Anda di halaman 1dari 97

BAB II

KASUS POSISI

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT NOMOR


1359/PID.B/2014

TENTANG KASUS ADE SARA

Kasus Posisi
Seorang mahasiswa bernama Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan pacarnya
yang bernama Assyifa Ramadhani berencana untuk melakukan penculikan terhadap
seorang mahasiswi bernama Ade Sara Angelina Suroto, rencana tersebut
diakibatkan karena perbuatan Ade Sara Angelina Suroto yang mengirimkan sebuah
pesan singkat kepada Ahmad Imam Al Hafitd yang merupakan mantan pacarnya
sekitar bulan februari 2014. Setelah itu, perbuatan Ade Sara diketahui oleh pacar
Ahmad Imam Al Hafitd yang bernama Assyifa Ramadhani dan ia sebagai pacar
Ahmad Imam Al Hafitd menjadi kesal terhadap perbuatan Ade Sara Angelina
Suroto dan pasangan tersebut menjadi bertengkar karena adanya perbuatan Ade
Sara Angelina Suroto yang menghubungi mantan pacarnya yaitu Ahmad Imam Al
Hafitd. Satu minggu setelah pertengkaran tersebut, Assyifa Ramadhani mengajak
Ahmad Imam Al Hafitd untuk melakukan penculikan terhadap Ade Sara Angelina
Suroto dengan tujuan agar Assyifa Ramadhani percaya bahwa hubungan Ahmad
Imam Al Hafitd dengan Ade Sara Angelina Suroto benar-benar sudah tidak ada
lagi.
Tepatnya pada tanggal 3 maret 2014 pukul 17.00 WIB pada saat pasangan ini
pulang dari tempat kuliahya, Assyifa Ramadhani mengajak Ahmad Imam Al Hafitd
untuk melakukan penculikan terhadap Ade Sara, lalu Ahmad Imam Al Hafitd
menuruti permintaan Assyifa Ramadhani dan merencanakan bagaimana permulaan
pelaksanaan penculikan tersebut, selanjutnya Assyifa Ramadhani menghubungi
Ade Sara Angelina Suroto melalui media sosial bernama “Path” dan mengatakan
kepada ade sara bahwa teman dari Assyifa Ramadhani ada yang ingin mendaftar di

20
tempat les Ade Sara, tempat les tersebut merupakan les bahasa Prancis yang
bernama “GOETHE INSTITUTE” di daerah Menteng Jakarta Pusat, hal ini
dilakukan untuk menjebak Ade Sara supaya Ade Sara mau menemui Assyifa
Ramadhani bersama dengan pacarnya dan melancarkan permulaan pelaksanaan
penculikan tersebut.
Selanjutnya, pertemuan kedua belah pihak tersebut dilakukan di Stasiun
Gondangdia Jakarta Pusat karena Ade Sara meminta di jemput di stasiun tersebut,
lalu saat penjemputan Ade Sara kaget karena Ahmad Imam Al Hafitd ikut
menjemput beliau dan mereka naik mobil yang milik Ahmad Imam Al Hafitd.
Dalam perjalanan menuju tempat les Ade Sara, Ahmad Imam Al Hafitd berpura-
pura marah kepada Assyifa Ramadhani lalu Ade Sara meminta turun dengan alasan
untuk mengikuti les dan tidak mau mencampuri pertengkaran kedua pasangan
tersebut. Sesaat setelah Ade Sara turun dari mobil Ahmad Imam Al Hafitd, Assyifa
Ramadhani ikut turun dari mobil dan meminta ikut kedalam tempat les Ade Sara
untuk menenangkan diri, setelah itu di dalam tempat les tersebut Assyifa
Ramadhani mengajak Ade Sara untuk membantu menyelesaikan pertengkaran
tersebut dan Ade Sara menuruti permintaan dari Assyifa Ramadhani.
Kemudian mereka berdua naik kembali ke dalam mobil Ahmad Imam Al Hafitd
dan duduk di bangku belakang, selanjutnya disaat Ade Sara sedang berbicara
dengan Ahmad Imam Al Hafitd secara bersamaan Assyifa Ramadhani mengambil
alat setrum yang sudah disiapkan di dalam mobil dan di arahkan ke bagian perut
Ade Sara sebanyak 3 kali sehingga Ade Sara kejang-kejang dan meminta tolong.
Setelah menggunakan alat setrum, Assyifa Ramadhani memukul Ade Sara di
bagian bahu dan wajah dengan menggunakan tangan kiri dan Ahmad Imam Al
Hafitd dengan melihat peristiwa tersebut langsung tancap gas mobilnya ke arah
Taman Menteng Jakarta Pusat. Kira-kira 300-400 meter dari tempat les Ade Sara,
Ahmad Imam Al Hafitd memberhentikan mobilnya dikarenakan Ade Sara terus
berteriak meminta tolong dan menendang pintu mobil, lalu Ahmad Imam Al Hafitd
memukul wajah Ade Sara sebanyak 5 kali disaat bersamaan Assyifa Ramadhani
menjambak rambut dan menampar wajah Ade Sara dan perjalanan dilanjutkan ke
arah Taman Mini Jakarta Timur.

21
Dalam perjalanan, Ade Sara yang sedang kesakitan meminta maaf kepada
Assyifa Ramadhani karena perbuatannya yang menghubungi mantan pacar Ade
sara yaitu Ahmad Imam Al Hafitd akan tetapi Assyifa Ramadhani tidak mau
memaafkan perbuatan Ade Sara begitu saja, tidak puas hanya menyetrum dan
memukul Ade Sara, Assyifa Ramadhani menyuruh Ade Sara membuka seluruh
pakaian yang dikenakannya saat itu supaya Ade Sara tidak berani keluar dari mobil
tersebut.
Saat Ade Sara Membuka pakaiannya, ia mengatakan kepada Assyifa Ramadhani
bahwa ia sedang hamil 2 bulan dan seketika Assyifa kaget mendengar hal tersebut
serta menanyakan kepada Ade Sara siapa yang menghamili beliau, Ade Sara
menjawab seorang teman kampusnya bernama Jofi yang telah menghamili dia.
Assyifa Ramadhani menjadi semakin kesal karena mendengar hal tersebut
kemudian ia mengambil tas Ade Sara dan menemukan tisu lalu diberikan kepada
Ade Sara dengan tujuan untuk menyumpal mulut Ade Sara supaya tidak Berbicara
lagi, akan tetapi Ade Sara tidak mau menyumpal mulutnya dan lebih memilih untuk
memakan tisu tersebut.
Melihat Ade Sara yang masih berbicara dan tidak menuruti permintaan Assyifa
Ramadhani, ia mengambil koran yang berada dibelakang jok supir dan membentuk
sebuah bulatan lalu memaksa memasukan koran tersebut ke dalam mulut Ade Sara,
saat sampai di daerah Cempaka Putih Jakarta Pusat, Ahmad Imam Al Hafitd
memukul kembali Ade Sara sampai tangan Ahmad Imam Al Hafitd terluka.
Saat sampai di daerah Kemayoran Jakarta Pusat sekitar pukul 22.00 WIB,
Assyifa Ramadhani mengambil sepatu miliknya dan memukulkannya ke arah
wajah Ade Sara secara berulang-ulang namun Ade Sara hanya diam saja dan tidak
bergerak, melihat hal tersebut Assyifa langsung memegang dada Ade Sara untuk
memastikan Ade Sara masih bernafas, ternyata Ade Sara sudah tidak bernafas dan
Assyifa pun panik dan memberitahukan kepada Ahmad Imam Al Hafitd bahwa Ade
Sara sudah tidak bernafas lagi.
Sekitar pukul 23.00 WIB, mobil milik Ahmad Imam Al Hafitd tiba-tiba mogok
di seberang RS.Kemayoran dan ia keluar dari mobil untuk meminta bantuan jumper
dari mobil yang lewat, setelah itu ia mendapat bantuan dari seorang sopir taksi

22
sepakat akan dan mobil dapat menyala kembali, setelah itu Ahmad Imam Al Hafitd
memutar ke arah Utan Panjang dan sekitar 300 meter mobil mogok kembali, namun
karena sudah larut malam sekitar pukul 02.00 WIB pasangan ini beristirahat di
mobil sambil menunggu kabar dari teman Ahmad Imam Al Hafitd untuk meminta
bantuan jumper.
Pada tanggal 4 Maret 2014 pukul 04.00 WIB Perdana Achmad Alghiefarry alias
Algi bersama dengan Galan yang merupakan teman Ahmad Imam Al hafitd datang
menghampiri mobil tersebut, lalu Ahmad Imam Al Hafitd keluar dari mobil dan
berbicara kepada teman-temannya lalu mereka melihat seseorang selain Assyifa
Ramadhani ada di dalam mobil tersebut dan menanyakan kepada Ahmad Imam Al
Hafitd siapa orang yang ada di dalam mobil tersebut selain Assyifa Ramadhani,
kemudian Ahmad Imam Al Hafitd menjawab itu adalah musuh dari Assyifa
Ramadhani. Setelah itu Ahmad Imam Al Hafitd pergi menggunakan ojek untuk
mencari accu untuk mobilnya, 30 menit kemudian ia datang bersama dengan montir
serta memasang accu tersebut seketika mobil tersebut hidup kembali dan teman-
teman Ahmad Imam Al Hafitd pamit pulang karena ingin berangkat kuliah.
Selanjutnya Ahmad Imam Al hafitd menuju ke ITC Cempaka Mas yang berada
di Jakarta Pusat untuk menyimpan dan memperbaiki mobilnya akan tetapi sekitar
pukul 13.00 WIB sesampainya di tempat tersebut karcis parkir error dan tidak dapat
digunakan. Resah dengan kondisi tersebut, Ahmad Imam Al Hafitd menghubungi
kembali montir yang tadi membantunya untuk memberi tahu lokasi bengkel yang
dapat memperbaiki mobil miliknya. Montir tersebut mengatakan bahwa ada
bengkel di daerah Rawasari Jakarta Pusat lalu Ahmad Imam Al hafitd langsung
meluncur ke bengkel yang dimaksud montir tersebut akan tetapi ia tidak
menemukan bengkel yang dimaksud. Lalu ia bertanya kepada orang-orang sekitar
mengenai bengkel mobil yang ada di daerah tersebut, orang-orang tersebut
mengatakan bahwa ada sebuah bengkel yang berada di Jalan Percetakan Negara,
Salemba Jakarta Pusat.
Setelah mendapatkan informasi tersebut Ahmad Imam Al Hafitd langsung
menuju bengkel yang dimaksud lalu Assyifa Ramadhani merubah posisi mayat Ade
Sara yang sebelumnya dalam posisi duduk direbahkan menjadi posisi tiduran serta

23
ditutupi koran agar tidak di ketahui oleh pihak bengkel bahwa ada jasad manusia di
dalam mobil. Sesampai ke bengkel tersebut sekitar pukul 13.30 WIB mobil
langsung masuk ke bengkel, saat sedang di servis Assyifa Ramadhani keluar dari
mobil dan menunggu di depan mobil, hal ini dilakukan supaya tidak ada montir
bengkel yang masuk ke dalam mobil tersebut.
Sekitar pukul 17.30 WIB mobil milik Ahmad Imam Al Hafitd selesai diperbaiki
dan setelah itu pasangan ini menuju ke daerah Klender Jakarta pusat untuk
membuang jasad Ade Sara, sesampainya di daerah Klender Jakarta Timur pasangan
ini mencari tempat di daerah tersebut sampai pukul 20.30 WIB dan tidak ditemukan
tempat yang aman untuk membuang Jasad Ade Sara lalu mereka masuk ke tol
Bintara dan tidak lama setelah mereka masuk tol Ahmad Imam Al Hafitd
mengatakan kepada Assyifa Ramadhani untuk membuang jasad Ade Sara di tempat
ini saja, akhirnya pasangan ini memutuskan untuk membuang jasad Ade Sara di
pinggir tol KM 49 Bintara, Kota Bekasi.
Menimbang, bahwa Terdakwa dituntut oleh Penuntut Umum sebagaimana surat
tuntutan Nomor PDM-321/JKT.PS/06/2014 pada tanggal 4 November 2014, yang
pada pokoknya menuntut sebagai berikut :
1. bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani
(diajukan dalam berkas terpisah) telah melakukan pembunuhan berencana terhadap
korban Ade Sara Angelina Suroto yang diatur dan diancam pidana melanggar Pasal
340 Kitab Undang-Undang Pidana j.o Pasal 55 Kitab Undang-Undang Pidana
sebagai dakwaan primair.
Dengan pertimbangan hukumnya sebagai berikut : Bahwa usia terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd saat melakukan perbuatan pembunuhan adalah 18 tahun, dengan
usia tersebut maka terdakwa sudah dapat dimintai pertanggung jawabkan segala
perbuatannya;
Oleh karena terdakwa dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya maka
selanjutnya perbuatan terdakwa telah mengakibatkan matinya korban Ade Sara,
perbuatan terdakwa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu karena adanya
jangka waktu antara niat tersebut timbul dengan pelaksanaan tindak pidana
tersebut;

24
Bahwa terdakwa telah memenuhi unsur sebagaimana yang terdapat didalam
Pasal 340 Kitab Undang-Undang Pidana “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan
direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena
pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Pada tanggal 2 desember 2014, perkara pembunuhan berencana atas nama
Ahmad Imam Al Hafitd telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014/PN.JKT PST dengan amar putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd alias Aso Bin Sumantrie
Ownie secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana secara bersama-sama sebagaimana diatur dan
diancam pidana melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Pidana j.o
Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Pidana;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd alias Aso
Bin Sumantrie Ownie dengan pidana penjara selama Seumur hidup dan
memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan.

25
BAB III

RINGKASAN PUTUSAN PENGADILAN JAKARTA PUSAT NOMOR


1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST

TENTANG KASUS ADE SARA

Ringkasan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara pidana dengan acara
pemeriksaan biasa dalam pengadilan tingkat pertama, menjatuhkan putusan kepada
terdakwa sebagai berikut :
Nama Lengkap : AHMAD IMAM AL HAFITD alias ASO bin SUMANTRI
OWNIE
Tempat Lahir : Padang
Umur/Tanggal Lahir : 18 Tahun/10 Oktober 1995
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Pulogebang Permai Blok A1 No.8 RT.05 RW.10, Cakung,
Jakarta Timur
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan : SMA
Terdakwa ditahan di Rumah Tahanan Negara berdasarkan surat perintah /
penetapan penahan oleh :
1. Penyidik pada Polres Kota Bekasi Kota, berdasarkan Surat Perintah
Penahanan Nomor SP.Han/42/III/2014/Resta Bks Kota, tertanggal 7 Maret
2014, sejak tanggal 7 Maret 2014 s.d tanggal 26 Maret 2014;
2. Dikeluarkan dari tahanan, berdasarkan Surat Perintah
SP.P.Han/45/III/2014/Resta Bks Kota, tertanggal 11 Maret 2014, sejak
tanggal 11 Maret 2014 ;
3. Ditahan lanjutan oleh Penyidik pada Polisi Daerah Metro Jaya, berdasarkan
Surat Perintah Penahanan lanjutan, Nomor SPP Han/217/III/2014/

26
Ditreskrimum, tertanggal 11 Maret 2014, sejak tanggal 11 Maret 2014 s.d
26 Maret 2014;
4. Perpanjangan Penuntut Umum berdasarkan Surat Perpanjangan Penuntut
Umum Nomor B-1775/O.1.4/Epp.1/03/2014 tertanggal 24 Maret 2014,
sejak tanggal 27 Maret 2014 s.d tanggal 5 Mei 2014;
5. Perpanjangan I Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Surat
Penetapan Nomor 280/Pen.Pid/V/2014/Jkt Pst, tertanggal 2 Mei 2014,
sejak tanggal 6 Mei 2014 s.d tanggal 4 Juni 2014;
6. Perpanjangan II Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Surat
Penetapan Nomor 350/Pen.Pid/V/2014/Jkt Pst, tertanggal 2 Juni 2014,
sejak tanggal 5 Juni 2014 s.d tanggal 4 Juli 2014;
7. Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Surat
Perintah Penahanan Nomor Print-1363/O.1.10/Epp.1/06/2014, tertanggal
23 Juni 2014, sejak tanggal 23 Juni 2014 s.d tanggal 12 Juli 2014;
8. Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Surat
Penetapan Nomor 467/Pen.Pid/VII/2014/Jkt Pst, tertanggal 8 Juli 2014,
sejak tanggal 13 Juli 2014 s.d tanggal 11 Agustus 2014;
9. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Penetapan
Nomor 1359/ Pen.Pid.B/2014/PN.Jkt Pst, tertanggal 7 Agustus 2014 sejak
tanggal 7 Agustus 2014 s/d tanggal 5 September 2014;
10. Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Surat
Penetapan Nomor 1359/Pen.Pid.B/2014/PNJkt Pst, tertanggal 25 Agustus
2014, sejak tanggal 4 November 2014 s.d tanggal 4 November 2014;
11. Perpanjangan I Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, berdasarkan Surat
Penetapan Nomor 2096/Pen.Pid/2014/Jkt Pst, tertanggal 24 Oktober 2014,
sejak tanggal 05 November 2014 s.d tanggal 04 Desember 2014;
12. Perpanjangan II Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, berdasarkan Surat
Penetapan Nomor 2098../Pen.Pid./2014/Jkt Pst, tertanggal. 26 Desember
2014, sejak tanggal 5 Desember 2014 s.d tanggal 3 Januari 2015.

27
Terdakwa didampingi oleh Penasihat Hukum 1. SHINTA MARGHIYAWA,
SH, MH, 2. HENDRAYANTO SH, MH 3. BERTHANATALIA, SH, MH, 4.
HENDRA HERIANSYAH, SH, 5. KARYANTO, SH Kelimanya Advokat pada
Law Firm Hendrayanto & Partners Advocates dan Counsellors at Law di Jakarta
Utara yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada
hari : Kamis, tanggal 7 Agustus 2014 dibawah Register Nomor :
1359/Pid.B/2014/leg.Srt.Kuasa/PN.Jkt.Pst.
Pengadilan Negeri tersebut :
Telah membaca Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1359/
Pid.B/2014/PN.Jkt Pst tanggal 7 Agustus 2014 tentang Penunjukkan Mejelis
Hakim yang menyidangkan perkara ini;
Telah membaca Penetapan Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini
Nomor 1359/Pid.B/2014/PN Jkt Pst tanggal 11 Agustus 2014 tentang Penetapan
Hari Sidang;
Telah membaca surat-surat dalam berkas perkara yang bersangkutan ;
Telah mendengar keterangan Saksi-Saksi dan Terdakwa ;
Telah memeriksa barang bukti yang diajukan di persidangan ;
Telah mendengar Pembelaan dari Penasihat Hukum Terdakwa ;
Menimbang, bahwa Terdakwa dituntut oleh Penuntut Umum sebagaimana surat
tuntutan Nomor PDM-321/JKT.PS/06/2014 pada tanggal 4 November 2014, yang
pada pokoknya menuntut sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa AHMAD IMAM AL HAFITD alias ASO Bin
SUMANTRI OWNIE secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama sebagaimana
diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sesuai dengan dakwaan Primair ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AHMAD IMAM AL HAFITD alias
ASO Bin SUMANTRI OWNIE dengan pidana penjara selama seumur
hidup dan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan ;
3. Menyatakan barang bukti berupa :

28
 1 (satu) unit mobil merk Kia Visto warna silver Nomor Polisi B-
8328-JO ;
 1 (satu) pasang sepatu warna Biru Dongker merk Vell ;
 1 (satu) buah alat penyetrum merk TAZER ;
 sisa tisu yang dimakan oleh korban ;
 campuran tisu dan koran yang diambil dari tubuh korban
(tenggorokan korban) pada saat dilakukan otopsi ;
 1 (satu) buah tas jinjing berwarna putih - merah bertuliskan I Love
Bali ;
 1 (satu) buah handphone merk Black Berry type 8520 warna hitam
bercover gambar wanita ;
 1 (satu) buah KTP atas nama ADE SARA ANGELINA SUROTO ;
 1 (satu) buah Kartu Mahasiswa Universitas & Akademi Pariwisata
BUNDA MULIA atas nama ADE SARA ANGELINA SUROTO ;
 1 (satu) buah kartu “GOETHE INSTITUTE” atas nama ADE SARA
ANGELINA SUROTO ;
 2 (dua) buah kartu (Commet) Computer Eletrik Ticketing ;
 1 (satu) buah kartu membership Card TIP TOP atas nama
ELISABETH DIANA DEWAYANI ;
 1 (satu) buah kartu Perpustakaan Nasional RI atas nama ADE SARA
ANGELINA SUROTO ;
 1 (satu) lembar kartu peserta “GOETHE INSTITUTE” ;
 1 (satu) buah kartu Debit BCA nomor 6019002020879898 atas
nama ADE SARA ANGELINA SUROTO ;
 1 (satu) buah kartu Flazz BCA Nomor 0145000110660111 ;
 1 (satu) buah pakaian celana dalam warna krem ;
 1 (satu) buah pakaian kaos dalam warna putih ;
 1 (satu) buah rok panjang warna hitam ;
 1 (satu) buah gelang bertuliskan java jazz warna merah ;
 1 (satu) buah dompet terbuat dari kain warna biru ;

29
4. Menetapkan supaya terdakwa AHMAD IMAM AL HAFITD alias ASO Bin
SUMANTRI OWNIE dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah) ;

Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor PDM-


321/JKT.PS/06/2014 mengenai kasus Ade Sara:
1. Barang siapa :
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur “barang siapa” adalah
orang perorangan sebagai subjek hukum pendukung hak dan kewajiban,
serta dapat dipertanggung-jawabkan atas segala perbuatannya ;
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa disini adalah
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd alias Aso bin Sumantri Ownie, yang pada
saat dicocokkan indentitasnya adalah benar dan diakui oleh Terdakwa ;
Menimbang, bahwa Terdakwa dapat hadir di depan persidangan, dalam
keadaan sehat jasmani dan rohani, telah mampu menjawab dengan jelas dan
terang atas pertanyaan Majelis Hakim dan Penuntut Umum dan Penasihat
Hukum Terdakwa ;
Menimbang, bahwa Terdakwa dalam kondisi tidak terganggu jiwanya,
maka kepada Terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas segala
perbutannya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, maka unsur kesatu barang siapa telah terpenuhi ;
2. Dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu :
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah melakukan suatu
perbuatan, yang di dorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau
bertindak, atau dengan kata lain bahwa kesengajaan itu ditujukan terhadap
perbuatan (opzet is gericht op de handeling) ;
Menimbang, bahwa suatu perbuatan sudah dapat dikatakan kesengajaan
apabila terdakwa berbuat dengan sengaja atau sengaja tidak berbuat, apa
yang dilarang oleh Undang-Undang atau apa saja yang diperintahkan oleh
Undang-Undang, sudah cukup bagi pelaku dengan sengaja berbuat atau

30
tidak berbuat terhadap suatu hal yang menurut Undang-Undang dapat
dihukum, tidak perlu dibuktikan bahwa terdakwa mengetahui bahwa
perbuatannya atau tindakan perbuatannya dapat dihukum, apakah terdakwa
insyaf akan perbuatannya dilarang atau melanggar hukum ;
Menimbang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita tidak memberi
definisi mengenai hal unsur sengaja. Lain halnya dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas
ditentukan: “Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan
menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja ;
Menimbang, bahwa berdasarkan Petunjuk untuk dapat mengetahui arti
kesengajaan, dapat diambil dari Memorie van Toelichting, yaitu “Pidana
pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Dalam
pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai :
“menghendaki dan mengetahui” (Willens en Wetens). Artinya, seseorang
yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta
menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan,
bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.
Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan
itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang
dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya ;
Menimbang, bahwa mengenai kesengajaan dapat diuraikan sebagai berikut
:
a) Teori-Teori Kesengajaan :
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan
sengaja, yang berisi “menghendaki dan mengetahui” itu, maka
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut 2 (dua) teori
sebagai berikut :
1. Teori kehendak (wilstheorie) ;

31
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-
unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons dan
Zevenbergen) ;
2. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie);
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat
perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan
hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada
apa yang diketahui atau dibayangkan oleh pelaku ialah apa yang
akan terjadi pada waktu ia akan berbuat (Frank);
Terhadap perbuatan yang dilakukan si pelaku kedua teori itu tak
ada menunjukkan perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa
dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam
praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya
adalah hanya dalam peristilahannya saja.
b) Bentuk atau Corak Kesengajaan :
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat
dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan
tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut :
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk
mencapai suatu tujuan (dolus directus) ;
Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat
yang dilarang.
2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met
zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn);
Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya
yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan,
contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau
voorwaardelijk-opzet).

32
Dalam hal ini keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi
kemudian benarbenar terjadi, contoh: meracuni seorang bapak,
yang kena anaknya.
c) Sifat Kesengajaan ;
Kesenggajaan memiliki 2 (dua) sifat, yaitu :
1. Kesenggajaan berwarna (gekleurd) ;
Sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan
sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa
perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada
hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan
hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti
dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat. Jadi menurut
pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa
si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya
antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa:
“Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus,
dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya
kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan” ;
Untuk adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si
pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/ atau
dapat dipidana ;
2. Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos) ;
Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu
berarti bahwa untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si
pelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu
tahu bahwa perbuatannya terlarang/ sifat melawan hukum.
Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang
ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau
bertentangan dengan hukum ;

33
Di Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna
karena di Indonesia menganut doktrin fiksi hukum (seseorang
dianggap mengetahui hukum yang ada) ;
d) Macam Kesengajaan ;
Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesenggajaan (dolus) mengenal
berbagai macam kesenggajaan, antara lain :
 Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang
sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap
objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain ;
 Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih
dahulu ;
 Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat
kepastian objek, misalnya menghendaki matinya ;
 Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat
ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan
orang ;
 Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat
memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni
sumur ;
 Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan
kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat
perbuatannya ;
 Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang
menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang
disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga,
itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja.
Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang
lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku
pada Code Penal Perancis, namun Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia tidak menganut dolus ini.

34
Menimbang, bahwa menurut keterangan dan pengakuan Assyifa Ramadhani
yang diperkuat oleh pengakuan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sendiri
dipersidangan, motifnya karena Assyifa Ramadhani cemburu dan kesal pada
korban Ade Sara, karena korban Ade Sara berhubungan lagi dengan terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd yang masih pacar dari Assyifa Ramadhani, hal tersebut
terbukti dari komunikasi chat yang dilakukan oleh korban Ade Sara dengan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, sedangkan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
menyiksa hingga membunuh korban Ade Sara karena cemburu dan kesal
mendengar korban Ade Sara telah memutuskan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
Hafitd dengan alasan beda agama sedangkan ternyata korban Ade Sara berpacaran
lagi dengan laki-laku yang juga beda agama dan terlebih terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd kesal karena mendengar dari pengakuan korban Ade Sara didalam mobil
bila dirinya sedang hamil oleh perbuatan teman kampusnya, dan juga karena korban
Ade Sara membuat hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa
Ramadhani selalu bertengkar ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd mempunyai kepentingan begitu juga dengan
Assyifa Ramadhani, masing masing mempunyai kepentingan yang berbeda
terhadap korban Ade Sara, namun mempunyai satu tujuan yaitu menghilangkan
penyebab mereka bertengkar, sedangkan yang dianggap menjadi penyebab mereka
bertengkar adalah korban Ade Sara, agar mereka tidak bertengkar maka jalan yang
ditempuh adalah menghilangkan penyebabnya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta hukum tersebut, terlihat bahwa
perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang ditujukan kepada korban Ade
Sara adalah dengan sengaja dilakukan ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut diatas,
maka unsur sengaja telah terpenuhi dalam diri terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
alias Aso bin Sumantri Ownie ;
Menimbang, bahwa perencanaan terlebih dahulu mengandung pengertian bahwa
pelaksanaan tindak pidana pembunuhan tersebut ditangguhkan pelaksanaannya
pada saat niat tersebut timbul, hal tersebut dilakukan dalam rangka menyusun

35
rencana yang terkait dengan cara bagaimana yang akan dilaksanakan untuk
melakukan pembunuhan atau dengan kata lain apabila jarak waktu antara timbulnya
maksud dan pelaksanaannya itu masih ada cukup waktu bagi orang tersebut untuk
berpikir dengan tenang untuk merumuskan bagaimana caranya untuk melakukan
pembunuhan ;
Menimbang, bahwa untuk mengetahui apakah ada perencanaan terlebih dahulu
dalam dakwaan Primair sebagaimana yang diisyaratkan oleh Pasal 340 KUHP, ada
beberapa hal yang harus dipenuhi oleh perbuatan terdakwa, yaitu sebagai berikut:
1. Antara timbulnya niat dengan pelaksanaan perbuatan terdakwa
terdapat cukup waktu bagi terdakwa untuk berpikir dengan
tenang tentang bagaimana cara cara atau rangkaian perbuatan
yang akan dilakukannya untuk pelaksanaan dan niatnya untuk
menghilangkan nyawa korban;
2. Dalam rangkain perbuatan terdakwa terdapat tindakan-tindakan
persiapan untuk melakukan perbuatan pembunuhan;
3. Terlihat dengan jelas dan tegas tentang cara kerja untuk
melakukan perbuatan pembunuhan secara sistematis dan terarah
dengan baik pada bagian vital tubuh korban;

Menimbang, terhadap unsur direncanakan Iebih dahulu, bahwa dari fakta-fakta


yang terungkap dipersidangan sebagaimana terurai diatas terlihat dengan tegas
adanya persiapan terdakwa untuk merencanakan niatnya tersebut untuk
menyingkirkan korban yaitu pada hari Senin tanggal 3 Maret 2014 sekitar pukul
17.00 WIB, ketika terdakwa berusaha mencari alamat les korban Ade Sara,
menjemput korban di stasiun Gondangdia, mempergunakan alasan Assyifa
berantem dengan terdakwa agar membantu Assyifa menyelesaikan masalah dengan
terdakwa yang tujuannya adalah agar korban mau naik ke mobil terdakwa Hafitd.
Semua terdakwa lakukan untuk mewujudkan niatnya;
Menimbang, bahwa sejak saat terdakwa menjemput saksi korban untuk dari
stasiun Gondangdia, ke tempat les di “Goethe institute”, menunggu Assyifa dan
korban mengobrol, tentang keadaan Assyifa yang selalu dibentak bentak oleh

36
Terdakwa Hafitd, adalah cukup waktu bagi terdakwa Hafitd untuk berpikir
mengurungkan atau membatalkan niat tersebut;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur kedua dengan sengaja dan dengan
recana terlebih dahulu telah terpenuhi;
3. Menghilangkan nyawa orang lain :
Menimbang, bahwa hilangnya nyawa orang lain merupakan akibat dari
perbuatan/ rangkaian perbuatan tersebut. Berdasarkan fakta yang terungkap
dipersidangan yang terkait dengan hal ini adalah :
Bahwa, bagian kepala korban yang dipukul oleh terdakwa dengan
menggunakan alat setrum, bagian perut, kaki dengkul dan dada korban
disetrum terdakwa dengan mempergunakan alat setrum berkekuatan 3700
Kv . mencekik dengan tangan dan kaki kiri, memukuli kepala korban
dengan menggunakan tangan;
Menimbang, akibat peristiwa tersebut korban Ade Sara Angelina Suroto
meninggal dunia, diperkuat dengan visum et repertum Nomor: 100/
VER/234.03.13/III/2014 tanggal 11 Maret 20014 yang ditandatangani oleh
dr. Wibisana Widiatmaka, SpF, dokter spesialis forensik pada Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo di Jakarta, pada kesimpulannya menyebutkan “pada mayat
perempuan dewasa muda ditemukan adanya gumpalan dalam rongga mulut,
serta tanda gangguan proses pernafasan. Sebab matinya orang ini akibat
sumbatan pada rongga mulut yang menimbulkan mati lemas;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, unsur ketiga menghilangkan Nyawa Orang lain telah terpenuhi;
4. Yang menyuruh melakukan, mereka yang melakukan atau turut serta
melakukan.
Menimbang, bahwa Penyertaan (Deelneming) terjadi apabila perbuatan
pidana tersébut dilakukan oleh dua orang atau Iebih yang masing masing
dikualifisir sebagai pelaku (Pleger), menyuruh melakukan (Doenpieger),
turut serta melakukan (Medepleger) dan membujuk melakukan (Uitlokker),
serta membantu melakukan (Medeplichtige);

37
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan
yang diperoleh dan keterangan saksi-saksi, surat petunjuk, keterangan
terdakwa, barang bukti serta foto fot Rekonstruksi terdapat fakta hokumya
itu benar pada hari Senin tanggal 3 Maret 2014 sekira pukul 21.30 WIB
bertempat di dalam mobil Kia Visto milik terdakwa, yang diparkir di
kemayoran, Jakarta Pusat;
Menimbang, bahwa diawali dengan keinginan saksi Assyifa untuk
menghukum korban, lalu terdakwa yang memberikan ide masukan agar
korban mau ikut dengan terdakwa untuk masuk ke mobil terdakwa;
Menimbang, bahwa pada saat korban Ade Sara sudah duduk di dalam mobil,
terdakwa Hafitd menyetrum perut dan kaki korban, mencekik korban
dengan tangan, mencekik dengan mempergunakan kaki kiri, memukuli
dengan mempergunakan tangan, sedangkan Assyifa telah menarik rambut
korban sampai korban terduduk dilantai bawah mobil terjepit diantara jok
belakang dan jok depan, Assyifa memukuli, memerintahkan untuk telanjang
memasukkan kertas koran kedalam mulut korban, menarik kepala dengan
mempergunakan tali tas, memukul kepala korban dengan sepatu, hingga
menyebabkan korban lemas dan meninggal dunia;
Menimbang. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, maka unsur keempat turut serta melakukan telah terpenuhi;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari dakwaan Primair telah
terpenuhi, maka dakwaan subsidair tidak perlu dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dalam dakwaan Primair telah
terpenuhi, maka kepada terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PEMBUNUHAN
BERENCANA YANG DILAKUKAN BERSAMA SAMA”.
Hal-hal yang memberatkan :
 Terdakwa berbelit belit dalam memberikan keterangan di persidangan;
 Perbuatan terdakwa telah menghilangkan nyawa korban Ade Sara;
 Perbuatan terdakwa sangat sadis untuk dilakukan oleh seorang remaja.

38
Hal-hal yang meringankan :
 Terdakwa menyesali perbuatannya;

Mengingat, Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana j.o Pasal 55 ayat (1)
ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana j.o Pasal 193 (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana j.o Pasal 197 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
j.o Undang Undang No.8 tahun 1981 serta pasal dari Peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan;
Mengadili :
1. Menyatakan terdakwa AHMAD IMAM AL HAFITD alias ASO Bin
SUMANTRI OWNIE secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “PEMBUNUHAN BERENCANA SECARA BERSAMA-
SAMA”
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AHMAD IMAM AL HAFITD alias
ASO Bin SUMANTRI OWNIE dengan pidana penjara selama seumur
hidup dan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan ;
3. Menetapkan, bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepadanya ;
4. Memerintahkan, agar terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
5. Menyatakan barang bukti berupa :
 1 (satu) unit mobil merk Kia Visto warna silver Nomor Polisi B-
8328-JO ;
 1 (satu) pasang sepatu warna Biru Dongker merk Vell ;
 1 (satu) buah alat penyetrum merk TAZER ;
 sisa tisu yang dimakan oleh korban ;
 campuran tisu dan koran yang diambil dari tubuh korban
(tenggorokan korban) pada saat dilakukan otopsi ;
 1 (satu) buah tas jinjing berwarna putih - merah bertuliskan I Love
Bali ;
 1 (satu) buah handphone merk Black Berry type 8520 warna hitam
bercover gambar wanita ;

39
 1 (satu) buah KTP atas nama ADE SARA ANGELINA SUROTO ;
 1 (satu) buah Kartu Mahasiswa Universitas & Akademi Pariwisata
BUNDA MULIA atas nama ADE SARA ANGELINA SUROTO ;
 1 (satu) buah kartu “GOETHE INSTITUTE” atas nama ADE SARA
ANGELINA SUROTO ;
 2 (dua) buah kartu (Commet) Computer Eletrik Ticketing ;
 1 (satu) buah kartu membership Card TIP TOP atas nama
ELISABETH DIANA DEWAYANI ;
 1 (satu) buah kartu Perpustakaan Nasional RI atas nama ADE SARA
ANGELINA SUROTO ;
 1 (satu) lembar kartu peserta “GOETHE INSTITUTE” ;
 1 (satu) buah kartu Debit BCA nomor 6019002020879898 atas
nama ADE SARA ANGELINA SUROTO ;
 1 (satu) buah kartu Flazz BCA Nomor 0145000110660111 ;
 1 (satu) buah pakaian celana dalam warna krem ;
 1 (satu) buah pakaian kaos dalam warna putih ;
 1 (satu) buah rok panjang warna hitam ;
 1 (satu) buah gelang bertuliskan java jazz warna merah ;
 1 (satu) buah dompet terbuat dari kain warna biru ;
6. Menetapkan supaya terdakwa AHMAD IMAM AL HAFITD alias ASO Bin
SUMANTRI OWNIE dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah) ;

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan


Negeri Jakarta Pusat pada hari SELASA, tanggal 2 DESEMBER 2014 oleh kami
ASBORO, SH sebagai Hakim Ketua, DIAH SITI BASARIAH, SH.M.Hum dan
SUKO PRIYO WIDODO , SH.MH masing-masing sebagai Hakim Anggota,
Putusan mana pada hari SELASA tanggal 9 DESEMBER 2014, diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua tersebut dengan
didampingi DIAH SITI BASARIAH, SH.M.Hum dan SUKO PRIYO WIDODO,
SH masing-masing sebagai Hakim Anggota. Dibantu ABAS BASARI,SH. sebagai

40
Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan dihadiri AJI
SUSANTO, SH sebagai Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa serta Penasihat Hukum
Terdakwa.

41
BAB IV

MASALAH DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA


PUSAT NOMOR 1359/PID.B/2014

TENTANG KASUS ADE SARA

Di dalam Bab IV ini akan dijabarkan atau diuraikan mengenai jawaban atas
pertanyaan yuridis sebagai berikut :
1. Apakah tindakan yang dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
termasuk ke dalam unsur yuridis Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang pembunuhan Berencana atau Pasal 353 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan berencana?

Dengan pertanyaan yuridis tersebut maka penulis akan menjelaskan mengenai


Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana
atau Moord dan Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
penganiayaan berencana.
Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dulu
menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah melakukan suatu
pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu, dipidana dengan pidana
mati atau dipidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara
paling lama dua puluh tahun”.

Dari bunyi pasal tersebut terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, antara lain :
 Merupakan delik Materiil,

 Perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja,

 Tujuan dari perbuatan tersebut adalah untuk menghilangkan nyawa


seseorang,

 Adanya proses direncanakan lebih dulu sebelum perbuatan itu dilakukan


atau Voorbedachte raad.
Mengenai direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad, undang-undang
tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai unsur ini, maka penulis akan menjelaskan

42
unsur ini menurut doktrin yang diperoleh dari beberapa pendapat para ahli pidana
tentang unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad, antara lain:
1. Simons mengemukakan pendapat mengenai arti dari kata Voorbedachte
raad atau direncanakan lebih dulu adalah orang hanya dapat berbicara
tentang adanya perencanaan lebih dulu, jika untuk melakukan suatu tindak
pidana itu pelaku telah menyusun keputusannya dengan
mempertimbangkannya secara tenang, demikian pula telah
mempertimbangkan tentang kemungkinan-kemungkinan dan tentang
akibat-akibat dari tindakannya. Antara waktu seorang pelaku menyusun
rencananya dengan waktu pelaksanaan dari rencana tersebut selalu harus
terdapat suatu jangka waktu tertentu, dalam hal seorang pelaku dengan
segera melaksanakan apa yang ia maksud untuk dilakukan, kiranya sulit
untuk berbicara tentang adanya suatu perencanaan lebih dulu.11
2. Selanjutnya menurut H.R (HogeRaad), arti dari Voorbedachte raad yaitu
suatu tindakan itu dapat dianggap direncanakan terlebih dahulu, selain
membutuhkan jangka waktu panjang maupun pendek, untuk merencanakan
dan mempertimbangkan tindakannya secara tenang, pelaku harus juga dapat
menyakinkan dirinya sendiri mengenai akibat perbuatannya dalam suasana
yang memungkinkan dirinya memikirkan kembali rencananya.12
3. Menurut Memorie Van toelichting, Voorbedachte raad adalah adanya
jangka waktu antara menyusun rencana dan pelaksanaan, tidak berarti
bahwa dalam hal seperti itu terdapat Voorbedachte raad karena dalam
jangka waktu tersebut mungkin saja pelaku tidak punya kesempatan sama
sekali mempertimbangkan secara tenang mengenai apa yang
direncanakan.13
4. Sedangkan menurut Modderman, dalam pembunuhan yang terpenting
adalah pada kejiwaan tentang perilaku selanjutnya pelaku. Jangka waktu
tersebut merupakan petunjuk berharga tentang ada atau tidaknya suatu

11
Simons, Loc. Cit.
12
P.A.F Lamintang & C. Djisman Samosir, Op. Cit, Hlm. 142.
13
Simons, Ibid.

43
Voorbedachte raad akan tetapi hal tersebut bukan merupakan bukti
barangsiapa dengan segala ketenangan, barangsiapa dengan segala
ketenangannya memutuskan untuk membunuh orang lain dan setelah
mempertimbangkannya kembali kemudian melaksanakannya maka ia
seorang pembunuh yang merencanakan lebih dahulu perbuatannya.
Barangsiapa terdorong oleh kemarahan telah memutuskan membunuh
orang lain dan tidak pernah kembali pada suatu keadaan yang tenang untuk
mempertimbangkan melainkan dengan segera melaksanakan keputusannya
itu maka hal tersebut adalah pembunuhan biasa.14

Dengan beberapa doktrin dari para ahli hukum pidana tersebut maka pada
kesimpulannya, unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad dalam
hal pembunuhan, pelaku harus merencanakan dan mempertimbangkan
tindakannya kembali dalam jangka waktu baik singkat maupun lama secara tenang
tanpa ada paksaan dari orang lain tentang akibat-akibat yang akan terjadi jika
perbuatannya tetap dilakukan sampai memutuskan untuk tetap melanjutkan
pembunuhan tersebut maka orang itu memenuhi unsur direncanakan lebih dahulu
atau Voorbedachte raad dalam hal pembunuhan berencana.
Menurut H.R. (HogeRaad), penganiayaan adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang
lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh
merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan. 15
Dengan kata lain untuk menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan,
maka orang tersebut harus memiliki kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan
untuk membuat rasa sakit pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain atau pun
orang itu dalam perbuatannya merugikan kesehatan orang lain dan merupakan
tujuan pelaku. Tindak pidana penganiayaan adalah kejahatan yang dilakukan
terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehingga menjadikan luka
atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian.

14
Van Hatum-Van Bemmelen, Loc. Cit.
15
Leden Marpaung, Op. Cit, Hlm 5.

44
Penganiayaan selalu berpedoman pada rumusan Memorie Van Toelichting, yang
merumuskan bahwa yang dimaksud dengan penganiayaan ialah “mengakibatkan
penderitaan pada badan atau kesehatan Kualifikasi ancaman pidana dimaksud ada,
karena penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dikategorikan dalam beberapa bentuk yaitu : penganiayaan biasa,
penganiayaan ringan, penganiayaan berat dan penganiayaan dengan direncanakan
lebih dahulu.”
Salah satu bentuk penganiayaan adalah penganiyaan dengan rencana terlebih
dahulu yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dimuat
dalam Pasal 353, yang berbunyi :
“(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun,
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun,
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Dari bunyi pasal tersebut terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, antara lain
:
 Merupakan delik Materiil,

 Perbuatan yang dituju tersebut dilakukan dengan sengaja untuk merusak


kesehatan orang,

 Perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang lain,

 Adanya proses direncanakan lebih dulu sebelum perbuatan itu dilakukan


atau Voorbedachte raad.

Bentuk kesengajaan dalam pasal ini adalah untuk merusak kesehatan korban
akan tetapi secara tidak sengaja dengan melakukan penganiayaan ini pelaku
mengakibatkan matinya orang lain. Sebelum melakukan penganiayaan, pelaku
melakukan rencana terlebih dahulu dan memikirkan serta mempertimbangkan

45
akibat yang akan timbul dalam sikap batin yang tenang, sampai pelaku mengambil
keputusan untuk tetap melanjutkan niatnya untuk menganiaya korban tersebut.
Kesimpulannya mengenai perbedaan antara Pasal 340 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana dengan Pasal 353 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana terdapat pada saat niat awal dari pelaku itu muncul dan
kesengajaan tersebut merupakan tujuan dari pelaku, dalam pembunuhan berencana
ditujukan kepada matinya orang lain inilah yang membedakan dengan
penganiayaan yang mengakibatkan kematian, sementara dalam hal penganiayaan,
tidak ada maksud atau kesengajaan untuk matinya orang lain tersebut, akan tetapi,
matinya orang itu hanya akibat dari penganiayaan. Ada perbedaan antara
kesengajaan pada delik materiil dan delik formal. Pembunuhan adalah delik
materiil, ada akibat matinya orang. Kesengajaan pada delik pembunuhan ditujukan
pada matinya orang. Pembuat harus sadar bahwa matinya orang lain adalah tujuan.
Ia sadar bahwa perbuatannya akan mengakibatkan matinya orang lain itu
dikehendaki.16
Matinya orang lain sebagai tujuan kesengajaan harus terjadi. Sebenarnya disini
terjadi unsur materiil penganiyaan dalam arti merusak kesehatan orang, delik terjadi
jika matinya orang lain tersebut merupakan tujuan dari pelaku. Oleh karena itu
terjadi hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara perbuatan kesengajaan dan
kematian.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
alias Aso Bin Sumantrie Ownie secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama sebagaimana diatur dan
diancam pidana melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Pidana j.o Pasal 55
ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Pidana, terdakwa dijatuhi pidana penjara
seumur hidup.
Namun dilihat dari fakta dipersidangan dikatakan bahwa niat awal dari terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd dengan desakan dari Assyifa Ramadhani adalah untuk
menculik korban dengan tujuan untuk memberi pelajaran kepada korban karena

16
S.A.M Stolwjk, Een Inleiding in het Strafrecht in 13 Hoofdstukken, Hlm. 104.

46
korban Ade Sara telah mengganggu hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
dengan Assyifa Ramadhani.
Selanjutnya, dilihat dari salah satu alat bukti yang ada dipersidangan yaitu alat
setrum “TAZER”, alat setrum tersebut disiapkan di mobil terdakwa oleh ibu
terdakwa yang menjadi salah satu saksi dipersidangan adalah untuk berjaga diri
karena terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pernah kerampokan di mobil tersebut
beberapa bulan sebelum terdakwa melakukan tindak pidana yang dilakukan kepada
korban Ade Sara. Jadi alat bukti yang berupa alat setrum “TAZER” bukan sengaja
disiapkan untuk membunuh korban Ade Sara.
Selain itu, bedasarkan hasil visum et repertum Nomor
100/VER/234.03.13/M/2014 oleh dr. Wibisana Widiatmaka, Spf yang merupakan
dokter spesialis forensik menyebutkan bahwa matinya korban merupakan akibat
sumbatan pada rongga mulut yang menimbulkan mati lemas, sedangkan dalam
persidangan dikatakan oleh salah satu Terdakwa yakni Assyifa selaku orang yang
turut serta melakukan (medepeleger) “menemukan tisu di dalam tas korban dan
memberikan kepadanya dengan maksud agar korban tidak berbicara terus, tetapi
korban meminta untuk memakan tisu tersebut dengan alasan tisu yang diberikan
terlalu besar”.
Dengan korban sendiri yang menghendaki untuk memakan tisu tersebut yang
mengakibatkan korban Ade Sara menjadi tidak bisa bernafas dan akhirnya
meninggal dunia, maka sesungguhnya terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama
dengan Assyifa Ramadhani tidak menghendaki matinya korban Ade Sara.
Oleh karena niat awal dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah untuk
menculik korban Ade Sara dengan tujuan memberi pelajaran karena telah
menggangu hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa
Ramadhani, disini tidak terlihat bahwa sikap batin dari terdakwa ingin membunuh
korban. Akan tetapi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014, terdakwa dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan
berencana. Oleh karena itu terlihat masalah hukum terhadap putusan tersebut.

47
BAB V

PERATURAN YANG RELEVAN DENGAN PERKARA DALAM


PUTUSAN PENGADILAN JAKARTA PUSAT NOMOR
1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST

TENTANG KASUS ADE SARA


Berikut adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan Putusan Pengadilan Jakarta
Pusat Nomor 1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
 Pasal 55 :
“(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut
serta melakukan perbuatan.
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.”
Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan salah satu pasal yang
didakwakan jaksa kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, terlebih dalam ayat 1
Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjelaskan siapa saja yang
disebut sebagai pelaku tindak pidana yang terdiri atas mereka yang melakukan atau
disebut sebagai pelaku (pleger), yang menyuruh melakukan (doen pleger), dan
yang turut serta melakukan perbuatan (medepleger). Yang disebut sebagai mereka
yang melakukan atau pelaku (pleger) adalah orang yang melakukan suatu tindak
pidana, jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut ditemukan adanya
kerjasama dengan orang lain untuk mencapai tujuan dari perbuatan tersebut maka
orang lain itu disebut sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan
(medepleger), jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku (pleger) tersebut ternyata
ditemukan adanya dorongan dari orang lain untuk melakukan perbuatan tersebut
akan tetapi orang lain itu tidak membantu melaksanakan perbuatan yang dilakukan

48
oleh pelaku (pleger) dan hanya menjadikan alat untuk melakukan perbuatan
tersebut maka orang lain itu disebut sebagai (doen pleger).
Jika dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara, Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana terutama pada ayat 1, menjadi relevan terhadap kasus Ade Sara karena
dalam kasus tersebut terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd merupakan orang yang
melakukan tindak pidana atau disebut sebagai pleger, menurut keterangan dari
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat di persidangan, terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap korban Ade Sara yang
berupa penyetruman terhadap korban Ade Sara, pemukulan serta menarik rambut
korban Ade Sara sampai korban Ade Sara terjatuh, dimana perbuatan penganiayaan
ini dibantu oleh pacarnya yang bernama Assyifa Ramadhani yang pada kasus ini
disebut sebagai orang yang turut serta atau nama lainnya adalah Medepleger, yang
secara bersama-sama dengan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd melakukan suatu
tindak pidana yaitu penganiayaan terhadap korban Ade Sara.
Penganiayaan yang dilakukan Assyifa Ramadhani terhadap korban Ade Sara
menurut keterangan Assyifa Ramadhani pada saat di persidangan berupa menarik
rambut korban Ade Sara, menampar wajah korban Ade Sara, memerintahkan
korban Ade Sara untuk membuka baju dengan maksud agar korban Ade Sara tidak
berani keluar dari mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, memberikan tisu
kepada korban Ade Sara dengan maksud agar korban Ade Sara berhenti meminta
tolong, mengikat tangan korban Ade Sara dengan ikat pinggang milik Assyifa
Ramadhani sampai memukul korban Ade Sara dengan menggunakan sepatu milik
Assyifa Ramadhani akan tetapi pada saat dipukul menggunakan sepatu tersebut
korban Ade Sara tidak memberikan reaksi dan seketika itu Assyifa Ramadhani
panik.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia dan seketika itu Assyifa Ramadhani panik dan memberitahukan kepada
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal dunia
dan reaksi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik pada saat mendengar

49
korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam kondisi panik dan bingung
berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad dari korban Ade Sara.
Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada saat itu masih berada
di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, akhirnya pada esok hari
setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal dunia terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk membuang jasad dari
korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Dengan adanya turut serta atau Medepleger dari Assyifa Ramadhani dalam
tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
terhadap korban Ade Sara maka tujuan dari tindak pidana penganiayaan yang
dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al hafitd terhadap korban Ade Sara dapat
tercapai dan mengakibatkan matinya korban Ade Sara maka pasal ini menjadi
relevan terhadap kasus Ade Sara.
 Pasal 89 :
“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan.”
Dalam Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat unsur yang
membuat orang tidak berdaya disamakan dengan kekerasan, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain. Kekerasan yang ditujukan kepada fisik seseorang ini dapat
berupa pemukulan, menendang, menampar, menarik rambut seseorang, menggigit
dan lain-lain.
Merujuk kepada Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 1359/PID.B/2014
tentang kasus Ade Sara, menurut keterangan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
pada saat di pengadilan serta didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani pada
saat di pengadilan, yang merupakan orang yang turut serta atau Medepleger dalam
kasus ini bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd melakukan kekerasan berupa
pemukulan kepada korban Ade Sara, menyetrum korban Ade Sara dan menarik
rambut korban Ade Sara sampai korban Ade Sara terjatuh.

50
Selain itu, Assyifa Ramadhani selaku orang yang turut serta atau medepleger
dalam kasus ini memberikan keterangan pada saat di persidangan bahwa Assyifa
Ramadhani juga ikut melakukan kekerasan terhadap korban Ade Sara. Kekerasan
ini berupa menarik rambut korban Ade Sara, menampar wajah korban Ade Sara,
memerintahkan korban Ade Sara untuk membuka baju dengan maksud agar korban
Ade Sara tidak berani keluar dari mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd,
memberikan tisu kepada korban Ade Sara dengan maksud agar korban Ade Sara
berhenti meminta tolong, mengikat tangan korban Ade Sara dengan ikat pinggang
milik Assyifa Ramadhani sampai memukul korban Ade Sara dengan menggunakan
sepatu milik Assyifa Ramadhani akan tetapi pada saat dipukul menggunakan sepatu
tersebut korban Ade Sara tidak memberikan reaksi dan seketika itu Assyifa
Ramadhani panik.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia dan seketika itu reaksi dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik
pada saat mendengar korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam
kondisi panik dan bingung berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad
dari korban Ade Sara. Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada
saat itu masih berada di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd,
akhirnya pada esok hari setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal
dunia terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk
membuang jasad dari korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Perbuatan penganiayaan yang dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bersama dengan Assyifa Ramadhani terhadap korban Ade Sara dilakukan dengan
tujuan untuk menguasai korban Ade Sara supaya korban Ade Sara mau
menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya yang telah menghubungi
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd merupakan pacar dari Assyifa Ramadhani dan memberikan hukuman kepada
korban Ade Sara karena telah mengganggu hubungan antara terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa Ramadhani.

51
Dari perbuatan penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd yang dibantu oleh Assyifa Ramadhani terhadap korban Ade Sara dengan
cara melakukan kekerasan terhadap korban Ade Sara sampai korban meninggal
dunia maka perbuatan yang dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan
Assyifa Ramadhani terhadap korban Ade Sara memenuhi unsur pasal ini karena
dalam Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai unsur
menggunakan kekerasan dan pasal ini menjadi relevan terhadap kasus Ade Sara.
 Pasal 328 :
“Barangsiapa membawa pergi seseorang dari tempat kediamannya atau
tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu
secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaaan orang
lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam
karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Pasal 328 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penculikan atau
menschenroof, mempunyai unsur yaitu membawa pergi seseorang dari tempat
tinggalnya dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum
di bawah kekuasaannya. Maksud dari unsur pasal tersebut adalah pelaku yang
melakukan perbuatan ini dilakukan dengan sengaja atas dasar sikap batin pelaku
dan dengan maksud untuk menguasai korban dengan cara merampas kemerdekaan
korban agar pelaku dapat mencapai tujuan dari perbuatannya yaitu membuat korban
dalam keadaan sengsara. Keadaan sengsara adalah sengaja membiarkan seseorang
dalam keadaan yang membuat seseorang itu menderita secara fisik dengan cara
melakukan kekerasan terhadap korban berupa pemukulan, menendang, menampar,
menarik rambut seseorang, menggigit dan lain-lain. Arti perampasan kemerdekaan
itu sendiri menurut HogeRaad adalah sengaja memaksa sesesorang dalam hal
kemerdekaan bergerak yang berupa pengurungan, penawanan dan juga paksaan
psikologis.
Menurut Soesilo mengenai penculikan menjelaskan bahwa pelaku yang
melakukan penculikan agar dapat dikenakan sesuai dengan isi Pasal 328 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, maka perbuatan pelaku harus dapat dibuktikan
bahwa pada waktu melarikan atau membawa orang tersebut harus mempunyai

52
maksud akan membawa orang itu dengan melawan hak dibawah kekuasaannya
sendiri atau kekuasaan orang lain.17 Melawan hak merupakan kata kunci karena
maksud dari melawan hak disini adalah pelaku merampas kemerdekaan korban.
Merujuk kepada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014, fakta hukum yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd pada saat di pengadilan dan didukung dari keterangan dari Assyifa
Ramadhani pada saat di pengadilan, dijelaskan bahwa niat awal dari perbuatan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani adalah
merencanakan untuk menculik korban Ade Sara.
Niat tersebut muncul karena Assyifa Ramadhani yang merupakan pacar
terdakwa Ahmad Imam Al Hafid marah terhadap terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
karena korban Ade Sara menghubungi kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
dan diketahui oleh saksi Assyifa Ramadhani yang mengakibatkan hubungan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa Ramadhani menjadi bertengkar.
Agar Assyifa Ramadhani percaya bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sudah
tidak ada hubungan lagi dengan korban Ade Sara maka terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani berencana untuk membawa korban Ade
Sara pergi dengan tujuan menguasai korban Ade Sara supaya korban Ade Sara mau
menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya yang telah menghubungi
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd adalah pacar dari Assyifa Ramadhani dan memberikan hukuman kepada
korban Ade Sara karena telah mengganggu hubungan antara terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa Ramadhani.
Jadi dengan fakta hukum yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd di persidangan bahwa perbuatan penganiayaan ini semula adalah
merencanakan untuk menculik korban Ade Sara dengan tujuan untuk menguasai
korban Ade Sara supaya korban Ade Sara mau menjelaskan dan mengakui maksud
dari perbuatannya yang telah menghubungi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang
pada saat itu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah pacar dari Assyifa

17
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor, 1996, hlm. 234.

53
Ramadhani dan memberikan hukuman kepada korban Ade Sara karena telah
mengganggu hubungan antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan saksi
Assyifa Ramadhani maka perbuatan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sudah
memenuhi unsur yang ada di dalam Pasal 328 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang penculikan menschenroof dan menjadi relevan terhadap kasus Ade
Sara.
 Pasal 332 ayat (1) angka 2 :
“Barangsiapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat,
kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan
penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar
perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pasal 332 ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai
unsur membawa seorang wanita dengan serangkaian kebohongan dan kekerasan
dengan maksud untuk menguasai wanita tersebut, maksud dari merangkai
kebohongan disini adalah dengan sengaja merangkai suatu keadaan yang
sebenarnya tidak terjadi namun demi mencapai tujuan untuk menguasai wanita
tersebut dan setelah menguasai wanita tersebut dengan menggunakan rangkaian
kebohongan tersebut selanjutnya pelaku melakukan kekerasan untuk tetap
menguasai wanita yang merupakan tujuan dari perbuatan pelaku.
Merujuk kepada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014, Pasal 332 ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana menjadi relevan terhadap kasus Ade Sara karena fakta hukum yang
diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafid pada saat di persidangan
serta didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani pada saat di persidangan,
bahwa dalam kasus ini terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa
Ramadhani berniat untuk menculik korban Ade Sara dengan cara membawa korban
Ade Sara pergi dengan tujuan menguasai korban Ade Sara supaya korban Ade Sara
mau menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya yang telah
menghubungi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd merupakan pacar dari Assyifa Ramadhani dan memberikan

54
hukuman kepada korban Ade Sara karena telah mengganggu hubungan antara
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa Ramadhani.
Cara yang dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama Assyifa
Ramadhani untuk membawa korban Ade Sara pergi adalah dengan cara merangkai
suatu kebohongan tentang adanya teman dari Assyifa Ramadhani yang ingin masuk
ke tempat les bahasa prancis “GOETHE INSTITUTE” yang sama dengan tempat les
korban Ade Sara dan selanjutnya mengajak korban Ade Sara untuk bertemu, lalu
korban Ade Sara menyetujui pertemuan tersebut dan terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani menjemput korban Ade Sara di Stasiun
Gondangdia Jakarta Pusat dengan maksud untuk menguasai korban Ade Sara.
Selanjutnya, setelah pertemuan antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama
saksi Assyifa Ramadhani dengan korban Ade Sara di Stasiun Gondangdia Jakarta
Pusat, korban Ade Sara dibawa pergi dengan mobil milik terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd. Pada saat di dalam mobil terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, korban Ade
Sara dianiaya oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani.
Contoh perbuatan penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd terhadap korban Ade Sara yaitu adanya pemukulan, penyetruman kepada
korban Ade Sara serta menarik rambut korban Ade Sara sampai korban Ade Sara
terjatuh.
Selain itu, Assyifa Ramadhani selaku orang yang turut serta atau medepleger
dalam kasus ini memberikan keterangan pada saat di persidangan bahwa Assyifa
Ramadhani juga ikut melakukan kekerasan terhadap korban Ade Sara. Kekerasan
ini berupa menarik rambut korban Ade Sara, menampar wajah korban Ade Sara,
memerintahkan korban Ade Sara untuk membuka baju dengan maksud agar korban
Ade Sara tidak berani keluar dari mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd,
memberikan tisu kepada korban Ade Sara dengan maksud agar korban Ade Sara
berhenti meminta tolong, mengikat tangan korban Ade Sara dengan ikat pinggang
milik Assyifa Ramadhani sampai memukul korban Ade Sara dengan menggunakan
sepatu milik Assyifa Ramadhani akan tetapi pada saat dipukul menggunakan sepatu
tersebut korban Ade Sara tidak memberikan reaksi dan seketika itu Assyifa

55
Ramadhani panik dan memberitahukan kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bahwa korban Ade Sara sudah meninggal dunia.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia dan reaksi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik pada saat
mendengar korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam kondisi panik dan
bingung berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad dari korban Ade
Sara. Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada saat itu masih
berada di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, akhirnya pada esok
hari setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal dunia terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk membuang jasad dari
korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Kekerasan ini dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa
Ramadhani dengan tujuan agar korban Ade Sara mau mengakui perbuatannya yang
menghubungi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kembali, dimana perbuatan itu
mengakibatkan hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa
Ramadhani menjadi bertengkar.
Oleh karena itu Pasal 332 ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
menjadi relevan terhadap kasus ini karena unsur menggunakan serangkaian
kebohongan dan kekerasan yang terdapat di dalam pasal ini sudah terpenuhi oleh
fakta hukum yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada
saat di persidangan serta didukung oleh keterangan dari Assyifa Ramadhani juga
pada saat di persidangan dimana penganiayaan yang dilakukan terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramdahani diawali dengan cara
merangkai kebohongan agar korban Ade Sara dapat dikuasai oleh terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani.
 Pasal 333 :
“(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas
kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang
demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun;

56
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat maka yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun;
(3) Jika mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun;
(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang
yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk
perampasan kemerdekaan.”
Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang merampas
kemerdekaan menjadi relevan terhadap kasus ini karena dalam pasal ini terdapat
unsur merampas kemerdekaan seseorang, terlebih di ayat (3) pasal ini dikatakan
jika mengakibatkan matinya orang lain maka diancam dengan pidana penjara
selama dua belas tahun. Arti perampasan kemerdekaan itu sendiri menurut
HogeRaad adalah sengaja memaksa sesesorang dalam hal kemerdekaan bergerak
yang berupa pengurungan, penawanan dan juga paksaan psikologis.
Merujuk kepada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014, dan dikaitkan dengan pengertian tersebut maka Pasal 333 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana menjadi relevan terhadap kasus ini, karena
menurut keterangan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat di persidangan
serta didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani pada saat di persidangan yang
merupakan orang yang turut serta atau medepleger dalam kasus ini menjelaskan
bahwa salah satu contoh perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd bersama Assyifa Ramadhani yang mengandung merampas kemerdekaan
dari korban Ade Sara adalah dengan memaksa korban Ade Sara untuk membuka
baju dengan tujuan menguasai korban Ade Sara supaya tidak berani keluar dari
mobil terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd. Jadi dengan adanya unsur paksaan untuk
membuka baju yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd terhadap
korban Ade Sara artinya terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd ingin merampas
kemerdekaan korban Ade Sara maka Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana menjadi relevan terhadap kasus Ade Sara karena perbuatan terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani sudah memenuhi unsur yang ada
dalam pasal ini.

57
 Pasal 335 ayat (1) :
“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :
(1) Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai
kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak
menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap
orang itu sendiri maupun orang lain.”
Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai unsur
melakukan paksaan terhadap orang lain melalui kererasan maupun ancaman
kekerasan dengan tujuan supaya orang tersebut melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu, unsur ini menjadi relevan terhadap kasus Ade Sara karena
merujuk kepada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014, terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd memberikan keterangan pada
saat di persidangan bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan
Assyifa Ramadhani menjelaskan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa
Ramadhani melakukan kekerasan terhadap korban Ade Sara dengan tujuan
menguasai korban Ade Sara supaya korban Ade Sara mau menjelaskan dan
mengakui maksud dari perbuatannya yang telah menghubungi terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd kembali yang pada saat itu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
merupakan pacar dari Assyifa Ramadhani dan memberikan hukuman kepada
korban Ade Sara karena telah mengganggu hubungan antara terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa Ramadhani.
Dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd di persidangan, contoh
kekerasan yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kepada korban
Ade Sara adalah melakukan pemukulan terhadap korban Ade Sara, menarik rambut
korban Ade Sara sampai korban Ade Sara terjatuh serta penyetruman kepada
korban Ade Sara sementara itu Assyifa ramadhani juga melakukan kekerasan
terhadap korban Ade Sara berupa menarik rambut korban Ade Sara, menampar
wajah dari korban Ade Sara serta mengikat tangan korban Ade Sara dengan

58
menggunakan ikat pinggang milik Assyifa Ramadhani sampai memukul korban
Ade Sara dengan menggunakan sepatu milik Assyifa Ramadhani akan tetapi pada
saat dipukul menggunakan sepatu tersebut korban Ade Sara tidak memberikan
reaksi dan seketika itu Assyifa Ramadhani panik.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia dan reaksi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik pada saat
mendengar korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam kondisi panik dan
bingung berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad dari korban Ade
Sara. Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada saat itu masih
berada di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, akhirnya pada esok
hari setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal dunia terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk membuang jasad dari
korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Dengan adanya kekerasan yang dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bersama dengan saksi Assyifa Ramadhani terhadap korban Ade Sara maka unsur
yang ada dalam Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terpenuhi
dan menjadi relevan terhadap kasus Ade Sara.
 Pasal 336 :
“(1) Barangsiapa mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau
barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama, dengan suatu
kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau
barang dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar kehormatan
kesusilaan, dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa, dengan
penganiayaan berat atau dengan pembakaran, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
(2) Bilamana ancamana dilakukan secara tertulis dan dengan syarat
tertentu, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Dalam Pasal 336 terutama pada ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
terdapat unsur kekerasan yang dilakukan dengan tenaga bersama atau dapat

59
dikatakan adanya kerjasama antara pelaku (pleger) dengan orang yang turut serta
melakukan (medepleger) untuk melakukan kekerasan tersebut dengan tujuan
terhadap kejahatan asusila maupun kejahatan terhadap nyawa.
Merujuk kepada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014, Pasal 336 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ayat 1 ini
menjadi relevan terhadap kasus Ade Sara karena menurut keterangan dari terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd pada saat dipersidangan serta diperkuat oleh keterangan
Assyifa Ramadhani di persidangan yang merupakan orang yang turut serta atau
Medepleger dalam kasus ini, salah satu contoh perbuatan dari terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd yang berkaitan dengan kejahatan asusila yaitu terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani menyuruh korban Ade Sara
untuk membuka baju dengan tujuan agar korban Ade Sara tidak berani keluar dari
mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan sebelum menyuruh korban Ade
Sara untuk membuka baju, terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sempat menarik
rambut korban Ade Sara, jadi dapat dikatakan bahwa terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd sudah melakukan penganiayaan terhadap korban Ade Sara. Dengan adanya
unsur penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama
dengan Assyifa Ramadhani terhadap korban Ade Sara serta adanya perbuatan yang
mengandung asusila yaitu pada saat terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd menyuruh
korban Ade Sara untuk membuka maka unsur Pasal 336 ayat 1 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana terpenuhi dan menjadi relevan terhadap kasus ini.
 Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan pokok
atau Doodslag, tindak pidana pembunuhan itu merupakan suatu tindak pidana
materiil atau Materieel Delict, yakni suatu tindak pidana yang baru dapat dianggap
selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang terlarang atau yang
tidak dikehendaki oleh undang-undang.18 Sengaja menurut Memorie van

18
P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus : Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh
& Kesehatan, Sinar Grafika, 2012, Hlm.28.

60
Toeclicting adalah barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan
dikehendaki dan diketahui atau biasa disebut sebagai Willen and Wetens19.
Dari pengertian kesengajaan yang dikemukakan oleh Memorie van Toeclicting
yakni pelaku yang melakukan suatu perbuatan dianggap sudah menghendaki
perbuatan tersebut dan mengetahui akibat dari perbuatannya maka jika dikaitkan
dengan kesengajaan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang pembunuhan maka yang dimaksud kesengajaan dalam pasal ini adalah
perbuatan pelaku mengakibatkan matinya orang lain dan matinya orang lain itu
merupakan tujuan dari pelaku, jadi harus ada hubungan kausalitas antara penyebab
pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan tujuan dari pelaku melakukan
perbuatan ini adalah menghendaki untuk matinya orang lain.
Merujuk kepada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014, Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
pembunuhan menjadi relevan terhadap kasus ini karena fakta hukum yang
diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat di pengadilan
dan didukung dari keterangan dari Assyifa Ramadhani pada saat di pengadilan,
dijelaskan bahwa niat awal dari perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bersama dengan Assyifa Ramadhani adalah merencanakan untuk menculik korban
Ade Sara.
Niat tersebut muncul karena Assyifa Ramadhani yang merupakan pacar
terdakwa Ahmad Imam Al Hafid marah terhadap terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
karena korban Ade Sara menghubungi kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
dan diketahui oleh saksi Assyifa Ramadhani yang mengakibatkan hubungan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa Ramadhani menjadi bertengkar.
Agar Assyifa Ramadhani percaya bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sudah
tidak ada hubungan lagi dengan korban Ade Sara maka terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani berencana untuk membawa korban Ade
Sara pergi dengan tujuan menguasai korban Ade Sara supaya korban Ade Sara mau
menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya yang telah menghubungi

19
Moeljatno, Op. Cit, Hlm.185.

61
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd adalah pacar dari Assyifa Ramadhani dan memberikan hukuman kepada
korban Ade Sara karena telah mengganggu hubungan antara terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa Ramadhani.
Dengan dorongan dari Assyifa Ramadhani untuk membawa pergi korban Ade
Sara maka terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama Assyifa Ramadhani membuat
suatu rencana dengan cara merangkai suatu kebohongan tentang adanya teman dari
Assyifa Ramadhani yang ingin masuk ke tempat les bahasa prancis “GOETHE
INSTITUTE” yang sama dengan tempat les korban Ade Sara dan selanjutnya
mengajak korban Ade Sara untuk bertemu, lalu korban Ade Sara menyetujui
pertemuan tersebut dan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa
Ramadhani menjemput korban Ade Sara di Stasiun Gondangdia Jakarta Pusat
dengan maksud untuk menguasai korban Ade Sara. Selanjutnya, setelah pertemuan
antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama saksi Assyifa Ramadhani dengan
korban Ade Sara di Stasiun Gondangdia Jakarta Pusat, korban Ade Sara dibawa
pergi dengan mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd. Pada saat di dalam
mobil terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, korban Ade Sara dianiaya oleh terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani. Contoh perbuatan kekerasan yang
dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd terhadap korban Ade Sara yaitu
adanya pemukulan, penyetruman kepada korban Ade Sara serta menarik rambut
korban Ade Sara sampai korban Ade Sara terjatuh.
Selain itu, Assyifa Ramadhani selaku orang yang turut serta atau medepleger
dalam kasus ini memberikan keterangan pada saat di persidangan bahwa Assyifa
Ramadhani juga ikut melakukan kekerasan terhadap korban Ade Sara. Kekerasan
ini berupa menarik rambut korban Ade Sara, menampar wajah korban Ade Sara,
memerintahkan korban Ade Sara untuk membuka baju dengan maksud agar korban
Ade Sara tidak berani keluar dari mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd,
memberikan tisu kepada korban Ade Sara dengan maksud agar korban Ade Sara
berhenti meminta tolong, mengikat tangan korban Ade Sara dengan ikat pinggang
milik Assyifa Ramadhani sampai memukul korban Ade Sara dengan menggunakan
sepatu milik Assyifa Ramadhani akan tetapi pada saat dipukul menggunakan sepatu

62
tersebut korban Ade Sara tidak memberikan reaksi dan seketika itu Assyifa
Ramadhani panik.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia dan reaksi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik pada saat
mendengar korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam kondisi panik dan
bingung berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad dari korban Ade
Sara. Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada saat itu masih
berada di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, akhirnya pada esok
hari setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal dunia terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk membuang jasad dari
korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Dengan akibat dari perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama Assyifa
Ramadhani yang mengakibatkan matinya korban Ade Sara maka unsur dalam Pasal
338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah terpenuhi karena sudah ada akibat
yang terjadi atau delik materiil berupa matinya korban Ade Sara meskipun dalam
kasus ini terdapat unsur yang direncanakan akan tetapi rencana tersebut timbul
karena adanya dorongan dari orang lain yaitu Assyifa Ramadhani.
Mengenai arti perencanaan dalam pembunuhan pelaku harus merencanakan dan
mempertimbangkan tindakannya kembali dalam jangka waktu baik singkat maupun
lama secara tenang tanpa ada paksaan dari orang lain tentang akibat-akibat yang
akan terjadi jika perbuatannya tetap dilakukan sampai memutuskan untuk tetap
melanjutkan pembunuhan tersebut maka orang itu memenuhi unsur direncanakan
lebih dahulu. Hal ini didukung dari pendapat ahli hukum pidana Modderman yang
mengatakan Barangsiapa terdorong oleh kemarahan telah memutuskan membunuh
orang lain dan tidak pernah kembali pada suatu keadaan yang tenang untuk
mempertimbangkan melainkan dengan segera melaksanakan keputusannya itu
maka hal tersebut adalah pembunuhan biasa.20

20
Van Hatum-Van Bemmelen, Loc.Cit.

63
jadi sebenarnya tidak ada unsur perencanaan dalam kasus ini karena terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd tidak dapat berpikir dengan tenang untuk memikirkan
akibat-akibat yang timbul jika perbuatannya tetap dilanjutkan karena pada saat niat
menculik korban Ade Sara itu timbul kondisi jiwa dari terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd sedang dalam tekanan dimana tekanan tersebut muncul dari Assyifa
Ramadhani yang marah kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd karena
menganggap terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd masih berhubungan dengan korban
Ade Sara yang merupakan mantan pacar dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd.
Oleh karena itu perbuatan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd memenuhi unsur
Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menjadi relevan terhadap
kasus ini.
 Pasal 351 :
“(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah;
(2) Jika perbuatan mengakibatkan kematian luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun;
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun;
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan;
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.”
Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiyaan atau
Mishandeling. Menurut H.R. (HogeRaad), penganiayaan adalah setiap perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada
orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak
boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan. 21
Jadi yang dimaksud dengan penganiayaan adalah kesengajaan menimbulkan
rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau merugikan kesehatan
orang lain yang merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana. Menurut Simons

21
Leden Marpaung, Op.Cit, Hlm 5.

64
merugikan kesehatan orang lain adalah perbuatan yang menimbulkan penyakit atau
membuat penyakit yang diderita oleh orang lain menjadi lebih berat.22
Selanjutnya dijelaskan pada ayat (3) Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana jika penganiayaan tersebut mengakibatkan matinya orang lain diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Jika merujuk ke dalam Putusan
Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara, pasal
ini menjadi relevan terhadap kasus Ade Sara karena menurut keterangan dari
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat di persidangan bahwa terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd mengakui telah melakukan penganiayaan terhadap korban Ade
Sara dengan tujuan untuk meminta penjelasan kepada korban Ade Sara serta
memberi hukuman terhadap korban Ade Sara karena korban Ade Sara telah
menggangu hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan pacarnya Assyifa
Ramadhani.
Menurut keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dalam persidangan
menjelaskan terdakwa Ahmad Imam Al hafitd melakukan tindak pidana
penganiayaan terhadap korban Ade Sara yang berupa penyetruman terhadap korban
Ade Sara, pemukulan serta menarik rambut korban Ade Sara sampai korban Ade
Sara terjatuh, dimana perbuatan penganiayaan ini dibantu oleh pacarnya yang
bernama Assyifa Ramadhani yang pada kasus ini disebut sebagai orang yang turut
serta atau nama lainnya adalah Medepleger, yang secara bersama-sama dengan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd melakukan suatu tindak pidana yaitu
penganiayaan terhadap korban Ade Sara.
Penganiayaan yang dilakukan Assyifa Ramadhani terhadap korban Ade Sara
menurut keterangan Assyifa Ramadhani pada saat di persidangan berupa menarik
rambut korban Ade Sara, menampar wajah korban Ade Sara, memerintahkan
korban Ade Sara untuk membuka baju dengan maksud agar korban Ade Sara tidak
berani keluar dari mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, memberikan tisu
kepada korban Ade Sara dengan maksud agar korban Ade Sara berhenti meminta
tolong, mengikat tangan korban Ade Sara dengan ikat pinggang milik Assyifa

22
P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit, Hlm 141 .

65
Ramadhani sampai memukul korban Ade Sara dengan menggunakan sepatu milik
Assyifa Ramadhani akan tetapi pada saat dipukul menggunakan sepatu tersebut
korban Ade Sara tidak memberikan reaksi dan seketika itu Assyifa Ramadhani
panik.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia dan reaksi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik pada saat
mendengar korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam kondisi panik dan
bingung berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad dari korban Ade
Sara. Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada saat itu masih
berada di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, akhirnya pada esok
hari setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal dunia terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk membuang jasad dari
korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama
Assyifa Ramadhani yang ditujukan kepada korban Ade Sara ini dilakukan dengan
tujuan menguasai korban Ade Sara supaya korban Ade Sara mau menjelaskan dan
mengakui maksud dari perbuatannya yang telah menghubungi terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd yang pada saat itu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah pacar
dari Assyifa Ramadhani dan memberikan hukuman kepada korban Ade Sara karena
telah mengganggu hubungan antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan saksi
Assyifa Ramadhani. Oleh karena itu perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
yang berupa kekerasan telah memenuhi unsur yang ada dalah Pasal 351 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
 Pasal 353 :
“(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana
penjara paling lama enam tahun;
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

66
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan
berencana. Selain unsur penganiayaan yang mempunyai arti sengaja menimbulkan
rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain yang merupakan tujuan
dari pelaku tindak pidana, unsur lainnya yang terpenting dalam pasal ini adalah
adanya unsur direncanakan terlebih dahulu.
Mengenai unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad, undang-
undang tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai unsur ini, maka penulis akan
menjelaskan unsur ini menurut doktrin yang diperoleh dari beberapa pendapat para
ahli pidana tentang unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad,
antara lain:
5. Simons mengemukakan pendapat mengenai arti dari kata Voorbedachte
raad atau direncanakan lebih dulu adalah orang hanya dapat berbicara
tentang adanya perencanaan lebih dulu, jika untuk melakukan suatu tindak
pidana itu pelaku telah menyusun keputusannya dengan
mempertimbangkannya secara tenang, demikian pula telah
mempertimbangkan tentang kemungkinan-kemungkinan dan tentang
akibat-akibat dari tindakannya. Antara waktu seorang pelaku menyusun
rencananya dengan waktu pelaksanaan dari rencana tersebut selalu harus
terdapat suatu jangka waktu tertentu, dalam hal seorang pelaku dengan
segera melaksanakan apa yang ia maksud untuk dilakukan, kiranya sulit
untuk berbicara tentang adanya suatu perencanaan lebih dulu.23
6. Selanjutnya menurut H.R (HogeRaad), arti dari Voorbedachte raad yaitu
suatu tindakan itu dapat dianggap direncanakan terlebih dahulu, selain
membutuhkan jangka waktu panjang maupun pendek, untuk merencanakan
dan mempertimbangkan tindakannya secara tenang, pelaku harus juga dapat
menyakinkan dirinya sendiri mengenai akibat perbuatannya dalam suasana
yang memungkinkan dirinya memikirkan kembali rencananya.24

23
Simons,Loc.Cit.
24
P.A.F Lamintang & C. Djisman Samosir, Op.Cit, Hlm. 142.

67
7. Menurut Memorie Van Toelichting, Voorbedachte raad adalah adanya
jangka waktu antara menyusun rencana dan pelaksanaan, tidak berarti
bahwa dalam hal seperti itu terdapat Voorbedachte raad karena dalam
jangka waktu tersebut mungkin saja pelaku tidak punya kesempatan sama
sekali mempertimbangkan secara tenang mengenai apa yang
direncanakan.25

Jadi unsur direncanakan terlebih dahulu dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang penganiayaan berencana mempunyai arti yaitu pelaku
memikirkan secara tenang tanpa ada tekanan dari orang lain tentang perbuatan
penganiayaan yang akan dilakukan serta akibat yang terjadi setelah ia melakukan
perbuatan penganiayaan tersebut. Setelah itu apabila pelaku tetap melanjutkan
perbuatan penganiayaan tersebut maka pelaku telah memenuhi unsur direncanakan
terlebih dahulu dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
penganiayaan berencana.
Merujuk ke dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 1359/PID.B/2014
tentang kasus Ade Sara, pasal ini menjadi sangat relevan terhadap kasus Ade Sara
karena menurut keterangan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat di
persidangan menjelaskan bahwa niat awal dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
adalah untuk menculik korban Ade Sara dengan tujuan menguasai korban Ade Sara
supaya korban Ade Sara mau menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya
yang telah menghubungi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah pacar dari Assyifa Ramadhani dan
memberikan hukuman kepada korban Ade Sara karena telah mengganggu
hubungan antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa
Ramadhani.
Niat penculikan yang direncanakan oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bersama dengan Assyifa Ramadhani itu tersebut muncul karena perbuatan korban
Ade Sara yang menghubungi kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd telah

25
Simons, Loc.Cit.

68
diketahui oleh Assyifa Ramadhani yang pada saat itu merupakan pacar dari
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd. Lalu karena telah diketahui oleh Assyifa
Ramadhani, maka ia sebagai pacar dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd marah
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan menjadi kesal kepada korban Ade
Sara.
Selanjutnya, Assyifa Ramadhani meminta kepada terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd untuk menculik korban Ade Sara dan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
menyetujui permintaan saksi Assyifa Ramadhani. Tindak pidana ini bermula pada
saat, terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani
menjemput korban di Stasiun Gondangdia Jakarta Pusat lalu membawa korban Ade
Sara dengan menggunakan mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd. Di dalam
mobil, korban Ade Sara dianiaya oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan
Assyifa Ramadhani sampai korban meninggal dunia yang diakibatkan adanya
gangguan pernapasan.
Menurut keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dalam persidangan
menjelaskan terdakwa Ahmad Imam Al hafitd melakukan tindak pidana
penganiayaan terhadap korban Ade Sara yang berupa penyetruman terhadap korban
Ade Sara, pemukulan serta menarik rambut korban Ade Sara sampai korban Ade
Sara terjatuh, dimana perbuatan penganiayaan ini dibantu oleh pacarnya yang
bernama Assyifa Ramadhani yang pada kasus ini disebut sebagai orang yang turut
serta atau nama lainnya adalah Medepleger, yang secara bersama-sama dengan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd melakukan suatu tindak pidana yaitu
penganiayaan terhadap korban Ade Sara.
Penganiayaan yang dilakukan Assyifa Ramadhani terhadap korban Ade Sara
menurut keterangan Assyifa Ramadhani pada saat di persidangan berupa menarik
rambut korban Ade Sara, menampar wajah korban Ade Sara, memerintahkan
korban Ade Sara untuk membuka baju dengan maksud agar korban Ade Sara tidak
berani keluar dari mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, memberikan tisu
kepada korban Ade Sara dengan maksud agar korban Ade Sara berhenti meminta
tolong, mengikat tangan korban Ade Sara dengan ikat pinggang milik Assyifa
Ramadhani sampai memukul korban Ade Sara dengan menggunakan sepatu milik

69
Assyifa Ramadhani akan tetapi pada saat dipukul menggunakan sepatu tersebut
korban Ade Sara tidak memberikan reaksi dan seketika itu Assyifa Ramadhani
panik.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia reaksi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik pada saat
mendengar korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam kondisi panik dan
bingung berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad dari korban Ade
Sara. Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada saat itu masih
berada di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, akhirnya pada esok
hari setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal dunia terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk membuang jasad dari
korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama
Assyifa Ramadhani yang ditujukan kepada korban Ade Sara ini dilakukan dengan
tujuan menguasai korban Ade Sara supaya korban Ade Sara mau menjelaskan dan
mengakui maksud dari perbuatannya yang telah menghubungi terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd yang pada saat itu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah pacar
dari Assyifa Ramadhani dan memberikan hukuman kepada korban Ade Sara karena
telah mengganggu hubungan antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan saksi
Assyifa Ramadhani. Oleh karena itu Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang penganiayaan berencana menjadi relevan terhadap kasus Ade Sara
karena perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang melakukan penganiayaan
kepada korban Ade Sara telah memenuhi unsur direncanakan terlebih dahulu
karena adanya niat untuk menculik korban terlebih dahulu dengan cara merangkai
suatu kebohongan terlebih dahulu untuk menguasai korban Ade Sara dan setelah
menguasai korban Ade Sara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama Assyifa
Ramadhani melakukan suatu penganiayaan terhadap korban Ade Sara dan
mengakibatkan korban Ade Sara meninggal dunia.
 Pasal 359 :

70
“Barangsiapa karena kesalahnya (kealpaanya) menyebabkan orang lain
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.”
Dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat unsur kealpaan
atau lalai yang menyebabkan orang lain mati, arti kealpaan itu sendiri adalah
tindakan yang kurang berhati-hati. Menurut Van Hattum jika kelalaian itu telah
terjadi dengan tidak sengaja, maka orang tersebut dapat dipersalahkan karena
salahnya telah menyebabkan meninggalnya orang lain yakni larangan seperti yang
diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.26
Doktrin tersebut terkait kelalaian yang diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana menjadi relevan terhadap kasus ini karena menurut hasil
visum et repertum Nomor 100/VER/234.03.13/M/2014 oleh dr. Wibisana
Widiatmaka, Spf yang merupakan dokter spesialis forensik menyebutkan bahwa
matinya korban merupakan akibat sumbatan pada rongga mulut yang
menimbulkan mati lemas. Sumbatan yang dimaksud pada rongga mulut korban
Ade Sara adalah tisu yang menurut keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
pada saat di persidangan serta didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani pada
saat dipersidangan yang menjadi orang yang turut serta atau Medepleger dalam
kasus ini menjelaskan bahwa pada saat penganiayaan itu berlangsung korban Ade
Sara berteriak meminta tolong dan melihat hal tersebut Assyifa Ramadhani
mengambil tisu yang ada di dalam tas milik korban Ade Sara, lalu Assyifa
Ramadhani membentuk tisu tersebut menjadi sebuah gumpalan dan memberikan
kepada korban Ade Sara dengan maksud agar korban Ade Sara diam dan berhenti
berteriak, akan tetapi korban memilih untuk memakan tisu tersebut lalu ternyata
tisu tersebut yang menyebabkan korban Ade Sara meninggal dunia.
Melihat hal tersebut penulis berpendapat bahwa meskipun itu adalah keinginan
dari korban sendiri, seharusnya terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dapat mencegah
hal tersebut karena terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dapat mengetahui
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika korban Ade Sara tetap memakan

26
P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit, Hlm.40.

71
tisu tersebut akan tetapi pada saat kejadian itu berlangsung terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd hanya diam saja dan tetap membiarkan perbuatan itu berlangsung. Jadi
menurut penulis bahwa perbuatan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd telah
melakukan kelalaian dan tidak sengaja menyebabkan matinya korban Ade Sara oleh
karena itu Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi relevan
terhadap kasus Ade Sara.

72
BAB VI

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN JAKARTA PUSAT NOMOR


1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST

TENTANG KASUS ADE SARA

Di dalam bab ini penulis akan menganalisis Putusan Pengadilan Jakarta Pusat
Nomor 1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara serta menjelaskan jawaban
terhadap pertanyaan yuridis atas identifikasi masalah yang terdapat di bab
sebelumnya, yaitu :
2. Apakah tindakan yang dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
termasuk ke dalam unsur yuridis Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang pembunuhan Berencana atau Pasal 353 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan berencana?

Sebelum penulis menganalisa Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor


1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara, penulis akan menjelaskan tentang
beberapa bentuk-bentuk sengaja yang dianut dalam hukum pidana Indonesia, yaitu
:
a. Sengaja Sebagai Maksud (Opzet als oogmerk)
Perbuatan yang dilakukan dan akibat yang terjadi memang menjadi tujuan
pelaku, disini akibat yang dihasilkan dari perbuatan pelaku merupakan tujuan dari
pelaku untuk melakukan perbuatan tindak pidana ini.
b. Sengaja Sebagai Sadar Kepastian (Opzet bijzekerheids bewustzijn)
Akibat yang terjadi bukanlah akibat yang menjadi tujuan, tetapi untuk mencapai
suatu akibat yang benar-benar dituju, memang harus dilakukan perbuatan lain
tersebut, maksudnya adalah pelaku yang mempunyai tujuan untuk melakukan suatu
perbuatan akan tetapi untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan perbuatan lain.
c. Sengaja Sebagai Sadar Kemungkinan (Dolus eventualis)
Dengan melakukan suatu perbuatan, pelaku menyadari kemungkinan terjadinya
akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki, namun kesadaran tentang

73
kemungkinan terjadinya akibat lain itu tidak membuat pelaku membatalkan niatnya
dan ternyata akibat yang tidak dituju tersebut benar-benar terjadi.

6.1 DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM


Dilihat dari Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 1359/PID.B/2014 tentang
kasus Ade Sara yang diteliti oleh penulis, dalam surat penuntutan yang dibuat oleh
jaksa penuntut umum Nomor PDM-321/JKT.PS/06/2014 mendakwa pelaku
Ahmad Imam Al hafitd dengan beberapa pasal yaitu :
a. Dakwaan Primair Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
Pembunuhan Berencana jo. Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang Turut Melakukan Perbuatan.
b. Dakwaan Subsidair Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang Pembunuhan jo. pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang Turut Melakukan perbuatan.
c. dakwaan lebih Subsidair yaitu dengan Pasal 353 ayat (3) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang Penganiayaan Berencana yang
Mengakibatkan Kematian jo. Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang Turut Melakukan Perbuatan.

Dalam kasus ini, jaksa penuntut umum menggunakan bentuk surat dakwaan
yang berbentuk dakwaan subsider yang artinya jaksa penuntut umum tidak hanya
menyebut suatu pasal yang dilanggar terdakwa akan tetapi menyebut beberapa
pasal secara berlapis atau sekaligus dan pasal-pasal yang dicantumkan dalam surat
dakwaan tersebut dimulai dari pasal yang ancaman hukumannya lebih berat
kemudian diikuti pasal yang ancaman hukumannya lebih ringan, dan pasal-pasal
tersebut berhubungan dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa.
Tujuan dari pembuatan surat dakwaan yang berbentuk subsider adalah apabila
jaksa penuntut umum tidak dapat membuktikan dakwaan primer, maka jaksa
penuntut umum masih mempunyai kesempatan untuk membuktikan dakwaan
subsider dan apabila dakwaan subsider tidak dapat dibuktikan masih ada dakwaan
yang lebih subsider, dan apabila dakwaan primer sudah terbukti di persidangan,

74
tidak perlu lagi jaksa penuntut umum membuktikan tentang dakwaan lebih subsider
dan dakwaan selanjutnya apabila ada.27
Dengan dakwaan jaksa penuntut umum yang menggunakan 4 pasal yaitu Pasal
340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana sebagai
dakwaan primair, Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
pembunuhan pokok sebagai dakwaan subsidair, dan Pasal 353 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan berencana yang ditujukan kepada
pelaku Ahmad Imam Al Hafitd serta Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang untuk siapa saja yang disebut sebagai pelaku tindak pidana dimana
pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini menjadi pasal yang ditujukan
jaksa untuk mendakwa Assyifa Ramadhani karena perbuatan terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd yang mengakibatkan matinya korban Ade Sara ditemukan adanya
turut serta dari Assyifa Ramadhani.
Jaksa penuntut umum mendakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang merupakan
pelaku dalam kasus Ade Sara, dengan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang pembunuhan berencana, Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang pembunuhan pokok, dan Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang penganiayaan berencana yang berarti jaksa penuntut umum melihat
adanya akibat dari perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd karena ketiga pasal
yang didakwakan kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd merupakan pasal yang
termasuk ke dalam tindak pidana materiil atau materieel delict, yakni suatu tindak
pidana yang baru dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan
timbulnya akibat yang terlarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa Ahmad Imam Al hafitd ini
merupakan hasil dari pemeriksaan dalam proses penyidikan yang dilakukan pihak
kepolisian yang berwenang sebagai penyidik terhadap terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd sesuai dengan keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat
dilakukan penyidikan, setelah berkas perkara sudah lengkap maka selanjutnya
diserahkan kepada jaksa penuntut umum dan jaksa penuntut umum menentukan

27
Samosir, Djisman, C, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013,
Hlm.102.

75
pasal apa saja yang dilanggar oleh terdakwa. Dalam kasus ini jaksa penuntut umum
mendakwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Pasal 340 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana, Pasal 338 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan pokok, Pasal 353 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
Dari dakwaan jaksa penuntut umum yang mendakwa Ahmad Imam Al Hafitd
dengan menggunakan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
pembunuhan dan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
pembunuhan berencana menurut penulis tidak sesuai karena untuk menyebutkan
bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd telah melakukan pembunuhan harus dapat
dibuktikan bahwa tujuan dari perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah
untuk matinya korban Ade Sara. Sementara itu menurut keterangan terdakwa di
persidangan menjelaskan bahwa niat awal dari perbuatan terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani adalah merencanakan untuk
menculik korban Ade Sara.
Niat tersebut muncul karena Assyifa Ramadhani yang merupakan pacar
terdakwa Ahmad Imam Al Hafid marah terhadap terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
karena korban Ade Sara menghubungi kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
dan diketahui oleh saksi Assyifa Ramadhani yang mengakibatkan hubungan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa Ramadhani menjadi bertengkar.
Agar Assyifa Ramadhani percaya bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sudah
tidak ada hubungan lagi dengan korban Ade Sara maka terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani berencana untuk membawa korban Ade
Sara pergi dengan tujuan menguasai korban Ade Sara supaya korban Ade Sara mau
menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya yang telah menghubungi
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd adalah pacar dari Assyifa Ramadhani dan memberikan hukuman kepada
korban Ade Sara karena telah mengganggu hubungan antara terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa Ramadhani.
untuk memperkuat argumentasi penulis yang mengatakan dakwaan jaksa
penuntut umum tidak sesuai dengan fakta yang diperoleh dari keterangan terdakwa

76
Ahmad Imam Al Hafitd maka penulis akan menjelaskan tentang apa yang disebut
sebagai tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang pembunuhan berencana.
Pertama, yang disebut sebagai tindak pidana pembunuhan adalah suatu
perbuatan dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja dengan tujuan
matinya orang lain. Tindak pidana pembunuhan ini diatur dalam Pasal 338 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan :
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan pokok
atau disebut sebagai doodslag merupakan suatu tindak pidana materiil atau
materieel delict, yakni suatu tindak pidana yang baru dianggap telah selesai
dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang terlarang atau yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Untuk menentukan tentang perbuatan yang
sebenarnya dapat dipandang sebagai penyebab dari timbulnya akibat yang terlarang
atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang, yakni berupa matinya orang lain
maka dibutuhkan analisis terhadap hubungan kausalitas atau causaliteitsleer untuk
menentukan siapa yang sebenarnya dapat dipandang sebagai pelaku dari suatu
tindak pidana pembunuhan karena yang dapat dipandang sebagai pelaku tindak
pidana pembunuhan itu pastilah orang yang tindakannya atau perilakunya dapat
dipandang sebagai penyebab dari timbulnya akibat yang berupa matinya orang lain.
Dari rumusan pasal diatas ini mempunyai beberapa unsur yaitu :
a. Unsur subjektif : Opzetelijk atau dengan sengaja
b. Unsur objektif : Beroven atau menghilangkan
Het leven atau nyawa
Een ander atau orang lain.
Unsur subjektif merupakan unsur yang menilai tentang sikap batin pelaku, dalam
Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan unsur subjektif
dalam pasal ini adalah dilakukan dengan sengaja. Menurut Memorie van
Toeclicting yang dimaksud dengan sengaja adalah barang siapa melakukan

77
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui atau biasa disebut
sebagai Willens and Wetens28.
Dari pengertian kesengajaan yang dikemukakan oleh Memorie van Toeclicting
yakni pelaku yang melakukan suatu perbuatan dianggap sudah menghendaki
perbuatan tersebut dan mengetahui akibat dari perbuatannya maka jika dikaitkan
dengan kesengajaan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang pembunuhan maka yang dimaksud kesengajaan dalam pasal ini adalah
perbuatan pelaku mengakibatkan matinya orang lain dan matinya orang lain itu
merupakan tujuan dari pelaku, jadi harus ada hubungan kausalitas antara penyebab
pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan tujuan dari pelaku melakukan
perbuatan ini adalah menghendaki untuk matinya orang lain.
Selanjutnya mengenai unsur objektif, yang disebut sebagai unsur objektif adalah
penilaian terhadap perbuatan dan keadaan yang melekat kepada perbuatan tersebut.
Dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan unsur
objektif dalam pasal ini adalah menghilangkan nyawa orang lain. Sebenarnya tidak
tepat dikatakan menghilangkan nyawa orang lain karena kata menghilangkan
adalah kata yang menunjuk suatu benda yang hilang dan dapat ditemukan kembali,
jadi seharusnya kata yang lebih tepat digunakan dalam Pasal 338 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana adalah menyebabkan matinya orang lain. Kembali ke unsur
objektif, arti dari menyebabkan matinya orang lain adalah pelaku mengetahui
bahwa perbuatan yang hendak ia lakukan akan berakibat matinya orang lain. Jadi
yang dapat dikatakan melakukan tindak pidana membunuhan yang diatur dalam
Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah niat dari pelaku muncul
seketika tanpa ada jangka waktu untuk merencanakan perbuatannya dan pelaku
menghendaki untuk matinya orang tersebut serta pelaku mengetahui bahwa
perbuatannya itu berakibat matinya orang lain.
Selanjutnya masih membicarakan tentang pembunuhan akan tetapi terdapat
unsur yang memberatkan yaitu adanya unsur direncanakan lebih dahulu atau

28
Moeljatno,Loc.Cit.

78
Voorbedachte raad, yang diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dulu
menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah melakukan suatu pembunuhan
dengan direncanakan lebih dulu, dipidana dengan pidana mati atau dipidana
penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara paling lama dua puluh tahun”.
Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan
berencana atau disebut sebagai moord, yang merupakan termasuk dalam tindak
pidana materiil atau materieel delict, yakni suatu tindak pidana yang baru dianggap
telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang terlarang atau
yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Akibat yang terlarang atau tidak
dikehendaki dalam pasal ini juga sama seperti yang dijelaskan dalam Pasal 338
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan pokok atau doodslag,
akibat yang dilarang tersebut berupa matinya orang lain.
Yang membedakan antara Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang pembunuhan berencana dengan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang pembunuhan pokok adalah adanya unsur direncanakan lebih dahulu
atau Voorbedachte raad, yang menjadi unsur yang memberatkan dalam Pasal 340
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebelum menjelaskan unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad,
penulis akan menjelaskan unsur-unsur apa saja yang dimuat dalam Pasal 340 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang terdiri dari :
a. Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja
Voorbedachte raad atau direncanakan lebih dahulu
b. Unsur objektif : beroven atau menghilangkan
Leven atau nyawa
Een ander atau orang lain.
Unsur subjektif merupakan unsur yang menilai tentang sikap batin pelaku, dalam
Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana unsur subjektif yang pertama
adalah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja. Menurut Memorie van
Toeclicting yang dimaksud dengan sengaja adalah barang siapa melakukan

79
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui atau biasa disebut
sebagai Willen and Wetens29.
Arti sengaja dalam pasal ini maksudnya adalah perbuatan dari pelaku dilakukan
dengan tujuan untuk matinya orang lain. Jadi dalam Pasal 340 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana, kesengajaan yang
dimaksud adalah pelaku menghendaki untuk matinya orang lain dan pelaku
mengetahui jika perbuatannya itu tetap dilakukan maka mengakibatkan matinya
orang lain. Kesengajaan dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang pembunuhan berencana harus diartikan secara luas karena dalam hal
pembuktian unsur sengaja ini sangat sulit dibuktikan karena pelaku bisa saja tidak
mengakui perbuatannya. Menurut doktrin Van Bemmelen apabila seorang pelaku
tidak mengakui bahwa ia telah melakukan pembunuhan maka hakim dapat menarik
kesimpulan untuk menyatakan kesengajaan dari terdakwa itu sebagai terbukti atau
tidak.30
Untuk membantu menentukan apakah seseorang melakukan kesengajaan
membunuh orang lain dibutuhkan hubungan kausalitas atau causaliteitsleer antara
sikap batin pelaku pada saat niat tersebut muncul sampai pelaku memutuskan untuk
tetap melakukan perbuatan tersebut demi tercapainya tujuan dari pelaku yaitu
matinya orang lain.
Selanjutnya unsur subjektif yang kedua dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana, adalah unsur direncanakan lebih
dahulu atau Voorbedachte raad.
Mengenai unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad, undang-
undang tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai unsur ini, maka penulis akan
menjelaskan unsur ini menurut doktrin yang diperoleh dari beberapa pendapat para
ahli pidana tentang unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad,
antara lain:
1. Simons mengemukakan pendapat mengenai arti dari kata Voorbedachte
raad atau direncanakan lebih dulu adalah orang hanya dapat berbicara

29
Moeljatno,Ibid.
30
P.A.F Lamintang & C. Djisman Samosir, Op. Cit, Hlm. 141.

80
tentang adanya perencanaan lebih dulu, jika untuk melakukan suatu tindak
pidana itu pelaku telah menyusun keputusannya dengan
mempertimbangkannya secara tenang, demikian pula telah
mempertimbangkan tentang kemungkinan-kemungkinan dan tentang
akibat-akibat dari tindakannya. Antara waktu seorang pelaku menyusun
rencananya dengan waktu pelaksanaan dari rencana tersebut selalu harus
terdapat suatu jangka waktu tertentu, dalam hal seorang pelaku dengan
segera melaksanakan apa yang ia maksud untuk dilakukan, kiranya sulit
untuk berbicara tentang adanya suatu perencanaan lebih dulu.31

2. Selanjutnya menurut H.R (HogeRaad), arti dari Voorbedachte raad yaitu


suatu tindakan itu dapat dianggap direncanakan terlebih dahulu, selain
membutuhkan jangka waktu panjang maupun pendek, untuk merencanakan
dan mempertimbangkan tindakannya secara tenang, pelaku harus juga dapat
menyakinkan dirinya sendiri mengenai akibat perbuatannya dalam suasana
yang memungkinkan dirinya memikirkan kembali rencananya.32

3. Menurut Memorie Van toelichting, Voorbedachte raad adalah adanya


jangka waktu antara menyusun rencana dan pelaksanaan, tidak berarti
bahwa dalam hal seperti itu terdapat Voorbedachte raad karena dalam
jangka waktu tersebut mungkin saja pelaku tidak punya kesempatan sama
sekali mempertimbangkan secara tenang mengenai apa yang
direncanakan.33

4. Sedangkan menurut Modderman, dalam pembunuhan yang terpenting


adalah pada kejiwaan tentang perilaku selanjutnya pelaku. Jangka waktu
tersebut merupakan petunjuk berharga tentang ada atau tidaknya suatu
Voorbedachte raad, akan tetapi hal tersebut bukan merupakan bukti tentang
kenyataannya. Barangsiapa dengan segala ketenangan, memutuskan untuk
membunuh orang lain dan setelah mempertimbangkannya kembali

31
Simons, Loc.Cit.
32
P.A.F Lamintang & C. Djisman Samosir, Op.Cit, Hlm. 142.
33
Simons, Loc.Cit.

81
kemudian segera melaksanakannya, maka ia adalah seorang pembunuh
yang telah merencanakan lebih dahulu perbuatannya. Barangsiapa karena
terdorong oleh kemarahan telah memutuskan membunuh orang lain dan
tidak pernah kembali pada suatu keadaan yang tenang untuk
mempertimbangkannya kembali dengan tenang melainkan dengan segera
melaksanakan keputusannya itu maka hal tersebut adalah pembunuhan
biasa.34

Dengan beberapa doktrin dari para ahli hukum pidana tersebut maka pada
kesimpulannya, unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad dalam
hal pembunuhan berencana yang terdapat pada Pasal 340 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, pelaku harus merencanakan dan mempertimbangkan tindakannya
kembali dalam jangka waktu baik singkat maupun lama secara tenang tanpa ada
paksaan dari orang lain tentang akibat-akibat yang akan terjadi jika perbuatannya
tetap dilakukan sampai memutuskan untuk tetap melanjutkan pembunuhan tersebut
maka orang itu memenuhi unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad
dalam hal pembunuhan berencana. Jika pelaku melakukan suatu pembunuhan yang
direncanakan akan tetapi terdorong karena adanya paksaan dari orang lain atau
kemarahan maka perbuatan pelaku termasuk dalam pembunuhan biasa meskipun
perbuatan pelaku itu mempunyai unsur direncanakan lebih dahulu, karena menurut
doktrin para ahli hukum pidana unsur direncanakan lebih dulu ini harus dilakukan
secara tenang untuk mempertimbangkan kembali perbuatan yang akan dilakukan
serta akibat yang akan timbul jika perbuatan itu tetap dilakukan.
Selanjutnya mengenai unsur objektif, yang disebut sebagai unsur objektif adalah
penilaian terhadap perbuatan dan keadaan yang melekat kepada perbuatan tersebut.
Dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan unsur
objektif dalam pasal ini adalah menghilangkan nyawa orang lain. Unsur objektif
disini sama dengan unsur objektif yang dimuat dalam Pasal 338 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yaitu tentang matinya orang lain.

34
Van Hatum-Van Bemmelen, Loc.Cit.

82
Arti dari menyebabkan matinya orang lain adalah pelaku mengetahui bahwa
perbuatan yang hendak ia akan lakukan mengakibatkan matinya orang lain. Jadi
yang dapat dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana yang diatur
dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah niat dari pelaku
semula adalah untuk matinya orang lain dan pelaku menghendaki untuk matinya
orang tersebut serta pelaku mengetahui bahwa perbuatannya itu berakibat matinya
orang lain yang selanjutnya ditemukan adanya unsur direncanakan lebih dahulu
yang artinya adanya jangka waktu baik singkat ataupun lama bagi pelaku untuk
berpikir secara tenang tanpa ada paksaan dari orang lain dalam merencanakan
perbuatannya serta akibat yang timbul jika perbuatan pelaku dilanjutkan sampai
pelaku memutuskan untuk tetap melanjutkan perbuatannya ini.
Jadi pada kesimpulannya yang menjadi pembeda antara pembunuhan pokok atau
doodslag yang diatur dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana adalah adanya unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte
raad yang menjadi unsur memberatkan dalam tindak pidana pembunuhan tersebut.
Dalam menentukan seorang pelaku memenuhi unsur direncanakan lebih dahulu
atau Voorbedachte raad dalam suatu tindak pidana pembunuhan maka harus
dibuktikan bahwa pelaku benar-benar mempunyai niat untuk matinya orang lain,
lalu dengan munculnya niat tersebut pelaku memikirkan cara untuk matinya orang
lain baik singkat maupun lama secara tenang tanpa ada dorongan ataupun paksaan
dari orang lain. Jika adanya dorongan ataupun paksaan dari orang lain untuk
merencanakan perbuatan pembunuhan tersebut maka pelaku sebenarnya tidak
memenuhi unsur direncanakan lebih meskipun perbuatan pembunuhan yang
dilakukan oleh pelaku ditemukan adanya perencanaan lebih dahulu dan pelaku
dapat dituntut dengan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
pembunuhan pokok atau doodslag.
Dengan penjelasan mengenai pembunuhan pokok atau doodslag yang diatur
dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pembunuhan berencana
atau moord yang diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
maka jika dikaitkan dengan keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd serta

83
didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani dalam persidangan menjelaskan
bahwa sebenarnya terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd tidak mempunyai tujuan untuk
matinya korban Ade Sara.
Matinya korban Ade Sara hanya merupakan akibat dari perbuatan-perbuatan
penganiayaan yang dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan
Assyifa Ramadhani perbuatan penganiayaan ini berupa kekerasan yang ditujukan
kepada fisik korban Ade Sara. Terlebih untuk menentukan seorang itu melakukan
tindak pidana pembunuhan atau tidak dibutuhkan adanya hubungan kausalitas atau
causaliteitsleer antara sikap batin pelaku pada saat niat tersebut muncul sampai
pelaku memutuskan untuk tetap melakukan perbuatan tersebut demi tercapainya
tujuan dari pelaku yaitu matinya orang lain. Disini tidak terlihat adanya hubungan
kausalitas antara sikap batin terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd untuk matinya
korban Ade Sara karena pada dasarnya niat dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
adalah untuk menculik korban Ade Sara.
Jadi menurut penulis dakwaan jaksa yang menggunakan Pasal 338 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan tidak bisa digunakan karena
unsur kesengajaan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
pembunuhan pokok tidak terbukti, kesengajaan disini artinya adalah pelaku benar-
benar mempunyai niat untuk matinya korban akan tetapi karena niat dari terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd semula adalah untuk menculik korban Ade Sara maka Pasal
338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dapat didakwakan kepada
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd karena unsur dalam pasal ini tidak terpenuhi.
Selanjutnya mengenai Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
pembunuhan berencana yang merupakan dakwaan primair dari jaksa penuntut
umum kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, jika dikaitkan dengan fakta yang
diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat
dipersidangan serta didukung dengan keterangan Assyifa Ramadhani, maka Pasal
340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana tidak
dapat digunakan untuk mendakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang menjadi terdakwa
dalam kasus ini karena niat dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd semula adalah
untuk menculik korban Ade Sara, selanjutnya mengenai adanya akibat yang berupa

84
matinya korban Ade Sara dengan meneliti hasil Visum et Repertum Nomor :
100/VER/234.03.13/M/2014 tanggal 11 Maret 2014 yang ditandatangani oleh dr.
Wibisana Widiatmaka, Spf, dokter spesialis Forensik pada Departemen Ilmu
kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo di
Jakarta, yang pada kesimpulannya menyebutkan : pada mayat perempuan dewasa
muda serta dalam keadaan membusuk kemudian ditemukan luka lecet akibat
kekerasan tumpul. Selain itu ditemukan pula adanya gumpalan dalam rongga mulut,
serta tanda gangguan proses pernafasan. Sebab matiya orang ini akibat
sumbatan pada rongga mulut yang menimbulkan mati lemas.
Matinya korban Ade Sara diakibatkan adanya sumbatan pada rongga mulut
korban Ade Sara, dari keterangan Assyifa Ramadhani menjelaskan bahwa korban
Ade Sara yang memilih untuk memakan tisu tersebut karena pada saat itu Assyifa
Ramadhani memberikan tisu kepada korban Ade Sara hanya untuk membuat
korban Ade Sara diam dan berhenti meminta tolong, jadi jaksa penuntut umum
dalam kasus ini kurang memperhatikan hasil Visum et Repertum yang merupakan
salah satu alat bukti yang sah di dalam pengadilan, hal ini membuat Pasal 340 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan dakwaan primair dari jaksa
penuntut umum kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah berlebihan dan
tidak dapat didakwakan kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd karena tidak
sesuai dengan fakta yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd dimana fakta tersebut digunakan untuk menentukan bahwa terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd terbukti melakukan suatu tindak pidana sesuai dengan pasal
didakwakan kepadanya.
Dakwaan yang lebih subsidair dalam kasus ini adalah Pasal 353 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan berencana, disini penulis setuju
dengan jaksa penuntut umum yang menggunakan Pasal 353 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang penganiayaan berencana jika dilihat dari keterangan dari
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang diperoleh pada saat dipersidangan serta
didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani menjelaskan bahwa semula niat awal
dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd melakukan perbuatan yang ditujukan kepada
korban Ade Sara adalah untuk menculik korban Ade Sara, selanjutnya terdakwa

85
Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani melakukan kekerasan
korban Ade Sara. Kekerasan ini berupa pemukulan, menarik rambut korban Ade
Sara dan menyetrum korban Ade Sara. Ternyata setelah dilakukannya kekerasan
tersebut korban Ade Sara meninggal dunia dan membuat terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd serta Assyifa Ramadhani kaget karena tidak menyangka bahwa korban
Ade Sara telah meninggal dunia.
Dengan matinya korban Ade Sara penulis meneliti tentang hasil Visum et
Repertum Nomor : 100/VER/234.03.13/M/2014 tanggal 11 Maret 2014 yang
ditandatangani oleh dr. Wibisana Widiatmaka, Spf, dokter spesialis Forensik pada
Departemen Ilmu kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo di Jakarta, yang pada kesimpulannya menyebutkan : pada mayat
perempuan dewasa muda serta dalam keadaan membusuk kemudian ditemukan
luka lecet akibat kekerasan tumpul. Selain itu ditemukan pula adanya gumpalan
dalam rongga mulut, serta tanda gangguan proses pernafasan. Sebab matiya orang
ini akibat sumbatan pada rongga mulut yang menimbulkan mati lemas.
Matinya korban Ade Sara diakibatkan adanya sumbatan pada rongga mulut
korban Ade Sara, dari keterangan Assyifa Ramadhani menjelaskan bahwa korban
Ade Sara yang memilih untuk memakan tisu tersebut karena pada saat itu Assyifa
Ramadhani memberikan tisu kepada korban Ade Sara hanya untuk membuat
korban Ade Sara diam dan berhenti meminta tolong, jadi menurut penulis jaksa
penuntut umum disini yang mendakwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan
menggunakan Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah sesuai
dengan fakta yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan
dari keterangan Assyifa Ramadhani yang menjadikan unsur yang ada dalam Pasal
353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah terpenuhi dan dapat digunakan
untuk mendakwa Ahmad Imam Al Hafitd.
6.2 PERTIMBANGAN HAKIM
Selanjutnya mengenai pertimbangan hakim yang menyebutkan :
1. Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan penuntut umum disusun dalam
bentuk dakwaan subsidaritas, maka akan di pertimbangkan terlebih dahulu
dakwaan primair, apabila dakwaan primair tidak terbukti, maka akan

86
dibuktikan dakwaan subsidair. apabila dakwaan subsidair tidak terbukti,
amka akan dibuktikan dakwaan lebih subsidair. Begitu juga sebaliknya,
apabila dakwaan primair terbukti, maka dakwaan subsidair tidak perlu
dipertimbangkan begitu juga dengan dakwaan lebih subsidair.
2. Menimbang, bahwa Majelis Hakim terlebih dahulu akan
mempertimbangkan dakwaan Primair, yaitu melanggar pasal 340 KUHP jo
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu;
3. Merampas nyawa orang lain;
4. Yang menyuruh melakukan, mereka yang melakukan atau turut serta
melakukan.
3. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa disini adalah
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd alias Aso bin Sumantri Ownie, yang pada
saat dicocokkan indentitasnya adalah benar dan diakui oleh terdakwa;
4. Menimbang, bahwa menurut keterangan dan pengakuan Assyifa
Ramadhani yang diperkuat oleh pengakuan terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd dipersidangan, motifnya karena Assyifa Ramadhani cemburu dan
kesal pada korban Ade Sara, karena korban Ade Sara berhubungan lagi
dengan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu merupakan
pacar dari Assyifa Ramadhani, hal tersebut terbukti dari komunikasi chat
yang dilakukan oleh korban Ade Sara dengan terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd, sedangkan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd menyiksa hingga
membunuh korban Ade Sara karena cemburu dan kesal mendengar korban
Ade Sara telah memutuskan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan
alasan beda agama sedangkan ternyata korban Ade Sara berpacaran lagi
dengan laki-laki yang juga beda agama dan terlebih terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd kesal karena mendengar dari pengakuan korban Ade Sara yang
pada saat itu berada di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
mengakui bahwa dirinya sedang hamil oleh perbuatan teman kampusnya,

87
dan juga karena korban Ade Sara membuat hubungan terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dengan Assyifa Ramadhani selalu bertengkar;
5. Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan tersebut dapat disimpulkan,
bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd mempunyai kepentingan begitu
juga dengan Assyifa Ramadhani, masing-masing mempunyai kepentingan
yang berbeda terhadap korban Ade Sara, namun mempunyai satu tujuan
yaitu menghilangkan penyebab mereka bertengkar, sedangkan yang
dianggap menjadi penyebab mereka bertengkar adalah korban Ade Sara,
agar mereka tidak bertengkar maka jalan yang ditempuh adalah
menghilangkan penyebabnya;
6. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut
diatas, maka unsur sengaja menghilangkan nyawa korban Ade Sara telah
terpenuhi dalam diri terdakwa Ahmad Imam Hafitd Al Aso bin Sumantri
Ownie;
7. Menimbang, bahwa munculnya ide untuk menculik korban Ade Sara adalah
satu minggu sebelum tanggal 3 Maret 2014 jam 17.00 WIB, banyak
kesempatan dan waktu bagi terdakwa Hafitd untuk menghentikan niatnya;
8. Menimbang, terhadap unsur direncanakan Iebih dahulu, bahwa dari fakta-
fakta yang terungkap dipersidangan sebagaimana terurai diatas terlihat
dengan tegas adanya persiapan terdakwa untuk merencanakan niatnya
tersebut untuk menyingkirkan korban yaitu pada hari Senin tanggal 3 Maret
2014 sekira pukul 17.00 Wib, ketika terdakwa berusaha mencari alamat les
korban Ade Sara, menjemput korban di stasiun Gondangdia,
mempergunakan alasan Assyifa berantem dengan terdakwa agar membantu
Assyifa menyelesaikan masalah dengan terdakwa yang tujuannya adalah
agar korban mau naik ke mobil terdakwa Hafitd. Semua terdakwa lakukan
untuk mewujudkan niatnya;
9. Menimbang, bahwa hilangnya nyawa orang lain merupakan akibat dari
perbuatan atau rangkaian perbuatan tersebut, berupa : bagian kepala korban
yang dipukul oleh terdakwa dengan menggunakan alata setrum, bagian

88
perut, kaki dengkul dan dada korban disetrum terdakwa dengan
mempergunakan alat setrum berkekuatan 3700 Kv;
10. Menimbang, bahwa akibat peristiwa tersebut korban Ade Sara Angelina
Suroto meninggal dunia, diperkuat dengan visum et repertum Nomor: 100/
VER/234.03.13/III/2014 tanggal 11 Maret 20014 yang ditandatangani oleh
dr. Wibisana Widiatmaka, SpF, dokter spesialis forensik pada Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo di Jakarta, pada kesimpulannya menyebutkan “pada mayat
perempuan dewasa muda ditemukan adanya gumpalan dalam rongga mulut,
serta tanda gangguan proses pernafasan. Sebab matinya orang ini akibat
sumbatan pada rongga mulut yang menimbulkan mati lemas;
11. Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari dakwaan primair telah
terpenuhi, maka dakwaan subsidair tidak perlu dipertimbangkan;
12. Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dalam dakwaan primair telah
terpenuhi, maka kepada terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PEMBUNUHAN
BERENCANA YANG DILAKUKAN BERSAMA SAMA”.

Dengan pertimbangan hakim yang menyebutkan bahwa motifnya karena


Assyifa Ramadhani itu kesal terhadap perbuatan korban Ade Sara jika dikaitkan
dengan fakta yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
dipersidangan serta didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani yang juga dalam
persidangan membenarkan bahwa motif perbuatan yang dilakukan terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani yang menyebabkan
korban Ade Sara meninggal dunia didasarkan karena Assyifa Ramadhani cemburu.
Akan tetapi pada pertimbangan hakim yang menyebutkan bahwa terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd mempunyai tujuan untuk menghilangkan penyebab
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani menjadi bertengkar yang
artinya matinya korban Ade Sara, menurut penulis pertimbangan hakim yang
menyebutkan menghilangkan penyebab bertengkar tidak sesuai dengan fakta yang
diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dipersidangan dengan

89
didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani yang diperoleh juga dari
persidangan, karena menurut pengakuan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd di
persidangan bahwa semula niat penculikan itu timbul akibat Assyifa Ramadhani
cemburu dan kesal mendengar korban Ade Sara telah memutuskan terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd dengan alasan beda agama sedangkan ternyata korban Ade
Sara berpacaran lagi dengan laki-laki yang juga beda agama dan terlebih terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd kesal karena mendengar dari pengakuan korban Ade Sara
yang pada saat itu berada di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
mengakui bahwa dirinya sedang hamil oleh perbuatan teman kampusnya, dan juga
karena korban Ade Sara membuat hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
dengan Assyifa Ramadhani selalu bertengkar itu tidak sesuai karena menurut fakta
hukum yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan
keterangan dari saksi Assyifa Ramadhani mengatakan bahwa tindak pidana ini
dilakukan semula karena Assyifa Ramadhani kesal terhadap perbuatan korban Ade
Sara yang menghubungi kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang
merupakan pacar dari Assyifa Ramadhani.
Assyifa Ramadhani meminta kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd untuk
menculik korban Ade Sara dengan tujuan meminta penjelasan terhadap
perbuatannya dan untuk memberi pelajaran kepada korban Ade Sara karena telah
mengganggu hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa
Ramadhani. Jadi sebenarnya yang mempunyai niat awal untuk menculik adalah
Assyifa Ramadhani bukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd.
Jika dihubungkan dengan teori tentang hubungan kausalitas atau causaliteitsleer
karena perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani yang
mengakibatkan matinya korban Ade Sara termasuk ke dalam tindak pidana materiil
atau materieel delict, maka untuk menentukan seorang itu telah melakukan tindak
pidana pembunuhan atau tidak harus dibuktikan antara sikap batin pelaku pada saat
niat tersebut muncul sampai pelaku memutuskan untuk tetap melakukan perbuatan
tersebut demi tercapainya tujuan dari pelaku yaitu matinya orang lain.
Menurut keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd di persidangan serta
didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani juga pada saat di persidangan

90
menjelaskan bahwa sikap batin dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah untuk
menculik korban Ade Sara, alasan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd melakukan
penculikan terhadap korban Ade Sara karena untuk menguasai korban Ade Sara
supaya korban Ade Sara mau menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya
yang telah menghubungi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah pacar dari Assyifa Ramadhani dan
memberikan hukuman kepada korban Ade Sara karena telah mengganggu
hubungan antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa
Ramadhani, jadi disini tidak terlihat bahwa tujuan dari terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd adalah untuk matinya korban Ade Sara.
Selanjutnya mengenai barang bukti yang digunakan terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan kepada korban Ade Sara
adalah alat setrum merk “TAZER” yang menurut keterangan dari salah satu saksi
yang hadir di persidangan, alat setrum tersebut sudah ada di dalam mobil milik
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd jauh sebelum terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap korban Ade Sara yang
mengakibatkan korban Ade Sara meninggal dunia, jadi tidak tepat dikatakan bahwa
alat setrum ini disiapkan untuk membunuh korban Ade Sara.
Kegunaan alat setrum secara umum adalah untuk berjaga diri karena adanya
ancaman kejahatan seperti perampokan yang sering terjadi di masyarakat. Efek dari
alat setrum tersebut hanya menyebabkan target lumpuh karena alat setrum yang
beredar di masyarakat sudah diuji coba oleh pihak kepolisian Republik Indonesia
sebelum dipasarkan kepada masyarakat.
Oleh karena itu pihak kepolisian Republik Indonesia memberikan izin atas
penjualan alat setrum kepada masyarakat untuk memiliknya. Salah satu jenis alat
setrum yang dimiliki masyarakat adalah berjenis “TAZER” yang berbentuk
menyerupai pistol yang bekerja dengan melontarkan semacam peluru untuk
melumpuhkan target.
Alat setrum tersebut ada di dalam mobil terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sejak
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd mengalami kerampokan di dalam mobil sekitar
bulan Januari 2014. Alat setrum itu diberikan oleh ibu terdakwa Ahmad Imam Al

91
Hafitd yang menjadi salah satu saksi dipersidangan dan sebagai orang yang menjadi
pemilik dari alat setrum tersebut karena pada akhir Januari 2011 ibu terdakwa juga
mengalami kerampokan. Dengan kejadian perampokan yang dialami terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd maka ibu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd memustuskan
untuk memberikan alat setrum tersebut kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
untuk berjaga diri dan disimpan di dalam mobil terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd.
Jadi, alat setrum “TAZER” ini sebenarnya bukan disiapkan terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd untuk membunuh korban Ade Sara karena efek dari alat setrum
tersebut hanya memberikan efek lumpuh kepada korban Ade Sara supaya korban
Ade Sara tidak bisa memberikan perlawanan saat dianiaya oleh terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani.
Selanjutnya mengenai salah satu alat bukti lain yang sah di dalam persidangan,
yaitu Visum Et Repertum, pengertian secara harfiah Visum Et Repertum adalah
berasal dari kata Visual, yaitu melihat dan Repertum yaitu melaporkan, berarti; apa
yang dilihat dan diketemukan, sehingga Visum Et Repertum merupakan suatu
laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang
dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain
kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.35
Menurut Subekti dan Tjitrosudibio menyatakan bahwa, Visum Et Repertum
adalah suatu keterangan dokter yang memuat kesimpulan suatu pemeriksaan yang
telah dilakukan misalnya atas mayat seseorang untuk menentukan sebab kematian
dan lain sebagainya, keterangan mana diperlukan oleh hakim dalam suatu perkara.36
Jadi dengan adanya hasil Visum Et Repertum yang dibuat oleh dokter, maka alat
bukti ini dapat membantu hakim untuk melakukan pertimbangannya dengan
dikaitkan kepada fakta yang ditemukan dipersidangan agar hakim dapat menarik
kesimpulan dan memutuskan suatu perkara.
Dengan melihat dari hasil Visum et Repertum Nomor :
100/VER/234.03.13/M/2014 tanggal 11 Maret 2014 yang ditandatangani oleh dr.

35
Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses
Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta, 1982, Hlm. 15.
36
Tholib Setiady, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Cet Ke-2, Alfabeta, Bandung, 2009,
Hlm.40.

92
Wibisana Widiatmaka, Spf, dokter spesialis Forensik pada Departemen Ilmu
kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo di
Jakarta, yang pada kesimpulannya menyebutkan : pada mayat perempuan dewasa
muda serta dalam keadaan membusuk kemudian ditemukan luka lecet akibat
kekerasan tumpul. Selain itu ditemukan pula adanya gumpalan dalam rongga mulut,
serta tanda gangguan proses pernafasan. Sebab matiya orang ini akibat
sumbatan pada rongga mulut yang menimbulkan mati lemas.
Ditinjau dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat
dipersidangan dan keterangan Assyifa Ramadhani yang juga pada saat di
persidangan yang diteliti penulis dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara, bahwa korban Ade Sara sendiri yang
memutuskan untuk memakan tisu yang diberikan kepadanya sementara Assyifa
Ramadhani memberikan tisu tersebut dengan alasan bahwa Assyifa Ramadhani
kesal terhadap pengakuan korban Ade Sara yang mengatakan bahwa dirinya sedang
hamil lalu seketika itu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan saksi Assyifa
Ramadhani kaget mendengar pengakuan tersebut. Saksi Assyifa Ramadhani
berpikir jika benar bahwa korban Ade Sara sedang hamil mengapa ia menghubungi
kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang merupakan mantan pacar korban
Ade Sara, dengan pengakuan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan di diri
Assyifa Ramadhani, lalu saksi Assyifa Ramadhani mengambil tas milik korban Ade
Sara dan menemukan tisu lalu memberikan tisu tersebut kepada korban Ade Sara
karena pada saat itu korban Ade sara mencoba meminta pertolongan dengan cara
berteriak.
Setelah korban Ade Sara memutuskan untuk memakan tisu yang diberikan
kepadanya ia masih mencoba berteriak untuk meminta tolong, melihat hal tersebut
saksi Assyifa Ramadhani kesal dan mengambil korban yang berada di dalam mobil
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd lalu memberikannya kepada korban Ade Sara.
Tidak lama berselang, korban Ade Sara sudah tidak berbicara lalu saksi Assyifa
Ramadhani memukul korban dengan sepatu miliknya akan tetapi korban Ade Sara
tidak memberikan reaksi sedikitpun. Dengan tidak ada reaksi, saksi Assyifa

93
bingung dan mengecek denyut nadi korban Ade Sara serta mengecek hembusan
nafas dari korban Ade Sara dan ternyata korban Ade Sara sudah meninggal dunia.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia dan seketika itu Assyifa Ramadhani panik dan memberitahukan kepada
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal dunia
dan reaksi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik pada saat mendengar
korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam kondisi panik dan bingung
berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad dari korban Ade Sara.
Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada saat itu masih berada
di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, akhirnya pada esok hari
setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal dunia terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk membuang jasad dari
korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Yang menyebabkan korban Ade Sara meninggal dunia adalah perbuatan korban
Ade Sara sendiri, karena Assyifa Ramadhani tidak menyuruh korban Ade Sara
Untuk memakan tisu tersebut akan tetapi korban Ade Sara sendiri yang memilih
untuk memakan tisu yang diberikan kepadanya. Selain itu tujuan Assyifa
Ramadhani memberikan tisu kepada korban Ade Sara hanya untuk agar membuat
korban Ade Sara berhenti berteriak bukan untuk membunuh korban Ade Sara.
Maka pertimbangan hakim disini tidak tepat dikatakan bahwa terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd telah terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana
yang diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena unsur
yang ada dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
pembunuhan berencana tidak terpenuhi meskipun adanya akibat berupa matinya
korban Ade Sara akan tetapi niat dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd semula
adalah untuk menculik korban Ade Sara dan memberi pelajaran kepada korban Ade
Sara karena telah mengganggu hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan
Assyifa Ramadhani jadi kesengajaan yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd adalah untuk memberikan hukuman kepada korban Ade Sara dengan cara

94
melakukan kekerasan, bukan untuk membuat korban Ade Sara meninggal dunia.
Oleh karena itu menurut penulis pada kesimpulannya pertimbangan hakim disini
tidak sesuai dengan fakta yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd.
6.3 PASAL YANG SESUAI DENGAN FAKTA YANG DIPEROLEH DARI
KETERANGAN TERDAKWA AHMAD IMAM AL HAFITD
Dengan fakta yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
pada saat dipersidangan serta didukung oleh keterangan dari Assyifa Ramadhani
yang diperoleh pada saat persidangan, yang menyebutkan bahwa niat awal dari
perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani
adalah merencanakan untuk menculik korban Ade Sara.
Niat tersebut muncul karena Assyifa Ramadhani yang merupakan pacar
terdakwa Ahmad Imam Al Hafid marah terhadap terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
karena korban Ade Sara menghubungi kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
dan diketahui oleh saksi Assyifa Ramadhani yang mengakibatkan hubungan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa Ramadhani menjadi bertengkar.
Agar Assyifa Ramadhani percaya bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sudah
tidak ada hubungan lagi dengan korban Ade Sara maka terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani berencana untuk membawa korban Ade
Sara pergi dengan tujuan menguasai korban Ade Sara supaya korban Ade Sara mau
menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya yang telah menghubungi
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd adalah pacar dari Assyifa Ramadhani dan memberikan hukuman kepada
korban Ade Sara karena telah mengganggu hubungan antara terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa Ramadhani.
Selanjutnya, dalam perkara pidana yang berhubungan dengan nyawa atau tubuh
adalah alat bukti surat yang berbebntuk laporan hasil otopsi atau Visum et Repertum
untuk membantu hakim dalam membuktikan penyebab korban meninggal dunia.37

37
Darmoko Yuti Witanto & Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim : Sebuah Instrumen
menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara-Perkara Pidana, Bandung, Alfabeta, 2013, Hlm.
183.

95
mengenai alat bukti yang digunakan hakim untuk mengambil keputusan dalam
memutuskan suatu perkara, salah satu barang bukti yang digunakan terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd dalam tindak pidana yang ditujukan kepada Assyifa
Ramadhani adalah alat setrum merk “TAZER” yang menurut keterangan dari salah
satu saksi yang hadir di persidangan, alat setrum tersebut sudah ada di dalam mobil
milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd jauh sebelum terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap korban Ade Sara yang
mengakibatkan korban Ade Sara meninggal dunia, jadi tidak tepat dikatakan bahwa
alat setrum ini disiapkan untuk membunuh korban Ade Sara.
Kegunaan alat setrum secara umum adalah untuk berjaga diri karena adanya
ancaman kejahatan seperti perampokan yang sering terjadi di masyarakat. Efek dari
alat setrum tersebut hanya menyebabkan target lumpuh karena alat setrum yang
beredar di masyarakat sudah diuji coba oleh pihak kepolisian Republik Indonesia
sebelum dipasarkan kepada masyarakat.
Oleh karena itu pihak kepolisian Republik Indonesia memberikan izin atas
penjualan alat setrum kepada masyarakat untuk memiliknya. Salah satu jenis alat
setrum yang dimiliki masyarakat adalah berjenis “TAZER” yang berbentuk
menyerupai pistol yang bekerja dengan melontarkan semacam peluru untuk
melumpuhkan target.
Alat setrum tersebut ada di dalam mobil terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sejak
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd mengalami kerampokan di dalam mobil sekitar
bulan Januari 2014. Alat setrum itu diberikan oleh ibu terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd yang menjadi salah satu saksi dipersidangan dan sebagai orang yang menjadi
pemilik dari alat setrum tersebut karena pada akhir Januari 2011 ibu terdakwa juga
mengalami kerampokan. Dengan kejadian perampokan yang dialami terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd maka ibu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd memustuskan
untuk memberikan alat setrum tersebut kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
untuk berjaga diri dan disimpan di dalam mobil terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd.
Jadi, alat setrum “TAZER” ini sebenarnya bukan disiapkan terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd untuk membunuh korban Ade Sara karena efek dari alat setrum
tersebut hanya memberikan efek lumpuh kepada korban Ade Sara supaya korban

96
Ade Sara tidak bisa memberikan perlawanan saat dianiaya oleh terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani.
selanjutnya, melihat dari hasil Visum et Repertum Nomor :
100/VER/234.03.13/M/2014 tanggal 11 Maret 2014 yang ditandatangani oleh dr.
Wibisana Widiatmaka, Spf, dokter spesialis Forensik pada Departemen Ilmu
kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo di
Jakarta, yang pada kesimpulannya menyebutkan : pada mayat perempuan dewasa
muda serta dalam keadaan membusuk kemudian ditemukan luka lecet akibat
kekerasan tumpul. Selain itu ditemukan pula adanya gumpalan dalam rongga mulut,
serta tanda gangguan proses pernafasan. Sebab matiya orang ini akibat
sumbatan pada rongga mulut yang menimbulkan mati lemas.
Ditinjau dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat
dipersidangan dan keterangan Assyifa Ramadhani yang juga pada saat di
persidangan yang diteliti penulis dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara, bahwa korban Ade Sara sendiri yang
memutuskan untuk memakan tisu yang diberikan kepadanya sementara Assyifa
Ramadhani memberikan tisu tersebut dengan alasan bahwa Assyifa Ramadhani
kesal terhadap pengakuan korban Ade Sara yang mengatakan bahwa dirinya sedang
hamil lalu seketika itu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan saksi Assyifa
Ramadhani kaget mendengar pengakuan tersebut. Saksi Assyifa Ramadhani
berpikir jika benar bahwa korban Ade Sara sedang hamil mengapa ia menghubungi
kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang merupakan mantan pacar korban
Ade Sara, dengan pengakuan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan di diri
Assyifa Ramadhani, lalu saksi Assyifa Ramadhani mengambil tas milik korban Ade
Sara dan menemukan tisu lalu memberikan tisu tersebut kepada korban Ade Sara
karena pada saat itu korban Ade sara mencoba meminta pertolongan dengan cara
berteriak.
Setelah korban Ade Sara memutuskan untuk memakan tisu yang diberikan
kepadanya ia masih mencoba berteriak untuk meminta tolong, melihat hal tersebut
saksi Assyifa Ramadhani kesal dan mengambil korban yang berada di dalam mobil
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd lalu memberikannya kepada korban Ade Sara.

97
Tidak lama berselang, korban Ade Sara sudah tidak berbicara lalu saksi Assyifa
Ramadhani memukul korban dengan sepatu miliknya akan tetapi korban Ade Sara
tidak memberikan reaksi sedikitpun. Dengan tidak ada reaksi, saksi Assyifa
bingung dan mengecek denyut nadi korban Ade Sara serta mengecek hembusan
nafas dari korban Ade Sara dan ternyata korban Ade Sara sudah meninggal dunia.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia dan seketika itu Assyifa Ramadhani panik dan memberitahukan kepada
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal dunia
dan reaksi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik pada saat mendengar
korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam kondisi panik dan bingung
berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad dari korban Ade Sara.
Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada saat itu masih berada
di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, akhirnya pada esok hari
setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal dunia terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk membuang jasad dari
korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Yang menyebabkan korban Ade Sara meninggal dunia adalah perbuatan korban
Ade Sara sendiri, karena Assyifa Ramadhani tidak menyuruh korban Ade Sara
Untuk memakan tisu tersebut akan tetapi korban Ade Sara sendiri yang memilih
untuk memakan tisu yang diberikan kepadanya. Selain itu tujuan Assyifa
Ramadhani memberikan tisu kepada korban Ade Sara hanya untuk agar membuat
korban Ade Sara berhenti berteriak bukan untuk membunuh korban Ade Sara. Jadi
pada kesimpulannya mengenai Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014, terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dinyatakan telah terbukti
secara sah dan menyakinkan telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana yang ditetapkan oleh majelis hakim
Absoro S.H sebagai hakim ketua di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak sesuai
dengan fakta yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada
saat dipersidangan karena tujuan dari perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd

98
semula adalah untuk menculik korban Ade Sara untuk memberi pelajaran kepada
korban Ade Sara karena telah mengganggu hubungan terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd dengan Assyifa Ramadhani bukan bertujuan untuk matinya korban Ade
Sara. Matinya korban Ade Sara hanya merupakan akibat dari perbuatan yang
berupa kekerasan yang ditujukan kepadanya.
Karena menurut penulis terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan
Assyifa Ramadhani tidak memenuhi unsur tindak pidana pembunuhan berencana
yang diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Pidana sesuai dengan Putusan
Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 1359/PID.B/2014, maka dengan didasari oleh
keterangan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat dipersidangan dengan
didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani yang merupakan orang yang turut
serta atau mede pleger dalam kasus ini, penulis berargumen bahwa perbuatan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa Ramadhani yang
mengakibatkan matinya korban Ade Sara lebih tepat dikatakan melakukan
penganiayaan bukan pembunuhan.
Berikut penjelasan penulis yang menyebutkan bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa
Ramadhani yang mengakibatkan matinya korban Ade Sara lebih sesuai dikatakan
melakukan tindak pidana penganiayaan daripada dikatakan melakukan tindak
pidana pembunuhan , selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang apa yang
disebut sebagai tindak pidana penganiayaan terlebih jika tindak pidana
penganiayaan ini ditemukan adanya unsur direncanakan lebih dahulu.
Tindak pidana penganiayaan atau mishandeling adalah suatu perbuatan dimana
perbuatan itu dilakukan dengan tujuan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan
luka pada tubuh orang lain. Hal ini didukung oleh pendapat HogeRaad yang
mengatakan, penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata
menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat
untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan. 38

38
Leden Marpaung, Op.Cit, Hlm 5.

99
Tindak pidana penganiayaan ini diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang menyebutkan :
“(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah;
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun;
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun;
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan;
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.”
Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan pokok
atau disebut sebagai mishandeling merupakan suatu tindak pidana materiil atau
materieel delict, yakni suatu tindak pidana yang baru dianggap telah selesai
dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang terlarang atau yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Dalam pasal ini akibat yang terlarang atau yang
tidak dikehendaki oleh undang-undang berupa sengaja menimbulkan rasa sakit
kepada orang lain.
Dari rumusan pasal diatas ini mempunyai beberapa unsur, antara lain :
a. Unsur Subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja
b. Unsur Objektif : menimbulkan rasa sakit
luka pada tubuh orang lain
Matinya orang lain.
Unsur subjektif merupakan unsur yang menilai tentang sikap batin pelaku, dalam
Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan unsur subjektif
dalam pasal ini adalah dilakukan dengan sengaja. Menurut Memorie van
Toeclicting yang dimaksud dengan sengaja adalah barang siapa melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui atau biasa disebut
sebagai Willen and Wetens39.

39
Moeljatno, Op.Cit, Hlm 185.

100
Dari pengertian kesengajaan yang dikemukakan oleh Memorie van Toeclicting
yakni pelaku yang melakukan suatu perbuatan dianggap sudah menghendaki
perbuatan tersebut dan mengetahui akibat dari perbuatannya maka jika dikaitkan
dengan kesengajaan yang dijelaskan dalam ayat (4) Pasal 351 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan menyebutkan bahwa sengaja
merusak kesehatan orang lain itu sama dengan penganiayaan. Dengan kata lain
perbuatan pelaku dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit pada
orang lain atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain ataupun menimbulkan
matinya orang lain yang hanya merupakan akibat dari perbuatan penganiayaan
tersebut.
Selanjutnya mengenai unsur objektif, yang disebut sebagai unsur objektif adalah
penilaian terhadap perbuatan dan keadaan yang melekat kepada perbuatan tersebut.
Dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjadi unsur
objektif adalah mengakibatkan luka berat dan matinya orang lain. Arti dari
menimbulkan luka berat dan matinya orang lain adalah pelaku mengetahui bahwa
perbuatan yang hendak ia lakukan akan berakibat luka berat ataupun matinya orang
lain yang diakibatkan perbuatan pelaku yang sengaja merusak kesehatan orang lain
tersebut dan pelaku tetap menghendaki perbuatannya tersebut. Jadi yang dapat
dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah niat dari pelaku muncul seketika
tanpa ada jangka waktu untuk merencanakan perbuatannya dan pelaku melakukan
penganiayaan ini dengan tujuan untuk merusak kesehatan dari orang lain.
Mengenai rasa sakit yang ditujukan kepada orang lain, rasa sakit disini harus
benar-benar timbul dan diartikan secara luas karena pelaku melakukan tindak
pidana penganiayaan ini dapat berupa tindakan kekerasan yang berupa pemukulan,
menampar, menendang, bisa juga pelaku tidak memberi makan orang lain yang
membuat orang lain itu menjadi sakit dan kelaparan, hal ini juga termasuk ke dalam
unsur menimbulkan sakit pada orang lain.
Mengenai luka pada tubuh orang lain, luka disini juga harus benar-benar timbul
dan harus diartikan secara luas karena pelaku yang melakukan tindak pidana
penganiayan ini mengakibatkan luka pada tubuh orang lain yang berupa luka

101
memar atau membiru, luka akibat gigitan, luka akibat sayatan dan lain-lain yang
merupaka akibat dari perbuatan penganiayan yang dilakukan oleh pelaku.
Selanjutnya mengenai matinya orang lain, disini matinya orang lain tersebut
hanya merupakan akibat dari perbuatan-perbuatan penganiayaan yang dilakukan
oleh pelaku. Jadi niat sebenarnya dari pelaku hanya untuk menganiaya akan tetapi
akibat dari perbuatan penganiayaan ini yang menjadikan matinya orang lain
tersebut.
Timbul pertanyaan apakah seorang dokter yang melakukan operasi terhadap
pasien yang mengharuskan adanya bagian tubuh dari pasien tersebut harus dirobek
termasuk ke dalam bentuk penganiayaan. Untuk menjawab hal tersebut maka disini
harus dilihat bahwa perbuatan yang dilakukan dokter tersebut adalah demi
kesehatan pasien dan sebelum melakukan operasi tersebut dokter sudah meminta
izin dari pasien untuk melakukan operasi tersebut serta pasien mengizinkan dokter
untuk merobek bagian tubuhnya karena hal itu merupakan bagian untuk mencapai
kesehatan yang lebih baik dari pasien tersebut.
Adapula pertanyaan lain mengenai apakah seorang petinju dapat dikatakan
melakukan penganiayaan pada saat melakukan pertandingan dimana petinju
tersebut melakukan pemukulan terhadap lawannya pada saat pertandingan, yang
dilakukan petinju disini tidak dapat dikatakan melakukan penganiayaan karena
tinju merupakan bagian dari cabang olahraga yang pada dasarnya ada teknik-teknik
yang harus dipelajari terlebih dahulu untuk menjadi seorang petinju. Pada saat
pertandingan juga terdapat wasit yang bertugas untuk memisahkan jika ada petinju
yang melakukan pelanggaran ataupun menyerang secara berlebihan yang dapat
mengancam nyawa lawannya, hal ini menjadikan wasit sebagai hakim di arena tinju
tersebut. Oleh karena itu olahraga tinju atau olahraga semacamnya yang
mempunyai unsur beladiri tidak dapat dikatakan melakukan penganiayaan.
Selanjutnya masih membicarakan tentang penganiayaan akan tetapi terdapat
unsur yang memberatkan yaitu adanya unsur direncanakan lebih dahulu atau
Voorbedachte raad, yang diatur dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang berbunyi :

102
“(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana
penjara paling lama enam tahun;
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan
berencana atau mishandelingsplan, merupakan termasuk dalam bentuk tindak
pidana materiil atau materieel delict, yakni suatu tindak pidana yang baru dianggap
telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang terlarang atau
yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Dalam pasal ini akibat yang terlarang
atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang sama seperti apa yang dilarang
dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan
pokok atau mishandeling, yang akibat yang dilarang berupa sengaja menimbulkan
rasa sakit kepada orang lain.
Yang membedakan antara Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang penganiayaan berencana dengan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang penganiayaan pokok adalah adanya unsur direncanakan lebih
dahulu atau Voorbedachte raad, yang menjadi unsur yang memberatkan dalam
Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebelum menjelaskan unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad,
penulis akan menjelaskan unsur-unsur apa saja yang dimuat dalam Pasal 353 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang terdiri dari :
c. Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja
Voorbedachte raad atau direncanakan lebih dahulu
d. Unsur objektif : menimbulkan rasa sakit
Luka pada tubuh orang lain
Matinya orang lain.
Unsur subjektif merupakan unsur yang menilai tentang sikap batin pelaku, dalam
Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan unsur subjektif
dalam pasal ini adalah dilakukan dengan sengaja. Menurut Memorie van

103
Toeclicting yang dimaksud dengan sengaja adalah barang siapa melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui atau biasa disebut
sebagai Willens and Wetens40.
Dari pengertian kesengajaan yang dikemukakan oleh Memorie van Toeclicting
yakni pelaku yang melakukan suatu perbuatan dianggap sudah menghendaki
perbuatan tersebut dan mengetahui akibat dari perbuatannya, jadi arti sengaja dalam
Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah perbuatan pelaku
dilakukan dengan maksud untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau
menimbulkan luka pada tubuh orang lain ataupun menimbulkan matinya orang lain
yang hanya merupakan akibat dari perbuatan penganiayaan tersebut dan pelaku
tetap menghendaki penganiayaan tersebut, perbuatan penganiayaan disini
dilakukan dengan adanya rencana lebih dahulu yang dilakukan oleh pelaku.
Selanjutnya unsur subjektif yang kedua dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang penganiayaan berencana, adalah unsur direncanakan lebih
dahulu atau Voorbedachte raad.
Mengenai unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad, undang-
undang tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai unsur ini, maka penulis akan
menjelaskan unsur ini menurut doktrin yang diperoleh dari beberapa pendapat para
ahli pidana tentang unsur direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad,
antara lain:
1. Simons mengemukakan pendapat mengenai arti dari kata Voorbedachte
raad atau direncanakan lebih dulu adalah orang hanya dapat berbicara
tentang adanya perencanaan lebih dulu, jika untuk melakukan suatu tindak
pidana itu pelaku telah menyusun keputusannya dengan
mempertimbangkannya secara tenang, demikian pula telah
mempertimbangkan tentang kemungkinan-kemungkinan dan tentang
akibat-akibat dari tindakannya. Antara waktu seorang pelaku menyusun
rencananya dengan waktu pelaksanaan dari rencana tersebut selalu harus
terdapat suatu jangka waktu tertentu, dalam hal seorang pelaku dengan

40
Moeljatno,Loc.Cit.

104
segera melaksanakan apa yang ia maksud untuk dilakukan, kiranya sulit
untuk berbicara tentang adanya suatu perencanaan lebih dulu.41
2. Selanjutnya menurut H.R (HogeRaad), arti dari Voorbedachte raad yaitu
suatu tindakan itu dapat dianggap direncanakan terlebih dahulu, selain
membutuhkan jangka waktu panjang maupun pendek, untuk merencanakan
dan mempertimbangkan tindakannya secara tenang, pelaku harus juga dapat
menyakinkan dirinya sendiri mengenai akibat perbuatannya dalam suasana
yang memungkinkan dirinya memikirkan kembali rencananya.42
3. Menurut Memorie Van Toelichting, Voorbedachte raad adalah adanya
jangka waktu antara menyusun rencana dan pelaksanaan, tidak berarti
bahwa dalam hal seperti itu terdapat Voorbedachte raad karena dalam
jangka waktu tersebut mungkin saja pelaku tidak punya kesempatan sama
sekali mempertimbangkan secara tenang mengenai apa yang
direncanakan.43

Jadi unsur direncanakan terlebih dahulu dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang penganiayaan berencana mempunyai arti yaitu pelaku
memikirkan secara tenang tanpa ada tekanan dari orang lain tentang perbuatan
penganiayaan yang akan dilakukan serta akibat yang terjadi setelah ia melakukan
perbuatan penganiayaan tersebut. Setelah itu apabila pelaku tetap melanjutkan
perbuatan penganiayaan tersebut maka pelaku telah memenuhi unsur direncanakan
terlebih dahulu dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
penganiayaan berencana.
Selanjutnya mengenai unsur objektif, yang disebut sebagai unsur objektif adalah
penilaian terhadap perbuatan dan keadaan yang melekat kepada perbuatan tersebut.
Dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjadi unsur
objektif adalah mengakibatkan luka berat dan matinya orang lain. Arti dari
menimbulkan luka berat dan matinya orang lain adalah pelaku mengetahui bahwa

41
Simons,Loc.Cit.
42
P.A.F Lamintang & C. Djisman Samosir, Op.Cit, Hlm. 142.
43
Simons, Loc.Cit.

105
perbuatan yang hendak ia lakukan akan berakibat luka berat ataupun matinya orang
lain yang diakibatkan perbuatan pelaku yang sengaja merusak kesehatan orang lain
tersebut dan pelaku tetap menghendaki perbuatannya tersebut.
Mengenai rasa sakit yang ditujukan kepada orang lain, rasa sakit disini harus
benar-benar timbul dan diartikan secara luas karena pelaku melakukan tindak
pidana penganiayaan ini dapat berupa tindakan kekerasan yang berupa pemukulan,
menampar, menendang, bisa juga pelaku tidak memberi makan orang lain yang
membuat orang lain itu menjadi sakit dan kelaparan, hal ini juga termasuk ke dalam
unsur menimbulkan sakit pada orang lain.
Mengenai luka pada tubuh orang lain, luka disini juga harus benar-benar timbul
dan harus diartikan secara luas karena pelaku yang melakukan tindak pidana
penganiayan ini mengakibatkan luka pada tubuh orang lain yang berupa luka
memar atau membiru, luka akibat gigitan, luka akibat sayatan dan lain-lain yang
merupaka akibat dari perbuatan penganiayan yang dilakukan oleh pelaku.
Selanjutnya mengenai matinya orang lain, disini matinya orang lain tersebut
hanya merupakan akibat dari perbuatan-perbuatan penganiayaan yang dilakukan
oleh pelaku. Jadi niat sebenarnya dari pelaku hanya untuk menganiaya akan tetapi
akibat dari perbuatan penganiayaan ini yang menjadikan matinya orang lain
tersebut.
Jadi yang dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan berencana
yang diatur dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah tujuan
dari pelaku adalah untuk merusak kesehatan orang lain lalu pelaku memikirkan
secara tenang tanpa ada tekanan dari orang lain tentang perbuatan penganiayaan
yang akan dilakukan serta akibat yang terjadi setelah ia melakukan perbuatan
penganiayaan tersebut dan setelah memikirkan akibat yang akan terjadi akan tetapi
pelaku tetap memutuskan untuk tetap menganiaya seseorang maka pelaku
memenuhi unsur dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu dalam Pasal 353
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akibat dari penganiayaan tersebut berupa
luka pada orang lain, rasa sakit pada orang lain ataupun matinya orang lain akibat
dari perbuatan-perbuatan penganiayaan yang dilakukan dari pelaku.

106
Pada kesimpulannya yang menjadi pembeda antara tindak pidana pembunuhan
dan penganiayaan adalah terdapat di niat pelaku. Dalam pembunuhan niat dari
pelaku memang sengaja untuk matinya orang lain sementara dalam penganiayaan
niat dari pelaku adalah untuk melukai orang lain atau membuat orang lain
merasakan sakit dan jika orang lain tersebut meninggal dunia hal tersebut hanya
merupakan akibat dari perbuatan penganiayaan pelaku jadi pelaku tidak
mempunyai niat yang sebenarnya untuk matinya orang lain tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, terhadap Putusan Pengadilan
Jakarta Pusat Nomor 1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara yang menyatakan
bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd telah terbukti secara sah dan menyakinkan
telah melakukan pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dimana terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dijatuhi pidana penjara
seumur hidup.
Menurut penulis yang telah melakukan penelitian terhadap Putusan Pengadilan
Jakarta Pusat Nomor 1359/PID.B/2014, penjatuhan Pasal 340 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana yang ditetapkan oleh
majelis hakim Absoro S.H sebagai hakim ketua di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tidak sesuai dengan unsur Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berikut
adalah alasan penulis yang menyebutkan bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
tidak memenuhi unsur Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
membuat penulis melakukan penelitian terhadap Putusan Pengadilan Jakarta Pusat
Nomor 1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara berdasarkan keterangan yang
diperoleh dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat di persidangan serta
didukung oleh keterangan dari Assyifa Ramadhani juga pada saat di persidangan
dan saksi-saksi lainnya dengan dikaitkan oleh doktrin-doktrin para ahli hukum
pidana mengenai yang disebut sebagai tindak pidana pembunuhan dengan tindak
pidana penganiayaan penganiayaan.
Pertama, niat awal dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan
Assyifa Ramadhani adalah untuk menculik korban Ade Sara dengan tujuan
meminta penjelasan dari korban Ade Sara serta memberikan hukuman kepada

107
korban Ade Sara karena telah menghubungi kembali terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd yang berstatus mantan pacar korban Ade Sara. Perbuatan korban Ade Sara
diketahui oleh Assyifa Ramadhani yang pada saat itu merupakan pacar dari
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd lalu Assyifa Ramadhani marah kepada terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd dan kesal terhadap korban Ade Sara. Selanjutnya Assyifa
Ramadhani meminta kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd untuk menculik
korban dan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd menyetujui permintaan dari Assyifa
Ramadhani. Jadi, perbuatan korban Ade Sara ini telah mengakibatkan terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa Ramadhani menjadi bertengkar.
Dengan fakta hukum yang sudah dijelaskan penulis diatas dan merujuk kepada
pertimbangan hakim yang menyebutkan :
1. bahwa menurut keterangan dan pengakuan Assyifa Ramdhani yang
diperkuat oleh pengakuan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dipersidangan,
motifnya karena Assyifa Ramadhani cemburu dan kesal pada korban Ade
Sara, karena korban Ade Sara berhubungan lagi dengan terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd yang pada saat itu merupakan pacar dari Assyifa
Ramadhani, hal tersebut terbukti dari komunikasi chat yang dilakukan oleh
korban Ade Sara dengan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, sedangkan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd menyiksa hingga membunuh korban Ade
Sara karena cemburu dan kesal mendengar korban Ade Sara telah
memutuskan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan alasan beda agama
sedangkan ternyata korban Ade Sara berpacaran lagi dengan laki-laki yang
juga beda agama dan terlebih terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kesal karena
mendengar dari pengakuan korban Ade Sara yang pada saat itu berada di
dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd mengakui bahwa
dirinya sedang hamil oleh perbuatan teman kampusnya, dan juga karena
korban Ade Sara membuat hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
dengan Assyifa Ramadhani selalu bertengkar;
2. bahwa berdasarkan pengakuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd mempunyai kepentingan begitu juga dengan
Assyifa Ramadhani, masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda

108
terhadap korban Ade Sara, namun mempunyai satu tujuan yaitu
menghilangkan penyebab mereka bertengkar, sedangkan yang dianggap
menjadi penyebab mereka bertengkar adalah korban Ade Sara, agar mereka
tidak bertengkar maka jalan yang ditempuh adalah menghilangkan
penyebabnya;

Dengan pertimbangan hakim yang menyebutkan benar bahwa motifnya karena


Assyifa Ramadhani itu kesal terhadap perbuatan korban Ade Sara akan tetapi pada
pertimbangan hakim yang menyebutkan bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
mempunyai tujuan untuk menghilangkan penyebab terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd dan Assyifa Ramadhani menjadi bertengkar yang artinya matinya korban
Ade Sara, menurut penulis pertimbangan hakim yang menyebutkan menghilangkan
penyebab bertengkar kurang tepat karena semula niat penculikan itu timbul akibat
Assyifa Ramadhani cemburu dan kesal mendengar korban Ade Sara telah
memutuskan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan alasan beda agama
sedangkan ternyata korban Ade Sara berpacaran lagi dengan laki-laki yang juga
beda agama dan terlebih terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kesal karena mendengar
dari pengakuan korban Ade Sara yang pada saat itu berada di dalam mobil milik
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd mengakui bahwa dirinya sedang hamil oleh
perbuatan teman kampusnya, dan juga karena korban Ade Sara membuat hubungan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa Ramadhani selalu bertengkar itu
tidak sesuai karena menurut fakta hukum yang diperoleh dari keterangan terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd dan keterangan dari saksi Assyifa Ramadhani mengatakan
bahwa tindak pidana ini dilakukan semula karena Assyifa Ramadhani kesal
terhadap perbuatan korban Ade Sara yang menghubungi kembali terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd yang merupakan pacar dari Assyifa Ramadhani.
Assyifa Ramadhani meminta kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd untuk
menculik korban Ade Sara dengan tujuan meminta penjelasan terhadap
perbuatannya dan untuk memberi pelajaran kepada korban Ade Sara karena telah
mengganggu hubungan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa

109
Ramadhani. Jadi sebenarnya yang mempunyai niat awal untuk menculik adalah
Assyifa Ramadhani bukan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd.
Jika dihubungkan dengan teori tentang hubungan kausalitas atau causaliteitsleer
karena perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani yang
mengakibatkan matinya korban Ade Sara termasuk ke dalam tindak pidana materiil
atau materieel delict, maka untuk menentukan seorang itu telah melakukan tindak
pidana pembunuhan atau tidak harus dibuktikan antara sikap batin pelaku pada saat
niat tersebut muncul sampai pelaku memutuskan untuk tetap melakukan perbuatan
tersebut demi tercapainya tujuan dari pelaku yaitu matinya orang lain.
Menurut keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd di persidangan serta
didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani juga pada saat di persidangan
menjelaskan bahwa sikap batin dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah untuk
menculik korban Ade Sara, alasan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd melakukan
penculikan terhadap korban Ade Sara karena untuk menguasai korban Ade Sara
supaya korban Ade Sara mau menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya
yang telah menghubungi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah pacar dari Assyifa Ramadhani dan
memberikan hukuman kepada korban Ade Sara karena telah mengganggu
hubungan antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa
Ramadhani, jadi disini tidak terlihat bahwa tujuan dari terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd adalah untuk matinya korban Ade Sara. Maka tidak tepat dikatakan bahwa
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd telah melakukan pembunuhan terhadap korban
Ade Sara terlebih jika dikatakan bahwa terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
melakukan pembunuhan berencana.
Perbuatan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang tepat adalah melakukan
suatu tindak pidana penganiayaan karena dalam keterangan terdakwa Ahmad Imam
Al Hafitd dengan didukung oleh keterangan Assyifa Ramadhani dalam persidangan
menyebutkan bahwa alasan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd melakukan
penculikan terhadap korban Ade Sara karena untuk menguasai korban Ade Sara
supaya korban Ade Sara mau menjelaskan dan mengakui maksud dari perbuatannya
yang telah menghubungi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu

110
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah pacar dari Assyifa Ramadhani dan
memberikan hukuman kepada korban Ade Sara karena telah mengganggu
hubungan antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan saksi Assyifa
Ramadhani.
Dengan keterangan dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang menjelaskan
alasan mengapa ia melakukan perbuatan tersebut maka terlihat tujuan dari terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd sebetulnya hanya ingin memberi pelajaran kepada korban
Ade Sara dengan cara melakukan penculikan lalu setelah itu melakukan kekerasan
terhadap korban Ade Sara. Kekerasan disini termasuk ke dalam unsur tindak pidana
penganiayaan karena pelaku mempunyai kesengajaan untuk memberikan rasa sakit
kepada orang lain, rasa sakit disini maksudnya adalah rasa sakit yang ditujukan
kepada fisik seseorang yang timbul karena adanya kekerasan terlebih dahulu
terhadap orang lain tersebut.
Selanjutnya, mengenai alat bukti yang digunakan hakim untuk mengambil
keputusan dalam memutuskan suatu perkara, barang bukti yang digunakan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan
kepada Assyifa Ramadhani adalah alat setrum merk “TAZER” yang menurut
keterangan dari salah satu saksi yang hadir di persidangan, alat setrum tersebut
sudah ada di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd jauh sebelum
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap
korban Ade Sara yang mengakibatkan korban Ade Sara meninggal dunia, jadi tidak
tepat dikatakan bahwa alat setrum ini disiapkan untuk membunuh korban Ade Sara.
Kegunaan alat setrum secara umum adalah untuk berjaga diri karena adanya
ancaman kejahatan seperti perampokan yang sering terjadi di masyarakat. Efek dari
alat setrum tersebut hanya menyebabkan target lumpuh karena alat setrum yang
beredar di masyarakat sudah diuji coba oleh pihak kepolisian Republik Indonesia
sebelum dipasarkan kepada masyarakat.
Oleh karena itu pihak kepolisian Republik Indonesia memberikan izin atas
penjualan alat setrum kepada masyarakat untuk memiliknya. Salah satu jenis alat
setrum yang dimiliki masyarakat adalah berjenis “TAZER” yang berbentuk

111
menyerupai pistol yang bekerja dengan melontarkan semacam peluru untuk
melumpuhkan target.
Alat setrum tersebut ada di dalam mobil terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd sejak
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd mengalami kerampokan di dalam mobil sekitar
bulan Januari 2014. Alat setrum itu diberikan oleh ibu terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd yang menjadi salah satu saksi dipersidangan dan sebagai orang yang menjadi
pemilik dari alat setrum tersebut karena pada akhir Januari 2011 ibu terdakwa juga
mengalami kerampokan. Dengan kejadian perampokan yang dialami terdakwa
Ahmad Imam Al Hafitd maka ibu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd memustuskan
untuk memberikan alat setrum tersebut kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
untuk berjaga diri dan disimpan di dalam mobil terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd.
Jadi, alat setrum “TAZER” ini sebenarnya bukan disiapkan terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd untuk membunuh korban Ade Sara karena efek dari alat setrum
tersebut hanya memberikan efek lumpuh kepada korban Ade Sara supaya korban
Ade Sara tidak bisa memberikan perlawanan saat dianiaya oleh terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani.
selanjutnya, melihat dari hasil Visum et Repertum Nomor :
100/VER/234.03.13/M/2014 tanggal 11 Maret 2014 yang ditandatangani oleh dr.
Wibisana Widiatmaka, Spf, dokter spesialis Forensik pada Departemen Ilmu
kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo di
Jakarta, yang pada kesimpulannya menyebutkan : pada mayat perempuan dewasa
muda serta dalam keadaan membusuk kemudian ditemukan luka lecet akibat
kekerasan tumpul. Selain itu ditemukan pula adanya gumpalan dalam rongga mulut,
serta tanda gangguan proses pernafasan. Sebab matiya orang ini akibat
sumbatan pada rongga mulut yang menimbulkan mati lemas.
Ditinjau dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada saat
dipersidangan dan keterangan Assyifa Ramadhani yang juga pada saat di
persidangan yang diteliti penulis dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014 tentang kasus Ade Sara, bahwa korban Ade Sara sendiri yang
memutuskan untuk memakan tisu yang diberikan kepadanya sementara Assyifa
Ramadhani memberikan tisu tersebut dengan alasan bahwa Assyifa Ramadhani

112
kesal terhadap pengakuan korban Ade Sara yang mengatakan bahwa dirinya sedang
hamil lalu seketika itu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan saksi Assyifa
Ramadhani kaget mendengar pengakuan tersebut. Saksi Assyifa Ramadhani
berpikir jika benar bahwa korban Ade Sara sedang hamil mengapa ia menghubungi
kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang merupakan mantan pacar korban
Ade Sara, dengan pengakuan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan di diri
Assyifa Ramadhani, lalu saksi Assyifa Ramadhani mengambil tas milik korban Ade
Sara dan menemukan tisu lalu memberikan tisu tersebut kepada korban Ade Sara
karena pada saat itu korban Ade sara mencoba meminta pertolongan dengan cara
berteriak.
Setelah korban Ade Sara memutuskan untuk memakan tisu yang diberikan
kepadanya ia masih mencoba berteriak untuk meminta tolong, melihat hal tersebut
saksi Assyifa Ramadhani kesal dan mengambil korban yang berada di dalam mobil
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd lalu memberikannya kepada korban Ade Sara.
Tidak lama berselang, korban Ade Sara sudah tidak berbicara lalu saksi Assyifa
Ramadhani memukul korban dengan sepatu miliknya akan tetapi korban Ade Sara
tidak memberikan reaksi sedikitpun. Dengan tidak ada reaksi, saksi Assyifa
bingung dan mengecek denyut nadi korban Ade Sara serta mengecek hembusan
nafas dari korban Ade Sara dan ternyata korban Ade Sara sudah meninggal dunia.
Selanjutnya Assyifa Ramadhani yang dalam kondisi panik memberitahukan
kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal
dunia dan seketika itu Assyifa Ramadhani panik dan memberitahukan kepada
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bahwa korban Ade Sara sudah meninggal dunia
dan reaksi terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd kaget dan panik pada saat mendengar
korban Ade Sara sudah meninggal dunia. Lalu terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bersama Assyifa Ramadhani yang pada saat itu dalam kondisi panik dan bingung
berusaha memikirkan untuk mau dibawa kemana jasad dari korban Ade Sara.
Setelah satu hari membawa jasad korban Ade Sara yang pada saat itu masih berada
di dalam mobil milik terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd, akhirnya pada esok hari
setelah mengetahui korban Ade Sara sudah meninggal dunia terdakwa Ahmad

113
Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani memutuskan untuk membuang jasad dari
korban Ade Sara di pinggir tol Bintara KM 49, Kota Bekasi.
Yang menyebabkan korban Ade Sara meninggal dunia adalah perbuatan korban
Ade Sara sendiri, karena Assyifa Ramadhani tidak menyuruh korban Ade Sara
Untuk memakan tisu tersebut akan tetapi korban Ade Sara sendiri yang memilih
untuk memakan tisu yang diberikan kepadanya. Selain itu tujuan Assyifa
Ramadhani memberikan tisu kepada korban Ade Sara hanya untuk agar membuat
korban Ade Sara berhenti berteriak bukan untuk membunuh korban Ade Sara. Jadi
pada kesimpulannya mengenai Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor
1359/PID.B/2014, terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dinyatakan telah terbukti
secara sah dan menyakinkan telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana yang ditetapkan oleh majelis hakim
Absoro S.H sebagai hakim ketua di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak sesuai
dengan fakta yang diperoleh dari keterangan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd pada
saat dipersidangan karena tujuan dari perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
semula adalah untuk menculik korban Ade Sara untuk memberi pelajaran kepada
korban Ade Sara karena telah mengganggu hubungan terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd dengan Assyifa Ramadhani bukan bertujuan untuk matinya korban Ade
Sara. Matinya korban Ade Sara hanya merupakan akibat dari perbuatan yang
berupa kekerasan yang ditujukan kepadanya.
Mengenai direncanakan lebih dahulu atau Voorbedachte raad, menurut
keterangan dari terdakwa Ahmad Imam Al hafitd pada saat di persidangan
menjelaskan bahwa antara niat penculikan terhadap korban Ade Sara tersebut
muncul dengan pelaksanaan penculikan tersebut terdapat jangka waktu sekitar satu
minggu. Jangka waktu ini merupakan petunjuk untuk menentukan perbuatan
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd memenuhi unsur direncanakan lebih dahulu atau
Voorbedachte raad, karena dengan adanya jangka waktu ini terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd dapat berpikir secara tenang jika perbuatan tersebut tetap
dilanjutkan dan apa saja akibat yang dapat timbul jika perbuatan itu dilakukan
sampai terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd memutuskan untuk tetap melanjutkan
perbuatannya tersebut. Jadi menurut penulis unsur direncanakan lebih dahulu atau

114
Voorbedachte raad, telah terpenuhi dan dengan dikaitkan dengan tujuan dari
terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd adalah untuk menganiaya korban Ade Sara.
Jika dikaitkan antara fakta dari terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dan dengan
didukung dari keterangan Assyifa Ramadhani serta dilihat dari alat-alat bukti yang
ada dalam persidangan dihubungkan dengan akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd menggunakan teori sebab-akibat atau
hubungan kausalitas maka menurut penulis pada kesimpulannya menyebutkan
bahwa terdakwa melakukan tindak pidana penganiayaan dengan rencana lebih
dahulu yang diatur dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal
ini juga merupakan pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum sebagai
dakwaan lebih subsidair kepada terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd Ahmad Imam
Al Hafitd.
Akan tetapi, perbuatan penculikan yang dilakukan terdakwa Ahmad Imam Al
Hafitd kepada korban Ade Sara memenuhi unsur yang dituangkan dalam Pasal 328
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi :
“Barangsiapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau
tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu
secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain,
atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena
penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Pasal ini menjadi relevan kepada perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
karena terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd bersama dengan Assyifa ramadhani
menjemput korban Ade Sara di stasiun Gondangdia Jakarta Pusat dengan maksud
membawa korban Ade Sara untuk meminta penjelasan kepada korban Ade Sara
tentang perbuatannya dimana perbuatan korban Ade Sara adalah menghubungi
kembali terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd yang pada saat itu terdakwa Ahmad
Imam Al Hafitd merupakan pacar dari Assyifa Ramadhani. Dengan adanya
penjemputan terhadap korban Ade Sara berarti terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd
bermaksud untuk menguasai korban Ade Sara dan meminta penjelasan kepada
korban Ade Sara dibantu dengan Assyifa ramadhani yang bertujuan untuk
memberikan pelajaran kepada korban Ade Sara karena telah mengganggu
hubungan antara terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd dengan Assyifa Ramadhani.

115
Jadi perbuatan terdakwa Ahmad Imam Al Hafitd memenuhi unsur penculikan yang
dituangkan dalam Pasal 328 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

116

Anda mungkin juga menyukai