FAKULTAS HUKUM
OLEH:
Nama Penyusun: Teuku Akmal Juansyah
NPM: 2017200130
DAFTAR ISI
Latar Belakang…………………………………………………..1
Identifikasi Masalah……………………………………………..6
Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………….7
Tinjauan Pustaka………………………………………………...7
Metode Penelitian ………………………………………………16
Rencana Sistematika Penulisan…………………………………18
Daftar Pustaka…………………………………………………..19
ii
I. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari – hari, manusia selalu dihadapkan oleh
permasalahan yang tidak akan ada habisnya. Tidak dapat dipungkiri
permasalahan itu ada karena interaksi dalam kehidupan manusia. Tuhan
menciptakan manusia paling sempurna diantara makhluk lainnya, karena
mempunyai akal pikiran yang harusnya dapat memilah mana yang baik dan
buruk. Akal budi dan nurani yang diberikan oleh Tuhan menjadikan
Manusia mempunyai kemampuan untuk membedakan dan buruk yang dapat
dijadikan sebagai penunjuk arah sikap dan perilaku dalam menjalani
kehidupannya.1
1
Penjelasan Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
1
yaitu Rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur serta
memiliki vagina dan alat menyusui. Alat - alat tersebut melekat pada laki –
laki dan perempuan sejak dilahirkan tidak berubah serta merupakan kodrat
Tuhan.2
Praktik kekerasan seksual yang dialami istri menjadi pembahasan
serta membutuhkan perhatian dan penanganan khusus dalam penegakan
hukum di Indonesia. Sebab, perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan
seksual yang sering terjadi kepada perempuan. Pemerkosaan sendiri
diartikan seabgai proses perbuatan memperkosa dengan kekerasan.
Memperkosa berarti menundukan dengan memaksa dengan kekerasan.3
Kekerasan merupakan salah satu bentuk kejahatan. Kekerasan
sendiri tidak hanya dibatasi oleh kekerasan terhadap fisik, tetapi juga
kekerasan terhadap psikis – psikologis maupun terhadap seksualitas
seseorang. Kekerasan dapat terjadi di waktu kapan saja dan dimana saja,
bahkan dilakukan oleh siapa saja tanpa mengenal status dan pertalian darah.
Di zaman modern ini, kekerasan terhadap perempuan sering menjadi objek
dari kekerasan itu sendiri, karena dalam lingkungan sosial dan perempuan
masih ditempatkan dan dianggap sebagai pihak yang lebih lemah.
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual yang terjadi kepada
perempuan, bukan hanya dari lingkup orang jauh tetapi dapat terjadi di
lingkup orang yang terdekat, seperti suami. Kasus perkosaan yang
dilakukan terhadap istri oleh suami dalam perkawinan di mana dalam istilah
asing disebut dengan marital rape, dapat dikatakan bahwa kejahatan dapat
dilakukan oleh siapa saja.
Suami tidak diperbolehkan memaksa istri untuk bersetubuh secara
tidak wajar dan tidak manusiawi hanya untuk memenuhi nafsu birahi yang
merupakan sebuah pemerkosaan dalam ikatan perkawinan. Freud dan
2
Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2009),hlm. 14. 8 Ibid, hlm. 15
3
Tim Penyusunan Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm., 673.
2
Mercuse menyatakan keterkaitan pengekangan seksual dengan kemajuan
peradaban di mana kebudayaan dibangun atas dasar pengekangan nafsu
seksual4. Suami atau pun istri tentunya memiliki hak untuk bersetubuh
dengan pasangannya. Akan tetapi, ada batasan yang harus digaris bawahi.
Hubungan seksual antara suami dan istri harus disertai konsen dari kedua
belah pihak.
Menurut Muhammad Endriyo Susolo Marital Rape tidak hanya
berupa satu bentuk, tetapi terdapat 3 bentuk sebagai berikut :
1. Battering rape : istri mengalami kekerasan fisik dan seksual sekaligus
saat suami memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual
2. Force- only rape : suami menggunakan kekuatan dan kekuasaanya
untuk memaksa atau mengancam istri agar mau melakukan hubungan
suami istri. Hal ini dilakukan manakala istri sebelumnya menolak.
3. Obsessive rape : istri atau pasangan mendapat kekerasan seksual dalam
bentuk perlakukan sadis dalam melakukan hubungan seksual, seperti
suami melakukan kekerasan fisik dengan memukul, menarik rambut,
mencekik atau bahkan menggunakan alat tajam yang melukai istri untuk
mendapatkan kepuasan seksual.5
Terdapat pengaturan tentang pemerkosaan yang disebutkan dalam
pasal 285 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam
karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.”
Tetapi, pasal ini tidak mengklasifikasikan perbuatan pemerkosaan
dalam ikatan perkawinan, sehingga pemerkosaan dalam rumah tangga
tidak dianggap sebagai kejahatan tersendiri.
4
Andika Wijaya dan Wida Peace, Darurat Kejahatan Seksual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016),
hlm. 33.
5
Muhammad Endriyo Susilo. Islamic Perspective on Marital Rape. Jurnal Media Hukum, volume
20, edisi 2, 2013. Hal 320
3
Bila dipertimbangkan secara lebih dalam, maka sebuah peraturan
yang dilematis apabila ranah rumah tangga apalagi hingga detail hubungan
seksualitas tersebut juga diangkat menjadi urusan hukum dalam konteks
Hukum Pidana. Apa yang terjadi jika peraturan tersebut digunakan oleh
oknum tertentu menjadi suatu alasan untuk memutuskan ikatan perkawinan
oleh salah satu pihak. Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk kelaurga atau rumah tangga yang
Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat putus oleh
suatu putusan pengadilan menjadi suatu perceraian yang menimbulkan
keambiguan atas asas perlindungan keutuhan terhadap rumah tangga dalam
perkawinan yang menjadi dasar filosofis peraturan tersebut. Apabila terjadi
suatu perceraian, anak hasil dari perkawinan pun akan menjadi korban
secara tidak langsung, sedangkan memelihara kelangsungan hidup anak
merupakan tanggung jawab orang tua yang sama sekali tidak dapat
diabaikan.
Dilematisnya peraturan yang diatur dalam Undang – Undang
dikarenakan dalam pelaksanaanya kurang menjelaskan secara spesifik apa
yang menjadi parameter pemerkosaan dalam rumah tangga. Dengan kata
lain syarat – syarat yang menjadi parameter seorang suami memperkosa istri
belum di klasifikasikan dalam KUHPidana. Dalam Hukum Pidana umum
Indonesia, yaitu KUHP, pemerkosaan yang dikenal adalah pemerkosaan
yang terjadi di luar perkawinan, baik pelaku maupun korban tidak terikat
perkawinan. Perkosaan dalam perkawinan diatur dalam UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Namun, tidak dijelaskan apa yang menjadi syarat – syarat bahwa
pemerkosaan suami terhadap istri itu terjadi dalam lingkup pernikahan.
Namun dalam RUU KUHP Pasal 479 menyebutkan bahwa defenisi
pemerkosaan menjadi luas dengan salah satunya terkait pemerkosaan dalam
hubungan pernikahan suami istri.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti
tindak pidana pemerkosaan suami terhadap istri dalam ruang lingkup rumah
4
tangga berdasarkan pandangan aturan hukum pidana, bagaimana
pengaturan terhadap tindak pidana pemerkosaan suami terhadap istri
tersebut, dan bagaimana penerapan hukum apabila terjadi tindak pidana
pemerkosaan suami terhadap istri yang masih berada dalam lingkup rumah
tangga yang bila dikaitkan masih dalam keabsahan perkawinan. Maka
penulis memberikan judul pada kajian ini adalah
5
2. Penulisan ini berguna untuk memberikan pertimbangan hukum apakah
Pemerkosaan suami terhadap istri dalam lingkup perkawinan yang sah dari
sudut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menjadi dasar gugatan
bagi pihak yang dirugikan.
3. Bagi Mahasiswa, diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
klasifikasi yang menjadikan Tindakan pemerkosaan terhadap istri sebagai
korban dalam pemerkosaan di ruang lingkup rumah tangga.
6
Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya
Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008) hlm. 67.
7
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hlm
.181.
8
Adami Chazawi, Loc. Cit. hlm. 67.
6
2. Pompe merumuskan bahwa suatu straafbar feit adalah suatu tindakan yang
menurut sesuatu rumusan undang undang telah dinyatakan sebagai
tindakan yang dapat dihukum.
3. R. Tresna menyatakan bahwa “peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan
atau ragkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang
undang atau peraturan perundang undangan lainnya , terhadap perbuatan
mana ada tindakan penghukumannya”.
Berdasarkan defenisi diatas maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa suatu
perbuatan dikatakan sebagai suatu tindak pidana apabila:
1) Melawan hukum
2) Merugikan masyarakat
3) Dilarang oleh aturan pidana
4) Pelakunya dapat dijatuhi pidana
9
Mohammad Ekaputra, Dasar Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2014), hlm.
106.
10
ibid
7
d) Unsur melawan hukum yang objektif;11
e) Unsur melawan hukum yang subjektif:12
Kelima unsur atau elemen diatas pada dasarnya diklasifikasikan kedalam
dua unsur pokok yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.13 Unsur objektif dapat
dibagi menjadi:
1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai
berikut:
a. Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif;
b. Omission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negative
2. Akibat perbuatan manusia
Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang
dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan
kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan,
kemerdekaan, hak milik/harta, atau kehormatan;
3. Keadaan keadaan Pada umumnya keadaan keadaan ini dibedakan atas:
a. Keadaan pada saat perbuatan perbuatan dilakukan; dan
b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan;
11
Unsur melawan hukum obyektif, adalah sifat melawan hukum yang terletak pada keadaan
obyektif, yang merujuk pada keadaan lahiriah yang menyertai perbuatan, yang biasanya berupa
perbuatan tertentu yang dilarang dilakukan, yang tidak perlu dirumuskan lagi sebagai unsure atau
elemen tersendiri (yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bertentangan dengan hukum).
Misalnya: dalam merumuskan pemberontakan yang menurut ketentuan Pasal 108 KUHP antara
lain adalah melawan pemerintah dengan sengaja, tidak perlu diadakan unsure tersendiri yaitu kata
kata yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan
hukum. Tanpa ditamba kata kata yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut (pemberontakan)
sudah wajar dilarang dilakukan.Ibid, hlm .42.
12
Unsur melawan hukum subjektif, adalah sifat melawan hukumnya suatu perbuatan tidak terletak
pada keadaan obyektif, tetapi terletak pada keadaan subyektif, yaitu terletak dalam sanubari
terdakwa, atau dapat dikatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan tergantng pada
bagaimana sikap batin terdakwa. Misalnya dalam Pasal 362 KUHP, dirumuskan sebagai pencurian
adalah pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara
melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal al lairiah tetapi
digantungkan kepada niat orang yang mengambil barang tadi.Kalau niat hatinya baik, misalnya
barang diambil untuk diberikn kepada pemiliknya maka perbuatan ini tidak dilarang, karena bukan
pencurian. Sebaliknya kalau niat hhatinya jelek yaitu barang itu akan dimiliki sendiri tanpa
mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal ini dilarang dan masuk rumusan
pencurian.Ibid, hlm.43.
13
Leden Marpaung, Unsur Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum(Delik), ( Jakarta: Sinar
Grafika, 199), hlm. 6.
8
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan alasan yang membebaskan
terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan
hukum, yaitu berkenaan dengan larrangan atau perintah.
Sedangkan unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum
pidana, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan”( an act does not make guilty
unless the mind is guilty; actus non facit reum nisi mens sit rea).
Kesalahan yang dimaksud dalam konteks ini adalah:
1. Kesengajaan terdiri dari tiga bentuk yaitu
a. Sengaja sebagai maksud;
b. Sengaja sebagai kepastian;
c. Sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis);
2. Kealpaan, adala bentuk kesalahan yang lebiiih rigan daripada
kesengajaan. Ada dua bentuk keallpaan yaitu:
a. Tidak berhati hati; dan
b. Tidak menduga duga akibat perbuatan itu
c. Jenis Jenis Tindak Pidana
Selain pembedaan tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran
yang terdapat dalam KUHP, dikenal juga pembedaan/ penggolongan
tindak pidana yang didasarkan kepada14 :
1. Cara merumuskan tindak pidana:
a. Delik Formil (formeele delicten)
Pada delik formil yang dirumuskan adalah tindakan yang
dilarang(beserta hal/ keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan
akibat dari tindakan itu. Misalnya;pencuriam (362 KUHP)
b. Delik materiil (materielle delichten) Pada delik materil untuk
dapat dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, selain dari pada tindakan
yang terlarang itu dilakukan masih harus ada akibat yang timbul karena
tindakan itu. Misalnya; penipuan (378 KUHP)
14
Mohammad Ekaputra, Dasar Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2014), hlm.
100.
9
2. Cara melakukan tindak pidana
a. Delik komisi (commisie delichten) Delik komisi adalah tindakan
aktif (active handeling) yang dilarang yang untuk pelanggarannya
diancam pidana.Misalnya; dilarang berzina (284 KUHP).
b. Delik omisi (ommisie delichten)
Delik omisi adalah tindakan pasif (passive handeling) yang
diharuskan, yang jika tidak melakukanna diancam pidana.Misalnya;
wajib melaporkan kejahatan tertentu (164) dan wajib menjadi saksi (224
KUHP).
c. Delik campuran komisi dan omisi (delicta commisioniss
perommissionem commisceo), merupakan delik yang berupa pelanggaran
suatu perbuatan yang dilarang, akan tetapi dapat dilakukan dengan cara
tidak berbuat. Misalnya; seorang wissel wacther/ pengatur perjalanan
kereta api yang tidak mengindahkan wissel yang mengakibattkan
kecelakan (194 KUHP)
10
a. Tindak pidana biasa(gewone delicten), Tindak pidana biasa
adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana
terhadap pembuatnya tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang
berhak.
b. Tindak pidana aduan (klacht delicten) Tindak pidana aduan
adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan diisyaratkan
untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh pihak yang berhak
mengajukan pengaduan. Tindak pidana ini dibedakan menurut sifatnya:
(1) Tindak pidana aduan mutlak/absolute Tindak pidana aduan
mutlak, yaitu tindak pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan
itu harus ada. Misalnya pencemaran (310 KUHP) dan fitnah (311 KUHP)
(2) Tindak pidana aduan relatif Tindak pidana aduan relatif adalah
hanya dalam keadaan tertentu atau jika memenuhi syarat/unsur tertentu
saja tindak pidana itu menjadi tindak pidana aduan, misalnya pencurian
dalam kalangan keluarga(Pasal367 ayat 2 jo Pasal362-365 KUHP) atau
Universitas Sumatera Utara penggelapan dalam kalangan keluarga
(Pasal367 jo Pasal367 KUHP). Disebut relatif karena dalam tindak pidana
tersebut masih ada hubungan istimewa antara pelaku dan korban.
6. Berdasarkan kepada sumbernya a. Tindak pidana umum Tindak
pidana umum adalahh semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP
(buku II dan buku III KUHP) sebagai kodifikasi hukum pidana materil. b.
Tindak pidana khusus Tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana
yang terdapat diluar kodifikasi tersebut.
7. Berdasarkan berat atau ringannya pidana yang diancamkan
a. Delik bentuk pokok/ bentuk sederhana (eenvoudige delicten)
Contoh tindak pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHP), pencurian (Pasal
362 KUHP) dan lain sebagainya.
b. Delik dikualifisir/ diperberat(gequalificeerde delicten)
Merupakan tindak pidana yang karena situasi dan kondisi khusus, yang
berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang bersangkutan atau karena
akibat akibat khusus yang dimunculkanya, diancam dengan sanksi pidana
yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi yang diancamkan pada delik
11
pokoknya. Contoh Pasal 363 KUHP terhadap Pasal 362 KUHP
(pencurian). Universitas Sumatera Utara
c. Delik diprivilisir/ diperingan (gepriviligieerde delicten)
Merupakan tindak pidana yang dikhususkan, yaitu bentuk tindak pidana
yang menyimpang dari bentuk dasar, sehingga sanksi yang lebih ringan
dianggap pantas diijatuhkan.Contoh Pasal 341 KUHP terhadap 338
KUHP.
8. Ada atau tidak kelanjutannya
a. Delik berdiri sendiri(zelfstandige delicten) Merupakan delik yang
berdiri sendiri yang terdiri atas suatu perbuatan tertentu;
b. Delik berlanjut (voortgezettedelicten) Merupakan delik yang
terdiri atas beberapa perbuatan berlanjut.Misalnya seorang ibu memukuli
anaknya setiap hari.Delik ini erat berhubungan dengan Pasal 64 KUHP.
9. Berakhir atau berkesinambungannya suatu delik.
a. Delik rampung (aflopende delict) Merupakan delik yang lebih
dari suatu perbuatan yang mencakup melakukan atau melalaikan(suatu
kewajiban hukum) atau menimbulkan akibat tertentu, misalnya
mengambil(dalam pencurian).
b. Delik berkesinambungan (voortdurendedelict) Merupakan
perbuatan yang menciptakan atau menimbulkan suatu keadaan yang
dilarang secara berlanjut.Pasal 221 tentang menyebunyikan orang jahat
dan lain lain. Universitas Sumatera Utara
10. Tindakan terlarang tersebut merupakan kebiasaan dari pelaku
atau tidak
a. Delik tunggal (enkelvoudige delict) Enkelvoudige delicten
mempunyai arti yang hampir mirip dengan aflopende delicten yang
selesai dengan satu kelakuan;
b. Delik gabungan(samengestelde delict) Merupakan delik yang
terdiri atas lebih dari suatu perbuatan. Pada umumnya menyangkut
kejahatan karena mata pencaharian atau karena kebiasaan atau karena
pekerjaan, misalnya 480-481 tentang penadahan dan lain lain.
12
11. Penggolongan delik berdasarkan kepentingan hukum yang
dilindungi. Misalnya delik aduan, delik harta kekayaan, delik terhadap
jiwa, delik terhadap tubuh, delik kesusilaan, dan delik kehormatan
a. Pengertian Pemerkosaan
a. Pengertian Pemerkosaan
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id/pemerkosaan)
16
Dadang Hawari, Psikopatologi Kejahatan Seksual Perkosaan, Fakta Berbicara, ( Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran,2011), hlm. 14.
13
Marital rape berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata: marital
yang berarti “segala hal yang berhubungan dengan perkawinan”, rape yang berarti
“pemerkosaan”. 17Dengan demikian dapat diartikan sebagai perkosaan yang terjadi
dalam perkawinan. Yang dimaksud dengan pemerkosaan disini adalah pemaksaan
aktivitas seksual oleh satu pihak terhadap pihak lain; suami terhadap istri atau
sebaliknya. Akan tetapi, pengertian yang lebih luas dipahami berbagai kalangan
perihal marital rape adalah istri yang beroleh tindak kekerasan seksual suami dalam
sebuah perkawinan atau rumah tangga. Dengan demikian, marital rape merupakan
tindak kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri untuk
melakukan aktivitas seksual tanpa mempertimbangkan kondisi istri.
17
John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris- Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993 hlm. 373 dan 465.
14
IV.C Kekerasan Dalam Rumah Tangga
18
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Dalam Perempuan (Declaration on the Elimination of
Violence Against Woman), Pasal 1
15
ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan
sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa;
c) Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan atau
dibenarkan oleh Negara, di manapun terjadinya.
IV.D Perkawinan
Secara etimologis, perkawinan adalah pencampuran, penyelarasan, atau
ikatan. Sesuatu yang dinikahkan dengan sesuatu yang lain maka keduanya saling
dikaitkan19. Nikah secara etimologis digunakan untuk mengungkapkan arti
persetubuhan, akad, dan pelukan20. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
19
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo, Intermedia, 2005,
hlm 1
20
Ibid., hlm 2
21
Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam, dan
Hukum Adat, Yudisia, Vol. 7, 2016, hlm 415
16
sendi dasar dari susunan masyarakat.” Kedua, hak dan kedudukan suami dan istri
diatur dalam Pasal 31 UU Perkawinan Tahun 1974 yang berbunyi “(1) Hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah
kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.” Ketiga, tempat kediaman suami dan
isteri diatur dalam Pasal 32 UU Perkawinan Tahun 1974 yang berbunyi “(1) Suami
isteri harus mempunyai kediaman yang tetap. (2) Rumah tempat kediaman yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.” Keempat,
pada pasal 33 UU Perkawinan Tahun 1974 menerangkan bahwa “Suami isteri wajib
saling cinta-mencintai hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin
yang satu kepada yang lain.” Kelima, kewajiban suami dan istri diatur dalam pasal
34 UU Perkawinan Tahun 1974 yang berbunyi “(1) Suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-
baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.”
V. Metode Penelitian
Untuk mengetahui dan membahas suatu permasalahan, maka diperlukan
adanya pendekatan dengan mempergunakan metode-metode tertentu bersifat
ilmiah. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
17
Dilihat dari sifatnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan
fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan
manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan,
hubungan, kesamaan, atau perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena
lainnya22.
22
Sukmadinata, Metode Penelitian Kualitatif, Graha Aksara, Bandung, 2006, hlm 72
23
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum: Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi, (Medan: PT. Sofmedia, 2015), hlm. 97.
18
Sumber data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini diambil dari data
primer dan data sekunder. Sumber hukum tersebut antara lain:
1. Sumber Hukum Primer
Sumber hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif,
autoratif artinya mempunyai otoritas24. Adapun bahan hukum primer dalam
penelitian ini yaitu KUH Pidana , Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
BAB I PENDAHULUAN
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2017, hlm
141
25
Ibid., hlm 142
26
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, hlm 30
19
Menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisa,daftar
pustaka.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini, penulis akan menguraikan kesimpulan dan saran dari hasil tinjauan
hukum tentang permasalahan hukum yang dibahas.
20
Buku
Andika Wijaya dan Wida Pace Ananta. 2016. Darurat Kejahatan Seksual,
Jakarta: Sinar Grafika.
21
Marpaung, Leden. 1996.Unsur Unsure Perbuatan Yang Dapat
Dihukum(Delik). Jakarta: Sinar Grafika.
Internet
http://www.kbbi.web.id
22
Jurnal
Made Ni S.A.A dan Bagus Ida. S.D.J PERKOSAAN DALAM
PERKAWINAN (MARITAL RAPE) DITINJAU DARI UNDANG-
UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
file:///Users/teukuakmaljuansyah/Downloads/54805-1045-131103-1-10-
20191125%20(1).pdf
23