badan tegap, kemudian dilanjutkan dengan

mengepalkan tangan sebelah kanan, sedangkan tangan kiri diluruskan

75
(terbuka secara vertikal), kedua tangan tersebut di satukan segaris bahu dan

disodorkan kedepan dengan posisi kepala sedikit membungkuk seperti yang

tertera pada gambar di bawah ini.

A B
Gambar 8. Sikap sempurna (A) sikap hormat (B)

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

Sikap hormat yang kedua dalam perguruan Pangunraun Pitu ialah

sikap hormat yang tergambar dalam jurus bangkui, hormat itu sendiri

langkah-langkahya ialah, yang pertama sikap badan tegap (sikap sempurna),

kemudian badan sedikit dibungkukkan seraya kedua tangan diputar satu kali

d idepan dada, dan pada akhirnya tangan kanan secara vertikal berada di

depan kedua mata dan tangan kiri berada di bawah tangan kanan dengan

posisi tangan diagonal.

76
Gerakan hormat itu sendiri memiliki maksud dan tujuan dimana

tangan kanan untuk menangkis serangan tusukan yang mengarak ke mata,

dan tangan kiri bertujuan untuk menangkis serangan berupa tendangan.

Berikut adalah gambar dari hormat bangkui.

A B

77
C
Gambar 9. Hormat bangkui
(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

Sikap pasang adalah sikap dimana seorang pesilat dalam konsisi

siaga atau awas terhadap setiap serangan dan juga bersiap untuk melakukan

serangan musuh, dan berikut adalah langkah dan bentuk dari sikap pasang

dari perguruan Pangunraun Pitu yaitu berawal dari sikap sempurna (berdiri

tegak) kemudian melangkahkan kaki kanan kedepan bersamaan dengan

tangan tangan hampir sama dengan sikap hormat tetapi arahnya diagonal,

selanjutnya kedua tangan ditarik kearah pinggang sebelah kanan dengan

posisi tangan kiri berada di atas tangan kanan. Berikut adalah gambar dari

langkah-langkah sikap hormat perguruan Pangunraun Pitu.

78
A B
Gambar 10. Sikap Pasang (A. langkah satu dan B. langkah dua)
(Sumber Dokumentasi Hernando 2018)

Sikap pasang bangkui dalam Perguruan Bela Diri Silat Tradisional

kuntau Pangunraun Pitu bersifat bawah yang dalam artian kuda-kuda dalam

teknik bangkui adalah kuda-kuda yang sangat rendah. Posisi tinggi antara

tanah dan tingginya kuda-kuda adalah satu jengkal dimana dalam teknik ini

musuh tidak akan memiliki kemampuan menyerang bagian atas

menggunakan pukulan dikarenakan kuda-kuda yang begitu rendah.

Tujuan dari kuda-kuda bawah tersebut juga dikarenakan sasaran dari

serangan bangkui adalah pada guntingan yang langsung diteruskan kepada

kuncian terhadap lawan sehingga pola serangan dalam teknik bangkui sangat

efektif digunakan dalam pertarungan jarak dekat. Berikut adalah bentuk dari

kuda-kuda teknik bangkui.

79
A B
Gambar 11. Kuda-kuda bangkui
(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

2. Pola Langkah (Jurus) Perguruan Pangunraun Pitu

Setiap perguruan bela diri tradisional suku Dayak dalam pola langkah

selalu menampilkan pola langkah empat penjuru mata angina yaitu utara,

timur, selatan dan barat. Dalam perguruan Pangunraun Pitu ada tujuh pola

langkah yang ada dimana hal itu selaras dengan filosofi perguruan semuanya

harus serba tujuh.

Nama-nama pola langkah tersebut; (a) Jurus Kuntau Selaras, (b) Jurus

Bangkui Selaras, (c) Jurus Bangkui Elang Mengibas Sayap, (d) Jurus

Bangkui Buang Pasir, (e) Kuntau Empat Penjuru Mata Angin, (f) Kuntau

Berganda, (g) Kuntau Wayuang Ngalun Anak. Berikut adalah bentuk dari

langkah-langkah jurus-jurus yang ada dalam Perguruan Seni Bela Diri Silat

Tradisional Kuntau Pangunraun Pitu (untuk lebih lengkap dapat dilihat pada

lampiran)

80
Gambar 12. Jurus kuntau selaras
(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

81
Gambar 13. Jurus bangkui selaras
(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

82
Gambar 14. Jurus bangkui buang pasir

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

83
Gambar 15. jurus kuntau elang mangibas sayap

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

84
Gambar 16. Jurus kuntau empat penjuru

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

85
Gambar 17. jurus kuntau wayuang ngalun anak

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

Gambar 18. Jurus kuntau berganda

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

86
3. Guntingan dan Kuncian Jurus Bangkui Perguruan Pangunraun

Pitu

Jurus bangkui lebih mengarah kepada serangan-serangan yang

mengarah pada bagian bawah seperti pada guntingan dan kuncian, hal ini

sangat berkaitan erat dengan bentuk dari kuda-kuda bangkui yang sangat

rendah. Berikut adalah beberapa bentuk dari guntingan dan kuncian bangkui.

a. Guntingan 1

Guntingan dilakukan ketika musuh melakukan serangan

menggunakan pukunan dan pada saat bersamaan guntingan dilakukan dan

langsung mengunci kaki dimana musuh sudah tidak dapat bergerak dan

kemudian melakukan pukulan balik.

A B
Gambar 19. Guntingan bangkui

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

87
b. Kuncian 1

Pada kuncian ini pesilat dalam posisi sikap sempurna dan bersiap

untuk melakukan hindaran dengan cara menggeser kaki kiri sekaligus

melakukan tangkapan terhadap pukulan lawan dan mendorong bagian

bahu lawan dengan tangan kiri sehingga lawan tidak berkutik.

88
B

Gambar 20. Kuncian 1


(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

89
c. Kuncian 2

Teknik kuncian dalam bangkui adalah dengan melakukan tangkisan

ketika musuh melakukan serangan kearah kepala dengan dua tangan dan

tangan pesilat masuk melingkar kemudian mencengkram leher lawan.

Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan gutingan disekitar lutut

lawan dan sedikit melakukan putaran agar lawan jatuh dan terkunci.

90
C

Gambar 21. Kuncian 2


(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

d. Kuncian 3

Tahapan dalam melakukan kuncian ketiga adalah dengan melakukan

hindaran dengan menggeser kaki kiri untu mengindar dan bersamaan

91
dengan itu melakukan tangkapan menggunakan tangan anan, sedangkan

tangan kiri mencengkram kuat bagian siku lawan. Tarik lawan kearah

belakang hingga lawan terjatuh dengan posisi kayang dan langkah

terakhir adalah melakukan serangan berupa pukulan ke arah kepala.

Berikut adalah gambar dari langah-langkah kuncian 3.

A B

C
Gambar 22. Kuncian 3
(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

92
e. Tangkisan 1 dan tendangan setengah
Tangkisan sekaligus tendangan setengah ini dilakukan hampi sama

dengan langkah diatas yaitu dengan menghindar kearah kiri dengan

tangan pesilat melakukan gerakan mematahkan persendian lawan dan

pada saat yang bersamaan meelakukan tendangan setengah kearah tulang

rusuk lawan. Berikut adalah bentuk dari gerakan tersebut.

Gambar 23. Tangkisan 1 dan tendangan setengah


(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

93
3. Tangkisan 2 dan tendangan
Sama dengan gerakan-gerakan sebelumnya, gerakan ini melakukan

hindaran kearah kiri dengan tangan pesilat melakukan tangkisan

sekalligus pematahan terhadap sendi siku lawan dan tendangan kearah

punggung lawan.

Gambar 24. Tangkisan 2 dan tendangan


(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

4. Bantingan 1
Tahapan dari bantingan ini adalah dengan cara melakukan hindaran

melalui kuda-kuda yang rendah dan melakukan tangkapan terhadap kaki

lawan. Langkah selanjutnya adalah melakukan sapuan terhadap lawan

sambil melakukan bantingan terhadap lawan dan diakhiri dengan

melakukan pukulan kearah kepala lawan.

94
A B

Gambar 25. Bantingan 1

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

5. Bantingan 2

Bantingan ini dilakukan dengan cara melakukan tangkapan

terhadap tendangan lawan dan langkah selajutnya adalah mengunci kaki

95
lawan diatas bahu sambil menyilangkan tangan agar kaki lawan tidak

dapat lepas. Tahap selanjutnya dari teknik ini adalah adalah dengan

gerakan yang menyilangkan kaki kepinggang lawan dengan tujuan lawan

terkunci dan jatuh ke tanah.

langkah terakhir dari gerakan bantingan ini adalah dengan

melakukan seragan berupa pukulan terhadap bagian kepala lawan.

Dengan teknik ini pertarungan dapat diakhiri dengan singkat dan sangat

ampuh untuk melumpuhkan lawan dalam satu kali serangan.

96
B

97
D
Gambar 26. Bantingan 2
(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

6. Guntingan 2 dan kuncian

Jurus ini digunakan dalam pertarungan dengan pola serangan pesilat

sedang duduk membelakangi lawan dan dilakukan dengan setengah

backroll dan langsung melakukan guntingan terhadap lawan. Setelah

lawan jatuh tersungkur kemudian pesilat melakukan kuncian terhadap

kaki dan diakhiri dengan pukulan kearah kepala.

98
A

99
C

Gambar 27. Guntingan 2


(Sumber: Dokumentsi Hernando 2018)

100
2. Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe Dan Perguruan Silat Singa

Jambung Tinjek-Salamat Kambe

Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe adalah salah satu perguruan bela diri

tradisional suku Dayak yang ada di Kalimantan Tengah dengan aliran dari

Salamat Saun atau lebih dikenal dengan nama Salamat Kambe, Perguruan ini

berada di desa Jahanjang, kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan,

Kalimantan Tengah. Nama Salamat Kambe sangat dikenal diseluruh Kalimantan

Tengah karena beliau adalah salah satu Tokoh yang memiliki andil besar dalam

penyebaran bela diri tradisional suku Dayak, terlebih beliau adalah adik kandung

dari Mahusin Saun atau lebih dikenal dengan nama Tinjek.

Tidak ada syarat khusus dalam perguruan Silat Sakti Salamat Kambe dalam

merekrut calon murid yang ingin belajar, hanya dibutuhkan niat dan tekad yang

kuat, disertai dengan doa-doa sesuai agama dan keyakinannya masing-masing.

Dalam mempelajari seni bela diri tradisional Kuntau yang ada pada perguruan

Silat Sakti Salamat Kambe dibutuhkan waktu 40 (empat puluh) hari yang mana

dilaksanakkan pada tiap malam dengan durasi 3 sampai 4 jam latihan perhari

hingga selesai proses latihan yang disebut dengan Batamat.

Tetapi dalam perguruan Silat Singa Jambung Tinjek-Salamat Kambe masih

begitu kental nilai-nilai tradisi yang dijaga, seperti pada saat proses penerimaan

murid selalu diadakan ritual-ritual seperti diadakannya “penduduk” atau sesajen

serta masih menggunakan minyak-minyak yang diercaya memiliki kekuatan

101
magis seperti “minyak garak” dan “minyak palampas” dalam proses latihan

hinga lulus “batamat”.

a. Sejarah Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe

Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe baru berdiri pada tahun 2016

silam di desa Jahanjang, di mana latar belakang perguruan ini berdiri adalah

atas dasar dari bentuk suatu kepedulian terhadap kebudayaan daerah dan

pelestarian nilai-nilai budaya dalam seni bela diri tradisional suku Dayak di

Kalimantan Tengah. Didirikan oleh Sainin selaku pelatih dan Sarwepin

sebagai pembina perguruan di desa Jahanjang dengan membuka latihan bagi

anak-anak di desa Jahanjang.

Awal mula dari perguruan ini adalah tidak lepas dari nama besar

Salamat Saun atau Salamat Kambe, di mana Sainin pernah berguru dan

Sarwepin adalah salah satu dari cucu Salamat Kambe. Sehingga atas dasar

itulah mereka mendirikan perguruan dengan menggunakan nama Silat Sakti

Salamat Kambe, di mana nama tersebut adalah suatu wasiat beliau agar

siapapun yang ingin mendirikan perguruan aliran Salamat Kambe harus

menggunakan nama tersebut.

Namun pada tahun 2018 perguruan ini tergabung dalam naungan

Perguruan Silat Singa Jambung Tinjek-Salamat Kambe yang resmi berdiri

pada tanggal 17 April 2018 di Kasongan, kabupaten Katingan yang di

dalamnya terdapat salah satu anak kandung Salamat Kambe yaitu Manggung

102
sebagai Guru Besar dalam perguruan tersebut. Mahusin Saun dan Salamat

Saun adalah dua orang bersaudara. Mereka adalah anak dari Saun, dan ayah

dari Saun bernama Sawang.

Gambar 28. Salamat Saun (Kambe)


(Sumber: Keluarga besar Salamat Kambe dan Tinjek)

103
Gambar 29. Mahusin Saun (Tinjek)

(Sumber: Keluarga besar Salamat Kambe dan Tinjek)

104
Saat ini beberapa tokoh yang menjadi penerus dalam bela diri

tradisional aliran Salamat Kambe-Tinjek adalah anak dari Salamat Kambe

itu sendiri yaitu yang bernama Manggung, beliau adalah Guru Besar dalam

Perguruan Singa Jambung Tinjek-Salamat Kambe.

Selain beliau dua anak Salamat Kambe yang juga meneruskan bela diri

tradisional ini yaitu Meok dan Sendi. Sedangkan anak perempuan Salamat

Kambe yang perempuan bernama Putir tidak turut serta dalam

mengembangkan seni bela diri tradisional ini. Ada pula keturunan-keturunan

beliau yang membuka perguruan di tempat lain, salah satunya adalah Ipung

I. Anjur yang membuka perguruan di desa Mintin, Kabupaten Kapuas.

Manggung Dediansyah

Gambar 30. Manggung (kiri) Dedianysah (kanan)

(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

105
b. Filosofi dalam Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe dan

Perguruan Silat Singa Jambung Tinjek-Salamat Kambe

Tidak banyak filosofi yang dapat diambil dari Perguruan Silat Sakti

Salamat Kambe, sebab perguruan ini masih belum resmi berdiri dan belum

memili badan hukum yang tetap, atau lebih tepatnya perguruan ini dalam

prakteknya masih menggunakan gaya lama dan belum dikonsep sedemikian

rupa. Tetapi dalam perkembangannya, perguruan ini bergabung dan

bernaung dalam perguruan Singa Jambung Tinjek-Salamat Kambe.

Filosofi pertama yang dapat digali dari perguruan ini adalah dari

lambang perguruan itu sendiri. Lambang merupakan suatu symbol ataupun

gambar-gambar didalamnya yang merepresentasikan perguruan itu sendiri

secara terperinci, seperti yang akan diuraikan sebagai berikut.

Gambar 31. Lambang perguruan Singa Jambung


(sumber: Perguruan Silat Singa Jambung)

106
Singa Jambung adalah salah satu nama tokoh yang berhubungan

dengan keluarga turun-temunrun yang menaungi dua aliran pencak silat

Salamat Kambe dan Tinjek, dalam artian siapapun yang ingin mendirikan

perguruan harus sesuai dengan rekomendasi dari keluarga besar.

Makna seragam perguruan yang menggunakan warna hitam dan warna

ligkaran yang berwarna hitam bukanlah lambang dari suatu kejahatan,

melainkan warna hitam merepresentasikan sesuatu yang tersembunyi,

menguasai kuntau tetapi tidak kelihatan. Seperti filosofi bayangan, ada tetapi

tidak terlihat.

Lingkaran kuning (emas) dan yang juga ada pada nama Tinjek-

Salamat Kambe adalah suatu harapan yang merepresentasikan nama dari

tokoh tersebut akan seperti emas dan tidak pudar pada seni bela diri kuntau.

Bintang adalah makna dan simbol dari 5 (lima) generasi, dua dari genersi

Salamat Kambe, dua generasi dari Tinjek, dan satu dari generasi ketiga yaitu

Dedyansah selaku pendiri perguruan Singa Jambung,

Mandau dan Talawang adalah simbol atau ciri khas yang mewakili

kebudayaan suku Dayak, dan gambar yang berbentuk senjata Trisula adalah

yang pada mulanya adalah senjata utama yang digunakan dalam perguruan

Singa Jambung sebagai sebuah simbol identitas perguruan.

107
c. Teknik Seni Bela Diri Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe

1. Sikap Hormat

Sikap hormat pada perguruan Silat Sakti Salamat Kambe dapat

berlaku juga sebagai sikap pasang di mana dalam sikap hormat atau nama

lainnya adalah tarik hormat, pesilat memberikan hormat kepada setiap

tamu yang saat itu menontonnya sekaligus memposisikan diri untuk siap

menerima dan menangkis setiap serangan yang bisa saja datang secara

tiba-tiba.

108
B

Gambar 32. Sikap hormat/Tarik hormat

(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

2. Sikap Pasang

Tahap pertama dalam sikap pasang adalah menempatkan kaki

kanan di depan (kuda-kuda depan) dengan posisi tangan tangan kanan

digenggam dan tangan kiri dibuka. Langkah selanjutnya adalah menarik

tangan kanan kearah pinggang dengan tujuan bersiap melancarkan

pukulan ataupun tangkisan (belaan).

109
A B

Gambar 33. Sikap pasang Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe


(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

110
3. Langkah (Jurus) Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe

Langkah ataudisebut juga dengan jurus dalam Kuntau banyak

menggunakan kata Epat yang dalam bahasa Indonesia adalah empat.

Penggunaan kata Epat adalah salah satu ciri dari langkah kuntau

pergerakannya selalu bergerak ke-empat arah (penjuru mata angin). Sama

dengan langkah enam, pergerakannya juga ke enam arah.

Beberapa langkah atau jurus yang ada dalam perguruan Silat Sakti

Salamat Kambe yang pertama itu adalah epat batarik, yang kedua adalah

epat Jurusan yang ketiga itu adalah epat depuk yang keempat adalah epat

buksai, yang kelima adalah epat sabongkar, sedangkan yang keenam

adalah enam batarik, enam sabongkar, dan enam buksai, kemudian

adalah langkah bangkui.

Gambar 34. Epat batarik


(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

111
Gambar 35. Epat penjuru
(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

Gambar 36. Epat depuk


(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

112
Gambar 37. Epat buksai

(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

Gambar 38. Epat sabongkar


(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

113
Gambar 39. Langkah bangkui

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

4. Serangan dalam Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe

Serangan dalam bela diri tradisional baik itu kuntau maupun

bangkui pada perguruan Silat Sakti Salamat Kambe ada beberapa

bentuk, baik itu serangan tangan maupun serangan kaki yang berupa

tendangan. Berikut adalah beberapa contoh bentuk dari serangan dalam

perguruan Silat Sakti Salamat Kambe.

a. Susul (Pukulan)

Susul atau pukulan, ciri khas dari pukulan ini adalah pada

bentangan tangan yang tidak sampai habis pada saat memukul,

dengan tujuan agar dapat segera ditarik secepat mungkin sehingga

114
lawan tidak memiliki kesempatan untuk menangkap tangan pesilat

pada saat memukul.

Gambar 40. Susul (Pukulan)

(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

115
b. Pukul Bawah

Pukul bawah adalah bentuk lain dari susul, bentuk dari pukulan

dan tarikannya sama, yaitu dorongan dilakukakn setengah dan ditarik

dengan secepatnya. Perbedaannya terletak pada bentuk kuda-kuda

yang sangat rendah dan target dari serangan mengarah kepada perut

bagian bawah. Pukulan ini dilancarkan bersamaan pada saat pesilat

melakukan hindaran dari pukulan lawan yang mengarah pada kepala.

Gambar 41. Pukul bawah

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

116
c. Sikut

Sikut atau pukulan yang menggunakan sikut merupakan salah

satu jenis pukulan yang mematikan dalam teknik bela diri kuntau,

terutama jika perkenaan dari serangan ini mengenai bagian ulu hati

dari lawan. Serangan ini biasanya dilancarkan dalam pertarungan

jarak dekat.

Gambar 42. Pukulan Sikut


(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

117
d. Tandang Satengah atau tendangan setengah

Pada dasarnya bela diri tradisional suku Dayak terutama yang

beraliran bangkui tidak mengenal tendangan-tendangan tinggi seperti

pada beladiri lainnya. Karakteristik tendangan yang rendah ini

dikarenakan kuda-kuda dari bangkui itu sendiri adalah kuda-kuda

rendah. Disamping itu, tendangan setengah target sasarannya adalah

pada organ vital.

Hampir sama seperti pukulan, tandang satengah atau

tendangan setengah juga dilakukan dengan tidak sampai habis, tetapi

ketika pada pada saat perkenaan dengan lawan maka ditarik secepat-

cepatnya guna menghindari tangkapan lawan.

118
Gambar 43. Tandang satengah
(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

5. Belaan Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe

Bentuk dari belaan dalam perguruan Silat Sakti Salamat Kambe

terdiri atas tangkisan, hindaran dan kuncian, dapat pula berupa

bantingan. Berikut adalah beberapa belaan yang terdapat dalam

perguruan Silat Sakti Salamat Kambe.

119
a. Galombang

Galombang atau dalam Bahasa Indonesia adalah gelombang

jurus ini dalam istilah pencak silat secara nasional disebut juga dengan

sahutan, dimana jurus ini merupakan suatu bentuk gerakan belaan yang

bertujuan untuk menangkis sekaligus melakukan tangkapan terhadap

serangan lawan yang berupa tendangan. Berikut adalah bentuk dan

gambaran dari gerakan galombang.

Gambar 44. Galombang


(sumber: Dokumentasi Hernando 20180

120
b. Salenggang

Salenggang merupakan gerakan tangkisan yang bisa juga

disebut gerakan tangkisan buang luar karena sifat dari pergerakaanya

yang menjauhkan pukulan pukulan lawan kearah luar. Tujuan dari

gerakan ini adalah selain menangkis, dapat mencengkram pergelangan

lawan sehingga ketika pesilat berhasil mencengkram pergelagan lawan,

gerakan berikutnya dapat dilanjutkan dengan melakukan serangan

berupa tandang satengah, ataupun sikuan, bahkan dapat dilanjutkan

dengan pematahan terhadap sendi tangan lawan. Berikut adalah bentuk

dari gerakan salenggang atau bisa juga disebut tangkisan buang luar.

Gambar 45. Salenggang

(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

121
c. Anak (Guntingan)

Teknik gerakan belaan yang disebut anak merupakan teknik dari

gerakan atau jurus bangkui. Jurus ini dilakukan ketika tendangan pesilat

pesilat berhasil ditangkap lawan, sehingga cara belaan untuk

melepaskan diri dari lawan sekaligus melakukan kuncian terhadap

lawan adalah dengan menggunakan jurus anak.

Langkah-langkah dalam melakukan jurus ini adalah dengan

menepakkan kedua tangan ketanah, kemudian melakukan guntigan

menggunakan kaki yang satunya dengan arah jatuhan lawan kedepan

yang dilanjutkan dengan mengunci kaki lawan sehingga lawan tidak

dapat bergerak. Pesilat selanjutnya dapat melakukan serangan berupa

pukulan terhadap lawan. Berikut adalah gambaran atau tahapan-tahapan

dalam melakukan gerakan kuncian anak

122
A

123
C

Gambar 46. Anak (Guntingan)


(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

124
3. Perguruan Palampang Panerus Tinjek

Perguruan Palampang Panerus Tinjek adalah suatu perguruan bela diri

tradisional suku Dayak yang beraliran kuntau, yang berada di Kalimantan Tengah,

tepatnya di desa Mintin, kecamatan Kahayan Hilir. Arti dari nama Palampang

Panerus Tinjek itu sendiri adalah mengangkat dan penerus dari Tinjek. Nama

Tinjek sangat dikenal dikalangan para penggiat bela diri tradisional suku Dayak

atau biasa kita sebut Kuntau, dimana beliau adalah salah satu tokoh yang memiliki

andil besar dalam penyebaran bela diri tradsional suku Dayak ke seluruh

Kalimantan Tengah. Pada perguruan ini memiliki dua aliran gaya yang diterapkan

dalam latihannya yaitu gaya sending dan gaya bangkui.

a. Sejarah Perguruan Palampang Panerus Tinjek

Perguruan Palampang Panerus Tinjek sudah berdiri sejak lama dan

sebelumnya tidak menggunakan nama tersebut, nama tersebut baru diresmikan

pada tahun 2016 sebagai suatu perguruan bela diri yang bernaung dibawah

naungan Ikatan Pencak Silat se-Indonesia (IPSI). Perguruan ini ini berdiri awal

mulanya adalah bentuk dari suatu keprihatinan pendirinya yaitu Ipung I. Anjur,

dimana beliau merasa sangat prihatin terhadap minimnya minat generasi saat

ini yang sangat minim dalam mempelajari seni bela diri tradisional ini tetapi

malah begitu senang dengan bela diri dari luar.

Tokoh yang pertama kali mengenalkan bela diri ini terhadap Ipung

adalah Mahusin Saun atau yang lebih dikenal dengan nama Tinjek, beliau

adalah kakek dari Ipung sekaligus yang mengajarkan seni bela diri suku Dayak

125
dan hampir keseluruh pelosok Kalimantan Tengah. Ipung menjelaskan jika

Tinjek pada awalnya memiliki beberapa orang guru yang jika dihitung

jumlahnya ada sepuluh orang, beliau menuturkan pada saat dahulu seorang

yang ingin mengembangkan atau membuka suatu perguruan, jumlah Guru

orang tersebut haruslah sembilan orang dan untuk menyempurnakan ilmu yang

dimiliki harus juga berguru kepada seorang guru perempuan, dan Guru

perempuan dari Tinjek adalah Nyai Balau, yaitu salah satu tokoh yang sangat

melegenda di Kalimantan Tengah.

Gambar 47. Ipung I. Anjur, Pendiri Perguruan Palampang Panerus Tinjek

(sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

126
Ketika Tinjek wafat, maka Ipung adalah salah satu orang yang

meneruskan seni bela diri tradisional aliran Tinjek dengan mendirikan suatu

perguruan bernama Palampang Panerus Tinjek dengan maksud ialah untuk

terus mengangkat nama besar Mahusin Saun atau dikenal dengan nama Tinjek

agar tetap harum.

Salah satu penerus Tinjek adalah anak kandung dari Tinjek yang ada di

desa Sei Kayu yaitu bernama Taufik, tetapi beliau tidak mendirikan perguruan,

dan ada seorang cucu dari Tinjek yang mengajar di desa Telaga, Kecamatan

Kamipang, Kabupaten Katingan bernama Karyadi, beliau mengajar dengan

cara berkeliling ke desa-desa, dan menetap untuk beberapa lama sampai

menamatkan murid, kemudian pergi lagi ke beberapa desa lainnya dan begitu

seterusnya.

b. Tahapan-tahapan dalam latihan pada Perguruan Palampang Panerus

Tinjek

Perguruan ini masih sangat menjaga nilai-nilai budaya Dayak yang

sangat kental, terutama dalam hal ritual-ritual yang dilakukan baik dalam

penerimaan anggota, proses latihan hingga “Batamat” atau menyelesaikan

tahapan latihan seperti ritual penerimaan murid dilakukan dengan

menggunakan seutas benang sebagai alas duduk murid, kemudian dengan

beberapa sesajen atau yang biasa disebut dengan “penduduk”.

127
Pengertian inisiasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) inisiasi

adalah upacara atau ujian yang harus dijalani orang yang akan menjadi anggota

suatu perkumpulan, suku, kelompok umur, dan sebagainya. Pada masing-

masing perguruan pencak silat, tentu akan ditemukan berbagai macam ritual

(upacara) atau pun ujian yang terlebih dahulu harus dijalani oleh seseorang

calon murid jika ingin berlatih guna menguji keseriusan calon murid tersebut,

apakah layak untuk diterima sebagai murid atau tidak.

Facal dalam Seta (2016:111) mengungkapkan berbagai ritual dan

pelatihan teknik-teknik penca di Jawa Barat.

“Ritual inisiasi penca berhubungan dengan hal yang menandai siklus


hidup dan kalender musim tanam. Ritual ini saling melengkapi dan
memungkinkan para urid mendapatkan pengetahuan rahasia tertentu.
Terdapat serangkaia ritual “penerimaan” didalam perguruan penca,
kenaikan tingkat, pemerolehan kekebalan dan pembuatan minyak ritual.
Ritual itu semua dapat menentukan status dan pertalian antar penekun.
Ritual ini membutuhkan sesasji (s.sarat), harus dilakukan pada malam
sebelum hari jum’at (malam jum’at) atau pada tanggal dan tempat yang
telah ditentukan. Acara-acara ini diawali oleh pembacaan doa Al-Fatihah
dan doa-doa dalam Bahasa Sunda kuno. Untuk ritual yang bersifat
melibatkan orang banyak, sesaji-sesajinya diimasak oleh istri para guru
dengan dibantu oleh para ibu di kampong tempat perguruan penca
tersebut berada. Ritual yang menyangkut pelatihan teknik-teknik penca
diimpin oleh sang guru dan beberapa asisten serta dapat ditujukan untuk
seorang murid atau sekelompok calon murid. Ritual tersebut menyangkut
juga utamanya pelatihan teknik-teknik ketahanan dan penguatan untuk
para murid: pengukuhan hubungan antara murid dan perguruan penca,
penguatan tubuh si murid (terutama lengan bagian depan), kekebalan
terhadap barang-barang dan materi yang dapat melukai, pereratan
hubungan dengan roh-roh pelindung, peningkatan iman dan ketakwaan
religius.”

Facal dalam Seta (2016:234) menjelaskan proses inisiasi di dalam silat

Banten beberapa inisiasi memiliki tujuan untuk mencapai suatu penguasaan

128
teknik, dalam hal ini seperti teknik pijat (urut) penguatan lengan bagian bawah,

ritual mandi bunga atau ritual keceran yang bertujuan untuk memurnikan

penglihatan. Ritual ini tidak hanya dilakukan di Banten saja, melainkan banyak

pula ditemukan di beberapa daerah seperti di Malaysia (semenanjung dan

kepulauan), Brunei Daussalam, Sumatra dan umumnya banyak terdapat di

Jawa. Periode ini merupakan suatu periode di mana sesorang murid pada

beberapa kasus di Jawa Barat bisa dikatakan sebagai periode penderitaan, di

mana seorang dituntut untuk memperkuat dirinya dengan melampaui batas-

batas dari ketahanan fisiknya.

Jadi, proses inisiasi (penerimaan) ialah suatu proses di mana seorang murid

akan diuji terlebih dahulu kesungguhan dan keteguhan hatinya sebelum

mengikuti proses latihan. Pada proses inisiasi, guru/pelatih mempersiapkan

muridnya baik itu melalui doa-doa maupun ritual-ritual, agar proses latihan

lancar dan tidak ada kendala.

Pada tahap awal ini anggota baru diwajibkan untuk makan sebutir telur

yang sudah dibubuhkan “minyak garak” yaitu suatu minyak yang dipercaya

memiliki kekuatan magis untuk meningkatkan sensitifitas gerak (refleks),

kelentukan, daya ingat dan untuk menghindari terjadinya cedera ditengah-

tengah latihan. kemudian pada saat latihan, anggota diwajibkan menggunakan

“minyak main” yang kegunaanya hampir sama dengan “minyak garak” hanya

saja jika “minyak garak” hanya dipakai pada saat awal peneriman saja,

sedangkan “minyak main” digunakan pada setiap sebelum berlatih.

129
Proses berlatih pada perguruan ini terbilang sangat singkat dibanding

dengan disiplin ilmu bela diri lainnya yang sampai bertahun-tahun, tetapi pada

perguruan ini lamanya latihan yaitu hanya berlangsung selama 30-41 hari saja,

tetapi proses latihan dilakukan setiap malam hari dan durasi latihan adalah 3-4

jam yang dimulai pada pukul 19.00 Wib hingga selesai.

Gambar 48. minyak garak dan minyak main


(Sumber: Dokumentasi Hernando 2018)

c. Filosofi Perguruan Palampang Panerus Tinjek

“Harimau tidur jangan diganggu” adalah semboyan dari perguruan

Palampang Panerus Tinjek dimana menurut Ipung selaku pelatih dan pendiri

perguruan ini memiliki arti bahwa manusia yang diam jangan diganggu, dan

jika diganggu jangan salahkan jika harimau akan menerkam dengan buas.

130
Artinya adalah jangan sekali-kali mengganggu orang yang walaupun terlihat

tidak melawan, tetapi jika sudah melawan maka akan menanggung sendiri

resikonya.

Makna dan filosofi yang mendalam terdapat pada lambang perguruan,

pakaian dan setiap gerakan dari sikap hormat hingga pada pola langkah

perguruan Palampang Panerus Tinjek.

Gambar 49. Lambang perguruan Palampang Panerus Tinjek


(Dokumentasi: Perguruan Palampang Panerus Tinjek)

Arti dari bentuk segitiga adalah diumpamakan sebagai gunung, sebab

gunung adalah tempat habitat dari harimau yang notabene harimau adalah ciri

khas dari gerakan perguruan Palampang Panerus Tinjek. Mandau dan Talawang

adalah sebagai salah satu identitas ciri khas orang Dayak Kalimantan Tengah.

131
Gambar tangan menyilang itu adalah representasi dari huruf alif lam mim yang

sangat erat kaitannya dengan agama islam. Putih dan merah merepresentasikan

rasa nasionalisme dimana suatu rasa cinta kepada Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI).

Huruf I.M.S dalam lambang perguruan adalah singkatan dari tiga nama

yaitu Ipung yang mana beliau adalah pendiri perguruan, yang kedua adalah

singkatan dari Mahusin yang mana beliau adalah kakek dari pendiri perguruan,

dan yang ketiga Saun adalah moyang dari pendiri perguruan, sehingga arti dari

I.M.S adalah singkatan dari Ipung, Mahusin, Saun yang juga adalah tiga orang

tersebut digambarkan sebagai gambar bintang yang berjumlah tiga.

Seragam perguruan Palampang Panerus Tinjek hampir sama dengan

seragam silat pada umumnya yaitu berwarna hitam, namun yang membedakan

adalah warna kuning pada bagian kerah dan pada ikat kepala. Warna kuning ini

sangat erat kaitannya dengan keyakinan orang Dayak bahwa warna kuning

adalah warna yang sakral dan memiliki hubungan erat dengan alam gaib,

utamanya bagi orang Dayak di daerah aliran sungai (DAS) Kahayan yang

mempercai keberadaan makhluk gaib bernama “Jin Tumbang Kahayan”. Maka

dari itu pada seragam perguruan Palampang Panerus Tinjek mengharuskan

adanya warna kuning pada seragam mereka.

132
d. Teknik Seni Bela diri dalam Perguruan Palampang Panerus Tinjek

Teknik Seni bela diri dalam perguruan Palampang Panerus tinjek

memiliki dua aliran yaitu Sending dan Bangkui. Sending diartikan sebagai

teknik bela diri bagian atas, sedangkan Bangkui diartikan sebagai teknik bela

diri dengan kuda-kuda atau pukulan bawah.

1. Sikap Hormat Perguruan Palampang Panerus Tinjek

Sikap hormat dilakukan pada empat penjuru arah mata angin, atau

bisa dikatakan penghormatan dilakukan kepada setiap hadirin yang datang

dan ditutup dengan sikap hormat kepada guru/pelatih sebagai bentuk

mohon ijin. Bentuk dari sikap hormat Perguruan Palampang Panerus

Tinjek adalah perlambang memohon kepada Yang Maha Kuasa ketika

orang melihat pesilat melakukan “bunga” atau kembangan, maka

diharapkan orang akan menilai pesilat tersebut baik.

Gambar 50. Hormat perguruan Palampang Panerus Tinjek

(Sumber: Dokumentasi Eko 2018)

133
3. Kembangan Perguruan Palampang Panerus Tinjek

Istilah kembangan ialah suatu gerakan yang menampilkan keindahan

dalam gerakan pencak silat dimana ada makna dan filosofi yang mendalam

didalam setiap gerakannya, dan dalam Kuntau atau bela diri tradisional

suku Dayak disebut mambunga yang secara harfiah memiliki arti yang

sama.

Dalam perguruan ini, kembangan memiliki arti dan filosofi yang

mendalam serta memiliki fungsi untuk melatih gerakan-gerakan tangan

yang mengarah pada melatih kecepatan pukulan, tangkisan dan kekuatan

cengkraman. Berikut adalah langkah-langkah melakukan kembangan pada

perguruan Palampang Panerus Tinjek.

134
B

135
D

Gambar 51. Kembangan Perguruan Palampang Panerus Tinjek

(Sumber: Dokumentasi Eko 2018)

3. Pola Langkah dan sikap Pasang Perguruan Palampang Panerus

tinjek (Langkah Empat)

Maksud dari Bunga Empat (Langkah Empat) adalah betul kita

memiliki jari tangan sebanyak lima jari, tetapi jika digabungkan antara

136
telunjuk dan ibu jari maka akan menjadi empat yang bermakna huruf alif

lam mim. Langkah Empat dimulai dengan sikap hormat, kemudian

membunga seperti yang telah digambarkan sebelumnya.

A B

Gambar 52. Langkah depuk (A) dan buka hadang (B)

(Sumber: Dokumentasi Eko 2018)

Langkah selanjutnya adalah melakukan langkah “Depuk” yang

memiliki makna filosofi bahwa seorang pesilat harus tetap rendah hati dan

jangan takabur sekaligus mohon ijin kepada peguasa tanah “jin tanah” agar

mau menolong.

Gerakan seperti mengikat dalam langkah “depuk” memiliki makna

dan nilai magis yaitu untuk mengunci kekuatan ilmu magis yang

dilancarkan musuh dan dilanjutkan dengan kuda-kuda atau “buka hadang”

137
yaitu suatu sikap pasang dari Kuntau yang bersiap melakukan serangan

terhadap lawan semuanya dilakukan empat penjuru (arah mata angin).

4. Pukulan

Perguruan Palampang Panerus Tinjek memiliki suatu ciri khas dalam

segi pukulan, dimana target dari setiap pukulan yang dilancarkan memiliki

jarak satu jengkal yaitu pada titik-titik yang dianggap memematikan seperti

pada diantara kedua mata, tenggorokan, ulu hati, dan bagian vital.

Ada beberapa nama gerakan pukulan dalam perguruan ini yang

pertama adalah pukulan “Me” yaitu pukulan satu jengkal seperti yang

disebutkan diatas, pukulan malang belakan adalah pukulan yang mengarah

kepada bagian belakang kepala, tumbuk dada patah tangan adalah pukulan

yang mengarah ke ulu hati dengan gerakan dua kali pukulan sekaligus

dilanjutkan dengan mematahkan tangan lawan, tidur sekejap pencuri

datang adalah pukulan yang dilancarkan ketika lawan juga melakukan

pukulan sehingga lawan tidak mengira kita juga akan melakukan serangan.

Berikutnya adalah pukulan sanja yaitu pukulan yang dilakukan dua kali

kebagian rahang seperti uppercut dan dilanjutkan dengan satu kali pukulan

ke ulu hati.

5. Belaan Perguruan Palampang Panerus Tinjek

Belaan pada perguruan Palampang Panerus Tinjek merupakan

pengembangan dari bunga yang dilatih dan dilakukan setiap melakukan

kembangan dengan tujuan tangan pesilat menjadi terbiasa dan luwes

138
sehingga dengan kembangan tersebut pesilat menjadi terlatih untuk

melakukan belaan baik itu cengkraman maupun tangkisan sekaligus

melancarkan pukulan terhadap lawan.

139
C D

Gambar 53. Teknik belaan perguruan palampang Panerus Tinjek

(Sumber: Dokumentasi Eko 2018)

140
4. Sejarah Penggunaan Nama Kuntau

Menurut Kublai (2012:8) dala jurnal berjudul KUNTAO: SOUTH EAST

ASIAN WAY OF THE FIGHT secara harfiah berarti kuntao memiliki arti yaitu “jalan

tinju”. Kublai menjelaskan bagaimana penyebaran kuntao dan negara-negara mana

saja yang menggunakan nama dan aliran kuntao.

“Kuntao (拳 道) adalah sebuah kata Hokkien yang mengacu pada seni bela
diri tradisional Tiongkok yang tersebar di Asia Tenggara, terutama di
komunitas Tionghoa lokal tetapi juga di antara bangsa-bangsa tetangga
lainnya. Para praktisi Kuntao dapat ditemukan di Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura dan Cina dan petualangan sejarah seni ini telah
mewujudkan pertukaran antar-budaya di sekitar Kuntao, telah disebut sebagai
Kuntao Silat kadang-kadang di Indonesia, berdasarkan interaksi timbal balik
dengan berbagai Gaya silat dan diberi nama sebagai Kuntaw di Tagalog
dengan hubungan yang sangat mendalam dengan seni bela diri Filipina, Kali
/Arnis/Eskrima / Mano-Mano di Filipina. Namun, meskipun semua hubungan
dan efek trans-budaya Kuntao tetap sebagai seni bela diri Cina.”

Orlando dalam Kublai (2012:11) mengatakan bahwa ada hubungan yang

sangat erat antara kuntao dan silat dari Indonesia. Menurut Orlando, kuntao tanpa

gerakan silat adalah kung-fu klasik. Orlando mengatakan, pada saat orang Tionghoa

bermigrasi ke Asia Tenggara di mana salah satunya adalah Indonesia, kemampuan

bela diri yang mereka kembangkan di daratan Cina di mana saat itu digunakan dalam

acara pertunangan maupun pada perkelahian, bahkan pertempuran. Pada saat orang

Tionghoa tersebut melakukan pertarungan dengan orang yang beraliran silat dan

mereka memenangkan pertarungan, di mana kebiasaan pada zaman dahulu adalah

siapa yang kalah maka akan berguru dengan yang menang. Sehingga terjadilah suatu

akultirasi dari kuntao dan silat melebur menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

141
Jadi, menurut Bob Orlando kuntao yang ada di Indonesia adalah perpaduan antara

Kung Fu Cina Gaya Selatan dan Pencak Silat.

Sejalan dengan teori diatas, Denys Lombard dalam Facal (2016:2)

menjelaskan bahwa praktik kependekaran yang berlangsung secara sistematis telah

berkembang sejak abad ke-7 bersamaan dengan ekspansi kerajaan Budha Sriwijaya,

pengaruh Tiongkok dan Islam berperan dalam pembentukan praktik-praktik ini lebih

baru lagi. Menurut Pauline dalam Nawi (2016:23) menjelaskan bahwa bela diri main

pukul yang merupakan aliran bela diri silat betawi banyak dipengaruhi oleh aliran dari

luar terutama oleh orang-orang Tiongkok yang bermigrasi ke Betawi pada tahun 1644

pada saat kekuasaan Dinasty Manchu. Ketika orang-orang peranakan Tiongkok

Selatan mengembangkan seni bela diri tersebut di Betawi, mereka menyebutnya

dengan kuntao.

DeMarco (2010:99) dalam Journal of Asian Martial Arts yang berjudul

Practical Fighting Strategies of Indonesian Kuntao-Silat in The Willem Reeders

Tradition mengatakan Orang-orang Cina bermigrasi ke Indonesia selama berabad-

abad lalu. Sebagian orang Tionghoa melarikan diri ke Asia Tenggara saat dinasti Cina

utara menyerang Cina selatan. beberapa datang untuk pekerjaan, sebagian lagi

menjadi pengusaha. Kehadiran imigran termasuk ahli bela diri, mereka mengajar

bahasa Mandarin dan membantu melindungi perusahaan mereka. Gaya bela diri

kuntao memiliki kemiripan dengan beberapa gaya bela diri dari Cina daratan,

terutama yang berasal dari selatan. Orang Indonesia keurunan Tionghoa dan pribumi

membangun suatu hubungan melalui persahabatan, perkawinan, dan hubungan bisnis.

142
Pada gilirannya, ini mempengaruhi bercampurnya seni bela diri dari Cina dengan seni

bela diri asli Indonesia.

Facal (2017:50) dalam jurnal berjudul Trans-Regional Continuities of

Fighting Techniques in Martial Ritual Initiations of the Malay World menungkapkan

bahwa istilah 'kuntao' sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur Cina. Kuntao tersebar di

semenanjung Malaysia, di Selatan Filipina, dan Indonesia khususnya di Betawi.

Pengaruh interregional di Asia Tenggara melalui kedekatan geografis seperti Burma,

Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, Taiwan, dan China memiliki kemiripan antara

sistem pertempuran dan tarian, praktek penyembuhan, perlindungan spiritual, dan

praktik kekebalan, serta penggunaan jimat dan senjata seperti keris keris, pisau

kujang, dan tombak.

Larry (2000:29) mengatakan bahwa asimilasi antara suku Dayak dan orang-

orang dari Yunan perkiraan awal kehadiran mereka di pulau Kalimantan berkisar

antara 4000 hingga 1.500 SM. Pada periode tersebut kemungkinan ada beberapa

gelombang imigrasi leluhur "proto-Melayu" dari orang Dayak. Ada dua kemungkinan

arah migrasi dari daratan Asia, salah satunya yaitu melalui Indocina, melalui

semenanjung Malaysia dan kemudian menyeberang ke Kalimantan. Arah migrasi

lainnya adalah melalui Taiwan, Filipina dan Kalimantan. Ada saat-saat, kemungkinan

selama zaman es, ketika ada daratan yang menjadi penghubung antara semenanjung

Malaysia dan pulau Kalimantan.

Kesimpulannya ialah nama kuntau atau kuntao ialah berasal dari bahasa Cina

yang secara harfiah artinya adalah “jalan kepalan”. Seni bela diri yang awalnya

143
berasal dari Cina ikut dibawa oleh sebagian orang-orang Tiongkok yang bermigrasi

menghindari perang yang terjadi di negaranya. Adapun mereka disebut dengan

“melayu muda”, sedangkan jauh sebelum itu, sudah ada pula orang-orang dari Yunan

yang bermigrasi kurang lebih 4000-1500 tahun Sebelum Masehi yang menyebar

keseluruh Asia Tenggara, mereka disebut dengan “Melayu Tua” atau Proto-Melayu

dimana pada saat itu terjadi asimilasi antara imigran asal Tiongkok dengan

masyarakat pribumi pada saat itu.

Para imigran tersebut juga beberapa dari mereka adalah orang-orang yang

menguasai sei bela diri, mereka hidup berdampingan dengan masyarakat setempat

baik itu melalui perkawinan, rekan bisnis, dan tentu saja dalam ilmu bela diri,

sehingga terjadilah suatu akulturasi kebudayaan dan seni bela diri. Facal dan Nawi

mengungkapkan bahwa baik itu seni bela diri yang ada di Banten (Betawi) maupun

yang ada di Jawa Barat kebanyakan dipengaruhi oleh seni bela diri dari Tiongkok di

mana pada kebiasaan orang zaman dahulu pada saat bertarung dan kalah, maka akan

berguru dengan yang menang.

Hubungan antara seni bela diri tradisional suku Dayak dan seni bela diri dari

Tiongkok adalah pada penyebutan nama kuntao, tetapi tidak serta merta menyatakan

bahwa seni bela diri tradisional suku Dayak asalnya adalah dari Cina. Menurut

pengakuan dari para praktisi seni bela diri tradisional suku Dayak yang ada di

Kalimantan Tengah, dua Tokoh yang berperan dalam menyebarkan seni bela diri

tradisional suku Dayak di Kalimantan Tengah yaitu Mahusin Saun (Tinjek) dan

Salamat Saun (Kambe) memiliki beberapa orang guru dan pernah mempelajari seni

144
bela diri betawi dan cimande, sehingga dari situ hadir aliran betawi liar, walaupun

tidak secara langsung bahwa bela diri suku Dayak asalnya dari Cina, tetapi peneliti

menarik kesimpulan bahwa ada pengaruh dari seni bela diri kuntao yang asalnya dari

Tiongkok terhadap seni bela diri tradisional suku Dayak di Kalimantan Tengah

terlebih dikarenakan penyebaran kuntao yang berasal dari Tiongkok tersebut sampai

ke negara lain seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filiphina dan tentunya Indonesia

dimana nama kuntao juga banyak digunakan di beberapa daerah di Tanah Air, yang

membedakan adalah bahwa di Kalimantan Tengah disebut dengan kuntau bangkui.

5. Mitologi Jurus Bangkui dari Tiga Perguruan

Jurus bangkui merupakan jurus yang diakui sebagai suatu jurus asli dari

Kalimantan Tengah, sedangkan jurus-jurus lain seperti sending, batawi liar,

sanganan dan sababilah merupakan akulturasi dari budaya-budaya luar yang masuk

ke Kalimantan Tengah, sedangkan nama kuntau adalah penyebutan dari seni bela diri

tradisional suku Dayak di Kalimantan Tengah maupun di berbagai daerah di

Indonesia, bahkan ada beberapa negara yang menggunakan nama kuntau untuk

penamaan seni bela dirinya. Nama bangkui sendiri diambil dari salah satu nama

hewan primata yang ada di hutan Kalimantan Tengah yaitu beruk atau dalam bahasa

Inggris southern pig-tailed macaque (macaca nemestrina).

Tiga perguruan di atas menceritakan bagaimana mitologi dari terciptana jurus-

jurus bangkui dengan versi yang berbeda-beda. Namun secara garis besar ada

kesamaan cerita dari ketiga perguruan maupun dari budayawan dan penggiat

145
kebudayaan suku Dayak dalam menceritakan bagaimana mitologi dari jurus tersebut.

perguruan Pangunraun Pitu menceritakan asal mulanya terciptanya jurus ini yaitu

pada zaman dahulu ada seorang kakek yang tidak diketahui identitasnya mengalami

gangguan dari hewan bangkui yang merusak jemuran padinya sehingga singkat cerita

terjadilah perkelahian antara kakek dan binatang bangkui, orang tua tersebut dikunci

sehingga kalah, kemudian binatang bangkui tersebut rupanya merupakan makhluk

jelmaan dan dapat berbicara, sehingga kakek tersebut berguru dengan binatang

jelmaan tersebut.

Versi cerita dari Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe menceritakan bahwa

dahulu kala ada sepasang suami istri, sang istri sering mendapatkan tindakan

kekerasan dari suaminya, sehingga pada suatu ketika sang istri tidak tahan dan

melarikan diri ke hutan dan secara tidak sengaja bertemu dengan hewan bangkui

yang teryata merupakan makhluk jelmaan yang dapat berbicara, binatang tersebut

menanyakan sebab wanita tersebut kenapa bisa berada di hutan rimba yang

notabenenya adalah tempat berbahaya dan begitu banyak binatang buas, wanita

tersebut menceritakan alasan kenapa dia berada di hutan sehingga singgkat cerita

binatang tersebut merasa iba dan akhirnya bersedia mengajari wanita tersebut ilmu

bela diri.

Versi cerita bangkui pada Perguruan Palampang Panerus Tinjek sama dengan

Perguruan Silat Sakti Salamat Kambe, dikarenakan silsilah perguruan yang memiliki

keterkaitan satu sama lain, yaitu sama-sama berasal dari keturunan Saun (Tinjek-

146
Salamat Kambe). Sehingga cerita atau mitologi tentang jurus bangkui pada kedua

perguruan tidak ada yang berbeda.

Kesimpulan dari beberapa versi diatas adalah bahwa jurus Kuntau Bangkui

terispirasi dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh hewan primata yang berasal

dari hutan kalimantan yaitu beruk atau dalam bahasa Dayak Ngaju adalah bangkui,

dimana menurut mitologi orang-orang Dayak bahwa binatang tersebut merupakan

makhluk jelmaan yang dapat berubah wujud dan dapat berbicara hingga mampu

mengajarkkan teknik-teknik bela diri, dari situlah berawal bagaimana hadirnya seni

bela diri kuntau bangkui yang ada di Kalimantan Tengah.

7. Karakkteristik Seni Bela diri Tradisional Suku Dayak Kalimantan Tengah

(Kuntau)

Peneliti menyimpulkan dari hasil pengamatan dalam penelitian ini,

karakteristik dari seni bela diri tradisional suku Dayak Kalimantan Tengah terutama

pada jurus bangkui banyak menggunakan kuda-kuda rendah/bawah dalam pola

langkah maupun pada sikap pasang, jurus-jurus yang ada pada bangkui terlihat dari

pukulan-pukulannya banyak mengarah ke tubuh bagian bawah seperti ke kemaluan

dan ulu hati. Jurus bangkui juga banyak menggunakan serangan-serangan berupa

guntingan dan kuncian di mana kuncian tersebut akan sangat sulit untuk lawan

melepaskan diri.

Bela diri tradisional suku Dayak atau yang penyebutannya adalah kuntau ini

merupakan suatu seni bela diri dengan metode pertarungan jarak dekat, dapat dilihat

147
dan menjadi ciri-ciri yang membedakannya dari bela diri lainnya adalah dari pola

pukulan yang bentangan tangannya ketika memukul begitu pendek dan segera ditarik,

begitu pula pada tendangan yang cenderung melakukan tendangan setengah, begitu

pula dalam hal tendangan, teknik bela diri tradisional suku Dayak Kalimantan Tengah

yang disebut kuntau, tendangan-tendangan yang di arahan terhadap lawan tidaklah

melebihi tinggi dari pinggang, karena target dari serangan ini adalah terletak pada

bagian kemaluan ataupun dikarenakan pada sesama pengguna jurus bangkui yang

sama-sama menerapkan kuda-kuda rendah.

Berbeda dengan aliran Tinjek dan Salamat Kambe, Perguruan Pangunraun

Pitu sangat terbuka dengan seni bela diri di luar Kalimantan. Perguruan Pangunraun

Pitu banyak mengkombinasikan gerakan-gerakan bela diri dari luar seeperti Karate,

Jujitzu, Taekwondo, dan lain sebagainya dalam teknik-teknik bela diri pada

perguruannya. Dengan tujuan memperkaya teknik bela diri serta agar lebih menarik

untuk dipelajari.

8. Seni Bela Diri Tradisional Suku Dayak Kalimantan Tengah Menurut

Budayawan dan Penggiat Kebudayaan Suku Dayak kalimantan Tengah.

Pada tanggal 5 Mei 2018, peneliti melakukan kegiatan wawancara kepada

Tokoh budayawan dan penggiat seni bela diri tradisional suku Dayak Kalimantan

Tengah. Wawancara dilakukan di kabupaten Kapuas, bertepatan dengan kegiatan

Festival Budaya Isen Mulang (FBIM). Kegiatan tersebut adalah suatu kegiatan

tahuunan yang menampilkan beragam perlombaan yang berkaitan dengan

148
kebudayaan suku Dayak di Kalimantan Tengah, salah satunya adalah kegiatan

perlombaan lawang sakepeng.

Peneliti diberikan kesempatan untuk melakukan wawancara langsung kepada

tiga narasumber yaitu: (1) Willbertus Wilson Wijoyo S.Pd., M.M (Kepala Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Tengah), (2) Adhirawan (Guru besar

perguruan pencak silat Telabang Kalimantan dan sekretaris IPSI Kabupaten katingan,

(3) Dreyano Lindan, S.P (Komandan KOPPAD Borneo Kalimantan Tengah).

a. Sejarah Bela Diri Tradisional Suku Dayak di Kalimantan Tengah

Menurut Willbertus, sejarah kehadiran bela diri tradisional kuntau tidak

lepas dari letak geografis pulau Kalimantan dan penyebaran dari leluhur yang

menurut beberapa sumber referensi sebagaian leluhur orang Dayak adalah berasal

dari Cina/Yunan yang disebut dengan melayu Tua. Filosofi “Rumah Betang” juga

memiliki andil cukup besar dalam terjadinya proses asimilasi budaya setempat

terhadap budaya-budaya dari luar, contohnya kebudayaan Melayu yang masuk

seperti bela diri dan lain sebagainya, sehingga munculah suatu beladiri yang

dikenal betawi liar, main cabang, main jago dan lain sebagainya yang disebabkan

oleh suatu proses asimilasi kebudayaan, di mana suatu kebudayaan itu dianggap

baik maka suku Dayak menerimanya.

Bela diri suku Dayak juga tidak lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan

konsep supranatural seperti proses semedi (bertapa) dan penggunaan ajian-ajian

berupa minyak, dan tentu adanya proses pengalaman kehidupan melalui

149
pengamatan dari alam seperti pergerakan hewan-hewan hutan rimba yang

memperkaya gerakan-gerakan bela diri suku Dayak itu sendiri.

Sejalan dengan apa yang disampaikan Wilbertus, menurut Awang, ada suatu

asimilasi kebudayaan yang terjadi antara kebuayaan suku Dayak dengan

kebudayaan-kebudayaan diluar suku Dayak, seperti masuknya bela diri dari luar

seperti cimande, betawi, dan lain sebagainya. Awang mengungkapkan bahwa bela

diri yang benar-benar asli milik orang Dayak adalah bangkui. Awang

menceritakan bahwa pada zaman dahulu ketika ada seekor kera besar (bangkui)

tertangkap, ketika ditombak hewan tersebut mampu menghindari setiap tombakan

tersebut, sehingga dari situlah muncul gerakan-gerakan yang dinamakan dengan

jurus bangkui.

Tokoh yang memiliki andil besar dalam peyebaran bela diri kuntau di

Kalimantan Tengah menurut Awang ada dua orang, yaitu Tinjek atau Mahusin

Saun, kedua tokoh tersebut adalah Salamat Kambe atau Salamat Saun. Dua orang

bersaudara ini dianggap sebagai tokoh yang awal-awal menyebarkan seni bela diri

ini ke seluruh pelosok dan desa-desa di berbagai kabupaten yang ada di

Kalimantan Tengah. Menurut Awang, secara garis besar, Tinjek menyebarkan seni

bela diri tradisional ini kearah daerah aliran sungai (DAS) Kapuas, sedangkan

Salamat Kambe lebiih kearah daerah liran sungai Katingan.

Menurut Awang, untuk orang-orang di atas Tinjek dan Salamat Kambe tidak

ada informasi yang menyebutkan siapa tokoh-tokoh yang membawa seni bela diri

tradisional ini ke Kalimantan Tengah menjadi membias, ada beberapa versi yang

150
mengatakan bahwa asal mula seni bela diri ini masuk bersamaan dengan

kedatangan bangsa Yunan pada lebih kurang 700 tahun sebelum masehi yang

disebut Melayu Tua ke tanah Kalimantan akibat peperangan yang berkepanjangan,

mereka menetap dan berasimilasi dengan kebudayaan suku Dayak dan mereka

membawa serta ilmu bela diri yang mereka miliki.

Chendana mengatakan bahwa sejarah lahirnya bela diri tradisional suku

Dayak di Kalimantan Tengah tidak lepas dari dua tokoh yang sangat berpengaruh

yaitu Tinjek dan Salamat Kambe. Kedua tokoh inilah yang menyebarkan seni bela

diri tradisional suku Dayak di Kalimantan Tengah ke berbagai desa-desa melalui

daerah-daerah aliran sungai yang ada seperti Kapuas, Kahayan, Katingan, Rungan,

Mentayadan lain sebagainya.

b. Perbedaan Aliran seni bela diri tradisional di Kalimantan Tengah

Secara kelompok besar, aliran-aliran seni bela diri tradisional suku Dayak di

Kalimantan Tengah menurut Awang ada empat yaitu betawi, bangkui, sababilah,

dan sanganan serta betawi liar yang merupakan cabang dari betawi. Dari beberapa

aliran tersebut yang dianggap benar-benar murni milik orang Dayak adalah

bangkui. Selain bangkui, bela diri yang disebutkan di atas merupakan hasil dari

proses asimilasi kebudayaan luar terhadap kebudayaan Dayak.

Ciri khas yang menjadi pembeda antar aliran dalam bela diri tradisional suku

Dayak ini menurut menurut Awang adalah dapat dilihat dari aplikasi pada lawang

sakepeng yaitu ketiga benang yang dibentangkan adalah merepresentasikan

151
berbagai aliran atau gaya. Benang pertama atau bagian atas adalah aplikasi pada

jurus yang terdapat pada sending, karena bermain di bagian pukulan atas. Benang

kedua ialah betawi. Benang ketiga atau yang paling bawah adalah aplikasi dari

jurus bangkui, di mana harus menggunakan kuda-kuda yang rendah.

Wilbertus mengatakan bahwa sebenarnya perbedaan dari berbagai gaya baik

itu betawi, sanganan, bangkui ialah terletak pada sasaran pukulan. Jika bagian atas

adalah sending, bagian tengah adalah betawi, dan bagian bawah adalah bangkui.

Chendana berpendapat, bahwa yang menjadi ciri khas pembeda dari beberapa

aliran adalah dari kembangan dan pola langah saja, sedangkan pukulan-pukulan

dan tendangannya hampir semuanya sama.

c. Peranan Seni bela diri Tradisional terhadap kebudayaan Suku Dayak

Kalimantan Tengah

Peran seni bela diri tradisional suku Dayak ini dalam kehidupan berbudaya

suku Dayak itu sendiri ialah tergambar dari lawang sakepeng yang sering

ditampilkan dalam acara-acara resmi, seperti prosesi dalam pernikahan adat

ataupun menyambut tamu kehormatan. Selain dipertunjukan dalam lawang

sakepeng, menurut Chendana, gerakan-gerakan dalam bela diri tradisional ini

sering dikombinasikan dengan tarian tradisional suku Dayak.

Lawang sakepeng mengandung filosofi yang jika ditelaah secara mendalam

mengarah kepada suatu kehidupan dalam berumah tangga. Secara harfiah, lawang

itu artinya adalah pintu/gerbang. Sedangkan sakepeng, memiliki artian seuntai

152
benang, secara lebih mendalam memiliki artian suatu rintangan pertama dalam

kehidupan berumah tangga. Rintangan tersebut harus diputuskan dengan

menggunakan silat (kuntau).

Aturan dari pemutusan benangpun tidak sembarangan, benang pertama yang

harus diputuskan terlebih dahulu adalah benang yang berada paling atas dengan

pihak yang boleh memutuskannya adalah pihak tamu (pihak laki-laki), dengan

maksud suatu tanda ingin masuk pada pihak perempuan. Benang kedua diputuskan

oleh pemain kuntau dari pihak perempuan dengan maksud memberkan ijin masuk.

Benang terakhir diputuskan secara bersamaan sebagai suatu simbol tidak ada lagi

yang menghalangi kedua belah pihak untuk bersatu.

Dalam memutuskan benang tidak boleh sampai ada perkelahian. Sebab

menurut kepercayaan suku Dayak, jika sampai ada perkeahian maka akan menjadi

suatu pertanda buruk bagi kedua mempelai yang akan memulai kehidupan

berumah tangga, sehingga bagi pemain kuntau jika sampai berkelahi dalam

membuka lawang sakepeng maka akan dikenakan denda adat.

d. Eksistensi Seni Bela Diri Tradisional Suku Dayak Kalimantan Tengah

Menurut Willbertus, eksistensi seni bela diri tradisional suku Dayak

Kalimantan Tengah khususnya kuntau memang mengalami kelangkaan, terutama

dari segi sumber daya manusia (SDM), seperti kurangnya pelatih yang piawai dan

benar-benar bisa diandalakan. Dikarenakan suatu kebudayaan itu dibawa oleh

manusia, dan ketika manusia itu mati, maka hal itu pula akan hilang bersamaan

153
dengan orang tersebut. Sehingga saat ini, untuk mengantisipasi hilangnya seni bela

diri tradisional suku Dayak Kalimantan Tengah, perlu dilakukannya revitalisasi

guna menghidupkan dan menggali kembali bagaimana kuntau yang original, salah

satunya melalui lomba tahunan Festival Budaya Isen Mulang (FBIM).

Menurut Chendana, keadaan dan keberadaan seni bela diri tradisional suku

dayak Kalimantan Tengah adalah sebuah dilemma. Pengembangan seni bela diri

tradisional ini berjalan cukup baik di tingkat perdesaan, dalam artian masih ada

beberapa guru/pelatih yang mengajarkan seni bela diri tradisional ini. Sedangkan

di perkotaan, khususnya di Kota Palangka Raya, masih bernaung di sanggar-

sanggar yang pada kenyataannya merupakan sanggar yang terkhusus pada seni

Tari, bukan perguruan pencak silat seni bela diri tradisional suku Dayak

Kalimantan Tengah.

e. Harapan Budayawan terhadap Seni Bela Diri Tradisional Suku Dayak

Kalimantan Tengah.

Harapan dari para budayawan, terutama pada perkembangan seni bela diri

tradisional suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah kuntau telah menjadi

identitas dan jati diri orang Dayak, agar terus dapat dilestarikaan dan lebih

dikembangkan, sehingga yang saat ini mulai punah dapat kembali lestari,

eksistensinya terus berkembang bahkan sampai ke tingkat nasional maupun pada

tangka internasional.

154
Lebih lanjut, harapan para budayawan ialah agar pemerintah yang secara

khusus pada dinas-dinas terkait seperti Dinas Kebuayaan dan Pariwisata maupun

Dinas Pemuda dan Olahraga propinsi Kalimantan Tengah beserta Dewan Adat

Dayak Kalimantan Tengah agar dapat bersinergi dan bahu-membahu dalam

mengembangkan seni bela diri tradisional suku Dayak Kalimantan Tengah.

C. Analisis Trianggulasi Data

Tabel 2. analisis trianggulasi

No Aspek Analisis Trianggulasi


(1) (2) (3)
1 Sumber Informasi Pakar yang kompeten
1. Anthonius Limpau (pendiri perguruan
Pangunraun Pitu)
2. Herdiman (pelatih perguruan Pangunraun
Pitu)
3. Ipung I. Anjur (pendiri perguruan
palampang Panerus Tinjek)
4. Sainin (pelatih perguruan Silat Sakti
Salamat Kambe)
5. Sarwepin S. Sal (pembina perguruan Silat
Sakti Salamat Kambe)
Hasil penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan
menunjukan bahwa tokoh yang pertama kali
menyebarkan seni bela diri tradisioanal suku
Dayak di seluruh pelosok Kalimantan Tengah
ialah dua orang bersaudara yaitu Mahusin Saun

155
(Tinjek) dan Salamat Saun (Kambe). Filosofi yang
terkandung di dalamnya sangat erat dengan nilai-
nilai kebudayaan suku Dayak melalui lawang
sakepeng dan nilai-nilai keislaman yang
tergambar dari huruf arab seperti alif lam mim
yang direpresentasikan dalam bentuk gerakan-
gerakan langkah. Teknik bangkui sebagai teknik
yang paling original dari bela diri tradisional suku
Dayak Kalimantan tengah, gerakan terinspirasi
dari hewan bangkui, sejenis kera (beruk) dengan
nama latin Macaca Nemestrina, kuda-kuda yang
sangat rendah, pola serangan mengarah tubuh
bagian bawah, dengan kuncian-kuncian yang
sifatnya sangat sulit untuk dilepaskan.
Hasil penelitian di tuangkan dalam bentuk
buku berjudul “BELA DIRI TRADISIONAL
SUKU DAYAK KALIMANATAN TENGAH
(Sebuah Kajian Sejarah, Filosofi, dan Teknik
Seni Bela Diri Tradisional)
2 Tujuan Mencari prioritas, intervensi dan kesepakatan
bersama dalam menentukan bagaimana sejarah
dan siapa tokoh, filosofi, dan bagaimana teknik
bela diri tradisional suku Dayak Kalimantan
Tengah.
3 Konflik Dalam penelitian ini, peneliti dan para sumber
kesulitan menemukan siapa tokoh yang lebih
dahulu menemuan dan menyebarkan seni bela diri
tradisional suku Dayak Kalimantan Tengah selain

156
dari Mahusin Saun (Tinjek) dan Salamat Saun
(Kambe) dikarenakan tidak ada atatan sejarah
maupun secara lisan yang menceritakan siapa
tokoh yang paling pertama menciptakan seni bela
diri tradisional suku Dayak Kalimantan tengah.
4 Alat Analisis Kuisioner, wawancara, dokumentasi dan studi
literature dari pengalaman empiric di tempat lain.
5 Validasi Peneliti melakukan wawancara terhadap
budayawan dan pelaku seni kebudayaan suku
Dayak Kalimantan Tengah untuk mencocokkan
data yang diperoleh dari tiga perguruan yang
diteliti. Tiga tokoh tersebut ialah.
1. Dreyano Lindan (komandan KOPPAD
Borneo Kalimantan Tengah)
2. Wilbertus Wilson Wijoyo (Kepala Taman
Budaya Kalimantan Tengah)
3. Adhirawan (guru besar perguruan
Telabang Kalimantan.
Buku berjudul “BELA DIRI TRADISIONAL
SUKU DAYAK KALIMANATAN TENGAH
(Sebuah Kajian Sejarah, Filosofi, dan Teknik Seni
Bela Diri Tradisional) divalidasi oleh Dr.
Panggung Sutapa, M.S selaku validator ahli
materi dari buku tersebut.

157
D. Keterbatasan Penelitian

Sebuah penlitian tentu adanya suatu keterbatasan, ada beberapa hal yang

menjadi keterbatasan dalam penelitian ini yang peneliti temui selama melakukan

penelitian.

1. Luasnya ruang lingkup penelitian, di mana propinsi Kalimantan Tengah terbagi

atas 13 kabupaten dan 1 kota.

2. Jarak tempuh yang begitu jauh, dan memerlukan biaya yang begitu besar

menyebabkan peneliti hanya mengambil 3 kabupaten sebagai lokasi penelitian.

3. Sulitnya mencari perguruan yang berlatih secara rutin, terorganisir, dan yang

berbadan hukum. Kebanyakan masih bernaung di bawah sanggar tarian dan pola

latihannya hanya untuk kepentingan tari daerah, bukan perguruan bela diri.

4. Ada beberapa perguruan yang tidak bersedia menjadi objek penelitian.

5. Minimnya catatan-catatan sejarah dan jurnal mengenai tokoh-tokoh dalam

perkembangan seni bela diri tradisional suka Dayak Kalimantan Tengah adalah

salah satu keterbatasan dari penelitian ini.

Itulah yang dirasakan peneliti sebagai suatu keterbatasan dalam penelitian ini,

dan harapannya agar dapat disempurnakan lagi kedepannya.

158

Anda mungkin juga menyukai