Anda di halaman 1dari 791

SAKSI BISU

DUMB WITNESS
by Agatha Christie

Copyright © 1937 by Agatha Christie


Mallowan

All rights reserved

Alihbahasa: Indri K. Hidayat


GM40284-109

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Gambar sampul dikerjakan oleh Nana

Diterbitkan pertama kali oleh


Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Juni 1984

Untuk
PETER
anjingku
sahabat dan sumber inspirasiku

Agatha Christie dilahirkan di Torquay dan


didorong untuk menulis oleh Eden Phillpotts,
penulis naskah sandiwara dari Devonshire.
Dalam buku pertamanya, The Mysterious Affair
at Styles, dia menciptakan Hercule Poirot,
detektif Belgia yang kini sangat terkenal, sama
terkenalnya dengan Sherlock Holmes ciptaan
Conan Doyle. Buku pertamanya ini diterbitkan
pada tahun 1920 dan karya besarnya,
Pembunuhan Atas Roger Ackroyd, diterbitkan
pada tahun 1926. Agatha Christie menulis lebih
dari tujuh puluh lima novel detektif, beberapa
novel romantis - dengan memakai nama
samaran Mary Westmacott - banyak cerita
pendek dan sandiwara, termasuk The
Mousetrap, yang masih tetap dimainkan setelah
lebih dari dua puluh tahun. Banyak novelnya
yang telah difilmkan, di antaranya Sepuluh Anak
Negro, Pembunuhan di Sungai Nil, dan
Pembunuhan di Atas Orient Express.

Hercule Poirot akhirnya meninggal dalam Tirai,


novel yang, meskipun udah ditulis dua puluh
tahun sebelumnya, baru diterbitkan sebelum
Agatha Christie meninggal pada tahun 1976.
Agatha Christie menikah dengan Sir Max
Mallowan, arkeolog terkenal.
BAB I

PEMILIK PURI HIJAU

Nona Arundell meninggal pada tanggal satu


Mei. Sakitnya hanya sebentar. Walaupun begitu
kema-tiannya tidak terlalu mengejutkan Market
Basing, kota kecil yang ditinggalinya sejak ia
berusia enam belas tahun. Usia Nona Arundell
sudah di atas tujuh puluh, dan sejak lama orang
tahu bahwa kesehatannya kurang baik. Delapan
belas bulan sebelum kematiannya, ia sudah
hampir menghembuskan napas terakhir akibat
serangan penyakit yang sama.

Kematian puteri terakhir dari kelima anak


almarhum Jenderal Arundell itu memang tidak
mengejutkan siapa pun. Tetapi ada satu hal
yang mengejutkan. Surat wasiatnya! Membaca
isinya, berbagai reaksi bisa timbul di hati orang:
heran, gembira, marah, putus asa, dan tentu
saja gosip. Berminggu-minggu. bahkan
berbulan-bulan setelahnya masih itu juga yang
dipercakapkan orang di Market Basing. Setiap
orang punya opini tersendiri. Dari Tuan Jones
penjual sayur, sampai ke Nyonya Lamphrey
yang pegawai kantor pos. "Pasti ada apa-
apanya. Kau ingat saja kata-kataku ini." Begitu
dikatakan Nyonya Lamphrey kepada setiap
orang yang dijumpainya.

Yang menambah kecurigaan orang: surat itu


baru dibuat pada tanggal dua puluh satu April.
Di samping itu beberapa keluarga terdekat
Nona Arundell datang tepat sehari sebelum
Paskah. Fakta-fakta ini menjadi semacam bahan
pergunjingan yang menyenangkan bagi
masyarakat Market Basing yang sehari-harinya
hidup monoton.
Ada satu orang yang diduga kuat tahu lebih
banyak daripada yang mau diakuinya. Dia
adalah Nona Wilhelmina Lawson, wanita yang
bekerja sebagai pelayan pribadi Nona Arundell.
Namun, seperti yang lain-lain, Nona Lawson pun
menyatakan terkejut sekali ketika surat wasiat
itu dibacakan.

Banyak orang tak percaya akan pernyataan


Nona Lawson. Tapi hanya seorang yang
mengetahui kebenarannya, dan orang itu sudah
mati. Emily Arundell. Ia lebih suka menyimpan
'kebijaksanaan'nya dalam dirinya sendiri.
Bahkan kepada penasihat hukumnya sekali pun,
wanita itu tak pernah mengemukakan motif
yang melatarbelakangi tindakannya. Ia hanya
menjelaskan sejelas-jelasnya apa yang
diinginkannya.

Sikapnya yang 'pendiam' itu merupakan kunci


watak wanita yang dalam segala hal betul-betul
mewakili produk generasinya. Ia memiliki
kebaikan sekaligus keburukannya. Ia keras dan
sering menjengkelkan, namun hatinya penuh
kehangatan. Kata-katanya tajam, tetapi
tindakannya selalu mencerminkan kebaikan
hatinya. Dari luar ia nampak sentimental,
namun di dalam ia cerdik. Sering ia mengancam
teman-temannya, tapi tak jarang pula mereka
menikmati kemurahan hati wanita itu. Ia
mempunyai rasa tanggungjawab yang sangat
besar terhadap keluarga.

Hari Jumat sebelum Paskah, Emily Arundell


berdiri di ruang tamu Puri Hijau sambil memberi
bermacam-macam perintah kepada Nona
Lawson.

Kecantikan dan keanggunannya tidak hilang


dimakan usia. Ia masih tetap tegak dan tegap.
Geraknya gesit.
"Di mana saja kauatur tempat tidur mereka?"
tanyanya.

"Emm - mudah-mudahan yang saya lakukan


tidak salah - Dokter dan Nyonya Tanios di Ruang
Tidur Jati, Theresa di Ruang Tidur Biru, dan Tuan
Charles di bekas kamar tidur anak-anak dulu...."

"Tempatkan Theresa di kamar anak-anak dan


Charles di Ruang Tidur Biru," sela Nona
Arundell.

"Baik, Nona. Maafkan saya Saya pikir kamar


anak-anak kurang sesuai untuk ..."

"Kamar itu cukup bagus untuk Theresa."

Pada zamannya, wanita selalu menduduki


tempat kedua. Laki-laki dianggap anggota
masyarakat yang terpenting.
"Sayang anak-anak tidak ikut datang," kata
Nona lawson.

Walaupun kurang bisa menguasai anak-anak,


wanita itu sangat menyukai mereka.

"Empat tamu sudah cukup banyak," komentar


Nona Arundell. "Bella terlalu memanjakan anak-
anaknya," tambahnya. "Itu sebabnya mereka
kurang bisa menurut."

Minnie Lawson berkata,

"Nyonya Tanios - wanita itu ibu yang baik


sekali."

Nona Arundell mengiyakan, "Ia memang baik


sekali."
"Tentu berat hidup di daerah terpencil macam
Smyrna," ujar Minnie Lawson sambil menghela
napas.

"Itu kemauannya sendiri. Ia harus menanggung


sendiri risikonya," kata Nona Arundell
menimpali. "Sebaiknya aku ke kota sekarang -
membereskan pesanan kita untuk malam
Minggu nanti."

"Biar saya saja yang pergi," cegah Nona Lawson.


"Sebaiknya aku pergi sendiri. Rogers perlu
sedikit kata-kata keras, dan kau - kau agak
kurang tegas, Minnie. Bob! Mana anjing itu?"

Seekor anjing terrier berbulu keriting


melompat-lompat menuruni tangga,
menghampiri tuannya. Ia berputar-putar sambil
menyalak-nyalak gembira.
Keduanya ke luar melintasi pintu depan dan
jalan setapak yang teratur rapi di halaman
menuju ke pintu gerbang utama.

Masih di pintu, Nona Lawson berdiri


menyaksikan kepergian mereka sambil
tersenyum seperti orang pandir. Tiba-tiha
terdengar suara serak di belakangnya.

"Sarung bantalnya, Non - yang Non berikan tadi


bukan pasangannya."

"Oh? Apa iya? Bodohnya aku ini...."

Maka Nona Lawson pun kembali menekuni


tugas rutinnya dalam rumah tangga Puri Hijau.

Emily Arundell. didampingi Bob, nampak


sebagai pemandangan yang mewah berjalan
menelusuri jalan utama Market Basing.
Ia orang kaya yang sangat dihormati. Di setrap
toko yang dimasukinya, Emily Arundell selalu
disambut dengan tergopoh-gopoh oleh pemilik
toko sendiri. Semua orang tahu siapa wanita itu:
Pemilik Puri Hijau, Wanita hasil didikan masa
lalu yang kini jarang didapati.

"Selamat pagi, Nona. Bisa saya bantu? Kurang


halus? Oh, maaf. Baiklah kalau itu memang yang
Nona inginkan. Tidak. Tentu saja kami tak akan
mengirimkan barang yang kurang bagus ke Puri
Hijau. Ya, Nona - akan saya awasi sendiri
pengirimannya."

Di toko penjual sayur nampak beberapa orang


wanita. Satu di antaranya berpakaian mewah
walau tubuhnya sedikit kegemukan. "'Pagi,
Emily," sapa wanita itu.

"Oh. Pagi, Caroline."


Caroline Peabody bertanya.

"Menunggu tamu dari kota?"

"Ya. Mereka datang semua: Theresa, Charles,


dan Bella."

"Jadi, Bella juga pulang?" "Ya."

Sepatah kata. Tapi keduanya tahu betul apa


yang tersirat di dalamnya.

Bella Winter, kemenakan Emily Arundell,


menikah dengan orang Yunani. Tidak ada
seorang pun dari Keluarga Arundell yang
'ningrat' itu menikah dengan bangsa yang
dipandang rendah.
Untuk mengenakkan suasana yang menjadi
canggung, Caroline Peabody berkala, "Suami
Bella sangat cerdas dan menyenangkan."

"Betul," sambut Nona Arundell.

Ketika keduanya meninggalkan toko penjual


sayur, Nona Peabody bertanya,

"Kudengar Theresa bertunangan dengan anak


Donaldson?"

Nona Arundell mengangkat bahu.

"Anak muda zaman sekarang - pikiran mereka


terlalu pendek." ujarnya. "Kalau huhungan
mereka serius, kupikir mereka tidak bisa cepat-
cepat kawin. Pemuda itu tak puma uang."
"Tapi Theresa toh punya uang," komentar
Caroline Peabody.

Dengan kaku Nona Arundell menyahut,

"Mana ada laki-laki mau dihidupi isterinya?"

Nona Peabody tertawa.

"Buat anak muda zaman sekarang, kelihatannya


itu tidak jadi soal. Kau dan aku sudah kolot,
Emily. yang tak bisa kumengerti cuma satu: apa
yang dilihat Theresa pada diri laki-laki itu."

"Dia dokter yang pandai."

"Huh. Kaku, susah diajak bicara. Pada zaman


kita dulu laki-laki macam begitu jadi bahan
bulan-bulanan."
Percakapan berhenti sejenak sementara Nona
Peabody membayangkan pemuda-pemuda yang
tampan dan menawan pada zamannya ....
Sambil menarik napas panjang ia berkata,
"Suruh Charles main-main ke tempatku, kalau
dia

"Tentu. Akan kusampaikan pesanmu." Kedua


wanita itu berpisah.

Mereka sudah saling mengenal sejak lebih dari


lima puluh tahun yang lalu. Nona Peabody tahu
benar beberapa hal yang mengecewakan. dalam
kehidupan Jenderal Arundell, ayah Emily. Ia
tahu juga bahwa perkawinan Thomas Arundell
sangat mengejutkan saudara saudara
perempuannya. Itulah sebabnya sangat mudah
bagi Caroline Peabody menarik kesimpulan
tentang apa yang terjadi pada generasi muda
Arundell.
Meskipun demikian, Emily dan Caroline tak
pernah menyinggung-nyinggung masalah yang
peka ini dalam pembicaraan mereka. Keduanya
sangat menjunjung tinggi kehormatan keluarga,
berjiwa solider, dan sangat tertutup mengenai
persoalan keluarga.

Theresa misalnya. Kehidupan gadis itu tidak lagi


bisa dikuasai oleh Emily sejak ia berpenghasilan
sendiri pada usia dua puluh satu. Ia menjadi
gadis yang terkenal sejak itu. Potretnya sering
dimuat di majalah. Dan ia menjadi anggota
kehidupan bebas yang penuh pesta pora di
London. Pesta yang sering berakhir di Kantor
Polisi. Popularitas semacam itu bukan untuk
anggota Keluarga Arundell. Begitu pikir Emily. Ia
sangat menentang cara hidup Theresa.
Menanggapi pertunangannya, Emily merasa
ragu. Pertama, karena ia menganggap Dokter
Donaldson kurang memenuhi standar untuk
Keluarga Arundell. Kedua, ia sadar bahwa
Theresa tak mungkin bisa menjadi isteri yang
baik bagi dokter desa itu.

Pikiran wanita itu beralih pada Bella. Bella tak


ada kekurangannya. Dia wanita yang baik sekali
-seorang ibu dan isteri yang penuh kasih sayang.
Tindak-tanduknya patut dicontoh - tapi, agak
membosankan! Meskipun begitu Bella belum
bisa dianggap sempurna. Bella kawin dengan
orang asing - dan, bukan sekedar orang asing.
Orang Yunani. Bagi Emily Arundell orang Yunani
tidak lebih daripada orang Yahudi. Sikap dan
tingkah laku Dokter Tanios yang menyenangkan
serta kepandaiannya yang tersohor tidaklah
menambah nilai pria itu di mata Emily Arundell.
Ia curiga terhadap sikap dan pujian yang sering
kali dilontarkan olehnya. Dan untuk alasan ini
pulalah Emily sukar untuk menyukai kedua anak
mereka. Keduanya sangat mirip dengan
ayahnya - tak sedikit pun darah Inggris nampak
pada diri mereka.
Dan kemudian Charles ....

Ya, Charles ....

Tak ada gunanya membutakan diri terhadap


fakta. Charles sangat tampan dan
menyenangkan. Tapi ia tak bisa dipercaya ....

Emily Arundell mengeluh. Tiba-tiba saja ia


merasa lelah, tua, dan begitu sedih ....

Rasanya tidak lama lagi ia bisa bertahan....

Pikirannya melayang pada surat wasiat yang


dibuatnya bertahun-tahun yang lalu.

Sedikit untuk pembantu-pembantu yang setia,


dan sedikit untuk yayasan sosial - bagian
terbesar dari kekayaannya akan dibagi rata di
antara ketiga orang yang merupakan keluarga
terdekatnya yang masih hidup...

Tak ada salahnya membuat rencana seperti itu.


Hanya saja. terlintas dalam pikirannya - kalau-
kalau ada cara yang bisa mencegah Bella
mendapatkan warisan itu. Emily tak rela suami
Bella menyentuh uangnya ... ia akan
menanyakan hal ini kepada Tuan Purvis.

Emily Arundell membelok dan memasuki pintu


gerbang Puri Hijau.

Charles dan Theresa Arundell tiba dengan


menumpang mobil - sedang suami-isteri Tanios
dengan kereta api.

Charles dan adiknya datang lebih dahulu. Tinggi,


tampan dan dengan sikapnya yang sedikit
mengejek, Charles menyapa bibinya,
"Halo, Bibi Emily! Apa kabar? Kelihatannya Bibi
sehat-sehat saja."

Lalu diciumnya pipi wanita tua itu.

Theresa menempelkan pipinya yang penuh dan


segar pada pipi Emily yang telah tampak
keriput.

"Apa kabar, Bibi Emily?"

Kelihatannya Theresa kurang sehat, pikir Emily.


Di balik make-up-nya yang tebal, ia kelihatan
pucat. Dan di sekeliling matanya nampak
lingkaran gelap.

Mereka minum teh di Ruang Santai. Bella tak


henti-hentinya memandang saudara
sepupunya, Theresa, mencoba mengingat
seteliti mungkin model baju yang dikenakannya.
Bella sangat menyukai pakaian. Sayangnya, ia
tidak mempunyai selera yang bagus. Pakaian
Theresa mahal, dan modelnya sedikit berani.
Tapi tubuh Theresa memang bagus dan cocok
untuk pakaiannya.

Ketika datang ke London dari Smyrna, Bella


mencoba meniru keanggunan Theresa. Tetapi
kelihatannya murahan dan tidak cocok dengan
pribadinya.

Dokter Tanios bertubuh besar, berjanggut tebal,


dan pembawaannya selalu gembira, ia berbicara
dengan Nona Arundell. Suaranya hangat dan
sangat mempesona orang yang mendengarnya.
Bahkan. Nona Arundell pun terpesona.

Nona Lawson sangat sibuk. Ia mondar-mandir


membawa piring berisi kue-kue dan
menyiapkan minuman untuk tamu-tamunya.
Beberapa kali Charles berdiri membantunya.
Tapi sedikit pun Nona Lawson tidak
menunjukkan rasa terima kasih.

Setelah selesai minum teh, mereka berjalan-


jalan di taman. Charles berbisik kepada adiknya,

"Lawson tak menyukaiku. Aneh, bukan?"

Dengan mengejek Theresa berkata,

"Sangat aneh. jadi terbukti masih ada orang


yang tidak tunduk oleh pikatan pesonamu,
Charles."

Charles meringis. Katanya,

"Untungnya cuma Nona Lawson...."


Di taman, Nona Lawson berjalan dekat Nyonya
Tanios. Ia menanyakan keadaan anak-anak.
Wajah Bella Tanios menjadi hidup. Dan, ia lupa
mengamati Theresa. Dengan penuh semangat ia
berceritera tentang kedua anaknya.

Bella merasa Minnie Lawson mendengarkan


ceriteranya dengan penuh simpati.

Seorang laki-laki berwajah serius dan


berkacamata tempel dipersilakan menemui
mereka di halaman oleh seorang pelayan. Laki-
laki berambut pirang itu kelihatan malu-malu.
Nona Arundell menyapanya dengan sopan.

Theresa berseru,

"Halo, Rex!"
Ia menggelayut pada lengan laki-laki itu. Lalu
mereka berdua pergi.

Charles mencibir. Ia pun berlalu dan


menghampiri tukang kebun yang dulu pernah
menjadi sahabatnya.

Ketika Nona Arundell masuk kembali ke dalam


rumah, Charles sedang bermain-main dengan
Bob. Bob berdiri di puncak tangga. Di mulutnya
tergigit bola mainannya. Ekornya bergerak-
gerak.

"Ayo, Bob!" seru Charles.

Bob perlahan-lahan melipat kaki belakangnya


dengan bola masih di moncongnya. Kemudian
dengan hati-hati anjing itu mendorong bolanya
semakin ke pinggir mulutnya. Ketika bolanya
terlepas dan menggelinding ke bawah, ia berdiri
sambil menyalak-nyalak gembira. Charles
memungut bola itu dan melemparkannya
kembali kepada Bob. Bob menangkap dengan
mulutnya. Dan permainan pun diulang berkali-
kali.

"Ini mainannya sehari-hari," ujar Charles.

Emily Arundell tersenyum.

"Kalau diteruskan, dia kuat bermain berjam-


jam," katanya.

Nona Arundell masuk ke Ruang Santai, dan


Charles mengikutinya. Bob menyalak-nyalak
menarik perhatian. Ketika dilihatnya Charles
terus mengikuti tuannya, anjing itu tampak
kecewa.

Sambil memandang ke luar jendela, Charles


berkata,
"Lihatlah Theresa dan pemuda idamannya itu.
Pasangan yang aneh!" "Kaupikir Theresa
serius?"

"Oh. Theresa sangat tergila-gila padanya!" ujar


Charles. "Aneh. Tapi begitu adanya. Mungkin
karena caranya memandang Theresa. Ia
memandang Theresa bukan sebagai wanita
hidup melainkan sebagai preparat yang hendak
diselidiki. Theresa suka diperlakukan begitu.
Kasihan. Laki-laki itu miskin. Selera Theresa
mahal."

Acuh tak acuh, Nona Arundell berkata,

"Theresa bisa mengubah cara hidupnya - kalau


dia mau. Dan lagi dia punya penghasilan."

"Apa? Oh, ya. Tentu saja."


Pandangan Charles memancarkan rasa bersalah.

Ketika mereka sedang duduk-duduk di Ruang


Santai sambil menanti siapnya santapan malam,
tiba-tiba terdengar bunyi berdembam dari arah
tangga- Charles masuk dengan wajah merah.

"Maaf, Bibi Emily. Terlalu lama menungguku?


Hampir saja aku jatuh dari loteng. Anjing itu -
dia meninggalkan bolanya di atas."

"Kau sembrono, Bob," seru Nona Lawson sambil


membungkuk dekat Bob-Bob memandangnya
dengan penuh kebencian, dan kemudian
memalingkan muka.

"Itu sangat berbahaya," ujar Nona Arundell.


"Minnie, ambil bolanya dan simpan."
Tergopoh-gopoh Nona Lawson keluar.

Di meja makan, Dokter Tanios memonopoli


percakapan. Ia menceriterakan kehidupannya
yang menyenangkan di Smyrna.

Mereka masuk ke kamar masing-masing tak


lama setelah selesai makan malam. Sambil
membawa gulungan benang wol, kacamata, tas
beludru, dan sebuah buku, Nona Lawson
mengantarkan majikannya ke ruang tidurnya.
Dengan wajah berseri-seri ia berceloteh.

"Sangat menyenangkan laki-laki itu - Dokter


Tanios. Bella tentu senang ditemani laki-laki
seperti dia setiap saat. Meskipun, oh, aku tak
berani membayangkan hidupdi daerah terpencil
seperti itu. Air harus dimasak dulu. Susu cuma
ada susu kambing.... Hi, bagaimana rasanya?"

Nona Arundell menyela,


"Sudah kaukatakan pada Ellen supaya
membangunkanku jam setengah tujuh?"

"Ya, Nona Arundell. Sudah saya katakan juga dia


tak perlu menyiapkan teh, tapi - tidakkah lebih
baik .... Maksud saya, Pendeta di Southbridge
yang terkenal paling bijaksana itu mengatakan
bahwa sebetulnya tidak wajib kita puasa
sebelum...."

Sekali lagi Nona Arundell menyela,

"Aku belum pernah makan atau minum apa pun


sebelum Misa pagi, danaku tidak akan
membiasakan begitu. Kalau kau lebih suka
makan atau minum dulu, silakan."
Bukan begitu maksud saya ...." Nona Lawson
merasa tersinggung dan malu "Lepaskan ikat
leher Bob," perintah Nona Arundell.

Buru-buru Nona Lawson melaksanakan perintah


majikannya.

Berusaha menyenangkan hati majikannya, ia


berkata,

"Malam ini sangat memenangkan. Mereka


semuanya kelihatannya senang di sini."

"Hmm," komentar Nona Arundell, "mereka ke


sini untuk mendapatkan yang mereka ingini."

"Oh, Nona Arundell ..."


"Minnie, aku sama sekali bukan orang bodoh!
Aku cuma ingin tahu, siapa di antara mereka
yang berani mengatakan lebih dulu."

Rasa ingin tahu Nona Arundell tidak berusia


panjang. Keesokan paginya, ketika ia pulang dari
Misa pagi bersama Nona Lawson kurang lebih
pukul sembilan. Dokter dan Nyonya Tanios
sedang duduk-duduk di Ruang Makan Kakak
beradik Arundell tidak kelihatan. Setelah
sarapan, sementara yang lain meninggalkannya,
Nona Arundell duduk menuliskan sesuatu di
buku notesnya.

Charles masuk kurang lebih pukul sepuluh.

"Maaf kesiangan. Bibi Emily. Tapi Theresa lebih-


lebih lagi. Dia belum bangun."

"Selengah sebelas sarapan akan dibersihkan


dari meja. Zaman sekarang memang jadi mode:
tidak peduli dengan jadwal kerja pembantu.
Tapi, tidak begitu di rumahku." "Bagus!" ujar
Charles.

Ia mengambil sepotong daging, dan duduk di


dekat bibinya. Seperti biasa, tawa dan
senyumnya sangat mempesona. Emily Arundell
pun tersenyum sayang kepadanya. Merasa
mendapat angin, Charles berkata,

"'Bibi Emily - maaf kalau aku merepotkan. Tapi


aku sedang perlu sekali uang. Aku harus
melunasi utang. Bisa Bibi menolongku? Seratus
saja."

Wajah bibinya menjadi kaku, dan


pandangannya menunjukkan rasa tidak senang.

Emily Arundell bukan orang yang takut


mengemukakan pikirannya. Dan ia pun
mengatakan dengan terus terang apa yang ada
dalam otaknya.

Di Ruang Tamu, hampir saja Nona Lawson


bertubrukan dengan Charles yang keluar dari
Ruang Makan. Diliriknya pemuda itu dengan
penuh tanda tanya. Ketika ia masuk ke Ruang
Makan, didapatinya Nona Arundell duduk tegak
dengan wajah merah padam.

BAB 2

KELUARGA
Charles berlari ke loteng dan mengetuk pintu
kamar tidur adiknya. Jawaban, "Masuk",
terdengar seketika. Dan Charles pun masuk.

Theresa duduk di atas tempat tidurnya sambil


menguap.

Charles mendekatinya, dan duduk di sisi tempat


tidur.

"Kau cantik sekali, Theresa," ujarnya sambil


memandangi adiknya dengan kagum. Dengan
tajam Theresa berkata,

Charles meringis.

"Hmm, judesnya. Aku mendahuluimu, Sayang."


"Lalu?""
Charles merentangkan tangannya ke bawah
sambil mengangkat bahu.

"Tak ada gunanya! Bibi Emily menempatkanku


di tempatku. Dia menyatakan bahwa dia tidak
punya bayangan tentang mengapa keluarga
terdekatnya berkumpul di dekatnya. Dan dia
juga menyebutkan, bahwa keluarga terdekat
yang katanya menyayanginya itu akan kecewa."

"Mestinya kau menunggu dulu," ujar Theresa


tak acuh.

Charles tersenyum.

"Aku takut kau atau Tanios mcndahuluiku. Dan


aku sungguh kuatir, Theresa, kita gagal kali ini.
Bibi Emily bukan orang bodoh."

"Tak ada yang pernah mengatakan dia bodoh."


"Aku malah mencoba memberinya angin."

"Maksudmu?"

"Kukatakan dia pandai sekali. Tapi,


bagaimanapun dia tak akan bisa membawa
kekayaannya ke kubur. Mengapa dia tak mau
melepaskannya sedikit?"

"Kau bodoh, Charles!"

"Sama sekali tidak! Aku cuma sedikit


mempraktekkan teori psikologi Tak baik selalu
membenarkan kata perempuan tua itu. Dan aku
cuma menyatakan apa yang masuk di akal.
Kalau dia mati, kita toh akan mendapat uangnya
-- tak ada salahnya kan kalau dia mulai berpisah
dengan hartanya sedikit demi sedikit?... Supaya
kita tidak tergoda mempercepat prosesnya."
"Dia tahu maksudmu?" tanya Theresa marah.

"Itu, aku kurang yakin. Dia tidak mengatakan


apa-apa. Cuma bilang terima kasih - dengan
agak tajam- atas nasihatku, dan bahwa dia bisa
menjaga diri. 'Pokoknya aku sudah
mengingatkan,' kataku. Dan dia menjawab. Aku
tak akan melupakannya.' "

Dengan sangat marah Theresa berkata,

"Kau betul-betul bodoh, Charles."

"Aku tak peduli, Theresa. Aku dalam kesusahan.


Dan perempuan tua itu hidup dengan enaknya -
enak sekali, tanpa banyak pengeluaran. Paling-
paling ia menggunakan tak lebih dari
sepersepuluh pendapatannya. Buat apa sih? Dia
tak perlu apa-apa! Sedang kita - muda, saatnya
menikmati hidup! Tapi... Oh, sekedar untuk
memukul kita, aku yakin perempuan itu bisa
bertahan hidup sampai seratus tahun. Aku ingin
bersenang-senang sekarang.... Kau pun
begitu...."

Theresa mengangguk.

Perlahan-lahan dan sedikit tersendat-sendat,


Theresa berkata,

"Mereka tidak mengerti. Orang-orang tua itu...


mereka tidak dapat mengerti.... Mereka tak
tahu apa artinya hidup ini!"

Beberapa menit kakak beradik itu terdiam.

Charles bangkit.
"Selamat berjuang. Mudah-mudahan kau
berhasil. Tapi aku tak yakin."

"Aku agak menggantungkan diri pada Rex -


sebagai taktik. Kalau saja aku bisa meyakinkan
Emily tentang kepandaiannya - dan tentang
kesempatan yang bisa didapatnya bila ia tak
perlu bergumul dengan pasien di kampung
untuk mencari nafkah.... Oh, Charles, dengan
modal beberapa ribu saja, dunia kita akan lain
sekali!"

"Kudoakan kau berhasil. Tapi aku ragu. Kau


selama ini agak terlalu boros. Theresa,
bagaimana menurut pikiranmu? Mungkinkah
Bella atau Tanios mendapatkan sesuatu?"

"Aku tak bisa melihat manfaat uang bual Bella.


Seleranya terlalu murah."
"Mungkin bukan untuk dirinya sendiri. Tapi
Bella pasti butuh uang untuk anak-anaknya.
Uang sekolah, les musik, makanan bergizi....
Yah... bukan Bella, kupikir. Tapi Tanios. Dia suka
sekali uang. Kau tahu kan, uang Bella dipakainya
berspekulasi, dan akhirnya hilang begitu saja."

"Kaupikir Bibi Emily akan memberinya


warisan?"

"Tidak. Akan kuusahakan ia tak mendapat apa-


apa," ujar Charles geram.

Charles turun ke ruang bawah. Bob ada di ruang


tamu. Anjing itu dengan gembira menyambut
kedatangan Charles.

Bob berlari-lari kecil menuju Ruang Santai.


Sesampai di pintu, ia menengok ke belakang -
menarik perhatian Charles.
"Ada apa?" tanya Charles sambil mengikutinya.

Bob melompat ke dalam dan duduk menanti di


dekat sebuah lemari kecil.

Charles mendekatinya.

"Apa maksudmu?"

Bob menggoyang-goyangkan ekornya dan


memandang tajam ke arah laci lemari itu sambil
mengeluarkan suara aneh seolah
mengharapkan sesuatu.

"Ingin sesuatu di dalam situ?"


Charles menarik laci yang paling alas. "Oh, oh...
aku tahu sekarang," ujarnya sambil alisnya
terangkat.

Di sudut laci didapatinya setumpuk uang.

Charles mengambil tumpukan itu dan


menghitungnya. Dengan tersenyum lebar
diambilnya tiga Lembar uang pound, dua
lembar uang puluhan shilling dan
dimasukkannya ke dalam sakunya. Sisanya
dikembalikannya ke sudut laci.

"Idemu bagus, Bob," katanya. "Pamanmu


Charles akhirnya dapat jalan keluar. Setidaknya
ada uang tunai tersedia di tangan."

Bob menyalak galak waktu Charles menutup


kembali laci.
"Maaf, Bob," ujarnya sambil menarik laci yang
kedua. Di sudut laci itu, terlihat bola mainan
Bob.

Charles mengambilnya. "Nih, bermainlah sepuas


hatimu."

Bob menangkap bola yang dilemparkan Charles


kepadanya. Sementara Bob bermain dengan
riangnya, Charles keluar menuju halaman.
Udara segar, dan matahari bersinar cerah.
Wangi bunga lili semerbak menusuk hidungnya.

Dokter Tanios duduk di samping Nona Arundell.


Ia sedang membicarakan bagusnya pendidikan
Inggris untuk anak-anak, dan menyatakan
penyesalannya bahwa ia tak sanggup
membiayai pendidikan seperti itu untuk anak-
anaknya.
Charles tersenyum sinis. Ia menggabungkan diri
dalam percakapan mereka, dan sedikit demi
sedikit mengalihkan topik pembicaraan.

Emily Arundell tersenyum lembut kepadanya.


Dalam hati Charles merasa bibinya senang ia
mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang lain.

Semangat Charles tumbuh kembali. Mungkin,


akhirnya, sebelum pulang ia...

Charles orangnya terlalu optimis.

Dokter Donaldson menjemput Theresa dengan


mobilnya siang itu. Mereka pergi ke Worthem
Abbey, salah satu gereja yang terindah. Dari situ
mereka berjalan-jalan ke hutan kecil yang tak
jauh letaknya dari gereja itu.
Di sana Rcx menceriterakan kepada Theresa
tentang teori-teorinya dan juga tentang
beberapa percobaannya. Theresa kurang
mengerti, tetapi ia mendengarkan dengan
penuh perhatian. Dalam hati ia berkata,

"Bukan main pandainya Rex — dan ia begitu


mempesona."

Tunangannya berhenti bicara, dan dengan ragu-


ragu ia berkata,

"Ceriteraku membosankan, Theresa?"

"Oh, sama sekali tidak. Ccriteramu sangat


menarik. Sayang," ujar Theresa tegas.
"Lanjutkan. Kau mengambil darah kelinci yang
sakit itu, lalu..."

Dokter Donaldson melanjutkan ceriteranya.


Aneh rasanya bagi Theresa. Hampir tak ada di
antara kawan-kawannya yang bekerja seserius
Rex. Kalau toh ada yang bekerja, mereka selalu
berkeluh kesah.

Seperti telah sekali atau dua kali terlintas dalam


pikirannya, gadis itu merasa aneh bahwa dirinya
bisa jatuh cinta pada Rex Donaldson. Mengapa
hal yang sama sekali tak masuk akal dan gila ini
bisa terjadi? Terjadi pada dirinya?

Dahinya berkerut. Pikirannya melayang kepada


kawan-kawannya. Mereka hidup bebas ceria,
dan sangat sinis. Cinta, bagi mereka, perlu
untuk hidup. Tapi buat apa terlalu serius
memikirkannya? Mereka jatuh cinta dan tak
lama kemudian berpisah. Jatuh cinta lagi - dan
berpisah lagi.
Tapi perasaannya terhadap Rex Donaldson ini
lain; lebih dalam daripada yang pernah
dirasakannya sebelumnya. Ia merasa, kali ini tak
mungkin ia berpisah untuk jatuh cinta lagi
dengan yang lain. Ia sangat membutuhkan Rex.
Segalanya pada diri Rex membuatnya
terpesona. Ketenangan dan kesendi-riannya -
sungguh berbeda dengan kawan-kawannya
yang ribut dan tak pernah berpikir, pikirannya
yangjernih dan penuh ilmu, serta sesuatu yang
lain - yang tak pernah dapat dimengerti olehnya
secara sempurna namun bisa dirasakan melalui
instingnya - kekuatan tersembunyi yang ada
dalam diri laki-laki bersikap sederhana dan
patuh ini.

Ia tahu bahwa Rex sangat jenius, dan bahwa


baginya profesi merupakan yang paling utama.
Ia sadar bahwa bagi Rex ia hanya merupakan
sebagian kecil saja dari kehidupan yang
diperlukannya. Kesadaran ini menambah daya
tarik Rex baginya. Kali ini Theresa menyadari
dengan sepenuh hati dan pikirannya, bahwa ia
untuk pertama kalinya mau menerima tempat
kedua. Ini sangat menarik hatinya. Untuk Rcx, ia
mau melakukan apa saja - apa saja!

"Betapa besarnya arti uang," ujar Theresa


menerawangjauh ke depan. "Kalau saja Bibi
Emily meninggal, kita bisa segera kawin dan kau
bisa pergi ke London. Di sana kau bisa punya
laboratorium sendiri lengkap dengan kelinci-
kelinci percobaannya dan kau tak perlu lagi
bekerja keras mengobati anak-anak yang sakit
campak dan wanita-wanita tua berpenyakit
lever."

Donaldson berkata,

"Bibimu bisa hidup sampai bertahun-tahun lagi.


kalau dia berhati-hati." "Aku tahu..."
Di Ruang Tidur berukuran besar dengan
perabotannya yang kuno. Dokter Tanios berkata
kepada isterinya,

"Aku sudah mempersiapkan jalannya. Sekarang


giliranmu, Sayang."

Dokter Tanios menuangkan air dari dalam


sebuah galon ke sebuah baskom cina
berhiaskan gambar mawar.

Bella Tanios duduk di depan kaca rias. Ia


mencoba menyisir rambutnya seperti Theresa,
tapi hasilnya tidak sebagus yang diinginkannya.

Ia tidak segera menjawab.

"Aku tak mau - minta uang pada Bibi Emily,"


katanya.
"Uang itu bukan untuk dirimu sendiri, Bella;
untuk anak-anak. Kita sudah mencoba untuk
menginvestasikan apa yang kita miliki, tetapi
gagal."

Bella melirik suaminya. Tapi laki-laki itu tak tahu


karena ia membelakangi isterinya.

"Apa pun alasannya, lebih baik tidak.... Bibi


Emily orangnya susah dimengerti. Dia murah
hati, kadang-kadang, tapi ia tak suka kalau kita
meminta." balas Bella sedikit keras kepala.

Tanios mendekati isterinya sambil


mengeringkan tangannya dengan handuk.

"Kau biasanya tidak keras begini, Bella. Ingat,


buat apa kita jauh-jauh datang ke sini?"
Bella bergumam,

"Aku tak pernah berpikir... maksudku,... bukan


untuk minta uang..."

"Tetapi kau setuju bahwa satu-satunya harapan


kita untuk bisa menyekolahkan anak-anak
dengan pantas - cuma dengan bantuan bibimu."

Bella Tanios tidak menjawab. Ia bangkit dan


berjalan tanpa tujuan.

Wajahnya tetap lembut. Suami yang pandai


sering menggunakan kelemah-lembutan
isterinya sebagai senjata.

Akhirnya Bella berkata,


"Siapa tahu Bibi Emily sendiri akan
mengusulkan..."

"Mungkin saja, tapi aku belum melihat tanda-


tandanya sejauh ini."

"Coba anak-anak kita bawa. Bibi Emily pasti


sangat menyayangi Mary. Dan Edward begitu
cerdas..."

Tanios menimpali,

"Kupikir bibimu kurang suka pada anak-anak.


Tak ada gunanya membawa mereka." "Oh,
Jacob...."

"Ya, ya, Sayang. Aku tahu perasaanmu. Tapi


perawan tua Inggris yang satu ini ... Bah! Dia
bukan manusia. Dan, kita ingin berbuat yang
sebaik-baiknya untuk anak-anak kita, bukan?
Memberikan bantuan sedikit buat kita tak akan
memberatkan Nona Arundell."

Nyonya Tanios berpaling kepada suaminya.


Wajahnya merah padam.

"Oh, Jacob, jangan sekarang. Memang itu


kurang bijaksana. Tapi aku.... Oh, lebih baik
tidak."

Tanios berdiri dekat di belakang isterinya,


lengannya merangkul bahunya. Bella merinding,
namun ia diam - betul-betul diam.

Tanios, dengan suara lembut, berkata,

"Bagaimanapun juga, Bella, kupikir - kupikir kau


mau melakukan apa yang kuminta.... Biasanya
kau mau, meskipun mula-mula menolak.... Ya,
kupikir kau mau melakukan apa yang
kukatakan...."

BAB 3

KECELAKAAN

Selasa sore. Pintu samping yang menuju ke


halaman terbuka. Nona Arundell berdiri di
ambang pintu dan melemparkan bola kepada
Bob yang kemudian berlari-lari mengejarnya.

"Sekali lagi, Bob," ujar Emily Arundell. "Yang


bagus kali ini."
Sekali lagi bolanya menggelinding, dan Bob
berlari mengejarnya dengan sekuat tenaga.

Nona Arundell membungkuk, memungut bola


dari tempat Bob meletakkan dekat kakinya, dan
kemudian masuk. Bob mengikutinya dari
belakang Emily Arundell menutupkan pintu
samping, dan masuk ke Ruang Santai. Dengan
Bob masih mengikutinya, Emily Arundell
menarik laci dan menyimpan bola Bob di
tempatnya.

Ia memandang jam dinding di atas perapian.


Pukul setengah tujuh.

"Istirahat sebentar sebelum makan malam,


Bob."
Emily Arundell menaiki tangga menuju kamar
tidurnya. Bob menemaninya Berbaring di dipan
dengan Bob mendengus-dengus di kakinya,
Emily Arundell mengeluh. Lega rasanya sudah
hari Selasa. Besok tamu-tamunya akan pulang.
Malam Minggu kemarin tidak menambah
pengetahuannya, cuma saja lebih meyakinkan
apa yang telah lama diketahuinya. Ia semakin
yakin bahwa ia harus mempercayai pikirannya
sendiri.

Kepada dirinya sendiri ia berkata,

"Aku semakin tua, kupikir..." Dan kemudian


dengan agak terkejut, "Aku memang sudah
tua...."

Ia berbaring dengan mata terpejam kurang


lebih setengah jam lamanya. Kemudian Ellen
datang membawakan air panas untuk mandi.
Emily Arundell bangkit dan mulai menyiapkan
diri untuk makan malam.

Dokter Donaldson diundang makan malam.


Emily Arundell ingin menggunakan kesempatan
itu untuk mengenal dari dekat pemuda idaman
Theresa. Ia masih belum bisa menerima
kenyataan bahwa Theresa yang begitu
cemerlang ingin menikah dengan laki-laki yang
kaku dan serius ini. (a juga tak bisa menerima
bahwa laki-laki yang kaku dan serius itu ingin
menikah dengan perempuan macam Theresa.

Meskipun demikian, tak banyak hasil yang diraih


Emily. Malam semakin larut, tetapi tak sedikit
pun pengetahuannya tentang Rex Donaldson
bertambah. Pemuda itu sangat sopan dan
sikapnya resmi. Pada pikirannya, pemuda itu
sedikit membosankan. Diam-diam ia setuju
dengan pendapat Nona Peabody. "Memang,
jauh lebih menarik pemuda-pemuda zaman
kami dulu."
Dokter Donaldson tak tinggal sampai larut
malam. Pukul sepuluh ia sudah mohon diri.
Setelah pemuda itu pulang, Emily pun pamit -
ingin tidur agak sore. Ia pergi ke atas, begitu
juga tamu-tamunya. Mereka sedikit diam
malam ini. Nona Lawson tinggal di bawah
menyelesaikan tugasnya: melepaskan Bob
supaya berlari-lari sebentar sebelum tidur,
mematikan api di perapian, memeriksa pintu-
pintu dan jendela, menggulung karpet supaya
jauh dari api.

Kurang lebih lima menit kemudian, ia datang


dengan terengah-engah ke kamar tidur
majikannya.

"Semuanya saya bawa," ujarnya sambil


meletakkan gulungan benang wol dan sebuah
buku perpustakaan. "Mudah-mudahan bukunya
bagus. Gadis penjaga perpustakaan itu bilang
mereka tak punya buku yang tertulis di daftar
Anda. Katanya, dia yakin Anda akan menyukai
buku ini."

"Gadis itu tak punya selera," komentar Nona


Arundell.

"Oh, maaf. Seharusnya saya...."

"Jangan pikirkan hal itu, Minnie," hibur Emily


Arundell, "Itu bukan kesalahanmu. Bagaimana
siang tadi? Menyenangkan?"

Wajah Nona Lawson berseri-seri. ia kelihatan


bersemangat dan muda kembali.

"Sangat menyenangkan. Terima kasih banyak.


Anda sangat baik hati - memikirkan perasaan
saya. Kami memanggil roh orang yang sudah
meninggal, dan meminta pesan-pesan mereka.
Cukup banyak pesan yang tertulis di papan
kami.... Oh, untunglah kegiatan semacam itu
masih diijinkan..."

Sambil tersenyum Nona Arundell


mengomentari,

"Hati-hati saja. Kalau Bapak Pendeta mendengar


itu..."

"Tapi, Nona Arundell, kupikir tak ada salahnya


melakukan permainan itu. Seharusnya Tuan
Lond-sale meneliti dulu. Picik orang yang
menyalahkan sesuatu tanpa meneliti lebih dulu
masalahnya. Julia dan Isabel Tripp bukan wanita
sembarangan. Mereka pengikut sejati aliran
spiritual."

"Terlalu sejati untuk orang yang masih hidup,"


ujar Nona Arundell.
Nona Arundell tak peduli dengan Julia dan
Isabel Tripp. Pakaian mereka menggelikan.
Begitu juga makanan dan sikap mereka. Mereka
bukan wanita hasil kebudayaan tertentu, tak
punya akar yang baik - dan, tak punya
pendidikan! Tapi ia tak mau mencela sahabat
baik Minnie.

Minnie nampak sangat gembira malam ini.


Matanya bersinar-sinar. Ia berjalan kian kemari
dalam kamar tidur majikannya. Sebentar
menyentuh ini, dan sebentar lagi mengelus itu.
Ia tak tahu apa yang dilakukannya. Ia cuma ingin
menunjukkan perasaannya, lewat kedua
matanya yang cerah dan bersinar-sinar.

Dengan takut-takut dan sedikit tersendat


wanita itu berkata,

"'Kalau saja Anda di sana tadi, Nona Arundell....


Aku tahu Anda bukan orang yang mudah
mempercayai hal-hal semacam itu. Tapi malam
ini ada sebuah pesan untuk seorang berinisial
E.A.. Aku yakin sekali melihat inisial itu tertulis.
Pesannya datang dari orang yang meninggal
bertahun-tahun yang lalu - seorang laki-laki,
tentara, yang sangat tampan. Isabel jelas sekali
melihat wajahnya. Pasti itu Tuan Jenderal
Arundell. Pesannya sangat indah, disampaikan
dengan penuh kasih sayang dan di dalamnya
tersirat bahwa dengan kesabaran semuanya
dapat dicapai."

"Papa orangnya tidak sentimental." ujar Nona


Arundell.

"Tapi, orang berubah - di dunia sana, Nona


Arundell. Semuanya berubah. Di sana mereka
cuma mengenal kasih sayang dan pengertian.
Pesan yang tertulis di papan kami menyatakan
sesuatu mengenai sebuah kunci - kupikir,
maksudnya kunci lemari Boule Mungkinkah
pesan itu benar?"
"Kunci lemari Boule?" tanya Nona Arundell
tajam. Suaranya menunjukkan perasaan tertarik
pada ceritera Nona Lawson.

"Saya pikir begitu. Saya pikir mungkin ada


hubungannya dengan surat surat penting - atau
semacamnya. Pernah terjadi, ada pesan yang
menuliskan tentang perabot tertentu. Dan
akhirnya ternyata ditemukan surat wasiat dalam
perabot itu."

"Tidak ada surat wasiat dalam lemari Boule,"


ujar Nona Arundell dengan sedikit kasar.
"Pergilah tidur, Minnie. Kau lelah. Begitu juga
aku. Kapan-kapan kita undang Julia dan Isabel
Tripp ke sini."

"Oh, tentu akan sangat menyenangkan, Nona


Arundell. Selamat tidur. Tak ada lagi yang Anda
perlukan? Mudah-mudahan Anda tidak terlalu
merasa lelah dengan begitu banyak orang di
sini. Besok saya suruh Ellen membersihkan
Ruang Santai sampai bersih. Rokok mereka
meninggalkan bau tak sehat. Anda sungguh baik
hati membiarkan mereka merokok di situ."

" Kita tidak boleh terlalu menentang yang


modern, Minnie," kata Nona Arundell. "Selamat
tidur."

Waktu wanita itu meninggalkan Tuang tidurnya,


Emily Arundell menjadi tak yakin bahwa aliran
spiritual berpengaruh baik bagi Minnie.
Matanya kadang-kadang menerawang terlalu
jauh, dan ia nampaknya menjadi lelah dan
terlalu terpengaruh perasaannya.

Aneh yang dikatakannya mengenai lemari


Boule, pikir Nona Arundell sambil
membaringkan dirinya di tempat tidur. Ia
tersenyum tak senang mengingat peristiwa yang
terjadi bertahun-tahun yang lalu. Lemari Boule
itu pernah dibuka setelah Papa meninggal. Dan
yang keluar botol-botol brandy kosong. Hal itu
tak mungkin diketahui oleh Minnie Lawson,
apalagi Julia dan Isabel Tripp. Bahwa lemari
Boule disebut-sebut mereka, itu membuat
orang jadi ragu-ragu untuk seratus persen tidak
mempercayai kebenaran aliran mereka....

Di tempat tidurnya yang berukuran besar itu


Nona Arundell tak bisa memejamkan mata.
Akhir-akhir ini ia sering sulit tidur. Tapi ia tak
mau meminum obat tidur yang diberikan
Dokter Grainger. Obat tidur bukan untuknya.
Obat tidur dipakai oleh orang-orang yang
lemah, yang tak kuasa menahan sakit.

Sering Nona Arundell bangun dan berjalan kian


kemari dalam rumahnya, mengambil sebuah
buku, memeriksa hiasan dinding, mengatur
kembali bunga yang sudah teratur dalam vas,
menulis surat... sambil menunggu kantuknya
tiba. Bahkan dalam kesepian malam, ia
merasakan ada sesuatu yang hidup dalam
rumahnya. Dan ia menyukai perasaan itu.
Seolah-olah roh mereka ada di sekitarnya. Roh
kakak dan adik perempuannya: Arbella, Matilda,
dan Agues; roh Thomas, adik laki-lakinya yang
sangat dekat dengannya sampai ia direbut oleh
wanita itu! Bahkan juga roh Jenderal John
Laverton Arundell, seorang tiran yang
menawan, yang sering memerintah anak-
anaknya dengan kekerasan, tapi yang selalu
menjadi kebanggaan mereka.

Pikirannya melayang kepada tunangan


kemenakannya. "Laki-laki itu tak akan berani
minum! Katanya dia laki-laki. Tapi cuma air
bening yang diminumnya malam tadi! Air
bening! Sedang aku saja berani minum anggur
khusus kesukaan Papa."
Lain dengan Charles. Dia laki-laki sejati. Oh,
kalau saja Charles bisa dipercaya. Kalau saja
orang tak tahu bahwa dengannya...

Pikirannya terpecah belah., kini Emily Arundell


mengingat kembali semua kejadian sejak malam
Minggu yang lalu....

Rasanya semuanya meresahkan....

Ia mencoba membuang jauh-jauh perasaan


kuatirnya. Tapi tak bisa.

Ia bangkit, dan dengan bantuan cahaya lampu


tidurnya yang temaram dilihatnya jam dinding.

Pukul satu. Tapi sedikit pun ia tak merasa


mengantuk.
Dikenakannya sandal dan kimono. Ia ingin
turun, sekedar memeriksa buku-buku yang akan
dibayarnya besok pagi.

Seperti bayang-bayang, wanita itu keluar


menyelinap dari dalam kamar tidurnya.
Ditelusurinya jalan menuju anak tangga yang
diterangi oleh sebuah lampu kecil. Lampu itu
selalu dibiarkan menyala sepanjang malam.

Sampai di ujung koridor, ia mengulurkan


tangannya - hendak berpegang pada ril yang
terdapat di sisi tangga. Tapi, tanpa diduga-duga,
tiba-tiba saja ia terjungkal. Gagal menjaga
keseimbangan badannya, wanita tua itu
terguling dan jatuh menggelinding ke bawah.

Hempasan tubuhnya di lantai, teriakannya yang


melengking, memecah keheningan malam
mengusik kelelapan tidur seisi rumah. Pintu-
pintu dibuka, dan lampu dinyalakan.
Nona Lawson melongok ke luar kamarnya yang
terletak paling dekat tangga.

Berteriak histeris, wanita itu tergopoh-gopoh


turun. Yang lain berdatangan satu per satu.
Charles menguap dan masih mengenakan jas
kamar. Theresa, tubuhnya cuma diliput sehelai
kain sutera warna gelap. Bella, dengan kimono
biru laut dan rambut penuh gulungan.

Dengan pikiran tak menentu, Emily Arundell


terbaring di lantai. Bahu, pergelangan kaki, dan
seluruh tubuhnya terasa sakit. Ia sadar dirinya
dikelihngi orang. Sadar juga bahwa Minnie
Lawson meraung-raung sambil merabai
tubuhnya tak karuan, bahwa Bella berdiri
melongo, dan bahwa Charles - dari tempat yang
jauh sekali - bicara,
"Bola Bob penyebabnya! Lagi-lagi anjing bodoh
itu meninggalkan bolanya di sini. Lihat, ini dia
bolanya. Kasihan Bibi Emily."

Kemudian Emily merasa dirinya didekati oleh


orang yang menguasai situasi. Yang lain-lain
diperintahkannya minggir. Orang itu berlutut di
sampingnya, merabai tubuhnya dengan penuh
pengetahuan tentang bagian-bagian yang perlu
diperiksanya.

Perasaan lega meliputi diri Emily. Ia merasa


aman.

Dengan suara tegas Dokter Tanios berkata,


"Untung tidak apa-apa. Tak ada patah tulang.
Cuma shock dan sedikit lecet-lecet."

Setelah sekali lagi menyuruh orang-orang di


sekitarnya minggir. Dokter Tanios mengangkat
tubuh Emily dan menggendongnya kembali ke
kamarnya. Di situ ia memeriksa denyut nadi
Emily. Kemudian sambil mengangguk ia
menyuruh Minnie (wanita itu masih saja
menangis meraung-raung) keluar mengambil
brandy dan botol air panas.

Dalam keadaan bingung tak menentu seperti itu


dan dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya,
Emily Arundell merasa bersyukur ada Jacob
Tanios di dekatnya. Ia merasa aman di tangan
laki-laki profesional semacamnya. Laki-laki itu
memberikan perasaan yakin serta
menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya. Itu
memang tugas dan kewajiban seorang dokter.

Namun ada sesuatu - ya, ada sesuatu yang


membuatnya resah. Ia tak tahu apa, dan segan
mencari jawabnya sekarang. Ia akan minum
brandy yang diberikan kepadanya, dan tidur. Itu
perintah dokter.
Hanya saja hatinya yakin akan sesuatu. Sesuatu
yang hilang. Ya, ada sesuatu yang hilang.

Oh, ia tak mau berpikir... Bahunya amat sakit.


Diminumnya isi gelas yang disodorkan
kepadanya.

Terdengar Dokter Tanios berkata, suaranya


sejuk dan meyakinkan,

"Dia akan sehat kembali besok."

Dan, Emily pun memejamkan mata. Ia


terbangun oleh bunyi yang tak asing - salak
anjing.

Sebentar saja Emily jadi benar-benar terjaga.


Bob - Bob yang nakal! Ia menyalak-nyalak minta
dibukakan pintu. Begitu selalu nadanya
menyalak kalau semalaman tidak pulang.
Lembut memelas, seolah menyampaikan
permintaan maaf dan minta dirinya diterima
kembali di rumah.

Nona Arundell memasang telinga. Oh, beres.


Terdengar Minnie turun membukakan pintu
buat Bob, dan dengan suara tertahan ia
memarahi Bob, "Kau memang nakal sekali,
Bobsie...!" Terdengar suara pintu dibuka. Pintu
dapur. Tempat tidur Bob letaknya di bawah
meja dapur.

Kini Emily Arundell sadar apa yang semalam


dirasanya hilang. Bob! Dalam keadaan normal,
Bob pasti ikut-ikutan menonton dirinya ketika ia
terbaring kebingungan di kaki tangga semalam.
Paling tidak, kalau ia sudah terkunci di dapur, ia
akan menyalak-nyalak sambil menggurat pintu
dapur dengan kukunya - minta .dibukakan
pintu. Itu, kalau Bob ada di rumah.

Jadi itulah yang mengganggu pikirannya tadi


malam. Sekarang semuanya sudah jelas. Bob
rupanya pergi mencari kesenangan di luar
rumah, fa memang sekali-sekali suka begitu.
Naluri hewaninya kadang-kadang melupakan
sopan santun yang telah diajarkan kepadanya.
Bob, Bob! Oh, tapi ia selalu minta maaf
sesudahnya.

Masalahnya sudah gamblang kini. Tapi, benar-


kah? Apa lagi yang seolah masih mengganjal
pikirannya? Kecelakaan itu - kecelakaan yang
baru saja dialaminya. Ya, rasanya ada
hubungannya dengan itu.

Benar. Ada orang yang mengatakan - Charles,


orangnya. Ya, Charles mengatakan bahwa ia
jatuh karena bola Bob - karena Bob
meninggalkan lagi bolanya di dekat tangga....
Bola itu ada di sana - Charles memungut dan
menunjukkan bola itu kepada yang lain....

Emily Arundell merasa pusing. Bahunya berde-


nyut-denyut. Tubuhnya yang lecet terasa
perih.... Namun, di balik segala penderitaannya,
pikirannya tetap terang dan jernih. Ia tidak
kebingungan lagi. Ingatannya sangat jelas.

Ia mengingat segala peristiwa yang terjadi sejak


pukul enam sore kemarin... satu per satu...
sampai tiba pada saat ia berada di ujung tangga,
hendak turun...

Tiba-tiba ia diliputi ketakutan yang dahsyat....

Pasti - pasti pikirannya salah... Orang memang


cenderung membayangkan yang aneh-aneh
setelah mengalami kecelakaan. Ia kembali lagi
kepada pikirannya semula. Ia berusaha, betul-
betul berusaha, mengingat kakinya menyentuh
benda bulat -bola Bob - sebelum melangkah dan
terjatuh....

Tapi tidak. Ia yakin sekali tak ada bola yang


menghalangi langkahnya.

Bukan bola, melainkan...

"Bah! Ini semua cuma perasaanku," ujar Emily


Arundell pada dirinya sendiri. "Cuma bayangan-
bayangan tolol."

Walaupun begitu akal sehat dan otaknya yang


teramat cerdik itu tak mau menerima
kesimpulannya sendiri. Ia bukan orang bodoh.
BAB 4

NONA ARUNDELL MENULIS SURAT

Hari jumat.

Tamunya sudah pulang semua.

Mereka pulang hari Rabu, seperti rencana


semula. Masing-masing menawarkan diri untuk
tinggal lebih lama, menemaninya. Tetapi Emily
Arundell menolak semua tawaran mereka. Ia
lebih suka 'ketenangan',

Selama dua hari semenjak kemenakannya


meninggalkan Market Basing, tak henti-
hentinya Emily Arundell merenung. Sering tak
kedengaran olehnya Minnie berbicara
kepadanya. Ia cuma memandang wanita itu
dengan acuh tak acuh dan menyuruhnya
mengulangi lagi kata-katanya.

"Shock-nya. belum hilang," ujar Minnie Lawson.


"Aku kuatir dia tak bisa kembali seperti dulu
lagi," tambahnya mengungkapkan isi hatinya.

Sebaliknya, Dokter Grainger sangat


membesarkan hati.

Katanya, satu dua hari lagi Nona Arundell sudah


boleh meninggalkan tempat tidur, dan bahkan
boleh turun ke ruang bawah. Dikatakannya pula
bahwa ia sangat beruntung tulangnya tidak ada
yang patah, bahwa ia seorang pasien yang
sebetulnya tidak memerlukan dokter - dan,
bahwa jika semua pasien sikapnya seperti itu, ia
bisa tutup praktek.
Biasanya, Emily Arundell menangkis kata-kata
dokternya dengan penuh semangat. Ia dan
Dokter Grainger tua itu sudah lama sekali
bersahabat. Dokter Grainger sering
mengancam, dan Nona Arundell mentah-
mentah menantang. Keduanya menemukan
banyak kesenangan dalam persahabatan
mereka.

Tapi kini, sesudah dokternya pergi, Emily


Arundell berbaring dengan dahi berkerut. Ia
masih terus berpikir - dan berpikir. Kata-kata
Minnie Lawson cuma selengah kedengaran
olehnya. Tapi, tanpa diduga-duga ia tersentak
dan kembali ke lingkungannya yang nyata. Kalau
sudah begitu, kata-kata Minnie Lawson
ditanggapinya dengan tajam.

"Bobsie, Bobsie," ujar Minnie Lawson sambil


membungkuk membelai Bob yang sedang
berbaring di atas permadani di kaki tempat
tidur tuannya. "Kalau kau tahu betapa fatal
akibat kelalaianmu, Bobsie - kau pasti akan
sangat menyesal dan bersedih."

Emily Arundell membentak, "Jangan bodoh,


kau, Minnie! Di Inggris berlaku hukum, bahwa
tak seorang pun boleh dituduh bersalah
sebelum kesalahannya terbukti. Tak tahukah
kau akan hukum itu?" "Oh, tapi kita kan tahu..."
Sekali lagi Emily membentaknya, "Kita tidak
tahu apa-apa sama sekali. Hentikan tindak-
tanduk dungumu itu-jalan sana, jalan sini
sentuh ini, sentuh itu. Menjengkelkan sekali.
Tak tahukah kau bagaimana mesti bersikap di
kamar orang sakit? Pergi, kau! Suruh Ellen ke
sini."

Dengan patuh Nona Lawson keluar dari kamar


majikannya.

Emily Arundell memandang wanita itu dengan


sedikit menyesali kata-katanya. Walau sering
menjengkelkan, Minnie Lawson selalu berusaha
melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Kerut-kerut kembali menghiasi dahinya.

Ia merasa bingung dan sedih tiada menentu.


Biasanya ia benci melihat orang bersikap seperti
dirinya saat itu. Pikirannya yang hidup dan
kemauannya yang keras selalu mengatakan,
bahwa selalu ada jalan keluar dari situasi yang
bagaimanapun sulitnya. Tetapi kali ini, ia betul-
betul tak mengerti langkah apa yang harus
diambilnya.

Ada kalanya ia bimbang akan pikirannya sendiri,


akan daya ingatannya. Tapi, tak ada seorang
pun tempat ia bisa mencurahkan isi hatinya.

Setengah jam kemudian, ketika Nona Lawson


masuk dengan berjingkat-jingkat ke kamar
majikannya, dilihatnya majikannya tidur.
Hampir saja cangkir yang dibawanya terjatuh
ketika tiba-tiba Nona Arundell berkata,

"Mary Fox,"

"Apa?" tanya Nona Lawson.

"Sudah jadi tulikah, kau, Minnie? Mary Fox,


kataku. Perempuan yang kujumpai di
Cheltenham tahun lalu. Dia saudara pendeta
yang ada di Kathedral Exeter. kesinikan cangkir
itu. Kau kurang hati-hati. Isinya kautumpahkan,
Minnie. Dan ingat, jangan lagi berjingkat-jingkat
kalau masuk ke kamarku. Tingkah seperti itu
sangat menjengkelkan. Sekarang, turunlah kau.
Ambilkan buku telepon."

"Bisa saya bantu cari nomornya? Atau Anda


mungkin perlu suatu alamat?"
"Kalau aku ingin kaulakukan itu, tentu sudah
kukatakan dari tadi, Minnie. Lakukan
perintahku. Bawa buku itu ke sini, dan letakkan
map yang berisi kertas suratku di meja samping
ranjangku."

Nona Lawson mengikuti perintah yang


diterimanya.

Setelah yakin semua permintaan majikannya


terpenuhi, ia pun beranjak meninggalkan kamar
Nona Arundell. Tanpa diduga-duga, Emily
Arundell berkata,

"Kau baik dan setia, Minnie. Jangan hiraukan


kalau aku membentakmu. Aku tahu itu
menyakitkan. Tapi, kau sangat sabar dan baik
kepadaku."
Nona Lawson keluar dengan wajah bersemu
merah. Mulutnya komat-kamit menyemburkan
kata-kata yang tak menentu.

Duduk bersandar di tempat tidurnya, Nona


Arundell menulis surat. Ia menulis dengan
perlahan-lahan dan sangat berhati-hati. Kadang-
kadang ia berhenti untuk berpikir atau
menggarisbawahi kata-kata yang telah
ditulisnya.

Berkali-kali ia mencoret kata-kata yang baru


ditulisnya. Ia tidak berusaha menyalin kembali
halaman yang dipenuhi coretan. Di sekolahnya
dulu, ia diajar tidak membuang-buang kertas
tulis. Akhirnya, dengan rasa puas ia
menandatangani suratnya dan memasukkannya
ke dalam amplop. Ia menuliskan sebuah nama
di bagian depan amplop itu. Kemudian
diambilnya sehelai kertas tulis baru. Kali ini ia
membuat draft. Setelah membaca kembali dan
membetulkan beberapa bagian pada surat ini,
disalinnya isinya. Dibacanya sekali lagi dengan
hati-hati -- lalu, dimasukkannya ke dalam
sebuah amplop. Di bagian depannya ia
menuliskan: Tuan William Purvis, Kantor
Pengacara Purvis, Purvis, Charlesworth,
Harchester.

Diambilnya kembali amplop yang pertama yang


bertuliskan M. Hercule Poirot di bagian
depannya. Kemudian, dibukanya buku telepon.
Setelah menemukan alamatnya, dituliskannya
alamat itu pada amplop tadi.

Ada yang mengetuk pintu kamarnya.

Nona Arundell cepat-cepat memasukkan


amplop yang baru diberinya alamat ke dalam
salah satu kantong pada map kertas suratnya.
Ia tidak ingin menimbulkan kecurigaan Minnie.
Minnie terlalu suka mencampuri urusan orang
lain.

"Masuk," serunya sambil membaringkan


kembali tubuhnya dengan perasaan lega.

Ia telah mengambil langkah yang diperlukannya


untuk mengatasi situasinya.

BAB 5

HERCULE POIROT MENERIMA SURAT


Kejadian yang baru saja kuceriterakan tadi
tentulah tidak kuketahui sampai berbulan-bulan
sesudahnya. Tetapi, dengan menanyai berbagai
anggota keluarga Nona Arundell secara teliti,
dapatlah kususun urut-urutan kejadiannya
dengan cukup sempurna.

Kami, Poirot dan aku, baru terlibat dalam


skandal itu sendiri setelah menerima surat Nona
Arundell.

Ingat benar aku akan hari itu. Suatu hari yang


panas dan gersang menjelang akhir bulan Juni.

Poirot sedang melakukan pekerjaan rutinnya:


membuka surat yang diterimanya dari petugas
pos pagi. Dipungutnya surat-surat itu satu per
satu, diamat amannya dengan cermat, dan baru
kemudian dengan hati-hati ia membuka
amplopnya menggunakan pisau pemotong
kertasnya. Setelah membaca isinya dengan
sungguh-sungguh, ia meletakkan surat itu pada
salah satu dari keempat tumpukan yang terletak
di seberang termos coklat-nya. (Poirot punya
kebiasaan minum coklat sebagai sarapan).
Pekerjaannya ini dilakukan tiap hari seperti
mesin.

Begitu teratur dan lancar langkah-langkahnya


melakukan pekerjaan itu. hingga penyimpangan
sedikit saja pada gerakannya segera menarik
perhatian orang yang bersamanya.

Saat itu aku sedang duduk dekat jendela,


memperhatikan lalu lintas di bawah. Aku baru
saja kembali dari Argentina. Hatiku serasa hidup
kembali berada di tengah deru kota London.

Kutengok Poirot, dan sembari tersenyum


kukatakan,
"Poirot, boleh aku menebak sesuatu?" "Hmm.
Tentu saja. Apa itu?" Kutrgakkan dudukku. Lalu
dengan angkuh kukatakan,

"Pagi ini kau menerima surat yang menarik


perhatianmu!"

"Kau memang benar-benar seorang Sherlock


Holmes! Ya, tepat sekali."

Aku tertawa.

"Aku kenal cara kerjamu, Poirot. Kalau kau


sampai membaca sebuah surat dua kali, pasti
ada sesuatu di dalamnya yang menarik
perhatianmu."

"Itu kesimpulanmu sendiri, Hastings!"


Sambil tersenyum Poirot menyodorkan surat
yang kami perbincangkan kepadaku.

Kuterima surat itu. Aku meringis. Tulisannya


bengkok-bengkok - model tulisan kuno, dan
penuh coretan di sana sini.

"'Mesti kubacakan surat ini. Poirot?" keluhku.

"Tidak ada yang mengharuskanmu. Kawan."

"Mau kasih tahu apa isinya?"

"Lebih baik kaubaca sendiri supaya kau bisa


menyimpulkannya. Tapi, kalau kau segan, tak
usah repot-repot."

"Aku ingin tahu isinya," protesku.


Poirot berkomentar tak acuh,

"Percuma. Surat itu tak ada isinya."

Kupikir Poirot mulai mempermainkanku Tanpa


berlama-lama, kucurahkan perhatianku pada
surat itu.

M. Hercule Poirot.

Dengan hormat,

Setelah lama sekali kebingungan, saya


memenulis (kata yang terakhir dicoret). Saya
terpaksa menulis surat kepada Anda dengan
harapan Anda bisa membantu saya
memecahkan suatu masalah yang sangat
pribadi sifatnya (dua kata terakhir digarisbawahi
rangkap tiga).

Saya mengenal nama Anda. Nona Fox dari


Exeter pernah menyebutkan nama Anda kepada
saya, Nona Fox sendiri tidak kenal Anda. Ia
cuma mengatakan bahwa saudara perempuan
kakak iparnya (namanya, maaf saya lupa)
menceriterakan kebaikan dan kebijaksanaan
Anda yang luar biasa (kata-kata luar biasa
digarisbawahi). Tentu saja saya tidak
menanyakan apa masalahnya yang pernah Anda
bantu pemecahannya itu (masalahnya
digarisbawahi) Meskipun begitu, Nona Fox
mengatakan, bahwa masalahnya sangat
menyedihkan dan rahasia (empat kata terakhir
diberi garis bawah tebal).

Aku berhenti membaca tulisan yang sukar sekali


dibaca itu.
"Poirot," tanyaku, "mestikah kuteruskan?
Rasanya berbelit-belit sekali."

"Lanjutkan, Kawan. Sabar."

"Sabar," gerutuku. "Ini sih tak ada bedanya


dengan membaca.... Oh, aku jadi
membayangkan laba-laba yang kecempelung ke
botol tinta lalu berjalan di atas kertas ini....
Hasilnya pasti guratan-guratan macam tulisan
ini."

Sekali lagi kualihkan perhatianku kepada surat


di tanganku.

Dalam dilema yang sedang saya hadapi ini, saya


pikir Anda bisa membantu menyelidiki
beberapa hal. Masalahnya, seperti yang
tentunya Anda ketahui, sangat memerlukan
kebijaksanaan, dan saya - tidak perlu kiranya
saya kemukakan di sini, betapa saya berdoa
(kata berdoa ini digarisbawahi dua kali) supaya
masalah ini - semoga apa yang ada dalam
pikiran saya ini - tidak benar. Saya sadar, orang
sering cenderung mempersulit masalah yang
sesungguhnya amat sederhana.

"Ada halaman yang hilang, mungkin?"


gumamku sedikit heran.

"Tidak. Tidak ada."

"Tidak masuk akal. Apa sih yang sebenarnya


dibicarakan wanita ini?" "Teruskan saja, Bung."

Masalahnya, seperti yang Anda mengerti....


Bah! Yang ini sudah kubaca tadi. Nah! Ini...
sampai di sini aku tadi.

Dalam situasi begini, saya yakin Anda dapat


menghargai pikiran saya yang satu ini, tak
seorang pun dapat saya mintai pendapat di
Market Basing ini. (Kutengok kembali kepala
suratnya. Puri Hijau, Market Basing, Berks.)
Tentunya Anda juga dapat mengerti betapa
tidak enaknya perasaan saya (tidak enak
digarisbawahi). Sejak beberapa hari belakangan
ini, berkali-kali saya menuduh diri saya terlalu
membayangkan yang tidak-tidak (empat kata
terakhir digaris tiga di bawahnya). Namun, hati
saya semakin tidak enak. Berkali-kali pula saya
yakinkan diri saya, bahwa perasaan saya itu
tidak ada artinya dan bahwa saya bodoh kalau
terlalu menghanyutkan diri terhadap perasaan
seperti itu, tetapi tetap saja. Perasaan tidak
enak dalam hati saya tidak mau hilang. Saya
merasa pasti akan hal itu. Berpikir begini terus-
menerus sangat mempengaruhi kesehatan saya.
Tentu saja saya ada dalam posisi yang sulit,
karena saya tidak bisa mengatakan apa pun
kepada siapa pun (apa pun kepada siapa pun
diberi garis bawah tebal). Mungkin Anda
berpikir, bahwa semuanya ini hanyalah masalah
yang sepele. Memang. Mungkin muatan
terhadap masalah ini pun sebetulnya sepele
(sepele digarisbawahi). Meskipun begitu, meski
bagaimanapun sepele kelihatannya, saya selalu
merasa gelisah dan ketakutan semenjak
kecelakaan yang disebabkan oleh bola- mainan
anjing itu. Saya minta pendapat dan nasihat
Anda dalam hal ini. Saya yakin, ini akan sangat
meringankan beban pikiran saya. Mohon Anda
kabarkan berapa imbalan yang Anda minta, dan
apa yang harus saya lakukan dalam hal ini.

Sekali lagi, saya tekankan di sini, bahwa tidak


ada seorang pun di sini yang tahu mengenai hal
ini. Faktanya, saya tahu, sangat sepele dan tidak
penting, tapi kesehatan saya buruk dan
perasaan saya (perasaan diberi garis bawah tiga
kali) tidak lagi seperti dulu. Kekuatiran seperti
ini jelek bagi diri saya. Dan, semakin saya
pikirkan masalahnya, semakin saya yakin akan
kebenaran pikiran saya - bahwa saya tidak
mungkin salah. Tentu saja saya tidak akan
mengatakan apa pun (ini digarisbawahi) kepada
siapa pun (juga digarisbawahi).
Nasihat Anda yang segera sangat saya
harapkan.

Hormat saya, Emily Arundell

Kubalik surat itu dan kubaca lagi setiap halaman


dengan teliti. "Tapi, Poirot," seruku, "Apa
maksudnya surat ini?"

Poirot mengangkat bahu. "Benar. Apa


sebetulnya maksudnya?" Kuketuk-ketuk surat
itu dengan perasaan tak sabar.

"Bukan main! Nyonya - atau, Nona-kah dia?"

"Kupikir dia seorang Nona. Gaya suratnya khas


gaya surat perawan tua."
"Benar," ujarku. "Perawan tua yang cerewet.
Aku tidak mengerti."

Poirot menarik napas.

"Persis seperti yang kauhilang, tanpa susunan


dan tanpa metoda. Hastings..."

"Persis," potongku cepat-cepat, "Tidak memakai


otak sama sekali."

"Bukan begitu, Kawan."

"Lalu, apa maksudnya menulis surat seperti


itu?"

"Hm. Hm," gumam Poirot. "Isinya memang


hampir tidak ada."
"Bertele-tele, ke sana kemari, tapi tidak ada
tujuannya. Mungkin dia cuma mau mengatakan
anjingnya terserang penyakit asma... Oh,
sungguh membingungkan. Begitu, tapi kau
membacanya sampai dua kali, Poirot."

Poirot tersenyum.

"Kalau kau, Hastings - apa yang hendak


kaulakukan? Membuangnya ke tempat
sampah?"

"Kupikir begitu," sahutku sambil sekali lagi


meneliti surat yang masih kupegang. "Mungkin
pikiranku sedang buntu. Tapi, sungguh mati, aku
tidak melihat sesuatu yang menarik dalam surat
ini."
"Ada yang sangat menarik — yang langsung
menarik perhatianku begitu amplopnya
kubuka."

"Tunggu," cegahku. "Jangan katakan dulu.


Kucoba sekali lagi mencari point yang menarik
perhatianmu. Mungkin kali mi aku bisa
menemukannya " Aku jadi penasaran. Kuteliti
lagi surat itu Akhirnya aku cuma bisa geleng
kepala.

"Aku menyerah, Sobat. Perempuan tua itu


terlalu berbelit-belit. Mungkin insting yang
menyebabkan-mu..."

Poirot nampak tersinggung.

"Insting! Kau tahu betapa aku membenci kata


yang satu itu, Hastings. Perasaan tidak kupakai
dalam urusan begini. Otak! Sekali lagi. olak yang
kupakai. Matamu kurang jeli, Hastings."
"Oke," komentarku lelah "Sebutkan sekarang di
mana kebodohanku."

"Kau tidak bodoh, cuma kurang jeli."

"Sudahlah! Katakan sekarang apa yang menarik


perhatianmu itu. Paling-paling.. "

Poirot tidak mempedulikan omelanku. Dengan


tenang sekali ia berkata,

"Yang menarik tanggalnya"

"Tanggalnya?"

Kupungut kembali suratnya Pada sudut kiri atas


kulihat tertulis: tujuh belas April.
"Ya." komentarku lambat. "Memang aneh.

Tanggal tujuh belas April."

"Sekarang sudah tanggal dua puluh delapan


Juni. Mencurigakan, bukan? Lebih dari dua
bulan yang lalu surat itu ditulis."

Kugelengkan kepala dengan bimbang.

"Siapa yang tahu itu tidak punya arti apa-apa.


Salah tulis. Maksudnya mau menulis tujuh belas
Juni, keliru jadi tujuh belas April."

"Seandainya toh betul begitu, masih tetap aneh.


Berarti baru sepuluh atau sebelas hari
kemudian surat itu kuterima. Tapi dugaanmu itu
pasti salah. Lihat kertasnya, dan warna tintanya.
Surat ini ditulis lebih dari cuma sepuluh atau
sebelas hari yang lalu. Aku yakin tanggal yang
tertulis di situ tidak salah. Tapi. apa sebabnya
surat itu tidak segera dikirimkan?"

"Itu gampang dijelaskan," ujarku. "Penulisnya


ragu-ragu, dan memutuskan untuk tidak
mengirimkannya."

"Kalau begitu, mengapa tidak dia musnahkan


saja suratnya, dan bukannya menunggu sampai
begitu lama baru mengirimkannya?"

Harus kuakui, sulit menjawab pertanyaan Poirot


yang satu ini. Aku tak berhasii mencari jawaban
yang memuaskan. Karena itu aku cuma
menggeleng.

Poirot manggut-manggut.
"Sekarang kau tahu, kan? Ini sungguh-sungguh
mencurigakan."

Ia beranjak kembali ke meja tulisnya,


mengambil pena.

"Akan kaujawab surat itu?" tanyaku. "Oui, mon


ami."[Ya, Sobat.]

Hening meliputi suasana ruang kerja Poirot.


Yang kudengar cuma gesekan penanya dengan
kertas. Udara terasa pengap. Bau debu dan
aspal panas menerobos masuk melalui jendela.

Poirot bangkit. Surat yang baru ditulis


dipegangnya. Dibukanya laci, dan
dikeluarkannya sebuah kotak kecil. Dari dalam
kotak itu, Poirot mengeluarkan sebuah
perangko. Dibasahinya belakang perang-ko itu
dengan busa basah, lalu ia pun siap
menempelkannya pada amplopnya.
Tetapi, tiba-tiba ia tertegun. Dengan perangko
basah masih terpegang di tangannya, ia
menggeleng "geleng.

"Non!" serunya. "Tindakan begini salah." Poirot


merobek surat yang baru ditulisnya dan
melemparkan serpihan kertasnya ke dalam
keranjang sampah. "Bukan begitu caranya. Kita
harus pergi ke sana."

"Maksudmu ke Market Basing?"

"Persis. Apa salahnya? Daripada kepanasan di


London hari ini.... Hawa pedesaan tentu lebih
menyenangkan."

"Terserah kalau itu maumu," ujarku. "Kita naik


mobil?"
Aku baru saja dapat mobil bekas merek Austin.
"Bagus! Cuacanya pas benar buat melancong
naik mobil. Tak perlu dasi — cukup jaket dan
syal sutera..."

"Poirot — buat apa? Kita toh bukan mau ke


kutub?" protesku.

"Yah, untuk jaga kesehatan saja. Kita mesti baik-


baik menghindari flu sekarang ini," komentar
Poirot.

"Meskipun hari gerah seperti ini?" tanyaku


keheranan.

Tanpa mempedulikan protesku, Poirot


mengambil jaket, mengenakannya, dan
kemudian melilitkan saputangan sutera pada
lehernya. Ia meletakkan perangko yang telah
dibasahinya tadi di atas kertas penghisap
dengan bagian yang basah di sebelah atas.
Selelah itu kami pun berangkat.

BAB 6

PURI HIJAU

Tak terbayangkan olehku bagaimana rasanya


Poirot dalam pakaiannya yang seperti itu. Aku
sendiri, yang tanpa jaket dan syal, sudah merasa
dipanggang sebelum kami keluar dari lalu lintas
London yang hiruk-pikuk Mobil berkap terbuka
bukan tempat yang nyaman pada siang hari
sepanas itu.
Sekeluar dari London, semangatku timbul
kembali.

Perjalanan kami memakan waktu kurang lebih


satu jam setengah. Sudah hampir pukul dua
belas ketika kami sampai di Market Basing.
Dulunya kota ini terletak di pinggir jalan utama.
Sekarang sudah ada jalan by-pass kurang lebih
tiga mil di sebelah utaranya. Dengan demikian
Market Basing terhindar dari kebisingan lalu-
lintas jalan raya antarkota. Kota itu tidak
kehilangan keanggunan dan ketenangan masa
lalunya. Satu-satunya jalan raya dan pasar
berpelataran luas yang ada di situ seolah-olah
mengatakan, "Aku pernah menjadi tempat
penting. Orang berpendidikan akan tetap
menganggapku demikian. Biarkan dunia
modern yang serba tergesa-gesa lewat
dijalannya yang baru dan megah; Aku dibangun
pada zamanku - zaman setia kawan dan
keindahan - dan aku harus tetap bertahan."
Tempat parkir di pasar itu cukup luas meski
cuma beberapa buah mobil diparkir di situ.
Kuparkir Austin-ku, dan Poirot pun
menanggalkan pakaiannya yang berlebihan. Ia
meraba kumisnya, memeriksa apakah
bentuknya tetap rapi dan simetris.

Pertanyaan kami yang pertama tidak


mendapatkan respons yang memuaskan. "Maaf,
saya sendiri orang baru di sini." Pada
penglihatan kami, hampir mustahil ada orang
baru di kota kuno ini. Aku pun merasa bahwa
kami berdua sudah mulai menjadi perhatian
orang. Pembawaan kami semacam tidak sesuai
dengan lingkungan kota yang masih penuh
tradisi itu.

"Puri Hijau?" Laki-laki gendut bermata bulat


yang kami tanyai memandang kami dengan
keheran-heranan. "Terus saja. Pasti ketemu.
Anda tidak mungkin kesasar. Setelah melewati
Bank, rumah besar yang pertama di sebelah kiri
jalan. Namanya tertulis di pintu gerbangnya."
Sekali lagi ia berkala, "Pasti ketemu."

Pandangannya mengikuti kepergian kami.

"Oh, Tuhan," keluhku. "Aku merasa diriku aneh


di tengah-tengah kota seperti ini. Tapi, kau,
Poirot, kau lebih kelihatan aneh lagi."

"Maksudmu, aku kelihatan seperti orang asing.


Begitu?"

"Persis," ujarku.

"Padahal pakaianku jahitan penjahit Inggris."

"Pakaian bukan satu-satunya tolok ukur,"


sahutku. "Kepribadianmu itu lho, Poirot. Sangat
menyolok. Sering aku merasa heran
kelebihanmu ini bisa berjalan berdampingan
dengan karirmu. Maksudku, ini bisa
menghambat karir pada orang lain."

Poirot menarik napas.

"Itu karena kau punya bayangan yang salah


tentang detektif. Hastings Detektif tidak perlu
selalu memakai janggut palsu dan bersembunyi
di balik pilar! Janggut palsu itu cuma kedok.
Sedang bersembunyi - itu cuma dilakukan oleh
detektif-detektif pemula Hercule Poirot lain. ia
cuma perlu duduk dan berpikir."

"Lalu mengapa kita mesti berjalan berpanas-


panas seperti ini?"

"Jawabanmu hagus sekali, Hastings. Ini pertama


kalinya kau menang angka dariku.'
Tanpa menemui kesukaran, kami menemukan
Puri Hijau. Namun sesuatu membuat kami
terkejut. Sebuah papan bertuliskan hama
sebuah agen jual/beli rumah terpampang di
tlepannya.

Sementara kami memperhatikan papan nama


itu. terdengar salak seekor anjing Dari antara
daun-daunan, kulihat berdiri seekor anjing
Anjing terrier. Bulunya keriting dan tampak
lusuh. Kakinya mengangkang, dan ia menyalak-
nyalak dengan riang.

"Lihatlah aku." begitu kira-kira kata anjing itu.


"Aku penjaga rumah ini Tapi jangan takut! Aku
memang suka menyalak-nyalak begini. Dan ini
memang tugasku. Tapi aku senang kalian
datang. Pagi ini aku bosan sekali Pekerjaan yang
sedikit ini menghiburku. Mau masuk? Mudah-
mudahan ya. Aku ingin teman mengobrol."
"Hai, Bung!" ujarku.

Anjing itu mendekat, dan melongokkan


kepalanya melalui sela-sela jeruji pagar, ia
mendengus-dengus. ekornya bergoyang-
goyang, ia nampak sedikit curiga.

"Aku mesti begini," ia seolah berkata. "Aku


belum dikenalkan kepada kalian. Tapi
kelihatannya kalian haik baik."

"Anjing yang cerdik," ujarku.

"Guk," sahut anjing itu ramah.

"Nah, Poirot?" tanyaku mengalihkan perhatian


dari anjing itu.
Ekspresi wajah Poirot aneh Aku tak bisa
menebak apa maknanya - semacam perasaan
senang yang tertahan. Begitulah!

"Kecelakaan yang disebabkan oleh bola mainan


anjing," gumamnya. "Paling tidak, kita telah
ketemu dengan seekor anjing di sini."

"Guk," kawan haru kami memperhatikan gerak


gerik kami. Kemudian ia duduk dan menguap.
Matanya menatap kami dengan penuh harap.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"


tanyaku.

Pertanyaan yang sama nampak pada mata si


anjing.

"Meneruskan perjalanan ke Firma - apa tadi -


Firma Gabler and Stretcher," ujar Poirot sambil
melihat kembali ke papan yang terdapat di
depan Puri Hijau.

"Sudah kutebak," komentarku.

Kami berputar haluan, kembali ke arah Pasar.


Kawan baru kami menggonggong, seolah
memprotes kepergian kami.

Firma Gabler and Stretcher berkantor di sekitar


pasar. kami masuk ke dalam sebuah ruangan
kantor yang agak gelap. Di situ kami disambut
oleh seorang wanita muda yang nampaknya
menderita adenoid. Matanya kuyu tanpa gairah.

"Selamat pagi," sapa Poirot sopan.

Wanita muda itu sedang berbicara di telepon. Ia


mempersilakan kami duduk dengan anggukan
kepala. Di depan meja wanita itu cuma ada
sebuah kursi Untunglah aku menemukan
sebuah kursi lain yang segera kuseret ke dekat
kursi yang sudah diduduki Poirot.

"Saya tidak bisa mengatakan," ujar wanita itu


dingin. "Saya tidak tahu berapa harganya....
Apa? Oh, sumur, saya kira - tapi saya tidak
yakin... Maaf. Ya.... dia sedang keluar.... Saya
tidak tahu.... Ya. Nanti saya tanyakan
kepadanya... Ya... 8135? Bisa diulang lagi? Oh...
8935... 39.... Oh. 5135.... Ya. Saya akan minta
dia menelepon Anda nanti.... Setelah jam
enam.... Oh, maaf. Sebelum jam enam. Terima
kasih banyak."

Ia meletakkan gagang telepon, menuliskan 5319


pada secarik kertas, dan dengan acuh tak acuh
mengalihkan pandangannya kepada Poirot.

Segera Poirot membuka pembicaraan,


"Kelihatannya ada rumah dijual di pinggiran
kota ini. Puri Hijau namanya, kalau saya tak
salah."

"Rumah yang akan disewakan atau dijual,"


ulang Poirot lambat-lambat dan dengan sangat
jelas- "Puri Hijau."

"Oh, Puri Hijau," ucap wanita muda tadi tak


jelas. "Puri Hijau?"

"Betul, Nona. Itu yang saya tanyakan."

"Puri Hijau," ujar wanita itu lagi- Nampaknya


ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. "Oh,
Tuan Gabler yang tahu tentang rumah itu."

"Kalau begitu bolehkah saya bertemu dengan


Tuan Gabler?"
"Sedang keluar," jawabnya. Ia kelihaian puas.
Ekspresi wajahnya seolah mengatakan, "Satu -
Nol."

"Jam berapa kembalinya?" "Tidak tahu,"


ujarnya.

"Saya sedang mencari rumah di sekitar sini,"


Poirot berkata.

"Oh," komentar wanita itu tak acuh.

"Saya tertarik sekali pada Puri Hijau. Boleh saya


melihat brosur rumah itu?"

"Brosur?" wanita itu nampak terkejut.


"Ya. Brosur atau " data-data yang seadanya
mengenai rumah itu."

Dengan segan ia membuka laci dan


mengeluarkan setumpuk kertas. Kemudian ia
berseru, "John!"

"Ya, Non?"

"Kau punya data-data... apa Anda bilang tadi?"

"Puri Hijau," ucap Poirot jelas.

"Ini dia iklannya - terpasang jelas sekali di sini,"


ujarku sambil menunjuk pada papan iklan yang
tergantung di dinding.
Wanita itu memandangku dingin. Dua - Satu.
Begitu kelihatannya ia berpikir, meskipun jelas-
jelas permainan itu curang.

"Kau tidak tahu surat-surat mengenai rumah itu,


kan, John?" tambahnya.

"Tidak, Non." ujar yang ditanya. "Di arsip


barangkali."

"Maaf." ujarnya. "Mungkin surat-surat


mengenai rumah itu sedang dipinjam orang."
"C'est dommage."[sayang.] "Apa?"

"Sayang."

"Ada bungalow yang cantik di Hemel End - dua


kamar tidur, satu ruang duduk." Ia bicara tanpa
semangat, sekedar menunaikan tugas.
"Terima kasih. Saya tidak tertarik."

"Ada lagi yang lain. Halamannya luas. Punya


rumah taman. Data-datanya ada di sini
sekarang."

"Tidak. Terima kasih. Saya cuma ingin tahu sewa


Puri Hijau."

"Puri Hijau tidak disewakan," kata wanita itu.


Akhirnya ia meninggalkan sikap tidak-tahu-
menahu-nya mengenai Puri Hijau. Sekali lagi
gayanya seperti ia menang point lagi. "Rumah
itu hendak dijual. Segera."

"Tapi di papannya saya baca disewakan/dijual."


"Oh, saya tidak tahu menahu tentang papan itu.
Yang saya tahu Cuma bahwa rumah itu dijual."

Pintu dibuka. Seorang laki-laki setengah baya


berambut abu-abu masuk dengan terburu-buru.
Matanya memandang kami bersinar-sinar. Alis
matanya naik seperti menanyakan sesuatu
kepada anak buahnya.

"Ini Tuan Gahler," ujar wanita muda tadi.

Tuan Gabler membuka pintu ke dalam.

"Silakan masuk, Tuan," katanya sambil


menunjukkan kursi. Sementara itu dia sendiri
berjalan mengelilingi meja kerjanya ke kursinya
sendiri. Ia duduk menghadapi kami.

"Bisa saya bantu?"


Poirot memulai lagi.

"Saya ingin mengetahui data-data mengenai


Puri Hijau..."

Poirot tak sempat menyelesaikan kalimatnya


Tuan Gabler sudah mengambil alih
pembicaraan.

"Oh, Puri Hijau! Penawaran yang menarik sekali


itu, Tuan! Baru saja dipasarkan. Jarang ada
rumah taraf itu dijual dengan harga serendah
ini, Tuan. Selera orang sekarang rupanya
kembali lagi ke model kuno. Orang mulai bosan
dengan model-model bangunan sekarang.
Mereka ingin yang antik: gedung yang bagus,
kuat. dan buatan zaman dulu. Puri Hijau ini
sungguh-sungguh istimewa, Tuan. Modelnya,
suasananya... segalanya benar-benar
menyerupai zaman Gorgia dulu. Itu justru yang
dicari orang sekarang. Puri Hijau tidak akan
lama ada di daftar penjualan kami. Pasti cepat
laku. Kemarin, hari Sabtu yang lalu, ada seorang
anggota Parlemen yang melihat. Kelihatannya
dia sangat tertarik. Janji akan datang lagi Sabtu
depan. Ada lagi orang lain yang melihat. Kalau
tidak salah dari Bursa Saham. Orang mencari
ketenangan sekarang ini. Tuan. Mereka ingin
menjauhi keramaian kota. Rumah desa banyak
dijual. Tapi, hidup di desa itu kurang bermutu.
Lain dengan Puri Hijau ini. Tuan. Puri Hijau
mutunya luar biasa. Tahu sendiri bagaimana
mutu bangunan kuno. Jauh lebih bagus
buatannya daripada bangunan sekarang. Juga
lebih kuat, Tuan. Pasti cepat lakunya."

Tuan Gabler berhenti hicara. Kecapean


kelihatannya.

"Apa rumah itu sering ganti tangan tahun-tahun


belakangan ini, Pak?" tanya Poirot.
"Sebaliknya, Tuan. Rumah itu dimiliki oleh satu
keluarga selama lebih dari lima puluh tahun.
Keluarga Arundell. Sangat dihormati di sini.
Mereka itu sisa-sisa pendidikan zaman dulu,
Tuan. Pute-rinya..." Ia membuka pintu dan
berseru,

"Tolong ambilkan surat-surat Puri Hijau, Nona


Jenkins. Cepat." Dan kembali kc kursinya.

"Saya sedang mencari rumah di luar London,"


ujar Poirot. "Di kota kecil, bukan terlalu di desa.
Anda mengerti maksud saya, kan?"

"Tentu. Tentu, Tuan. Tinggal di desa itu kurang


nyaman. Pertama, pembantu jarang mau
bekerja di desa. Di sini. di Market Basing ini,
Anda bisa merasakan kehidupan desa tanpa
mengurangi fasilitas yang bisa didapat di kota."
Nona Jenkins masuk membawa sehelai kertas
berhuruf ketik. Diletakkannya kertas itu di
hadapan majikannya, dan ia pun disuruh keluar
oleh Tuan Gabler.

"Ini dia," ucap Tuan Gabler. Ia membaca tulisan


pada kertas di hadapannya. "Rumah kuno
penuh karisma: empat ruang tamu, delapan
kamar tidur dan kamar pakaian, ruang kantor,
dapur luas, bangunan pelayan terpisah, istal
kuda, dan sebagai-nya. Air sumur, taman,
pemeliharaan murah, luas tanah dan bangunan
dua belas ribu meter persegi. Punya beberapa
rumah taman, dan sebagainya, dan sebagainya.
Harga permintaan 2.850 pound. Damai."

"Boleh dilihat?"

"Tentu. Tuan. Tentu." Tuan Gabler menulis


dengan penuh semangat. "Nama dan alamat
Tuan?"
Aku sedikit terkejut. Poirot menyebut dirinya
dengan nama Parotti.

"Ada satu atau dua rumah lain di catatan kami


yang mungkin menarik bagi Tuan," lanjut Tuan
Gabler.

Poirot membiarkan laki-laki itu berbicara. "Jadi


Puri Hijau bisa dilihat setiap saat?" tanyanya.

"Tentu, Tuan. Tentu," jawabnya. "Akan saya


telepon pelayannya. Supaya mereka siap-siap."

"Kapan Tuan akan melihat?" tanyanya,


"Sekarang, atau sesudah makan siang nanti?"

"Sesudah makan siang," jawab Poirot.


"Akan saya telepon mereka, Tuan. Saya katakan
kira-kira jam dua. Begitu, ya. Tuan?"

"Terima kasih. Bapak tadi menyebut pemiliknya


- Nona Arundell. Betulkah itu?"

"Lawson. Nona Lawson. Tuan. Itu pemiliknya


yang baru. Nona Arundell sudah meninggal.
Belum lama. Itu sebabnya Puri Hijau dijual.
Percayalah, Tuan - rumah itu pasti cepat
lakunya. Antara Tuan dengan saya saja... kalau
Tuan tidak jadi membelinya, saya rasa saya
sendiri yang akan membelinya. Ini rahasia,
Tuan. Seperti sudah saya katakan tadi, sudah
dua orang peminatnya. Mereka pasti
mengajukan tawaran satu atau dua hari lagi.
Mereka berlomba-lomba. Mudah-mudahan saja
Tuan tidak keduluan."

"Nona Lawson ingin cepat-cepat menjualnya?"


Tuan Gabler mengangguk penuh rahasia.

"Begitulah. Rumah itu terlalu besar untuknya -


wanita setengah baya yang hidup sendirian. Ia
ingin menjual Puri Hijau dan membeli rumah di
London. Bisa dimengerti. Itulah sebabnya dijual
begitu murah."

"Kira-kira harganya bisa ditawar?"

"Itulah, Tuan. Cepat-cepat saja ajukan tawaran,


dan bereskan. Saya yakin tak ada kesukaran
kalau Tuan menawar tidak terlalu jauh dari
harga permintaannya. Membangun rumah
seperti itu sekarang bisa habis enam ribu
pound... belum lagi harga tanah dan
perabotnya."

"Nona Arundell. Apakah dia meninggalnya


mendadak?"
"Sebetulnya tidak juga. Tuan. Mungkin memang
sudah saatnya. Umurnya sudah tujuh puluh
lebih dan dia sudah lama sakit-sakitan. Dia yang
paling akhir meninggal di antara saudara-
saudaranya. Mungkin Anda kenal atau
mengetahui sesuatu tentang keluarga itu?"

"Saya punya beberapa kenalan yang katanya


punya keluarga di daerah sini. Nama mereka
juga Arundell. Jadi saya pikir mungkin masih ada
hubungannya."

"Mungkin sekali, Tuan. Ada empat bersaudara.


Perempuan semua. Yang satu kawin sudah tua.
Yang tiga lagi hidup di sini sampai akhir
hayatnya. Nona Emily yang bertahan paling
lama. Sangat dihormati di sini."

Tuan Gabler menyerahkan surat pengantar


kepada Poirot.
"Tuan datang lagi, kan, Tuan? Memberitahukan
keputusan Tuan? Memang di sana-sini perlu
diperbaharui. Tapi, berapalah biaya
memperbaiki satu atau dua kamar mandi? Itu
toh gampang diatur."

Kami beranjak meninggalkan ruangan kerja


Tuan Gabler. Sebelum keluar, terdengar suara
Nona Jenkins,

"Tadi ada telepon dari Nyonya Samuel. Dia


minta ditelepon kembali. Negeri Belanda -
nomornya 5391."

Seingatku, itu bukan nomor yang ditulis Nona


Jenkins tadi. Kukira, bukan juga nomor yang
disebutkan oleh peneleponnya tadi.
Aku yakin Nona Jenkins sedang membalas
dendam - karena ia dipaksa mencari surat-surat
Puri Hijau.

BAB 7

SANTAP SIANG DI RESTORAN GEORGE

Di luar, kukatakan kepada Poirot bahwa Tuan


Gabler sesuai dengan namanya - cerewet.

Poirot tersenyum sambil manggut-manggut.


"Dia pasti kecewa kalau kau tidak muncul lagi,"
ujarku. "Ia begitu yakin kau akan membelinya."

"Betul. Tapi kelihatannya dia tak sadar dirinya


dikibuli."

"Sebaiknya kita makan dulu sebelum kembali ke


London. Atau, mungkin kau lebih suka makan di
perjalanan saja?"

"Hastings, aku belum punya rencana buat


meninggalkan Market Basing begitu cepat.
Tujuan kita datang ke sini belum lagi tercapai."

Aku diam keheranan.

"Maksudmu - oh, buat apa? Bukankah nenek itu


sudah mati?"
Nadanya mengucapkan itu membuatku lebih
terbengong bengong. nyata benar bahwa otak
Poirot sangat dipengaruhi oleh surat yang
diterimanya pagi tadi.

"Tapi, Poirot," protesku, "buat apa kaulakukan


semuanya ini kalau orangnya sudah mati? Dia
tidak bisa menjelaskan apa-apa kepadamu.
Problem apapun yang dihadapinya waktu
menulis surat itu -sudah lewat. Perkaranya
sudah selesai."

"Gampang sekali kau mengesampingkan urusan


ini, Hastings. Dengar, tidak ada satu perkara pun
bisa dianggap selesai sebelum Hercule Poirot
mengundurkan diri dari perkara itu."

Mestinya, dari pengalaman aku harus tahu,


bahwa berbantah dengan Poirot tak ada
gunanya. Tapi toh kuteruskan juga.
"Tapi, karena dia sudah mati..."

"Persis, Hastings. Persis. Persis sekali. Berkali-


kali kauulang fakta penting yang satu itu tanpa
menyadari kepentingannya. Nona Arundell
sudah mati."

"Tapi ingat. Poirot. Ia meninggal dengan biasa-


biasa saja... tidak ada keanehan yang
menyangkut kematiannya. Kau dengar sendiri
Tuan Gabler bilang begitu."

"Dia juga yang mengatakan bahwa Puri Hijau


ditawarkan dengan harga 2.850 pound. Kau juga
percaya itu?"

"Tentu saja tidak. Pada pikiranku itu cuma taktik


supaya Puri Hijau cepat laku. Siapa tahu
keadaannya sudah parah sekali - perlu
perbaikan dari pondasi sampai atap? Aku yakin,
dalam hal begitu, kliennya mau menerima
tawaran yang jauh lebih rendah dari harga
permintaannya. Dari depan memang kelihatan
bagus. nyatanya, yang punya ingin cepat-cepat
membebaskan diri dari rumah itu. Pasti ada
apa-apanya."

"Nah," tukas Poirot, "makanya jangan gampang


saja mengatakan 'Kan Gabler bilang begitu.' -
seolah-olah ia nabi yang ucapannya tidak bisa
salah saja."

Hampir aku memprotesnya. Tapi, dengan


isyarat Poirot menghentikan niatku bicara. Kami
tepat melintasi pintu masuk sebuah restoran.
Restoran George. Dan kami pun masuk.

Seorang pelayan mempersilakan kami masuk ke


dalam sebuah ruangan berukuran sedang
dengan semua jendela tertutup rapat. Udara di
situ dipenuhi aroma daging panggang. Kami
dilayani oleh seorang pelayan yang kira-kira
setengah umur. Napas pelayan itu terdengar
berat. Hidangan yang disajikan kepada kami
terdiri dari daging kambing dengan kubis dan
kentang. Kelihatannya kami satu-satunya tamu
siang itu. Selesai dengan hidangan utama,
disajikan buah-buahan dan agar-agar. Sebagai
hidangan penutup, pelayan kami
menghidangkan cairan yang disebutnya sebagai
kopi dengan beberapa potong biskuit.

Poirot memanggil pelayan itu.

"Ya. Saya tahu tempatnya, Tuan. Hemel Down


kira-kira tiga mil dari sini — dijalan Much
Benham. Rumah Pertanian Nylor kira-kira satu
mil. Ada jalan kecil menuju ke situ selewatnya
Patung Kepala Raja. Bisset Grange? Rasanya
saya belum pernah mendengar, Tuan. Puri Hijau
— dekat sekali, Tuan Cuma beberapa menit
berjalan dari sini."
"Ya. Saya sendiri sudah melihatnya dari luar."
ujar Poirot. "Saya rasa Puri Hijaulah yang paling
cocok. Bagaimana keadaannya? Masih bagus?"

"Bagus sekali, Tuan. Atapnya, saluran airnya...


Oh, kalau Pun Hijau saya tahu semuanya bagus.
Kuno memang. Tuan. Belum pernah dipugar
sama sekali Tamannya sangat indah. Nona
Arundell sangat mencintai tamannya."

"Saya dengar pemiliknya bernama Nona


Lawson."

"Betul itu, Tuan. Sekarang memang kepunyaan


Nona Lawson ia dulunya pelayan pribadi Nona
Arundell. Waktu Nona Arundell meninggal,
semua kekayaannya diwariskan kepada Nona
Lawson. Semuanya... rumah, dan... oh,
pokoknya semuanya. Tuan."
"Oh ya? Oh, mungkin Nona Arundell tidak
punya sanak saudara yang masih hidup."

"Sebetulnya bukan begitu. Tuan. Nona Arundell


punya beberapa orang kemenakan. Mereka
masih hidup. Tapi yang selalu menemaninya ya
Nona Lawson itu. Tuan. Dan lagi... yah, dia
sudah tua. Jadi begitulah, Tuan."

"Mungkin cuma rumah yang diwariskan. Jadi


sukar dibagi-bagi."

ditanyakan secara blak-blakan - dengan


menyatakan asumsi yang salah malah akan
mendapatkan jawaban yang benar.

"Oooh, uangnya banyak sekali Tuan. banyaaak


sekali. orang tidak menyangka nenek itu punya
uang sebanyak itu. Surat wasiatnya dimuat di
koran. lengkap dengan jumlah uangnya dan lain
lainnya.
kalau tidak salah, jumlahnya tiga... atau empat
ratus ribu pund, Tuan." "Bukan main," seru
Poirot "Seperti dongeng saja!

Jadi pelayan itu kaya mendadak? Hmmm...


masih mudakah dia? Maksudku, kalau masih
muda Nona Lawson bisa foya-foya...." "Tidak
tuan. Ia sudah cukup tua. Kurang lebih... yah,
setengah baya-an."

"Kemenakan Nona Arundell tentu sangat


kecewa," ujar Poirot.

"Tentu saja, Tuan. Mereka sangat terkejut dan


kecewa. Sama sekali tidak diduga-duga. Orang
jadi berpendapat macam-macam. Ada yang
menyalahkan Nona Arundell - tidak mewariskan
harta miliknya kepada darah dagingnya sendiri.
Tapi ada juga orang yang berpendapat - orang
behas memberikan miliknya kepada siapa yang
disukainya. Keduanya tentu ada benar salahnya,
Tuan."

"Sudah lamakah Nona Arundell tinggal di sini?"

"Ya, Tuan. Dia dan saudara-saudara


perempuannya. Mereka puteri Jenderal
Arundell. Saya belum lahir waktu ayahnya itu
hidup, Tuan. Saya cuma banyak mendengar
ceriteranya. Dia tokoh yang disegani, Tuan.
Pernah memimpin pasukan di India."

"Banyakkah puteri Jenderal itu?"

"Setahu saya yang tinggal di sini tiga orang,


Tuan. Selain itu ada yang kawin satu. Nona
Matilda, Nona Agnes, dan Nona Emily. Yang
duluan meninggal itu Nona Matilda, lalu Nona
Agnes. Nona Emily yang paling akhir."
"Dan itu baru-baru saja?"

"Awal Mei - atau, mungkin juga akhir April,

"Sudah lamakah sakitnya?"

"Dia memang sakit-sakitan sejak lama. Dari dulu


begitu. Tahun lalu sudah hampir meninggal
karena sakit kuning. Tuan. Tapi tidak jadi. Kalau
tidak salah, sudah sejak lima tahun yang lalu dia
sakit-sakitan, Tuan."

"Tapi di sini banyak dokter, kan?"

"Yah. Ada, Tuan. Dokter Grainger. Sudah dua


puluh tahunan dokter itu di sini. Kebanyakan
orang berobat kepadanya. Orangnya sedikit
aneh. Tapi ia sangat pandai. Tak ada
tandingannya. Tuan. Dia punya patner kerja.
Seorang dokter muda. Dr. Donaldson namanya.
Ada memang yang lebih senang berobat ke
dokter muda ini. Dia tipenya lain dengan Dokter
Grainger. Masih ada satu lagi, Tuan... Namanya,
Dokter Harding. Pasiennya

"Dokter Grainger kelihaiannya dokternya Nona


Arundell. Betul?"

Betul, Tuan. Berkali-kali sudah dokter itu


menyembuhkan Nona Arundell. Dia memang
suka menantang orang. Tuan — biar hidup
terus."

Poirot mengangguk-angguk. "Sebelum tinggal di


daerah baru, orang harus mempelajari dulu
lingkungannya Salah satunya cari tahu dokter
mana yang haik." "Betul sekali, Tuan."

Poirot minta diambilkan bon makanannya dan


memberikan tip cukup banyak kepada pelayan
itu.
"Terima kasih banyak. Tuan. Terima kasih.
Mudah-mudahan Tuan jadi menetap di sini."

"Mudah-mudahan." sahut Poirot.

Kami keluar dari restoran George.

"Puas kau, Poirot?" tanyaku sewaktu kami


melangkahkan kaki kembali kc jalan.

"Sama sekali belum. Sobat."

Poirot membelok ke arah yang tidak kuduga-


duga.

"Mau ke mana lagi, Poirot?" tanyaku.


"Gereja. Di sana mungkin ada sesuatu yang
menarik."

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala.

Poirot hanya sebentar meneliti bagian dalam


gereja.

Ia keluar, dan seperti orang iseng, menelusuri


halaman gereja, membaca tulisan pada nisan-
nisan yang berjajar di situ.

Aku tidak terkejut melihat ia berhenti di depan


sebuah semacam monumen terbuat dari
marmer. Tulisan yang agak buram pada
monumen itu menyebutkan:

UNTUK MENGENANG
JOHN LAVERTON ARUNDELL
JENDERAL RESIMEN SIKH KE-24
YANG BERISTIRAHAT DALAM KRISTUS
PADA
19 MEI 1888
DALAM USIA 69 TAHUN
'PERJUANGKAN PERJUANGAN YANG BAIK
DENGAN IMAN DAN HATI NURANI YANG
MURNI'.

JUGA

MATILDA ANN ARUNDELL


YANG MENINGGAL PADA
10 MARET 1912
'AKU AKAN BANGKIT DAN PERGI KEPADA
BAPAKU'
JUGA

AGNES GEORGINA MARY ARUNDELL


YANG MENINGGAL PADA
20 NOVEMBER 1921
'MINTALAH MAKA AKAN DIBERIKAN
KEPADAMU'

Tulisan yang selanjutnya nampak baru dan


sangat jelas:

JUGA

EMILY HARRIET LAVERTON ARUNDELL


YANG MENINGGAL PADA
1 MEI 1936
'JADILAH KEHENDAKMU'
Poirot berdiri memandangi monumen itu
beberapa menit lamanya.

"Tanggal satu Mei... satu Mei...," gumamnya.


"Dan sekarang, tanggal dua puluh delapan Juni
— kuterima suratnya. Kau mengerti, kan,
Hastings — ini harus dijelaskan?" Aku mengerti.

Maksudku, aku tahu Poirot berniat


mengungkapkan teka-teki yang katanya perlu
dijelaskan itu.

BAB 8

DI PURI HIJAU
Sekeluar dari halaman gereja, langkah kami
pasti menuju Puri Hijau. Kupikir Poirot akan
tetap berperan sebagai calon pembeli. Poirot
mendorong pintu gerbangnya, dan langsung
menuju ke pintu depan.

Kali ini kawan baru kami, si Terrier, tidak


nampak meskipun suaranya terdengar di
kejauhan. Kupikir, anjing itu ada di sekitar
dapur.

Kami mendengar langkah kaki di ruang depan.


Seorang wanita membukakan pintu. Wajahnya
sangat menyenangkan. Umurnya kira-kira lima
puluhan. Segera terlihat bahwa wanita ini
seorang pelayan. Pclayan peninggalan zaman
silam, yang jarang ada sekarang.

Poirot memperkenalkan diri.


"Ya, Tuan. Tadi kami sudah ditelepon oleh agen
yang mau menjualkan rumah ini. Silakan
masuk."

Kerai yang pagi tadi tertutup, kini nampak


terbuka lebar menyambut kedatangan kami.
Pada-penglihatanku segala sesuatu di situ amat
bersih dan terpelihara baik Wanita yang
menemani kami tampaknya sangat berhati-hati.

"Ini Ruang Paginya, Tuan."

Kupandangi ruangan itu. Bagus dan


menyenangkan. Jendelanya besar-besar dengan
pemandangan ke jalan. Perabotnya berat dan
kuno, model Zaman Victoria. Meskipun begitu
ruangan itu dihuni pula oleh sebuah rak buku
ringan dan satu stel kursi santai berwarna putih
menarik.
Kami bersikap sebagai layaknya calon pembeli
rumah. Berdiri mengamati, sambil berkomentar
macam, "Bagus sekali." "Menyenangkan."
"Ruangan apa Anda bilang tadi?"

Kami dibawa ke ruangan yang berseberangan


letaknya dengan Ruang Pagi. Yang ini jauh lebih
luas.

"Ini Ruang Makan, Tuan." Ruangan ini betul-


betul diperaboti dengan model Victoria. Sebuah
meja makan besar dari kayu berpelitur gelap,
sebuah bupet berukir dan berpelitur sama gelap
serta kursi makan dengan bantalan kulit asli.
Pada dindingnya tergantung beberapa potret.
Kelihatannya potret keluarga.

Si Terrier masih kedengaran terus menyalak-


nyalak. Mula-mula suaranya terdengar jauh.
Tiba-tiba suaranya terdengar lebih jelas,
bersamaan dengan suara kakinya yang berlari-
lari kecil.

"Siapa yang berani-berani masuk? Kuhajar dia,"


begitu kelihatannya ia berkata.

"Oh, Bob - kau mulai nakal lagi, ya...." seru


pclayan yang menyertai kami. Jangan hiraukan
dia, Tuan. Dia tidak galak."

Melihat siapa tamunya. Bob segera mengubah


sikapnya. Ia menghampiri kami dan
memperkenalkan diri dengan manisnya.

"Aku senang berkenalan denganmu." begitu


pandangannya berkata sementara dia
mengelilingi kami sambil mendengus-dengus.
"Maafkan salakan-ku tadi. Aku cuma melakukan
tugas. Aku harus berhati-hati membiarkan tamu
masuk. Hidupku membosankan. Aku senang kau
bertamu. Kau mengerti jiwa anjing. Punya
anjingkah kau di rumahmu?"

Kata-kata itu seolah ditujukannya kepadaku.


Kutepuk dia.

"Anjing ini manis ujarku kepada pelayan tadi.

"Memang, Tuan."

Sudah tuakah dia?" "Belum. Bob baru berumur


enam tahun. Kadang-kadang kelakuannya masih
seperti anjing kecil. Menggigit gigit sandal koki
dan membawanya ke mana-mana. Dipikirnya itu
mainan. Mendengar dia menyalak seperti tadi,
Anda tidak akan percaya bila saya katakan
anjing ini sangat lembut. Satu-satunya orang
yang diserangnya cuma Tukang Pos. Dan sampai
sekarang Tukang Pos kami selalu ketakutan jika
melihat Bob."
Sekarang Bob memperhatikan ujung bawah
pantalon Poirot. Setelah puas mempelajarinya
ia mendengus dengus dan kembali ke dekatku.
Duduk sambil memiringkan kepalanya, ia
memandangku penuh harap.

"Saya tidak mengerti mengapa anjing sangat


membenci tukang pos," ujar pelayan itu lagi.

"Pasti ada alasannya, komentar Poirot. "Anjing


makhluk yang cerdik; ia mengambil kesimpulan
dari apa yang dilihatnya ia segera tahu siapa-
siapa yang boleh masuk ke dalam rumah dan
siapa-siapa yang tidak. Eh bien[baiklah], siapa
orangnya yang sering ngotot mengetuk pintu
rumah lapi tak pernah disilakan masuk? Tukang
Pos. Pasti dalam pikiran anjing itu,

si Tukang Pos bukan tamu yang disukai


majikannya. Karena itu anjing itu merasa bahwa
ia punya tugas mengusir orang yang tidak
disukai ini; menggigitnya bilamana perlu. Jalan
pikirannya bagus. Dapat diterima oleh akal
sehat."

Poirot tersenyum kepada Bob.

"Dia sangat pandai kelihatannya."

"Ya. Betul, Tuan. Kadang-kadang Bob seperti


manusia malahan."

Pelayan itu membuka pintu ke ruangan yang


lain. "Ini Ruang Santai, Tuan."

Ruangan ini, kelihatannya, penuh kenangan


lama. Tirai jendelanya yang bermotif mawar
tampak sudah lusuh dindingnya digantungi
lukisan-lukisan dari cat air. Di sana-sini
diletakkan patung keramik Cina berbentuk
penggembala. Bantal-bantal kursinya diberi
bersarung rajutan Tampak beberapa potret
lusuh dalam pigura indah terbuai dari perak.
Yang paling menarik perhatianku adalah
boneka-boneka perempuan yang diletakkan
dalam peti kaca. Ada dua boneka. Yang satu
memegang alat pintal benang, yang lain
memangku seekor kucing. Boneka-boneka itu
terbuat dari kertas tissue, dan dibentuk bagus
sekali.

Ruang ini betul-betul mengingatkan orang pada


zaman dulu, zaman kehidupan tenang dan
damai. Ruang semacam ini betul-betul
diciptakan untuk bersantai. Di sini para wanita
duduk mengerjakan kerajinan tangan. Dan bila
ada anggota keluarga dari jenis laki-laki ikut
nimbrung dan merokok di situ, dapat
dibayangkan betapa keras kerja pelayan
membersihkan ruangan itu setelahnya.
Perhatianku tertarik oleh sikap Bob. ia duduk
seperti memikirkan sesuatu di dekat lemari kecil
berbentuk elegan dan berlaci dua.

Ketika ia tahu bahwa aku memperhatikannya, ia


mengeluarkan bunyi-bunyian aneh,
memandangku dan kemudian memandang
lemari kecil di sampingnya.

"Apa yang kauinginkan?" tanyaku.

Perhatian kami terhadap Bob rupanya


menyenangkan hati pelayan yang menemani
kami. Pasti wanita itu sangat sayang pada Bob.

"Bola mainannya, Tuan. Bolanya selalu disimpan


di situ. Itu sebabnya dia duduk di situ dan minta
diambilkan bolanya." Suaranya berubah.
Dengan suara hampir melengking ia berkata
kepada Bob, "Bolamu tidak di situ lagi, Sayang.
Bola Bob sekarang di dapur tempatnya. Di
dapur, Bobsie."

Bob mengalihkan perhatiannya kepada Poirot


dengan tak sabar.

"Perempuan ini tolol," matanya berkata. "Lain


denganmu- Kau kelihatannya berotak- Bola ada
tempatnya - laci ini salah satunya. Di situ selalu
ada bola. Sekarang pun harus ada. Itu logis,
kan?" Hei. bolamu sudah tidak ada di situ
sekarang," ujarku.

Dia memandangku ragu. Ketika kami beranjak


meninggalkan ruangan itu. ia mengikuti kami
dengan sikap tidak yakin.

Kami dibawa melihat berbagai lemari, sebuah


ruangan tempat menyimpan jas di ruang
bawah, dan sebuah dapur kecil. "Di sini Nona
sering merangkai bunga, Tuan."
"Kau bekerja di sini sudah lama?" tanya Poirot.

"Dua puluh dua tahun, Tuan."

"Sendirian?"

"Sekarang saya berdua dengan koki, Tuan**


"Dia juga sudah lama bekerja untuk Nona
Arundell?"

"Empat tahun, Tuan. Koki yang sebelumnya


meninggal dunia."

"Seandainya saya jadi membeli rumah ini,


maukah kau terus bekerja di sini?"

Wajah pelayan itu bersemu merah.


"Anda baik sekali, Tuan. Tapi saya sudah ingin
istirahat. Nona Arundell meninggali sedikit
uang. Saya punya rencana tinggal di tempat
saudara saya. Saya cuma tinggal di sini
membantu Nona Lawson-sampai rumah ini
terjual - menjaga dan merawat rumah ini,
maksud saya."

Poirot mengangguk.

Sementara suasana menjadi hening, terdengar


suara baru: Bum, bum, bum. Suara itu terdengar
berulang-ulang dari ruangan atas.

"Itu Bob, Tuan." Pelayan itu tersenyum.


"Rupanya dia menemukan bolanya. Dia selalu
bermain bola di tangga. Itu mainan
kesukaannya."
Ketika kami sampai ke kaki tangga, sebuah bola
hitam menggelinding sampai ke bawah.
Kupungut bola itu dan kutengok Bob di kepala
tangga. Ia sedang berbaring. Mulutnya
menganga dan ekornya bergerak-gerak.
Kulemparkan bola itu kepadanya. Bob
menangkapnya dengan mulutnya. Digigitnya
bola itu beberapa lama, dan kemudian
dilepaskannya hingga bola itu kembali
menggelinding ke bawah.

"Kalau sudah bermain bola, bisa berjam-jam,


Tuan. Apalagi kalau ada temannya. Sehari pun ia
tidak puas. Cukup, Bob. Tuan-tuan ini ke sini
bukan untuk main bola denganmu."

Seekor anjing bisa menjadi penolong. Perhatian


dan kesukaan kami pada Bob telah
menjembatani hubungan kami dengan pelayan
itu. Ia menjadi ramah, dan tidak lagi kaku.
Sementara kami menuju ruang tidur di lantai
atas, ia berceritera dengan penuh gairah
mengenai kelucuan-kelucuan Bob. Bola Bob
dibiarkan berhenti di kaki tangga. Waktu kami
melewatinya, Bob kelihatannya sangat marah
karena kami tak mau terus bermain-main
dengannya. Meskipun begitu, ia turun -
mengambil sendiri bolanya - dan mengikuti
kami.

Di ruang tidur, Poirot mulai memancing pelayan


itu.

"Ada empat nona Arundell yang pernah tinggal


di sini. Betulkah?" tanyanya.

"Mula-mula begitu, Tuan. Tetapi itu sebelum


saya bekerja di sini. Waktu saya masuk, tinggal
Nona Agnes dan Nona Emily yang ada di sini.
Nona Agnes meninggal beberapa tahun
kemudian. Sebetulnya dia yang paling muda di
antara saudara-saudaranya. Aneh, dia pergi
mendahului yang lain."
"Mungkin ia tidak sekuat kakaknya."

"Tidak, Tuan. Aneh, memang. Tapi, Nona saya -


Nona Emily Arundell dari dulu yang paling sakit-
sakitan. Sepanjang hidupnya ia hampir selalu
berurusan dengan dokter. Nona Agnes kuat dan
sehat. Tapi dia meninggal lebih dahulu. Sedang
Nona Emily yang ringkih malah hidup paling
lama. Aneh sekali, bukan?"

"Benar. Seringkah yang aneh-aneh begitu yang


terjadi."

Poirot meneruskan kalimatnya itu dengan


ceritera mengenai pamannya. Aku tak akan
bersusah-susah menceriterakan kembali
ceriteranya di sini. Yang jelas ceritera Poirot
mempunyai pengaruh yang menguntungkan.
Obrolan mengenai kematian dan yang
sebangsanya ternyata lebih mudah membuka
kunci lidah seseorang daripada topik-topik
lainnya. Kini Poirot dalam posisi siap
menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang dua
puluh menit yang lalu akan disambut dengan
sikap curiga dan garang.

"Apakah Nona Arundell lama dan parah


sakitnya?"

"Tidak, Tuan. Tapi kesehatannya memang sudah


sejak lama buruk. Dua tahun yang lalu Nona
pernah sakit kuning hebat. Beliau tidak bisa
makan sama sekali. Dokter Grainger pun ragu
Nona akan bisa tetap hidup- Tapi Dokter
Grainger tahu cara menyembuhkan Nona
Arundell. Nona Arundell orangnya harus
ditantang, begitu katanya. Dokter Grainger,
kalau tak salah bilang begini, 'Sudah yakin
kepingin mati, Emily?' - dan Nona menjawab,
'Aku masih punya keinginan buat hidup,
Dokter.' Dokter Grainger lalu mengatakan, 'Hm,
bagus! Senang aku mendengarnya.' Pernah
Nona dirawat oleh suster dari rumah sakit.
Susternya berpikir - sudah tidak ada harapan, ia
mengadu kepada Dokter Grainger. Bilang Nona
tak mau makan sama sekali. Dokter
memarahinya, Tuan. 'Omong kosong,' katanya,
'Kau tak tahu bagaimana menyuruhnya makan.
Tantang dia!' Apa yang dikatakan Dokter
Grainger sesudah itu tak pernah terlupakan oleh
saya, Tuan. Begini katanya, 'Aku mengerti - kau
masih muda, Suster. Kau belum mengerti
betapa kuatnya penarungan dalam jiwa orang
tua untuk mempertahankan hidupnya. Justru
orang yang muda-muda yang umumnya lebih
gampang mati. Mereka kurang punya gairah
untuk melanjutkan hidup. Orang yang bisa
mencapai usia tujuh puluh tahun - itu
menandakan dia orangnya tangguh, dan punya
kemauan hidup yang besar.' Dan itu memang
benar, Tuan. Orang-orang tua memang
mengagumkan. Begitu hidup dan begitu
bergairah menjaga kekuatan badannya. Itu
sebabnya, saya kira, mereka bisa hidup begitu
lama dan menjadi begitu tua. Orang yang gairah
hidupnya hampir tak ada, pasti cepat matinya."
"Yang kaukatakan sangat betul. Dan Nona
Arundell - bagaimana orangnya? Apakah seperti
begitu - besar semangat hidupnya?"

"Ya, Tuan. Kesehatannya memang jelek. Tapi


otaknya... bukan main. ia cerdas. Kemauannya
kuat. Buktinya ia sembuh. Oh, juru rawatnya
betul-betul terkejut ketika itu."

"Sembuh sama sekali?"

"Benar, Tuan. Tentu saja Nona harus berdiet.


Mula-mula makanannya cuma boleh direbus
atau dikukus. Nona sama sekali tak boleh makan
goreng-gorengan. Nona juga tidak boleh makan
makanan yang berlemak, tidak boleh makan
telur. Oh, tentu saja sangat membosankan
makanannya."
"Tapi yang penting dia sehat kembali, kan?"

"Benar, Tuan. Memang Nona beberapa kali lagi


jatuh sakit setelah sakit kuning yang hebat itu.
Tapi tak pernah separah yang satu itu. Nona
kadang-kadang agak sembrono sih - sembrono
mengawasi makanannya sendiri, maksud
saya..."

"Sakitnya yang terakhir - apakah sama dengan


sakitnya yang parah dua tahun yang lalu itu?"

"Hampir sama. Tuan. Tubuhnya menjadi


berwarna kekuning-kuningan, dan kelihatannya
sangat menderita. Salah Nona sendiri. Malam
itu Nona makan kare. Kan kare berlemak sekali,
Tuan." "Oh, jadi sakitnya mendadak?"

"Memang begitu, Tuan. Tapi Dokter Grainger


mengatakan sebetulnya Nona sudah agak lama
sakitnya. Nona selesma- udaranya memang
kurang enak hari-hari itu. Lalu Nona makan
makanan yang terlalu berlemak..."

"Mengapa Nona Lawson tidak mencegahnya?


Dia pelayan pribadi Nona Arundell. bukan?"

"Mana bisa Nona Lawson melarang Nona


Arundell. Nona Arundell - orangnya tidak mau
diperintah orang lain, Tuan."

"Apakah waktu sakit dua tahun yang lalu Nona


Lawson sudah menjadi pelayan pribadi Nona
Arundell?"

"Belum, Tuan. ia baru setahun bekerja di sini."

"Sebelum Nona Lawson bekerja di sini, apakah


Nona Arundell juga punya pelayan pribadi?"
"Ada beberapa orang. Tuan, yang pernah jadi
pelayan pribadi Nona Arundell. Ganti-ganti
terus."

"Oh, jadi pelayan pribadinya rupanya tak betah


tinggal lama seperti pelayan lainnya?" komentar
Poirot sambil tersenyum.

Wajah Klien merah padam.

"Lain, Tuan. Nona Arundell jarang keluar. Dan


lagi..." Ia berhenti.

Poirot memperhatikannya sejenak. Kemudian


katanya,

"Aku mengerti bagaimana umumnya sikap


seorang wanita yang sudah lanjut usia. Mereka
terlalu menuntut kesempurnaan.
Kecerewetannya, bisa mengakibatkan habisnya
kesabaran orang yang melayaninya."

"Anda pandai sekali, Tuan. Tepat sekali yang


Tuan katakan tadi. Pada mulanya, pelayan
pribadi Nona memang kelihatan senang. Nona
Arundell punya banyak ceritera - tentang masa
kecilnya, tentang pandangan hidupnya, tentang
tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, dan
banyak lagi masalah-masalah lain yang suka
dibicarakannya. Tetapi, lama-lama ceriteranya
habis. Kalau sudah begitu, pelayan pribadinya
cepat menjadi bosan"

"Aku mengerti. Dan, antara kita saja, kupikir


orang yang bekerja sebagai pelayan pribadi itu
orang yang umumnya kurang menyenangkan,
bukan?"

"Betul, Tuan. Rata-rata menjengkelkan mereka


itu. Dan, - eh - kadang-kadang juga bodoh.
Tuan. Nona Arundell sendiri sering bosan sama
mereka. Kalau sudah begitu, Nona mencari
pelayan pribadi yang baru."

"Bagaimana dengan Nona Lawson. Apakah


Nona Arundell cocok dengannya?" "Yah... tidak
juga, Tuan."

"Jadi Nona Lawson tidak punya keistimewaan?"


"Rasa-rasanya tidak, Tuan. Orangnya biasa-biasa
saja."

"Kau sendiri menyukainya?" Ellen terdiam


sejenak.

"Sifatnya - tidak ada yang mesti tidak disukai,


Tuan. Juga tidak ada yang mesti disukai. Agak
cerewet orangnya. Tapi itu biasa. Orang tua -
pengikut aliran... spiritual."
"Spiritual?" tanya Poirot terkejut.

"Benar, Tuan. Spiritual katanya. Sering duduk


mengelilingi meja di ruang gelap - memanggil
roh orang-orang mati. Katanya roh bisa bicara,
Tuan.

Saya sendiri berpendapat perbuatan begitu


tidak cocok dengan ajaran agama."

"Oh, jadi Nona Lawson ini seorang spiritualis


rupanya. Apakah Nona Arundell juga pengikut
aliran ini?"

"Oh, Nona Lawson pernah mengajaknya," nada


Ellen mengucapkannya seolah mengungkapkan
kepuasan yang selama ini terpendam.

"Tapi ditolak?"
"Nona Arundell bukan orang bodoh," Ellen
berkata lagi. "Bukan berarti Nona Arundell tidak
menganggap permainan itu tidak
menyenangkan, Tuan. Nona senang. Tapi Nona
tak pernah percaya. Sering Nona mengatakan.
'Coba yakinkan aku!' -tapi tak jarang juga Nona
mengelus dada sambil berkata, 'Minnie, Minnie
- betapa bodohnya kau percaya yang begituan."

"Jadi Nona Arundell bukan pengikut, cuma


penggemar?"

"Ya, Tuan. Nona cepat bosan. Kalau sudah


begitu. Nona suka seperti anak nakal sementara
yang lain serius."

"Yang lain? Siapa yang lain?"

"Maksud saya, Nona Lawson dan Nona Tripp."


"Apakah Nona Lawson benar-benar percaya
pada aliran ini?"

"Ya, Tuan."

"Dan Nona Arundell sangat dekat dengan Nona


Lawson?"

Ini kedua kalinya Poirot menanyakan


pertanyaan yang sama. Jawaban yang
diperolehnya pun tidak berbeda.

"Ah, tidak juga, Tuan."

"Tapi," tukas Poirot, "Nona Arundell


mewariskan semua hartanya kepadanya."
Perubahan terjadi sangat cepat. Sikap ramah
dan kesantaian Ellen hilang, digantikan dengan
sikapnya sebagai pelayan rumah tangga yang
disiplin. Perempuan itu menarik diri. Dengan
sopan ia berkata,

Kupikir Poirot salah langkah — kurang hati-hati


menggunakan kesempatan yang diciptakannya
sendiri. Tapi kuperhatikan, ia cukup bijaksana —
tidak terlalu cepat mengembalikan situasi.
Setelah memberi komentar mengenai ukuran
dan banyaknya kamar tidur, ia melangkah ke
arah tangga.

Bob tak kelihatan lagi di situ. Tapi, ketika sampai


di ujung atas tangga, kakiku tersandung
sesuatu. Hampir aku jatuh dibuatnya. Untung
aku cepat berpegang pada pagar tangga.
Kutengok, di dekat kakiku kudapati bola mainan
Bob.
"Maaf, Tuan. Bob memang sembrono. Dia
sering meninggalkan bolanya di situ. Di atas
karpet warna gelap begini bola hitam tidak
nampak jelas. Nona Arundell sendiri pernah
jatuh gara-gara bola itu. Untung saja beliau
tidak meninggal. Dokter Grainger bilang, orang
bisa saja mati karena kecelakaan seperti itu?"

Mendadak Poirot berhenti di situ. "Maksudmu


— Nona Arundell pernah jatuh dari sini?

"Ya, Tuan. Bob memang sembrono. Habis


bermain-main meninggalkan bolanya begitu
saja di situ. Nah, Nona Arundell suka keluar dari
kamarnya malam-malam. Rupanya waktu itu
beliau mau turun. Malang, Tuan, kakinya
tersandung bola Bob. Beliau jatuh
menggelinding ke bawah sana. Oh, untung saja
beliau selamat." "Banyak cideranya?"
"Tidak sebanyak yang mungkin Tuan kira. Nona
Arundell sangat beruntung. Dokter Grainger
berpendapat begitu, Tuan. Nona cuma keseleo
otot punggungnya, luka sedikit di kepalanya,
lecet-lecet ringan dan shock. Tuan. Seminggu
Nona tidak turun-turun dari tempat tidur."

"Kejadian ini sudah lama terjadinya?"

"Kira-kira... seminggu, atau... dua minggu


sebelum beliau meninggal."

Poirot membungkuk, memungut sesuatu yang


— aku tahu — sengaja dijatuhkannya.

"Maaf. Pulpen saya jatuh... Uh! Ini dia!"

Ia kembali berdiri.
"Bob rupanya memang sembrono kalau begitu,"
ujar Poirot menyelidik.

"Tapi dia tak tahu apa-apa. Tuan," bela Ellen


cepat. Suaranya lembut dan merdu. "Bob
memang sering seperti manusia tingkahnya.
Tapi, bagaimanapun ia tetap seekor anjing. Kita
tak bisa mengharapkan terlalu banyak darinya.
Nona sering susah tidur. Malam-malam, Nona
sering sibuk sendiri — ke sana-sini, turun ke
bawah kadang-kadang...."

"Seringkah begitu?"

"Hampir tiap malam, Tuan. Tapi Nona tak mau


ditemani siapa pun."

Poirot balik ke Ruang Santai sekali lagi.


"Ruangan ini sangat indah," komentarnya.
Pandangannya berkeliling ke sekitar ruangan,
mengamati setiap sudut dan dindingnya. "Kira-
kira lemari bukuku bisa masuk ke sini tidak,
Hastings?" tanyanya tiba-tiba.

Terkejut, kujawab bahwa sebaiknya diukur saja


dulu.

"Betul," ujarnya. "Tolong ukurkan dengan


penggaris kecilku ini, Sobat. Sini. biar aku yang
mencatat ukurannya."

Patuh, kuambil penggaris kecil yang


disodorkannya, dan kuukur apa yang diminta
Poirot. Sementara itu Poirot menulis di balik
sebuah amplop.

Heran aku melihat tingkahnya. Biasanya ia


mencatat sesuatu dengan rapi dalam buku
notesnya. Namun keherananku hilang ketika
Poirot menyerahkan amplop itu kepadaku
sambil berkata,

"Betul begini kan, ukurannya? Coba periksa


sekali lagi."

Tak sebuah angka pun kulihat di situ. Yang


terbaca: "Kita akan kembali lagi ke atas. Pura-
puralah lupa bahwa kau punya janji dengan
seseorang, lalu pinjamlah telepon. Minta si
pelayan menemanimu ke tempat telepon, dan
usahakan dia di situ selama mungkin."

"Betul," sahutku mengantongi amplop tadi.


"Kupikir dua-duanya malah bisa masuk ke sini."

"Bolehkah saya melihat sekali lagi kamar


tidurnya yang di atas?" tanya Poirot. "Saya ingin
mengukur juga di situ."
"Silakan, Tuan."

Kami kembali ke atas. Poirot sedang mengukur


dan memperbincangkan tentang kemungkinan
mengubah letak tempat tidur dan lemari yang
ada di situ ketika tiba-tiba kutengok jam
tanganku dan aku berseru dengan sedikit
kelewat lantang,

"Ya ampun, Poirot. Sudah jam tiga! Anderson


pasti marah. Aku mesti meneleponnya segera."
Kudekati Ellen. "Boleh pinjam teleponnya?"

"Tentu saja, Tuan, Teleponnya ada di bawah, di


dekat Ruang Tamu. Mari, saya antarkan."

Ellen menyertaiku turun, dan menunjukkan


tempat teleponnya. Kuminta ia membantuku
mencari nomor telepon Anderson. Akhirnya,
kuputar nomor telepon seorang bernama
Anderson yang tidak kukenal. Untunglah
orangnya tak ada. Maka kutinggalkan pesan,
bahwa aku akan meneleponnya kembali sore
nanti.

Waktu aku keluar dari ruangan tempatku


menelepon tadi, kudapati Poirot sudah turun. Ia
sedang berdiri di Ruang Tengah. Matanya
bersinar-sinar. Aku tak mengerti apa penyebab
kegirangan hatinya. Tapi aku yakin, ada sesuatu
yang menggembirakannya.

"Tentu majikanmu sangat hebat shock-nya jatuh


dari ketinggian seperti ini. Apakah setelah itu ia
bersikap takut-takut, atau bersikap lain
terhadap Bob dan bolanya?"

"Bagaimana Tuan bisa mengatakan begitu?


Benar sekali. Tuan. Nona gelisah terus menerus.
Pikirannya selalu ke situ. Bahkan, ketika hampir
meninggal pun ia masih berkata-kata mengenai
Bob dan bolanya. Nona mengigau, tentu saja.
Aneh-aneh yang dikatakannya... toples...
lukisan... Bob.... Saya tidak mengerti apa
maksudnya, Tuan."

"Sebentar," ucap Poirot tiba-tiba. "Saya perlu ke


Ruang Santai sekali lagi."

Di situ Poirot mengamati barang-barang


keramik yang menghiasi lemari dan beberapa
meja kuno. Sebuah guci bertutup nampaknya
menarik perhatiannya. Guci cina itu berlukiskan
seekor anjing bulldog yang sedang duduk di
depan pintu. Di bawahnya tertulis komentar
nakal: Semalaman keluar, tidak punya kunci...

Setahuku Poirot kurang menyukai barang-


barang antik semacam itu. Anehnya, kali ini
nampaknya ia sangat terpesona.
"Semalaman keluar, tidak punya kunci..."
gumamnya. "Lucu benar! Benarkah Bob sering
begitu?"

"Jarang sekali. Tuan. Bob anjing yang baik."

"Ya, memang kelihatannya dia sangat baik. Tapi,


anjing yang terbaik pun..."

"Benar, Tuan. Yang Tuan katakan itu benar!


Sesekali Bob memang keluar malam. Pagi, kira-
kira jam empat ia kembali. Kalau pulang ia
duduk di depan pintu, menyalak-nyalak minta
dibukakan

"Siapa biasanya yang membukakan pintu


buatnya? Nona Lawson?"

"Yah... siapa saja, Tuan - yang kebetulan


mendengarnya. Yang terakhir Nona Lawson.
Tepat pada malam terjadinya kecelakaan itu.
Tuan. Maksud saya, malam Nona Arundell jatuh
dari tangga itu. Nona Lawson buru-buru turun.
Takut Bob menyalak lebih keras lagi dan
mengganggu Nona Arundell. Nona Arundell
suka merasa gelisah kalau tahu Bob tidak ada di
rumah. Itulah sebabnya, malam itu. Nona
Arundell tidak diberi tahu hahwa si Bob sedang
nakal - menghilang dari rumah..."

"Maksudmu, Nona Lawson berpendapat bahwa


sebaiknya Nona Arundell tidak diberi tahu?"

"Begitu katanya, Tuan. Toh Bob pasti pulang.


Buat apa membuat gelisah Nona."

"Bagaimana sikap Bob terhadap Nona Lawson?


Apakah Bob suka padanya?"

"Yah... kelihatannya sih. Tuan, Bob sering benci


pada Nona Lawson. Anjing memang kadang-
kadang membingungkan. Padahal Nona Lawson
sangat menyayanginya, ia suka memanggil Bob -
Doggie manis -- dengan penuh kasih sayang.
Tapi Bob selalu menggeram. Tak pernah Bob
mau menuruti perutlah Nona Lawson."

Poirot mengangguk-angguk.

Tiba-tiba ia berbuat sesuatu yang sangat


mengejutkan.

Ia mencabut secarik kertas dari saku bajunya -


surat Nona Arundell yang diterimanya tadi pagi.

"Ellen," ujarnya. "Kau tahu surat ini?"

Perubahan wajah Ellen sangat kentara.


Perempuan itu menganga. Dari matanya
kelihatan bahwa perasaannya tak menentu.

"Oh," ujarnya hampir terlompat. "Tidak."

Mungkin kurang cermat pengamatanku. Tapi


kesan yang kudapat, bukan itu yang dimaksud
Ellen.

Nampak memaksa dirinya berani, Ellen


kemudian berkata:

"Kalau begitu, Anda... Oh, Tuanlah yang ditulisi

"Benar, Ellen. Aku Hercule Poirot" Srperti


kebanyakan orang yang lain, Ellen tidak
memperhatikan kartu bukti diri yang disodorkan
oleh Poirot pada awal kunjungannya. Ellen
menundukkan kepala.
"Jadi," gumamnya, "Anda Hercule Poirot. Oh,
Tuhan!" serunya tiba-tiba. "Koki pasti tidak
percaya."

Segera Poirot berkata,

"Bagaimana kalau kita bersama ke dapur dan


membicarakan ini dengan Koki sekaligus."

"Silakan, kalau Tuan mau."

Kedengarannya Ellen sedikit ragu. Nampak


sekali dilema sosial macam begini baru sekali
dihadapinya. Namun sikap Poirot yang apa
adanya menimbulkan keyakinan pada diri
perempuan itu. Kami melangkah ke dapur. Ellen
mengisahkan apa yang terjadi kepada seorang
perempuan yang sedang mengangkat ketel dari
kompor gas. Seperti Ellen, wajah perempuan ini
pun menyenangkan.

"Pasti kau tak percaya, Annie - Tuan ini orang


yang ditulisi surat oleh Nona Arundell. Surat
yang itu, tuh - yang kutemukan dalam map
surat itu...."

"Ellen, saya belum tahu sama sekali mengenai


sejarah surat itu," kata Poirot. "Maukah kau
menceriterakan - misalnya, mengapa begitu
lambat dikirimkannya?"

"Terus terang, Tuan - kami tidak tahu apa yang


mesti kami lakukan."

"Ya, Tuan. Kami sungguh-sungguh bingung,"


kata si Koki menimpali.
"Waktu Nona Lawson bersih-bersih, banyak
sekali barang-barang yang dibuangi. Salah
satunya, sebuah map berisi beberapa lembar
kertas surat. Cantik sekali rupanya, Tuan. Bagian
depannya bergambar bunga lily. Map itu
kepunyaan Nona Arundell. Kalau Beliau sakit
dan ingin menulis surat di tempat tidur, map itu
yang biasanya dipakainya. Nah, map itu dibuang
oleh Nona lawson. Kalau mau, boleh diambil
begitu katanya. Map itu begitu bagus. Sayang
dibuang. Jadi saya ambil. Saya menyimpannya di
laci. Kemarin, saya berniat memasukkan
beberapa lembar kertas surat baru. Maksud
saya, supaya mudah kalau saya mau menulis
surat kapan-kapan. Saya iseng merogoh-rogoh
selepitan map itu. Eh, di situ saya menemukan
amplop dengan tulisan Nona Arundell.

"Seperti yang saya katakan tadi. Tuan, saya tak


tahu apa yang mesti saya lakukan. Saya tahu
pasti itu tulisan Nona Arundell. Mungkin Nona
Arundell memasukkannya ke situ setelah selesai
menulisnya, dan lalu lupa mengeposkan. Nona
memang sering pelupa. Pernah kami mencari-
cari kuitansi pembayaran listrik. Ternyata, lama
setelah itu baru ketemu... di rak meja tulis
Nona." "Apakah Nona Arundell sembrono?"
"Malah sebaliknya. Tuan. Sangat rapi. Itu juga
salah satu penyebabnya. Nona tak suka melihat
kertas bercecer di mana-mana. Apa yang
kelihatan bercecer, selalu disimpannya. Tapi dia
pelupa, dan tak tahu lagi di mana dulu sesuatu
disimpannya." "Misalnya, bolanya Bob?" tanya
Poirot terse-Yang dibicarakan melompat dari
luar dan menyapa kami dengan ramahnya.

"Benar, Tuan. Setiap kali Bob selesai bermain-


main, Nona selalu menyimpan bolanya. Tapi
bola Bob tak pernah terselip tidak keruan.
Sudah ada tempatnya sendiri. Laci yang saya
tunjukkan kepada Tuan tadi tempatnya."

"Oh. disitu..," komentar Poirot. "Mengenai surat


tadi, bagaimana kelanjutannya?"
"Oh, sesudah itu... saya tanya sama Annie - apa
yang sebaiknya saya lakukan. Membakarnya,
saya tak mau, Tuan, dan membukanya, saya
juga tidak berani. Selain itu, kami berpendapat
surat itu bukan urusan Nona Lawson. Jadi tak
ada perlunya diberikan kepadanya. Setelah
berunding sebentar, saya beri perangko
amplopnya dan saya masukkan ke kotak pos."

Poirot menoleh kepadaku "Voila,[Begitulah]"


gumamnya. Tak bisa menahan diri, aku berkata
nakal, "Bukan main! Ternyata begitu sederhana
masalahnya."

Kulihat Poirot agak terkejut dan kurang suka


mendengar komentarku.

ia mengalihkan kembali perhatiannya kepada


Ellen.
"Seperti yang baru saja dikatakan teman saya:
ternyata sederhana sekali masalahnya. Kau
tahu, Ellen, waktu saya menerima surat ini, saya
sangat terkejut. Melihat tanggalnya, saya jadi
bertanya-tanya. Sebab, sudah lebih dari dua
bulan yang lalu tanggalnya."

"Oh, tentu saja, Tuan," ujar Ellen. "Oh, kami tak


berpikir sejauh itu, Tuan."

"Di samping itu," lanjut Poirot sambil


berdehem, "saya menghadapi sesuatu...
katakanlah yang saya hadapi itu suatu dilema.
Nona Arundell minta bantuan saya. ia meminta
saya menyelidiki sesuatu yang silatnya sangat
pribadi," sekali lagi Poirot berdehem. "Sekarang
ternyata Nona Arundell sudah meninggal. Saya
jadi bingung... apa yang mesti saya lakukan...
melaksanakan permintaannya, atau apa? Yah,
ini tentu saja sulit. Sulit sekaji."
Kedua perempuan itu memandang Poirot penuh
hormat.

"Mungkin sebaiknya saya menemui


pengacaranya. Nona Arundell punya pengacara,
bukan?"

Ellen cepat menjawab,

"Punya, Tuan. Namanya Tuan Purvis. Alamatnya


di Herchester."

"Apakah kira-kira Tuan Purvis ini mengetahui


semua masalah Nona Arundell?"

"Kemungkinan ia tahu, Tuan. Seingat saya, dari


dulu Tuan Purvis yang mengurus semua
masalah Nona. Tuan Purvis jugalah yang
dipanggil Nona pertama-tama setelah Nona
jatuh itu."
"Setelah Nona Arundell jatuh dari tangga itu,
maksudnya?"

"Benar, Tuan."

Tunggu. Tanggal berapa persisnya kejadian itu?"


Koki menyahut,

"Sehari setelah Paskah. Saya ingat sekali.


Soalnya, saya terpaksa tidak bisa ambil libur -
Nona Arundell banyak tamunya. Saya ambil
libur hari Rabunya, setelah tamu-tamu pulang."

Poirot merogoh almanak kecil dari sakunya.

"Tepat. Tepat sekali. Paskah jatuh pada tanggal


tiga belas. Nona Arundell jatuh pada tanggal
empat belas-nya. Lalu surat ini dia tulis tiga hari
sesudahnya. Sayang tidak segera diposkan. Tapi
mungkin belum terlambat." Poirot berhenti
sejenak. "Kupikir-pikir, eh - mungkin permintaan
Nona Arundell itu ada hubungannya dengan
salah seorang tamu yang baru saja
kausebutkan."

Komentar ini ditanggapi cepat. Pada wajah Ellen


terbersit suatu ekspresi yang cerdik, seolah ia
tahu sesuatu, ia berpaling kepada Koki, dan Koki
menyambutnya dengan kerlingan.

"Pasti yang dimaksud itu Tuan Charles," ujarnya.

"Siapa saja sih tamunya?" tanya Poirot.

"Dokter Tanios dan isterinya, Nyonya Bella.


Selain itu, Tuan Charles dan Nona Theresa,
adiknya."
"Mereka semua masih ada hubungan keluarga
dengan Nona Arundell?"

"Ya, Tuan. Mereka kemenakan Nona Arundell


Dokter Tanios tentu saja bukan kemenakan
langsung. Ia suami Bella. Bella itu anak adik
perempuan Nona Arundell."

"Jadi, ceriteranya, waktu kecelakaan itu terjadi,


di sini sedang ada semacam reuni keluarga?
Kapan mereka pulang?"

"Hari Rabu pagi, Tuan. Dokter dan Nyonya


Tanios datang lagi ke sini hari Sabtunya. Mereka
kuatir akan keadaan Nona."

"Bagaimana dengan Tuan Charles dan adiknya?"


"Oh, mereka juga ke sini lagi. Seminggu setelah
Dokter Tanios dan isterinya... ya, malam Minggu
terakhir sebelum Nona meninggal."

Tak habis-habisnya pertanyaan Poirot ini,


pikirku. Padahal hampir semua misterinya telah
terjawab. Sebaiknya kupikir, ia cepat-cepat
pamitan.

Yang kupikirkan rupanya mengalir juga ke


kepala Poirot.

"Eh bien," ujarnya. "Keterangan yang kalian


berikan sangat membantu. Saya akan menemui
Tuan Purvis... emm, namanya betul begitu,
bukan? Terima kasih banyak atas bantuan
kalian."

Poirot membungkuk, menepuk punggung Bob.


"Brave chien, va![anjing berani.] Kau sangat
setia, bukan?"

Bob nampak senang. Ia beranjak ke perapian,


menggigit sepotong batu bara untuk bermain-
main.

Ellen memarahinya. Batu bara di mulut anjing


itu dipungut dan dilemparkannya kembali ke
perapian. Bob memandangku kecewa.

"Perempuan-perempuan ini tak pernah pelit


memberiku makan," begitu seolah ia berkata,
"tapi mereka sangat membosankan. Tak bisa
diajak bermain-main."

BAB 9
REKONSTRUKSI KECELAKAAN NONA ARUNDELL

"Nah, Poirot," ucapku ketika kami beranjak


meninggalkan halaman Puri Hijau, "kuharap kau
sudah puas sekarang!"

"Benar, Sobat! Aku puas."

"Syukurlah!" Semua misterinya sudah


terungkap! Tentang pelayan pribadi si nenek tua
itu, tentang si nenek tua itu sendiri, tentang
surat yang telat diposkan, dan bahkan tentang
kecelakaan itu sendiri... hmm. semuanya bisa
terungkapkan dengan begitu sempurna dan
memuaskan. Tak kusangka!"
Poirot mendehem. Katanya kemudian,

"Tidak begitu bagiku, Hastings."

"Eh, bukankah kau sendiri barusan bilang kau


puas?"

Poirot menggeleng.

"Aku cuma bilang, bahwa secara pribadi aku


puas - bahwa perasaan ingin tahuku terpuaskan.
Aku sudah tahu penyebab yang sesungguhnya
dari kecelakaan itu."

"Dan penyebabnya ternyata begitu sederhana,"


ledekku.

"Tidak sesederhana seperti yang kauduga,


Kawan." Poirot mengangguk-anggukkan
kepalanya berulang-ulang. Lalu lanjutnya,
"Tahukah kau, Hastings. Ada sesuatu yang
kuketahui, tapi tidak kauketahui?"

"Apa?" tanyaku kurang percaya.

"Aku menemukan sebuah paku tertancap pada


papan pegangan di sisi tangga yang berbatasan
dengan dinding. Persisnya, pada sisi anak
tangga yang pating atas."

Kupandangi Poirot, masih dengan perasaan


kurang percaya. Namun wajahnya begitu serius.
"Apa keanehannya ada paku di situ?"

"Pertanyaanmu kurang tepat. Seharusnya:


Mengapa harus ada paku di situ?"

"Mana aku tahu? Untuk menggantungkan


sesuatu, barangkali. Apa artinya sih?"
"Tentu saja ada artinya, Sobat. Dan pada
pikirku, tak mungkin paku itu dipakai untuk
menggantungkan sesuatu untuk urusan rumah
tangga. Tempatnya begitu khusus. Bukan cuma
itu. Pakunya pun dicat sama dengan warna
papannya - supaya tidak kelihatan."

"Tahukah kau apa sebabnya, Poirot?"

"Itu gampang dikira-kirakan. Kalau kita ingin


merentang tali pada ketinggian kira-kira satu
kaki dari anak tangga yang paling atas: ujung tali
yang satu bisa kita ikatkan pada salah satu jeruji
pagar di sisi tangga itu. Tapi, untuk mengikatkan
tali itu pada sisi tangga yang satunya lagi, kita
perlu tempat untuk mengikatkannya. Paku
merupakan tempat yang paling bagus."

"Poirot," seruku. "Apa maksudmu?"


"Mon cher ami,[sobat] aku sedang
merekonstruksikan bagaimana sesungguhnya
kecelakaan itu terjadi. Mau dengar
kelanjutannya?"

"Teruskan!"

"Eh bien. Begini. Ada orang yang


memperhatikan kebiasaan Bob. Maksudku,
kebiasaannya meninggalkan bola di atas tangga.
Orang ini tahu bahwa itu kebiasaan yang bisa
membahayakan orang -dengan kata lain, bisa
menyebabkan orang kecelakaan." Poirot
berhenti. Kemudian, dengan nada suara yang
berbeda ia melanjutkan, "Misalnya kau ingin
membunuh seseorang, Hastings - apa yang akan
kaulakukan?"

"Terus terang, aku tak tahu, Poirot. Membuat


suatu alibi atau, oh - sungguh aku tak tahu,
Poirot."
"Ah, tentu saja susah buatmu. Kawan. Kau
bukan pembunuh berdarah dingin yang cerdik
dan licin. Tak terpikirkah olehmu bahwa jalan
yang paling mudah dan aman adalah dengan
menggunakan kedok kecelakaan? Kecelakaan
bisa terjadi setiap saat, di mana saja... dan,
memang selalu terjadi di mana-mana. Kau mesti
tahu, Hastings, kadang-kadang kecelakaan itu
juga bisa dibuat terjadi."

Poirot berhenti sebentar.

"Bola Bob yang secara tidak sengaja tergeletak


di situ menimbulkan ide kepada si pembunuh.
Dia tahu kebiasaan Nona Arundell keluar
malam, ia tahu juga Nona Arundell sudah tua,
dan penglihatannya sudah kabur. Bukanlah hal
yang mustahil bila Nona Arundell tersandung
oleh bola itu - begitu kira-kira jalan pikiran si
pembunuh. Tapi, seorang pembunuh tidak akan
merencanakan suatu tindakan yang hasilnya
akan dipengaruhi oleh faktor untung-untungan.
Apa yang direncanakan itu harus terlaksana,
dengan atau tanpa faktor untung-untungan
tadi. Persiapannya akan jauh lebih teliti. Tali
yang direntangkan dari sisi ke sisi pada anak
tangga paling atas akan membawa hasil yang
lebih pasti. Paling tidak, korbannya pasti akan
terjungkal dan jatuh dengan kepala di bagian
bawah. Nah, kalau orang berdatangan -
penyebabnya mudah sekali terlihat: Bola Bob!"

"Ah! Itu sih keterlaluan-", seruku.

Berat sekali, Poirot menimpali,

"Benar... keterlaluan! Tapi toh usahanya tidak


berhasil. Nona Arundell cuma terluka sedikit
meskipun sebetulnya bisa fatal akibatnya. Tentu
si pembunuh merasa kecewa. Tapi Nona
Arundell orangnya cerdik. Semua orang
mengatakan, bola Bob-lah penyebabnya - dan
memang terbukti bola itu ada di sana pada
waktu kecelakaan itu terjadi; namun,
mengingat-ingat kejadiannya secara teliti, Nona
Arundell merasa yakin bahwa bukan bola Bob
yang menyebabkan ia jatuh. Ia tidak merasa
kakinya tersandung oleh bola Bob. Ia teringat
sesuatu yang lain. Ia ingat Bob menyalak minta
dibukakan pintu, subuh keesokan harinya.

"Yang ini, terus terang, cuma dugaanku. Tapi


mudah-mudahan tidak salah. Dan aku yakin
memang tak salah. Nona Arundell ingat betul
bahwa ia telah menyimpan kembali bola Bob
sore hari sebelumnya. Bob keluar semalaman,
dan tidak pulang. Jadi, bukan Bob yang menaruh
bola itu di situ."

"Ah, itu toh cuma dugaanmu, Poirot?"

Poirot menyangkal.
"Bukan cuma dugaanku, Kawan. Kata-kata Nona
Arundell sendiri - dalam igau-nya sebelum ia
meninggal. Ia menyebut sesuatu tentang bola
Bob dan lukisan pada toples. Kau mengerti
maksudnya, bukan?"

"Sama sekali tidak."

"Ellen juga tidak mengerti. Tapi aku mengerti.


Aku jadi penasaran. Itulah sebabnya aku
kembali ke Ruang Santai memeriksa guci-guci
dan toples-toples tua di situ. Ternyata benar. Di
situ kudapati guci bertutup - seperti toples
memang kelihatannya -dan pada bagian luarnya
terlihat lukisan seekor anjing. Benda itu sudah
kulihat sepintas sebelumnya, tapi belum
kuperhatikan. Mendengar ceritera Ellen, aku
buru-buru ingin mengamatinya. Dugaanku
benar... lukisan itu menggambarkan seekor
anjing yang keluar semalaman. Kau mulai bisa
mengerti jalan pikiran perempuan tua itu,
bukan? Bob, seperti anjing dalam lukisan di guci
itu, keluar semalaman. Jadi, bukan dialah yang
menaruh bolanya di situ"

Aku bukan orang yang gampang terpesona.


Tetapi, kali ini aku betul-betul terpana. Hampir
berteriak, aku berkata,

"Kau memang setan, Poirot! Aku benar-benar


kagum akan cara kerja otakmu. Aku tidak
berpikir sampai ke situ."

"Siapa bilang aku berpikir, Hastings? Semuanya


itu fakta yang bisa dilihat oleh siapa pun. Eh
bien, sekarang kau menyadari bagaimana duduk
perkaranya, bukan? Setelah kecelakaan itu
Nona Arundell terbaring sambil terus menerus
diliputi rasa curiga, ia merasa resah.
Perasaannya mengatakan, kecurigaannya tidak
beralasan dan cuma bayangannya saja.
"'Sejak kecelakaan yang disebabkan oleh bola
mainan anjing itu, saya merasa semakin gelisah.'
Itu sebabnya dia menulis surat kepadaku.
Karena nasib buruk, surat itu baru sampai
kepadaku dua bulan setelah ditulisnya.
Bukankah isi suratnya cocok benar dengan
semua fakta yang baru saja kita pelajari

"Benar," ujarku. "Memang cocok sekali" Poirot


menyambung,

"Meskipun begitu, ada satu faktor yang mesti


diperhatikan. Mengapa Nona Lawson begitu
bersikeras mencegah majikannya tahu Bob
keluar malam itu."

"Maksudmu, kau menganggapnya..."


"Maksudku, fakta kecil itu harus diperhatikan
betul-betul."
Kubolak-balik masalah itu di dalam kepalaku
sejenak.

"Yah." ujarku menarik napas panjang.


"Semuanya itu memang menarik - sebagai
latihan mental, maksudku. Dan aku angkat topi
buatmu. Sobat. Rekonstruksimu begitu hebat
dan beralasan. Sayang benar perempuan tua itu
telah tiada."

"Benar, sayang sekali. Dia menulis dalam


suratnya bahwa ada seseorang yang berusaha
membunuhnya, dan tak lama kemudian ia
meninggal."

"Ya," komentarku pula. "Dan kau, Poirot,


merasa sangat kecewa karena meninggalnya
biasa-biasa saja. Betul, kan? Oh, ayolah... akui!"

Poirot mengangkat bahu.


"Atau, kaupikir dia mati diracun?" tanyaku
menggoda.

Poirot menggeleng, nampaknya dengan enggan.

"Kelihatannya," ujarnya setuju dengan


pernyataanku," Nona Arundell memang
meninggal karena sebab-sebab yang wajar."

"Karena itu, sekarang kita bisa pulang ke


London, kan?"

"Pardon, Sobat? Kita tidak akan pulang


sekarang. Belum. Belum waktunya."

"Apa maksudmu, Poirot?" seruku.


"Kalau kepada seekor anjing kautunjukkan
seekor kelinci, Hastings - apakah kaupikir anjing
itu akan pulang? Tidak. Ia akan mengejar kelinci
itu ke liangnya."

"Maksudmu?"

"Anjing memburu kelinci. Hercule Poirot


memburu pembunuh. Saat ini kita dihadapkan
pada seorang pembunuh yang gagal membunuh
mangsanya. Gagal! Bagaimanapun, ia tetap
seorang pembunuh. Dan aku, Kawan, berniat
memburunya sampai ke sarangnya."

Poirot mendadak membelok masuk ke suatu


halaman.

"Mau ke mana kau, Poirot?"


"Mencari sarangnya, Sobat! Ini rumah Dokter
Grainger - dokter yang menangani penyakit
Nona Arundell sebelum ia mati."

Usia Dokter Grainger kira-kira enam puluhan.


Wajahnya kurus, tulang-tulangnya tajam.
Dagunya sedikit mencuat ke muka. Alis matanya
lebat, dan matanya cerdik berwarna keabu-
abuan. Ia memandangku dengan ramah, dan
kemudian kepada Poirot.

"Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"


tanyanya.

Poirot berbicara dengan cara yang teramat


menarik.

"Maafkan saya, Dokter Grainger - terpaksa


mengganggu Anda seperti ini. Terus terang,
saya ke sini bukan untuk berobat."
Dengan suara kering dokter itu berkata, "Bagus.
Anda kelihatannya memang sehat-sehat."

"Maksud kedatangan saya," lanjut Poirot,


"begini. Saya sedang menyusun sebuah buku
mengenai kehidupan Jenderal Arundell
almarhum. Setahu saya, Beliau tinggal di Market
Basing pada tahun-tahun terakhir hayatnya."

Dokter Grainger nampak agak terkejut.

"Ya. Jenderal Arundell memang tinggal di sini


sampai saat meninggalnya. Tepatnya, di Puri
Hijau - letaknya tak jauh dari bank. Anda sudah
ke sana, mungkin?" Poirot mengangguk. "Saya
sendiri tidak mengalami zaman itu. Saya baru
datang ke sini pada tahun 1919."
"Tapi Anda kenal puterinya, bukan - Nona
Arundell almarhum."

"Ya. Saya kenal baik dengan Emily Arundell."

"Terus terang, saya sangat terkejut mendengar


dia sudah meninggal."

"Ya. Meninggalnya belum begitu lama. Tanggal


satu Mei yang lalu."

"Begitu yang saya dengar. Saya sebenarnya


sangat mengharap bisa bertemu dengannya.
Saya pikir, dia tentu bisa memberikan
keterangan yang lengkap mengenai pribadi
ayahnya, juga mengenai kenang-kenangan yang
ditinggalkannya."

"Benar. Benar. Tapi, apa hubungannya saya


dengan semua itu?"
Poirot bertanya,

"Apakah tidak ada lagi putera atau puteri


Jenderal Arundell yang masih hidup?" "Tidak.
Semuanya sudah meninggal." "Berapa
semuanya - puteranya?" "Lima orang. Empat
perempuan, satu laki-laki." "Generasi
selanjutnya?"

"Charles Arundell dan adiknya, Theresa. Saya


pikir Anda bisa menghubungi mereka.
Walaupun, terus terang, saya ragu Anda akan
mendapat keterangan yang Anda perlukan.
Generasi muda umumnya tidak begitu
sentimental. Jarang mereka tahu sesuatu
mengenai kakek mereka. Di samping Charles
dan Theresa, ada satu lagi. Nyonya Tanios. Tapi,
darinya pun - kukira - Anda tak akan dapat
keterangan yang memuaskan."
"Mungkin mereka memiliki surat-surat penting
atau dokumentasi keluarga lainnya?"

"Mungkin saja. Tapi saya ragu. Setahu saya,


banyak kertas-kertas yang sudah dibuang dan
dibakar setelah Nona Arundell meninggal.
Poirot menggeram, nampaknya sangat kesal.
Dokter Grainger memperhatikannya dengan
penuh tanda tanya.

"Apa sih yang menarik tentang Jenderal


Arundell - sampai Anda berniat menulis buku
mengenainya? Setahu saya, dia bukan orang
yang istimewa."

"Oh," mata Poirot bersinar-sinar. "Belum


pernahkah Anda mendengar peribahasa yang
mengatakan bahwa sejarah tak pernah tahu
sesuatu mengenai tokohnya yang terbesar?
Akhir-akhir ini beberapa surat kabar mulai
menyoroti 'Indian Mutiny' dari sudut yang lain.
Ada sesuatu yang masih belum terungkap
mengenai peristiwa bersejarah itu. Dalam
bagian itu Jenderal Arundell memegang
peranan penting. Sangat mengagumkan! Saat
ini, Tuan Dokter, masalah ini sedang menjadi
pusat perhatian."

"Hmm, bahwa Jenderal Arundell memegang


suatu peran dalam peristiwa itu - itu memang
pernah kudengar.

"Dari mana Anda mendengarnya?"

"Nona Peabody. Oh, ya - dia ada perlunya Anda


hubungi. Banyak tahu mengenai Keluarga
Arundell. ia penduduk tertua di sini. Hobinya
gosip. Tapi tak ada salahnya Anda menghubungi
wanita itu."

"Terima kasih. Usul Anda sangat berharga.


Mungkin Anda bisa memberikan alamat Tuan
Arundell muda... maksud saya, cucu Jenderal
Arundell?"

"Charles? Oh, pemuda tak berperasaan itu.


Coba saja. Tapi kupikir sia-sia saja
menghubunginya." "Masih mudakah dia?"

"Yah, orang tua sepertiku menganggapnya


masih muda," ujar Dokter Grainger. Matanya
bersinar nakal. "Usianya kurang lebih tiga
puluhan Kelihatannya anak itu cuma dilahirkan
untuk merepotkan keluarganya saja. Tak punya
tanggung jawab. Penampilan dan sikapnya
memang hebat. Sudah disekolahkan ke seluruh
penjuru dunia - tapi sia-sia juga."

"Bibinya tentu sangat menyayanginya?"


komentar Poirot. "Biasanya begitu."

"Hmmm - aku tak tahu mengenai itu. Setahuku,


Emily bukan orang yang bodoh. Charles tak
pernah berhasil minta uang sepeser pun
darinya. Perempuan tua itu keras. Aku suka
padanya. Sikapnya seperti sikap prajurit sejati -
dalam segala hal. Aku sangat menghormatinya."

"Apakah Beliau meninggalnya mendadak?"

"Bisa juga dikatakan begitu. Sebetulnya,


keadaan kesehatannya sudah beberapa tahun
ini jelek. Tapi ia selalu berhasil mengatasi
serangan yang terberat sekali pun."

"Saya dengar - maafkan saya, mengulangi gosip


yang saya dengar...," ujar Poirot sambil
merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
"Nona Arundell pernah bertengkar dengan
keluarganya?"

"Sebenarnya bukan bertengkar." Dokter


Grainger berkata lambat-lambat. "Setahu saya,
tak pernah ada pertengkaran yang terbuka."
"Oh, maafkan saya kalau begitu."

"Tidak apa-apa," sahut Dokter Grainger. "Gosip


toh milik umum."

"Saya dengar ia mewariskan kekayaannya bukan


kepada keluarganya sendiri."

"Benar. Semua hartanya dia wariskan kepada


pelayan pribadinya, seorang perempuan tua
yang selalu ketakutan dan tak pernah tidak
gugup. Aneh. Saya sendiri tidak bisa mengerti.
Setahu saya, sifat Emily tidak seperti itu."

"Tapi mungkin itu bisa dimengerti," ujar Poirot


sambit merenung. "Nona Arundell sudah tua
dan sakit-sakitan, ia sangat tergantung pada
orang yang menolong dan merawatnya sehari-
hari. Kalau pelayan pribadinya itu pandai,
mudah sekali ia mempengaruhinya."

Kata-kata Poirot tepat mengenai sasarannya.

"Mempengaruhi Emily Arundell? Bah! Tak


mungkin! Emily selalu memperlakukan Minnie
Lawson tak lebih dari memperlakukan seekor
anjing. Lebih buruk lagi malah. Tapi itu memang
sifat wanita dari generasinya. Bagaimanapun,
tak bisa kita sangkal, bahwa umumnya,
perempuan yang bekerja menjadi pelayan
pribadi itu orangnya bodoh. Kalau ia pintar,
tentu bisa mencari mata pencaharian lain yang
lebih baik. Hampir tiap tahun Emily berganti
pelayan pribadi. Tapi ingat, Emily Arundell
bukan orang yang bisa dipengaruhi oleh siapa
pun -terlebih oleh pelayan pribadinya."

Poirot tidak menyia-nyiakan kesempatan.


"Mungkin ada surat-surat atau dokumen-
dokumen keluarga yang penting yang masih
disimpan oleh Nona Lawson?"

"Mungkin saja," ujar Dokter Grainger.


"Perempuan tua umumnya suka menyimpan
barang-barang yang punya kenangan. Saya pikir,
Nona Lawson belum sempal menyortir setengah
dari barang-barang peninggalan Emily."

Poirot bangkit.

"Terima kasih banyak, Dokter Grainger. Anda


baik sekali."

"Jangan berterima kasih kepada saya," sahut si


dokter. "Maaf saya tidak bisa banyak
membantu. Besar kemungkinan, Nona Peabody
bisa banyak memberi keterangan. Ia tinggal di
Morton Manor, kira-kira satu mil dari sini."
Poirot menghirup wangi bunga mawar yang
menghiasi meja Dokter Grainger.

"Hmmm, harumnya...," gumamnya.

"Memang. Kelihatannya begitu," komentar


Dokter Grainger. "Sayang indera penciumanku
hilang beberapa tahun yang lalu. Sekarang
merokok tidak senikmat dulu rasanya." "Oh,"
ujar Poirot. "Katanya Anda punya alamat Tuan
Arundell muda. Dokter?"

"Benar. Sebentar saya ambilkan," ujar Dokter


Grainger sambil beranjak masuk dan
mempersilakan kami ke ruang tengah. Sesudah
itu kudengar ia berteriak, "Donaldson!"
"Donaldson patner praktek saya. Dia pasti tahu
alamat mereka. Kebetulan dia bertunangan
dengan adik Charles si Theresa."

Sekali lagi Dokter Grainger berseru,


"Donaldson!"

Seorang laki-laki muda muncul dari salah satu


ruangan yang terletak di bagian belakang rumah
Dokter Grainger. Perawakannya sedang.
Wajahnya agak pucat. Sikapnya agak terlalu
sempurna.

Dokter Grainger menjelaskan maksud


kedatangan kami.

Mendengarnya, dokter muda itu menatap kami


dengan pandangan meneliti. Sinar kekaguman
dipancarkan oleh matanya yang biru jernih.
Meskipun begitu, suaranya kering ketika ia
akhirnya berbicara.
"Terus terang, saya tidak tahu di mana Charles.
Alamat Theresa bisa saya berikan. Tapi saya
ragu Theresa tahu di mana Charles."

Poirot meyakinkannya bahwa alamat Theresa


pun sudah cukup.

Dokter Donaldson menuliskan suatu alamat


pada buku notesnya. Setelah itu disobeknya
lembaran yang ia tulisi, dan diserahkannya
kepada Poirot.

Poirot mengucapkan terima kasih dan mohon


diri kepada kedua dokter itu. Sewaktu kami
berjalan keluar dari halamannya, aku merasa
Donaldson mengawasi kepergian kami - dengan
pandangan sedikit terkejut.
BAB 10

KUNJUNGAN KE RUMAH NONA PEABODY

"Perlukah membual semacam itu, Poirot?" ta-


Poirot mengangkat bahu.

"Berbohong jangan tanggung-tanggung....


Mungkin, buat orang sesuci kau agak susah ya,
Hastings?! Buatku sih biasa-biasa saja...."

"Itu jelas terlihat," selaku.

"Maksudku, kalau toh kita terpaksa harus


berbohong - buatlah sekalian ceritera yang
menarik, romantis, dan tentu saja yang
meyakinkan!"

"Apa? Kaupikir bualanmu barusan meyakinkan?


Aku sangsi si Donaldson percaya."

"Hm, laki-laki muda itu memang agak teliti,"


kata Poirot mengiyakan.

"Menurut penglihatanku, dia pencuriga,"


tambahku.

"Apa alasannya dia mencurigai kita? Di dunia ini


si Dungu boleh saja menuliskan kisah hidup si
Dungu lainnya. Itu sudah bukan hal yang aneh."

"Oh. baru sekarang kudengar kau menyebut


dirimu dungu," ucapku meringis.
"Eh, apa salahnya? Semua orang bisa berperan
sebagai orang lain. Mengapa aku tidak?"
sambut Poirot dungu. "Sayang kau menganggap
fiksiku barusan kurang meyakinkan Hastings.
Terus terang, aku sendiri cukup puas
dengannya."

"Apa yang akan kita perbuat sekarang? tanyaku


"Gampang sekali. Kita kembali ke Austin-mu,
lalu pergi ke Morton Manor."

Morton Manor ternyata sebuah rumah


peninggalan zaman Victoria Penampilannya
buruk tidak terawat. Kami diterima oleh
seorang jongos. Laki-laki tua itu nampak ragu-
ragu. Ia menanyakan apakah kami sudah punya
janji untuk bertemu dengan majikannya.

"Katakan kepada Nona Peabody, bahwa kami


datang dari tempat Dokter Grainger," ujar
Poirot.
Beberapa saat kami menanti, dan keluarlah
seorang perempuan gemuk Rambutnya tipis,
terbelah rapi di tengah tengah Gaun yang
dikenakannya terbuat dari bahan beledu warna
hitam. Di sana-sini permukaannya tampak
sudah gundul. Selapis renda halus yang sangat
indah dilekatkan di sekeliling leher gaunnya
dengan menggunakan bros

Dia menghampiri kami dengan mengerjap-


ngerjapkan mata. Rupanya, untuk memperjelas
penglihatannya Kalimat pertama yang
diucapkannya agak mengejutkan.

"Jual barang, ya?"

"Tidak, Madame" Poirot berkata.

"Sungguh?"
"Tentu saja sungguh."

"Bukannya jualan vakum?"

"Jualan stocking, mungkin?" "Tidak." "Karpet?"

"Tidak."

"Oh, baiklah," ujar wanita itu akhirnya, sambil


mendudukkan dirinya pada sebuah kursi.
"Silakan duduk."

Perintahnya dengan patuh kami turuti.

"Maafkan aku bertanya-tanya begitu,"


nampaknya ia merasa agak bersalah. "Aku harus
berhati-hati. Pelayan sering tidak bisa
membedakan. Tapi, yah... mereka juga tidak
bisa disalahkan. Suara sopan, baju bagus, nama
mentereng... mana mereka bisa membedakan?
Komandan Ridgeway. Tuan Scot Edgerton.
Kapten D'Arcy Fitzherbert. Wajahnya sopan-
sopan dan mempesona. Tapi, belum sempat
tahu siapa dia, tahu-tahu dia sudah
mendemonstrasikan mesin pembuat krem-lah,
inilah, itulah...."

Penuh perhatian, dan dengan sikap yang sangat


sopan, Poirot berkata,

"Percayalah, Madame- maksud kedatangan


kami sama sekali bukan seperti itu."

"Yah... yang penting Anda tahu bahwa ada


orang-orang yang begitu," ujar Nona Peabody.

Poirot memulai kisahnya. Nona Peabody


mendengarkan tanpa komentar. Sebentar-
sebentar matanya yang kecil itu berkedip-kedip.
Setelah selesai kisah Poirot, ia berkata,

"Mau menulis buku, he?"

"Ya."

"Bahasa Inggris? "Tentu."

"Tapi, Anda orang asing, bukan? Oh - ayolah,


terus terang saja! Anda orang asing, kan?"

Wanita itu kini memperhatikan diriku. "Anda


sekretarisnya?"

"Ee - ya," jawabku ragu-ragu.

"Bisa menulis dengan bahasa Inggris bagus?"


"Mudah-mudahan."

"Hmm - di mana sekolahnya dulu?" "Eton."

"Hmm - kalau begitu tak mungkin bisa


berbahasa Inggris benar."

Terpaksa aku tidak mengomentari


penghinaannya, karena wanita itu sudah
berpaling kembali kepada Poirot.

Mau menulis kisah hidup jenderal Arundell he?"

"Benar. Anda mengenal Beliau?"

"Ya. Aku kenal John Arundell. Pemabok


orangnya!"
Sejenak suasana hening Kemudian, Nona
Peabo-dy melanjutkan -Suaranya riang.

"Indian Mutiny, he? Apa perlunya diungkit-


ungkit, yah itu urusan Anda sendiri."

"Tahukah Anda Madame bahwa ada musimnya


orang menyorot babak tertentu sejarah? Saat
ini India sedang menjadi topiknya."

"Ada benarnya yang Anda bilang itu. Segala


sesuatu memang hilang timbul - hilang timbul.
Ambil contoh model baju. Yang dulu sekati
pernah jadi model kegemaran orang sekarang
digemari lagi setelah tak pernah kedengaran
kabarnya selama bertahun-tahun." Nona
Peabody berhenti bicara. Ditatapnya Poirot
lekat-lekat Nah apa yang ingin Anda tanyakan?"
"Apa saja! Sejarah keluarga Gosip. Kehidupan
rumah tangga... semua yang Anda ketahui
tentang keluarga Arundell."

Soal India aku tak pernah tahu," ujar Nona


Peabody. "Terus terang, aku kurang tertarik
mendengarkan ceriteranya mengenai India.
Membosankan! Jenderal Arundell itu orangnya
bodoh sebenarnya. Tapi bukan berarti ia bukan
jenderal yang baik. Kerap kudengar, memang,
kepandaian tak banyak artinya dalam
kemiliteran. Ayahku bilang begini, 'Mau naik
pangkat? Cukup dengarkan segala yang
dikatakan isteri Kolonel - dan patuhi perintah
atasan. Itu sudah cukup!'"

Tak punya maksud meremehkan teorinya itu,

Poirot berdiam diri dulu sebelum berkata,


"Anda kenal Keluarga Arundell secara intim,
bukan?"
"Yah - aku kenal mereka semua," jawab Nona
Peabody. "Matilda. Ia anak sulung Jenderal
Arundell. Orangnya menarik sekali Sering
mengajar di Sekolah Minggu. Lalu Emily - dia
anggun sekali kalau duduk di punggung kuda
Dia satu-satunya yang bisa melayani ayahnya ka
au sedang kumat. Bergerobak gerobak botol
kosong dikeluarkan dari rumah itu dan dikubur
pada malam hari. Lalu -siapa berikutnya?
Tunggu Arabella, atau Thomas? Thomas,
kupikir. Kasihan anak laki-laki itu. Sendirian di
antara empat saudara perempuan. Jadinya ia
tolol. Sifatnya malah seperti perempuan tua.
Tak kira dia bisa kawin, Kaget waktu dengar dia
kawin."

Nona Peabody berdecak.

Kelihatan sekali ia senang berceritera seperti


itu. Ia hampir lupa bahwa kami ada di situ
mendengarkan ceriteranya. Ia benar-benar
terbuai dan terseret kembali ke zaman
mudanya dulu.

"Lalu Arabella. Sederhana. Mirip kue bantat.


Meskipun begitu ia juga kawin Suaminya
profesor di Cambridge Sudah agak tua
Enampuluhan kalau tak salah, waktu mereka
kawin. Pernah memberi kuliah di sini - kalau tak
salah, mengenai keajaiban kimia modern. Aku
selalu mendengarkan kuliahnya. Aku ingat
benar. Bicaranya takjelas. Berewokan. Hampir
tak sepatah kata pun bisa kutangkap. Arabella
selalu duduk di belakang. Dia sering bertanya.
Waktu itu Arabella sudah cukup tua juga. Tiga
puluhan, kalau tak salah. Mereka sudah
meninggal dua-duanya. Perkawinan mereka
kelihatannya cukup bahagia. Orang bilang
mengawini gadis yang sederhana itu ada
untungnya: langsung tahu kejelekannya, dan
umumnya tak suka mengkhayal. Setelah itu
Agnes. Dia yang bungsu. Paling cantik di antara
saudara-saudaranya. Orangnya periang. Aneh
takjuga dapat jodoh. Padahal orang mengira
dialah yang akan laku paling cepat. Nyatanya,
dia malah tak pernah kawin sama sekali. Dia
meninggal tidak lama setelah perang selesai."

Poirot bergumam,

"Anda bilang, Madame - perkawinan Tuan


Thomas tidak diduga-duga?"

Sekali lagi terdengar wanita itu berdecak.

"Tak terduga-duga. Begitu memang! Skandal


sembilan puluh hari! Tak sangka Thomas bisa
begitu. Orangnya pendiam, patuh, betah tinggal
di rumah, dan sayang sama saudara!"

Sejenak Nona Peabody diam.


"Ingat ceritera yang menghebohkan sekitar
tahun 1900-an? Tentang seorang perempuan -
Nyonya Varley. Dia dituduh membunuh
suaminya, meracuni dengan arsenik - kalau aku
tak salah. Sempat disidangkan. Tapi akhirnya ia
dibebaskan dari tuduhan itu. Nah - si Thomas ini
begitu tergila-gilanya pada perempuan itu.
Semua majalah dan surat kabar yang memuat
berita mengenai perempuan itu dibacanya.
Bukan itu saja. Ia juga mengguntingi foto-foto
wanita itu dan menyimpannya. Tahu apa yang
dilakukan Thomas setelah wanita itu
dibebaskan? Dia pergi ke London -melamarnya.
Thomas, si pendiam itu ... Oh, orang tak sangka.
Tapi laki-laki memang begitu - susah diramal!"

"Apa yang terjadi setelahnya?"

"Perempuan itu menerima lamarannya, dan


mereka kawin."
"Bagaimana saudara-saudaranya? Tentunya
mereka sangat kaget?"

"Tentu saja. Dan mereka tidak mau menerima


perempuan itu. Thomas sangat terpukul- Dia
kemudian meninggalkan Market Basing.
Kabarnya dia lalu menetap di Kepulauan
Channel. Sejak itu tak pernah lagi kedengaran
beritanya. Orang tak pernah tahu apakah
perempuan itu benar membunuh suami
pertamanya. yang jelas, Thomas tidak
dibunuhnya. Thomas meninggal tiga tahun
setelah isterinya meninggal. Mereka punya dua
anak: laki-laki dan perempuan. Pasangan yang
cantik sekali - seperti ibunya."

"Apakah mereka sering menjenguk bibinya?"

"Setelah orang tuanya meninggal, ya. Sebelum


itu mereka masih sekolah. Emily, sementara itu
sudah hidup sendirian di sini. Kedua anak itu,
dan Bella -merupakan sisa-sisa keturunan
keluarganya yang masih ada."

"Bella?"

"Ya. Bella Biggs. Anak Arabella. Agak pandir


anak itu. Lebih tua beberapa tahun daripada
Theresa. Ia kawin dengan orang asing yang
ditemuinya di kampus. Orang Yunani. Dokter.
Jelek rupanya - tapi sikapnya cukup
menyenangkan. Kasihan sebenarnya si Bella itu.
Kurang mendapat kesempatan mengenal anak
muda lainnya. Ia terlalu sibuk membantu
ayahnya di laboratorium, dan juga merawat
ibunya. Orang asing itu satu-satunya pria yang
pernah menarik perhatiannya..."

"Bahagiakah perkawinan mereka?"

"Kelihatannya cukup bahagia. Mereka punya


dua anak. Tinggal di Smyrna sekarang."
"Tapi, saya dengar, mereka sedang berada di
Inggris pada saat ini."

"Ya. Mereka datang bulan Maret yang lalu.


Kupikir tak akan lama lagi mereka tinggal di
sini."

"Apakah Nona Emily Arundell menyayanginya?"

"Bella? Oh - biasa-biasa saja. Bella bukan


perempuan yang gemerlap. Semua
perhatiannya dicurahkan kepada anak-anaknya,
dan rumah tangganya."

"Apakah Nona Emily Arundell menyetujui


perkawinan mereka?" Nona Peabody berdecak.
"Sebetulnya Emily tidak setuju. Tapi kupikir,
akhirnya ia agak menyukai juga bajingan itu.
Pintar orangnya. Dan perlakuannya terhadap
Emily sangat manis. Mata duitan, itu jelas."

Poirot berdehem.

"Saya dengar Nona Arundell sangat kaya ketika


meninggal."

Nona Peabody mengenakkan posisi duduknya.

"Itulah yang jadi masalah! Orang tak sangka dia


sekaya itu. Begini ceriteranya. Jenderal Arundell
meninggalkan warisan yang menghasilkan
pendapatan bulanan yang lumayan bagi anak-
anaknya.

Sebagian penghasilan yang didapat ditanamkan


kembali. Penanaman ini boleh dibilang berhasil
Mereka punya saham di Mortland. Waktu
kawin, Thomas dan Arabella sudah mengambil
bagian mereka. Tapi tiga yang lainnya tetap di
sini. Hidup mereka sederhana. Kupikir,
sepersepuluh penghasilan mereka pun tak habis
mereka makan setiap bulannya. Selebihnya,
mereka tanamkan kembali. Waktu Matilda
meninggal, bagiannya dibagi dua untuk Emily
dan Agnes. Dan waktu Agnes meninggal,
semuanya jadi milik Emily. Emily meneruskan
pola hidupnya yang sederhana. Sebagian besar
penghasilannya ia tanamkan kembali. Begitu
seterusnya. Al hasil... ia meninggal sebagai
wanita yang kaya raya; dan si Lawson mewarisi
semuanya itu!"

Nona Peabody mengucapkan kalimat terakhir


itu begitu rupa, seolah menunjukkan bahwa
itulah klimaksnya.

"Apakah Anda juga terkejut mengetahuinya,


Nona Peabody?"
"Terus terang, ya. Emily selalu mengatakan
bahwa bila ia meninggal kekayaannya akan
dibagi tiga untuk ketiga kemenakannya -
setelah, tentu saja dikurangi dulu untuk kasih
tanda jasa sama pembantu-pembantu setianya.
Surat wasiatnya yang mula-mula memang
begitu isinya. Hmmm - wajar saja bila terjadi
kehebohan sewaktu surat wasiatnya dibacakan,
dan ternyata Lawson yang menjadi ahli waris
tunggalnya."

"Apakah surat wasiatnya itu belum lama


dibuatnya?"

Nona Peabody menatap tajam wajah Poirot.

"Maksud Anda - Emily dipengaruhi orang.


Begitu? Tidak mungkin! Dan lagi, Lawson bukan
orangnya. Dia perempuan bodoh. Tak mungkin
berani coba-coba ke arah situ. Terus terang, dia
sendiri kaget sekali mengetahui isi surat wasiat
Emily - begitu, katanya."

Poirot tersenyum mendengar embel-embelnya.

"Surat wasiat itu dibuat sepuluh hari sebelum


Emily meninggal," lanjut Nona Peabody.
"Pengacaranya mengatakan - semuanya sah!
Yah -mungkin saja!"

"Maksud Anda?" Poirot beringsut. Wajahnya


serius.

"Permainan bawah tangan - begitu pikirku," ujar


Nona Peabody. "Pokoknya, lihat saja. Pasti ada
yang tidak benar." "Anda tahu pasti?"

"Yah - aku tak tahu. Mana aku tahu di mana


letak permainannya. Aku bukan orang hukum.
Tapi ada yang aneh dalam kasus ini.
Percayalah!"

Perlahan-lahan Poirot berkata,

"Apakah sudah dicoha mendebat isi surat


wasiat itu?"

"Kelihatannya Theresa sudah menghubungi


pengacara. Tapi, sembilan dari sepuluh
pengacara dapat dipastikan menganjurkan -
jangan! Aku sendiri pernah begitu. Lima
penasihat hukum mengatakan 'jangan' - tapi
aku toh tetap maju dan buktinya aku menang!"

Nona Peabody berdecak. Wajahnya berseri-seri.

"Tentunya timbul perasaan tak enak antara


Nona Lawson dan kemenakan Nona Arundell?"
"Mau apa lagi. Manusia ya begitu itu. Anda toh
sudah tahu sendiri. Kematian selalu
menimbulkan perselisihan...."

Poirot menghela napas panjang.

"Benar, Madame."

"Begitulah manusia."

Poirot beralih pada subyek yang lain.

"Benarkah Nona Arundell itu pengikut aliran


spiritual?"

Sekali lagi, Nona Peabody menatap Poirot lekat-


lekat.
"Kalau Anda berpikir arwah almarhum Jenderal
Arundell datang menyuruh Emily mengubah
surat wasiatnya supaya semua kekayaannya
jatuh ke si Lawson; lalu Emily menurutinya...
Anda salah besar!" ujar Nona Peabody. "Emily
bukan orang bodoh. Ia menganggap
spiritualisme sedikit lebih menarik dibandingkan
dengan permainan kartu. Cuma itu. Sudah
ketemu Nona Tripp?"

"Kalau ketemu mereka, Anda akan tahu dimana


letak kebodohannya. Menjengkelkan sekali.
Kerjanya menyampai-nyampaikan pesan dari
orang mati. Isi pesannya tak pernah masuk akal.
Mereka itu begitu percayanya. Minnie Lawson
juga. Yah -bagiku, kegiatan macam itu tak lebih
dari pelewat waktu senggang saja."

Poirot mencoba mengalihkan ke subyek yang


lain lagi.
"Mungkin Anda kenal dengan Charles Arundell?
Bagaimana dia?"

"Tidak bagus! Menarik memang. Tak pernah tak


bangkrut. Utang dibikinnya di mana-mana. Dia
pandai mendekati perempuan. Aku kenal
banyak laki-laki semacamnya! Jadi aku tahu!
Lucu -Thomas bisa punya anak seperti itu. Betul-
betul berlawanan. Tak mengerti siapa yang
menurunkan sifat jelek seperti itu! Meskipun
begitu - aku suka pada bajingan itu. Suka, tapi
aku tak keberatan menarik suatu pendapat
mengenai anak itu: ia tega membunuh
neneknya sendiri demi uang Sepeser. Tak punya
moral - anak itu. Aku tak mengerti... bagaimana
orang bisa dilahirkan tanpa moral begitu itu..."

"Dan adiknya?"
"Theresa?" Nona Peabody menggeleng-geleng.
Perlahan ia berkata. Aku tidak tahu. Orangnya
sangat eksotis. Tidak seperti orang biasa.
Tunangan dengan Dokter Donaldson, kudengar.
Huh, laki-laki pendiam dan sentimental....
Emmm, sudah ketemu Donaldson?"

"Dokter Donaldson, maksud Anda?"

"Betul. Orang bilang dia dokter yang pandai.


Meskipun begitu aku tak akan pilih laki-laki
macam dia kalau aku jadi Theresa. Tapi Theresa
sudah dewasa- Ia harus tahu pikiran dan
keinginannya sendiri. Aku percaya ia sudah
berpengalaman."

"Pernahkah Dokter Donaldson merawat Nona


Arundell?"

"Kadang-kadang, kalau Dokter Grainger cuti."


"Dan pada waktu sakitnya yang terakhir?"

"Kurasa tak pernah."

Sambil tersenyum Poirot berkata,

"Kelihatannya, Nona Peabody, Anda ragu akan


kepandaian Dokter muda itu?"

"Aku tak pernah bilang begitu. Dugaan Anda


salah! Lelaki itu cerdas dan pandai. Cuma
kebetulan saja caranya mengobati orang
berbeda dengan cara yang baik menurut
pendapatku. Kita ambil contoh. Dulu, kalau anak
kecil kebanyakan makan apel hijau dan mabok.
Dokter akan mengatakan bahwa anak itu
memang mabok apel hijau. Dokter itu akan
memberinya obat. Nah, lain lagi dokter
sekarang, ia tak akan menyebut si anak mabok
apel hijau. Yang dia katakan, si anak menderita
gejala acidosis -dietnya mesti diperhatikan - ia
memberi si anak obat. pil putih kecil-kecil yang
halus buatannya tapi harganya tiga kali lipat
harga pil yang sama dengan yang diberikan
dokter tua. a n vak ibu-ibu muda lebih menyukai
dokter yang begitu. Kedengarannya lebih
mengenakkan. Tapi, laki laki muda itu tak akan
lama lagi tinggal di sini. Cita-citanya ke London,
Mengambil spesialisasi."

"Tahukah Anda. bidang spesialisasi mana yang


diminatinya?"

Pengobatan Serum, kalau aku tak salah.


Maksudnya begini menyelidiki zat-zat apa saja
yang bisa disuntikkan ke tubuh orang sehat
supaya orang itu kebal terhadap sesuatu
penyakit tertentu. Aku sendiri belum pernah
mencobanya."
Apakah Dokter Donaldson sedang melakukan
eksperimen untuk suatu jenis penyakit tertentu
sekarang ini?"

"Jangan tanyai aku. Aku cuma tahu - dia merasa


kurang bila ia cuma jadi dokter praktek umum.
Dia ingin mengembangkan karirnya di London.
Tapi untuk itu ia perlu uang. Padahal dia
orangnya miskin sekali."

Poirot bergumam.

"Sayang sekali. Memang banyak terjadi suatu


kepandaian tidak bisa dikembangkan cuma
gara-gara tidak tersedianya biaya. padahal. ada
orang yang tak habis memakan sepersepuluh
penghasilannya."

"Seperti Emily Arundell," komentar Nona


Peabody. "Orang terkejut - waktu surat
wasiatnya dibacakan - bukan cuma karena tahu
siapa ahli warisnya. Tapi, juga mengetahui
jumlahnya yang sebegitu banyak."

"Menurut pendapat Anda, apakah keluarga


Nona Arundell sendiri terkejut mengetahui
besarnya warisan itu?"

"Itulah," ujar Nona Peabody. Matanya bersinar-


sinar. "Aku tak bisa bilang ya atau tidak. Tapi,
menurutku, salah satu di antara mereka pasti
bisa mengira-ngira."

"Yang mana?"

"Tuan Charles, tentu saja. Dia pasti sudah


membuat perhitungan sendiri. Ingat, Charles
bukan orang bodoh."

"Tidak bodoh, cuma sedikit liar?"


"Yang jelas tidak membosankan macam si
Donaldson."

Sejenak wanita itu diam. Lalu tanyanya,

"Mau menemuinya?"

"Itu memang maksud saya," jawab Poirot


kalem. "Saya pikir, mungkin dia masih
menyimpan surat-surat mengenai kakeknya...."

"Hmm, lebih besar kemungkinannya anak muda


itu sudah membakarnya. Charles sama sekali
tak punya rasa hormat terhadap generasi
tuanya."
"Yah, tak ada salahnya dicoba," komentar
Poirot. "Orang harus mencoba semua jalan yang
mungkin ditempuh."

"Memang," ujar Nona Peabody kering.

Kerling mata perempuan itu rupanya Poirot


merasa tidak enak. Ia bangkit.

"Saya tak akan menyita waktu Anda lebih lama


lagi, Madame, Terima kasih banyak atas
informasi yang telah Anda berikan."

"Kurasa, aku sudah memberikan selengkapnya -


meskipun, agak terlalu menyimpang dari Indian
Mutiny, bukan?"

"Kasih kabar kalau bukunya sudah terbit,"


pesannya sebelum kami meninggalkannya.
Setelah itu kudengar jelas decak perempuan itu.
Decak khas seorang wanita zaman victoria yang
anggak.

BAB 11

BERKUNJUNG KE GUBUK NONA TRIPP

"Sekarang," ucap Poirot sewaktu kami masuk ke


mobil, "apa yang akan kita lakukan?"

Ingat pengalaman sebelumnya, aku tidak lagi


mengusulkan pulang ke London. Sebaliknya, aku
mengusulkan agar kami cari warung, dan
minum teh sebentar.
Poirot menggerutu.

"Dasar orang Inggris. Tak hidup kalau tak ada


teh! Tidak, mon ami. Bukan waktunya. Belum.
Ini sudah jam setengah enam. Beberapa hari
yang lalu aku membaca sebuah buku etika.
Katanya, bertamu tak boleh melebihi jam enam
sore. Kita masih punya setengah jam sekarang.
Sebaiknya kita selesaikan dulu tugas kita."

"Bukan main!" komentarku. "Dan, siapa kali ini


yang akan kita kunjungi?"

"Les demoiselles[nona-nona] Tripp."

"Alasanmu sekarang: tetap sebagai penulis


kisah hidup Jenderal Arundell? Atau ganti
menjadi penulis tentang Spiritualisme?"
"Jauh lebih sederhana dari yang kauduga,
Kawan. Tapi kita mesti cari informasi dulu di
mana alamat mereka."

Tak banyak kesulitan yang kami hadapi


mencarinya. Tempat tinggal kakak beradik Tripp
ternyata sebuah gubuk mungil yang sangat unik.
Begitu unik dan kunonya - sampai kupikir tinggal
menunggu waktu robohnya saja.

Seorang anak berusia tiga belas atau empat


belasan membukakan pintu. Dengan susah
payah ia minggir merapatkan diri ke dinding
memberi jalan kami masuk.

Bagian dalam gubuk itu terbuat dari kayu jati


tua. Sebuah perapian tua nampak mendominasi
ruangan yang sempit itu. Jendelanya kecil sekali.
Perabotannya dibuat sangat sederhana -
sekedar bisa dipergunakan. Nampak buah-
buahan tersusun pada beberapa mangkuk buah.
Sementara itu di sana-sini tergantung potret
dua orang perempuan dalam berbagai pose.
Ada yang sedang mendekap seikat bunga, ada
yang sedang memakai topi lebar.

Anak yang menerima kedatangan kami


menggumamkan sesuatu ketika meninggalkan
ruang tamu. Namun, tak lama kemudian
terdengar suaranya cukup nyaring di loteng.

"Ada tamu, Non!"

Terdengar suara perempuan berbicara, dan


dengan diiringi suara gemerisik dan
gemerincing, seorang wanita terlihat turun.

Usianya sudah mendekati lima puluhan.


Rambut-nya dibelah di tengah model Madona.
Matanya coklat dan sedikit cekung. Gaunnya
dari bahan muslin bercorak ramai.
Poirot melangkah mendekatinya, dan dengan
lancarnya mulai berbicara.

"Maafkan saya mengganggu Anda,


Mademoiselle. Saya datang ke Market Basing ini
mencari teman saya. Tapi rupanya ia sudah
pindah. Saya tanya orang dijalan. Katanya Anda
pasti bisa memberikan alamatnya."

"Oh. Siapa teman Anda itu?"

"Nona Lawson."

"Ooo... Minnie Lawson? Tentu saja saya tahu


alamatnya. Dia teman baik kami. Silakan duduk,
Tuan..."
"Parotti, nama saya. Dan ini kawan saya. Kapten
Hastings."

Nona Tripp mengangguk kepadaku, lalu


menyibukkan diri.

"Silakan duduk di sini. Saya lebih suka kursi


bersandaran tegak. Sudah enak duduknya? Oh,
Minnie Lawson.... Oh, ini dia adik saya."

Terdengar lagi suara gemerisik dan gemerincing


ketika di tangga terlihat seorang wanita lain
turun. Gaunnya berwarna hijau cerah - lebih
cocok dikenakan oleh remaja belasan tahun.

"Adik saya - Isabel. Isabel, ini Tuan - eh. Parrot,


dan temannya, Kapten Hawkins," Perempuan
yang pertama tadi berkata memperkenalkan.
"Tahukah, kau, Isabel?" tambahnya. "Tuan-tuan
ini ternyata temannya Minnie Lawson."
Nona Isabel Tripp tidak semontok kakaknya.
Perempuan yang satu ini malah bisa dikatakan
kurus. Rambutnya berwarna terang dan
kelihatannya dikeriting. Sikapnya agak kekanak-
kanakan, dan dengan mudah bisa dikenali
sebagai model foto-foto gadis yang berpose
membawa bunga. Ia bertepuk tangan
kegirangan seperti anak kecil.

"Oh, Minnie Lawson? Anda ketemu dia baru-


baru ini? Bagaimana kabarnya dia?"

"Sudah bertahun-tahun saya tak jumpa


dengannya," ujar Poirot. "Kami saling
kehilangan jejak. Saya baru pulang dari
perjalanan jauh. Itulah sebabnya saya sangat
terkejut dan girang bukan buatan mendangar
nasib baik yang dialaminya."
"Benar. Minnie memang berhak mendapat
rejeki. Minnie - oh, orangnya - oh, jarang ada
orang seperti dia. Sederhana... tulus..."

"Julia," seru Isabel tiba-tiba.

"Bukan main. Ingatkah kau huruf P yang


semalam kita lihat di papan jaelangkung kita?
Tamu dari seberang... dan initialnya P."

"Oh, ya- betul." Julia menjawab.

Kedua perempuan itu memandangi Poirot


seperti tidak percaya.

"Sama sekali tidak pernah salah," kata Julia


lembut. "Apakah Anda juga tertarik pada
keajaiban ini, Tuan Parrot?"
"Pengalaman saya masih sedikit, Mademoiselle.
Tapi seperti orang lain yang pernah tinggal di
negara-negara di Timur sana, saya pun
mengakui adanya hal-hal yang tak dapat
dijelaskan di alam ini."

"Benar," ujar Julia. "Tepat sekali."

"Hmmm... Negeri Timur," gumam Isabel.


"Daerah asal mistis dan okultis."

Perjalanan Poirot ke Timur, setahuku, cuma


sampai ke Siria dan dilanjutkan ke Irak.
Iramanya tidak lebih dari seminggu atau dua
minggu. Mendengar kata-katanya barusan, aku
yakin orang mengira ia sudah bertahun-tahun
hidup mengembara di hutan belantara bersama
sesama pengikut aliran mistis.

Dari penelitianku selama duduk di situ, dapat


kupastikan kedua tuan rumah kami itu
vegetans. Juga, bahwa mereka itu penganut
teosofi, suka mempelajari berbagai bangsa:
Inggris. Israel, serta mempelajari ajaran Kristen,
spiritual. Mereka juga fotographer amatir
kelihatannya.

"Kadang-kadang orang merasa," Julia berkata


sambil berdesah, "Market Basing ini bukan
tempat yang ideal buat hidup Tak punya
keindahan - dan tak punya jiwa. Bukankah
setiap manusia memerlukan jiwa buat bisa
hidup, Kapten Hawkins?"

"Ya," sahutku malu-malu. "Itu memang benar."

"Tak punya imajinasi, orang akan mati," kutip


Isabel. "Sering saya berusaha untuk
mendiskusikannya dengan Bapak Pendeta. Tapi
pandangan Beliau rasanya terlalu sempit.
Bagaimana pandangan Anda, Tuan Parrot.
Bukankah setiap kepercayaan itu membuat
orang cenderung berpikir sempit?"

"Padahal segala sesuatu itu sesungguhnya


sangat sederhana," sela Julia. "Semua orang
pada dasarnya sudah tahu, bahwa segala
sesuatu itu tak lain daripada kebahagiaan dan
cinta kasih."

"Benar, benar!" ujar Poirot. "Sayangnya


manusia masih sering berselisih paham dan
bertengkar -lebih-lebih kalau berurusan dengan
uang."

"Uang itu kotor," cela Julia.

"Nona Arundell almarhum juga pengikut aliran


Anda?"

Kedua kakak beradik itu saling pandang.


"Saya tidak tahu," kata Isabel.

"Terus terang, kami tak pernah merasa yakin


akan hal itu," sambung julia. "Kadang-kadang
kelihatannya dia itu percaya... tapi kata-katanya
selalu mencemooh, meremehkan."

"Ah, tapi ingatkah kau saat terakhir itu? Benar-


benar menakjubkan." Sambil berpaling kepada
Poirot, Isabel melanjutkan. "Malam itu malam
pertama Nona Arundell jatuh sakit. Kami sedang
berkunjung ke Puri Hijau, dan duduk-duduk di
ruang gelap bersama-sama. Kami berempat
waktu itu: Nona Arundell, Minnie Lawson, dan
kami berdua. Kami - maksud saya Minnie dan
kami berdua menyaksikan pemandangan yang
sangat menakjubkan. Di atas kepala Nona
Arundell nampak kepulan asap berwarna terang
membentuk semacam lingkaran suci."
"Bercahaya?"

"Yah... asapnya memang seperti bercahaya.


kan?" tanya Julia kepada Isabel.

"Benar'. Tepat! Perlahan-lahan... sedikit demi


sedikit... asap itu mengepul di atas kepala Nona
Arundell. Itu suatu pertanda - bahwa ia akan
pindah ke alam yang lain."

"Bukan main," ujar Poirot dengan nada kagum.


"Jadi ketika itu Anda sedang duduk-duduk di
ruang gelap, bukan?"

"Ya. Jaelangkung kami hasilnya lebih bagus


kalau dibuat di tempat gelap. Malam itu udara
hangat. Jadi perapian pun tidak dinyalakan."

"Ada roh yang datang dan berbicara kepada


kami waktu itu," lanjut Isabel.
"Namanya Fatima. Katanya, ia mau pada zaman
para nabi. Pesannya indah sekali.'"

"Roh itu benar-benar berbicara?'

"Tidak dengan mulut seperti kita. Bicaranya


melalui ketukan-ketukan. Cinta, harapan, hidup
-Oh, semua pesannya itu begitu indah."

"Nona Arundell betul-betul sakit sesudahnya?"


Poirot bertanya.

"Ya. Sesudahnya. Saya ingat. Waktu itu


dihidangkan anggur dan kue-kue. Nona Arundell
tak mau makan apa-apa. Katanya tidak enak
badan. Itu memang permulaan sakitnya.
Untunglah, ia tidak terlalu lama menderita."
"Ya. Nona Arundell meninggal empat hari
setelahnya," .sambung Isabel.

"Malahan sudah ada pesan-pesannya yang


disampaikan kepada kami," Julia berkata
bersemangat. "Katanya ia sangat berbahagia.
Semuanya indah, dan harapannya - damai
menyertai orang-orang yang dicintainya."

Poirot berdehem.

"Padahal - eh, yang terjadi justru sebaliknya,

"Kemenakannya memperlakukan Minnie


keterlaluan sekali. Kasihan Minnie," komentar
Isabel. Wajahnya merah padam menunjukkan
perasaan marahnya.

"Padahal Minnie itu orangnya baik - tidak


materialistis sama sekali," tambah Julia.
"Banyak orang yang menuduhnya sembarangan.
Katanya Minnie sengaja mendalangi permainan
kotor itu - hingga Nona Arundell terpaksa
mewariskan semua kekayaannya kepadanya."

"Padahal dia sendiri terkejut...."

"ia tidak percaya waktu surat wasiat itu


dibacakan oleh penasihat hukum Nona
Arundell...."

"Ia sendiri berkata kepada kami. 'Julia,' katanya,


'aku benar-benar tak bisa percaya. Bayangkan -
semuanya diwariskan kepadaku setelah
dipotong sedikit untuk membagi-bagi tanda jasa
kepada pelayan setianya.' Minnie sangat
terharu. Ia hampir-hampir tak kuasa bicara.
Setelah beberapa saat ia baru bisa bertanya -
berapa jumlah warisan yang diberikan
kepadanya. Dipikirnya cuma beberapa ribu
pound saja. Nyatanya tiga ratus tujuh puluh
lima ribu pound. Begitu kata penasihat hukum
Nona Arundell setelah menjelaskan panjang
lebar dari mana asal semua uang itu. Minnie
hampir saja pingsan - begitu katanya."

"Ia sama sekali tidak pernah membayangkan,"


cetus Isabel. "Ia tidak pernah berpikir nasib
semacam itu akan dialaminya."

"Jadi begitu ceriteranya kepada Anda?"

"Ya. Ia berulang-ulang menceriterakan


pengalamannya itu. Makanya --saya pikir -
sungguh tak patut Arundell-Arundell muda itu
bersikap seperti itu kepada Minnie. Menuduh,
mencurigai... Ini kan negara merdeka...."

Poirot menggumamkan sesuatu.


"Orang toh bebas mewariskan uangnya kepada
siapa saja yang disukainya?! Nona Arundell
orangnya memang sangat bijaksana. Kelihatan
sekali wanita tua itu tidak percaya kepada
keluarganya sendiri. Dan itu beralasan."

"Ah," Poirot berkata penuh antusias. "Benarkah


begitu?"

Perhatiannya yang serius itu mendorong Isabel


lebih bernapsu mengisahkan ceriteranya.

"Tentu saja benar. Tuan Charles Arundell - dia


itu kemenakan Nona Arundell - orangnya betul-
betul tidak terpuji. Semua orang tahu itu. Kalau
tak salah, ia malah dikejar-kejar polisi di negeri
asing. Sifatnya tak bisa dibanggakan. Adiknya -
yah, terus terang saya belum pernah bicara
sendiri dengan gadis itu. Tapi rupanya aneh,
Tuan. Aneh sekali. Dia itu gadis ultra modern.
Make-upnya selalu tebal. Melihat warna
bibirnya, saya jadi mual rasanya. Merah -
seperti darah segar. Saya pikir gadis itu sudah
kena pengaruh ganja pula... sikapnya tidak
wajar. Dengar-dengar ia tunangan dengan
dokter muda Donaldson. Tapi Donaldson pun
rupanya sering merasa jijik melihatnya.
Memang dia menarik. Tapi... oh, mudah-
mudahan dokter muda itu cepat sadar.
Donaldson harusnya dapat isteri yang baik-baik.
Gadis desa yang patuh dan menyukai alam."

"Adakah sanak keluarga Nona Arundell yang lain


lagi?"

"Yang satu ini juga, Tuan - kurang bisa


dibanggakan. Bukannya saya menjelek-jelekkan
Nyonya Tanios. Oh, orangnya sih sangat baik.
Tetapi bodohnya minta ampun. Ia betul-betul
dikuasai suaminya. Suaminya orang Turki, kalau
tak salah. Sangat memalukan - gadis Inggris
kawin dengan orang Turki. Kelihatan sekali
rendahnya. Nyonya Tanios itu seorang ibu yang
sangat baik, walaupun rupa anak-anaknya
kurang menarik."

"Jadi, dengan kata lain Nona Lawson-lah yang


paling pantas menerima warisan itu?" Dengan
tulus Julia berkata, "Minnie Lawson itu
orangnya benar-benar baik. Sedikit pun ia tidak
materialistis. Masalah uang sama sekali tidak
pernah dipikirkannya. Hal-hal semacam itu
sangat jauh dari pikirannya."

"Meskipun begitu, tak pernah terpikir olehnya


buat menolak warisan itu?" Isabel terperangah.

"Oh, mana ada orang mau berbuat begitu?"


Poirot tersenyum. "Tentu saja tidak ada."

"Tahukah Anda, Tuan Parrot," ujar Julia.


"Minnie menganggap warisan itu dipercayakan
kepadanya. Kepercayaan yang tulus dan suci
dari majikannya."
"Ia rela berbuat sesuatu untuk Nyonya Tanios,
atau untuk kepentingan anak-anaknya," lanjut
Isabel. "Ia cuma tidak rela kalau suami Bella -
TuanTanios maksudku- menguasai hak isterinya.

"Katanya, ia malah sedang berpikir-pikir untuk


memberi uang saku bulanan kepada Theresa."

Bukankah semuanya itu mencerminkan


kebaikan hatinya? Padahal, selama ini mereka
itu memperlakukan Minnie jelek sekali."

"Sungguh, Tuan Parrot, Minnie itu orang yang


paling baik. Anda toh tahu sendiri bagaimana
dia itu."

"Ya," ujar Poirot. "Saya mengenalnya, memang.


Tapi - di mana alamatnya?"
"Oh, maaf.... Betapa bodohnya saya! Perlu saya
tuliskan?"

"Biar saya tulis sendiri."

Poirot mengeluarkan buku sakunya.

"17 Clanroyden Mansions, W.2. Tidak jauh dari


Whiteles. Tolong sampaikan salam kami, ya
Tuan. Kami sudah agak lama juga tidak
mendapat kabar dari Minnie."

Poirot beranjak dari duduknya. Aku meng-


ikutinya.

"Terima kasih banyak," ucap Poirot, "atas


keramahan Anda. Juga atas ceritera-ceritera
Anda.
Terima kasih juga Anda mau memberikan
alamat Minnie."

"Oh, tak habis pikir mengapa orang-orang di


Puri Hijau tidak memberikan alamat Minnie,"
Isabel berkata. "Pasti si Ellen! Dasar pembantu!
Sukanya iri dan sangat picik. Mereka juga sering
kasar terhadap Minnie."

Julia berjabat tangan penuh hormat. "Terima


kasih atas kunjungannya," ujarnya anggun.
"Oh..."

Ia mengerling saudaranya.

"Apakah Anda," wajahnya bersemu merah.


"Apakah Anda mau makan malam bersama
kami, mungkin? Tidak ada apa-apa... cuma roti,
sayuran, dan mentega... tambah buah-
buahan...."
"Hmmm... lezat kedengarannya," kata Poirot
buru-buru. "Tapi sayang, kami harus segera
kembali ke London."

Setelah bersalaman sekali lagi, kami pun pamit


dan pergi.

BAB 12

POIROT MEMPERSOALKAN KASUSNYA

"Untunglah, Poirot," kataku bersungguh-


sungguh, "kau segera menghindar dari tawaran
makan wortel mentah mereka! Hmm... bukan
main., kedua perempuan itu."

"Pour nous un bon bifteck[untuk kita bistik


lezat] ditambah kentang goreng dan sebotol
anggur. Minuman apa yang akan disajikan kalau
kita mau, ya?"

"Air sumur, mungkin," jawabku bergidik. "Atau


sari apel non-alkohol. Heran aku. Begitu
sederhananya dan seadanya. Mungkin kamar
mandi dan WC pun tak ada di situ. Yang ada
cuma lubang dan pancuran di halaman
belakang."

"Heran, memang. Ada perempuan yang suka


hidup susah begitu." Poirot nampak berpikir.
"Padahal bukan karena miskin. Situasi itu
sengaja mereka ciptakan. Hm... pandai juga."
"Sekarang, perintah apa yang diberikan kepada
sopir?" tanyaku sementara kami menikung
menuju jalan raya ke luar kota Market Basing.
"Siapa lagi yang mendapat giliran kita kunjungi
sekarang? Atau mau balik ke restoran George -
menanyai lagi pelayan berpenyakit asma itu?"

"Nah, sekarang, kau pasti senang


mendengarnya, Hastings. Tugas kita di Market
Basing sudah selesai..."

"Bagus."

"Selesai buat hari ini saja, Sobat. Kita masih


harus kembali lagi ke sini."

"Masih dalam rangka memburu pembunuh yang


gagal membunuh itu?"

"Persis sekali."
"Apakah data-datamu bertambah dengan
mendengarkan ocehan kakak beradik Tripp
barusan?"

"Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,"


sahut Poirot. "Tokoh-tokoh drama kita semakin
jelas ketahuan sifatnya. Ceriteranya mirip-mirip
novelet zaman dulu, bukan? Pelayan yang papa,
yang dulunya dihina dan dicerca - berubah nasib
menjadi orang yang kaya raya, yang murah
hati..."

"Menurutku, orang yang merasa dirinya sebagai


ahli waris yang sah akan merasa segan berlaku
seperti itu."

"Benar, Hastings. Yang kaukatakan itu seratus


persen benar!"
Kami berdiam diri beberapa menit lamanya,
sementara mesin Austin-ku menderu lembut
mengarungi jalan menuju London.
Kudengungkan sebuah nada lagu. "Little Man.
You've Had a Busy Day."

"Senang, Poirot?" tanyaku akhirnya.

Poirot menyahut dingin,

"Aku tak mengerti maksudmu. Hastings."

"Yah, kelihatannya hari ini kau menghabiskan


waktu buat memuaskan hobimu."

"Jadi kaupikir aku main-main?"

"Oh, tentu saja kau serius. Tapi kurasa tak ada


gunanya terlalu melibatkan diri pada kasus ini.
Kau melakukannya cuma untuk kepuasan
hatimu sendiri. Maksudku, ini bukan kasus yang
nyata..." "Au contraire,[sebaliknya] ini benar-
benar nyata." "Mungkin caraku mengemukakan
salah. Yang kumaksud adalah - seandainya
dengan apa yang kaulakukan itu kau bisa
menyelamatkan Nona Arundell, maka - yah,
bolehlah. Ada kepuasannya! Tapi dalam hal ini,
apa gunanya... toh nenek itu sudah meninggal."

"Kalau begitu, mon ami, apa gunanya orang


menyelidiki kasus-kasus pembunuhan?"

"Bukan begitu. Itu lain lagi. Maksudku, dalam


kasus pembunuhan biasanya jelas ada orang
yang mati terbunuh.... Oh, sudahlah. Lupakan
saja!" ujarku kesal

"Jangan marah! Aku mengerti maksudmu. Kau


membedakan kematian yang jelas-jelas
disebabkan oleh pembunuhan dan kematian
yang kelihatannya biasa-biasa saja. Seandainya,
Nona Arundell mati dianiaya, misalnya - dan
bukan mati karena penyakit yang sudah lama
diidapnya - kau tentu tak akan meremehkan
usahaku membongkar kebenarannya. Begitu,
kan?" "Ya."

"Pokoknya, ada orang yang mencoba


membunuhnya."

"Ya. Tapi gagal. Ada bedanya. kan?" "Apa kau


tidak kepingin tahu siapa orangnya yang ingin
membunuh Nona Arundell itu?" "Tentu saja."

"Sebenarnya lingkupnya cukup sempit," ujar


Poirot. "Tali itu..."

"Ah, tali itu cuma ada dalam bayanganmu,


Poirot — karena kau melihat paku itu,"
sanggahku. "Siapa tahu paku itu sudah
bertahun-tahun tertancap di situ?"
"Tidak. Catnya masih baru."

Penjelasannya? Saat itu, tak sebuah alasan pun


terpikir olehku. Poirot menggunakan
kesempatan itu untuk melanjutkan teorinya
sendiri.

"Ya. Lingkupnya memang sangat sempit. Tali itu


direntangkan setelah semua penghuni rumah
pergi tidur. Karena itu, kemungkinannya cuma
penghuni rumah pada waktu itu yang perlu
dicurigai. Dengan kata lain, orangnya ada di
antara ketujuh orang yang tinggal di Puri Hijau
waktu itu. Dokter Tanios. Nyonya Tanios.
Theresa Arundell. Charles Arundell. Nona
Lawson. Ellen. Koki."

"Kupikir pelayan tak perlu kaucurigai, Poirot."


"Perlu. Mereka juga menerima bagian warisan,

lain: sakit hati, pertengkaran, ketidakjujuran...


mana kita tahu?" "Itu tak mungkin."

"Tak mungkin. Aku setuju, tapi, orang harus


mempertimbangkan setiap kemungkinan."

"Kalau begitu, mestinya delapan orang yang


harus kaucurigai."

"Mengapa begitu?"

Kasanya kali ini aku menang angka.

"Nona Arundell sendiri! Siapa tahu dia sengaja


merentang tali di situ dengan maksud supaya
orang lain yang jatuh?"
Poirot mengangkat bahu.

"Tidak masuk akal. Kalau benar Nona Arundell


sendiri yang memasang tali itu, dia tentu akan
berhati-hati. Nyatanya dia sendiri yang jatuh.

Kesal, aku tidak lagi mencoba-coba


membantahnya.

Sambil menerawang jauh sekali, Poirot berkata,

"Urut-urutan kejadiannya cukup jelas: Nona


Arundell jatuh - suratnya kepadaku -
kedatangan penasihat hukumnya - cuma ada
satu hal yang meragukan. Apakah Nona
Arundell sengaja menahan suratnya - tidak jadi
mengirimkannya. Atau dia punya perasaan surat
itu sudah dikirimkan?"
"Kita cuma bisa menebak. Secara pribadi, aku
berpendapat Nona Arundell mengira surat itu
sudah diposkan. Dan dia pasti heran mengapa
jawabannya tidak kunjung datang."

Pikiranku sedang sibuk sendiri.

"Bagaimana pendapatmu tentang aliran


spiritual itu, Poirot? Ada artinyakah?" tanyaku.
"Maksudku, mungkinkah yang dikatakan Nona
Peabody itu benar: arwah jenderal Arundell
datang menyampaikan pesan supaya Nona
Arundell mengubah surat wasiatnya; supaya
semua kekayaannya itu diwariskan kepada
Minnie Lawson."

Ragu, Poirot menggeleng.

"Bukan seperti itu bayanganku tentang Nona


Arundell."
"Kata Nona Tripp, Nona Lawson sangat terkejut
waktu surat wasiat itu dibacakan," ujarku pula.
"Begitu memang ceritera Nona Lawson kepada

"Tapi kau tidak percaya?"

"Mon ami, kau tahu kan, betapa pencuriganya


diriku! Aku tidak akan mempercayai apa pun
yang dikatakan oleh siapa pun, kecuali bila ada
buktinya."

"Benar, Sobat," komentarku. "Kau memang


begitu orangnya."

"Katanya. Bah! Apa artinya itu? Tidak ada. Sama


sekali tak ada. Mungkin saja yang dikatakan itu
benar. Tapi bukan tak mungkin itu sengaja
dikatakan untuk mengacaukan kita. Aku, Sobat,
cuma mau berurusan dengan fakta" "Dan
faktanya..-?"

"Nona Arundell jatuh. Semua orang yakin itu


cuma kecelakaan biasa. Padahal kecelakaan itu
sebenarnya tidak wajar - kecelakaan itu dibuat."
"Buktinya... Hercule Poirot bilang begitu." "Oh.
Sama sekali bukan! Ada bukti yang kuat: paku
itu. Bukti lain? Surat Nona Arundell sendiri.
Bukti yang lain lagi? Kata-kata yang diucapkan
Nona Arundell sebelum meninggal - tentang
lukisan pada guci, dan tentang bola Bob.
Semuanya itu adalah fakta."

"Fakta yang berikutnya lagi?" "jawaban kita


sendiri terhadap pertanyaan manusia normal.
Bila Nona Arundell meninggal -siapa yang
mendapat keuntungan? Jawabnya -Nona
Lawson!"
"Si Pelayan yang tak disukai itu! Di lain pihak,
yang lain-lain mengira akan mendapat sesuatu
bila Nona Arundell meninggal. Dan pada saat
terjadinya kecelakaan, mereka memang akan
menerima warisan bila Nona Arundell
meninggal."

"Tepat, Hastings. Itulah sebabnya kedudukan


mereka semuanya sama: perlu dicurigai. Ada
lagi suatu fakta sepele yang perlu diperhatikan:
mengapa Nona Lawson bersikeras agar
majikannya tidak mengetahui bahwa Bob tidak
di rumah semalaman." "Curiga?"

"Tidak. Aku cuma mencatat fakta kecil itu. Bisa


saja itu merupakan hal yang wajar. Tindakan
seorang pelayan yang bijaksana - demi
ketenangan hati majikannya. Dan pada pikirku,
inilah yang benar."
Kukerling Poirot. Gampang sekali ia berubah
pendapat.

"Nona Peabody menyebutkan bahwa ada


permainan di balik surat wasiat yang baru,"
ujarku. "Menurutmu, apa maksudnya, Poirot?"

"Itu cuma caranya mengemukakan suatu


kecurigaan yang tak bisa didefinisikannya."

"Nona Arundell bukan potongan orang yang


mudah dipengaruhi orang lain. Jadi, kupikir,
kemungkinan itu kita abaikan saja. Juga, ia tidak
mungkin bisa dipengaruhi oleh hal-hal tolol
semacam aliran spiritual itu."

"Mengapa aliran itu kausebut tolol, Hastings?"

Kupandang Poirot dengan keheran-heranan.


"Ya ampun, Poirot - perempuan-perempuan
tolol itu toh sama sekali tak masuk akal..?!"

Poirot tersenyum.

"Aku setuju akan penilaianmu terhadap kedua


Nona Tripp. Tapi, jangan karena hal itu
dikemuka-kan oleh orang yang kaunilai rendah
lalu kausama-ratakan nilainya dengan orang
yang mengemukakannya."

"Maksudmu, kau percaya aliran itu?"

"Aku tidak menutup pikiranku untuk hal-hal


semacam itu. Aku sendiri belum pernah
mempelajari manifestasinya. Tapi hal itu tentu
bisa diterima kalau melihat banyaknya ilmuwan
yang menyatakan bahwa mereka mengakui
adanya beberapa fenomena yang tidak bisa
dijabarkan."

"Kalau begitu, kau percaya bahwa kabut bulat


bercahaya itu benar-benar ada di atas kepala
Nona Arundell?"

Poirot mengibaskan tangan.

"Aku cuma bicara secara umum, Sobat -


mengomentari penilaianmu yang agak terlalu
sempit. Baiklah kujelaskan sekarang. Setelah
tahu dan menilai bagaimana Nona Tripp itu,
kupikir, kita mesti hati-hati sekali menyaring apa
yang mereka kemukakan. Perempuan yang
dungu, tetap saja dungu, Sobat - tak peduli apa
pun yang dibicarakannya."

"Tapi semua yang diucapkannya kauperhatikan


dengan sungguh-sungguh," tuduhku.
"Itu tugasku hari ini. Mendengarkan dengan
teliti. Mendengarkan pendapat berbagai orang
mengenai ketujuh tokoh yang ingin kukenal -
khususnya, kelima orang yang terlibat secara
langsung. Sekarang kita tahu aspek-aspek
tertentu dari orang-orang ini. Ambil contoh
Nona Lawson. Dari Nona Tripp kita dengar
bahwa ia tokoh yang setia, tidak materialistis,
murah hati, dan... semuanya yang bagus-bagus.
Dari Nona Peabody lain lagi yang kita dengar:
orangnya dungu, tak punya keberanian dan
pikiran untuk berbuat jahat. Dokter Grainger
mengatakan Nona Lawson cepat bingung,
tergantung pada orang lain, dan selalu
ketakutan. Dari pelayan di Restoran George, kita
dapat keterangan bahwa Nona Lawson orang
yang disegani. Sedangkan Ellen mengatakan,
Bob sangat membencinya. Nah, bukankah
masing-masing orang melihatnya dari segi yang
berbeda-beda? Begitu juga halnya dengan
tokoh-tokoh lainnya. Tak seorang pun
berpendapat positif terhadap Charles Arundell,
misalnya. Walaupun begitu, cara mereka
membicarakannya berbeda-beda. Dokter
Grainger menyebutnya tidak menghargai orang
tua. Nona Peabody menyatakan ia bisa
membunuh neneknya cuma untuk uang
beberapa sen - ia juga mengatakan, bahwa
secara pribadi ia lebih menyukai Charles
daripada Donaldson yang tekun dan patuh.
Nona Tripp bukan cuma mengatakan Charles
bisa berbuat jahat. Ia malah menyebutkan
bahwa Charles sudah sering melakukannya.
Semua pandangan ini sangat berguna dan
sekaligus menarik sekali. Berdasarkan semua itu
kita bisa melakukan apa yang selanjutnya mesti
kita lakukan." "Apa?"

"Menarik kesimpulan sendiri, Sobat."

BAB 13
THERESA ARUNDELL

Pagi berikutnya kami menuju alamat yang


diberikan oleh Dokter Donaldson.

Kuusulkan kepada Poirot untuk menemui


penasihat hukum Nona Arundell. tapi Poirot
menolak.

"Jangan," katanya. "Apa yang akan kita katakan


kepadanya? Alasan apa yang akan kita ajukan
untuk mengorek info dari dia?"

"Aaah, kan itu gampang, Poirot! Selama ini


otakmu tak pernah kehabisan alasan...."
"Ya. Tapi menghadapi ahli hukum lain lagi,
Hastings. Risikonya besar."

"Baiklah kalau begitu," ujarku. "Jangan."

Jadi, seperti telah kukatakan tadi, kami pergi ke


flat yang dihuni Theresa Arundell. Letaknya di
daerah Chelsea. Pemandangan di sekitarnya
indah, dengan sungai jernih mengalir tak jauh
dari situ. Perabotannya sangat modern dan
tampak mahal harganya- Semua terbuat dari
khrom mengkilat dengan kombinasi kulit.
Karpetnya tebal bermotifkan garis-garis
geometris.

Beberapa menit kami menunggu. Kemudian


keluarlah seorang gadis. Gadis itu menemui
kami dengan wajah penuh tanda tanya.

Kelihaiannya Theresa Arundell berumur dua


puluh delapan atau dua puluh sembilan-an.
Perawakannya tinggi, dan tubuhnya amat
langsing. Dalam gaun hitam putih yang
dikenakannya, ia nampak seperti lukisan yang
terlalu dibuat-buat. Rambutnya hitam legam -
wajahnya bermake-up tebal dan sangat putih.
Alisnya yang sengaja dibentuk itu memberi
kesan kurang menyenangkan. Bibirnya
merupakan satu-satunya warna cerah. Merah
menyala - pada wajah yang teramat putih. Ia
juga memancarkan suatu kesan, bahwa di
dalamnya tersembunyi kekuatan dan semangat
yang besar sekali. Aku sendiri tak tahu mengapa
aku memperoleh kesan seperti itu. Tapi,
sungguh; kesan itulah yang kudapat sejak aku
melihatnya.

Dengan pandangan dingin dan penuh tanda


tanya ia melihatku. Kemudian dialihkannya
pandangannya kepada Poirot.

Lelah berbohong (kukira), Poirot kali ini


menunjukkan kartu namanya sendiri. Theresa
memegang kartu itu sambil mengamat-
amatinya. "Anda M. Poirot?" tanyanya. Poirot
mengangguk dan bersikap sangat sopan.
"Benar, Mademoiselle. Boleh saya mengganggu
Anda sebentar?"

Seolah menirukan sikap Poirot yang resmi, gadis


itu berkata. "Tentu saja. M. Poirot. Silakan
duduk.' Poirot memilih kursi santai yang rendah.
Sedang aku sendiri memilih yang bersandaran
tegak. Dengan anggun namun cukup santai,
Theresa menjatuhkan dirinya pada kursi pendek
di dekat perapian, ia menawarkan rokok. Ketika
kami menolak, ia pun menyulut sebatang untuk
dirinya sendiri.

"Anda mungkin sudah mengenal nama saya.


Mademoiselle?"

Theresa mengangguk.
"Komplotannya Scotland Yard. Betul, bukan?"

Poirot nampak senang dijuluki begitu. Dengan


merasa diri penting, ia berkata,

"Saya memang menyibukkan diri saya dengan


menangani masalah-masalah kriminalitas,
Mademoiselle?"

"Oh, menarik sekali kedengarannya," ujar


Theresa walaupun nadanya bosan. "Sayang
buku tandatangan saya hilang. Saya yakin
tandatangan Tuan termasuk yang banyak
diburu."

"Kali ini saya menghadapi suatu masalah," lanjut


Poirot. "Saya menerima surat dari bibi Anda."
"Dari bibi saya?"
"Betul. Begitu saya bilang tadi," komentar
Poirot. Theresa bergumam,

"Maafkan saya. Tapi, sungguh - saya tidak punya


bibi. Semua bibi saya sudah meninggal. Yang
terakhir meninggal kurang lebih dua bulan yang
lalu."

"Nona Emily Arundell?"

"Ya. Nona Emily Arundell namanya. Anda toh


bukan menerima surat dari orang yang sudah
mati, M. Poirot?"

"Ada kalanya, Mademoiselle."

Ada sesuatu yang baru dalam suara gadis itu.


Perhatian, dan juga kehati-hatian.
"Apa yang ditulis bibi saya, M. Poirot?"

"Itu, Mademoiselle, belum bisa saya kemukakan


sekarang," ujar Poirot berdehem. "Masalahnya
agak sensitif."

Sunyi. Theresa Arundell menghisap asap


rokoknya. Kemudian katanya,

"Kedengarannya berahasia sekali, Anda. Lalu


apa hubungannya dengan saya?"

"Saya harap, Mademoiselle, Anda bersedia


menjawab beberapa pertanyaan."

"Pertanyaan? Mengenai apa?"

"Mengenai keluarga Anda."


Mata Theresa membelalak.

"Itu terlalu luas, saya kira. Bisakah Anda


memberi contoh, kira-kira macam apa
pertanyaannya?"

"Contohnya, bisakah Mademoiselle


memberikan alamat kakak Mademoiselle -
Charles?"

Kini matanya yang tadi membelalak kembali


menjadi sempit. Tenaganya yang tadi nampak
tersembunyi, sekarang tidak kelihatan sama
sekali. Ia seperti keong yang menarik diri ke
dalam siputnya.

"Tidak. Saya jarang sekali berkirim surat


kepadanya. Dia pun begitu. Saat ini dia sedang
di luar negeri."
"Oh."

Poirot diam.

"Cuma itu yang ingin Anda tanyakan?"

"Masih ada beberapa pertanyaan lagi. Salah


satunya, apakah Anda merasa puas dengan cara
bibi Anda mewariskan hartanya? Pertanyaan
yang lain, sudah berapa lamakah Anda
bertunangan dengan Dokter Donaldson?"

"Taktik Anda cepat juga rupanya."

"Eh bien - kita tidak saling mengenal. Karena itu


cuma satu jawaban saya: semuanya itu bukan
urusan Anda. Ca ne vous regarde pas, M.
Hercule Poirot."
Poirot memperhatikannya tanpa kedip.
Kemudian, tanpa menunjukkan rasa kecewa
sedikit pun, ia bangkit.

"Oh, jadi begitu! Sudah kuduga. B again biarkan


saya memuji aksen bahasa Prancis Anda yang
sangat mengagumkan itu, Mademoiselle.
Selamat pagi, dan banyak terima kasih. Ayo,
Hastings!"

Kami sudah sampai di pintu ketika terdengar


suaranya. Kekuatannya yang terpendam
kelihatan timbul lagi. Ia tak sedikit pun beranjak
dari tempat duduknya semula. Namun sepatah
kata yang diucapkannya toh mengubah
suasana.

"Kembalilah!"
Poirot menurut. Ia duduk kembali dan
memandangnya penuh tanda tanya.

"Sebaiknya kita hentikan semua pura-pura ini,"


katanya. "Siapa tahu Anda bisa menolong saya,
M-Poirot."

"Dengan segala senang hati, Mademoiselle. Apa


yang harus saya lakukan?"

Di antara dua kepulan asap rokok yang


disembur-kannya, ia berkata dengan tenang dan
teratur.

"Tolong kasih tahu saya: bagaimana cara


membatalkan surat wasiat itu."

"Oh, pengacara..."
"Ya. Tentu saja," selanya. "Pengacara memang
bisa melakukannya - asal kita ketemu pengacara
yang tepat. Pengacara yang saya kenal
semuanya orang-orang terhormat. Mereka
bilang surat itu sudah sah. Mereka menasihati
supaya saya tidak mencoba-coba
menyangkalnya. Percuma, katanya. Cuma
menghabiskan biaya saja."

"Anda tidak percaya akan hal itu?"

"Saya percaya bahwa di dunia ini selalu ada cara


untuk melakukan apa pun - asal tidak terlalu
takut salah, dan berani membayar. Nah, saya
dalam hal ini bersedia membayar."

"Anda yakin saya mau melakukannya kalau saya


dibayar?"

"Setahu saya, kebanyakan orang mau. Apa


bedanya Anda dengan yang lain. Menyangkal
kejujuran diri sendiri memang wajar... tapi itu
cuma mula-mula saja...."

"Oh, begitu. Jadi, ini merupakan bagian dari


permainannya? Seandainya saya bersedia
melakukannya - apa kira-kira yang mesti saya
lakukan?"

"Saya sendiri tidak tahu. Anda kan orang pandai.


Semua orang tahu itu, M. Poirot. Saya percaya
Anda bisa memikirkan suatu cara." "Misalnya?"

Theresa mengangkat bahu.

"Itu urusan Anda. Mencuri surat wasiat itu dan


memalsunya, kek. Menculik si Lawson dan
memaksanya mengaku bahwa dia memaksa Bibi
Emily menulis surat wasiat itu.... Mengarang
surat wasiat baru yang seolah-olah dibuat oleh
Bibi Emily sesaat sebelum meninggal.... Yah,
banyak cara!"
"imajinasi Anda sangat mengagumkan.
Mademoiselle."

"Nah, bagaimana jawaban Anda? Saya sudah


cukup terang-terangan. Kalau Anda menolak,
silakan keluar." Theresa berkata sambil
menunjuk ke pintu.

"Saya tidak menolak. Tapi..." ujar Poirot.

Theresa Arundell tertawa. Ia memandangku.

"Teman Anda kelihatannya shock. Apakah tidak


sebaiknya Anda suruh dia berjalan-jalan di luar
saja sementara kita berunding?"

Poirot memandangku jengkel.


"Kontrol sikapmu, Hastings. Maafkan dia,
Mademoiselle. Dia memang orang yang jujur.
Tapi dia

sangat setia. Kesetiaannya kepada saya seratus


persen. Baiklah. Saya ingin menekankan di sini,
bahwa apa yang akan kita lakukan tidak akan
bertentangan dengan hukum."

Alis mata Theresa terangkat.

"Hukum," lanjut Poirot, "mempunyai banyak


bidang cakupan."

Theresa tersenyum tipis. "Baiklah. Jadi .kita


sama-sama mengerti itu. Anda ingin
merundingkan bagian yang akan Anda peroleh
jika Anda berhasil?"
"Itu bisa juga kita putuskan sekarang. Saya tidak
akan meminta lebih daripada yang sewajarnya
saja."

"Oke," ujar Theresa Arundell.

Poirot beringsut ke pinggir kursi yang


didudukinya.

"Sekarang saya minta Anda mendengarkan apa


yang saya katakan, Mademoiselle. Biasanya,
katakan - dalam sembilar puluh sembilan di
antara seratus kasus - saya selalu berdiri di
pihak hukum. Satu lainnya - yah, itu berbeda.
Mungkin itu karena memang lebih
menguntungkan begitu... yang penting,
semuanya ini harus dilaksanakan dengan diam-
diam. Anda mengerti maksud saya, bukan? Saya
punya reputasi, dan saya tak mau reputasi saya
terganggu. Kita harus sangat berhati-hati."
Theresa Arundell mengangguk.

"Di samping itu saya perlu fakta-fakta yang


selengkapnya. Fakta-fakta yang benar! Anda
mengerti bukan, Mademoiselle, bahwa bila
kebenarannya sudah diketahui, maka lebih
gampang memikirkan taktik apa yang akan kita
lakukan?"

"Kedengarannya masuk akal," komentar


Theresa.

"Baiklah, kalau Anda sudah mengerti. Sekarang,


kapan surat wasiat itu ditulis - maksud saya,
tanggal berapa?"

"Tanggal dua puluh satu April."

"Surat wasiat yang sebelumnya?"


"Bibi Emily menulis surat wasiat itu kurang lebih
lima tahun yang lalu."

"Setelah memberikan sekedar tanda jasa


kepada Ellen dan seorang bekas koki, sisa
kekayaannya dibagi tiga untuk kemenakannya,
anak saudara kandungnya, Thomas dan
Arbella."

"Apakah warisan itu akan diserahkan kepada


seorang wali?"

"Tidak. Bisa langsung diserahkan kepada kami."


"Sekarang, hati-hati! Apakah Anda mengetahui
bagaimana pembagian warisannya menurut
surat wasiat itu?"

"Oh, Ya. Charlesjuga tahu. Begitujuga Bella. Bibi


Emily tidak pernah merahasiakan hal itu.
Setidaknya, kalau ada di antara kami yang ingin
pinjam uang, Bibi Emily selalu mengatakan,
'Kalian toh akan mewarisi semua uangku kalau
aku mati nanti'"

"Apakah bibi Anda juga menolak kalau pinjaman


itu sifatnya sangat penting - misalnya karena
ada yang sakit?"

"Saya kira tidak."

"Tapi bibi Anda berpendapat bahwa Anda


semuanya sudah berkecukupan?" "Benar- Bibi
Emily memang selalu beranggapan seperti itu."

Suaranya terdengar pahit.

"Padahal - sesungguhnya tidak begitu?"


Theresa tidak segera menjawab.

"Ayah meninggalkan sedikit uang. Kami masing-


masing mendapat tiga puluh ribu pound. Uang
itu disimpan di bank. Bunganya setahun kurang
lebih seribu dua ratus pound. Memang cukup
untuk hidup yang pas-pasan. Tapi saya..." suara
Theresa tiba-tiba berubah, tubuhnya yang
langsing menegak, kepalanya terangkat tinggi,
dan ia berbicara dengan semangat menggebu-
gebu. "Tapi saya menghendaki lebih dari itu!
Saya ingin yang terbagus! Makanan yang paling
lezat. Baju yang paling indah - bukan cuma
sekedar penutup tubuh yang memadai dengan
model kampungan. Bukan. Yang kuinginkan baju
dengan potongan mantap dan meyakinkan Sa a
ingin hidup dan menikmati hidup ini - pelesir ke
Laut Tengah, berjemur di pantai hangat, berjudi
dengan persediaan uang cukup, berpesta pora -
pesta yang mewah dan meriah. Saya ingin
semuanya saja yang ada di bumi celaka ini.
Bukan kapan-kapan, tapi sekarang! Saya ingin
semuanya itu saat ini juga!"
Suaranya begitu menawan, mengalun lembut
namun pasti dan diurapkan dengan penuh
semangat.

Poirot menatap gadis itu, memperhatikan setiap


kata yang diucapkannya - dengan sungguh-
sungguh.

"Dan, saya tidak salah menduga, bukan - bila


saya kira saat ini Anda telah menikmati
semuanya itu?"

"Benar. Hercule -" semuanya itu sudah saya


rasakan."

"Tinggal berapa uang Anda yang tersisa dari


yang tiga puluh ribu itu?"
Tiba-tiba Theresa tertawa ngakak.

"Dua ratus dua puluh satu pound lebih tujuh


pence. Itu jumlah yang setepat-tepatnya. Jadi,
tanpa hasil jangan harap Anda akan dibayar."

"Kalau memang demikian halnya.


Mademoiselle" Poirot berkata, "saya yakin saya
akan berhasil."

"Jiwamu besar, Hercule. Untung saja kita


bertemu."

Dengan nada bisnis Poirot menyambung,


"Masih ada beberapa hal lagi yang perlu saya
ketahui. Apakah Anda mengganja?" "Tidak. Tak
pernah." "Minum?"

"Ya - cukup banyak. Tapi bukan karena


ketagihan. Saya minum karena kawan-kawan
saya minum. Saya harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan saya. Tapi, kalau perlu, saya
bisa menghentikan kebiasaan itu dengan
segera."

"Bagus sekali."

"Saya kan tidak mau mabuk dan membocorkan


rahasia sendiri, Hercule." Poirot melanjutkan,
"Anda suka ganti-ganti pacar?" "Dulu - ya." "Dan
sekarang?" "Cuma Rex."

"Dokter Donaldson, maksudnya?"

"Ya."

"Kelihatannya dia berbeda sekali dengan


kehidupan yang baru saja Anda sebutkan tadi."
"Memang."
"Tapi toh Anda mencintainya? Mengapa, kalau
saya boleh tahu?"

"Alasannya, maksud Anda? Yah, mengapa, ya?


Mengapa Juliet jatuh cinta kepada Romeo?
Sama saja begitu."

"Salah satu sebabnya, karena Romeo kebetulan


pemuda pertama yang dijumpainya."

Perlahan Theresa berkata.

"Rex bukan lelaki pertama yang saya lihat,"


ujarnya. Kemudian, masih dengan suara
perlahan ia menambahkan, "Tapi saya yakin ia
lelaki terakhir
"Dia miskin, Mademoiselle." Theresa
mengangguk.

"Sangat miskin! Tapi dia orangnya tidak


menginginkan kemewahan atau keindahan atau
kesenangan atau semacamnya. Kalau perlu, ia
bersedia tidak ganti baju sampai bajunya
berlubang, makan daging kaleng setiap hari, dan
mandi dalam bak alumunium reot. Kalau dia
punya uang, uangnya akan dihabiskannya untuk
membeli tabung-tabung percobaan dan
mendirikan laboratorium. Dia ambisius. Profesi
adalah segalanya baginya. Profesi, baginya,
lebih penting dan lebih berarti daripada diri
saya."

"Apakah dia tahu bahwa Anda akan menerima


warisan bila bibi Anda meninggal?"
"Ya. Saya mengatakan kepadanya. Oh! Tapi,
tentu saja setelah kami bertunangan. Dia bukan
mengawini saya karena uang."

"Sampai sekarang dia masih tunangan Anda?"

"Tentu saja."

Poirot tidak memberi komentar. Ini.


kelihatannya membuat Theresa gelisah.

"Tentu saja kami masih tunangan," ulangnya.


"Apakah Anda pernah bertemu dengannya?"

"Sudah. Kemarin, di Market Basing."

"Oh, ya. Apa katanya?"


"Saya tidak bicara apa-apa dengannya. Cuma
minta alamat kakak Anda."

"Charles?" suaranya kembali tajam. "Apa


perlunya Anda mencari Charles?"

"Charles? Siapa yang mencari Charles?"

Yang belakangan asalnya dari suara lain yang


belum kami kenal sebelumnya. Suara seorang
laki-laki, suara yang nyaman dan enak didengar.

Seorang lelaki muda berwajah kecoklatan


melangkah masuk dengan senyum yang teramat
memikat.

"Siapa yang menyebut-nyebut namaku?"


tanyanya. "Aku tidak nguping, tapi kebetulan
mendengar namaku disebut-sebut. Ada apa
sebenarnya, Theresa? Ayo ceriterakan!"
BAB 14

CHARLES ARUNDELL

Harus kuakui, aku tertarik pada laki-laki muda


bernama Charles sejak detik pertama
memandangnya. Ada sesuatu yang memikat
pada dirinya. Matanya simpatik, kaya akan
kerlingan humor. Senyumnya sangat menawan.

Melenggang santai, ia berjalan ke tengah


ruangan, dan duduk pada lengan sebuah kursi.
"Ada apa, Non?" tanyanya lagi.

"Kenalkan Ini M. Hercule Poirot, Charles.


Katanya dia bersedia melakukan pekerjaan
kotor buat membantu kita. Imbalan yang
dimintanya tidak berlebihan."

"Maaf," sela Poirot. "Saya menyangkal bila Anda


mengatakan pekerjaan yang akan saya lakukan
itu kotor. Bukan pekerjaan kotor. Bagaimana
kalau kita sebut saja semacam penipuan tanpa
maksud jahat -sekedar agar maksud semula bibi
Anda terlaksana?"

"Terserah! Anda boleh sebut itu apa saja,


sesuka hati Anda," ujar Charles. Nadanya enak
didengar, dan tidak menyakitkan hati.
"Ngomong-ngomong, bagaimana ceriteranya
sampai Theresa bisa menghubungi Anda?"
"Adik Tuan tidak pernah menghubungi saya,"
kata Poirot cepat. "Saya datang ke sini atas
kemauan saya sendiri."

"Menawarkan jasa?"

"Sebetulnya tidak. Saya datang hendak mencari


Anda. Adik Anda mengatakan bahwa Anda
sedang di luar negeri."

Charles berkata,

"Theresa memang seorang adik yang bijaksana,


ia sangat berhati-hati. Hampir tak pernah dia
berbuat salah Tapi, terus terang - orangnya
sangat pencuriga."

Charles memandang adiknya sayang. Tapi yang


dipandang tidak membalas senyumannya. ia
kelihatan gelisah dan berpikir.
"Saya jadi bingung. Mengapa jadi begini?
Bukankah Anda M. Poirot yang tersohor sebagai
pemburu orang jahat paling ulung? Mengapa
tiba-tiba mau melakukan yang sebaliknya?"

"Kami bukan penjahat," komentar Theresa


tajam.

"Tapi kami bersedia jadi penjahat," Charles


berkata ringan. "Terus terang, saya sudah
berpikir-pikir untuk membuat surat wasiat
palsu. Itu satu-satunya yang terpikir oleh saya.
Saya dikeluarkan dari Oxford karena masalah
cek. Bodoh juga sih saya waktu itu... mencoret
cek dan mengganti angkanya. Tentu saja
ditolak. Pernah lagi kejadian di Market Basing.
Tapi yah - itu toh karena saya kurang hati-hati.
Bisa dimaklumi! Masih coba-coba. Gagal juga
kurang ada artinya. Nah, rencana yang ini -
membuat surat wasiat palsu yang seolah-olah
dibuat oleh Bibi Emily ditempai tidur beberapa
saat sebelum meninggal - kuakui: agak riskan.
Satu-satunya jalan, kita harus membujuk - kalau
perlu memaksa dan mengancam Ellen supaya
mau mengaku bahwa dia menyaksikan Bibi
Emily menulis surat yang paling akhir ini. Saya
tahu itu sukar. Yah, kalau terpaksa,
mengawininya pun saya mau. Bukan karena
apa-apa. Tapi karena dengan begitu saya yakin
dia tidak bisa memberikan kesaksian yang
merugikan saya."

Charles meringis manis kepada Poirot.

"Saya jadi ngeri Anda memasang alat perekam -


bisa-bisa seluruh Scotland Yard mendengar
semua yang saya katakan tadi," ujarnya.

"Saya tertarik pada masalah yang Anda hadapi,"


Poirot berkata. Sikapnya menunjukkan rasa
kurang senang. "Saya memang tidak bisa
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
hukum. Tapi, masih banyak jalan selain..."
Poirot sengaja berhenti.

Charles Arundell mengangkat bahu.

"Saya yakin ada cara lain yang bisa dipikirkan


dengan menggunakan kelemahan-kelemahan
hukum," katanya. "Anda pasti lebih tahu."

"Siapa yang menyaksikan penandatanganan


surat wasiat bibi Anda yang baru? Maksud saya,
yang dibuat pada tanggal 21 April itu?"

"Purvis waktu itu mengajak anak buahnya. Saksi


lainnya Pak Kebon Bibi Emily."

"Surat itu ditandatangani di hadapan Tuan


Purvis?"
"Ya."

"Dan, Tuan Purvis ini orang yang reputasinya


sangat terhormat?"

"Purvis, Purvis, Charlesworth dan sekali lagi


Purvis - itu sama terhormatnya dengan Bank of
England."

"Sebenarnya," cetus Theresa, "Tuan Purvis tak


senang Bibi Emily menulis surat yang kedua itu.
Dia malah mencoba mencegah Bibi Emily
membuat surat itu."

Charles berkata tajam, "Dia bilang begitu


kepadamu, Theresa?" "Ya. Saya ke kantornya
kemarin." "Tidak baik. Sudah berkali-kali
kukatakan tidak baik. Tak ada gunanya kau
mondar-mandir ke sana."
Theresa mengangkat bahu. Poirot berkata,

"Coba ceriterakan kepada saya sebanyak


mungkin mengenai minggu-minggu terakhir
sebelum Bibi Anda meninggal. Setahu saya.
Anda berdua, juga Dokter Tanios dan isterinya,
tinggal di sana selama liburan Paskah."

"Betul."

"Adakah kejadian yang patut dicatat selama


itu?" "Tidak."

"Tidak ada? Saya kira..." Charles menyela,

"Dasar egois, kau. Theresa! Kau - dimabok cinta!


Theresa punya pemuda idaman di Market
Basing, M. Poirot. Pemuda asli situ. Akibatnya,
dia kurang sadar akan apa yang terjadi. Bibi
Emily mengalami kecelakaan. Jatuh
menggelinding dari pucuk tangga. Hampir saja
meninggal. Sayangnya tidak. Kalau Bibi Emily
meninggal waktu itu, tentu semuanya ini tidak
akan terjadi."

"Jatuh dari tangga?"

"Ya. Tersandung bola anjing kesayangannya.


Anjing itu sembrono. Suka bermain bola di
tangga situ. Celakanya, dia sering meninggalkan
bolanya begitu saja di situ. Bibi Emily
tersandung waktu dia hendak turun."

"Kapan kejadiannya?"

"Tunggu - Selasa malam. Sebelum kami pulang."

"Bibi Anda luka parah?"


"Sayang bukan kepalanya duluan yang
menumbuk lantai. Kalau ya, paling tidak Bibi
Emily gegar otak. Tapi tidak. Bibi Emily hampir
tidak luka sama sekali."

"Dan ini sangat mengecewakan buat Anda!"


"Apa? Oh, ya, saya mengerti maksud Anda.
Memang, sangat mengecewakan."

"Anda semuanya pulang pada hari Rabu-nya?"


"Benar."

"Rabu tanggal lima belas. Sesudah itu. apakah


Anda pernah bertemu lagi dengan bibi Anda
sebelum Beliau meninggal?"

"Ya. Tapi bukan malam Minggu berikutnya.


Malam Minggu yang sesudahnya. Jadi, dua
minggu sesudahnya."
"Oh, jadi itu tanggal dua puluh lima, bukan?"

"Ya."

"Dan kapan meninggalnya bibi Anda?" "Hari


Jumat setelah itu." "Setelah sakit mulai hari
Senin malamnya?" "Ya."

"Anda pulang hari Senin itu?" "Ya."

"Apakah selama Nona Arundell sakit Anda


datang menjenguk?"

"Tidak. Kami baru datang hari Jumat itu. Tak


sangka keadaan Bibi Emily seburuk itu."

"Jadi kedatangan Anda itu tepat sebelum Beliau


meninggal?" "
"Tidak. Bibi Emily sudah meninggal ketika kami
datang. Kami terlambat."

Poirot ganti memandang Theresa.

"Anda datang ke sana bersama kakak Anda?"

"Ya."

"Dan bibi Anda tidak mengatakan apa api


lengenai surat wasiatnya yang baru?" "Tidak,"
jawab Theresa.

Pada saat yang bersamaan Charles menjawab,

"Ya."
Bicaranya ringan seperti semula. Hanya saja ada
sesuatu dalam suaranya yang kedengaran
kurang wajar.

"Oh. Jadi Nona Arundell mengatakan bahwa dia


membuat surat wasiat baru?" "Charles!" seru
Theresa.

Charles nampak gelisah. Ia menghindari


pandangan adiknya.

"Masa kau lupa, Theresa? Aku kan sudah bilang.


Bibi Emily mengultimatum. Dia duduk seperti
hakim di pengadilan. Berpidato panjang lebar.
Katanya dia kecewa pada semua keluarganya —
maksudnya, Theresa dan saya sendiri. Bella,
katanya tidak termasuk. Tapi Bibi Emily benci
dan tak bisa mempercayai suami Bella. Kalau
toh Bella diwarisi sesuatu. Bibi Emily tak mau
suaminya ikut menguasai harta itu. Orang
Yunani tidak bisa dipercaya. 'Biarkan Bella lebih
aman begitu saja.' Begitu kata Bibi Emily. Bibi
Emily juga mengatakan, bahwa Theresa dan
saya sama-sama tidak dapat dipercaya dalam
hal yang menyangkut uang. Katanya. paling-
paling uangnya dipakai berjudi dan dihambur-
hamburkan. Itulah sebabnya, katanya, ia
membuat surat wasiat yang baru. Semua
kekayaannya akan diwariskan kepada Minnie
Lawson. Minnie memang agak bodoh,' katanya,
meskipun begitu dia setia. Aku yakin dia
berbakti padaku tanpa pamrih. Kita tidak bisa
menyalahkannya kalau otaknya kurang cerdas.
Kupikir, Charles, lebih baik kukatakan semuanya
ini kepadamu - supaya kau tidak terlalu banyak
mengharap dariku.' "

"Mengapa kau tidak menceriterakannya


kepadaku, Charles?" tanya Theresa sengit.

"Sudah.'" Charles masih tetap menghindari


pandangan adiknya.
Poirot ganti bertanya,

"Bagaimana reaksi Anda ketika itu. Tuan


Arundell?"

"Reaksi?" tanyanya. "Saya cuma tertawa. Tak


baik membalas kekasarannya dengan kekasaran
pula. Bukan begitu caranya. 'Terserah, kalau itu
memang yang Bibi inginkan,' kataku. 'Terus
terang saya kaget mendengarnya, tapi itu toh
uang Bibi sendiri. Bibi bebas
mempergunakannya sesuka hati Bibi.' "

"Dan reaksi bibi Anda?"

" 'Bagus,' katanya, 'Kau sportif.' Kubalas, 'Aku


cuma membalas kekasaran dengan kehalusan,
Bibi. Ngomong-ngomong, kalau Bibi memang
tidak akan mewarisiku apa-apa, boleh kan saya
minta uang jajan sedikit sekarang?' Bibi Emily
bilang saya anak tak tahu malu, tapi toh
memberikan juga selembar uang lima pound."

"Anda pandai sekali menyembunyikan


perasaan, Tuan Arundell."

"Terus terang saya tidak menganggapnya


serius."'

"Oh, ya?"

"Ya. Saya pikir itu cuma taktik orang tua


menakut-nakuti anak. Saya yakin beberapa
minggu kemudian Bibi Emily akan menyobek
surat wasiatnya yang baru. Bibi Emily orangnya
sangat besar rasa kekeluargaannya. Perasaan
saya begitu yakin Bibi Emily akan mengubah lagi
isi surat wasiatnya kalau saja tidak meninggal
secepat itu."
"Ah!" Poirot berkata. "Luar biasa! Sangat
menarik!"

Semenit atau dua menit lamanya, Poirot diam.


Kemudian ia berkata,

"Mungkinkah ada orang lain yang


mendengarkan pembicaraan itu — Nona
Lawson, umpamanya?"

Mungkin saja. Kami tidak berbisik-bisik waktu


itu. Dan terus terang, ketika saya keluar, si
Lawson memang sedang keluyuran dekat pintu.
Siapa yang tahu dia memang nguping."

Poirot mengalihkan perhatiannya kepada


Theresa.

"Sungguh Anda tidak tahu sama sekali


mengenai ini?"
Belum sempat gadis itu menjawab, Charles
sudah menyela,

"Theresa — aku yakin aku sudah


menceriterakan-nya kepadamu. Memang tidak
selengkap yang barusan kuceriterakan. Tapi aku
sudah bilang kepadamu. Sungguh, Theresa!"

Aneh. Charles menatap tajam adiknya. Tatapan


yang menunjukkan kegelisahan, dan terasa
tidak pas dalam pembicaraan itu.

Perlahan Theresa berkata,

"'Kalau memang benar kau sudah


menceriterakan-nya kepadaku — tidak mungkin
aku lupa. Betul, bukan, M. Poirot?" Sepasang
matanya yang hitam tajam memandang Poirot.
"Benar, Nona Arundell," sahut Poirot pelan.
"Anda tak mungkin lupa."

tiba-tiba Poirot berpaling kepada Charles.

"Coba jelaskan dengan teliti, Tuan Arundell -


Apakah waktu itu Bibi Anda mengatakan akan
merubah surat wasiatnya; ataukah sudah
melakukannya?"

Jawaban Charles cukup cepat.

"Sudah. Bibi Emily malah menunjukkan surat


wasiatnya yang baru."

Duduk Poirot menegak. Matanya membeliak.


"Ini penting sekali. Jadi, Anda tadi bilang - Bibi
Anda benar-benar menunjukkan surat
wasiatnya yang baru kepada Anda?"

Charles membuat beberapa gerakan seperti


anak kecil yang resah. Kelihatan sekali
pertanyaan Poirot memojokkan pemuda itu.

"Ya," ujarnya. "Bibi Emily menunjukkan surat


wasiat itu kepada saya."

"Anda berani sumpah?"

"Berani." Charles memandang Poirot dengan


gelisah. "Apa pentingnya sih?"

Theresa berdiri dari kursinya. Ia berjalan pelan-


pelan ke perapian, dan berdiri di dekatnya.
Disulutnya sebatang rokok baru.
"Dan Anda, Mademoiselle?" alih Poirot tiba-
tiba. "Apakah Bibi Anda tidak mengatakan apa
pun kepada Anda mengenai hal ini?"

"Tidak. Bibi Emily ramah - maksud saya, biasa-


biasa saja. Menasihati saya supaya mengubah
cara hidup saya yang jelek, dan sebagainya. Tapi
itu memang biasa dilakukannya. Hanya saja,
yang terakhir kemarin memang rasanya sedikit
lain."

Tersenyum, Poirot berkata,

"Mungkin karena Anda terlalu sibuk dengan


tunangan Anda, Mademoiselle?"

Jawaban Theresa pedas.


"Oh. Dia tidak di sana waktu itu. Kebetulan ada
suatu kongres kesehatan yang harus
dihadirinya."

"Jadi, Anda belum bertemu lagi dengannya


semenjak liburan Paskah?"

"Benar. yang terakhir, waktu dia datang santap


malam bersama di Puri Hijau — malam sebelum
kami pulang."

"Maafkan pertanyaan saya ini — Apakah Anda


tidak bertengkar dengan tunangan Anda waktu
itu?"

"Tentu saja tidak."

"Saya cuma berasumsi — mencoba mencari


jawab, mengapa ia pergi pada kunjungan Anda
yang kemudian."
Charles menyela,

"Kedatangan kami setelah Paskah itu memang


tidak direncanakan sebelumnya." "Sungguh?"

"Oh, sudahlah! Kita terus terang saja: Bella dan


suaminya menjenguk Bibi Emily seminggu
sebelum itu. Mereka berusaha menunjukkan
perhatian. Kami kuatir, mereka itu mendahului
langkah kami...."

"Kami berpikir," Charles berkata dengan


tersenyum lebar, "bahwa kami pun sepantasnya
menunjukkan perhatian pada kesehatan Bibi
Emily... Kami tahu Bibi Emily sukar dibohongi.
Dia cepat menangkap apa yang sebetulnya ada
di balik kedatangan kami itu."
"Lucu, bukan? Semuanya bermanis-manis demi
uang."

"Itu juga yang dilakukan oleh saudara sepupu


Anda dan suaminya?"

"Ya. Kehidupan Bella selama ini agak sulit. Ia


berusaha meniru semua model baju saya -
dengan biaya tak lebih dari seperdelapannya.
Sebenarnya Bella tidak miskin. Tapi, suaminya
suka berspekulasi. Uang Bella habis
dispekulasikannya. Itu sebabnya mereka hidup
sangat sulit sekarang. Anak mereka dua orang,
dan mereka ingin menyekolahkan anak-anak itu
di Inggris sini."

"Boleh saya minta alamatnya?" tanya Poirot.

"Sekarang mereka masih tinggal di Hotel


Durham, Di Bloomsbury."
"Bagaimana dia orangnya? Maksud saya,
saudara sepupu Anda itu?"

"Bella? Oh, agak membosankan. Charles?"

"Benar. Sangat membosankan. Tampangnya


seperti kepik. Dia seorang ibu yang baik- begitu
juga kepik"

"dan suaminya?"

"Tanios? Yeah, tampangnya agak aneh. Tapi dia


orangnya manis. Cerdas, menyenangkan...."

"Anda setuju, Mademoiselle?"


"Yah - harus saya akui, saya lebih menyukai
Tanios daripada Bella. Tanios dokter yang
pandai sekali. Meskipun begitu, sukar bagi saya
untuk mempercayainya."

"Theresa," ujar Charles sambil melingkarkan


lengannya pada bahu adiknya, "tak pernah
percaya pada siapa pun. Termasuk saya."

"Kalau ada orang yang mempercayaimu,


Charles, pasti ada sesuatu yang tidak beres pada
orang itu," sahut Theresa.

Charles melepaskan Theresa. Kedua kakak-


beradik itu kini memandang Poirot.

Poirot menganggukkan kepalanya dan berjalan


menuju pintu.
"Akan saya kerjakan tugas saya! Memang sulit.
Tapi Mademoiselle benar - jalan bisa dicari.
Ngomong-ngomong, apakah Nona lawson tipe
orang yang bingung bila diperiksa di
pengadilan?"

Charles dan Theresa saling bertukar pandang.

"Menurut saya," Charles berkata, "kalau pandai


orang yang menanyainya, ia bisa mengatakan
yang hitam itu putih."

"Terima kasih. Informasi ini sangat berguna,"


ucap Poirot.

Ia keluar dari ruang apartemen itu, dan aku pun


mengikutinya. Di tempat peniupan topi dan jas,
Poirot mengambil topinya. Setelah itu ia
berjalan menuju pintu keluar. Dibukanya pintu
itu, dan dihempaskannya sedemikian rupa
hingga pintu itu menutup dengan suara keras.
Poirot tidak keluar. Ia masih tetap di dalam.
Berjingkat-jingkat ia kembali ke dekat pintu
ruang duduk apartemen Theresa dan tanpa
malu-malu, ditempelkannya telinganya dekat
lubang kunci. Nguping seperti itu sangat
memalukan bila dilakukan oleh orang yang
berpendidikan. Dan kali ini, aku merasa malu
dan marah melihat Poirot melakukannya. Tapi
aku tak berdaya mencegahnya. Beberapa kali
kuberi isyarat, namun Poirot tak
menghiraukannya.

Kemudian, jelas sekali, terdengar suara Theresa


Arundell yang dalam dan bergetar
mengucapkan dua patah kata,

"Kau bodoh!"

Terdengar langkah kaki orang, dan Poirot pun


cepat menarik lenganku sambil setengah
menyeretku ke luar melalui pintu yang tadi
dibuka dan dihempaskannya. Kali ini ia
membuka dan menutupnya tanpa suara.

BAB 15

NONA LAWSON

"Poirot," ujarku, "perlukah nguping sepertr itu?"

"Tenang, Kawan - kau tak perlu malu. Toh yang


melakukan bukan kau."

"Ya. Tapi aku juga ikut mendengar."


"Betul. Mademoiselle memang tidak berbisik-
bisik."

"Itu, karena dia berpikir kita sudah pergi."

"Kuakui. Kita memang sedikit curang."

"Aku tak suka itu."

"Moralmu agak terlalu tinggi. Tapi sudahlah.


Sudah berkali-kali kita memperdebatkannya.
Kau mau bilang bahwa permainan begitu tidak
jujur, kan? Nah. Jawabku, pembunuhan juga
bukan permainan yang jujur."

"Tapi, dalam hal ini toh tidak ada


pembunuhan?"

"Jangan terlalu yakin akan pendirianmu itu."


"Maksud memang ada - ya, maksud membunuh
itu memang ada, mungkin. Tapi, membunuh
dan mencoba membunuh toh berbeda?"

"Ditinjau dari segi moral, keduanya sama. Tapi.


yakinkah kita bahwa yang kita hadapi ini cuma
suatu percobaan membunuh?"

Kupandang Poirot dengan rasa heran.

"Tapi, Poirot, Nona Arundell meninggalnya

"Sekali lagi kuulang - yakinkah kau?"

"Semua orang bilang begitu." "Semua orang?


Oh, ia ia!"
"Dokternya mengatakan begitu," bantahku.
"Dokter Grainger toh tahu penyebab
kematiannya."

"Ya. Seharusnya dia tahu penyebabnya."


Kedengarannya Poirot tidak puas. "Tapi ingat,
Hastings. Tubuh orang mati masih selalu bisa
digali kembali dan diperiksa. Dalam hal begitu,
ada surat pernyataan yang harus ditandatangani
oleh dokter yang menanganinya secara jujur."

"Aku mengerti. Tapi, dalam hal ini Nona


Arundell toh meninggal karena sakit yang
berkepanjangan?"

"Kelihatannya."

Suara Poirot masih menunjukkan rasa tidak


puasnya. Kuperhatikan dia. "Poirot," ujarku.
"Sekarang giliranku tanya dengan memakai
kata-kata Yakinkah kau' - Yakinkah kau bahwa
kau tidak terbuai oleh kefanatikan Profesimu?
Karena kau ingin menganggapnya sebagai
pembunuhan, lalu kaupikir itu pasti
pembunuhan."

Poirot kelihatan berpikir. Ia mengangguk pelan-


pelan.

"Di situ kau pandai, Hastings. Pembunuhan


memang selalu jadi urusanku. Seperti dokter
bedah yang katakanlah spesialis di bidang usus
buntu... kalau ada pasien yang datang
kepadanya dengan gejala mendekati usus
buntu, maka ia akan cepat mengambil asumsi
bahwa pasiennya memang menderita usus
buntu. Begitu juga aku. Dalam menghadapi
setiap kasus, selalu aku bertanya pada diriku
sendiri, 'Mungkinkah ini suatu pembunuhan?'
Dan, Kawan, kemungkinan itu selalu ada."
"Dalam hal ini tak banyak kemungkinannya,"
komentarku.

"Tapi dia mati, Hastings! Kau tak bisa


menyangkal fakta ini. Dia mati!"

"Kesehatannya jelek. Umurnya sudah lebih dari


tujuh puluh. Bagiku, kematiannya hal yang
wajar."

"Wajar pulakah kaupikir bila Theresa Arundell


menyebut kakaknya bodoh dengan cara seperti
itu?"

"Apa hubungannya?"

"Banyak! Coba katakan - apa pendapatmu


mengenai pernyataan Tuan Charles bahwa
bibinya memperlihatkan surat wasiatnya yang
baru?"
Kupandang Poirot dengan kesal.

"Pendapatmu sendiri bagaimana?" tanyaku.

Mengapa harus selalu Poirot yang bertanya?

"Menurutku itu sangat menarik - ya, menarik


sekali. Begitu juga reaksi Nona Theresa Arundell
mendengarnya. Gerakan mereka mencerminkan
sesuatu."

"Hm," gumamku.

"Dari situ timbul dua pertanyaan."

"Kelihatannya mereka pasangan penjahat yang


manis sekali," komentarku. "Siap menghadapi
segala sesuatu. Yang perempuan bukan main
cantiknya. Dan si pemuda - jelas sangat
mempesona."

Poirot melambaikan tangan, menghentikan


sebuah taksi. Taksi itu berhenti di pinggir jalan,
dan Poirot memberikan alamat kepada
supirnya.

"17 Clanroyden Mansions, Bayswater."

"Jadi, berikutnya si Lawson'" komentarku. "Dan


sesudahnya... Keluarga Tanios?"

"Benar, Hastings."

"Peran apa yang akan kaumainkan nanti?"


tanyaku sementara taksi yang kami tumpangi
mengurangi kecepatan dan berhenti di
Clanroyden Mansions. "Penulis biografi Jenderal
Arundell, calon pembeli Puri Hijau, atau apa
lagi?"

"Sederhana. Aku akan datang sebagai Hercule


Poirot."

"Oh." Aku mencibir.

Poirot cuma melirikku sambil membayar supir


taksi.

Nomor 17 ada di lantai dua. Seorang pelayan


muda berwajah agak tolol membukakan pintu.
Kami dipersilakan masuk ke ruang tamu yang
kelihatan sangat menggelikan bila dibandingkan
dengan ruang tamu di flat Theresa tadi.

Flat Theresa Arundell hampir bisa dikatakan


kosong. Sebaliknya, tempat tinggal Nona
Lawson ini begitu penuh sesak dengan perabot
dan barang-barang kecil lainnya sampai-sampai
orang hampir tidak bisa bergerak tanpa
menyentuh sesuatu.

Pintu dalam dibuka, dan seorang wanita keluar.


Badannya agak gemuk. Usianya kira-kira lima
puluhan. Nona Lawson ternyata persis seperti
yang kubayangkan semula. Wajahnya penuh
antusias walaupun kelihatan sedikit kurang
cerdas. Rambutnya yang keabu-abuan nampak
acak-acakan, ia mengenakan sepasang kaca
mata tanpa gagang yang menempel agak terlalu
bawah pada hidungnya. Bicaranya terputus-
putus, dan diselingi terlalu banyak 'Ah!' atau
'Oh!'

"Selamat pagi - eee... saya tidak..."

"Anda Nona Wilhelmina Lawson?"

"Ya - ya. Itu nama saya."


"Saya Poirot - Hercule Poirot. Kemarin saya
melihat-lihat Puri Hijau"

"Oh, ya?"

Mulut perempuan itu menganga lebih lebar,


dan beberapa kali ia nampak membetulkan
letak rambutnya tanpa hasil.

"Silakan duduk," ujarnya. "Oh, silakan duduk di


sini. Oh! Meja itu menghalangi jalan Anda.
Memang di sini agak kepenuhan. Susah. Flat
macam begini! Sempit... Tapi, yah letaknya di
tengah kota. Saya memang cari yang begitu."

Sambil berdesah ia duduk pada sebuah kursi


antik. Dengan kacamatanya masih menempel di
tempat yang tidak semestinya, perempuan itu
menyandarkan punggungnya sambil
memandang Poirot penuh harap.

"Saya pergi ke Puri Hijau, berpura-purajadi


calon pembeli," lanjut Poirot "Tapi, saya ingin
segera mengatakan alasan saya yang
sebenarnya -walaupun ini sebetulnya sangat
rahasia."

"Oh, ya," Nona Lawson berkata segera, ia


nampak senang dan bersemangat.

"Ini sangat rahasia sifatnya," lanjut Poirot.


"Maksud saya, bahwa saya pergi ke sana itu
dengan alasan yang lain. Mungkin Anda tahu,
mungkin juga tidak - sebelum meninggal, Nona
Arundell menulis surat kepada saya...."

Poirot berhenti sebentar. Kemudian lanjutnya:


"Saya seorang detektif kenamaan."

Berbagai ekspresi berganti-ganti menghiasi


wajah Nona Lawson. Aku tak tahu ekspresi yang
mana yang akan dicatat oleh Poirot. Ketakutan,
keharuan, terkejut, bertanya-tanya...

"Oh," katanya. Kemudian, setelah diam sejenak.


"Oh," sekali lagi.

"Tiba-tiba, tanpa kuduga. Nona Lawson


bertanya,

"Isinya mengenai uang itu?" Poirot pun


nampaknya agak terkejut. Ia mengulur-ulur
waktu:

"Maksud Anda mengenai uang yang..." "Ya, ya.


Uang yang dicuri dari laci?" Poirot berkata
tenang,
"Apakah Nona Arundell tidak mengatakan
bahwa dia menulis surat kepada saya mengenai
uangnya?"

"Tidak. Sungguh. Saya sama sekali tidak tahu -


Oh, sungguh - saya terkejut sekali
mendengarnya...."

"Anda pikir Nona Arundell tidak mengatakan ini


kepada siapa pun?"

"Saya pikir tidak. Oh, dia memang tahu..."

Nona Lawson berhenti lagi. Cepat Poirot


berkata,

"Dia tahu siapa yang mengambilnya, kan?"


Nona Lawson mengangguk, dan dengan napas
terputus-putus lanjutnya:

Sekali lagi Poirot memotong bicaranya yang


tidak koheren.

"Masalah keluarga?" "Tepat."

"Saya mengkhususkan diri saya dalam hal


menangani urusan-urusan keluarga semacam
ini," ujar Poirot. "Jadi, saya bisa memegang
rahasia."

Nona Lawson mengangguk-angguk.

"Oh, tentu saja— itu bedanya. Anda tidak


seperti polisi."
"Tidak, tidak. Saya sama sekali tidak seperti
polisi. Polisi tak pernah mengurusi masalah
seperti ini."

"Oh. Benar. Nona Arundell sangat menjaga


kehormatan. Dia sering kesulitan menghadapi
Charles. Tapi, tak pernah ia membicarakannya."

"Persis," Poirot berkata. "Nah, sekarang


masalahnya sebetulnya begini, bukan? Nona
Arundell menyimpan sejumlah uang di laci..."

Poirot berhenti. Cepat Nona Lawson


membenarkan pernyataannya.

"Ya - uang itu dari bank. Nona Arundell


mengambilnya untuk membayar gaji kami dan
buku-buku pesanannya."

"Berapa banyak yang hilang?"


"Empat lembar uang pound. Oh, bukan. Saya
salah. Tiga lembar uang pound dan dua lembar
puluhan shilling. Saya harus mengatakan yang
setepat-tepatnya - ya, dalam hal begini memang
perlu ketepatan." Nona Lawson memandang
Poirot penuh perhatian. Tanpa sadar, ia
menyentuh kacamatanya - hingga lebih tidak
keruan lagi letaknya. Matanya yang agak cekung
seolah hendak menelan Poirot.

"Terima kasih. Nona Lawson. Kelihatannya Anda


tahu bagaimana harus bersikap dalam bisnis."

Nona Lawson nampak menahan perasaannya,


dan tertawa.

"Nona Arundell kelihatannya punya alasan buat


mencurigai kemenakannya - Charles - mencuri
uang itu," lanjut Poirot.
"Ya."

"Meskipun tidak ada bukti yang pasti mengenai


siapa yang sebenarnya mengambil uang itu?"

"Oh, sudah pasti Charles yang mengambil!


Nyonya Tanios tidak akan berbuat begitu, dan
suaminya - dia orang asing - tak mungkin tahu
tempat Nona Arundell menyimpan uang.
Theresa Arundell juga tidak mungkin. Dia tidak
akan mimpi mencuri uang. Uangnya sendiri
sudah banyak, dan pakaiannya tidak ada yang
jelek."

"Siapa tahu salah seorang pelayan, yang


melakukannya?" kata Poirot.

Nona Lawson kelihatan marah mendengarnya.


"Oh, tidak mungkin. Sungguh, tak mungkin.
Ellen, juga Annie orang yang jujur... jujur sekali,
saya yakin itu."

Poirot menunggu beberapa menit lamanya.


Kemudian katanya.

"Mungkin Anda bisa memberi gambaran - oh.


saya yakin Anda bisa, karena Anda orang
kepercayaan Nona Arundell...."

Nona Lawson bergumam tak menentu,

"Oh. masalah itu. saya yakin... saya tidak tahu


sama sekali." Walaupun begitu jelas kelihatan
bahwa ia malu menerima predikat yang
diberikan Poirot.

"Saya merasa Anda hisa menolong saya. Nona


Lawson.'"
"Oh. Kalau ada yang bisa saya lakukan untuk
anda..."

Poirot melanjutkan,

"Ini rahasia di antara kita....'

Wajah Nona Lawson penuh gairah, namun


kelihatan agak ragu.

"Punyakah Anda bayangan - mengapa Nona


Arundell mengubah surat wasiatnya?"

"Surat wasiatnya? Oh - surat wasiatnya?"

Nona Lawson nampak sedikit terkejut.


Sambil memandangnya lekat-lekat, Poirot
berkata,

Benar, bukan - bahwa Nona Arundell menulis


surat wasiat baru bebrrapa hari sebelum
kematian-nya. dan bahwa isinya menyatakan
semua kekayaannya dijatuhkan kepada Anda?"

"Benar, tapi saya sama sekali tidak mengetahui


apa sebabnya," Nona Lawson memprotes. "Saya
sangat terkejut! Kejutan yang menggembirakan,
tentu Begitu baiknya Nona Arundell. Padahal,
sekali pun. ia tidak pernah menyinggun-
nyinggung hal itu. Sama sekali tidak pernah.
Saya sungguh terkejut, Tuan Poirot. Dan saya
ingin meyakinkan Anda, bahwa Nona Arundell
benar-benar baik. Tentu saja saya mengharap
ditinggali sesuatu - sedikit -meskipun kalau tidak
pun sebenarnya tidak apa-apa. Tidak ada
keharusan baginya meninggal! saya sesuatu.
Tapi ini - Oh. seperti dalam dongeng saja
rasanya! Bahkan sampai sekarang, kadang-
kadang saya masih sulit menerima kenyataan....
Tenis terang, kadang-kadang saya merasa tidak
enak. Maksud saya..., yah, maksud saya..."

tanpa sengaja, ia menyentuh kaca matanya.


Kacamata tanpa gagang itu jatuh dan
dipungutnya. Kemudian dengan gugup ia
memasangnya kembali dan melanjutkan kaia-
kalanya yang tidak koheren, "Saya sering
merasa - yah, darah daging tetap darah daging.
Saya tidak enak Nona Arundell meninggalkan
uangnya bukan kepada darah daging-nya
sendiri. Maksud saya. oh, rasanya itu tidak
betul. Bukankah, begitu? Semuanya lagi - dan
dengan jumlah yang sekian banyak! tak seorang
pun menduga! Pokoknya, saya merasa tidak
enak. Sangat tidak enak - dan orang selalu
membicarakan -padahal, saya yakin saya bukan
perempuan jahat! Maksud saya, saya tak akan
pernah punya keinginan mempengaruhi Nona
Arundell dalam hal apa pun! Dan itu pun tidak
mungkin saya lakukan. Terus terang, saya sering
takut pada Nona Arundell! Pikirannya begitu
cerdas - kata-katanya tajam; menyakitkan hati
kadang-kadang. Sering membentak - dan, oh,
saya toh punya perasaan juga. Tuan Poirot. Saya
sering merasa tak dapat menahan perasaan
saya... marah, dan benci sekali.... Dan sekarang,
saya tahu. Bahwa sebenarnya, sebenarnya, dia
menyayangi saya. Oh, rasanya! Tapi tetap saya
tidak bisa melupakan: banyak sekali saat saya
menderita, sakit hati, jengkel, dan sebagainya.
Tidak mungkin orang bisa menahan semua
perasaan begitu, bukan?"

"Maksud Anda, Anda lebih suka melepaskan


uang itu?" tanya Poirot.

Sesaat - cuma sesaat - kulihat cahaya yang


berbeda terpancardari mata Nona Lawson yang
sayu kebiru-biruan itu. Sejenak, terbayang
olehku seorang perempuan yang cerdik dan
terpelajar duduk di hadapan kami - bukan Nona
Lawson yang lemah dan agak bodoh.
Katanya dengan tawa kecil,

"Yah - tentu saja ada segi lainnya.... Maksud


saya, setiap pertanyaan dapat dijawab dari dua
segi yang berbeda. Nona Arundell memang
punya maksud meninggalkan uangnya kepada
saya - itu keyakinan saya. Kalau saya tidak mau
menerimanya, berarti saya tidak mengikuti
keinginannya. Dan itu tidak baik, bukan?"

"Pertanyaannya sukar," kata Poirot sambil


menggelengkan kepala.

"Ya. Benar. Berkali-kali saya merasa kuatir dan


gelisah memikirkannya. Nyonya Tanios - Bella -
orangnya sangat baik - dan, ada anak-anaknya
pula! Maksud saya, saya merasa yakin bahwa
Nona Arundell tidak ingin dia. Saya rasa, Nona
Arundell berharap saya menggunakan
kebijaksanaan saya. Dia tidak mau terang-
terangan meninggali Bella uang karena takut
suaminya akan menguasai uang itu-"
"Suaminya?"

"Ya. Suaminya. Oh, Tuan Poirot- Bella itu boleh


dikatakan sangat ditindas oleh suaminya. Apa
pun yang diperintahkan oleh suaminya
dilakukannya. Saya yakin, disuruh membunuh
pun ia akan melakukannya! Bella sangat takut
pada suaminya. Sekali dua kali, saya melihat dia
begitu ketakutan. Itu toh tidak benar, Tuan
Poirot?"

Poirot tidak mengomentari Tanyanya,

"Lelaki macam bagaimana suaminya itu?"

"Yah," Nona Lawson menjawab ragu-ragu, "laki-


laki itu sangat menyenangkan."

"Tetapi Anda tidak mempercayainya?"


"Yah - tidak. Tapi saya tak tahu," lanjutnya ragu,
"saya merasa tak pernah bisa mempercayai laki-
laki! Setelah menjadi suami, biasanya mereka
itu jadi macam-macam! Isterinyalah yang
akhirnya menderita! Sungguh keterlaluan!
Dokter Tanios memang selalu berpura-pura
sayang kepada isterinya Di depan umum ia
penuh perhatian dan sangat memanjakannya.
Oh. Sikapnya betul-betul menyenangkan. Tapi,
saya kurang bisa mempercayai orang asing.
Mereka itu terlalu berseni.' Yang jelas, saya
yakin Nona Arundell tidak menghendaki
uangnya disentuh oleh lelaki itu!"

"Nona Theresa Arundell dan Tuan Charles


Arundell pun merasa kecewa tidak menerima
warisan," ujar Poirot.

Wajah Nona Lawson merah padam.


"Uang Theresa sudah cukup banyak," katanya
tajam. "Beratus-ratus pound dibelanjakannya
cuma untuk pakaian, dan pakaian dalamnya - itu
tidak adil'. Banyak gadis manis dan sopan harus
bekerja untuk mencari nafkah..."

Poirot melengkapi kalimatnya.

"Jadi, Anda pikir tidak ada salahnya bila dia pun


berjuang untuk memperoleh uang?"

Nona Lawson memandang Poirot dengan


sungguh-sungguh.

"Itu justru baik buatnya," komentarnya.


"Dengan begitu mungkin dia bisa sadar. Dari
kesulitan dalam hidup, kita belajar banyak
hal...."
Poirot mengangguk. Perhatiannya penuh pada
Nona Lawson.

"Dan Charles?"

"Charles tak pantas menerima sepeser pun,"


kali ini jawabnya sangat tajam. "Nona Arundell
bijaksana memutuskan untuk tidak mewarisi
pemuda itu. Pemuda tak tahu diri...
mengancam..."

"Mengancam?"

"Ya."

"Mengancam apa? Kapan dia mengancam


bibinya?"
"Tunggu - waktu itu liburan Paskah. Saya ingat
sekarang. Kejadiannya tepat pada hari Minggu
Paskah."

"Apa katanya?"

"Dia minta uang dan bibinya tak mau memberi!


Dia mengatakan bibinya tidak bijaksana.
Katanya, kalau bibinya tetap bersikap seperti itu
dia akan -apa yang diucapkannya waktu itu, ya?
yang jelas

sangat kasar - oh, ya, dia bilang sikap bibinya itu


menantang orang buat membunuhnya...."

"Dia mengancam akan merobohkan bibinya?"

"Ya."
"Lalu apa komentar bibinya?" "Nona Arundell
mengatakan, 'Aku bisa menjaga diriku sendiri,
Charles.' "

"Ketika itu Anda berada di ruangan yang sama?"


"Ece, tidak di ruangan yang sama," jawab Nona
Lawson setelah terdiam beberapa saat.

"Tapi cukup dekat," ujar Poirot cepat. "Lalu


bagaimana tanggapan Charles?"

"Dia bilang, 'Jangan terlalu yakin.' " Poirot


berkata perlahan-lahan, "Apakah Nona Arundell
menganggap ancaman itu serius?"

"Yah, saya tidak tahu.... Dia tidak pernah


mengatakannya kepada saya.... Bagaimanapun,
itu bukan kebiasaannya."

Lagi-lagi Poirot bertanya perlahan,


"Anda tentunya tahu bahwa Nona Arundell
menulis surat wasiat baru?"

"Tidak, tidak. Sudah saya katakan tadi, saya


sangat terkejut. Saya tidak pernah mimpi..."

Poirot menyela,

"Anda tidak tahu isinya. Tapi Anda tahu bahwa


ada surat wasiat baru, kan?"

"Yah - saya cuma menduga -- maksud saya, dia


memanggil pengacaranya sementara dia
berbaring..."

"Tepat. Itu setelah Nona Arundell jatuh,


bukan?"
"Ya. Bob - Bob itu anjing kesayangannya -anjing
itu meninggalkan bolanya di dekat puncak
tangga. Nona Arundell terpeleset dan jatuh."

"Kecelakaan yang sangat mengerikan."

"Oh, ya. Benar. Dokter bilang, untung Nona


Arundell tidak mengalami patah kaki atau
tangan."

"Untung juga tidak mati. Kecelakaan macam


begitu bisa menyebabkan kematian."

"Benar!"

Jawabannya kedengaran begitu wajar dan jujur.

Poirot berkala sambil tersenyum,


"Saya bertemu dengan Tuan Bob di Puri Hijau."

"Oh, tentu saja. Dia anjing yang manis sekali."

Jengkel benar aku mendengar anjing segagah si


Terrier itu dikatakan manis. Pantas Bob
membenci perempuan ini dan tak pernah mau
menuruti perintahnya.

"Anjing itu sangat pandai, bukan?"

"Ya. Pandai sekali dia."

"Kalau dia tahu bahwa akibat kelalaiannya


tuannya bisa meninggal, dia tentu sedih."
Nona Lawson tidak memberi komentar. Dia
cuma menggeleng dan mendesah.

Poirot berunya,

"Bagaimana menurut pendapat Anda? Apakah


kecelakaan itu yang mendorong Nona Arundell
mengubah surat wasiatnya?"

Kupikir, pembicaraan sudah hampir mencapai


sasarannya pada waktu itu. Tapi Nona Lawson
rupanya menganggap pertanyaan itu wajar-
wajar saja.

"Mungkin Juga," ujarnya "Yang jelas dia shock


sekali Orang lanjut usia biasanya segan berpikir
tentang kematian. Tapi, kecelakaan semacam
itu membuka pikirannya. Atau, mungkin juga
membuatnya punya perasaan bahwa hidupnya
cak akan lama lagi."
Dengan wajar Poirot berkata,

"Waktu itu kesehatannya relatif baik, bukan?"

"Oh, ya. Nona Arundell sedang sehat sekali."

"Sakitnya datang tiba-tiba?"

"Oh, ya. Mengejutkan. Malam itu sedang ada


tamu...." Nona Lawson berhenti.

"Tamunya, teman-teman Anda -Nona Julia dan


Isabel Tripp. Ya, saya sudah bertemu dengan
mereka. Orangnya cukup menyenangkan!"

Pipi perempuan tua itu bersemu merah, dan


matanya bersinar-sinar.
"Oh, memang. Mereka menyenangkan, bukan?
Bukan main - berpendidikan - mereka itu!
Berbagai ilmu mereka pelajari. Mereka pengikut
aliran spiritual. Mungkin mereka sudah
mencerite-rakan pengalaman-pengalaman
kami? Oh, sangat menyenangkan - pesan-pesan
yang disampaikan oleh roh-roh itu."

"Tentu. Saya yakin itu merupakan pengalaman


yang sangat menyenangkan."

"Ibu saya sudah dua kali berbicara kepada saya,


Tuan Poirot! Oh, bukan main senangnya bila
kita tahu orang yang kita sayangi masih
memikirkan kita dan memperhatikan kita dari
alam yang lain sana."

"Ya, ya. Saya mengerti," Poirot berkata lembut.


"Apakah Nona Arundell juga pengikut aliran
ini?"
Wajah Nona Lawson menjadi keruh.

"Dia mau diyakinkan," ujarnya ragu. "Tapi, saya


rasa, Nona Arundell tidak pernah melakukan
pendekatan sebagaimana mestinya. Nona
Arundell orangnya skeptis, tidak mudah
percaya. Sekali dua kali, sikapnya membuat roh
marah. Kalau roh marah, maka berita yang
disampaikan buruk-buruk, Tuan. Tak senang
mendengarnya. Dan itu, saya yakin, karena
kelakuan Nona Arundell."

"Bisa jadi." kala Poirot meyakinkan.

"Tapi, pada malam terakhir...," lanjut Nona


Lawson, "Isabel dan Julia sudah menceriterakan
kejadian malam terakhir kami berkumpul itu?
Oh. waktu itu terjadi semacam ectoplasm....
Anda mengerti maksud saya, bukan?"
"Ya, ya. Istilah-istilahnya cukup saya kenal."

"kejadiannya pelan sekali. Mula-mula dari mulut


Nona Arundell keluar semacam kabut terang
berbentuk pita panjang. Pita itu naik... naik, dan
membentuk semacam selubung di sekeliling
kepalanya. Sekarang saya yakin. Tuan Poirot.
Tanpa disadarinya, Nona Arundell tengah
berada di alam peralihan pada waktu itu. Jelas
sekali saya lihat asap terang berbentuk pita itu
keluar dari mulutnya. Lalu, tak lama kemudian,
kepalanya seperti terbungkus oleh lapisan kabut
yang bersinar terang."

"Hmmm, bukan main!"

"Tapi sayang sekali. Tuan - Nona Arundell tiba-


tiba merasa sakit. Kami terpaksa menghentikan
permainan jaelangkung kami "

"Anda memanggil dokter? Kapan?"


"Pagi-pagi sekali esok harinya."

"Bagaimana hasil pemeriksaannya? Apakah


penyakit Nona Arundell dianggapnya serius?"

"Pokoknya dokter Crainger mengirim juru rawat


dari rumah sakit sore harinya."

"Maaf- apakah sanak keluarga Nona Arundell


diberitahu?"

Wajah Nona lawson merah padam.

"Tentu saja - segera setelah Dokter Crainger


menyatakan Nona Arundell dalam keadaan
gawat."
"Apa yang menyebabkan penyakitnya?
Makanan?"

"Bukan. Saya pikir bukan, Tuan Poirot. Dokter


Grainger mengatakan, kemungkinan besar
penyakitnya kambuh karena udara yang terlalu
dingin. Memang hari-hari itu cuaca sedang
sangat buruk."

"Theresa dan Charles Arundell datang pada


akhir pekan, bukan?"

"Ya." Jawab Nona Lawson pendek.

"Kedatangan mereka sia-sia," lanjut Poirot


sambil mengamati wajah Nona Lawson.

"Betul." Kemudian "dengan suara bernada tak


suka Nona Lawson menambahkan, "Nona
Arundell tahu maksud kedatangan mereka yang
sebenarnya."

"Apa?" Tanya Poirot sambil tetap menatap


wanita itu.

"Uang!" lontar Nona Lawson. "Tapi mereka


tidak berhasil mendapatkannya."

"Tidak berhasil?" tanya Poirot.

"Saya yakin... itu juga yang diburu Dokter


Tanios," lanjut Nona lawson.

"Dokter Tanios datangnya tidak bersamaan


dengan Charles dan Theresa, kan?"

"Hari Minggunya. Tapi cuma sebentar, tak lebih


dari sejam."
"Hmm... kelihatannya semua mengejar uang
Nona Arundell," komentar Poirot.

"Ya. Dan, mengingat keadaan Nona Arundell


pada waktu itu... oh, rasanya mereka itu tidak
punya perasaan!"

"Tepat sekali," ujar Poirot. "Tentu Charles dan


Theresa sangat kaget waktu Nona Arundell
mengatakan terus terang bahwa dia tidak akan
mewarisi mereka sepeser pun."

Nona Lawson memandangnya tidak berkedip.


Poirot melanjutkan,

"Itu benar, bukan? Maksud saya, Nona Arundell


memang mengatakan hal itu dengan terus
terang?"
"Itu saya tidak tahu. Saya sama sekali tidak
mendengar apa-apa. Malah, saya lihat Charles
dan Theresa berseri-seri waktu mereka pulang."

"Ah! Jadi rupanya informasi yang saya terima


tidak benar. Nona Arundell menyimpan surat
wasiatnya di rumah - maksud saya - di Puri
Hijau. Apakah itu benar?"

Kacamata tempel Nona lawson terjatuh, dan


perempuan itu membungkuk memungutnya.

"Oh, saya sungguh-sungguh tidak tahu


mengenai hal itu. Tapi, saya pikir surat itu pasti
disimpan oleh Tuan Purvis."

"Siapa pengacaranya?"

"Tuan Purvis."
"Setelah Nona Arundell meninggal, apakah Tuan
Purvis datang ke Puri Hijau memeriksa surat-
suratnya?"

"Ya."

Poirot memandang tajam perempuan itu.


Pertanyaannya yang selanjutnya sama sekali
tidak terduga.

"Anda menyukai Tuan Purvis?"

Nona Lawson tergagap kebingungan.

"Menyukai Tuan Purvis? Oh - pertanyaan Tuan


sukar dijawab. Maksud saya, saya yakin dia
pandai - eh, ahli hukum yang pandai. Tapi
sikapnya agak kaku! Maksud saya, orang kan
jadi tidak senang kalau diajak berbicara sampai
orang itu merasa seperti - oh, saya tidak bisa
menjelaskan, Tuan Poirot. Dia orang terhormat,
tapi kasar. Anda tahu maksud saya. bukan?"

"Situasinya benar-benar sulit buat Anda." ujar


Poirot penuh simpati.

"Benar. Sulit sekali."

Nona Lawson mengeluh dan kemudian


menggeleng-gelengkan kepalanya. Poirot
bangkit.

"Terima kasih banyak, Mademoiselle, atas


segala keramah-tamahan Anda Juga atas segala
bantuan anda."

"Jangan bilang terima kasih sama saya, Tuan


Poirot - saya sudah senang kalau saya bisa
membantu. Kalau masih ada hal lain yang bisa
saya lakukan..."

Poirot melangkah ke luar. Namun, sebelum


sampai di pintu ia berbalik mendekati Nona
Lawson. Dengan suara pelan ia berkata,

"Saya rasa Anda perlu tahu. Nona Lawson,


bahwa Charles dan Theresa ingin menggugat
surat wasiat itu."

Mendadak pipi wanita itu merah padam.

"Tidak mungkin! Mereka tidak akan bisa,"


ujarnya penuh napsu. "Ahli hukum saya bilang
begitu."

"Ah," kata Poirot, jadi Anda sudah minta nasihat


ahli hukum juga?"
"Tentu- Apa salahnya?"

"Anda bijaksana. Mademoiselle. Selamat siang."

Sementara kami beranjak meninggalkan


Clanroy-den Mansions Poirot menarik napas
panjang.

"Hastings, mon ami, perempuan itu persis


seperti penampilannya. Atau, mungkin juga dia
artis jagoan."

"Yang jelas, dia yakin bahwa kematian Nona


Arundell wajar-wajar saja," komentarku.

Poirot tidak menyahut. Dia kadang-kadang


memang suka bertingkah seperti orang tuli.
Poirot menghentikan taksi.
"Hotel Durham, Bloomsbury," ujarnya kepada
supir.

BAB 16

NYONYA TANIOS

"Ada tamu, Nyonya!"

Perempuan yang sedang duduk menulis pada


sebuah meja di sebuah ruangan Hotel Durham
itu menoleh. Kemudian ia bangkit dan
menghampiri kami dengan ragu.
Umur Nyonya Tanios kelihatannya sudah di atas
tiga puluhan. Perawakannya tinggi semampai,
rambutnya hitam, dan wajahnya seperti penuh
kekuatiran. ia mengenakan topi gaya mutakhir.
Namun, letaknya kurang enak dipandang mata.
Gaunnya terbuat dari bahan katun, dan
kelihatannya jauh dari kecerahan.

"Saya rasa saya tidak...." ujarnya kurang jelas.

Poirot mengangguk.

"Saya baru saja dari tempat sepupu Anda, Nona


Theresa Arundell."

"Oh. Dari Theresa? Betul?"


"Boleh saya bercakap-cakap sebentar saja
dengan Nyonya? Ada masalah pribadi yang
perlu saya tanyakan."

Dengan pandangan kosong Nyonya Tanios


melihat ke sekelilingnya. Poirot menunjuk sofa
kulit di ujung ruangan.

Sementara kami berjalan menuju sofa itu,


terdengar suara anak kecil melengking,

"Mama, mau ke mana?"

"Cuma ke situ. Sayang. Ayo, teruskan saja


suratmu."

Si anak, seorang gadis kurus berumur tujuh


tahunan, kembali menekuni tugas berainya.
Lidahnya kadang-kadang dijulurkan ke luar,
seolah dengan begitu mengarang menjadi lebih
mudah.

Di sekitar sofa tak ada orang lain. Nyonya Tanios


duduk, ia memandang Poirot dengan penuh
tanda tanya.

Poirot segera memulai.

"Ini berhubungan dengan kematian Bibi Anda,


Nona Emily Arundell almarhum."

Aku tak tahu. Apakah aku mulai membayangkan


yang bukan-bukan? Atau, memang benar mata
perempuan itu menunjukkan rasa ketakutan?

"Ya?"
"Nona Arundell," lanjut Poirot, "mengganti isi
surat wasiatnya tak lama sebelum Beliau
meninggal. Surat wasiat barunya menyatakan
bahwa segala sesuatu miliknya diwariskan
kepada Nona Wilhelmi-na Lawson. Yang ingin
saya tanyakan, Nyonya, apakah Anda ingin
bergabung dengan sepupu Anda - Nona Theresa
dan Tuan Charles Arundell? Mereka ingin
berusaha menggugat surat wasiat itu."

"Oh!" Nyonya Tanios menarik napas dalam.


"Tapi itu tidak mungkin, toh? Suami saya sudah
menanyakan kemungkinannya kepada seorang
ahli hukum. Tapi kelihatannya ia berpendapat -
lebih baik tidak coba-coba."

"Nyonya, ahli hukum itu kebanyakan terlalu


berhati-hati- Mereka memberi nasihat,
umumnya, untuk menghindari perkaranya
sampai ke pengadilan. Tentu saja nasihat
mereka umumnya benar.
Tapi, kadang-kadang ada untungnya mengambil
risiko. Saya sendiri bukan ahli hukum. Karena itu
saya melihat masalahnya dari kacamata lain.
Nona Arundell - maksud saya, Theresa sudah
siap memperjuangkan haknya. Nah, Anda
sendiri bagaimana?"

"Saya - oh, saya tidak tahu." Nyonya Tanios


dengan gelisah mempermainkan jari-jari
tangannya. "Saya mesti berbicara dulu dengan
suami saya."

"Tentu saja, Nyonya, Nyonya harus


merundingkan dulu dengan suami Nyonya
sebelum mengambil keputusan. Tapi,
bagaimana perasaan Nyonya sendiri terhadap
masalah itu?"

"Saya tidak tahu." Nyonya Tanios nampak lebih


kuatir. "Itu tergantung pada suami saya."
"Tapi, Anda sendiri, Nyonya - bagaimana?"

Dahinya berkerut. Lalu katanya perlahan-lahan,

"Saya kurang setuju. Menurut pikiran saya itu


tidak sopan."

"Oh, betulkah begitu?"

"Ya. Kalau Bibi Emily sudah memutuskan untuk


tidak memberikan uangnya kepada keluarganya
sendiri... saya pikir, kita harus menerima
keputusannya itu."

"'Jadi, Nyonya tidak merasa kecewa?" "Oh,


tentu saja saya kecewa." Warna merah
merambati pipinya. "Keputusan itu sangat tidak
adil. Tidak adil! Dan sama sekali di luar dugaan.
Bukan Bibi Emily rasanya kalau ia membuat
keputusan seperti itu. Sangat tidak adil untuk
anak-anak."

"Jadi, Anda berpendapat keputusan itu bukan


keputusan Bibi Anda sendiri?" "Yang jelas aneh
sekali."

"Kalau begitu, mungkin sekali Bibi Anda tidak


bertindak alas kemauan bebasnya. Menurut
pendapat Anda, mungkinkah Bibi Anda
dipengaruhi deh orang yang tidak bertanggung
jawab?"

Dahi Nyonya Tanios berkerut lagi. Dengan rasa


segan yang sangat kentara, ia berkata,

"Susahnya, saya tidak bisa membayangkan Bibi


Emily dipengaruhi siapa pun! Beliau begitu pasti
dengan keputusannya sendiri."
Poirot mengangguk-angguk setuju.

"Ya. Yang baru saja Nyonya katakan itu memang


benar. Dan lagi, Nona Lawson bukan tipe orang
yang berkepribadian begitu keras."

"Oh. dia orang yang manis - agak tolol, mungkin,


tapi sangat baik hati. Itu salah satu sebab saya

"Ya, Nyonya?" pancing Poirot ketika Nyonya


Tanios tidak melanjutkan kata-katanya.

Nyonya Tanios bermain-main dengan jari


tangannya. Wajahnya nampak sangat gelisah
ketika ia berkata,

"Yah, tidak pantas dan tidak semestinya


menggugat surat wasiat itu. Saya merasa yakin
keputusan ngaruhi oleh Nona Lawson. Tidak
mungkin perempuan semacam dia
merencanakan dan membujuk..."

"Saya setuju, Nyonya."

"Itu sebabnya saya merasa bahwa


mengajukannya ke pengadilan sungguh tidak
pantas dan tidak terpuji. Di samping itu -
biayanya juga mahal, bukan?"

Poirot diam beberapa menit lamanya sebelum


berkata,

"Memang mahal."

"Dan besar kemungkinan tidak ada hasilnya.


Coba Anda bicarakan hal ini dengan suami saya.
Dalam urusan bisnis dia lebih cekatan daripada
saya."
Lagi-lagi Poirot berdiam sejenak sebelum
berkata,

"Menurut perkiraan Nyonya, apa yang


melatarbelakangi pembuatan surat wasiat baru
itu?"

Wajah Nyonya Tanios merah padam.

"Saya tidak mempunyai bayangan sama sekali,"

"Nyonya, saya sudah mengatakan tadi, bahwa


saya bukan ahli hukum. 'Lapi saya perhatikan
Nyonya belum menanyakan apa profesi saya
yang sebenarnya."

Ia memandang Poirot penuh tanda tanya.


"Saya detektif, Nyonya. Beberapa hari sebelum
meninggal Nona Arundell menulis surat kepada
saya."

Nyonya Tanios beringsut. Ia mengatupkan


kedua belah tangannya rapat-rapat.

"Surat?" tanyanya terkejut. "Mengenai suami


saya?"

Agak lama Poirot mengamati perempuan itu.


Lalu, perlahan-lahan dia berkata,

"Maaf- saya tidak berhak menjawab pertanyaan


Nyonya."

"Oh, jadi benar - mengenai suami saya."


Suaranya agak keras. "Apa katanya? Percayalah,
Tuan... e, saya belum tahu nama Tuan."
"Nama saya Poirot. Hercule Poirot."

"Percayalah, Tuan Poirot - bila Bibi Emily


menyebutkan sesuatu yang jelek mengenai
suami saya, itu sama sekali tidak benar! Saya
tahu siapa yang sebenarnya memberikan
bayangan semacam itu mengenai suami saya.
Itu alasan lain, saya tidak mau ikut campur
dengan apa pun yang dilakukan Theresa dan
Charles! Theresa sangat membenci suami saya.
Dia menjelek-jelekkan suami saya! Saya yakin!
Bibi Emily berpraduga macam-macam karena
suami saya bukan orang Inggris. Jadi, bisa
diterima kalau Bibi Emily mempercayai ceritera
buatan Theresa. Tapi itu tidak benar, Tuan
Poirot. Percayalah!"

"Mama, suratnya sudah selesai!"


Cepat Nyonya Tanios berpaling. Dengan
melontarkan senyum sayang diambilnya surat
yang diacungkan anak gadisnya.

"Bagus! Bagus sekali, Sayang! Dan gambar


Mickey Mousenya... Hmmm, kau betul-betul
hebat."

"Sekarang buat apa lagi, Ma?"

"Mau beli kartu pos bergambar? Ini uangnya.


Pergi saja ke toko di sudut sana - pilih gambar
yang paling bagus, tulisi, lalu kirimkan kepada
Selim."

Anak itu pergi. Teringat olehku kata-kata


Charles Arundell. Memang. Nyonya Tanios
seorang ibu dan isteri yang penuh pengabdian -
seperti kepik.
"Anak satu-satunya?" tanya Poirot.

"Oh, saya punya anak seorang lagi. Laki-laki. Ia


sedang keluar dengan ayahnya."

"Mereka tidak pernah ikut ke Puri Hijau?"

"Oh, kadang-kadang. Tapi Anda tahu sendiri...


bibi saya sudah tua. Anak-anak kecil sering
membuatnya pusing. Meskipun begitu Bibi
Emily sangat sayang kepada mereka. Tiap Natal
tak pernah lupa mengirim hadiah buat mereka."

"Kapan yang terakhir Anda bertemu dengan bibi


anda?"

"Kalau tidak salah, sepuluh hari sebelum Beliau


meninggal."
"Anda dengan suami Anda dan sepupu-sepupu
Anda bersama-sama ke sana?"

"Bukan yang terakhir - itu minggu yang


sebelumnya. Waktu Paskah!"

"Dan, seminggu setelah Paskah Anda ke sana


lagi dengan suami Anda?"

"Ya."

"Ketika Anda datang Nona Arundell sedang


sehat dan penuh semangat?"

"Ya, Beliau kelihatan biasa-biasa saja."

"Tidak sakit di tempat tidur?"


"Oh, ya. Bibi Emily masih harus banyak
berbaring setelah kecelakaan yang dialaminya.
Tapi, Beliau sudah bisa bangun dan berjalan-
jalan, bahkan turun ke bawah sementara kami
di sana."

"Apakah bibi Anda mengatakan bahwa ia sudah


menulis surat wasiat baru?"

"Tidak. Sama sekali tidak."

"Bagaimana sikapnya? Apakah sikapnya tidak


berubah?"

Kali ini Nyonya Tanios nampak berpikir sebelum


menjawab.

"Ya," jawabnya.
Aku yakin Poirot mempunyai perasaan yang
sama denganku bahwa wanita itu berbohong.

Poirot tidak langsung bicara. Beberapa lama


kemudian baru ia berkata,

"Maaf, Nyonya. Waktu saya tanya apakah


sikapnya tidak berubah - itu maksud saya bukan
sikapnya terhadap Anda semuanya, kepada
Anda pribadi"

Komentar Nyonya Tanios datang segera, "Oh,


begitu? Bibi Emily sangat baik kepada saya.
Beliau memberi saya bros berlian. Anak-anak
dikiriminya uang sepuluh shilling seorang."

Sikap Nyonya Tanios nampak bebas dari


ketegangan. Kata-katanya lancar dan sedikit
terburu-buru.
"Bagaimana sikapnya terhadap suami Anda?
Apakah biasa-biasa saja juga?"

Ketegangan kembali menguasai dirinya. Nyonya


Tanios menghindari mata Poirot waktu
menjawab,

"Tentu saja. Memangnya kenapa?"

"Oh, maaf. Bukankah Anda tadi mengatakan


bahwa sepupu Anda - Theresa, menjelek-
jelekkan suami Anda. Saya pikir, mungkin saja
sikap bibi Anda jadi berubah setelah
mendengar..."

"Ya," Nyonya Tanios herkata penuh semangat.


"Anda benar. Memang ada perubahan! Bibi
Emily agak menjauhi suami saya. Sikapnya aneh.
Suami saya menganjurkan agar Bibi Emily
minum campuran obat tertentu - malah suami
saya susah-susah mencarikannya ke apotek,
membelikan, dan mencampurkan buat Bibi
Emily. Bibi Emily memang mengucapkan terima
kasih. Tapi kaku sekali caranya mengucapkan
itu. Tak lama kemudian, dengan mata kepala
saya sendiri saya menyaksikan Bibi Emily
membuang obat itu."

Sakit hati dan rasa marahnya sangat jelas


kelihatan.

Mata Poirot berbinar-binar.

"Aneh," ujar Poirot. Ia sangat berhati-hati agar


suaranya tidak mencerminkan apa yang ada di
dalam hatinya.

"Sungguh tidak tahu terima kasih," lontar isteri


Dokter Tanios itu dengan penuh emosi.
"Seperti yang Anda katakan tadi, Nyonya,
perempuan tua macam bibi Nyonya sering tidak
percaya pada orang asing," ujar Poirot. "Mereka
pikir cuma dokter Inggris yang bisa dipercaya."

"Mungkin juga," Nyonya Tanios nampak sedikit


tenang.

"Kapan kembali ke Smyrna, Nyonya?"


"Beberapa minggu lagi. Suami saya - ah! Itu dia
datang bersama Edward."

BAB 17

DOKTER TANIOS
Terus terang aku terkejut waktu pertama kali
memandang Dokter Tanios. Dalam benakku,
selama ini terbayang berbagai sikap dan sifat
yang jelek mengenai lelaki yang satu ini. Aku
membayangkan dia berkulit hitam dan
berjanggut lebat, dengan mata tajam
berpandangan sinis dan mengerikan.

Nyatanya, yang kulihat seorang lelaki gemuk


berwajah berseri-seri dengan mata dan rambut
berwarna coklat. Walaupun benar ia berjanggut,
janggutnya tipis seperti janggut seniman.

Bahasa Inggrisnya begitu lancar dan sempurna.


Nada suaranya menyenangkan, cocok dengan
wajahnya yang jenaka.

"Kami dalang, Mam," serunya kepada isterinya


dengan tersenyum. "Edward senang dan sangat
terkesan dengan pengalaman pertamanya naik
kereta bawah tanah. Selama ini dia cuma tahu
bus."

Dilihat dari wajahnya, Edward tidak mirip


dengan ayahnya. Walaupun begitu, dia dan
saudara perempuannya nampak sekali
keturunan asingnya.

Kehadiran Dokter Tanios menyebabkan Nyonya


Tanios semakin gelisah. Dengan agak terbata-
bata ia memperkenalkan Poirot kepada
suaminya. Aku -oh, dia tidak mempedulikan
diriku.

Dokter Tanios cepat mengenali nama Poirot.

"Poirot? Monsieur Hercule Poirot? Saya kenal


benar akan nama Anda. Ada apa sampai Anda
datang mengunjungi kami, M. Poirot?"
"Mengenai Nona Emily Arundell," jawab Poirot.

"Bibi isteri saya? Ya. mengapa?"

Perlahan-lahan Poirot menjelaskan,

"Ada beberapa masalah yang timbul


sehubungan dengan kematiannya..."

Tiba-tiba saja Nyonya Tanios menyela,

"Mengenai surat wasiatnya, Jacob. M. Poirot


rupanya sudah berbincang-bincang dengan
Theresa dan Charles."

Kecanggungan yang semula nampak meliputi


Dokter Tanios lenyap. Lelaki itu menjatuhkan
dirinya ke kursi.
"Ah! Surat warisan itu, toh? Tapi apa
hubungannya? Itu toh bukan urusan kami?"

Poirot menceriterakan secara singkat hasil


pembicaraannya dengan Charles dan Theresa
Arundell (terus terang, bukan yang sebenarnya
dibicarakan di sana) dan dengan sangat berhati-
hati mengemukakan kemungkinan untuk
memperjuangkan suatu gugatan atas surat
wasiat itu.

"Menarik sekali, Tuan Poirot. Terus terang, saya


setuju dengan pendapat Tuan. Ada sesuatu
yang bisa dilakukan. Saya bahkan sudah
membicarakan hal ini dengan seorang ahli
hukum. Tapi jawabnya mematahkan semangat.
Karena itu..." ia mengangkat bahu.

"Tadi sudah saya katakan kepada isteri Tuan,


bahwa ahli hukum itu orang-orang yang terlalu
berhati-hati. Mereka tidak mau ambil risiko.
Tapi saya - lain! Dan Anda?"

Dokter Tanios tertawa - tawa yang segar dan


murni.

"Oh, saya berani ambil risiko! Saya malah sering


melakukannya - benar, kan, Bella? tanyanya
tersenyum kepada isterinya, dan si isteri
tersenyum kembali. Cuma, senyum perempuan
itu tidak keluar dari hati nuraninya, kupikir -
senyum dangkal, cuma untuk menyenangkan
hati suaminya.

Perhatian Dokter Tanios kembali kepada Poirot.

"Saya bukan ahli hukum," katanya. "Tapi saya


berpendapat bahwa masalahnya jelas sekali.
Surat itu dibuat pada saat perempuan tua itu
tidak menyadari apa yang dilakukannya. Nona
Lawson orangnya pandai dan sangat
berpengaruh."

Nyonya Tanios bergerak-gerak gelisah. Poirot


segera mengalihkan perhatiannya.

"Anda tidak setuju, Nyonya?"

Agak lemah, dia menjawab,

"Nona Lawson baik sekali. Dan menurut saya,


dia bukan orang yang pandai."

"Dia memang baik kepadamu," ujar Dokter


Tanios, "karena dia tidak takut padamu. Bella
sayang. Kau terlalu mudah dipengaruhi!"

Dokter Tanios berbicara dengan nada bergurau,


namun isterinya merah padam.
"Lain lagi dengan saya," lanjut lelaki itu. "Dia
tidak menyukai saya. Dan hal itu tidak
disembunyikan. Ini contohnya. Nona Arundell
mengalami kecelakaan -jatuh dari tangga - pada
waktu kami sedang menginap di sana. Saya
bersikeras datang menjenguknya pada minggu
berikutnya untuk melihat keadaan
kesehatannya. Nona Lawson berusaha keras
mencegah maksud kami ini. Memang dia tidak
berhasil mencegah kami, dan dia sangat kesal.
Itu jelas terlihat. Alasannya jelas. Dia ingin Nona
Arundell mencurahkan perhatiannya kepadanya
seorang."

Sekali lagi Poirot berpaling kepada Nyonya


Tanios.

"Anda setuju, Nyonya?"


Dokter Tanios tidak memberinya kesempatan
untuk menjawab.

"Bella terlalu baik hati," katanya. "Dia tidak


pernah punya dugaan tak baik mengenai
seseorang. Tapi saya yakin bahwa dugaan saya
benar. Akan saya beri contoh lain lagi, M.
Poirot. Rahasianya bisa mempengaruhi Nona
Arundell adalah spiritualisme. Cara itulah yang
dipakainya!"

"Anda pikir begitu?"

"Ya. Saya yakin benar. Sudah sering saya


melihat hal-hal semacam itu. Itu bisa menguasai
orang. Anda tentu akan heran. Tapi itu benar.
Lebih-lebih, orang seusia Nona Arundell. Saya
yakin itu permulaan ceriteranya. Ada roh -
mungkin roh ayahnya -menyuruhnya mengubah
isi surat wasiat itu dan mewariskan seluruh
kekayaannya kepada Nona Lawson. Kita harus
pikir... Nona Arundell sedang dalam kondisi
kesehatan yang buruk...."

Nyonya Tanios berdesah. Poirot mengalihkan


perhatian kepadanya.

"Apakah Anda pikir itu mungkin?"

"Ayo, Bella! Bicaralah," ujar Dokter Tanios.


"Katakan bagaimana pendapatmu."

Kelihaiannya Dokter Tanios memberinya


semangat. Pandangannya yang selintas kepada
suaminya nampak aneh. ia ragu-ragu. Kemudian
katanya,

"Pengetahuan saya mengenai hal-hal semacam


ini sangat terbatas. Mungkin kau benar, Jacob."
"Nah, benar, kan - M. Poirot?" Poirot
mengangguk.

"Mungkin." Kemudian ia berkata, "Anda pergi


ke Market Basing seminggu sebelum Nona
Arundell meninggal?"

"Kami ke sana pada perayaan Paskah, dan


seminggu setelahnya. Ya. Benar."

"Bukan. Maksud saya- minggu yang berikutnya -


tanggal dua puluh enam Anda ada di sana pada
hari Minggunya, bukan?"

"Oh, Jacob, betulkah?" Nyonya Tanios


memandangnya dengan mata terbelalak.

Suaminya berpaling dengan cepat.


"Ya. Lupakah kau? Aku cuma mampir minggu
siang itu. Aku toh bilang kepadamu, Bella?"

Kami berdua, Poirot dan aku sendiri,


memandang Bella. Dengan gelisah didorongnya
topinya lebih ke belakang.

"Ah, kau pasti ingat, Bella." lanjut suaminya.


"Parah benar ingatanmu kalau begitu saja lupa."

"Oh, ya!" ujarnya seperti minta maaf. Wajahnya


dihiasi seulas senyum tipis. "Benar; ingatan saya
kadang-kadang memang memalukan. Dan lagi,
itu sudah lebih dari dua bulan yang lalu."

"Waktu Anda ke sana, Nona Theresa dan Tuan


Charles Arundell sedang berada di sana?" tanya
Poirot.
"Mungkin," kata Dokter Tanios, "tapi saya tidak
bertemu dengan mereka."

"Anda cuma sebentar di sana?"

"Ya - cuma kurang lebih setengah jam saja."

Lirikan Poirot yang penuh tanda tanya


kelihatannya membuat Dokter Tanios merasa
tidak enak.

"Terus terang," Dokter Tanios berkata dengan


mata bersinar nakal, "tadinya saya berniat
pinjam uang - tapi gagal. Saya rasa bibi isteri
saya kurang menyukai saya. Sayang, sebetulnya
saya sangat menyukainya. Dia seorang yang
sportif."

"Bolehkah saya menanyakan sesuatu, Dokter


Tanios?"
Memang benar, atau cuma bayanganku -
keragu-raguan dan kekuatiran nampak selintas
di matanya.

"Tentu, M. Poirot!"

"Bagaimana pendapat Anda mengenai Charles


dan Theresa Arundell?"

Dokter itu kelihaian sangat lega.

"Charles dan Theresa?" Dipandangnya isterinya


dengan senyum sayang. "Bella, Sayangku, kau
tak keberatan kalau aku berterus terang
mengenai keluargamu?"

Nyonya Tanios menggeleng. Seulas senyum


menghiasi wajahnya.
"Saya berpendapat mereka sudah rusak sampai
ke akar-akarnya. Anehnya, saya sangat suka
pada Charles. Dia bajingan, tapi bajingan yang
menyenangkan. Dia tidak bermoral, tapi itu
bukan salahnya. Ia tidak minta dilahirkan tanpa
moral."

"Dan Theresa?"

Dokter Tanios ragu-ragu.

"Saya kurang yakin. Yang jelas dia perempuan


muda yang menarik sekali. Saya berani
bertaruh, dia tidak akan ragu-ragu membunuh
orang bila itu menguntungkannya. Itu cuma
bayangan saya. Mungkin Anda pernah
mendengar bahwa ibunya pernah dituduh
membunuh?"
"Ya, tapi kemudian dibebaskan."

"Benar. 'Dibebaskan'," ujar Dokter Tanios.


"Meskipun begitu, perkaranya belum jelas dan
sering membuat orang bertanya-tanya."

"Sudah bertemu dengan pemuda


tunangannya?"

"Donaldson? Ya - dia pernah datang makan


malam bersama kami waktu kami di Puri Hijau."

"Bagaimana pendapat Anda mengenai pemuda


itu?"

"Sangat pandai- Saya percaya dia bisa maju -


kalau mendapat kesempatan. Mengambil
spesialisasi memerlukan banyak uang."
"Maksud Anda, dia pandai dalam profesinya?"

"Tepat. Otaknya luar biasa!" Dokter Tanios


tersenyum. "Memang belum kelihatan
gemerlap di dalam masyarakat. Sikapnya agak
kaku. Pemuda itu dan Theresa merupakan
pasangan yang menggelikan. Sangat bertolak
belakang. Yang satu kupu-kupu masyarakat,
yang lain lebih suka tinggal di balik tirai."

Kedua anak mereka menyerang ibunya. "Mama,


makan yuk, Ma! Lapar! Nanti kita telat, lho..."

Poirot melirik arlojinya, dan nampak


terperangah. "Oh, maaf! Saya mengganggu jam
makan siang Anda!"

Sambil memandang suaminya, Nyonya Tanios


berkata ragu-ragu,
"Mungkin Anda mau makan bersama..." Cepat
Poirot berkata,

"Terima kasih, Nyonya. Anda sangat baik


mengundang kami. Tapi kami punya janji makan
siang, dan kami sudah terlambat."

Poirot menjabat tangan suami-isteri Tanios dan


anak-anak mereka. Aku pun mengikutinya.

Di lobby kami berhenti sebentar. Poirot


mencoba menelepon. Aku menunggunya dekat
meja portir. Aku masih berdiri di situ ketika
kulihat Nyonya Tanios keluar dan memandang
ke sana-sini seperti mencari sesuatu.
Nampaknya dia sedang dikejar-kejar dan sangat
terburu-buru. ia melihatku, dan buru-buru
menghampiriku.

"Teman Tuan - M. Poirot - apakah dia sudah


pergi?"
"Belum. Sedang menelepon." "Oh."

"Anda ingin berbicara dengannya?" Ia


mengangguk. Kegelisahannya semakin menjadi-
jadi.

Poirot keluar dari ruang menelepon dan


langsung melihat kami berdiri berdekatan.
Segera ia datang menghampiri kami.

"M- Poirot," ujar Nyonya Tanios. Suaranya


berbisik, namun tergesa-gesa. "Ada sesuatu
yang ingin saya katakan - saya harus
mengatakannya kepada Anda..."

"Ya, Nyonya?"
"Penting sekali - sangat penting. Begini..."
Nyonya Tanios berhenti bicara. Dokter Tanios
dan kedua anak mereka baru saja keluar ke
lobby. Mereka datang menghampiri kami.

"Menyampaikan kata-kata terakhir kepada M.


Poirot, Bella?"

Nada bicaranya berkelakar, dan senyumnya


sangat mempesona.

"Ya...." katanya ragu-ragu. Kemudian lanjutnya,


"Yah, M. Poirot. Saya cuma ingin mengatakan
kepada Anda, tolong kasih tahu Theresa bahwa
kami mendukung apa pun yang akan
dilakukannya. Saya sadar, sebagai satu keluarga,
kami harus bersatu.'"

Dengan tersenyum cerah Nyonya Tanios


mengangguk, lalu meraih lengan suaminya, dan
mereka pun berjalan ke arah ruang makan.
Kurengkuh bahu Poirot.

"Tadinya bukan itu yang mau dikatakannya,

Poirot menggelengkan kepala sambil


memperhatikan keluarga Tanios menghilang ke
dalam ruang makan.

"Pikirannya berubah," lanjutku.

"Ya, mon ami, dia mengubah pikirannya."

"Mengapa?"

"Sayang aku tidak tahu," gumamnya.


"Mudah-mudahan dia mengatakan yang
sebenarnya kapan-kapan," ujarku.

"Aku tidak yakin. Takutnya, dia malah tidak akan


pernah mengatakan...."

BAB 18

'YANG TERSELUBUNG'

Kami bersantap siang pada sebuah rumah


makan tak jauh dari situ. Aku sudah tak tahan
ingin mendengar komentar Poirot mengenai
Keluarga Arundell.
"Nah, Poirot?" tanyaku tak sabar.

Acuh tak acuh Poirot mengalihkan perhatiannya


kepada daftar makanan yang disodorkan
kepadanya. Setelah memesan makanannya, ia
bersandar dengan santai pada sandaran
kursinya, sambil memotong roti gulungnya.
Dengan nada mengejek ia berkata,

"Nah, Hastings?"

"Apa pendapatmu mengenai mereka setelah


kau bertemu dengan semuanya?"

Jawaban Poirot sangat lambat,

"Ma foi, sangat menarik! Sungguh, Hastings,


kasus ini merupakan studi yang sangat
mempesona! Seperti membuka kotak-kotak
yang berisi kejutan. Lihat saja. Tiap kali aku
mengatakan, 'Saya menerima surat dari Nona
Arundell sebelum Beliau meninggal,' - ada-ada
saja komentar yang membuka sesuatu. Dari
Nona Lawson, kita tahu uang Nona Arundell
dicuri orang. Nyonya Tanios langsung
mengatakan, Mengenai suami saya?' Memang
ada apa dengan suaminya? Apa perlunya Nona
Arundell menulis surat kepada Hercule Poirot
mengenai Dokter Tanios?"

"Ada sesuatu yang dipikirkan wanita itu,"


ujarku.

"Ya, dia tahu sesuatu. Tapi apa? Nona Peabody


mengatakan Charles Arundell bisa membunuh
neneknya cuma untuk uang dua pence. Nona
Lawson berkata Nyonya Tanios akan
membunuh siapa pun kalau suaminya
menyuruhnya. Dokter Tanios mengatakan
Charles dan Theresa rusak sampai ke akar-
akarnya, dan dia mengingatkan kita bahwa ibu
mereka seorang pembunuh serta memberi
gambaran secara santai bahwa Theresa bisa
membunuh dengan darah dingin.

"Lucu pendapat mereka, satu mengenai lainnya!


Dokter Tanios berpikir, atau mengatakan bahwa
ia berpikir, bahwa pasti ada yang
mempengaruhi Nona Arundell. Sebelum dia
datang, jelas isterinya tidak berpendapat begitu.
Mula-mula dia tidak mau menggugat surat
warisan itu. Kemudian ia berbalik seratus
delapan puluh derajat. Kau merasa kan,
Hastings... semuanya ini seperti air rebusan.
Satu per satu masalah umbul dan tenggelam.
Ada sesuatu di dalamnya - ya, ada sesuatu. Saya
bersumpah! Sebagai Hercule Poirot saya
bersumpah: pasti ada sesuatu!"

Aku terkesan akan kejujuran Poirot.


Setelah satu atau dua menit berlalu, aku
berkata,

"Mungkin kau benar, tapi kelihatannya begitu


tidak jelas..."

"Tapi kau setuju bahwa ada sesuatu, bukan?"


"Ya," ujarku ragu-ragu.

Poirot bersandar pada meja dan mendekatkan


mukanya ke wajahku. Pandangannya
menembus mataku.

"Kau sudah berubah. Ya, kau tidak lagi


menertawakanku, mengejek, dan mengata-
ngataiku. Apa sebabnya? Pasti bukan uraianku
yang panjang lebar tadi - non, ce n'est pas
ca![bukan, bukan itu!] Tapi ada sesuatu -sesuatu
yang lain - yang mempengaruhimu. Coba
katakan. Kawan, apa sebabnya kau tiba-tiba
menganggap kasus ini serius?"
"Kupikir," ujarku perlahan, "Nyonya Tanios.
Kelihatannya - kelihatannya dia ketakutan..."

"Takut sama aku?"

"Tidak. Bukan sama kau. Ada sesuatu yang lain.


Mula-mula dia bicara dengan tenang dan masuk
akal - wajar caranya dia mengemukakan
kekecewaannya akan surat wasiat bibinya, tapi
dia mau menerima kenyataan dan
membiarkannya begitu. Sikap semacam itu
memang sikap orang yang terdidik dan sedikit
apatis. Tapi, tiba-tiba saja dia berubah -
semangatnya waktu dia mendukung pendapat
Dokter Tanios. Cara perempuan itu keluar ke
lobby mengejar kita - dan, cara bicaranya...."

Poirot mengangguk memberiku semangat.


"Ada satu hal kecil yang mungkin tidak
kauperhatikan..."

"Oh, semuanya kuperhatikan!"

"Maksudku - kunjungan suaminya ke Puri Hijau


pada Hari Minggu siang itu. Rasanya aku yakin
dia tidak tahu menahu mengenai hal itu - dia
sangat terkejut - tapi dengan cepat dia
mengakui ingatannya yang kurang tajam,
mengaku bahwa suaminya menceritakan hal itu
kepadanya tapi dia lupa. Aku tak suka itu,
Poirot!"

"Kau benar, Hastings- itu salah satu point paling


penting!"

"Aku jadi punya kesan jelek."

Poirot mengangguk pelan.


"Perasaanmu sama?" tanyaku.

"Ya - kesan itu tak bisa dihapuskan." Poirot


berhenti. Kemudian ia melanjutkan, "Tapi kau
menyukai Tanios, kan? Kau merasa dia lelaki
yang menyenangkan, terbuka, periang, dan
simpatik. Menarik bila dibandingkan dengan
bayanganmu semula..."

"Ya," ujarku terus terang.

Dalam keheningan yang menyusul pembicaraan


kami, kuperhatikan Poirot. Lalu aku berkata,

"Apa yang kaupikirkan, Poirot?"

"Aku sedang membayangkan berbagai manusia:


Norman Gale yang tampan dan muda, Evelyn
Howard yang ramah, Dokter Shepherd yang
menyenangkan, Knighton yang tenang dan
meyakinkan."

"Kenapa mereka?" tanyaku.

"Mereka semua punya kepribadian yang


menyenangkan...."

"Ya ampun, Poirot... kaupikir Tanios..."

"Tidak. Tidak. Jangan terlalu cepat mengambil


kesimpulan, Hastings. Aku cuma mencoba
menunjukkan bahwa reaksi pribadi seseorang
terhadap orang lain itu bukan petunjuk yang
aman. Orang tak boleh menjadikan perasaannya
sebagai bahan pertimbangan. Sebaliknya,
faktalah yang harus dipertimbangkan."
"Hm," ujarku. "Ngomong soal fakta lagi! Oh,
jangan, Poirot, jangan. Dalam 'fakta' ini kita
belum menemukan kecocokan."

"Aku tidak akan berpanjang-panjang, Kawan -


jangan kuatir! Pertama-tama, jelas kita punya
suatu kasus mengenai percobaan pembunuhan.
Kauakui "Ya," jawabku pelan.

Sampai saat itu aku agak skeptis menanggapi


rekonstruksi Poirot mengenai berbagai kejadian
pada malam Selasa setelah Paskah. Walaupun
begitu, terpaksa kuakui, bahwa deduksinya
sangat masuk akal.

"Tres bien.[bagus.] Jadi pasti ada


pembunuhnya. Dan, pembunuhnya adalah salah
seorang yang tinggal di Puri Hijau pada malam
itu... ehm, baiklah orang yang berniat
membunuh kalau tak boleh dibilang
pembunuh!"
"Betul!"

"Jadi itu titik acuan kita - ada pembunuh. Kita


bertanya ke sana-sini. Katakanlah, kita
mengaduk-aduk lumpurnya. Dan, apa yang kita
dapatkan? Bermacam-macam tuduhan
dilontarkan dengan cara yang biasa-biasa saja
dalam percakapan kita."

"Jadi kaupikir sebenarnya itu tidak biasa-biasa


saja?"

"Tak mungkin itu bisa dipastikan sekarang!


Ceritera Nona Lawson mengenai Charles
mengancam bibinya - itu bisa sengaja, bisa juga
tidak. Komentar Dokter Tanios mengenai
Theresa -mungkin tanpa maksud jelek, sekedar
pendapat seorang dokter. Sebaliknya, Nona
Peabody kelihatannya bersungguh-sungguh
akan komentarnya mengenai Charles Arundell -
tapi itu cuma sekedar pendapat. Begitulah
seterusnya. Begitulah, Kawan, kita menghadapi
seorang pembunuh yang terselubung..."

"Aku ingin tahu - apa yang menjadi pendapatmu


sendiri, Poirot!"

"Hastings - Hastings - Aku tidak boleh


berpendapat. Itu terlarang buatku. Yang
kulakukan saat ini cuma mencerminkan kembali
hal-hal tertentu."

"Misalnya?"

"Memikirkan pertanyaan mengenai motifnya.


Apa yang kira-kira menjadi motif kematian Nona
Arundell? Jelas bahwa alasan atau motif
pembunuhannya adalah 'keuntungan'. Siapa
yang beruntung kalau Nona Arundell mati? -
Kalau dia mati Selasa malam setelah Paskah?"
"Semuanya - kecuali Nona Lawson."

"Tepat."

"Yah, setidak-tidaknya, seorang praktis bersih."

"Ya," Poirot berkata sambil berpikir.


"Kelihatannya begitu. Tapi ada yang menarik:
orang yang tidak akan mendapat keuntungan
sama sekali jika Nona Arundell mati pada hari
Selasa setelah Paskah itu justru memperoleh
segala-galanya ketika Nona Arundell meninggal
dua minggu setelah itu."

"Apa maksudmu, Poirot?" tanyaku tidak


mengerti.

"Sebab dan akibat, Kawan - sebab dan akibat."


Kupandang dia ragu-ragu.

Katanya,

"Secara logis! Apa yang terjadi setelah


kecelakaan?"

Sungguh benci rasanya aku kepada Poirot bila


dia sedang dalam suasana seperti ini. Apa pun
yang dikatakan orang, selalu salah. Karena itu
aku hati-hati sekali.

"Nona Arundell terbaring di ranjangnya."

"Betul. Dia punya banyak waktu untuk berpikir.


Lalu?"
"Dia menulis surat kepadamu." Poirot
mengangguk.

"Ya- Dia menulis surat kepadaku. Dan suratnya


tidak dikirimkan. Sayang sekali."

"Apakah kaukira ada kecurangan sampai surat


itu tidak diposkan?"

Poirot nampak berpikir. Dahinya berkerut-kerut.

"Aku harus akui, Hastings - di situ aku sama


sekali tak punya bayangan. Kupikir - dan melihat
serta menimbang segala sesuatu yang kita
dengar, aku yakin - surat itu terlupakan. Kukira -
tapi aku tidak yakin - tidak ada orang yang
menduga bahwa Nona Arundell menulis surat
semacam itu. Lanjutkan - apa yang terjadi
kemudian?"
"Kunjungan Penasihat Hukumnya," ujarku.

"Ya - Nona Arundell memanggil Penasihat


Hukumnya, dan ia datang pada waktunya."

"Lalu Nona Arundell membuat surat wasiat


baru," lanjutku.

"Tepat. Nona Arundell membuat surat wasiat


baru yang tidak diduga-duga isinya. Mengenai
surat wasiat ini, kita mesti sangat berhati-hati
mengenai pernyataan Ellen. Mungkin kau masih
ingat, Ellen mengatakan bahwa Nona Lawson
bersikeras agar Nona Arundell tidak tahu bahwa
Bob keluar semalaman."

'Tapi, oh, aku tidak mengerti. Atau barangkali


aku mulai mengerti maksudmu?"
"Aku ragu!" kata Poirot. "Seandainya benar kau
mulai mengerti maksudku, kuharap kau
mengerti betapa pentingnya pernyataan itu."

Poirot memandangku tidak berkedip.

"Tentu, tentu," ujarku buru-buru.

"Lalu," lanjut Poirot, "berbagai peristiwa terjadi.


Charles dan Theresa datang berkunjung pada
akhir minggunya, dan Nona Arundell
menunjukkan surat wasiat barunya kepada
Charles - atau. begitu ceritera Charles."

"Kau tidak percaya pada ceriteranya?"

"Aku cuma percaya pada pernyataan yang


sudah dicek kebenarannya. Nona Arundell tidak
menunjukkannya kepada Theresa."
"Karena dipikir, Charles toh sudah mengatakan
kepadanya."

"Tapi, nyatanya tidak. Apa sebab?"

"Menurut Charles sendiri, dia sudah


menceriterakannya."

"Tapi Theresa mengatakan dengan pasti bahwa


Charles tidak menceriterakan apa-apa mengenai
hal itu - perselisihan yang menarik dan
mencurigakan. Dan waktu kita pergi. Theresa
mengatai kakaknya bodoh!"

"Aku jadi bingung, Poirot," ujarku sederhana.

"Baiklah. Kita kembali ke urut-urutan


peristiwanya. Dokter Tanios datang pada hari
Minggunya -besar kemungkinan tanpa
sepengetahuan isterinya."

"Bagaimana kalau kita sebut saja 'Mungkin'.


Selanjutnya, Charles dan Theresa pulang pada
hari Senin. Nona Arundell dalam keadaan sehat
dan penuh semangat. Dia bersantap malam
dengan lahapnya, dan duduk-duduk di tempat
gelap bersama kedua Nona Tripp dan Nona
Lawson. Menjelang akhir permainan
jaelangkung itu. Nona Arundell merasa sakit, ia
beristirahat di tempat tidur dan meninggal
empat hari kemudian - Nona Lawson mewarisi
semua kekayaannya, dan Kapten Hastings
berpendapat bahwa kematian Nona Arundell itu
wajar!"

"Sedangkan Hercule Poirot berpendapat Nona


Arundell diracuni makanannya tanpa bukti sama
sekali!"
"Aku punya bukti. Hastings. Ingat kembali
percakapan kita dengan kedua Nona Tripp. Juga
suatu pernyataan yang menyolok dari gambaran
tak jelas yang diberikan Nona Lawson."

"Maksudmu Nona Arundell makan kare malam


itu? Kare yang pedas dan kaya bumbu itu akan
menutupi rasa racun. Itu maksudmu?"

Poirot berkata perlahan-lahan,

"Ya. Kare itu sendiri punya arti yang cukup


penting."

"Tapi," ujarku, "kalau dugaanmu itu betul, cuma


Nona Lawson dan dua orang pembantu lainnya
di Puri Hijau yang patut dicurigai."

"Ah."
"Atau kedua Nona Tripp:1 Tak mungkin. Itu, aku
tidak percaya. Orang-orang macam mereka
sama sekali bebas dari niat dan perbuatan
jahat."

Poirot mengangkat bahu.

"Ingat ini, Hastings. Kebodohan - atau bahkan


ketololan, dalam hal ini - bisa menjadi kedok
yang bagus sekali. Dan jangan lupa akan
percobaan pembunuhan semula. Pekerjaan itu
direncanakan oleh otak yang pandai dan
berpikiran kompleks. Semula, pembunuhannya
memang direncanakan sangat sederhana - cuma
karena si pembunuh memperhatikan kebiasaan
buruk Bob meninggalkan bolanya di ujung atas
tangga. Pikiran buat merentang benang dan sisi
ke sisi tangga itu sangat mudah - anak-anak pun
bisa memikirkannya!"
Aku merenung. "Maksudmu...?"

"Maksudku, yang kita ingin ketahui sebenarnya


cuma satu. Keinginan membunuh. Itu saja."

"Tapi racun - meracuni - bukan sesuatu yang


sederhana. Itu memerlukan keahlian supaya
tidak meninggalkan bekas," sanggahku. "Orang
awam tak mungkin bisa merencanakan sebagus
itu. Oh, sialan. Rasanya aku tidak percaya akan
semuanya ini, Poirot! Kita tak mungkin tahu!
Semuanya itu cuma hipotesa!"

"Kau salah, Kawan. Sebagai hasil pembicaraan


kita pagi ini, aku sudah punya pegangan dan
arah yang pasti. Masih agak kabur, tapi rasanya
tak mungkin salah. Masalahnya cuma - aku
takut."

"Takut? Takut apa?"


Poirot menjawab serius,

"Takut membangunkan anjing yang sedang


tidur. Kau selalu bilang - biarkan, jangan ganggu
anjing yang sedang tidur! Itulah yang sedang
dilakukan pembunuhnya tidur dengan
tenangnya di bawah sinar matahari pagi... Kita
tahu, Hastings... bahwa sering kali, bila seorang
pembunuh tersinggung harga dirinya ia akan
beraksi dan membunuh korbannya yang kedua,
atau bahkan yang ketiga."

"Kau takut itu terjadi?"

Poirot mengangguk.

"Ya. Jika di antara mereka ada pembunuhnya -


dan aku yakin ada...."
BAB 19

TUAN PURVIS

POIROT memanggil pelayan, menyuruh


ambilkan bon makanan, dan membayarnya.

"Sekarang, apa lagi?" tanyaku.

"Usulmu pagi tadi. Kita menuju ke Harchester,


mewawancarai Tuan Purvis. Itu sebabnya aku
menelepon dari Hotel Durham tadi, Sobat!"

"Kau menelepon Purvis?"


"Bukan Purvis. Yang kutelepon tadi Theresa
Arundell, Dia kusuruh menulis surat pengantar
yang isinya memperkenalkan kita kepada Purvis.
Supaya punya harapan bisa berhasil, kita perlu
diperkenalkan oleh orang yang bersangkutan.
Theresa berjanji akan menyuruh orang
mengantarkan suratnya ke flatku. Kupikir surat
Theresa sudah menanti kita di sana."

Bukan cuma surat yang kami temui di flat


Poirot. Charles Arundell membawa sendiri surat
itu dan menunggu untuk menyerahkannya
secara pribadi kepada Poirot.

"Flat Anda sangat menyenangkan, M. Poirot,"


komentarnya, sambil mengedarkan
pandangannya ke sekeliling ruang tamu.

Pada saat itu perhatianku tertarik pada sebuah


laci yang nampaknya tidak tertutup secara
sempurna. Ada sehelai kertas yang
menghalanginya.

Aneh. Poirot tak biasa menutup laci-lacinya


sesembrono itu! Kupandang Charles sambil
berpikir-pikir. Charles sendirian di situ
menunggu kedatangan kami. Tiba-tiba aku yakin
Charles menghabiskan waktunya menunggu
dengan mengacak-acak kertas-kertas Poirot.
Pemuda ini rupanya memang benar-benar
bajingan! Aku merasa darahku mendidih, marah
dan benci.

Charles sendiri kelihatannya santai-santai saja.

"Ini suratnya," ujarnya sambil menyodorkan


sepucuk surat. "Mudah-mudahan Anda lebih
beruntung daripada kami dalam membujuk Pak
Tua Purvis."

"Harapannya tipis?"
"Yang pasti, sulit mengubah pikirannya... Purvis
menganggap Lawson merupakan ahli waris yang
sah!"

"Pernahkah Anda dan adik Anda mengimbau


Nona Lawson - mengajaknya berbicara dari hati
ke hati?"

Charles meringis.

"Itu pernah saya pertimbangkan. Tapi rasanya


tidak akan ada gunanya. Kelihatannya Nona
Lawson sangat membenci saya. Saya tidak
mengerti apa alasannya." Charles tertawa.
"Padahal, biasanya perempuan tua seumurnya
cepat sekali menyukai

"Hmm... itu point yang berguna!"


"Oh, memang sudah banyak sekali gunanya.
Tapi, seperti saya katakan tadi, dengan Lawson
tak ada gunanya. Kupikir Lawson agak anti-
lelaki...."

"Ah!" Poirot menggeleng-geleng. "Kalau cara


yang sesederhana itu gagal...."

"Kita mesti pakai otak kriminal!" lontar Charles


dengan riangnya.

"Aha," Poirot berkata. "Ngomong-ngomong


tentang kriminal, Anak Muda - benarkah Anda
mengancam bibi Anda? Maksud saya, Anda
pernah mengatakan bahwa Anda akan
membunuhnya atau kata-kata semacam itulah
pokoknya?"

Charles menjatuhkan dirinya ke sebuah kursi.


Diselonjorkannya kakinya dengan santai.
Namun, pandangannya tajam ditujukan kepada
Poirot.

"Siapa yang mengatakan itu?" tanyanya.

"Itu tidak penting. Tapi, benarkah itu?"

"Yah - ada benarnya."

"Oh - coba ceriterakan bagaimana ceritera yang


sebenarnya!"

"Boleh saja, kalau Anda kepingin tahu. Tuan!


Tapi rasanya tidak ada relevansinya. Waktu itu
saya sedang mencoba-coba mendekati Bibi
Emily. Anda tahu maksud saya, kan?"

"Ya."
"Sayangnya, yang terjadi diluar rencana saya
semula. Bibi Emily dengan keras mengatakan
bahwa setiap usaha yang bertujuan
memisahkan dia dengan uangnya pasti tidak
berhasil. Saya tidak marah. Saya cuma bilang,
'Oh, Bibi Emily - kalau cara Bibi menangani
segala sesuatu tetap seperti ini, percayalah Bibi
akan dibunuh orang!' Bibi Emily menanyakan
apa maksud saya dengan agak kaku. 'Cuma itu,'
jawab saya. "Di sini berkumpul semua kawan
dan sanak keluarga Bibi - mereka semuanya
kelaparan seperti tikus gereja, dan mereka
cuma bisa berharap. Lalu apa yang Bibi lakukan?
Tinggal duduk di atas tumpukan uang Bibi, tak
mau berpisah sama sekali dengan yang Bibi
miliki. Itu sikap orang yang kepingin dirinya
dibunuh. Percayalah, Bibi Emily -kalau sampai
Bibi dibunuh orang, yang salah Bibi

"Bibi Emily memandang saya lewat atas


kacamatanya. Dipandangnya saya dengan
penuh kebencian. 'Oh,' jawabnya tak acuh, 'jadi
begitu pendapatmu, bukan?' 'Ya,' ujar saya.
'Kalau Bibi mau menuruti anjuran saya -
korbankanlah sedikit kekayaan Bibi itu ' Terima
kasih, Charles,' katanya, 'atas anjuranmu yang
bermaksud baik itu. Tapi aku cukup bisa
menjaga diriku sendiri.' 'Terserah, kalau begitu,
Bibi Emily,'jawab saya. Saya meringis - dan
kelihatannya Bibi Emily tidak semarah seperti
kelihatannya. 'Pokoknya aku sudah
mengingatkan Bibi.' 'Akan kuingat itu, Charles,'
katanya."

Charles berhenti berceritera.

"Begitulah ceriteranya."

"Dan karena itu," kata Poirot, "Anda lalu puas


dengan mencuri beberapa lembar uang pound
dari laci."
Charles memandang Poirot, kemudian tertawa
terbahak-bahak.

"Betul-betul saya angkat topi buat Anda, M.


Poirot!" katanya. "Anda rupanya detektif yang
bukan main! Bagaimana Anda bisa tahu tentang
hal itu?"

"Jadi itu memang benar?"

"Benar sekali! Saat itu saya sedang betul-betul


kehabisan uang. Saya lihat ada setumpuk uang
di laci, dan saya ambil saja beberapa lembar
tanpa banyak pikir. Saya sama sekali tidak
mengira bahwa dengan diambil beberapa
lembar saja akan ketahuan kurang. Kalau
ketahuan pun, pasti pembantu yang dicurigai."

Dengan dingin Poirot berkata, "Seandainya


benar pembantu yang dicurigai, bagi mereka itu
bukan masalah enteng." Charles mengangkat
bahu.

"Setiap orang membela dirinya sendiri,"


gumamnya.

"Dan sembunyi di balik kesengsaraan orang lain,


kalau perlu," tambah Poirot. "Itu falsafah hidup
Anda, bukan?"

Charles memandangnya dengan pandangan


ingin tahu.

"Saya tak tahu Bibi Emily tahu uangnya hilang


beberapa lembar. Bagaimana Anda bisa tahu -
juga mengenai yang Anda bilang saya
mengancam tadi?"

"Nona Lawson yang mengatakannya."


"Oh - kucing tua itu lagi!" (Kupikir - Charles
kelihatannya agak tak enak.) "Dia membenci
saya, dan Theresa pun tidak disukainya," kata
Charles. "Anda pikir - masih banyak yang lain-
lain lagi yang dia rahasiakan?"

"Maksud Anda?"

"Oh. Saya tidak tahu. Cuma saja saya


melihatnya sebagai setan tua yang tak puma
perasaan," Charles berhenti sebentar. "Dia
membenci Theresa..." tambahnya.

"Apakah Anda tahu bahwa Dokter Tanios


datang menjenguk bibi Anda pada hari Minggu
sebelum dia meninggal?"

"Apa- hari Minggu waktu kami berada di sana?"


"Ya. Anda tidak bertemu dengannya?"

"Tidak. Kami keluar berjalan-jalan siang itu.


Mungkin tepat pada waktu itu dia datang. Lucu,
bibi Emily tidak menyebut apa-apa tentang
kedatangannya. Siapa yang memberi tahu
Anda?"

"Nona Lawson."

"Lawson lagi? Rupanya dia tambang informasi."

Charles berhenti, tapi kemudian sambungnya,

"Tahukah Anda, Tuan Poirot - Tanios itu


orangnya baik. Saya sangat menyukainya. Dia
begitu ramah dan periang... dan selalu
tersenyum!"
"Kepribadiannya sangat menarik memang," ujar
Poirot.

Charles bangkit dari duduknya.

"Kalau saya jadi dia, sudah lama saya bunuh


Bella yang membosankan itu! Menurut
penglihatan Anda - Bella cocok sekali jadi
korban pembunuhan, kan? Oh - saya tidak akan
heran kalau pada suatu hari orang menemukan
potongan tubuhnya di suatu tempat!"

"Cap apa pula yang Anda berikan kepada


suaminya yang dokter itu, Tuan Arundell?"
komentar Poirot tajam.

"Oh - saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan


Tanios. Membunuh lalat pun dia tak akan tega.
Orangnya terlalu baik hati!"
"Dan Anda sendiri - bagaimana? Tegakah Anda
membunuh seseorang kalau itu menguntungkan
Anda?"

Charles tertawa - tawa yang renyah dan murni.

"Oh, Anda teringat lagi pada ancaman saya


terhadap Bibi Emily, M. Poirot? Jangan kuatir.
Percayalah - saya tidak menaburi sup Bibi Emily
dengan..." Charles terhenti beberapa saat.
Kemudian lanjutnya, "Strychnine."

Dengan lambaian tangan, Charles meninggalkan


flat Poirot.

"Kau mencoba-coba membuatnya takut,


Poirot?" tanyaku. "Kalau benar itu maksudmu,
kupikir kau gagal. Kulihat tidak sedikit pun dia
bereaksi yang menunjukkan rasa salahnya."
"Oh, tidakkah?"

"Kelihatannya tidak!"

"Mencurigakan - keragu-raguannya sebelum


mengucapkan kata 'strychnine'. Seolah-olah dia
hendak mengucapkan sesuatu, tapi cepat
tersadar bahwa itu mungkin membahayakan."

Aku cuma mengangkat bahu.

"Siapa tahu dia berusaha mengingat nama zat


peracun yang kedengarannya paling keren?"

"Mungkin juga. Mungkin juga. Tapi sudah


waktunya kita berangkat. Kupikir, malam ini kita
akan menginap di The George, di Market
Basing."
Sepuluh menit kemudian terlihat kami berdua
mengarungi lalu lintas kota London, menuju ke
luar kota.

Kami tiba di Harchester kurang lebih jam empat


sore, dan langsung menuju kantor Tuan Purvis.

Tuan Purvis berperawakan gemuk dengan


rambut putih dan kulit kemerah-merahan.
Melihatnya, orang jadi terbayang Tuan Tanah
zaman dulu. Sikapnya hormat, tapi terjaga.

Dibacanya surat yang kami bawa, dan kemudian


dipandanginya kami dari seberang meja tulisnya
yang mengkilat. Pandangannya jeli dan terasa
sebagai pandangan yang menyelidik.

"Tentu saja saya sudah mengenal nama Anda,


M. Poirot," ujarnya sopan. "Kelihatannya Nona
Arundell dan kakaknya menyewa Anda untuk
membantu menyelesaikan masalah warisan itu.
Tapi, yang saya tidak bisa mengira-ngira adalah,
sampai di mana jauh?"

"Bolehkah saya katakan begini, Tuan Purvis:


saya diminta menyelidiki masalahnya dengan
lebih teliti."

Tuan Purvis berkata kering,

"Nona Arundell dan kakaknya sudah mendengar


pendapat saya mengenai posisinya di dalam
hukum. Situasinya sudah jelas-jelas saya
gamharkan dan uraikan, hingga saya rasa tidak
perlu diulangi lagi."

"Tentu saja sudah sangat jelas bagi mereka,


Tuan Purvis," sahut Poirot cepat. "Tapi saya
mohon Anda tidak berkeberatan mengulangnya
untuk saya sehingga saya bisa mendapat
bayangan yang tepat dan jelas mengenai
situasinya."
Pengacara di depan kami itu menundukkan
kepalanya.

"Baiklah."

Poirot memulai,

"Nona Emily Arundell menulis surat kepada


Anda, meminta Anda untuk mengerjakan
beberapa hal pada tanggal tujuh belas April.
Apakah itu

Tuan Purvis memeriksa kertas-kertas yang ada


di hadapannya. "Ya. Benar."

"Bisakah Anda menyebutkan apa-apa saja yang


ditulisnya dalam surat itu?"
"Beliau meminta saya membuat konsep surat
wasiat. Dalam surat wasiat itu harus ditulis
tanda penghargaan untuk dua orang
pembantunya dan tiga atau empat yayasan
sosial. Sisa dari seluruh kekayaannya diwariskan
secara mutlak kepada Wilhelmina Lawson".

"Maafkan saya, Tuan Purvis - apakah Anda


kaget waktu membaca suratnya?"

"Saya akui - ya. Saya sangat terkejut."

"Nona Arundell pernah menulis surat wasiat


sebelum itu?"

"Ya - lima tahun yang lalu."

"Dalam surat wasiat yang dibuatnya lima tahun


yang lalu itu - setelah dikurangi untuk para
pelayan dan yayasan sosial, maka sisa
kekayaannya diwariskan kepada putera-puteri
saudara kandungnya?"

"Ya. Bagian terbesar kekayaannya dibagi tiga


sama rata untuk dua orang anak adik laki-
lakinya, Thomas, dan seorang anak Arabella
Biggs - adik perempuannya."

"Apa yang terjadi dengan surat wasiat itu?"

"Sesuai dengan permintaan Nona Arundell, saya


membawanya ke Puri Hijau pada waktu saya ke
sana tanggal dua puluh satu April."

"Saya akan sangat berterima kasih kalau Anda


mau menjelaskan sejelas-jelasnya segala
sesuatu yang terjadi pada kunjungan Anda itu."

Tuan Purvis berdiam diri semenit dua menit


lamanya. Kemudian dengan jelas ia berkata,
"Saya sampai ke Puri Hijau pada jam tiga sore.
Salah seorang pegawai saya menemani saya.
Nona Arundell menerima saya di Ruang Santai."

"Bagaimana kelihatannya dia?"

"Menurut penglihatan saya, dia nampak sehat.


Hanya saja ia berjalan dengan bantuan tongkat.
Penyebabnya, setahu saya, karena beberapa
hari sebelumnya dia jatuh dari tangga. Secara
umum, kesehatannya nampaknya bagus. Lain
daripada itu, nampaknya ia agak gelisah dan
terlalu perasa."

"Apakah Nona Lawson menemaninya?"

"Nona Lawson ada bersamanya waktu saya


datang. Tetapi ia segera meninggalkan kami."
"Kemudian?"

"Nona Arundell menanyakan apakah saya sudah


mengerjakan apa yang dimintanya, dan apakah
saya membawa surat wasiat barunya untuk
ditandatangani olehnya."

"Saya katakan bahwa saya sudah


mengerjakannya. Saya - e..." Tuan Purvis ragu-
ragu sejenak. Kemudian dengan kaku ia
melanjutkan,

"Mungkin ada baiknya saya katakan juga, bahwa


sejauh yang pantas dan bisa saya lakukan, saya
memprotes tindakan Nona Arundell. Saya
katakan kepadanya, bahwa surat wasiatnya
yang baru itu sangat tidak adil bagi keluarganya
- yang bagaimanapun juga adalah darah
dagingnya sendiri."

"Jawabnya?"
"Dia bertanya apakah uangnya boleh
dipergunakan sekehendak hatinya. Dan saya
katakan, bahwa tentu saja dia bebas
menggunakan uangnya sesuka hatinya. 'Kalau
begitu, tidak ada masalah,' katanya. Saya
ingatkan dia bahwa dia belum lama mengenal
Nona Lawson. Saya tanyakan apakah dia benar-
benar yakin bahwa ketidakadilan yang
dilakukannya kepada darah dagingnya sendiri
itu tidak akan disesalkannya. Dan jawabnya,
'Sobat, aku tahu apa yang kulakukan ini."

"Dia mudah sekali tersinggung - seperti yang


Anda katakan tadi?"

"Saya pikir, ya, M. Poirot. Tapi saya mengerti


bahwa dia orang yang bertanggung jawab, yang
panjang pikir dan bukan orang bodoh. Dia
sangat pandai mengurus dan menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Meskipun saya
kasihan terhadap keluarga Nona Arundell, saya
akan tetap pada pendirian saya yang tadi
mengenai Nona Arundell -di mana pun dan
kapan pun juga."

"Itu bisa saya mengerti, Tuan Purvis. Saya hargai


sikap dan pendirian Anda itu."

"Nona Arundell membaca surat wasiatnya yang


lama, kemudian dia mengulurkan tangannya -
meminta konsep surat wasiat yang baru saya
buatkan. Sebetulnya saya lebih suka
menyerahkan draft lebih dulu, tetapi dia
bersikeras bahwa surat wasiat baru yang dia
minta saya buatkan itu siap untuk
ditandatanganinya kalau saya datang ke Puri
Hijau. Memang tidak sulit membuatnya, karena
pembagian kekayaannya sangat sederhana.
Nona Arundell membacanya, menganggukkan
kepala, dan mengatakan bahwa dia akan segera
menandatanganinya. Saya masih merasa wajib
untuk memperingatkannya sekali lagi.
Didengarkannya kata-kata saya dengan penuh
kesabaran, tetapi dia mengatakan bahwa
keputusannya sudah pasti. Saya memanggil
pegawai saya untuk menyaksikan
penandatanganannya, dan pegawai saya
bersama-sama dengan tukang kebun Nona
Arundell pun masuk menjadi saksi Nona
Arundell membubuhkan tanda tangannya pada
surat wasiat yang baru itu. Bukan salah satu dari
pelayannya yang dijadikan saksi, sebab sebagai
ahli waris, mereka tidak berhak menjadi saksi."

"Setelah itu, apakah Nona Arundell


menyerahkan surat wasiat barunya kepada
Anda untuk disimpan?"

"Tidak. Dia menyimpannya dalam laci meja


tulisnya - dan laci itu dikuncinya."

"Diapakan surat wasiatnya yang lama? Apakah


surat wasiat itu dimusnahkan?"
"Tidak. Surat wasiatnya yang lama disimpannya
bersama-sama dengan yang baru."

"Di mana surat wasiat itu diketemukan, setelah


dia meninggal?"

"Masih di laci itu. Sebagai penasihat hukumnya,


saya diberi kunci hingga saya bisa memeriksa
semua surat bisnisnya setelah dia meninggal."

"Dua-duanya ada di situ?"

"Ya. Persis seperti ketika kedua surat wasiat itu


baru dimasukkan ke situ."

"Apakah Anda menanyakan alasannya


melakukan tindakan yang agak mengejutkan
itu?"
"Saya bertanya. Tapi jawaban yang saya terima
tidak memuaskan. Dia cuma meyakinkan saya
bahwa dia tahu dan sadar akan apa yang
dilakukannya itu."

"Meskipun begitu Anda tetap merasa heran


akan tindakannya itu?"

"Sangat heran. Setahu saya, Nona Arundell itu


rasa kekeluargaannya sangat kuat."

Poirot diam. Kemudian katanya,

"Anda toh tak pernah membicarakan masalah


itu dengan Nona Lawson?"

"Tentu saja tidak. Itu sangat terlarang untuk


saya lakukan, M. Poirot!"
Tuan Purvis nampak agak tersinggung.

"Pernahkah Nona Arundell mengatakan sesuatu


yang mempunyai implikasi bahwa Nona Lawson
telah tahu mengenai surat wasiat barunya?"

"Sebaliknya. Saya menanyakan kepadanya


apakah Nona Lawson tahu mengenai semuanya
itu, dan dengan agak membentak dia
mengatakan Nona Lawson tidak tahu apa-apa.

"Saya pikir, sebaiknya Nona Lawson tidak


diberitahu tentang surat wasiat baru itu. Saya
berusaha menjelaskan dan menekankan hal ini,
dan nona Arundell kelihatannya berpendapat
sama dengan saya."

"Mengapa Anda menekankan hal itu, Tuan


Purvis?"
Tuan Purvis memandang Poirot dengan penuh
wibawa.

"Itu sebaiknya tidak perlu dibicarakan. Di


samping itu membicarakannya cuma akan
membawa kekecewaan pada waktu yang akan
datang."

"Ah!" Poirot menarik napas panjang. "Menurut


saya, itu karena Anda berpikir bahwa ada
kemungkinan Nona Arundell mengubah
pikirannya setelah itu, bukan?"

Tuan Purvis menundukkan kepala.

"Benar. Dalam dugaan saya, Nona Arundell baru


berselisih paham dengan kemenakan-
kemenakan-nya. Saya pikir, mungkin saja, bila
hatinya sudah dingin dia akan
mempertimbangkan kembali kepu-tusan yang
diambilnya dengan terburu-buru itu."
"Dalam hal begitu - apa yang mungkin
dilakukannya?"

"Mungkin saja dia menyuruh saya membuat


surat wasiat baru lagi"

"Bisa juga dia mengambil cara yang lebih


sederhana: memusnahkan surat wasiat yang
baru -hingga yang lama berlaku kembali."

"Itu bisa didebat. Semua surat wasiat yang


dibuat terdahulu tidak berlaku lagi dengan
adanya surat wasiat yang lebih baru."

"Tapi, mungkin saja Nona Arundell tidak


mempunyai pengetahuan seluas itu mengenai
hukum. Dia pikir dengan memusnahkan surat
wasiat yang baru, maka yang lama dengan
sendirinya akan berlaku kembali."
"Kemungkinan itu memang ada."

"Sesungguhnya, seandainya Nona Arundell


meninggal tanpa menulis surat wasiat baru
sebelumnya - uangnya akan dengan sendirinya
diserahkan kepada keluarganya?"

"Ya. Separuh untuk Nyonya Tanios, dan separuh


lagi dibagi dua antara Charles dan Theresa
Arundell. Bagaimanapun, nyatanya, Nona
Arundell tidak mengubah keputusannya, sampai
dia meninggal."

"Itulah sebabnya saya datang," ujar Poirot.

Tuan Purvis memandang Poirot penuh tanda


tanya.
Poirot bangkit dari sandaran kursinya, dan
mendekatkan tubuhnya ke meja Tuan Purvis.

"Andaikata," ujarnya, "Nona Arundell ingin


memusnahkan surat wasiat itu beberapa saat
sebelum dia meninggal. Andaikata dia merasa
yakin telah memusnahkan surat wasiat itu -
tapi, dalam kenyataannya, dia memusnahkan
surat wasiatnya yang pertama."

Tuan Purvis menggeleng.

"Tidak mungkin. Kedua surat wasiatnya masih


tetap utuh."

"Baiklah. Seandainya dia memusnahkan surat


wasiat palsu yang tidak ada isinya - dengan
perasaan bahwa dia telah memusnahkan yang
asli. Dia dalam keadaan sakit keras, itu harus
diingat; menipunya dalam keadaan semacam itu
sangat mudah."
"Itu memerlukan bukti," Tuan Purvis berkata
keras.

"Oh, tentu saja - tentu saja...." "Adakah - kalau


boleh saya bertanya - adakah alasan untuk
berpendapat hal semacam itu terjadi?" Poirot
terperangah.

"Saya belum mau mengemukakan pendapat


saya pada kesempatan yang sedini ini..."

"Tentu, tentu," kata Tuan Purvis, setuju dengan


kata-kata yang biasa didengarnya.

"Kalau saya boleh berkata, tentu saja ini rahasia,


ada beberapa hal yang mencurigakan dalam
kasus ini."
"Oh, sungguh?"

Tuan Purvis mengatupkan kedua belah telapak


tangannya seperti menanti sesuatu yang
menyenangkan hatinya.

"Yang saya inginkan dari Anda, dan yang telah


saya peroleh adalah," lanjut Poirot, "bahwa
cepat atau lambat. Nona Arundell akan
mengubah pikirannya, dan berbalik kepada
keluarganya sendiri."

"Itu hanya pendapat saya pribadi," ujar Tuan


Purvis.

"Oh, saya mengerti itu, Tuan Purvis. Tentunya


Anda tidak bertindak sebagai pengacara Nona
Lawson juga, kan?"
"Saya anjurkan supaya Nona Lawson mencari
pengacara lain," kata Tuan Purvis.

Nadanya kaku.

Poirot menjabat tangan lelaki tua itu sambil


mengucap terima kasih atas kebaikan dan
informasi yang telah diberikannya.

BAB 20

KUNJUNGAN KEDUA KE PURI HIJAU


Dalam perjalanan meninggalkan Harchester,
kira-kira setelah berjalan sejauh sepuluh mil,
kami membicarakan situasinya.

"Memangnya kau punya dasar untuk apa yang


kauucapkan tadi, Poirot?"

"Maksudmu bahwa Nona Arundell mungkin


merasa bahwa dia sudah memusnahkan surat
wasiatnya yang terakhir? Tidak, mon ami, terus
terang, tidak. Tapi aku merasa wajib
mengemukakan sesuatu! Tuan Purvis orang
yang cerdik. Kalau aku tidak mengajukan
kemungkinan-kemungkinan seperti yang
kukatakan tadi, dia yang akan menanyai-ku: apa
yang bisa kulakukan dalam perkara ini."

"Kau mengingatkanku pada sesuatu, Poirot. Kau


tahu, apa?"

"Tidak, mon ami"


"Orang meniup air sabun. Sekali tiup berpuluh-
puluh bola dengan aneka warna disemburkan
ke udara."

"Maksudmu, setiap bola mewakili satu omong


kosongku?"

"Begitulah kurang lebih."

"Dan kaupikir, pada suatu hari nanti akan terjadi


tubrukan hebat di antara bola-bola itu?"

"Yang jelas, kau tak bisa terus menerus begitu,"


ucapku.

"Kau benar. Akan tiba waktunya aku meraih


bola-bola itu satu per satu, membungkukkan
badan dengan penuh hormat, dan pergi
meninggalkan panggung."

"Dan para penonton bertepuk tangan buatmu?"


Poirot memandangku curiga. "Ya - mungkin
saja."

"Tak banyak yang kita pelajari dari Tuan Purvis,"


komentarku, menghindar dari topik yang kurang

"Memang tidak banyak. Tapi setidak-tidaknya,


kita memperoleh penegasan mengenai
gambaran umum kita semula."

"Dan menegaskan juga pernyataan Nona


Lawson bahwa dia tidak tahu apa-apa mengenai
surat wasiat itu sampai sesudah Nona Arundell
meninggal."

"Aku sama sekali tidak menganggapnya begitu."


"Purvis menganjurkan agar Nona Arundell tidak
memberitahukan kepada Nona Lawson, dan
Nona Arundell menjawab bahwa dia tidak
punya maksud mengatakannya."

"Ya, itu sangat jelas. Tapi, jangan lupa - ada


lubang kunci, dan ada kunci yang bisa membuka
laci tempat surat wasiat itu disimpan."

"Jadi kau berpendapat Nona Lawson nguping?"


tanyaku, agak kaget.

Poirot tersenyum.

"Nona Lawson bukan orang sebegitu tanpa


dosanya, mon cher. Dan kita tahu, bahwa paling
tidak ia mendengarkan satu percakapan yang
seharusnya bukan untuk kupingnya - maksudku,
percakapan antara Charles dan Bibinya
mengenai 'ancaman Charles' itu."

Kuakui kebenarannya.

"Jadi, bukan tidak mungkin dia juga


mendengarkan percakapan antara Tuan Purvis
dan Nona Arundell. Suara Tuan Purvis jelas dan
keras. Orang-orang yang kelihatannya jinak dan
penakut seperti Nona Lawson sering
mempunyai kebiasaan yang kurang terhormat -
karena itu bisa menjadi semacam hiburan
baginya."

"Ah, Poirot!" protesku.

Berkali-kali Poirot mengangguk-anggukkan


kepalanya.

"Tapi kenyataannya memang begitu, Sobat!"


Kami tiba di The George dan memesan dua
kamar. Selelah itu kami berjalan-jalan dengan
tujuan Puri Hijau.

Waktu kami membunyikan bel, Bob segera


menyahut. Anjing itu menerobos masuk melalui
Ruang Tengah dan berhenti sambil menyalak-
nyalak di bagian dalam pintu depan.

Terdengar bisikan seseorang menenangkannya.

"Ayo Bob- anjing manis, ayo... masuk ke sini!"

Walaupun segan, Bob terpaksa menuruti


kemauan orang yang menyeretnya ke Ruang
Pagi.
Pintu Ruang Pagi ditutup, dan Ellen pun
melepaskan gembok pintu depan dan
membukakannya.

"Oh, rupanya Anda yang datang. Tuan!"


serunya. Dibukanya pintu lebar-lebar. Wajahnya
nampak senang.

"Silakan masuk, Tuan."

Kami masuk. Dari pintu tertutup di sebelah kiri


kami terdengar Bob menggeram, memprotes.

"Biarkan saja dia keluar," ujarku.

"Oh, baik, Tuan. Sebetulnya dia tidak apa-apa.


Cuma suaranya itu... sering kali membuat orang
takut. Yah, tapi dia memang anjing jaga yang
baik."
Ellen membuka pintu Ruang Pagi, dan Bob pun
menerobos keluar.

Bob memandang ke kiri dan ke kanan sambil


mendengus-dengus. Nampaknya ia mengenali
kami.

"Hallo, Bob," seruku. "Apa kabar?"

Bob menggoyang-goyangkan ekornya.

Sekarang Bob memperhatikan Poirot. Tidak


lama. Ia segera beranjak meninggalkannya.

"Bob," panggilku.

Dipandangnya aku dari atas bahunya.


"Kalian tidak perlu dijaga. Aku akan kembali ke
kandangku," begitu seolah-olah Bob berkata
sambil meninggalkan kami.

"Jendelanya tertutup semua. Oh, maafkan


sebentar..." buru-buru Ellen menghambur ke
Ruang Pagi, membuka jendela.

"Bagus," ujar Poirot mengikutinya, sambil duduk


di salah satu kursi di situ.

Waktu aku mau mengikutinya, Bob tiba-tiba


muncul kembali. Ia membawa bola pada
mulutnya. Ia melompat-lompat naik tangga.
Sesampainya di atas, ia memandang ke bawah
sambil menggoyang-goyangkan ekornya.

"Ayo," begitu kelihatannya dia berkata. "Ayo,


kita main-main!"
Perhatianku teralihkan kepadanya, dan kami
pun bermain-main beberapa menit lamanya.
Aku kemba-li ke Ruang Pagi dengan rasa
bersalah karena melalaikan tugas.

Poirot dan Ellen kedengarannya sedang asyik


berbicara mengenai obat-obatan dan penyakit.

"Pil putih, Tuan - cuma itu yang biasanya


diminum. Dua atau tiga pil setelah makan.
Begitu perintah Dokter Grainger. Oh ya, Nona
Arundell mematuhi perintah itu. Obatnya kecil-
kecil sekali. Tapi kemudian Nona Lawson
memperkenalkan obat baru. Berbentuk kapsul,
rancangan Dokter Lough-barrow. Katanya itu
Kapsul Hati. Mungkin Tuan sudah melihat
iklannya?"

"Nona Arundell minum kapsul itu juga?"


"Ya. Mula-mula Nona Lawson yang
memaksanya. Kemudian, Nona Arundell
merasakan khasiatnya, dan sejak saat itu Beliau
selalu meminumnya."

"Apakah Dokter Grainger tahu?"

"Tahu, Tuan. Tapi Dokter Grainger tidak


melarangnya. 'Minum saja kalau kaurasa
khasiatnya bagus,' katanya. Lalu Nona Arundell
menyahut, 'Kau boleh menertawakanku, tapi
sungguh, aku merasakan khasiatnya -jauh lebih
berkhasiat dari resepmu.' Dokter Grainger tentu
saja tertawa, Tuan. Katanya keyakinan lebih
manjur daripada obat apa pun yang pernah
ditemukan orang."

"Adakah obat lain lagi yang diminumnya?"

"Tidak. Suami Nona Bella - dokter asing itu -


memberinya sebotol obat. Tapi, meskipun Nona
Arundell mengucapkan terima kasih, obat itu
dibuang. Saya melihat sendiri waktu Nona
Arundell membuangnya, Tuan. Tapi itu tidak
bisa disalahkan. Kita tidak tahu apa yang
diberikan oleh orang asing

"Nyonya Tanios juga melihat waktu Nona


Arundell membuang obat itu, kan?"

"Ya. Kelihatannya dia sakit hati. Kasihan. Saya


mengerti maksud dokter itu baik."

"Tentu. Tentu. Setelah Nona Arundell meninggal


semua obat-obatannya dibuang?"

Ellen kelihatan terkejut mendengar pertanyaan


itu.

"Oh, ya, Tuan. Juru rawat-nya membuang


semua obat yang ada diluar. Sedang Nona
Lawson sudah mengosongkan lemari obat yang
di kamar mandi."

"Di situkah Kapsul Hatinya disimpan?"

"Tidak. Kapsul itu diletakkan di lemari sudut di


Ruang Makan supaya mudah mengambilnya
setiap kali selesai makan."

"Siapa juru rawat yang merawat Nona Arundell?


Anda tahu alamatnya?"

Dengan cepat Ellen memberikan nama dan


alamatnya.

Poirot terus menanyakan hal-hal yang


berhubungan dengan penyakit Nona Arundell
sebelum meninggal.
Ellen menceriterakan dengan mendetil tentang
penyakitnya, tentang keluhannya, tentang
gejala penyakit kuning yang nampak dari luar,
dan tentang saat-saat terakhirnya. Aku tak tahu
apakah Poirot puas atau tidak dengan apa yang
didengarnya. Yang jelas, ia mendengarkan
dengan sabar dan kadang-kadang melontarkan
pertanyaan, khususnya mengenai Nona Lawson,
dan lamanya Nona Lawson berada di kamar
Nona Arundell. Poirot nampaknya juga tertarik
akan pengaturan diet Nona Arundell -dengan
membandingkan segalanya dengan pengalaman
keluarganya (yang sebetulnya tidak ada) yang
sekarang sudah meninggal.

Melihat mereka berdua begitu asyik, aku keluar


lagi ke Ruang Tengah. Bob rupanya tertidur di
bagian atas tangga. Bolanya tergeletak dekat
mulutnya.

Aku bersiul membangunkannya, ia pun cepat


bangkit dan sigap kembali. Menutupi rasa
malunya (kedapatan tertidur), Bob segera
mempermainkan bolanya dan melemparkannya
kepadaku. Kami bermain-main beberapa
lamanya.

Ketika aku kembali ke Ruang Pagi, Poirot sedang


membicarakan kunjungan Dokter Tanios yang
tidak terduga-duga hari Minggu sebelum Nona
Arundell meninggal.

"Ya, Tuan - Tuan Charles dan Nona Theresa


memang sedang berjalan-jalan ke luar. Kami
memang tidak tahu Dokter Tanios akan datang.
Nona Arundell sedang berbaring. Waktu tahu
Dokter Tanios datang, Beliau sangat terkejut.
'Dokter Tanios?' tanyanya. 'Dengan isterinya?'
Saya katakan dia datang sendirian. Nona
Arundell menyuruh saya mengatakan kepada
Dokter Tanios bahwa Nona Arundell akan
turun."
"Lama Dokter Tanios tinggal di sini?"

"Tidak lebih dari satu jam, Tuan Kelihatannya


dia kecewa waktu pulang."

"Mungkin Anda kebetulan tahu maksud


kedatangannya?"

"Oh, tentu saja tidak, Tuan. Saya tidak tahu apa-


apa!"

"Anda tidak mendengar apa-apa sama sekali?"


Wajah Ellen memerah.

"Tidak, Tuan! Saya tak pernah nguping di dekat


pintu..."

"Oh, Anda salah tangkap," ujar Poirot segera,


menghindari Ellen merasa lebih tersinggung.
"Maksud saya, mungkin saja waktu Anda
membawa teh masuk - Anda kebetulan
mendengar apa yang dikatakan."

Ellen nampak tenang mendengar penjelasan


Poirot.

"Maafkan saya. Tuan - saya salah mengerti.


Dokter Tanios tidak sampai minum teh di sini."

Poirot memandangnya, matanya bersinar nakal.

"Dan kalau saya tetap ingin tahu maksud


kedatangan Dokter Tanios - besar kemungkinan
Nona Lawson tahu, bukan?"

"Kalau dia tidak tahu, Tuan, orang lain pun tak


ada yang tahu," Ellen berkata dengan nada jijik.
"Eee...," Poirot nampaknya mencoba
mengingat-ingat sesuatu. "Nona Lawson -
kamarnya kalau tidak salah berdekatan dengan
kamar Nona Arundell, bukan?"

"Oh, tidak. Tuan. Kamar Nona Lawson persis di


bagian kanan atas tangga. Saya bisa
menunjukkannya kepada Anda, Tuan."

Poirot menerima tawarannya. Sementara naik


tangga, ia berjalan sedekat mungkin dengan
dinding di sisi tangga itu. Begitu sampai di
puncak tangga, ia menyerukan sesuatu sambil
membungkuk dan memegangi ujung bawah
pantalonnya.

"Pantalon saya tersangkut -ah, ini dia, ada paku


di sini, di papan miring ini."
"Oh, ya - memang ada paku di situ, Tuan.
Mungkin mau copot. Baju saya sendiri sudah
beberapa kali tersangkut paku itu."

"Sudah lamakah paku itu begitu?"

"Cukupan, Tuan. Pertama kali saya melihatnya


waktu Nona Arundell masih berbaring setelah
kecelakaan di tangga ini. Tuan. Saya mencoba
menariknya, tapi tidak bisa."

"Ada benang yang diikatkan di situ


kelihatannya."

"Ya, Tuan. Saya ingat, waktu pertama kali saya


melihatnya ada bekas potongan benang di situ.
Saya tidak tahu bekas apa."

Suara Ellen sama sekali tidak mengandung


kecurigaan. Baginya, itu cuma salah satu
kejadian dalam rumah tangga yang tidak
memerlukan penjelasan!

Poirot melangkah masuk ke kamar di sebelah


kanan atas tangga. Kamar itu tidak terlalu besar,
tetapi juga tidak kecil. Di salah satu sudutnya
terdapat meja dan kaca rias dan di antara dua
jendela yang terdapat di situ, ada sebuah lemari
dengan kaca di bagian depannya. Tempat
tidurnya terletak di sebelah kanan, di belakang
pintu, menghadap ke jendela. Di dinding
sebelah kiri terdapat sederetan lemari kecil
dengan banyak laci dan sebuah tempat cuci
tangan-dari marmer.

Poirot memperhatikan sekeliling kamar itu


dengan sungguh-sungguh. Kemudian dia keluar
lagi. Dia menuju gang, melampaui dua ruang
tidur lainnya, dan akhirnya ke Ruang Tidur
Utama, yang dulunya kamar Emily Arundell.
"Juru rawat kamarnya di sebelah," kata Ellen.
Poirot mengangguk.

Sementara kami menuruni tangga, Poirot


bertanya apakah dia boleh berjalan-jalan
melihat taman.

"Oh, ya, Tuan. Tentu saja. Taman di sini sedang


bagus-bagusnya saat ini."

"Apakah penjaganya masih tetap yang dulu?"

"Angus? Oh, ya, Angus masih di sini. Nona


Lawson ingin agar tamannya tetap terawat
karena itu akan menambah harga rumah ini."

"Ya. Dia bijaksana. Membiarkan rumah dan


tamannya tidak terawat bukan tindakan yang
bijaksana."
Tamannya sangat luas dan indah. Kami berjalan
berkeliling, sampai tibalah kami ke suatu
tempat di mana nampak seorang lelaki tua
sedang sibuk bekerja. Dengan hormatnya laki-
laki itu mengangguk kepada kami, dan Poirot
pun mengajaknya bercakap-cakap.

Mendengar kami belum lama berselang


bertemu dengan Tuan Charles rupanya
menyenangkan hati laki-laki itu. Ia menjadi
lincah dan sangat ramah.

Banyak ceriteranya mengenai masa kecil


Charles kalau anak itu berkunjung ke Puri Hijau.

"Bulan April yang lalu dia datang ke sini,


bukan?"
"Ya. Ke sini - dua akhir minggu berturut-turut.
Persis sebelum Nona Arundell meninggal."

"Banyak mengobrol dengan Anda?"

"Lumayan! Kurang menyenangkan buat anak


muda macam dia berlibur di sini. Itu fakta, Tuan.
Kebanyakan dia jalan-jalan ke The George.
Kadang-kadang juga jalan-jalan di kebun sini -
menghampiri saya, tanya ini dan itu."

"Mengenai tanaman?"

"Yah... bunga-bungaan dan semak-semak juga."


"Semak-semak?"

Nada suara Poirot terdengar mengandung arti


lain. Dia berpaling, dan mengamati sederet
kaleng yang terletak tak jauh dari situ, pada rak.
Pandangannya berhenti pada sebuah kaleng.
"Dia mungkin ingin tahu bagaimana cara
membasminya?" "Betul, Tuan!"

"Ini obat pembasminya, kan?"

Poirot memutar kaleng itu perlahan-lahan dan


membaca labelnya.

"Betul, Tuan," komentar Angus. "Yang paling


mudah memang menggunakan obat itu."

"Apakah tidak berbahaya?"

"Tidak, asal betul cara menggunakannya, Tuan.


Obat itu mengandung banyak arsenik. Tuan
Charles malah bercanda sedikit mengenai obat
itu. Katanya, kalau dia punya isteri yang cerewet
dan membosankan, dia akan datang ke sini
minta sedikit obat itu, Tuan. Untuk
menghilangkan isterinya itu, mungkin! Saya
balas dia, dan saya katakan, siapa tahu justru
isterinya yang akan mengambilnya buat dia
sendiri. Dia tertawa terbahak-bahak."

Kami merasa wajib tertawa menanggapi


ceritera yang dianggapnya lucu itu, Poirot
membuka tutup kalengnya.

"Sudah hampir habis," gumamnya.

Angus ikut melihat isi kaleng itu.

"Wah. Tak terasa, sudah sebanyak itu yang saya


pakai. Saya mesti cepat-cepat memesan lagi."

"Ya," ujar Poirot tersenyum, "Seandainya saya


ingin minta sedikit untuk isteri saya pun sudah
tidak cukup!"
Sekali lagi kami tertawa bersama-sama.
"Kelihatannya Anda belum menikah, Tuan?"
"Belum."

"Ah, belum kawin saja sudah begitu. Kalau


sudah kawin... nah, itu, baru tahu susahnya!"

"Isteri Anda...?" tanya Poirot, sengaja tidak


menyelesaikan kalimatnya.

"Oh, jangan kuatir - dia hidup, segar bugar!"


Angus kelihatan sedikit muram.

Setelah memuji tamannya yang bagus, kamu


pun berpamitan.
BAB 21

APOTEKER. JURU RAWAT. DOKTER

Kaleng obat pembasmi semak itu menimbulkan


babak pemikiran baru dalam otakku. Kini aku
betul-betul mempunyai rasa curiga. Perhatian
Charles pada obat itu - dan kenyataan bahwa
Angus mendapatkan kalengnya hampir kosong -
kelihatannya merupakan penanda ke arah
pemikiran yang benar.

Seperti biasanya kalau aku senang atau


menaruh curiga, Poirot bersikap acuh-tak-acuh.

"Meskipun terbukti ada seseorang yang


mengambil obat pembasmi semak itu, Hastings
- belum berarti bahwa Charles pelakunya."
"Tapi dia toh banyak sekali mempersoalkan
obat itu dengan Angus," sanggahku.

"Kalau memang itu tujuannya, mengobrol


seperti itu bukan tindakan yang bijaksana."

Kemudian Poirot melanjutkan,

"Nama zat peracun apa yang paling cepat


teringat olehmu kalau kau ditanyai?"

"Ya. Jadi kau mengerti mengapa Charles ragu-


ragu sebelum mengucapkan 'strychnine" tadi
pagi?"

"Maksudmu..."
"Semula dia hendak mengatakan 'menaburkan
arsenik pada sup* - tapi dia tidak jadi mengata-

"Ah!" ucapku. "Mengapa mesti begitu?"

"Tepat, Hastings! Mengapa? Terus terang,


untuk menjawab pertanyaan itulah aku sengaja
mengelilingi taman, mencari sumber pembasmi
semak."

"Dan kau berhasil menemukannya."

"Ya. Aku menemukannya."

Aku menggeleng-geleng.

"Kelihatannya bukan berita baik buat Charles.


Dan kedengarannya tadi kau membicarakan
penyakit Nona Arundell dengan si Ellen.
Samakah gejalanya dengan gejala keracunan
arsenik?"

Poirot menggosok-gosok hidungnya.

"Sukar untuk dikatakan. Nona Arundell merasa


perutnya tidak enak - sakit."

"Nah - itu memang gejalanya, bukan?"

"Hmmm, aku kurang yakin."

"Lalu kira-kira keracunan apa kalau begitu?"

"Eh bien, Sobat, melihat gejalanya seperti sakit


lever biasa yang mematikan."
"Oh, Poirot!," seruku. "Tidak mungkin itu cuma
penyakit biasa! Dia mati dibunuh!"

"Oh, ia ia, kok kita jadi tukar tempat?"

Tiba-tiba Poirot membelok ke sebuah apotek.


Setelah lama memperbincangkan keluhan-
keluhan pribadinya, Poirot membeli sekotak
kecil obat isap untuk sakit tenggorokan.
Kemudian, sementara obat yang dibelinya itu
sedang dibungkus, perhatiannya tiba-tiba
tertarik pada obat berbungkus menarik: Kapsul
Lever Dr. Loughbarrow.

"Oh, ya, Tuan - obat itu bagus sekali." Si


Apoteker yang setengah baya itu berpromosi.

"Sangat mujarab!"
"Kalau tak salah Nona Arundell biasa
meminumnya. Nona Emily Arundell."

"Memang betul, Tuan. Nona Arundell yang


empunya Puri Hijau itu. Oh, dia perempuan
yang luar biasa. Saya sering melayaninya."

"Banyakkah obat paten yang biasa


diminumnya?"

"Tidak, Tuan. Tidak sebanyak yang biasa


diminum perempuan-perempuan tua lainnya.
Nona Lawson, bekas pelayan pribadinya yang
sekarang jadi ahli waris..."

Poirot mengangguk.

"Dia banyak minum obat - macam-macam pil,


obat isap, obat untuk melancarkan pencernaan,
obat tambah darah, dan sebagainya. Makin
banyak botol di lemari obatnya, makin senang
dia. Padahal sekarang orang tidak terlalu doyan
obat seperti dulu. Meskipun begitu, obat-
obatan yang kami jual masih banyak laku -
karena ada orang yang punya kesenangan
mengumpulkan obat-obatan seperti Nona
Lawson itu."

"Apakah Nona Arundell minum kapsul lever ini


secara teratur?"

"Ya. Selama tiga bulan terakhir sebelum Beliau


meninggal."

"Oh ya - ada keluarganya. Dokter Tanios -kalau


tak salah - yang datang ke sini untuk membeli
ramuan obat tertentu. Betul?"

"Ya. Lelaki Yunani yang menikahi kemenakan


Nona Arundell. Campuran obatnya baru
rupanya -saya belum pernah menjumpai
campuran seperti itu."

Apoteker itu berbicara mengenai botani.

"Obat baru biasanya memang berkhasiat, Tuan -


sebab tubuh kita lama kelamaan menjadi kebal
dengan obat yang biasa kita minum. Betul, Tuan
-campuran obatnya sangat menarik. Tapi itu
bisa dimengerti - dia seorang dokter, bukan?
Orangnya baik sekali - senang mengobrol
dengannya."

"Isterinya pernah belanja ke sini?"

"Pernah atau tidak, ya? Oh, saya tidak ingat.


Tapi, eee, ya, pernah, Tuan. Dia dalang membeli
obat tidur
- chloral. Ya, chloral - saya ingat. Dia membeli
dosis dua kali lipat yang biasa diberikan dokter."

"Dokter mana yang menulis resepnya?"

"Suaminya, saya pikir. Sekarang ini kami mesti


lebih berhati-hati, Tuan. Kadang-kadang dokter
salah menulis resep. Karena itu kami sering
harus mencek ulang. Sebab, Tuan, kalau
umpamanya terjadi sesuatu - bukan dokternya
yang disalahkan, tapi kami. Kami dianggap tahu
dosis yang seharusnya."

"Itu tidak adil!"

"Ya - agak mengkuatirkan, saya akui. Tapi, yah -


saya tidak boleh berkeluh kesah. Amit-amit, tapi
selama ini yang seperti itu belum pernah terjadi
dengan apotek kami."
Laki-laki itu mengetuk meja di hadapannya tiga
kali.

Poirot membeli sebungkus kapsul lever buatan


Dr. Loughbarrow.

"Yang ukuran berapa, Tuan - dua puluh lima,


lima puluh, seratus?"

"Yang paling besar pasti jatuhnya lebih murah -


tapi..."

"Yang lima puluh sajalah, Tuan. Nona Arundell


biasanya mengambil yang lima puluh."

Poirot mengangguk, membayar, dan menerima


bungkusan kapsul levernya.

Kami pergi meninggalkan apotek tadi.


"Jadi Nyonya Tanios pernah membeli obat tidur
dengan dosis melebihi normal," ujarku setelah
kami sampai dijalan. "Minum obat tidur
melebihi dosis kan bisa mematikan?"

"Ya - mati dengan tanpa susah-susah sama


sekali."

"Mungkinkah Nona Arundell..." Tiba-tiba aku


ingat kata-kata Nona Lawson, Saya yakin dia
mau membunuh siapa pun kalau disuruh
suaminya."

Poirot menggeleng.

"Chloral itu semacam narkotik - biasanya


dipakai untuk mati rasa dan penenang. Tapi bisa
juga membuat orang kecanduan."
"Mungkinkah Nyonya Tanios kecanduan obat
itu?"

Poirot menggeleng lagi.

"Tidak. Kupikir tidak. Tapi aku jadi curiga. Buat


apa dia membeli obat tidur sebanyak itu.
Mungkin..."

Poirot tidak melanjutkan kata-katanya, ia segera


mengalihkan perhatiannya pada arlojinya.

"Ayo. kita cari alamat Suster Carruthers yang


merawat Nona Arundell pada hari-hari
terakhirnya."

Suster Carruthers ternyata seorang wanita


setengah baya yang kelihatannya sangat
bijaksana.
Kali ini Poirot memainkan peran baru. Ia
berpura-pura mencari juru rawat untuk ibunya
yang sudah tua dan sakit-sakitan.

"Terus terang, ibu saya orangnya sulit. Telah


beberapa kali kami memanggil juru rawat muda
yang pandai dan cekatan. Tapi, justru karena
mereka muda itu ibu saya menentang. Beliau
tidak menyukai perempuan muda. Mereka
selalu dihinanya. Saya harus akui, ibu saya keras
dan kolot, ia sangat menentang segala sesuatu
yang berbau modern. Karena itu, sulit sekali
bagi saya untuk mencari orang yang bisa cocok
dan sabar menghadapinya," ujar Poirot dengan
sedihnya.

"Saya bisa mengerti," kata Suster Carruthers


simpati. "Memang kadang-kadang
menjengkelkan. Dengan wanita tua seperti ibu
Anda, kita harus menggunakan banyak taktik.
Tidak baik membuat si pasien marah. Lebih baik
kita yang mengalah sebanyak mungkin. Kalau
dia merasa bahwa kita tidak memaksanya, tidak
memerintah atau mendikte - maka lambat laun
dia akan bersikap santai, dan bahkan
menyerah."

"Ah! Saya yakin Anda akan cocok sekali buat ibu


saya. Anda kelihatannya mengerti perasaan
wanita tua."

"Saya terpaksa mengerti lewat pengalaman-


pengalaman saya," kata Suster Carruthers
sambil tertawa. "Kesabaran dan humor ternyata
banyak sekali membantu."

"Ya - itu bijaksana sekali. Saya dengar Anda


pernah merawat Nona Arundell. Beliau pun,
saya kira, bukan pasien yang gampang."

"Yah - bagaimana, ya? Kemauannya memang


keras, tapi saya tidak mengalami kesulitan
merawatnya. Tapi mungkin saja itu karena saya
tidak terlalu lama merawatnya. Dia meninggal
pada hari keempat dalam rawatan saya."

"Saya baru kemarin bertemu dengan


kemenakannya, Nona Theresa Arundell."

"Oh, sungguh? Dunia ini memang sempit!"


"Anda kenal dia?"

"Ya, tentu saja. Dia datang setelah bibinya


meninggal, dan datang lagi buat menghadiri
pemakamannya. Sebelumnya pun saya sudah
sering melihatnya - kalau dia berjalan-jalan pada
waktu berlibur di sini. Dia sangat cantik."

"Ya. Cantik sekali. Sayangnya agak terlalu


kurus."
Sadar akan pipinya sendiri yang agak montok,
Suster Carruthers menjadi kemalu-maluan.

"Benar," ujarnya. "Sebaiknya orang tidak terlalu


kurus."

"Kasihan dia," lanjut Poirot. "Saya betul-betul


merasa kasihan kepadanya. Entre nous"[antara
kita saja] Poirot mendekatkan dirinya pada
Suster Carruthers, dan dengan setengah
berbisik ia berkata, "surat wasiat bibinya sangat
tidak terduga-duga."

"Kelihatannya begitu," ujar Suster Carruthers.


"Setahu saya, itu menjadi bahan pembicaraan
orang."

"Saya sama sekali tidak bisa membayangkan


mengapa Nona Arundell memutuskan untuk
tidak mewarisi keluarganya sendiri sama sekali.
Tidak biasanya orang berbuat begitu."
"Aneh sekali memang. Dan dengar-dengar,
orang mengatakan ada sesuatu di balik
semuanya itu."

"Mungkin Anda punya bayangan - apa


alasannya? Pernahkah Nona Arundell
mengatakan sesuatu mengenai hal itu?"

"Tidak - tidak kepada saya."

"Tapi dia mengatakan kepada orang lain?"

"Yah - saya pikir Nona Arundell mengatakan


sesuatu kepada Nona Lawson, dan saya dengar
Nona Lawson berkata, 'Ya. Tapi surat-surat itu
dibawa oleh Tuan Pur...' Purvis kalau tidak
salah. Saya pikir itu nama pengacaranya.
Kemudian Nona Arundell berkata, 'Saya yakin
ada di laci di bawah.' Dan Nona Lawson
mengatakan, 'Tidak. Masakan lupa? Kan, sudah
dikirimkan ke Tuan Purvis?' Setelah itu pasien
saya mengalami serangan mual-mual lagi, dan
Nona Lawson pergi ke luar sementara saya
merawat Nona Arundell. Saya sering bertanya-
tanya - mungkinkah surat wasiat itu yang
mereka perbincangkan."

"Sangat mungkin."

Suster Carruthers melanjutkan,

"Kalau memang benar, saya pikir Nona Arundell


merasa gelisah dan ingin mengubahnya - tapi
Beliau begitu lemah dan menderita sampai
ajalnya tiba."

"Apakah Nona Lawson membantu


merawatnya?" tanya Poirot.
"Oh, sama sekali tidak. Sikapnya kerap kali
justru mengganggu ketenangan pasien."

"Jadi, Anda sendiri yang merawat Nona Arundell


selama Beliau sakit? C'est formidable ca."[bukan
main]

"Ada seorang pelayan - - namanya Ellen, kalau


saya tidak salah. Dia membantu saya. Ellen
sangat baik. Dia sudah terbiasa merawat orang
sakit, dan kelihatannya dia sangat mengerti apa
yang disukai atau tidak disukai Nona Arundell.
Kami berdua bekerja sama dengan baik sekali,
saya akui. Dokter Grainger mengirim seorang
suster jaga malam pada hari Jumat sore. Tapi
Nona Arundell sudah meninggal sebelumnya."

"Mungkin Nona Lawson membantu menyiapkan


makanan pasien Anda?"
"Tidak. Nona Lawson sama sekali tidak
melakukan apa-apa. Terus terang, hampir tidak
ada yang perlu dipersiapkan. Semuanya sudah
saya siapkan di kamar Nona Arundell - Valentine
dan brandy-nya, juga glucose dan sebagainya.
yang dilakukan Nona Lawson cuma menangis,
kadang-kadang meraung-raung, mengganggu
semua orang."

Sedikit nada pahit terselip dalam suara Suster


Carruthers.

"Kedengarannya," komentar Poirot, "Anda


kurang menghargai Nona Lawson."

"Pada pikiran saya, pelayan pribadi kebanyakan


orang bodoh. Mereka tidak atau kurang
berpendidikan. Cuma bekerja - katakanlah -
sebagai amatiran. Dan umumnya, mereka itu
perempuan yang tidak bisa bekerja yang lain."
"Menurut penglihatan Anda, apakah Nona
Lawson sangat dekat dengan Nona Arundell?"

"Kelihatannya begitu. Waktu Nona Arundell


meninggal, dia yang paling histeris - melebihi
keluarga Nona Arundell sendiri, malah."

"Ya, mungkin juga," ujar Poirot sambil


mengangguk-angguk. "Sebab Nona Arundell
nampaknya sangat sadar ketika memutuskan
untuk mewariskan seluruh kekayaannya kepada
Nona Lawson."

"Nona Arundell orangnya sangat cerdik," ujar


Suster Carruthers. "Pengetahuannya sangat
luas."

"Pernahkah dia membicarakan Bob -


anjingnya?"
"Lucu, Anda mengatakan begitu! Memang Nona
Arundell sering sekali membicarakannya - lebih-
lebih kalau dia mengigau. Tak jelas apa yang
diucapkan. Yang terdengar dia menyebut-
nyebut Bob dan bolanya serta dia jatuh dari
tangga. Bob anjing manis. Saya sangat
menyayangi anjing. Kasihan Bob kelihatannya
sedih sekali ketika maunya meninggal. Kadang-
kadang sukar dimengerti, bukan?"- Anjing
sering mempunyai perasaan seperti manusia."

Dengan pembicaraan mengenai anjing ini, kami


pun minta diri.

"Adaseseorang yang nampaknya sama sekali


tidak mempunyai kecurigaan," ujar Poirot di
jalan.

Suaranya kurang bersemangat.


Santap malam kami di The George sama sekali
tidak nikmat - Beberapa kali Poirot mengeluh,
lebih-lebih waktu makan supnya.

"Padahal, Hastings, gampang sekali bikin sup


yang enak. Le pot au feu..."

Kuhindari topik masak memasak ini dengan


susah payah.

Sehabis makan malam, kami mendapat kejutan.

Kami sedang duduk-duduk di lobby. Saat itu


kebetulan tidak ada orang lain yang duduk-
duduk di situ. Waktu makan di ruang makan
tadi ada seorang laki-laki lain yang juga sedang
makan. Seorang pengusaha kelihatannya. Tapi
dia tidak tinggal di hotel lama. Dia keluar
setelah selesai santap malam. Aku iseng-iseng
membuka semacam jurnal ekonomi terbitan
lama yang tersedia di meja ketika tiba-tiba
kudengar ada orang menyerukan nama Poirot.

Suara yang kudengar itu rupanya berasal dari


luar.

"Mana dia? Di sini? Oh - aku harus menemukan


orang itu!"

Pintu masuk ke lobby dibuka orang dari luar.


Dokter Grainger masuk tergopoh-gopoh dengan
wajah merah padam dan kedua alisnya bertemu
di tengah. Lelaki itu berhenti sebentar menutup
pintu, kemudian menghampiri kami dengan
salah tingkah.

"Oh, jadi Anda di sini! M. Poirot, apa maksud


Anda datang ke tempat saya dan membual yang
bukan-bukan?"
"Ini dia salah satu bola sabunmu, Poirot,"
gumamku.

Dengan suara sangat lembut Poirot berkata,


"Oh, Dokter, perkenankan saya menjelaskan..."
"Memperkenankan? Memperkenankan? Huh.
persetan dengan macam-macam perkenan.
Akan kupaksa kau menjelaskan semua duduk
perkaranya! Anda seorang detektif, kan?
Detektif yang kasak-kusuk berusaha mencari
informasi! Apa maksudnya Anda datang ke
tempat praktek saya dan membuat ceritera-
ceritera bohong? Yang katanya mau menulis
buku biografi Jenderal Arundell - lah.... Oh,

"Siapa yang memberitahukan identitas saya


kepada Anda?" tanya Poirot.

"Siapa? Nona Peabody. tentu saja. Dia tidak bisa


ditipu. Dia langsung tahu maksud Anda."
"Oh, Nona Peabody- ya." Poirot kedengarannya
sedang mencoba mengingat-ingat Nona
Peabody. "Saya pikir..."

Dokter Grainger menyela dengan marahnya.

"Saya menunggu penjelasan Anda, Tuan!"

"Tentu saja! Penjelasannya sangat sederhana.


Usaha Pembunuhan."

"Apa? Apa yang Anda katakan?"

Dengan tenang Poirot berkata,

"Nona Arundell mengalami kecelakaan-jatuh


dari tangga. Betul, bukan? Tidak lama. sebelum
Beliau meninggal."
"Ya. Apa hubungannya? Dia terpeleset bola
mainan anjingnya sendiri."

Poirot menggeleng.

"Tidak, Dokter. Dia bukan jatuh karena


terpeleset atau terantuk bola Bob! Ada benang
yang sengaja direntang pada ujung atas tangga
itu supaya dia tersandung dan jatuh!"

Dokter Grainger membelalak.

"Tapi Nona Arundell tidak mengatakan begitu,"


sanggahnya. "Dia sama sekali tidak pernah
mengatakan apa-apa."
"Itu bisa dimengerti -- kalau memang benar
salah seorang keluarganya sendiri yang
memasang benang itu."

"Hmmm," Dokter Grainger melemparkan


pandangan tajam kepada Poirot, kemudian
menjatuhkan dirinya ke kursi. "Nah," ujarnya
pula. "Lalu bagaimana Anda bisa ikut campur
dalam urusan ini?"

"Nona Arundell sendiri menulis surat kepada


saya. Dia menekankan kerahasiaannya.
Sayangnya surat itu terlambat dikirimkan."

Poirot melanjutkan ceriteranya mengenai


penyelidikannya serta paku yang ditemukannya
di papan miring yang terdapat di sisi tangga.

Dokter Grainger mendengarkan semuanya itu


dengan sungguh-sungguh. Wajahnya serius.
Amarahnya menghilang.
"Anda hiea mengerti bagaimana sulitnya
kedudukan saya, bukan, Dokter Grainger?" kata
Poirdt akhirnya. "Saya mengerjakan semuanya
ini atas permintaan orang yang sudah
meninggal. Walaupun dia sudah meninggal, tapi
saya merasa bahwa permintaannya memang
penting dan harus dilakukan."

Dahi Dokter Grainger berkerenyit, kedua alisnya


hampir bertemu di atas hidungnya.

"Anda belum punya bayangan siapa yang


dengan sengaja memasang benang di tangga
itu?"

"Saya belum mempunyai bukti. Tapi itu bukan


berarti saya belum punya gambaran"
"Perbuatan yang sangat terkutuk," gumam
Dokter Grainger.

Ya. Mula-mula sulit menentukan apakah ada


kelanjutan ceriteranya." "Apa?"

"Kelihatannya Nona Arundell meninggal karena


penyakit biasa. Tapi, yakinkah kita bahwa dia
benar-benar meninggal karena penyakit?
Pernah terjadi percobaan pembunuhan
terhadap dirinya. Bagaimana saya bisa yakin
bahwa selanjutnya tidak terjadi percobaan yang
kedua? Dan percobaan yang kedua ini ternyata
berhasil!"

Dokter Grainger mengangguk-angguk.

"Jangan marah, Dokter Grainger - tapi, Anda


pun merasa yakin bahwa Nona Arundell
meninggal karena penyakitnya, bukan? Maksud
saya, Anda yakin bahwa dia meninggal secara
wajar? Saya baru saja menemukan beberapa
bukti..."

Poirot menceriterakan dengan mendetil


percakapannya dengan Angus siang tadi, serta
perhatian Charles yang nampaknya sangat besar
terhadap obat pembasmi semak itu. Poirot juga
menyebutkan keterkejutan Angus waktu tahu
bahwa isi kalengnya sudah hampir habis.

Dokter Grainger mendengarkan dengan penuh


perhatian. Ketika Poirot selesai berceritera, ia
berkata.

"Saya mengerti jalan pikiran Anda. Dalam


kebanyakan kasus keracunan arsenik memang
timbul keluhan akut pada ginjal. Meskipun
demikian, kasus semacam ini agak sulit
didefinisikan karena mempunyai akibat yang
berbeda-beda. Bisa akut, sub-akut. mengenai
saraf atau gejala kronis. Mungkin penderita
muntah-muntah dan merasa sakit perut -tapi
gejala semacam ini mungkin juga tidak timbul
sama sekali. Sebaliknya, ada juga kemungkinan
si penderita langsung terkapar dan meninggal,
atau menjadi lumpuh. Gejalanya sangat
bervariasi."

Poirot berkata,

"Eh bien, melihat fakta-faktanya, bagaimana


pendapat Anda?"

Dokter Grainger diam beberapa menit lamanya.


Kemudian dengan perlahan-lahan dia berkata,

"Melihat fakta-faktanya, dan tanpa


dilatarbelakangi oleh pikiran lain selain yang
berhubungan dengan kedokteran, saya
berpendapat tidak ada gejala keracunan arsenik
sama sekali dalam kasus Nona Arundell. Dia
meninggal karena penyakit kuning yang
disebabkan oleh kerusakan pada hatinya. Sudah
bertahun-tahun saya menjadi dokter
pribadinya. Dan selama itu, telah beberapa kali
saya mengalami penyakitnya itu kambuh. Pada
waktu kambuh, gejala yang nampak sama
dengan gejala yang nampak pada sakitnya yang
terakhir. Begitulah pendapat saya, M. Poirot."

Di situ, pembicaraan dengan sendirinya


berhenti.

Rasanya seperti anti-klimaks ketika tiba-tiba


Poirot mengeluarkan bungkusan kapsul lever
yang dibelinya di apotek sore tadi.

"Saya dengar Nona Arundell memakai obat ini?"


tanyanya. Tapi ini toh tidak membahayakan?"

"Obat itu? Tak adajeleknya. Aloes-podophyllin-


zat yang terkandung di dalamnya tergolong
lembut dan tidak membahayakan," Dokter
Grainger berkata. "Dia ingin mencoba obat itu.
Dan saya tidak berkeberatan."

Dokter Grainger berdiri.

"Anda sendiri meramu obat untuknya?" tanya


Poirot.

"Ya - pil lever enteng buat setiap kali habis


makan." Mata Dokter Grainger bersinar aneh.
"Seandainya dia memakan satu dos sekaligus
pun, tak ada bahayanya. Saya tidak pernah
meracuni pasien-pasien saya, M. Poirot."

Dengan tersenyum dijabatnya tangan kami, dan


dia pun pergi.

Poirot membuka dos obat yang dibelinya di


apotek tadi. Isinya kapsul transparan, tiga
perempatnya terisi oleh serbuk berwarna
kecoklatan.

"Seperti obat mabok laut yang pernah


kuminum," komentarku.

Poirot membuka sebuah kapsul dan memeriksa


isinya. Dijilatnya serbuk coklat yang baru
dikeluarkan dari kapsulnya. Ia meringis.

"Yah," ujarku sambil menjatuhkan pantatku ke


kursi, "Kelihatannya tidak ada yang
membahayakan. Maksudku, kapsul buatan
Dokter Loughbarrow maupun pil ramuan Dokter
Grainger! Dan lagi Dokter Grainger kelihatannya
sangat negatif terhadap kemungkinan
keracunan arsenik. Apakah kau akhirnya
percaya, Poirot - Sobatku yang keras kepala?"

"Aku memang keras kepala," ujarnya.


"Jadi, meskipun kau telah mendengar
keterangan apoteker itu, juru rawat, serta
dokter itu sendiri -kau masih tetap yakin bahwa
Nona Arundell dibunuh orang?"

Jawaban Poirot sangat pelan,

"Itu keyakinanku. Bukan cuma keyakinan,


Hastings - - aku merasa pasti!"

"Ada cara buat membuktikannya," ujarku


lambat. "Gali makamnya, dan periksa sisa-sisa
tubuhnya."

Poirot mengangguk.

"Itu langkahmu yang berikut?"


"Kawan, aku mesti sangat berhati-hati."

"Mengapa?"

"Karena," suaranya turun. "'Aku takut akan


terjadi tragedi yang kedua" "Maksudmu?"

"Aku takut, Hastings, aku takut. Itu saja."

BAB 22

PEREMPUAN DI TANGGA SANA


Keesokan harinya, datang sepucuk surat
ditujukan kepada Poirot. Tulisannya ragu-ragu
dan miring ke atas di sebelah kanannya.

M. Poirot yang terhormat,

Saya dengar dari Ellen, Anda berkunjung ke Puri


Hijau kemarin. Kalau Anda tidak terlalu sibuk,
tolong mampir sebentar hari ini.

"Jadi, dia sedang di sini?" komentarku. "Ya."

"Apa perlunya dia datang?"

Poirot tersenyum. "Jangan sinis begitu, Sobat.


Puri Hijau kan rumahnya sendiri sekarang."
"Memang. Tahukah Poirot, kelihatannya kita
akan kejepit lagi. Setiap tipuan yang dilakukan
orang pada akhirnya akan terbuka."

"Aku sependapat denganmu, Hastings."

"Kau masih mencurigai mereka semua?"

"Tidak. Aku cuma mencurigai seorang saja


sekarang ini."

"Yang mana?"

"Karena baru merupakan dugaan, dan belum


ada buktinya, kupikir sebaiknya kau menarik
kesimpulan sendiri. Jangan lupa akan faktor-
faktor psikologi. Itu sangat penting. Sifat
pembunuhannya mencerminkan temperamen
pelakunya - itu kunci terpentingnya."

"Mana aku bisa tahu temperamen


pembunuhnya kalau pembunuhnya sendiri tidak
kuketahui?"

"Kau tidak memperhatikan yang barusan


kukatakan. Kalau kaugambarkan kembali sifat-
sifat yang penting dan menyolok, tentunya -
dari pembunuhan itu. kau akan sadar siapa
sebenarnya pelaku pembunuhan itu."

"Sungguhkah kau tahu, Poirot?" tanyaku ingin


tahu.

"Tak bisa aku mengatakan bahwa aku tahu,


Sobat - aku belum punya bukti. Itu sebabnya
aku tidak berani berkata lebih banyak pada saat
ini. Tapi aku cukup yakin dan pasti akan
kebenarannya."
"Yah," ujarku tertawa, "hati-hati sajalah! Kalau
pembunuhnya tahu, bisa-bisa terjadi tragedi
seperti yang kautakutkan."

Poirot agak terperangah. Kelihatannya ia tidak


menganggap komentarku tadi suatu gurauan. Ia
bergumam, "Kau benar. Aku mesti hati-hati
sekali."

"Kau mesti pakai baju anti peluru," gurauku.


"Bawa alat pendeteksi racun, kalau perlu.
Malah, tak ada salahnya mulai menyewa tukang
pukul."

"Merci,[terima kasih] Hastings! Aku akan


menjaga diriku sendiri."
Poirot kemudian menulis kepada Nona Lawson,
memberitahukan bahwa kami akan datang ke
Puri Hijau kurang lebih jam sebelas nanti.

Setelah itu kami sarapan dan berjalan-jalan ke


alun-alun. Hari sudah hampir menunjukkan
setengah sebelas. Udara terasa panas dan
membuat orang mengantuk.

Aku sedang memperhatikan barang-barang


antik yang dipajang di etalase sebuah toko
ketika tiba-tiba bahuku ditepuk orang dengan
keras sekali. "Hai!" serunya dengan suara yang
teramat lantang.

Aku berputar, dan di hadapanku berdiri Nona


Peabody. Tangannya memegang sebuah payung
berukuran besar yang nampaknya sangat kekar.
(Payung itulah yang dipakainya memukul
pundakku tadi, pikirku.)
Tak sadar akan rasa sakit yang ditimbulkannya
dipundakku, Nona Peabody memperhatikanku,
dan dengan suara amat puas berkata:

"Ha! Benar - tak salah dugaanku. Memang kau


yang kulihat!"

Dengan agak dingin kusahuti,

"Ee, selamat pagi. Bisa saya bantu?"

"Bagaimana kemajuan buku yang dibikin


kawanmu itu - Kehidupan Jenderal Arundell?'"

"Terus terang, dia belum mulai menulisnya,"

Nona Peabody tidak bersuara. Namun tawanya


segera keluar, tawa seorang yang merasa puas.
"Kupikir dia tidak akan pernah menulis buku
itu."

Tersenyum, kukatakan,

"Jadi Anda sudah tahu fiksi kami?"

"Memangnya kaupikir aku ini apa - perempuan


pandir?" tanya Nona Peabody. "Tidak lama -
cuma sebentar saja. aku sudah tahu apa yang
sebenarnya dicari oleh kawanmu itu! Dia ingin
aku bicara! Aku tidak berkeberatan sih!
Kebetulan aku memang suka mengobrol.
Sekarang ini susah cari orang yang senang
mendengarkan ceritera orang lain. Terus terang,
aku merasa senang atas kunjungan kalian siang
itu."
Ia mengerdipkan matanya kepadaku. "Ada apa
sebenarnya?"

Aku ragu-ragu menjawabnya. Untunglah Poirot


segera keluar dari toko dan bergabung dengan
kami. Ia mengangguk hormat ketika melihat
Nona Peabody.

"Selamat pagi, Mademoiselle. Senang sekali


bertemu lagi."

"Selamat pagi," balas Nona Peabody. "Peran


apa lagi yang Anda mainkan pagi ini, Parotti
atau Poirot - he?"

"Anda sangat cerdik - tahu kedok saya secepat


itu," ujar Poirot sambil tersenyum.
"Yah - sedikit orang yang seperti Anda di sekitar
sini, bukan? Karena itu sulit mengatakan bagus
atau jelek."

"Lebih baik Anda katakan saya ini unik,


Mademoiselle"

"Baiklah, kalau itu mau Anda," Nona Peabody


berkata acuh tak acuh. "Nah, Tuan Poirot,
tempo hari saya sudah menceri terakan
semuanya yang ingin Anda ketahui. Sekarang
giliran saya bertanya. Ada apa sebenarnya?"

"Apakah Anda bukan menanyakan pertanyaan


yang sudah bisa Anda jawab sendiri?"

"Oooh," Nona Peabody memandang tajam


Poirot. "Kecurangan mengenai surat wasiat itu?
Atau ada yang lain lagi? Punya rencana
membongkar kubur Emily? Begitukah?" Poirot
tidak menjawab.
Nona Peabody mengangguk-angguk seolah ia
telah menerima jawab yang diinginkannya.

"Sering saya bayangkan," ujar perempuan itu


menyimpang dari pembicaraan semula,
"bagaimana rasanya... membaca koran -
membayangkan pada suatu hari orang
membongkar kuburan di Market Basing... Tak
kusangka Emily Arundell..."

Tiba-tiba Nona Peabody menyorot Poirot


dengan pandangan menyelidik,

"Emily tidak suka kalau dia tahu... Sudahkah itu


Anda pertimbangkan?"

"Ya - sudah."
"Aku percaya -Anda bukan orang bodoh!"

Poirot mengangguk. "Terima kasih,


Mademoiselle."

"Melihat kumis Anda itu, tak hanyak orang yang


akan menjuluki Anda seperti itu. Mengapa Anda
memelihara kumis seperti itu? Suka?"

Aku menoleh, hampir tak bisa menahan tawa.

"Di Inggris kelihatannya seni memelihara kumis


kurang diperhatikan orang," sahut Poirot.
Tangannya mengusap-usap kumisnya dengan
penuh kebanggaan.

"Oh, lucu!" ujar Nona Peabody. "Syukurlah


kalau Anda menyukai apa yang diberikan oleh
Tuhan. Biasanya orang malah sebaliknya."
Nona Peabody menggeleng-gelengkan
kepalanya dan mengeluh.

"Tak pernah mengira ada pembunuhan di


tempat terpencil seperti ini," Lagi-lagi
pandangannya tajam ditujukan kepada Poirot.
"Yang mana pembunuhnya?"

"Apakah saya mesti keras-keras mengatakannya


kepada Anda di tengah jalan begini?"

"Mungkin Anda tidak tahu siapa pembunuhnya.


Atau, Anda tahu? Oh - keturunan jelek. Aku dulu
setengah mati ingin tahu apakah perempuan
bernama Varley itu betul membunuh suaminya.
Tapi, yah - itu lain lagi!"

"Anda percaya pada sifat-sifat yang menurun?"


Nona Peabody berkata cepat,

"Mudah-mudahan saja si Tanios. Dia orang lain!


Tapi harapan tidak selalu menjadi kenyataan.
Yah -kupikir aku mesti pulang. Kelihatannya
Anda tidak mau menceriterakan apa pun
kepada saya.... Buat siapa sih Anda bekerja?"

Dengan suara berat Poirot berkata,

"Saya bekerja atas perintah yang sudah


meninggal, Mademoiselle."

Jengkel sekali rasanya ketika Nona Peabody


tertawa terkekeh-kekeh mendengar keterangan
Poirot tadi. Meskipun demikian ia segera
menghentikan tawanya dan berkata,
"Maafkan saya. Seperti Isabel Tripp - cuma itu!
Bukan main! Lebih-lebih Julia. Nah, sampat
ketemu lagi. Sudah bertemu Dokter Grainger?"

"Mademoiselle, Anda sudah membocorkan


rahasia saya."

Nona Peabody berdecak.

"Laki-laki berpikir terlalu sederhana. Mau saja


dibohongi. Oh, dia marah sekali waktu saya beri
tahu! Dia langsung pergi mencari Anda!"

"'Dia sudah menemukan saya tadi malam."

"Oh, sayang - saya tidak menyaksikan


kejadiannya."

"Sungguh sayang. Mademoiselle."


Nona Peabody tertawa dan bersiap-siap
meneruskan perjalanannya. Lewat atas bahunya
dia menyapaku,

"Sampai ketemu lagi. Anak Muda! Jangan


terlalu terpaku pada barang antik di toko itu -
barang tiruan!"

Dengan berdecak dia meninggalkan kami.

"Dia," ujar Poirot, "haru namanya perempuan


tua yang cerdik"

"Kaujuluki dia begitu meskipun dia rak


menyukai kumismu?"

"Selera dan otak tidak sama, Sobat," bantahnya.


Kami masuk ke dalam sebuah toko, dan
menghabiskan waktu sambil melihat-lihat
barang yang dijual di situ. Hampir jam sebelas
ketika kami keluar dan berjalan ke arah Puri
Hijau.

Dengan wajah lebih merah daripada biasanya,


Ellen buru-buru membukakan pintu dan
mempersilakan kami masuk. Dari Ruang Tengah
terdengar langkah seseorang menuruni tangga.
Tak lama kemudian Nona Lawson muncul.
Napasnya terengah-engah dan kelihatannya
sedikit bingung. Rambutnya diikat dengan
sebuah saputangan sutera

"Maafkan saya keluar dalam keadaan tidak rapi


seperti ini, M. Poirot. Saya baru saja
membongkar lemari yang selama ini belum
pernah saya buka. Bukan main. Banyak sekali
barang yang dikumpulkan oleh Nona Arundell.
Bayangkan, dia menyimpan dua lusin buku
sulam-menyulam - dua lusin!"
"Maksud Anda Nona Arundell membeli dua
lusin buku sulam-menyulam?"

"Ya, dan menyimpannya di lemari - kemudian


melupakannya. Tentu saja jarumnya sudah
karatan semuanya - sayang. Biasanya Nona
Arundell suka menghadiahkannya kepada para
pelayan sebagai hadiah Natal."

"Dia sangat pelupa?"

"Sangat! Lebih-lebih kalau menyimpan


sesuatu."

Nona Lawson tertawa - rupanya geli mengingat


kejadian yang pernah dialaminya. Ia
mengeluarkan sapu tangan dan mulai
membersihkan hidungnya.
"Oh," ujarnya berkaca-kaca, "tak pantas benar
aku menertawakannya seperti ini."

"Anda terlalu perasa," hibur Poirot. "Sampai


hal-hal yang terlalu kecil pun Anda rasakan."

"Begitu kata ibu saya selalu, M. Poirot. 'Kau


terlalu banyak memasukkan segala sesuatu ke
dalam hatimu, Mina,' begitu ibu saya sering
berkata. Berat rasanya jadi orang yang terlalu
sensitif, M. Poirot -lebih-lebih kalau kebetulan
kita ini perlu mencari nafkah buat hidup."

"Memang; tapi itu toh sudah lalu. Anda


sekarang tak perlu lagi bekerja susah payah.
Anda bisa pesiar - tanpa perlu punya rasa kuatir
apa pun."

"Ya. Itu benar," Nona Lawson berkata agak


ragu-ragu.
"Tentu saja benar," hibur Poirot. "Ngomong-
ngomong tentang sifat pelupa Nona Arundell,
saya jadi mengerti mengapa surat yang
ditulisnya kepada saya sampai begitu lambat
diposkannya."

Poirot menceriterakan bagaimana surat itu


dike-temukan. Tiba-tiba pipi Nona Lawson
menjadi merah. Katanya,

"Seharusnya Ellen mengatakan kepada saya!


Lancang benar dia - mengirimkan begitu saja
surat itu kepada Anda! Setidaknya, dia harus
meminta pendapat saya dulu. lancang! Tak
sepatah kata pun pernah saya dengar mengenai
surat itu. Oh, keterlaluan sekali! Memalukan!"

"Nona Lawson, saya yakin Ellen tidak


bermaksud buruk."
"Pokoknya saya tetap menganggap itu tidak
sepatutnya! Sangat tidak patut! Memang
pembantu kadang-kadang tidak tahu apa yang
seharusnya mereka lakukan. Ellen harus ingat,
bahwa saya pemilik rumah ini sekarang!"

Merasa dirinya penting, Nona Lawson


menegakkan duduknya.

"Ellen sangat setia kepada majikannya, bukan?"


ujar Poirot.

"Ya. Tapi tetap saja dia salah. Seharusnya dia


memberitahukannya kepada saya."

"Yang penting - saya telah menerima suratnya,"


ujar Poirot lagi.

"Oh, ya. Saya setuju - tidak ada gunanya


meributkan yang telah lewat. Meskipun begitu,
saya tetap harus memberitahu Ellen" supaya
tidak bertindak semaunya sendiri seperti itu."

Nona Lawson berhenti bicara. Kedua pipinya


masih nampak merah.

Poirot berdiam diri beberapa saat lamanya.


Kemudian ia bertanya,

"Anda mengundang saya datang ke sini. Ada


yang saya bisa lakukan untuk Anda,
Mademoiselle?"

Kejengkelan hati Nona Lawson hilang secepat


timbulnya. Ia mulai bingung dan tidak koheren
lagi bicaranya.

"Eh - begini - e - terus terang, M. Poirot...


begini... saya datang ke sini kemarin sore. Dan
tentu saja Ellen mengatakan bahwa Anda baru
saja ke sini. Yah - saya merasa aneh - maksud
saya, yah -saya tidak tahu apa perlunya.."

"Maksud saya datang ke sini ini?" tanya Poirot


menyelesaikan kalimat Nona Lawson.

Nona Lawson memandang Poirot dengan wajah


bersemu merah. Ia nampak kemalu-maluan.
namun pandangannya penuh rasa ingin tahu.

"Saya harus mengakui kesalahan saya," ujar


Poirot. "Selama ini, seolah-olah saya memberi
pengertian kepada Anda bahwa isi surat Nona
Arundell yang ditulis kepada saya itu mengenai
uang yang dicuri - kemungkinan oleh Tuan
Charles Arundell."

Nona Lawson mengangguk.


"Sebenarnya, bukan itu isi suratnya... terus
terang, baru dari Anda saya mendengar
mengenai uang yang hilang itu... Nona Arundell
sendiri menulis mengenai kecelakaannya"

"Kecelakaannya?"

"Ya. Nona Arundell pernah jatuh dari tangga,


bukan?"

"Betul, betul...." Nona Lawson nampak tidak


percaya. Dipandangnya Poirot dengan
pandangan kosong. Lanjutnya, "Maaf - saya
tahu saya bodoh - tapi, apa perlunya dia
menulis kepada Anda? Setahu saya, atau kalau
tak salah Anda pernah bilang sendiri - Anda
seorang detektif. Anda bukan dokter, kan? Atau
mungkin Anda juga seorang penganut
kepercayaan...?"
"Bukan. Saya bukan dokter - juga bukan
penganut aliran kepercayaan tertentu. Tapi,
seperti dokter, saya sering mengurusi hal-hal
yang berhubungan dengan kematian seseorang
yang disebabkan oleh kecelakaan."

"Kematian karena kecelakaan?"

"Sebangsa itu. Memang betul Nona Arundell


tidak meninggal akibat kecelakaan yang
dialaminya. Tapi, ia bisa meninggal karena
kecelakaan itu."

"Oh, ya... dokter bilang begitu. Tapi saya tidak


mengerti...."

Nona Lawson masih nampak bingung dan tidak


percaya.
Penyebab kecelakaan Nona Arundell itu diduga
bola Bob. Betul, bukan?"

"Ya. Memang. Bola Bob yang menyebabkan."

"Sebenarnya bukan. Bukan bola Bob yang jadi


penyebab Nona Arundell jatuh."

"Maaf, Tuan Poirot, tapi saya melihat sendiri


bola itu ada di situ - itu waktu kami semua
keluar begitu mendengar suara Nona Arundell
berteriak."

"Anda memang melihat bola itu. Tapi, bola itu


bukanyang menyebabkan Nona Arundell jatuh.
Penyebabnya, Nona Lawson, seutas benang
berwarna gelap yang direntang dari sisi ke sisi
tangga d. bagian atas tangga itu!"

"Tapi, tidak mungkin anjing bisa..."


"Tepat sekali," potong Poirot. "Seekor anjing
memang tidak mungkin melakukan hal
semacam itu - anjing tidak sepandai itu - atau,
boleh juga dikatakan: anjing tidak berhati
sejahat itu... Jadi, ada orang yang sengaja
memasang benang di situ dengan maksud..."

Wajah Nona Lawson mendadak pucat pasi.


Dengan tangan gemetar, ditutupnya wajahnya.

"Oh, M. Poirot," raungnya, "rasanya saya tidak


percaya. Oh keterlaluan sekali. Maksud Anda,
ada orang yang sengaja melakukannya?"

"Ya. Sengaja"

"Oh, keterlaluan! Itu sama saja dengan - dengan


membunuh orang namanya."
"Seandainya Nona Arundell meninggal, ya - dia
membunuh. Dengan kata lain, itu suatu
pembunuh-an. Bukan kecelakaan biasa."

Nona Lawson menjadi histeris. Masih dengan


nada berat Poirot melanjutkan. "Ada sebuah
paku ditancapkan pada papan pegangan di sisi
tangga. Paku itulah yang dipakai untuk
mengikatkan benangnya. Paku itu dicat warna
gelap sehingga tidak mudah kelihatan.
Pernahkah Anda merasa ada bau cat basah yang
dari mana asalnya Anda tidak tahu?" Nona
Lawson terkesiap.

"Oh, bukan main anehnya! Kalau dipikir


kembali! Oh, ya - tentui Dan selama ini saya
tidak pernah berpikir - bermimpi - tapi memang
bagaimana bisa? Padahal, waktu itu saya
merasa aneh sekali."
Poirot mendekatkan tubuhnya pada meja yang
menjadi batas kami dengan Nona Lawson.

"Jadi, Anda bisa membantu kami,


Mademoiselle. Sekali lagi saya katakan, Anda
bisa membantu kami. C'est epatant![bagus
sekali!]

"Oh, rasanya - tidak terpikir waktu itu bahwa itu


penyebab - Oh,..."

"Sekarang, tolong ceriterakan kepada saya.


Anda mencium bau cat - betul?"

"Ya. Mula-mula saya tidak tahu bau apa yang


tercium itu. Saya pikir.... Oh, jadi itu bau cat?
Saya pikir itu cuma bayangan saya." "Kapan
kejadiannya?" "Kapan ya? Tunggu..-"
"Apakah dalam liburan Paskah, waktu rumah ini
dipenuhi tamu?"

"Ya. Benar - memang pada waktu itu


kejadiannya - cuma, saya sedang mengingat-
ingat hari apa tepatnya.... Yang jelas... bukan
Minggu. Bukan, dan juga bukan hari Selasa --
sebab Selasa malam itu Dokter Donaldson
datang makan malam di sini. Hari Rabu - mereka
semua pulang. Oh, ya - tepatnya pada hari
Senin, M. Poirot! Malam itu saya berbaring-
baring di tempat tidur saya. Ada sesuatu yang
sedang saya pikirkan. Daging yang saya pesan
cuma cukup untuk makan malam. Saya sangat
takut Nona Arundell marah kalau
mengetahuinya. Seharusnya saya memesan tiga
setengah kilo waktu belanja hari Sabtunya. Tapi,
pikir-pikir, dua setengah kilo sudah cukup.
Padahal seharusnya saya tahu, Nona Arundell
suka marah kalau persediaan kurang. Dia
orangnya suka sekali menjamu orang...."
Nona Lawson berhenti sebentar, mengambil
napas. Kemudian lanjutnya,

"Saya sedang berbaring, membayangkan apa


yang akan dikatakan oleh Nona Arundell
seandainya dia tahu keesokan paginya. Berpikir-
pikir begitu rupanya membuat saya ketiduran.
Tapi, tepat sebelum saya terlelap, ada sesuatu
yang seperti membangunkan saya - bunyi
semacam gesekan pada kayu, atau sejenisnya..,.
Saya segera bangun, duduk di tempat tidur
dengan hati was-was. Saya mencoba mencium
kalau-kalau ada bau barang terbakar.... Oh,
selama ini saya paling takut sama api. Saya
takut sekali kalau terjadi kebakaran. Bayangkan,
bagaimana rasanya terkurung di tengah-tengah
api. Saya memang mencium sesuatu; baunya
agak aneh - saya terus mencium dan mencium,
mencoba menemukan bau apa yang tercium
oleh saya itu. Yang jelas, bukan bau asap atau
sebangsanya. Saya katakan kepada diri saya
sendiri - kok seperti bau cat. Tapi tak mungkin,
mana ada orang mengecat tengah malam
begitu Tapi baunya cukup tajam. Saya masih
tetap duduk sambil mencium-cium bau yang
tercium tadi. Baru setelah itu saya melihat
gadis..." "Siapa?"

"Saya melihatnya dari cermin saya - waktu itu


pintu kamar saya sedikit terbuka. Saya memang
biasa meninggalkannya setengah terbuka begitu
-supaya kalau Nona Arundell memanggil saya,
cepat terdengar. Di samping itu juga supaya
gampang melihat apakah Nona Arundell naik
atau turun tangga. Di gang, selalu ada satu
lampu yang menyala -jadi saya bisa dengan
mudah melihat keluar tanpa berdiri dari tempat
tidur saya. Dari cermin itulah saya lihat dia
berlutut di tangga - Theresa, maksud saya. Dia
berlutut kira-kira pada anak tangga ketiga dari
atas. Kepalanya menunduk, seperti sedang
memperhatikan sesuatu. Saya merasa heran.
Mungkinkah dia sakit - saya pikir Tapi tepat
ketika itu, dia bangkit dan berjalan pergi. Jadi,
saya pikir dia terpeleset, mungkin. Atau,
mungkin juga dia mengambil sesuatu yang
jatuh. Tapi, tentu saja saya tidak pernah lagi
memikirkan kejadian itu."

"Yang membangunkan Anda mungkin bunyi


palu yang dipakai untuk menancapkan paku
itu," ujar Poirot.

"Ya. Mungkin saja. Tapi, oh, M. Poirot - itu toh


keterlaluan - keterlaluan sekali! Dari dulu
memang saya tahu Theresa agak liar, tapi
berbuat sekeji itu..."

"Anda yakin itu Theresa?"

"Oh, ya - tentu saja."

"Tidak mungkinkah yang Anda lihat itu Nyonya


Tanios atau salah seorang pelayan?"
Nona Lawson menggeleng-geleng dan
bergumam kepada dirinya sendiri- "Oh, oh!"
berkali-kali.

Cara Poirot memandangnya tidak bisa


kumengerti.

"Bolehkah saya membuat semacam eksperimen


di atas?" pintanya. "Saya ingin kita semuanya ke
atas untuk merekonstruksikan kejadian yang
baru saja Anda ceriterakan itu."

"Merekonstruksi? Oh, sungguh - saya tidak tahu


- maksud saya, saya tak mengerti...."

"Akan saya tunjukkan kepada Anda," ujar Poirot


tegas, menghentikan keragu-raguan Nona
Lawson.
Dengan agak kebingungan, Nona Lawson
mempersilakan kami masuk dan naik ke atas.

"Mudah-mudahan kamarnya tidak berantakan -


akhir-akhir ini begitu banyak yang harus
dikerjakan - ini dan itu..."

Kamar Nona Lawson memang penuh dengan


berbagai benda yang rupanya hasil bongkaran
lemarinya pagi tadi. Dengan bahasanya yang
acak-acakan Nona Lawson mencoba
menjelaskan bagaimana posisinya waktu
melihat pemandangan yang nampak dari
cerminnya. Poirot sendiri kelihatannya sudah
bisa membayangkan. Memang sebagian tangga
nampak terpantul pada cermin di kamar Nona
Lawson.

"Sekarang, Mademoiselle," pinta Poirot,


"hisakah Anda menirukan pemandangan yang
pernah Anda saksikan dari cermin ttu?"
Masih tetap menggumamkan sesuatu kepada
dirinya sendiri, Nona Lawson segera ke luar -
memainkan perannya. Sementara itu Poirot
menyaksikan melalui cermin.

Setelah selesai itu, Poirot keluar dan


menamakan lampu mana yang selalu dibiarkan
menyala sepanjang malam.

"Yang ini - yang ini. Persis di luar pintu kamar


tidur Nona Arundell."

Poirot mendekati lampu yang ditunjuk, meraih


bola lampunya, dan melepaskannya.

"Empat puluh watt. Tidak begitu terang."


"Memang. Lampu itu cuma supaya gang ini
tidak gelap sama sekali saja."

Setelah mengembalikan bola lampu ke


tempatnya, Poirot melangkah kembali ke dekat
tangga.

"Maaf, Mademoiselle- tapi, menurut


pengamatan saya, dengan cahaya lampu yang
selemah itu ditambah pula dengan jatuhnya
bayangan yang ditimbulkan lampu tadi - saya
rasa Anda kurang bisa melihat dengan jelas.
Yakinkah Anda bahwa yang Anda lihat itu
Theresa - bukan perempuan lainnya?"

Nona Lawson bersikeras,

"Sungguh, M. Poirot! Saya yakin benar! Saya toh


kenal sekali Theresa! Saya yakin dia yang saya
lihat! Kimononya yang berwarna gelap dan bros
besar mengkilap yang menunjukkan inisial
namanya itu... tak salah lagi, M. Poirot!
Memang Theresa yang saya lihat!"

"Jadi Anda sudah benar-benar yakin bahwa


penglihatan Anda tidak salah. Anda melihat
betul inisialnya?"

"Ya. T.A. Saya kenal sekali dengan bros itu.


Theresa sering mengenakannya. Berani sumpah,
M. Poirot - dia memang Theresa."

Ketegasan dan kepastiannya sangat


mengagumkan bila dibandingkan dengan
caranya berbicara yang selalu membingungkan.

Poirot memandangnya. Ada sesuatu yang tak


bisa kudefinisikan pada caranya memandang.

"Anda berani sumpah - betul?" tanyanya.


"Kalau - kalau perlu. Tapi, memang perlu,

Sekali lagi Poirot melontarkan pandangan yang


tak bisa kudefinisikan kepada perempuan itu.

"Itu tergantung dari hasil pemeriksaan jasadnya


nanti," ujarnya pula.

"Oh - apakah itu perlu? Maksud saya,


keluarganya pasti tidak setuju bila itu dilakukan
-mereka akan menolak!"

"Mungkin."

"Saya yakin mereka tidak mau tahu!"


"Tapi, seandainya itu perintah dari Kantor Polisi,
bagaimana?"

"Tapi, tapi - mengapa harus begitu, M. Poirot?


Maksud saya - itu bukan... itu bukan..."

"Itu bukan apa?"

"Bukan berarti... ada yang tidak beres, bukan?"

"Apakah Anda berpikir begitu?"

"Oh, mengapa tiba-tiba ada yang tidak beres?


Bukankah - oh, bukankah dokter dan juru rawat
dan semuanya..."

"Jangan terlalu pikirkan hal itu," kata Poirot


tenang.
"Oh, bagaimana mungkin? Oh, Nona Arundell -
betapa malangnya dia! Padahal Theresa tidak
ada di sini waktu dia meninggal."

"Memang. Theresa pulang pada hari Senin,


sebelum Nona Arundell sakit. Betul, kan?"

"Ya - dia berangkat pagi-pagi sekali. Jadi, pasti


dia tidak ada sangkut pautnya dengan kematian
Nona Arundell, M. Poirot?!"

"Mudah-mudahan tidak."

"Oh. Tuhan!" keluh Nona Lawson sambil


mengatupkan kedua telapak tangannya. "Belum
pernah saya menyaksikan hal yang begitu
keterlaluan seperti ini. Saya sungguh tidak
mengerti."
Poirot melihat arlojinya.

"Sudah waktunya kami pulang. Kami masih


harus berjalan jauh kembali ke London. Anda
sendiri, Mademoiselle- masih mau tinggal di sini
lebih lama?"

"K, saya belum punya rencana. Sebenarnya saya


cuma ke sini buat semalam saja - membereskan
yang perlu dibereskan...."

"Kalau begitu, sampai bertemu lagi,


Mademoiselle. Maafkan kami mengganggu
ketenangan Anda."

"Oh, M. Poirot! Anda bilang mengganggu


ketenangan saya? Rasanya saya jadi sakit! Oh,
Tuhan - Oh -betapa kejamnya dunia ini! Betapa
sangat kejamnya!"
Poirot menghentikan ocehan Nona Lawson yang
mulai tidak menentu itu dengan meraih lengan
wanita tua itu dan menggenggamnya erat-erat.

"Memang kejam dunia ini, Nona Lawson. Anda


masih bersedia bersumpah melihat Theresa
Arundell berlutut di tangga pada hari Senin
malam setelah Paskah?"

"Oh, ya - tentu saja saya berani sumpah!"

"Anda juga berani bersumpah bahwa Anda


melihat semacam lingkaran kabut yang
bercahaya di sekeliling kepala Nona Arundell
pada malam terakhir Anda bersama Nona Tripp
dan Nona Arundell berkumpul di ruang gelap
untuk memanggil roh orang mati?"

Mulut Nona Lawson menganga.


"M. Poirot - oh, jangan, semuanya itu Anda
jadikan bahan lelucon!"

"Saya tidak melucu, Nona Lawson.... Saya


serius!"

Kemudian Nona Lawson berkata dengan


sungguh-sungguh,

"Mungkin tidak bisa dikatakan sebagai lingkaran


kabut, M. Poirot. Yang jelas, kelihatannya mau
jadi begitu - dan asalnya dari kabut berbentuk
pita yang keluar dari mulutnya."

"Sangat mengagumkan! Au revoir,


Mademoiselle. Tolong rahasiakan dulu
semuanya ini."

"Oh, tentu saja - tentu saja. Saya tidak punya


maksud menceritakannya kepada siapa pun..."
Nona Lawson, dengan wajah tololnya,
menyaksikan kepergian kami dari pintu depan
Puri Hijau.

BAB 23

KEDATANGAN DOKTER TANIOS

Begitu meninggalkan Puri Hijau wajah Poirot


mendadak tegang.

"Dipechons nous,[ayo, cepat] Hastings,"


ujarnya. "Kita mesti segera kembali ke London."
"Ayo," sahutku, melangkah lebih cepat -
menyesuaikan diri dengan langkahnya. Diam-
diam kucuri pandang - wajahnya masih nampak
tegang dan tidak tenang.

"Siapa yang kaucurigai, Poirot?" tanyaku.


"Percayakah kau bahwa Theresa Arundell yang
dilihat Nona Lawson berlutut di tangga?"

Poirot tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah


balik bertanya:

"Pikir sebelum menjawab - menurutmu, bisa


dipercayakah kata-kata Nona Lawson tadi?"

"Apa maksudmu?"
"Kalau aku tahu. aku tak akan bertanya,
Hastings."

"Itu aku tahu. Cuma, apa maksudmu 'bisa


dipercaya' itu?"

"Ya itu. Aku tak bisa menyatakannya dengan


lebih tepat. Yang jelas, sementara dia
berceritera tadi -aku merasakan adanya sesuatu
yang tidak atau kurang nyata... seolah-olah ada
sesuatu - sesuatu yang kecil tapi salah - itu, ya,
itu yang terasa -sesuatu yang tidak mungkin..."

"Kelihatannya dia yakin sekali bahwa itu


Theresa!"

"Ya, ya."
"Bagaimanapun, cahaya lampu itu terlalu
lemah. Aku tidak mengerti bagaimana Nona
Lawson bisa begitu yakin."

"Kau tidak membantuku, Hastings. Ada sesuatu


- suatu hal yang sepele - ada hubungannya
dengan - ya, aku yakin - dengan kamar tidur."
"Kamar tidur?" ulangku sementara pikiranku
sibuk membayangkan kembali detil kamar tidur
Nona Lawson. "Oh, rasanya aku memang tidak
bisa membantumu, Poirot!" Poirot menggeleng-
geleng.

"Mengapa kausebut-sebut lagi urusan roh orang


mati itu?" tanyaku. "Itu penting."

"Apanya yang penting? Pita bercahaya itu?"

"Kauingat bagaimana Nona Tripp


menggambarkan yang mereka saksikan malam
itu?"
"Ingat. Mereka bilang kepala Nona Arundell
diselubungi asap berwarna terang yang
membentuk semacam lingkaran suci." Aku
tertawa mengakak. "Masakan dia orang suci
macam santa-santa! Nona Lawson saja
ketakutan dimarahi cuma karena kurang
membeli daging. Bayangkan!"

"Ya. Kuakui, itu agak menarik."

"Apa yang akan kita lakukan sesampai di London


nanti?" tanyaku waktu kami membelok ke The
George.

"Kita harus segera menemui Theresa Arundell,"


ujar Poirot sambil membayar rekening hotel
kami.
"Mengorek kebenaran ceritera Nona Lawson
tadi? Tapi, bagaimana kalau dia menyangkal?"

"Mon cher, berlutut di tangga bukan perbuatan


kriminal! Siapa tahu dia sedang membungkuk
mengambil penitinya yang jatuh?"

"Lalu, apa hubungannya dengan bau cat itu?"

Percakapan kami terhenti oleh kedatangan


pelayan hotel.

Dalam perjalanan kembali ke London, sangat


sedikit yang kami perbincangkan. Aku kurang
suka mengobrol sambil mengemudikan mobil.
Sementara itu Poirot rupanya sibuk melindungi
kumisnya dari serangan angin yang cukup keras.

Kami tiba di flat Poirot kurang lebih jam dua


kurang dua puluh.
George, pelayan Poirot yang selalu berpakaian
rapi dan sikapnya sangat keinggris-inggrisan itu
mem bukakan pintu.

"Ada tamu menunggu, Tuan. Namanya Dokter


Tanios. Sudah hampir setengah jam Beliau di
sini."

"Dokter Tanios? Di mana dia menunggu?"

"Di Ruang Duduk, Tuan. Sebelumnya ada


seorang wanita datang ke sini, Tuan.
Kelihatannya sangat kecewa dan bingung waktu
saya katakan Anda tidak ada di rumah.
Datangnya sebelum saya menerima telepon dari
Tuan - jadi saya tidak bisa memberi tahu kapan
Tuan pulang."
"Coba ceriterakan bagaimana rupa perempuan
itu."

"Perawakannya tinggi, Tuan - rambutnya


berwarna gelap dan matanya berwarna biru
muda. Dia mengenakan rok dan jas warna abu-
abu.

Topinya dipakai agak ke belakang, tidak seperti


kebanyakan orang - agak ke depan."

"Nyonya Tanios," seruku dengan suara tertahan.

"Kelihatannya dia sedang kebingungan sekali.


Tuan. Katanya dia perlu sekali bertemu dengan
Tuan secepat mungkin."

"Jam berapa datangnya?"


"Kurang lebih jam setengah sebelas. Tuan."

Poirot menggeleng-geleng sementara


melangkahkan kakinya ke Ruang Duduk.

"Ini kedua kalinya aku tak jadi mendengar apa


yang hendak dikatakan Nyonya Tanios. Apa kira-
kira pada pikirmu. Hastings? Apakah
menyangkut nasib - kira-kiranya?"

"Yah - kali ketiga kau akan mendengarnya,"


hiburku.

Poirot menggeleng penuh keraguan.

"Akan adakah kali yang ketiga? Aku tidak yakin.


Ayo, kita temui suaminya."
Dokter Tanios sedang duduk pada sebuah kursi
santai membaca salah sebuah buku psikologi
kepunyaan Poirot. Mendengar kami datang,
laki-laki itu segera bangkit dan menyalami kami.

"Maafkan saya mengganggu begini. Anda tidak


marah saya menunggui Anda seperti ini.
bukan?"

"Du tout, du tout.[Sama sekali tidak.] Silakan


duduk. Mau minum sherry?"

"Terima kasih. Masalahnya begini, M. Poirot.


saya sangat kualir akan isteri saya." "Kualir akan
isteri Anda? Ada apa?" Tanios berkata.

"Baru-baru ini mungkin Anda bertemu


dengannya?"
Pertanyaannya wajar, tapi lirik mata yang
menyertainya terasa tidak wajar. Poirot
menjawab seadanya,

"Saya belum bertemu lagi dengannya sejak


waktu kami menemui Anda di hotel kemarin."

"Ah - saya pikir mungkin dia datang ke sini


menemui anda."

Poirot menyibukkan diri dengan menuang


minuman ke gelas. Katanya,

"Tidak. Apa sebabnya dia perlu menemui saya?"

"Oh, tidak apa-apa." Dokter Tanios menerima


gelas sherrynya. "Terima kasih Terima kasih
banyak. Sebetulnya memang tidak ada alasan
yang pasti mengapa isteri saya perlu menemui
Anda. Terus terang, saya sedang sangat kualir
akan keadaan kesehatan isteri saya."

"Ah. kondisi badannya lemah?"

"Kesehatan fisiknya," ujar Tanios perlahan-


lahan, "bagus. Sayangnya, tidak begitu
mentalnya."

"Ah?"

"Saya sungguh kualir, M. Poirot, dia sudah


mencapai garis batas... sewaktu-waktu dia bisa
mengalami nervous breakdown total."

"Oh, saya ikut sedih mendengarnya. Dokter


Tanios."
"Ini sudah agak lama kelihatannya. Dalam dua
bulan terakhir ini sikapnya kepada saya sudah
betul-betul berubah. Selalu gelisah, cepat
terkejut, dan suka membayangkan yang tidak-
tidak. Bukan cuma membayangkan, M. Poirot -
dia malah mulai berangan-angan... dan, angan-
angannya itu rupanya begitu hidup dan kuat..."

"Sungguh?"

"Ya. Dia menderita apa yang disebut


persecution mania - semacam napsu
menganiaya."

Poirot menggeleng-geleng dengan penuh


simpati,

"Anda bisa mengerti kekuatiran saya, bukan?"


"Tentu! Tentu! Cuma, yang saya tidak mengerti
-mengapa Anda datang kepada saya. Apa yang
bisa saya lakukan buat menolong Anda, Dokter
Tanios?"

Dokter Tanios nampak kemalu-maluan.

"Saya mempunyai pikiran bahwa isteri saya


sudah, atau akan, datang kemari
menceriterakan yang bukan-bukan. Besar
kemungkinan dia akan mengatakan bahwa diri
saya mengancam keselamatannya, atau - yah,
semacam itulah."

"Tapi, apa perlunya dia datang menemui saya?"

Dokter Tanios tersenyum-senyum. Senyumnya


teramat menawan, namun agak sayu.
"Anda detektif kenamaan, M. Poirot. Saya
melihat, bahwa isteri saya sangat terkesan
bertemu dengan Anda kemarin itu. Kenyataan
bahwa dia bertemu dengan seorang detektif
bisa menimbulkan ide yang tidak-tidak pada
pikirannya yang sedang dalam kondisi seperti
itu. Saya begitu yakin dia akan mencari Anda
dan mengeluarkan isi hatinya. Orang yang
sedang mengalami gangguan mental seperti
isteri saya - biasanya, mempunyai
kecenderungan untuk menentang orang-orang
yang terdekat dan yang disayangi."

"Oh."

"Sungguh, M. Poirot. Saya sangat sedih. Saya


sangat sayang kepada isteri saya." Waktu
mengucapkan ini suara Dokter Tanios
kedengaran sangat mesra. "Saya selalu
mengagumi keberaniannya -mengawini saya,
lelaki bangsa lain - lalu pergi mengikuti saya ke
tempat yang begitu jauh dari tanah airnya
sendiri, meninggalkan semua kawan dan sanak
saudaranya. Hari-hari terakhir ini saya sungguh-
sungguh merasa putus asa.... Bagi saya
kelihatannya cuma ada satu pilihan...." "Ya?"

"Ketenangan dan istirahat total - serta


perawatan kejiwaan yang sesuai. Ada tempat
yang menurut saya baik, dikelola oleh seorang
yang sungguh-sungguh hebat. Ingin saya
membawanya ke sana -Norfolk, nama
tempatnya - secepat mungkin. Istirahat total
dan isolasi dari segala pengaruh luar - - itu yang
diperlukan oleh isteri saya. Saya yakin -sebulan
atau dua bulan dirawat secara intensif di sana,
pasti sudah akan kelihatan perubahannya."

"Ya. Saya mengerti," ujar Poirot.

Caranya mengatakan betul-betul apa adanya,


tanpa mengungkapkan sedikit pun perasaan
atau tanggapannya.
Tanios meliriknya.

"Itulah sebabnya, M. Poirot - saya akan sangat


tertolong, bila Anda mau memberi kabar
kepada saya seandainya isteri saya benar-benar
datang ke sini."

"Oh, tentu. Saya akan segera menelepon Anda.


Anda masih tinggal di Hotel Durham?"

"Ya. Saya akan kembali ke sana sekarang."

"Isteri Anda tidak ada di sana sekarang ini?"

"Dia meninggalkan hotel seusai sarapan tadi


pagi."
"Tanpa mengatakan ke mana perginya?"

"Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak


biasanya dia berbuat seperti itu."

"Dan anak-anak, bagaimana?"

"Anak-anak dibawanya."

"Oh."

Tanios berdiri.

"Terima kasih banyak, M. Poirot. Saya tidak


perlu mengatakan, bukan -- bahwa bila isteri
saya datang dan menceriterakan kepada Anda
hal-hal yang sifatnya mengancam, menganiaya
dan sebagainya, Anda tidak perlu
memperhatikannya. Itu merupakan salah satu
gejala penyakitnya."

"Sungguh saya ikut bersedih atas keadaan isteri


Anda, Dokter Tanios," kata Poirot simpati.

"Memang, sangat menyedihkan. Meskipun,


sebagai orang yang tahu banyak mengenai
kesehatan saya tahu bahwa itu sebetulnya
penyakit, tapi rasanya -sakit hati saya
diperlakukan begitu oleh orang yang saya
sayangi. Cinta kasihnya tiba-tiba saja berubah
menjadi kebencian."

"Saya sangat bersimpati terhadap Anda. Dokter


Tanios," kata Poirot sewaktu menjabat tangan
tamunya.

"Ngomong-ngomong..." ujar Poirot ketika


Tanios sudah hampir sampai ke pintu. "Ya?"
"Pernahkah Anda menulis resep chloral buat
isteri Tanios terperangah.

"Saya - tidak. Setidaknya, akhir-akhir ini tidak


pernah. Isteri saya membenci semua jenis obat
tidur."

"Ah! Karena dia tidak percaya kepada Anda?"


"M. Poirot!"

Tanios melangkah masuk kembali dengan


sangat

"Itu juga salah satu gejala penyakitnya," ujar


Poirot tanpa ragu.

Tanios berhenti. "Ya. Ya, tentu saja."


"Ada kemungkinan dia mencurigai segala
sesuatu yang Anda berikan kepadanya untuk
diminum atau dimakan. Mungkin dia merasa
curiga bahwa Anda ingin meracuninya?"

"Oh, M. Poirot! Anda memang benar. Jadi Anda


mengerti kasus-kasus semacam itu. bukan?"

"Dalam profesi saya, sesekali orang pasti


menjumpai kasus semacam itu. Saya tidak
bermaksud menunda kepergian Anda, Dokter
Tanios. Siapa tahu isteri Anda sudah ada di hotel
menunggu Anda.

"Ya. Mudah-mudahan. Saya sungguh-sungguh


merasa kuatir." Dokter Tanios buru-buru keluar.
Poirot segera menuju ke tempat telepon.
Dibuka-bukanya buku petunjuk nomor telepon,
dan kemudian diputarnya suatu nomor.
"Halo - Halo - di situ Hotel Durham? Apakah
Nyonya Tanios ada di situ? Apa? T-A-N-I-O-S. Ya.
betul. Ya? Oh!" Poirot meletakkan kembali
gagang teleponnya. "Nyonya Tanios
meninggalkan hotel pagi-pagi sekali tadi. Dia
pulang jam sebelas, menunggu di dalam taksi
sementara koper pakaiannya diambilkan dari
kamarnya. Setelah itu dia pergi bersama semua
kopernya."

"Tahukah Tanios bahwa isterinya membawa


semua kopernya?" "Kupikir, dia belum tahu
sekarang ini." "Ke mana perginya dia?" "Mana
aku tahu?" "Mungkinkah dia ke sini lagi?"
"Mungkin. Tapi aku tidak yakin."

"Mungkin dia akan menulis buatmu."

"Apa yang bisa kita lakukan?" Poirot


menggeleng. Dia nampak gelisah dan bingung.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang.
Sebaiknya kita cepat-cepat makan siang, dan
sesudah itu kita ke tempat Theresa Arundell."

"Kau yakin dia yang berlutut di tangga?"

"Aku tidak tahu. Yang jelas, aku yakin Nona


Lawson tidak bisa melihat wajahnya dengan
cahaya lampu selemah itu. Yang dilihatnya
cuma tubuh seorang perempuan yang tinggi,
mengenakan kimono warna gelap. Cuma itu."

"Bagaimana dengan brosnya?"

"Hastings, bros bukan merupakan bagian


anatomi seseorang! Bisa dipisahkan dari
orangnya. Bisa hilang - bisa juga dipinjam atau
dicuri."
"Dengan kata lain, kau tidak mau menduga
Theresa Arundell sebagai orang yang bersalah?"

"Aku ingin mendengar pendapatnya.'"

"Bagaimana kalau Nyonya Tanios ke sini lagi?"

"Itu bisa diatur."

George masuk membawa dadar telur.

"Dengarkan, George," kata Poirot. "Kalau


Nyonya yang tadi itu datang lagi, suruh dia
tunggu, ya! Dan kalau Dokter Tanios datang
sementara Nyonya itu ada di sini, jangan sampai
kaupersilakan dia masuk. Kalau dia menanyakan
apakah isterinya ada di sini, katakan saja tidak
ada. Mengerti?"
"Ya, Tuan."

Poirot melahap dadar telurnya.

"Urusan ini menjadi rumit," ujarnya. "Kita harus


melangkah dengan hati-hati sekali. Kalau tidak,
pembunuhnya akan beraksi lagi."

"Kalau dia beraksi lagi, kau pasti bisa


menangkapnya."

"Ya. Tapi aku lebih suka dia tidak memakan


korban lagi. Karena itu, kita mesti hati-hati
sekali"

BAB 24
SANGKALAN THERESA

Pada waktu kami datang, Theresa sedang


bersiap-siap hendak pergi.

Ia kelihatan sangat menarik. Sebuah topi mungil


bermodel eksklusif bertengger dengan
manisnya, menutupi bagian kanan depan
kepalanya. Teringat olehku Bella mengenakan
tiruan topi semacam itu kemarin - dan, seperti
yang dikatakan George -cara memakainya
terlalu ke belakang. Jelas sekali dalam ingatanku
bagaimana ia beberapa kali mendorong topinya
hingga letaknya makin ke belakang pada
rambutnya yang acak-acakan.

Poirot berkata dengan sopan.


"Bolehkah saya mengganggu semenit atau dua
menit saja, Mademoiselle? Atau, itu terlalu
mengganggu waktu Anda?"

Theresa tertawa. "Oh, tidak apa-apa. Silakan!


Saya selalu terlambat paling tidak tiga per
empat jam. Tidak ada salahnya kali ini terlambat
satu jam."

Theresa mempersilakan kami masuk ke ruang


tamu. Kaget sekali aku melihat Dokter
Donaldson bangkit dari sebuah kursi di dekat
jendela.

"Kau sudah jumpa dengan M. Poirot, bukan,


Rex?"

"Ya. Di Market Basing," kata Donaldson kaku.


"Anda berpura-pura hendak menulis tentang
kehidupan kakek saya yang pemabuk itu
rupanya?" tanya Theresa. "Rex. Manisku,
maukah kau meninggalkan kami sebentar?"

"Terima kasih, Theresa, lapi ditinjau dari segala


segi, saya berpendapat lebih baik saya
mendengarkan wawancara ini."

Sejenak keduanya beradu pandang. Pandangan


Theresa memerintah. Sedangkan pandangan
Donaldson tidak mau mengalah. Theresa
kelihatan

"Baiklah, kalau itu maumu!" bentaknya.

Dokter Donaldson kelihatannya tak gentar.

Dia duduk lagi di kursi yang tadi didudukinya,


dekat jendela. Buku yang sedang dibacanya ia
letakkan pada sandaran tangan kursinya. Buku
mengenai kelenjar bawah otak, rupanya.

Theresa duduk pada kursi rendah kesukaannya.


Dipandangnya Poirot dengan perasaan tidak
sabar.

"Anda sudah bertemu dengan Purvis?


Bagaimana hasilnya?"

Tanpa menyatakan pendapat, Poirot berkata,

"Kemungkinannya ada, Mademoiselle."

Theresa memandangnya penuh perhatian.


Kemudian dilontarkannya pandangannya
kepada si dokter. Kupikir, itu semacam
peringatan yang ingin disampaikannya kepada
Poirot.
"Saya pikir," lanjut Poirot, "mengenai hal itu
lebih baik saya laporkan lain kali, kalau rencana
saya sudah lebih pasti."

Seulas senyum tipis nampak sejenak pada wajah


Theresa.

Poirot lebih lanjut mengatakan,

"Saya baru saja pulang dari Market Basing. Di


sana saya bertemu dan berbicara dengan Nona
Lawson. Saya ingin mendengar penjelasan
Anda, Mademoiselle: apakah Anda pada tanggal
tiga belas April malam berlutut di tangga
setelah semua orang pergi tidur?"

"Oh, Hercule Poirot, pertanyaan Anda aneh


sekali! Apa perlunya saya berlutut di situ?"
"Pertanyaannya, Mademoiselle, bukan apa
perlunya melainkan apa Anda melakukannya?"

"Saya rasa tidak."

"Untuk Anda ketahui, Mademoiselle, Nona


Lawson mengatakan bahwa Anda
melakukannya." Theresa mengangkat bahunya
yang indah. "Apakah itu penting?" "Sangat
penting."

Theresa memandang Poirot dengan ramah, dan


Poirot balik memandangnya. "Aneh!" ujar
Theresa. "Maaf, Anda bilang apa?"

"Aneh sekali!" kata Theresa. "Bagaimana penda-


patmu, Rex?"

Dokter Donaldson batuk.


"Maafkan saya, M. Poirot - apa tujuan Anda
menanyakan itu?"

Poirot merentangkan kedua tangannya lebar-


lebar.

"Sangat sederhana! Ada seseorang yang sengaja


menancapkan paku di tempat yang strategis
pada papan pegangan di sisi tangga. Paku itu
dicat Sedemikian rupa sehingga warnanya mirip
dengan warna papan pegangan tempatnya
ditancapkan."

"Apakah ini semacam ilmu gaib baru?" tanya


Theresa.

"Tidak, Mademoiselle. Masalahnya jauh lebih


umum dan sederhana daripada itu. Pada malam
berikutnya. Selasa malam, seseorang
mengikatkan seutas benang atau tali pada paku
itu dan merentangkannya serta mengikatkan
ujung lain dari benang atau tali itu pada pagar
yang terdapat di sisi lain tangga. Akibatnya
ketika Nona Arundell keluar dari kamarnya dia
tersandung dan jatuh."

Theresa menarik napas dengan keras.

"Bola Bob!"

"Maaf, tapi bukan!"

Hening sejenak. Keheningan itu dipecahkan oleh


Donaldson dengan suara yang tenang dan
seksama,

"Maaf, bukti apa yang Anda miliki sebagai


pendukung pernyataan Anda itu?"
Dengan sama tenangnya Poirot menjawab,

"Bukti adanya paku itu, tulisan Nona Arundell


sendiri dalam suratnya yang ditujukan kepada
saya. dan akhirnya bukti yang disampaikan oleh
Nona Lawson, bahwa dia manyaksikan
seseorang berlutut di tangga itu pada tanggal
tiga belas April."

Suara Theresa terdengar kembali.

"Nona Lawson mengatakan saya yang


melakukannya, bukan?"

Poirot tidak menjawab. Dia cuma menundukkan


kepalanya sedikit.
"Itu bohong! Saya tidak melakukan hal serupa
itu sama sekali!"

"Mungkin Anda jongkok untuk mengambil


sesuatu?"

"Saya tidak pernah berlutut di tangga itu!"

"Hati-hati, Mademoiselle"

"Saya tidak pernah di situ! Saya tidak pernah


keluar dari kamar setelah masuk buat tidur
selama saya menginap di situ."

"Nona Lawson mengenali Anda."

"Mungkin Bella Tanios atau salah seorang


pelayan yang dilihatnya."
"Dia mengatakan Anda yang dilihatnya."

"Pembohong!"

"Nona Lawson mengenali kimono dan bros yang


Anda kenakan."

"Bros? Bros apa?"

"Bros dengan inisial Anda."

"Oh, ya - aku tahu brosnya! Tapi - dia


berbohong!"

"Jadi Anda menyangkal bahwa yang dilihat


Nona Lawson itu Anda?"
"Kalau kata-kata saya menuduhnya..."

"Anda lebih pandai menipu daripada dia -


begitu?"

Dengan tenang Theresa berkata,

"Mungkin itu benar. Tapi kali ini saya


mengatakan yang sebenarnya. Saya sama sekali
tidak berlutut di tangga itu untuk kepentingan
apa pun."

"Anda punya bros yang dimaksud?"

"Mungkin masih ada. Ingin melihatnya?"

"Kalau Anda tidak berkeberatan, Mademoiselle"


Theresa bangkit dan meninggalkan ruang tamu.
Keheningan yang mengikuti kepergian gadis itu
terasa kaku. Cara Dokter Donaldson
memandang Poirot, menurut pikiranku, seperti
caranya memperhatikan sediaan di
laboratorium.

Theresa datang kembali. "Ini dia!"

Gadis itu setengah melemparkan brosnya


kepada Poirot. Bros itu besar, terbuat dari
logam putih mengkilap dengan bentuk T.A.
dalam sebuah lingkaran. Kuakui, bros itu cukup
besar dan terang bila dilihat dari jarak jauh
melalui cermin di kamar Nona Lawson.

"Saya tidak pernah lagi memakainya. Sudah


bosan," ujar Theresa. "London rasanya penuh
dengan perhiasan macam begitu. Semua orang
memakainya."
"Tapi harganya masih mahal waktu Anda
membelinya?"

"Oh, ya, memang Mula-mula bros macam ini


merupakan barang eksklusif."

"Kapan itu?"

"Natal tahun yang lalu, kalau taksalah. Ya


kurang lebih waktu itu."

"Pernah Anda meminjamkannya kepada orang


lain?"

"Tidak."

"Anda membawanya ke Puri Hijau?"


"Saya rasa, ya. Ya. Saya memang membawanya.
Saya ingat sekarang."

"Anda meninggalkannya sembarangan? Atau,


pernahkah bros itu lepas dari tangan Anda
selama Anda tinggal di sana?"

"Tidak. Saya memasang bros itu di sweater hijau


saya. Dan, saya ingat betul - selama di sana saya
memakai sweater itu setiap hari."

"Dan pada malam hari?"

"Bros itu tetap menempel di sweater."

"Sweaternya?"

"Oh - sweatemya saya gantungkan di kursi."


"Anda yakin tidak ada orang yang melepaskan
bros itu dari sweater Anda dan
mengembalikannya lagi keesokan harinya?"

"Saya cukup yakin hal seperti itu tidak terjadi!


Mungkin saja ada orang yang mencoba meniru
saya, tapi saya rasa itu pun tidak mungkin!"

Dahi Poirot berkerut. Ia bangkit, dikaitkannya


bros itu perlahan-lahan pada bagian depan
jasnya, dan ia berjalan ke dekat cermin yang
terletak di atas sebuah meja pada sudut ruang
tamu. ia berdiri di depannya, dan kemudian
perlahan-lahan mundur, melihat pantulan pada
cermin dari kejauhan.

"Bodoh! Betapa bodohnya saya ini!" serunya.


Poirot kembali. Diserahkannya bros itu kepada
Theresa. Sambil membungkuk dia berkata,

"Anda benar, Mademoiselle. Bros ini memang


tidak pernah lepas dari tangan Anda! Maafkan
kebodohan saya."

"Saya suka akan kerendahan hati Anda," ujar


Theresa, mengunci brosnya dengan sembrono.

Setelah itu ia memandang Poirot.

"Ada yang lain lagi? Saya mesti pergi."

"Yang lain bisa dibicarakan lain kali."

Theresa berjalan ke pintu. Poirot dengan suara


tenang berkata,
"Ada kemungkinan harus dilakukan penggalian
makam Nona Arundell. Benarkah..."

Mendadak sontak Theresa menghentikan


langkahnya. Bros yang dipegangnya jatuh ke
lantai.

Dengan jelas Poirot berkata, "Ada kemungkinan


jasad Nona Arundell harus diperiksa."

Theresa berdiri terpaku. Tangannya tergenggam


tegang. Ia berbicara dengan suara pelan tapi
marah,

"Apakah ini ulah Anda? Yang jelas, itu tidak bisa


dilakukan tanpa izin tertulis keluarganya."
"Anda salah. Mademoiselle. itu bisa dilakukan
atas perintah yang berwenang." "Oh, Tuhan!"
seru Theresa, ia berbalik dan berjalan kian
kemari. Donaldson berkata,

"Kupikir, tak ada gunanya marah-marah begitu,


Tessa. Aku tahu kesannya bagi orang luar
kurang enak, tapi..."

Theresa menyela,

"Jangan bodoh, kau, Rex!"

Poirot bertanya,

"Apakah kemungkinan itu mengganggu


ketenangan Anda, Mademoiselle?"
"Tentu saja! Tidak sopan kedengarannya.
Kasihan Bibi Emily! Mengapa dia mesti digali
dari kuburnya?"

"Kukira," ujar Donaldson, "ada keragu-raguan


mengenai penyebab kemauannya?"' Dokter
muda itu memandang Poirot penuh rasa ingin
tahu. Lanjutnya, "Saya akui - saya kaget. Saya
pikir kematian Nona Arundell disebabkan oleh
penyakit yang sudah lama diidapnya."

"Kau pernah menceriterakan seekor kelinci dan


kerusakan pada hatinya," Theresa berkata.
"Saya sudah lupa ceriteranya, tapi kalau tak
salah kau memasukkan darah orang berpenyakit
kuning ke tubuh kelinci itu. Setelah itu kauambil
darah kelinci itu dan kausuntikkan ke tubuh
kelinci lainnya - dan akhirnya, kausuntikkan
darah kelinci yang kedua itu ke tubuh orang.
Orang itu jadi punya penyakit lever."
"Itu cuma buat melukiskan pengobatan melalui
serum," Donaldson berkata sabar.

"Sayangnya terlalu banyak kelinci dalam ceritera


itu!" Theresa tertawa. "Tak ada di antara kita
yang memelihara kelinci." Theresa kini
memandang Poirot. Suaranya berubah. "M.
Poirot, benarkah itu?" tanyanya.

"Benar, Mademoiselle, tetapi - ada beberapa


cara untuk menghindari hal itu."

"Kalau begitu, hindari!" suaranya hampir


menyerupai bisikan. Walaupun begitu pasti dan
memaksa. "Hindari, berapa pun besarnya yang
harus kita korbankan!"

Poirot bangkit.

"Itu perintah Anda?" suaranya sangat formal.


"Ya. Itu perintah saya."

"Tetapi, Tessa...." sela Donaldson.

Theresa berputar menghadapi tunangannya.

"Diam. Dia bibiku. Mengapa bibiku harus digali


dari kuburnya? Tahukah kau berita apa yang
akan ditulis di koran dan gosip apa yang akan
timbul?" Theresa berbalik menghadapi Poirot.
"Cegah tindakan itu! Saya memberikan carte
blanche.[kekuasaan sepenuhnya] Lakukan apa
saja, asal tindakan itu tidak dilakukan."

Poirot mengangguk hormat.


"Akan saya lakukan yang saya bisa lakukan,
Mademoiselle. Au revoir, Mademoiselle, au
revoir. Doctor."

"Oh, pergi!" seru Theresa. "Kenapa aku mesti


bertemu dengan kalian!"

Kami meninggalkan ruang tamu Theresa. Kali ini


Poirot tidak berusaha nguping lagi. Dia sengaja
tinggal lebih lama di luar ruang tamu itu.

Dan itu berhasil. Suara Theresa terdengar jelas


dan keras.

"Jangan pandang aku seperti itu, Rex."


Kemudian, dengan tersendat, "Oh, Sayangku!"
Terdengar suara Dokter Donaldson, "Laki-laki itu
bermaksud jahat." Poirot meringis. Ditariknya
tanganku keluar. "Ayo," katanya, "c'est drole,
ca!"[lucu] Secara pribadi, kupikir lelucon itu
konyol.
BAB 25

MEMBAYANGKAN KEMBALI

Tidak, kupikir, sementara aku buru-buru


mengikuti Poirot. Tak ada keragu-raguan lagi
sekarang. Nona Arundell memang mati
dibunuh, dan Theresa tahu. Tapi, dia sendirikah
pelakunya, atau ada orang lain?

Yang jelas Theresa ketakuean. Tapi, takut buat


dirinya sendiri atau buat orang lain?
Mungkinkah-orang lain itu si dokter yang tenang
dan cermat?
Mungkinkah Nona Arundell mati karena
penyakit sungguhan yang sengaja dimasukkan
ke dalam tubuhnya?

Sampai titik tertentu semuanya terasa pas -


ambisi - Donaldson dan pikirannya bahwa
Theresa akan menerima warisan bila bibinya
mati Dan pemuda itu datang makan malam
pada hari Selasa malam. Gampang sekali
sengaja meninggalkan sebuah jendela terbuka.
Tengah malam dia kembali untuk memasang
benang di tangga. Tapi, bagaimana ceriteranya
dia bisa memasang paku di situ?

Ah. Theresa bisa melakukannya. Ya, Theresa


bekerja sama dengan tunangannya. Kalau
mereka bekerja sama, perkaranya jadi jelas.
Mungkin juga Theresa sendiri yang memasang
benang itu. Kejahatan pertama, kejahatan yang
gagal - itu hasil pekerjaan Theresa. Yang kedua,
yang berhasil, hasil pekerjaan Donaldson yang
memang ahli dalam hal semacam itu.

Ya - rasanya memang pas.

Meskipun begitu, ada keganjilannya. Mengapa


Theresa menyebut-nyebut penyuntikan darah
kelinci berpenyakit lever ke dalam tubuh
manusia? Kalau begitu, rupanya dia tidak tahu..
. Tapi - pikiranku jadi kacau dan kuhentikan
spekulasiku. Aku bertanya kepada Poirot,

"Kita ke mana sekarang, Poirot?"

"Kembali ke flatku. Mungkin Nyonya Tanios ada


di sana."

Pikiranku berpindah ke jalur yang lain.


Nyonya Tanios! Misteri lain lagi! Kaiau
Donaldson dan Theresa memang bersalah, apa
peran Nyonya Tanios dan suaminya yang selalu
tersenyum itu? Apa yang ingin dikatakan
perempuan itu kepada Poirot - dan mengapa
suaminya berusaha mencegahnya?

"Poirot," ucapku merendahkan diri. "Rasanya


aku jadi pusing. Mereka tidak melakukannya
bersama-sama, bukan?"

"Membunuh dengan membentuk sindikat?


Sindikat keluarga? Tidak Kali ini tidak. Ada
tanda-tanda bahwa semuanya ini dilakukan oleh
satu otak- dan cuma satu otak saja. Masalah
kejiwaannya sudah jelas."

"Maksudmu, Theresa atau Donaldson yang


melakukannya - lapi bukan mereka berdua?
Paling tidak Donaldson mengambilkan palu buat
Theresa..."
"Oh, Hastings - sejak saat Nona Lawson
menceriterakan kesaksiannya, kusadari adanya
tiga kemungkinan: (l) Nona Lawson memang
menceriterakan yang sebenarnya. (2) Nona
Lawson mengarang-ngarang ceritera itu untuk
kepentingan dirinya sendiri. (3) Nona Lawson
yakin akan kebenaran ceriteranya berdasarkan
bros yang dikenalnya- tapi, seperti kukatakan
tadi, bros bisa dipisahkan dari pemiliknya."

"Ya, tapi Theresa ngotot - bros itu tidak pernah


lepas dari tangannya."

"Yang dikatakannya itu memang benar. Ada


satu hal kecil yang sangat penting, tapi belum
terperhati-kan olehku."

"Tumben," ujarku bersungguh-sungguh.


"N'est-ce pas? Orang tidak ada yang sempurna.
Setiap orang bisa lupa sesuatu."

"Karena umur semakin tua?"

"Tidak ada hubungannya dengan umur," Poirot


berkata dingin.

"baiklah - apa hal kecil yang penting itu?"


tanyaku. Saat itu kami tepat sedang membelok
masuk ke pelataran gedung tempat flat Poirot
terletak.

"Akan kutunjukkan." Kami tiba di flat Poirot.

George membukakan pintu. Menjawab


pandangan Poirot yang penuh tanda tanya,
lelaki itu menggelengkan kepala.
"Belum, Tuan. Nyonya Tanios belum ke sini.
Telepon juga tidak ada, Tuan."

Poirot masuk ke ruang duduk. Sejenak dia


berjalan kian kemari seperti orang kebingungan.
Kemudian diraihnya telepon. Mula-mula
diputarnya nomor Hotel Durham.

"Ya - ya. Ah, Dokter Tanios, ini dari Hercule


Poirot. Apakah isteri Anda sudah kembali?
Belum? Oh.... Dia membawa barang-barangnya
semua?... Dan anak-anak juga? .. Anda tidak
punya bayangan ke mana perginya.... Ya,... Oh,
tentu... Kalau jasa saya bisa berguna bagi Anda?
Saya pernah mengalami hal yang serupa.... Hal
semacam itu bisa dilakukan dengan diam-
diam.... Tidak, tentu saja tidak... Ya, itu memang
benar.... Tentu - tentu. Saya menghargai
maksud Anda."

Poirot meletakkan kembali gagang teleponnya.


"Dokter Tanios tidak tahu ke mana isterinya
pergi," ujarnya serius. "Kupikir yang
dikatakannya itu memang benar. Kekuatiran
yang kudengar dalam suaranya bukan dibuat-
buat. Tanios tidak mau berurusan dengan polisi.
Itu bisa dimengerti. Ya, itu bisa kumengerti. Dia
juga menolak bantuanku. Itu yang kurang bisa
kumengerti... Dia ingin isterinya ditemukan, tapi
tak mau kalau aku mencarinya.... Kelihatannya
dia yakin bisa menyelesaikan sendiri masalah
ini. Katanya, tidak mungkin isterinya
bersembunyi lama-lama - sebab, dia cuma
membawa uang sedikit. Di samping itu, dia
membawa anak-anak Ya, kupikir dia bisa segera
menemukan isterinya. Tapi, Hastings, gerak kita
mesti lebih cepat. Aku merasa ini sangat
penting"

"Percayakah kau bahwa Nyonya Tanios agak


miring?" tanyaku.
"Kupikir dia sedang dalam keadaan sangat
gelisah dan kecapean."

"Tapi tidak sebegitu parahnya sampai mesti


dirawat di rumah perawatan orang gila, kan?"
"Pasti tidak."

"Aku tidak mengerti semua ini. Poirot."


"Maafkan aku, Hastings - terus terang, kupikir
kau memang tidak mengerti sama sekali."

"Rasanya - oh, terlalu banyak aspeknya."

"Memang. Tapi untuk bisa berpikir jernih, kita


mesti bisa memisahkan satu dengan lainnya."

"Poirot, sudah lamakah kau menduga ada


delapan kemungkinan dan bukannya tujuh?"
Suara Poirot kering waktu menjawab,

"Itu sudah kupertimbangkan sejak Theresa


Arundell mengatakan bahwa ia bertemu
Donaldson yang terakhir pada malam pemuda
itu datang bersantap malam bersama di Puri
Hijau - tepatnya, tanggal empat belas April."

"Aku kurang mengerti...." cetusku.

"Apanya yang kurang kaumengerti?"

"Yah - kalau Donaldson merencanakan


pembunuhan secara ilmiah - dengan suntikan
atau sejenisnya - aku tidak mengerti kenapa dia
mesti menggunakan cara janggal semacam
merentang benang di tangga."

"En verite',[terus terang saja] Hastings, kadang-


kadang aku kehabisan kesabaran berdebat
denganmu! Yang satu merupakan metode
tingkat tinggi yang cuma bisa dilakukan oleh
orang yang cukup berpengetahuan di bidang
itu. Betul, kan?"

"Ya"

"Yang satunya lagi sangat sederhana dan bisa


dilakukan oleh siapa pun. Betul?"

"Ya"

"Nah, Hastings - pikir! Coba duduk dengan


tenang, pejamkan mata, dan pakai otakmu."

Kupatuhi perintahnya Aku bersandar di kursi


dan kututup mataku. Otakku sibuk
melaksanakan perintah Poirot yang ketiga. Tapi
hasilnya tidak banyak.
Kubuka mataku. Kulihat Poirot tengah
memandangku dengan pandangan seorang juru
rawat terhadap pasien kecilnya yang tidur
terlelap.

"Eh bien?"

Aku herusaha keras menandingi sikap Poirot.

"Yah," ucapku, "kupikir orang yang memasang


benang bukan tipe. orang yang merencanakan
pembunuhan dengan menggunakan cara-cara
ilmiah."

"Rasanya janggal kalau otak yang sudah terbiasa


berpikir kompleks tiba-tiba memikirkan sesuatu
yang kekanak-kanakan macam merencanakan
pemasangan benang itu."
Merasa diberi angin, aku meneruskan, "Karena
itu, satu-satunya pemikiran yang logis adalah
begini - keduanya direncanakan oleh orang yang
berbeda. Jadi, yang kita hadapi ini adalah dua
kali percobaan pembunuhan oleh dua orang
yang berbeda."

"Kaupikir itu bukan cuma suatu kebetulan?"


"Kau sendiri bilang bahwa dalam setiap kasus
pembunuhan selalu ditemukan faktor
kebetulan." "Ya. Itu memang benar. Dan harus
kuakui." "Jadi?"

"Siapa kaupikir kedua orang tertuduhmu itu?"

"Donaldson dan Theresa Arundell. Jelas sekali


bahwa percobaan pembunuhan kedua yang
ternyata berhasil itu merupakan pekerjaan
dokter. Sebaliknya, kita tahu bahwa Theresa
tersangkut dalam usaha pembunuhan yang
pertama. Kupikir, keduanya bekerja sendiri-
sendiri dalam hal ini."

"Kau senang sekali bilang 'kita tahu', Hastings.


Apa pun yang mungkin Kauketahui, aku merasa
pasti aku sendiri tidak tahu apakah Theresa
terlibat atau tidak."

"Tapi menurut ceritera Nona Lawson..."


"Ceritera Nona Lawson cuma ceritera Nona
Lawson."

"Tapi, katanya..."

"Katanya - katanya.... Selalu kau percaya begitu


saja dengan apa yang dikatakan orang. Sekarang
dengar, mon cher. Aku pernah mengatakan
kepadamu bahwa ada sesuatu yang tidak benar
dalam ceritera Nona Lawson."
"Ya. Aku ingat kau pernah berkata begitu. Tapi
kau sendiri tidak tahu apanya yang kaurasa
tidak benar itu."

"Sekarang aku sudah tahu. Sebentar akan


kutunjukkan kepadamu apa yang mestinya sejak
semula langsung kulihat."

Poirot melangkah ke dekat meja tulisnya.


Dibukanya lacinya dan dikeluarkannya sepotong
karton. Karton itu dipotongnya dengan
menggunakan gunting - memberi isyarat
kepadaku supaya aku tidak melihat apa yang
sedang dilakukannya.

"Sabar, Hastings. Sebentar lagi kita akan


melakukan percobaan kita."

Tak lama kemudian kudengar Poirot


menyerukan sesuatu dengan perasaan puas.
Diletakkannya guntingnya, dan dibuangnya sisa
kartonnya ke keranjang sampah. Setelah itu ia
pun segera melangkah mendekatiku.

Kuturuti perintahnya sambil tertawa.


Kedengarannya Poirot merasa puas akan apa
yang dilihatnya. Perlahan-lahan ditariknya aku
menuju kamar tidur yang paling dekat dengan
ruang duduknya.

"Sekarang buka matamu, Hastings. Pandang


dirimu di cermin. Kau mengenakan, pada
jaketmu, sebuah bros indah berinisial namamu.
Cuma, bien entendu,[tentu saja] brosmu bukan
terbuat dari logam mengkilap atau emas atau
platina - brosmu cuma terbuat dari karton
sederhana."

Kupandangi diriku dalam cermin sambil


tersenyum. Tangan Poirot memang sangat
terampil. Kulihat pada jaketku menempel
sebuah bros yang sangat mirip dengan bros
Theresa - sebuah lingkaran dari karton
mengelilingi inisialku - A.H.

"Eh bien" ujar Poirot. "Kau puas? Brosmu indah


sekali, bukan - dan dengan inisialmu pula..."

"Kuakui - bagus sekali, memang."

"Memang tidak mengkilap dan bersinar-sinar,


tapi kau-akui kan, bahwa bros itu kelihatan
cukup jelas dari kejauhan?"

"Ya. Aku tidak meragukannya."

"Tepat. Ragu-ragu bukan silatmu. Mudah


percaya - itulah. Dan sekarang, Hastings, coba
buka jaketmu.".
Dengan keheran-heranan kuturuti
permintaannya. Poirot sendiri melepaskan
jasnya dan ganti mengenakan kepunyaanku
sambil sedikit menghadap ke belakang.

"Sekarang," ujarnya, "lihat bagaimana brosmu


tiba-tiba jadi kepunyaanku."

Poirot berbalik menghadapku. Kupandang dia -


mula-mula tidak mengerti- Baru kemudian aku
tahu maksudnya.

"Oh, bodohnya! Tentu saja. H.A. yang kautulis-


kan pada bros itu, bukan A.H.!"

Poirot tersenyum lebar. Diberikannya jaketku


kepadaku, dan dikenakannya jasnya sendiri.

"Tepat!" katanya. "Sekarang kau tahu apa


sebabnya aku merasa ceritera Nona Lawson
salah. Nona Lawson mengatakan dia melihat
jelas inisial Theresa pada bros itu. Tapi, jangan
lupa - Nona Lawson melihat dari cermin. Jadi,
kalau memang dia melihat inisial,
kebalikannyalah yang sebenarnya dilihatnya
pada cermin itu."

"Mungkin," sanggahku, "dan mungkin juga dia


sadar bahwa yang dilihatnya kebalikannya."

"Mon cher, terpikirkah itu olehmu barusan?


Tapi kau tidak berseru 'Ha! Poirot, kau salah -
itu H.A. - bukan A.H.' Tidak, kau tidak berseru
macam begitu. Padahal, menurutku, kau jauh
lebih pandai daripada Nona Lawson. Jangan
katakan perempuan seperti Nona Lawson
terbangun, dan masih dalam keadaan setengah
tidur segera menyadari bahwa T.A. yang
dilihatnya sesungguhnya A.T. Tidak, Kawan - itu
tidak sesuai dengan mentalitas Nona Lawson."
"Dia ngotot yang dilihatnya itu Theresa," ujarku
perlahan.

"Kau sudah semakin dekat dengan


kenyataannya, Kawan. Ingatkah kau, aku pernah
bilang bahwa tidak mungkin Nona Lawson bisa
melihat dengan jelas wajah orang yang
dilihatnya. Lalu apa yang langsung diingatnya?"

"Bros Theresa - tanpa menyadari bahwa dia


melihatnya dalam cermin, yang berarti bahwa
yang dikatakannya tidak benar."

Telepon berdering dengan nyaringnya. Poirot


segera menghambur menerimanya.

Ia cuma mengucapkan beberapa kata.

"Ya? Ya... tentu. Ya, cukupan. Siang, mungkin.


Jam dua? Kelihatannya bisa."
Diletakkannya gadang telepon, dan ia pun
berpaling kepadaku sambil tersenyum.

"Dokter Donaldson ingin berbincang-bincang


denganku. Dia mau ke sini besok - jam dua. Ada
kemajuannya, mon ami, ada kemajuannya."

BAB 26

NYONYA TANIOS MENOLAK BERBICARA

Ketika aku tiba keesokan paginya, kulihat Poirot


sedang sibuk menulis di meja tulisnya.
ia mengacungkan tangan sebagai isyarat
sapaan, tapi segera menyibukkan dirinya
kembali dengan sesuatu yang sedang ditulisnya.
Akhirnya dilipatnya kertas yang ditulisi itu,
dimasukkannya ke dalam amplop, dan
direkatnya amplopnya dengan lem.

"Sedang apa kau?" tanyaku berkelakar.


"Mencatat kasus yang sedang kauselesaikan
buat disimpan di almari besi hingga orang bisa
meneruskan usahamu bila kau sendiri terbunuh
hari ini?"

"Dugaanmu tidak banyak meleset, Hastings!"

Sikapnya bersungguh-sungguh.

"Kaupikir pembunuhnya sudah menjadi


berbahaya sekarang?"
"Pembunuh selalu berbahaya," ujar Poirot
serius. Sayangnya fakta itu sering kurang
diperhatikan."

"Ada berita baru?"

"Dokter Tanios menelepon."

"Istcrinya belum ditemukan?"

"Kalau begitu - aman." "Aku tidak yakin."

"Kau tidak berpikir Nyonya Tanios dibunuh


orang, kan?"

Poirot menggelengkan kepala. Nampaknya dia


ragu-ragu.
"Kuakui," gumamnya, "aku ingin sekali tahu di
mana perempuan itu sekarang."

"Oh," ujarku. "Dia pasti ketemu."

"Optimismemu membuatku lega kadang-


kadang, Hastings."

"Oh, Tuhan - maksudmu kaupikir Nyonya Tanios


akan kita ketemukan dalam keadaan
terbungkus dan terpotong-potong?"

Poirot berkata pelan,

"Aku merasa kekuatiran Dokter Tanios agak


berlebih-lebihan - tapi cuma itu. yang pertama-
tama mesti kita lakukan hari ini adalah
menemui Nona Lawson."
"Kau mau mengatakan kepadanya mengenai
kekeliruan penglihatan pada bros itu?"

"Tentu saja tidak. Fakta itu cuma buatku sendiri


sampai tiba saatnya yang tepat buat
menyatakannya.'"

"Lalu, apa yang mau kaukatakan?"

"Itu, mon ami, akan kaudengar sendiri nanti "

"Omong kosong lagi?"

"Kadang-kadang kau menyakitkan hati,


Hastings. Orang akan mengira aku suka
berbohong bila mendengar kata-katamu
barusan."
"Kupikir, kau memang suka berbohong, Poirot.
Aku malah mulai yakin bahwa kau sungguh-
sungguh suka berbohong."

"Kuakui - kadang-kadang aku kagum akan


kepandaianku menciptakan sesuatu yang
kedengarannya begitu realistis."

Tak kuasa aku menahan tawa. Poirot


memandangku dengan ejekan, dan kami pun
berangkat ke Clanroyden Mansions.

Kami dipersilakan masuk ke ruang tamunya


yang terasa sangat penuh dengan berbagai
barang, dan tak lama kemudian Nona Lawson
keluar dengan tergopoh-gopoh. Sikapnya lebih
tidak menentu daripada biasanya.

"Oh, M. Poirot, selamat pagi! Oh- berantakan-


nya. Maafkan. Tapi pagi ini rasanya repot sekali.
Sejak Bella datang..."
"Apa? Bella?"

"Ya, Bella Tanios. Dia datang setengah jam yang


lalu - dengan anak-anaknya. Mereka
kelihatannya sangat kecapean. Oh, kasihannya
mereka itu. Sungguh, saya tidak tahu apa yang
mesti saya lakukan. Anda tahu, M. Poirot - dia
meninggalkan suaminya."

"Meninggalkan Dokter Tanios?"

"Katanya begitu. Oh - tapi saya yakin


tindakannya itu bijaksana. Malangnya anak
itu...."

"Dia berceritera terus terang kepada Anda?"


"Yah - sebenarnya tidak juga, M. Poirot. Dia
sama sekali tidak mau mengatakan apa-apa.
Cuma berulang-ulang dikatakannya bahwa dia
meninggalkan suaminya dan tidak akan mau
kembali lagi!"

"Ini merupakan langkah yang sangat serius."

"Tentu saja.' Seandainya suaminya orang


Inggris, saya akan bujuk agar dia mau - tapi,
suaminya toh bukan orang Inggris. Dan lagi,
tidak tega saya. melihatnya... dia begitu
ketakutan. Tak tahu saya apa yang dilakukan
laki-laki itu terhadap isterinya sampai isterinya
seperti itu. Dari dulu saya sudah menduga,
orang Turki kadang-kadang bisa berlaku "Dokter
Tanios bukan orang Turki. Dia Yunani."

"Oh, ya, tentu, kebalikannya - maksud saya,


mereka yang biasanya dibunuh oleh orang Turki
-oh, atau saya jadi berpikir tentang orang
Yahudi? Sama saja! Pokoknya saya rasa Bella tak
perlu kembali kepada suaminya. Bukankah
begitu, M Poirot? Eh, dia bilang ... dia tidak mau
kembali. Dia malah tak mau suaminya tahu di
mana dia berada."

"Separah itu?"

"Ya. Maka dari itu. Anak-anaknya... katanya.


Bella takut suaminya membawa mereka
kembali ke Smyrna. Kasihan! Oh, tahukah anda,
M. Poirot, dia tidak punya uang sama sekali -
sama sekali. Dia tidak tahu lagi ke mana dia
mesti pergi atau apa yang mesti dia lakukan.
Katanya dia ingin bekerja mencari nafkah; tapi,
oh, M. Poirot, itu bukan segampang dikatakan,
bukan? Saya tahu susahnya cari pekerjaan. Dan,
Bella tidak punya pendidikan khusus."

"Kapan dia meninggalkan suaminya?"


"Kemarin. Semalam dia menginap di hotel kecil
dekat Paddington. Dia datang ke sini karena
tidak tahu mesti ke mana lagi. Oh, kasihannya
anak itu..."

"Dan Anda mau menolongnya? Betapa baik hati


Anda, Nona Lawson."

"Oh, M. Poirot, sungguh. - saya merasa itu


kewajiban saya. Tapi, tentu saja sangat sulit.
Flat ini terlalu kecil, kamarnya tidak ada lagi - di
samping itu, oh..."

"Kenapa Anda tidak menyuruhnya tinggal di


Puri Hijau saja?"

"Mungkin seharusnya begitu - tapi, oh,


suaminya pasti akan datang mencarinya ke
sana. Sementara, saya sewakan dia kamar di
Hotel Wellington di Queen's Road. Dia tinggal di
situ dengan nama samaran Nyonya Peters."
"Oh," ucap Poirot.

Sejenak ia diam. Kemudian katanya,

"Saya Ingin bertemu dengan Nyonya Tanios. Dia


mencari saya ke flat saya kemarin, tapi saya
kebetulan sedang keluar."

"Oh, ya? Dia tidak ceritera sama saya. Sebentar,


saya katakan kepadanya, ya?!"

"Terima kasih."

Buru-buru Nona Lawson keluar dari ruang


tamunya. Suaranya kedengaran cukup jelas dari
tempat kami duduk.
"Bella - Bella sayang, maukah kau menemui M.
Poirot?"

Jawaban Nyonya Tanios tidak kedengaran, lapi


beberapa menit kemudian dia keluar ke ruang
tamu.

Aku sangat kaget melihat rupanya. Sekeliling


matanya nampak hitam dan pipinya pucat
sekali. Yang lebih mengagetkan lagi, raut
mukanya sangat ketakutan. Perempuan itu
tidak mengucapkan sepatah kata pun, ia cuma
duduk diam mendengarkan.

Poirot menyapanya dengan sikap penuh


simpati. Ia bangkit menghampiri Nyonya Tanios,
menjabat tangannya. Kemudian dibimbingnya
perempuan itu ke sebuah kursi dan
dipersilakannya duduk. Ia mengambil sebuah
bantal, lalu kembali ke dekat Nyonya Tanios dan
memberikan bantal itu kepadanya. Poirot
memperlakukan perempuan yang pucat dan
ketakutan itu bagaikan seorang puteri.

"Sekarang, Madame, ayo kita mengobrol. Anda


datang ke flat saya kemarin?"

Nyonya Tanios mengangguk.

"Saya menyesal sekali tidak bertemu dengan


Anda, Madame"

"Ya - saya pun begitu."

"Ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan


kepada saya?"

"Ya - maksud saya begitu...." Eh bien, sekarang


saya ada di hadapan Anda, siap mendengar apa
pun yang ingin Anda katakan kemarin itu."
Nyonya Tanios tidak menyahut. Dia duduk diam,
memutar-mutar cincin pada jarinya.
"Bagaimana, Madame?"

"Tidak. Saya - kalau dia tahu - dia akan - oh, dia


pasti melakukan sesuatu kepada saya!"

"Ayolah, Madame - masakan begitu. Tidak


mungkin."

"Bukan tidak mungkin - itu mungkin. Mungkin


sekali. Anda tidak tahu dia..."

"Maksud Anda 'dia' itu suami Anda, Madame?"


"Ya. Ya. Dia."

Semenit dua menit lamanya Poirot berdiam diri.


Kemudian katanya,
"Suami Anda juga datang ke flat saya kemarin,
Madame."

Sejenak wajahnya penuh ketakutan.

"Oh, Tidak! Anda tidak mengatakannya


kepadanya - pasti tidak! Anda toh tidak tahu di
mana saya. Apakah dia bilang saya gila?"

Poirot menjawab dengan sangat berhati-hati.

"Dia cuma mengatakan bahwa Anda sangat


gelisah."

Tapi Nyonya Tanios tidak bisa dibohongi, ia


menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, dia bilang saya gila - atau saya akan jadi
gila! Dia mau mengurung saya - supaya saya
tidak bisa mengatakan apa-apa kepada siapa
pun buat selama-lamanya."

"Mengatakan apa, Madame?"

Nyonya Tanios menggeleng. Sambil


mempermainkan jari-jari tangannya dengan
gelisah, ia bergumam,

"Saya takut..."

"Tapi, Madame, kalau Anda sudah


mengatakannya kepada saya - Anda aman!
Rahasianya sudah keluar! Fakta ini dengan
sendirinya akan melindungi

Tapi Nyonya Tanios tetap tidak menjawab. Dia


terus saja mempermainkan jarinya.
"Anda akan merasakannya sendiri, Madame"
Poirot berkata sangat lembut.

Nyonya Tanios terperangah.

"Bagaimana saya bisa merasakannya?... Oh, ini


sangat keterlaluan sekali! Dia logis.' Dan dia
dokter. Orang pasti percaya dia, bukan saya.
Saya tahu itu. Tidak ada orang yang akan
mempercayai saya."

"Anda tidak mau memberi kesempatan kepada


saya?"

Pandangan Nyonya Tanios mengungkapkan


kebimbangan hatinya.
"Bagaimana saya tahu? Mungkin saja Anda ada
di pihaknya...."

"Saya tidak pernah berdiri di pihak siapa pun,


Madame - saya cuma berdiri di pihak
kebenaran."

"Saya tidak tahu," ujar Nyonya Tanios putus asa.


"Oh, betul-betul saya tidak tahu."

Nyonya Tanios meneruskan kata-katanya,


suaranya semakin keras tapi terputus-putus,

"Sudah bertahun-tahun begini ini. Berkali-kali


saya menyaksikan hal yang sama terjadi
berulang-ulang. Tapi tidak ada yang bisa saya
katakan atau lakukan. Sebab ada anak-anak
yang harus saya bela, Rasanya mimpi buruk itu
terus berkepanjangan. Dan sekarang ini.... Tapi,
saya tidak mau kembali kepadanya. Saya tak
akan membiarkan dia membawa anak-anak.
Saya akan pergi ke suatu tempat yang tak akan
bisa diketemukannya. Minnie Lawson akan
membantu saya. Dia sangat baik hati - sangat
baik hati dan manis. Tidak ada orang lain yang
lebih baik daripadanya." ia berhenti.
Pandangannya menembus mata Poirot. Lalu
katanya,

"Apa yang dikatakannya mengenai saya?


Apakah dia bilang saya berkhayal, berangan-
angan?"

"Dia mengatakan bahwa - sikap Anda


terhadapnya berubah, Madame"

Nyonya Tanios mengangguk.

"Dan dia bilang saya berkhayal, berangan-


angan.... Betul, bukan?"
"Ya, Madame. Terus terang, dia memang bilang
begitu."

"Itulah. Dia akan terus bilang begitu. Sedangkan


saya tidak punya bukti - sama sekali tidak punya
bukti yang nyata."

Poirot bersandar pada kursinya. Ketika dia


berbicara lagi, sikapnya betul-betul berubah.

"Apakah Anda mencurigai suami Anda ada


sangkut pautnya dengan pembunuhan Nona
Arundell?"

Jawabnya dalang sangat cepat - spontan, "Saya


tidak, mencurigainya - saya tahu."

"Kalau begitu, Madame, Anda wajib


mengatakannya."
"Ah, tapi itu sukar - ya, sukar."

"Bagaimana dia membunuhnya?"

"Tepatnya saya tidak tahu - tapi dialah yang


membunuh."

"Anda tidak tahu cara apa yang dipakainya?"

"Tidak - itu dilakukannya pada hari Minggu


sebelum Bibi Emily meninggal."

"Hari Minggu ketika dia datang ke Puri Hijau


sendirian?"

"Ya."
"Tapi Anda tidak tahu apa persis yang dilaku-
""Tidak."

"Lalu, maaf, Madame, bagaimana Anda bisa


begitu yakin?"

"Karena dia..." Nyonya Tanios berhenti.


Kemudian katanya pelan, "Saya yakin!"

"Maaf, Madame, ada sesuatu yang Anda


sembunyikan. Sesuatu yang belum Anda
katakan kepada saya."

"Ya."

"Mengapa tidak Anda katakan saja sekalian?"


Bella Tanios mendadak bangkit. "Tidak. Tidak.
Saya tidak bisa. Anak-anak. Ayah mereka. Saya
tidak bisa. Saya tidak bisa...." "Tapi, Madame..."
"Saya tidak bisa menceriterakannya kepada
anda."

Suaranya melengking histeris. Mendadak pintu


terbuka dan Nona Lawson masuk. Nampak
sekali ada sesuatu yang menyenangkan hatinya.

"Boleh masuk? Sudah selesai pembicaraan


Anda? Bella sayang, kupikir kau mesti minum
sesuatu... secangkir teh, atau malah sedikit
brandy."

Nyonya Tanios menggeleng.

"Saya tidak apa-apa," ujarnya sambil tersenyum


lemah. "Saya mesti kembali ke anak-anak.
Sudah terlalu lama saya tinggalkan mereka.
Mereka sedang membereskan pakaian mereka
dari koper ketika saya tinggalkan."
"Oh," ujar Nona Lawson, "lucunya anak-anak
itu."

Nyonya Tanios tiba-tiba berpaling kepadanya.

"Oh, saya tak tahu apa yang harus saya lakukan


tanpa bantuanmu, Minnie." ujarnya. "Kau - kau
begitu baik."

"Na, na, na, jangan menangis begitu, Bella.


Segala sesuatu akan beres sendiri pada
akhirnya. Kau boleh dalang ke tempat penasihat
hukumku - dia orangnya baik dan sangat
simpatik - dia pasti mau memberi petunjuk
bagaimana caranya mendapatkan surat cerai.
Zaman sekarang itu bukan hal sulit Begitu
kudengar orang-orang berkata. Oh, ada tamu
kedengarannya. Siapa, ya?"
Nona Lawson buru-buru meninggalkan ruang
tamu. Terdengar suara orang bercakap-cakap di
teras. Nona Lawson muncul kembali. Jalannya
berjingkat-jingkat. Ditutupnya pintu pelan-
pelan. Katanya berbisik,

"Oh, Bella - suamimu yang datang. Aku tak


tahu..."

Nyona Tanios beranjak ke sebuah pintu yang


menuju ke belakang. Nona Lawson
mengangguk-angguk.

"Benar, Sayang - masuklah ke sana. Uari situ kau


bisa menyelinap keluar sementara dia kuajak
masuk ke sini."

Nyonya Tanios berbisik,


"Jangan katakan saya dari sini. Jangan katakan
Anda barusan ketemu saya." "Tidak. Tentu saja
tidak."

Nyonya Tanios menyelinap keluar. Poirot dan


aku sendiri buru-buru mengikutinya. Kami
ternyata masuk ke ruang makan.

Poirot menyeberangi ruang makan sempit itu,


dan membuka pintu yang berhubungan dengan
teras, ia mengintip dan mendengarkan sesuatu,
kemudian mengangguk.

"Nona Lawson sudah mengajaknya masuk."

Berjingkat-jingkat kami keluar. Pintu muka


ditutup oleh Poirot dengan sangat pelan setelah
kami semuanya keluar.
Nyonya Tanios berlari-lari kecil menuruni
tangga, tersandung, dan berpegang pada sisi
tangga. Poirot memegang tangannya kuat-kuat,
menahannya supaya tidak jatuh.

"Du calme - du calme.[tenang-tenang.] Tidak


ada yang mesti Anda takuti."

Kami masuk ke lobby.

"Temani saya," pinta Nyonya Tanios memelas.


Kelihatannya perempuan itu sudah mau
pingsan.

"Tentu," ujar Poirot menenangkan hatinya.

Kami menyeberang jalan, berjalan sedikit


melewati tikungan, dan sampai di Queen's
Road. Hotel Wellington ternyata sebuah hotel
kecil yang tidak banyak diketahui orang.
Modelnya seperti asrama.

Sesampai di dalam, Nyonya Tanios menjatuhkan


diri pada sebuah sofa. Tangannya memegangi
dadanya yang berdebar-debar.

Poirot menepuk-nepuk bahunya, menenangkan


perempuan itu.

"Anda lolos, Madame. Tapi dengarkan saya


baik-baik sekarang."

"Tidak ada lagi yang bisa saya ceriterakan


kepada Anda, M. Poirot. Tak benar kalau saya
menceritera-kannya. Anda - Anda tahu apa yang
saya pikir -yang saya yakini. Anda mesti puas
dengan itu."
"'Saya minta Anda mendengarkan saya,
Madame. Misalkan - ini cuma suatu pemisalan -
saya sudah tahu semua fakta mengenai kasus
ini. Misalkan saya sudah bisa menebak apa yang
Anda ketahui - masalahnya jadi lain, bukan?"

Nyonya Tanios memandangnya ragu. Sebersit


rasa sakit nampak pada matanya.

"Percayalah, Madame - saya bukan bermaksud


menjebak Anda supaya Anda mengatakan apa
yang tidak ingin Anda katakan. Tapi, masalahnya
jadi lain, kan?"

"Saya pikir - ya."

"Bagus. Sekarang dengar. Saya, Hercule Poirot,


tahu kebenarannya. Saya tidak meminta Anda
mempercayai kata-kata saya. Ambil ini." Poirot
menyodorkan sebuah amplop tebal yang tadi
pagi kulihat disiapkannya. "Semua faktanya
tertulis di situ. Setelah Anda membacanya, dan
Anda merasa puas, teleponlah saya - nomor
telepon saya ada saya cantumkan di dalam
situ."

Agak enggan Nyonya Tanios menerima amplop


itu.

Poirot menyambung cepat,

"Sekarang, satu hal lagi. Anda harus cepat-cepat


meninggalkan hotel ini." "Mengapa?"

"Anda cepat pergi ke Hotel Coniston, dekat


Euston Jangan katakan kepada siapa pun di
mana Anda tinggal."

"Tapi, oh - mengapa kalau di sini saja? Minnie


Lawson tidak mungkin mengatakan kepada
suami saya bahwa saya tinggal di sini."
"Anda pikir begitu?"

"Ya - dia memihak saya!"

"Ya, lapi ingat, Madame, suami Anda sangat


pandai. Mudah sekali buatnya membujuk
perempuan tua macam Nona Lawson untuk
mengeluarkan rahasianya. Ini sangat penting -
penting sekali, Madame. Suami Anda tidak
boleh tahu di mana Anda berada."

Nyonya Tanios mengangguk tanpa berkomentar

Poirot memberikan selembar kertas.

"Ini alamatnya. Cepat bereskan barang-barang


Anda, dan bawa anak-anak naik taksi ke alamat
itu. Anda mengerti?"
Nyonya Tanios mengangguk.

"Saya mengerti."

"Anak-anaklah yang mesti Anda pikirkan,


Madame - bukan diri Anda sendiri. Anda sayang
mereka, bukan?"

Poirot menyentuh bagian yang terpeka.

Warna merah merambati pipi perempuan itu,


dan kepalanya pun menjadi tegak. Ia sekarang
nampak bukan lagi seperti orang yang
ketakutan, tapi seorang wanita gagah dan agak
sombong.

"Oke. Semuanya beres, kalau begitu."


Dijabatnya tangan Nyonya Tanios. dan kami pun
pergi. Tapi tidak jauh. Dari bawah naungan atap
sebuah cafetaria di seberang jalan, kami
memperhatikan pintu masuk hotel tadi sambil
minum secangkir kopi. Kurang lebih lima menit
kemudian, nampak Dokter Tanios berjalan di
jalan. Dia tidak menoleh sama sekali ke arah
Hotel Wellington. Hotel itu dilaluinya begitu saja
Kepalanya tertunduk waktu dia berjalan. Di
tikungan, dia membelok ke stasiun kereta
bawah tanah.

Sepuluh menit setelahnya, kami melihat Nyonya


Tanios dan anak-anaknya masuk ke sebuah taksi
dengan membawa barang-barang mereka.

"Bien," ujar Poirot mengacungkan bon


minuman yang dipesannya. "Kita sudah
melakukan apa yang menjadi kewajiban kita.
Semuanya sekarang ada di tangan Tuhan."
BAB 27

KUNJUNGAN DOKTER DONALDSON

Donaldson datang tepat pada pukul dua.


Pembawaannya tenang dan serius seperti
biasanya.

Kepribadian Donaldson mulai membangkitkan


minatku. Mula-mula pemuda itu kuanggap
sebagai orang yang agak langka. Aku tidak
mengerti apa yang dilihat oleh gadis secantik
Theresa pada dirinya. Sekarang aku baru sadar
bahwa pemuda ini tak bisa diabaikan begitu
saja. Di balik sikapnya yang ilmiah itu ada
kekuatan yang tersembunyi.
Setelah bersapa-sapaan sebagaimana layaknya
tamu dan tuan rumahnya, Donaldson berkata,

"Alasan kedatangan saya begini. Saya tidak


mengerti apa tepatnya posisi Anda dalam kasus
ini, M. Poirot." Jawaban Poirot hati-hati. "Anda
tentunya tahu profesi saya, bukan?" "Tentu.
Terus terang, saya sudah bersusah payah ke
sana-sini mencari keterangan mengenai diri
anda."

"Anda orang yang sangat berhati-hati, Dokter."


Kering, Donaldson berkata, "Saya selalu ingin
yakin akan fakta-fakta saya." "Pikiran Anda
sangat ilmiah." "Setahu saya, semua orang
berpendapat begitu juga mengenai diri Anda.
Tidak diragukan lagi, Anda orang yang sangat
pandai dalam profesi Anda. Anda juga
mendapat julukan detektif yang teliti dan jujur."
"Pujian Anda terlalu berlebihan."

"Itulah sebabnya saya tidak habis berpikir -


mengapa Anda sampai ikut campur dalam
masalah keluarga ini. Apa hubungannya?"

"Sangat sederhana!"

"Sebaliknya," ujar Donaldson. "Mula-mula Anda


memperkenalkan diri sebagai penulis biografi."

"Itu bisa dimaafkan, bukan? Hampir tidak


mungkin seorang detektif pergi ke sana-sini
dengan setiap kali memproklamirkan dirinya
seorang detektif - meskipun, saya akui kadang-
kadang ada manfaatnya pula memperkenalkan
diri sebagai detektif.",

"Baiklah." Nada suara Donaldson sangat kering.


"Selanjutnya, Anda menemui Nona Theresa
Arundell dan mengatakan bahwa ada
kemungkinan surat wasiat bibinya bisa
diperkarakan."

Poirot cuma menundukkan kepalanya,


mengiyakan.

"Itu sangat mengherankan dan menggelikan."


Suara Donaldson tajam. "Anda tahu benar
bahwa surat wasiat itu sah menurut hukum dan
bahwa itu tidak mungkin diubah atau
dibatalkan."

"Oh, begitukah pikiran Anda?"

"Saya bukan orang bodoh, M. Poirot...."

"Sama sekali bukan, Dokter Donaldson'."


"Saya tahu sesuatu - tidak banyak, tetapi
cukuplah - mengenai hukum. Surat wasiat itu
tidak mungkin dibatalkan. Mengapa Anda
berpura-pura dan mengatakan ada
kemungkinannya? Jelas itu cuma untuk
kepentingan Anda sendiri - dan, sayang sekali
maksud itu tidak segera ditangkap oleh Nona
Theresa Arundell."

"Kedengarannya Anda begitu pasti akan


reaksinya."

Seulas senyum tipis menghiasi wajah pemuda


itu.

Tanpa diduga-duga, ia berkata,

"Saya tahu lebih banyak mengenai Theresa


daripada yang diketahuinya. Saya merasa yakin
bahwa dia dan Charles berpikir Anda akan
membantu mereka. Charles orangnya hampir
tidak punya moral sama sekali. Theresa punya
sifat-sifat menurun yang kurang
menguntungkan, ditambah pula dengan didikan
yang kurang bagus."

"Jadi, itulah sebabnya Anda membicarakan


tunangan Anda - seolah-olah dia itu seekor
marmot?"

Donaldson menatap Poirot dengan tajam dari


balik kacamata tempelnya.

"Saya tidak pernah menyangkal apa yang benar.


Saya mencintai Theresa Arundell, dan saya
mencintainya sebagaimana adanya - bukan
untuk sifat-sifat baik yang hanya khayalan saja."

"Sadarkah Anda bahwa Nona Theresa Arundell


begitu sayang kepada Anda. dan bahwa
keinginannya mendapatkan uang itu semata-
mata supaya cita-cita Anda bisa tercapai?"
"Tentu saja saya sadar akan hal itu. Sudah saya
katakan kepada Anda, bahwa saya bukan orang
bodoh. Tapi saya tak mau Theresa menceburkan
dirinya pada situasi yang sulit cuma buat saya
Dalam banyak hal, dia masih kekanak-kanakan.
Saya mampu memajukan karir saya dengan
usaha saya sendiri. Saya tidak mengatakan,
bahwa saya tidak ingin dibantu dalam hal
finansial. Bantuan semacam itu akan sangat
menolong. Tapi, itu cuma menolong
memperpendek jalan saya. Cuma itu."

"Jadi, Anda punya keyakinan bahwa Anda bisa


berhasil dengan usaha sendiri, bukan?"

"Mungkin kedengarannya sombong, tapi ya -


saya yakin saya bisa," ujar Donaldson.

"Mari kita lanjutkan. Saya akui bahwa saya


memperoleh kepercayaan dari Nona Theresa
dengan menggunakan semacam taktik. Saya
yakinkan dia bahwa saya mau menolongnya,
asal saya dibayar -tentu saja ini tidak benar,
Dokter - tapi, ternyata Nona Theresa segera
percaya."

"Ya, karena Theresa yakin semua orang mau


berbuat apa pun, demi uang," ujar dokter muda
itu dengan apa adanya.

"Benar. Sikapnya memang begitu - begitu juga


kakaknya."

"Charles mungkin mau melakukan apa pun demi


uang!"

"Jadi Anda sudah tahu bagaimana calon kakak


ipar Anda itu?"
"Ya. Bagi saya dia merupakan studi yang
menarik. Pada dirinya, kelihatannya, ada
semacam gejala neurosis yang terpendam - ah,
itu membuat pembicaraan kita menyimpang.
Kembali ke yang kita bicarakan semula, M.
Poirot - saya cuma bisa menemukan satu
jawaban sehubungan dengan pertanyaan saya
tadi: apa sebabnya Anda berlaku seperti itu.
Jelas bahwa Anda mencurigai Theresa atau
Charles bertanggung jawab atas kematian Nona
Arundell. Jangan - jangan menyangkal kata-kata
saya! Anda menyebutkan mengenai
kemungkinan dilakukannya penggalian kubur
Nona Arundell -dan itu, saya pikir, cuma untuk
memancing reaksinya. Ngomong-ngomong,
sudahkah Anda mengambil langkah ke arah
sana - maksud saya, menghubungi yang
berwenang supaya mereka memerintahkan
penggalian kembali kubur itu?"

"Saya akan berterus terang kepada Anda.


Sampai sekarang saya belum melangkah sejauh
itu."
Donaldson mengangguk.

"Jadi, saya pikir, Anda mulai


mempertimbangkan bahwa ada kemungkinan
Nona Arundell meninggal secara wajar?"

"Bahwa saya telah mempertimbangkan


kematian itu nampak sebagai kematian wajar -
ya."

"Keputusan Anda sudah pasti?"

"Sangat pasti. Seandainya Anda menghadapi


kasus - katakan, tubercolusis yang menunjukkan
gejala-gejala tubercolusis, dan ketika Anda
periksa darahnya menunjukkan tubercolusis
positif- eh bien, Anda pasti menganggapnya
sebagai tubercolusis, bukan?"
"Begitu cara Anda melihat perkaranya? Kalau
begitu, apa sebenarnya yang Anda tunggu?"

"Saya menunggu bukti yang final."

Telepon berdering. Menuruti isyarat Poirot, aku


beranjak mengangkatnya. Suara yang kudengar
sangat kukenali.

"Kapten Hastings? Ini dari Nyonya Tanios.


Maukah Anda menyampaikan kepada M. Poirot,
bahwa dia benar? Kalau M. Poirot mau datang
ke sini jam sepuluh besok pagi, saya bisa
memberikan apa yang diinginkannya."

"Jam sepuluh besok?"

"Ya."
"Baiklah. Akan saya sampaikan pesan Anda"
Poirot bertanya dengan matanya. Dan aku
mengangguk.

Ia kembali berpaling kepada Donaldson.


Sikapnya berubah - gesit dan yakin.

"Mari saya jelaskan," ujarnya. "Saya sudah


mendiagnosa kasus yang saya hadapi ini sebagai
suatu kasus pembunuhan - dan memang, ini
suatu pembunuhan! Itu tidak perlu diragukan
lagi."

"Kalau begitu - di mana letak keragu-raguan


Anda? Sebab, saya merasa Anda masih ragu-
ragu mengenai sesuatu."

"Mengenai identitas pembunuhnya. Tapi


sekarang, itu pun sudah tidak saya ragukan."
"Sungguh? Anda tahu pembunuhnya?"

"Bukti pastinya akan saya dapatkan besok."

Alis Dokter Donaldson terangkat, sangat ironis.

"Ah," ujarnya. "Besok! Kadang-kadang besok itu


tak ada habisnya, M. Poirot."

"Sebaliknya," sahut Poirot, "bagi saya."

Donaldson tersenyum. Ia bangkit.

"Saya lelah menyila terlalu banyak waktu Anda


yang berharga, M. Poirot."
"Sama sekali tidak. Saya senang mendapat
kesempatan bertukar pikiran dengan orang
lain."

Dengan mengangguk, Dokter Donaldson


meninggalkan kami.

BAB 28

KORBAN KEDUA

"Dia orang pintar," kata Poirot sungguh-


sungguh.
"Agak sulit mengetahui maksudnya."

"Ya. Orangnya agak kurang manusiawi. Tapi


sangat cerdik."

"Telepon tadi dari Nyonya Tanios."

"Sudah kuduga."

Kusampaikan pesannya. Poirot mengangguk.

"Bagus. Semuanya berjalan lancar. Dua puluh


empat jam lagi, Hastings, kita akan tahu."

"Aku masih bingung. Siapa sebenarnya yang kita


curigai?"
"Mana aku tahu siapa yang kau curigai,
Hastings!"

"Kadang-kadang aku merasa kau memper-


mainkanku."

"Tidak, tidak. Tak akan kusenangkan diriku


dengan cara begitu, Kawan."

"Aku tidak yakin."

Poirot menggeleng, tapi pikirannya seolah jauh


menerawang. Kuamati dia.

"Ada sesuatu, Poirot?" tanyaku.

"Aku selalu merasa ngeri setiap kali sampai


pada akhir suatu kasus. Seandainya terjadi
sesuatu...."
"Memangnya ada kemungkinan terjadi
sesuatu?"

"Kupikir tidak." ia berhenti, dahinya berkerut.

"Rasanya aku sudah memperhitungkan segala


kemungkinan."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita lupakan


sejenak urusan ini dan kita nonton?"

"Ma foi, Hastings, idemu bagus sekali!"

Malam itu kami lewatkan dengan cukup santai


dan menyenangkan. Walaupun begitu, ada satu
kesalahan kecil yang kulakukan - aku mengajak
Poirot nonton film pembunuhan yang
melibatkan seorang detektif. Itu sebabnya aku
ingin menyampaikan sedikit pesan kepada para
pembaca: Jangan pernah mengajak seorang
tentara menonton film militer, seorang pelaut
menonton film mengenai angkatan laut, atau
seorang detektif menonton film detektif. Anda
akan lelah mendengar kritikan yang mereka
lontarkan sepanjang pertunjukan! Memang
kritik yang dihujankannya itu kadang-kadang
mengena sekali. Poirot menyayangkan bahwa
detektif pelakunya kurang menguasai aspek
kejiwaan dan cara kerjanya tidak sistematis.
Waktu kami berpisah malam itu, Poirot masih
saja menyinggung-nyinggung kekurangan dalam
babak permulaan lakon yang baru kami nikmati.

"Kalau semuanya menuruti jalan pikiranmu,


Poirot, cerita film tadi tidak akan sepanjang itu,"

Poirot terpaksa mengakui kemungkinan itu.


Jam menunjukkan pukul sembilan lewat
beberapa menit ketika aku masuk ke ruang
duduk flat Poirot keesokan harinya. Poirot
sedang sarapan - seperti biasa, sambil
membuka amplop surat yang diantarkan oleh
petugas pos pagi.

Telepon berdering, dan akupun buru-buru


mengangkatnya.

Terdengar olehku suara orang perempuan


terengah-engah,

"Apakah di situ dengan M. Poirot? Oh, Anda


Kapten Hastings."

Suaranya tersendat.
"Apakah Anda Nona Lawson?" tanyaku. "Ya, ya,
sesuatu yang tidak diharapkan terjadi!"
Kugenggam gagang telepon erat-erat.

"Dia pergi meninggalkan Hotel Wellington -


Bella, maksudku. Saya ke sana kemarin siang.
Katanya dia sudah pergi. Dan, oh - tanpa
meninggalkan pesan apa pun buat saya! Aneh!
Mungkin yang dikatakan Dokter Tanios memang
benar. Laki-laki itu menceriterakan Bella dengan
begitu manis dan kelihatannya begitu sedih.
Sekarang saya baru tahu - mungkin yang
dikatakan suaminya itu memang betul."

"Apa yang sebenarnya terjadi, Nona Lawson?


Apakah cuma itu - maksud saya, Nyonya Tanios
cuma pergi meninggalkan Hotel Wellington
tanpa memberitahukan apa-apa kepada Anda?"

"Oh, bukan. Bukan cuma itu! Kalau cuma itu sih


tidak apa-apa. Dokter Tanios mengatakan dia
kualir isterinya agak - agak - oh, bukan cuma
agak... katanya dia menderita kelainan
kejiwaan... per-... oh, persecution mania atau
apa, katanya."

"Ya." (Sialan, umpatku). "Tapi, apa yang


terjadi?"

"Oh - sangat menyedihkan! Dia mati dalam


tidurnya. Minum obat tidur dengan dosis
berlebihan! Dan anak-anak yang malang itu...
oh! Semuanya ini begitu menyedihkan! Rasanya
saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis
sejak menerima berita itu."

"Siapa yang mengabari Anda? Coba ceriterakan,


Nona Lawson!"

Dari sudut mataku, kulihat Poirot tiba-tiba


berhenti membuka surat-suratnya. Dia
mendengarkan kata-kata yang kuucapkan. Aku
tak ingin memberikan tempatku kepadanya.
Kalau kuberikan telepon kepadanya, aku yakin
Nona Lawson akan mulai meraung-raung tidak
keruan lagi.

"Orang menelepon saya dari hotel sana. Hotel


Coniston - kalau tak salah. Kelihatannya mereka
menemukan nama dan alamat saya di tasnya.
Oh, M. Poirot - oh, Kapten Hastings - bukankah
ini sangat menyedihkan? Anak-anak itu tidak
beribu lagi."

"Tunggu," ujarku- "Yakinkah Anda itu


dilakukannya tanpa sengaja? Atau dia sengaja
bunuh diri?"

"Oh, Kapten Hastings - kedengarannya kok jadi


begitu mengerikan! Oh, saya tidak tahu. Betul-
betul saya tidak tahu. Mungkinkah dia sengaja
bunuh diri? Oh, mengerikan sekali! Tapi dia
memang kelihatan sangat tertekan. Sebetulnya
tak perlu dia begitu. Maksud saya, dia tidak
akan kesulitan uang. Saya sudah merencanakan
hendak berbagi-bagi dengannya. Sungguh, itu
rencana saya. Saya tahu Nona Arundell ingin
begitu. Saya yakin itu keinginannya. Tapi, oh -
bukan main - dia menghabisi hidupnya sendiri -
tapi mungkin juga tidak.... Orang yang
menelepon dari hotel tadi kedengarannya
mengatakan tidak sengaja."

"Obat tidur apa yang diminumnya?"

"Salah satu obat tidur biasa. Veronal, mungkin.


Oh, bukan. Chloral. Ya, itu katanya tadi. Chloral.
Oh, Kapten Hastings - apakah..."

Seperti orang tak tahu aturan, kubanting gagang


telepon. Aku cepat berpaling kepada Poirot.

"Nyonya Tanios..."
Poirot mengacungkan tangannya.

"Ya, ya, aku tahu apa yang hendak kaukatakan,


Kawan. Dia mati. Betul, kan?"

"Ya. Kebanyakan minum obat tidur. Chloral!"

Poirot bangkit.

"Ayo, Hastings, kita mesti segera ke sana."

"Itukah yang kaukuatirkan semalam?


Maksudku, waktu kaubilang kau selalu merasa
ngeri menjelang akhir suatu kasus?"

"Aku takut terjadi kematian lagi - ya."


Wajah Poirot geram dan kaku. Hampir tak ada
yang kami percakapkan dalam perjalanan
menuju Euston. Sesekali kulihat Poirot
menggeleng-geleng.

Takut-takut aku berkata,

"Kau pikir - mungkinkah itu kebetulan saja,

"Tidak, Hastings - itu bukan suatu kebetulan


atau kecelakaan."

"Bagaimana mungkin Tanios tahu tempat


isterinya tinggal?"

Poirot cuma menggeleng tanpa memberi


komentar.
Hotel Coniston ternyata sebuah hotel yang
kurang menarik di bilangan stasiun Euston.
Poirot, dengan kartu pengenalnya dan dengan
gayanya yang sok penting, dengan cepat bisa
menerobos ke kantor direkturnya.

Faktanya sangat sederhana.

Nyonya Peters, begitu katanya, dan dua


anaknya tiba kurang lebih jam dua belas tiga
puluh. Mereka bersantap siang pada jam satu.

Pada jam empat, datang seorang lelaki


membawa surat untuk Nyonya Peters. Surat itu
diantarkan ke kamarnya. Tak lama kemudian
Nyonya Peters turun bersama kedua anaknya
dengan membawa sebuah koper. Anak-anaknya
kemudian pergi dengan tamu pria tadi. Nyonya
Peters lalu pergi ke kantor tata usaha. Dia
mengatakan, bahwa dia cuma perlu satu kamar
saja.
Nampaknya Nyonya Peters biasa-biasa saja -
tidak gelisah atau kebingungan sama sekali;
orang malah melihatnya sebagai seorang wanita
yang berpembawaan tenang dan berwibawa.
Nyonya Peters turun makan malam pada jam
tujuh tiga puluh dan langsung kembali masuk ke
dalam kamarnya.

Pada waktu pelayan masuk ke kamarnya pagi-


pagi esok harinya, ditemuinya Nyonya Peters
sudah meninggal.

Dokter dipanggil dan menyatakan bahwa


Nyonya Peters sudah beberapa jam lamanya
meninggal. Sebuah gelas kosong ditemukan di
atas meja di samping tempat tidurnya. Jelas
sekali, ia minum obat tidur - tanpa sengaja,
melebihi dosis. Hidrat Chloral, begitu kata
dokter yang memeriksanya, mungkin jenis obat
yang diminumnya. Tidak ada tanda-tanda
bahwa Nyonya Peters melakukan bunuh diri.
Tidak ada surat yang ditinggalkan. Waktu orang
berusaha mencari identitas Nyonya Peters
untuk memberi kabar kepada keluarganya,
ditemukan nama dan alamat Nona Lawson pada
secarik kertas dalam tas perempuan itu. Maka
Nona Lawson pun segera diberi kabar melalui
telepon.

Poirot menanyakan kalau-kalau ada surat atau


kertas-kertas penting tertentu diketemukan.
Sebagai contoh, surat yang dibawa tamu pria
yang datang menjemput anak-anaknya.

Tidak ada secarik kertas pun ditemukan, begitu


kata pemilik hotel, tapi kelihatannya ada bekas
kertas dibakar di perapian.

Poirot mengangguk-angguk.

Sejauh yang diketahui orang, Nyonya Peters


tidak menerima tamu, dan tak ada seorang pun
yang berkunjung ke kamarnya, kecuali orang
yang menjemput anak-anaknya.

Kutanyai portir mengenai ciri-ciri laki-laki yang


menjemput kedua anak Nyonya Peters, tapi
kelihatannya dia kurang ingat. Orangnya tidak
terlalu tinggi - kalau tidak salah rambutnya agak
pirang- tubuhnya kekar. Tapi dia yakin laki-laki
itu tidak berjanggut.

"Bukan Tanios," bisikku kepada Poirot.

"Oh, Hasting - kaupikir, setelah susah payah


menghindari suaminya seperti itu, Nyonya
Tanios segampang itu akan menyerahkan anak-
anaknya kepada suaminya?"

"Lalu, siapa orangnya?"


"Jelas dia orang yang dipercaya Nyonya Tanios,
atau orang suruhan orang yang dipercaya
Nyonya Tanios."

"Orangnya tidak terlalu tinggi," ujarku pula.

"Kau tidak perlu merisaukan bagaimana rupa


laki-laki itu, Hastings. Aku yakin laki-laki itu tidak
penting dalam urusan kita. Paling-paling dia
cuma orang suruhan."

"Dan yang menyuruhnya? Orang yang menulis


surat itu?"

"Ya."

"Dan orang itu orang kepercayaan Nyonya


"Kelihatannya."
"Surat itu dibakar oleh Nyonya Tanios." "Atas
permintaan pengirimnya." "Apa yang terjadi
dengan ringkasan peristiwa yang kautuliskan
buatnya?"

Wajah Poirot kelihatan sangat geram. "Dibakar


juga! Tapi biar saja, itu tidak penting." Tidak?"

"Tidak - semuanya sudah ada dalam otak


Hercule Poirot"

Poirot meraih lenganku.

"Ayo kita pergi. Hastings. Kita bukan berurusan


dengan yang sudah mati, tapi dengan yang
masih hidup. Dengan merekalah aku mesti
berurusan."
BAB 29

PEMERIKSAAN LEBIH LANJUT DI PURI HIJAU

Jam sebelas pagi keesokan harinya.

Tujuh orang berkumpul di Puri Hijau. Hercule


Poirot berdiri dekat perapian. Charles dan
Theresa duduk di sofa, Charles pada sandaran
tangan sofa itu sementara sebelah tangannya
merangkul bahu Theresa. Dokter Tanios duduk
di kursi goyang. Matanya masih nampak merah
dan sembab. Pada pergelangan tangannya
melingkar ban hitam.
Pada sebuah kursi tegak yang terletak dekat
meja bulat, duduk pemilik rumah. Nona Lawson.
Mata perempuan itu pun nampak merah.
Rambutnya lebih kusut dan arak-arakan
daripada biasanya. Dokter Donaldson duduk
tepat menghadap kepada Poirot. Wajahnya
tidak menunjukkan perasaan tertentu.

Semangatku tumbuh sementara kupandang


wajah mereka berganti-ganti.

Sejak kukenal Poirot, telah beberapa kali aku


menemaninya dalam acara semacam itu -
dikelilingi oleh sekelompok orang yang masing-
masing nampak tenang dan berwibawa dari
luar. Telah kusaksikan pula bagaimana Poirot
biasanya membuka kedok mereka satu per satu
- menunjukkan apa yang terdapat di balik kedok
itu, wajah seorang pembunuh!
Ya, aku tak ragu lagi. Seorang dari ketujuh orang
yang kami hadapi ttu pasti pembunuh. Tapi
yang mana? Sampai sekarang aku masih
bingung.

Poirot berdehem - dengan congkak, seperti


biasanya. Lalu ia pun mulai berbicara.

"Kita semuanya berkumpul di sini, Ibu-ibu dan


Bapak-bapak sekalian, untuk
mempertanggungjawabkan kematian Nona
Emily Arundell pada tanggal satu Mei yang lalu.
Ada empat kemungkinan: Beliau meninggal
secara wajar -Beliau meninggal akibat suatu
kecelakaan - Beliau meninggal karena bunuh diri
atau, bisa juga Beliau meninggal akibat
perbuatan orang, seseorang yang mungkin
dikenal atau tidak dikenal.

"Pada waktu Beliau meninggal, tidak dilakukan


suatu pemeriksaan pun - karena semua orang
menganggap Beliau meninggal secara wajar. Hal
ini ditunjang pula oleh surat pernyataan Dokter
Grainger mengenai penyebab kematian Beliau.

"Dalam hal terjadi keragu-raguan mengenai


sebab musabab kematian seseorang setelah
orang yang bersangkutan dimakamkan,
biasanya dilakukan penggalian makamnya dan
pemeriksaan terhadap jenazahnya. Meskipun
begitu, ada beberapa alasan yang mencegah
saya meminta hal tersebut dilaksanakan atas
diri Nona Emily Arundell. Alasan yang paling
penting ialah, karena saya tahu klien saya tidak
akan menyukai cara itu."

Dokter Donaldson menyela Katanya,

"Klien Anda?"

Poirot berpaling kepadanya "Klien saya adalah


Nona Emily Arundell. Saya bertindak atas
permintaannya. Beliau menegaskan, bahwa
Beliau tidak menghendaki adanya skandal."

Kulompati saja apa yang dibicarakan Poirot


selama sepuluh menit pertama, karena itu
merupakan ulangan dari yang sudah kita
ketahui. Poirot mcnceriterakan mengenai surat
yang diterimanya, menunjukkan surat itu, dan
membacakan isinya keras-keras- Ia
menceriterakan pula langkah-langkah yang
diambilnya pada waktu datang ke Market
Basing serta menjelaskan setiap penemuannya
yang berhubungan dengan kecelakaan Nona
Arundell.

Kemudian ia berhenti, berdehem sekali lagi, dan


melanjutkan ceriteranya,

"Sekarang saya akan mengajak Anda sekalian


menelusuri kembali jalan yang telah saya
tempuh dalam mencari kebenarannya. Saya
akan menunjukkan rekonstruksi dari setiap
fakta dalam kasus ini, yang saya sangat yakin
akan kebenarannya.

"Pertama-tama, perlu kiranya kita bayangkan


sejelas-jelasnya apa yang terlintas dalam pikiran
Nona Arundell. Itu, saya pikir, cukup mudah. Dia
jatuh, penyebabnya diduga orang bola mainan
Bob, tapi dia sendiri tahu bukan itu
penyebabnya. Sementara berbaring di tempat
tidur setelah mengalami kecelakaan itu, otak
Nona Arundell yang giat dan cerdik itu tidak
henti-hentinya berpikir - memikirkan apa yang
baru dialaminya itu. Beliau akhirnya sampai
pada suatu kesimpulan: ada orang yang sengaja
berbuat sesuatu untuk mencelakakannya -atau,
bahkan membunuhnya.

"Berdasarkan kesimpulan itu, Nona Arundell


mulai berpikir: siapa orangnya. Ada tujuh orang
yang tinggal dalam rumahnya pada waktu
kecelakaan itu terjadi: empat tamu, seorang
pelayan pribadinya, dan dua orang pembantu
rumah tangga. Dari ketujuh orang ini, cuma
seorang yang secara logis dapat dibebaskan dari
tuduhan. Hal ini disebabkan karena orang yang
satu ini tidak akan memperoleh keuntungan
*pa-apa dari kematiannya. Beliau juga tidak bisa
sungguh-sungguh mencurigai kedua pembantu
rumah tangganya, karena mereka itu sudah
bertahun-tahun mengabdi dengan setia. Karena
itu, tinggal empat orang yang bisa dicurigai -
tiga orang keluarganya sendiri, dan yang
seorang lagi berhubungan keluarga akibat
perkawinan. Masing-masing dari keempat orang
itu akan mendapat keuntungan, atau tepatnya,
warisan bila Nona Arundell meninggal - tiga
orang mendapatkannya secara langsung, dan
seorang secara tidak langsung.

"Nona Arundell merasa dirinya ada pada posisi


yang sulit. Di satu pihak Beliau dikenal sebagai
seorang wanita yang sangat kuat rasa
kekeluargaannya dan tidak mau jika keburukan
keluarganya diketahui oleh orang lain. Di lain
pihak, Beliau tidak mau tinggal diam dan
menyerah begitu saja atas usaha pembunuhan
yang telah dilakukan terhadap dirinya!

"Akhirnya Nona Arundell membuat suatu kepu-


tusan. Beliau menulis surat kepada saya. Bukan
itu saja. Beliau juga mengambil langkah lebih
jauh lagi. Langkah ini diambilnya karena
terdorong oleh dua motif. Pertama,
kecurigaannya menimbulkan rasa benci
terhadap keluarganya, dan Beliau ingin
menghukum mereka. Kedua, Beliau ingin
melindungi diri sendiri. Seperti kita sekalian
ketahui, Beliau menulis surat kepada
pengacaranya, Tuan Purvis - memintanya
menulis surat wasiat baru yang isinya pada
dasarnya menjatuhkan seluruh kekayaannya
kepada satu-satunya orang yang pada pikiran
Nona Arundell sama sekali tidak punya andil
dalam usaha pembunuhan itu.
"Melihat isi surat yang ditulisnya kepada saya,
dan juga melihat tindakan-tindakannya, saya
merasa yakin bahwa Nona Arundell tidak lagi
mencurigai keempat orang yang semula
dicurigainya, melainkan seorang saja di antara
mereka Nada suratnya sangat menekankan
bahwa masalah ini harus sangat dirahasiakan
karena menyangkut kehormatan keluarga.

"Saya pikir, Nona Arundell yang masih


berpikiran seperti orang-orang zaman Victoria
itu mencurigai seseorang yang menyandang
nama keluarga - dan besar kemungkinan, yang
dicurigainya itu seorang pria.

"Seandainya Nyonya Tanios yang dicurigainya,


saya yakin Beliau juga akan menekankan agar
masalahnya dirahasiakan. Walaupun begitu,
permintaannya itu tidak akan seserius
permintaannya untuk melindungi nama baik
orang yang betul-betul dicurigainya. Nyonya
Tanios, bagaimanapun, tidak menyandang nama
keluarga. Begitu pula dengan Theresa.

"Charles merupakan seorang Arundell. ia


merupakan penerus keluarga Arundell! Alasan
Beliau mencurigai Charles sangat jelas. Pertama,
karena Beliau sangat mengenal dan mengakui
kekurangan-kekurangan pada diri Charles.
Pernah Charles hampir menodai nama keluarga.
Itu sebabnya Nona Arundell bukan saja
berpendapat bahwa Charles patut dicurigai,
melainkan menganggapnya mampu berbuat
kejahatan. Charles pernah memalsukan tanda
tangannya pada sebuah cek - dan baginya, kalau
Charles bisa melakukan kejahatan macam itu,
maka tidak mustahil bila ia pun bisa melakukan
kejahatan yang sedikit lebih serius, membunuh,
misalnya.

"Sebagai tambahan, pernah terjadi suatu


percakapan di antara Nona Arundell dan Charles
yang bisa memperkuat keyakinannya. Dalam
percakapan yang terjadi dua hari sebelum
kecelakaan itu, Charles meminta uang kepada
bibinya dan ditolak. Charles kemudian memberi
komentar, dengan cukup halus, yang pada
dasarnya menyatakan bahwa sikap bibinya yang
begitu menantang orang untuk membunuhnya.
Nona Arundell menanggapi dengan mengatakan
bahwa Beliau cukup bisa menjaga diri! Menurut
informasi yang saya dapat, Charles menimpali
tanggapan bibinya itu dengan mengatakan,
Jangan kelewat yakin.' - dan, dua hari
kemudian, terjadilah kecelakaan yang
mengerikan itu.

"Tidak perlu kiranya dipertanyakan lagi


bagaimana jalan pikiran Nona Arundell
sementara ia berbaring bingung dan gelisah
memikirkan siapa yang berusaha menghabisi
nyawanya itu. Nona Arundell mengambil
kesimpulan bahwa Charles-lah yang
merencanakan semuanya itu.
"Urut-urutan kejadiannya cukup jelas.
Percakapannya dengan Charles. Kecelakaannya.
Surat yang ditulisnya kepada saya dalam
keadaan resah. Suratnya kepada Tuan Purvis.
Pada hari Selasa minggu berikutnya, tepatnya
pada tanggal dua puluh satu April, Tuan Purvis
datang membawa surat wasiat baru yang siap
untuk ditandatangani oleh Nona Arundell.

"Charles dan Theresa datang menjenguknya


pada akhir pekan berikutnya, dan Nona Arundell
pun segera mengambil langkah-langkah yang
dirasanya perlu untuk melindungi diri. Nona
Arundell mengatakan kepada Charles, bahwa
Beliau telah membuat surat wasiat baru. Bukan
cuma mengatakan, Beliau malah menunjukkan
surat wasiatnya yang baru kepada Charles! Pada
pikiran saya, maksudnya sangat jelas. Nona
Arundell ingin menjalakan kepada si calon
pembunuhnya bahwa dengan membunuhnya ia
tidak akan memperoleh apa pun!
"Mungkin Nona Arundell mengira bahwa
Charles otomatis akan menceriterakan hal itu
kepada adiknya. Tetapi, ternyata tidak.
Mengapa? Saya pikir, Charles punya alasan yang
cukup bisa diterima - dia merasa bersalah!
Charles merasa bahwa akibat perbuatannyalah
maka bibinya mengubah surat wasiat itu Tapi,
mengapa dia merasa bersalah? Apakah karena
dia memang yang telah mencoba membunuh
bibinya? Atau cuma karena dia merasa bersalah
telah mencuri sedikit uang? Yang jelas, salah
satu dari kedua alasan tadi membuatnya
merasa tidak enak. Dia tidak memberi komentar
apa-apa kepada bibinya, dan cuma berharap,
bahwa pada suatu hari nanti bibinya akan
mengubah pikirannya dan mengganti lagi surat
wasiatnya.

"Mengenai jalan pikiran Nona Arundell, saya


rasa saya telah merekonstruksikannya dengan
cukup jelas dan benar. Itulah sebabnya, langkah
selanjutnya yang harus saya ambil adalah
menyelidiki apakah kecurigaan Nona Arundell
itu pada kenyataannya memang beralasan.

"Seperti Beliau, saya pun sadar hahwa


kecurigaan saya cuma terbatas kepada tujuh
orang saja. Charles dan Theresa Arundell.
Dokter dan Nyonya Tanios, serta kedua
pembantu rumah tangga dan Nona Lawson. Ada
orang kedelapan yang juga saya pertimbangkan
- namanya, Dokter Donaldson.

Dokter Donaldson datang bersantap malam di


Puri Hijau pada malam terjadinya kecelakaan
itu. Tapi. ini baru saya ketahui belakangan.

"Ketujuh orang yang saya curigai ini dengan


mudah dapat dibagi menjadi dua kategori.
Enam di antaranya - sedikit atau banyak - akan
mendapat keuntungan dari kematian Nona
Arundell. Bila salah seorang di antara mereka
yang melakukan kejahatan, maka dapat
dipastikan motifnya adalah warisan. Dalam
kategori yang kedua cuma ada satu orang saja,
yaitu Nona lawson Nona Lawson sama sekali
tidak akan memperoleh keuntungan bila Nona
Arundell meninggal pada kecelakaan itu, tetapi,
akibat kecelakaan itu, ia mendapat keuntungan
yang sangat banyak di kemudian hari.

"Artinya, kalau Nona Lawson yang


merencanakan kecelakaan itu..."

"Saya tidak pernah berbuat seperti itu!" sela


Nona Lawson. "Sangat memalukan! Berdiri di
depan situ dan mengatakan begitu!"

"Bersabarlah sedikit. Mademoiselle. Dan saya


mohon, jangan menvela-nvela lagi." kata Poirot.

Nona Lawson menghempaskan kepalanya pada


sandaran kursi dengan marahnya.
"Saya tetap akan memprotes! Memalukan! Ya -
fitnahan itu sangat memalukan!"

Tanpa mempedulikan protesnya, Poirot


melanjutkan pidatonya,

"Yang sedang saya ucapkan tadi ialah, bahwa


bila Nona Lawson yang merencanakan
kecelakaan itu. maka perbuatannya itu didasari
oleh alasan yang lain - yaitu, ia berusaha
menciptakan situasi sedemikian rupa supaya
Nona Arundell mencurigai keluarganya dan
memusuhi mereka. Itu merupakan suatu
kemungkinan!

Saya menyelidiki kebenaran atau kemustahilan


kemungkinan itu, dan saya berhasil
mendapatkan suatu fakta yang pasti. Kalau
Nona Lawson memang mempunyai keinginan
supaya Nona Arundell mencurigai keluarganya,
dia akan menekankan fakta bahwa Bob malam
itu tidak ada di rumah. Tetapi sebaliknya, Nona
Lawson berusaha keras supaya Nona Arundell
tidak mengetahui fakta ini. Berdasarkan hal itu,
saya mengambil kesimpulan bahwa Nona
Lawson tidak bersalah."

Nona Lawson herkata tajam,

"Nah, begitu dong!"

"Selanjutnya yang saya pikirkan adalah masalah


Kematian Nona Arundell. Bila orang mencoba
membunuh seseorang dan gagal, biasanya ia
akan mencoba lagi. Dan pada pikiran saya,
jangka waktu dua minggu itu cukup masuk akal.
Karena itu saya memulai penyelidikan saya.

"Dokter Grainger rupanya tidak melihat adanya


keanehan dalam kematian pasiennya.
Pendapatnya ini tentu saja berlawanan dengan
teori saya. Tetapi, setelah bertanya kepada
beberapa orang mengenai peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada malam terakhir sebelum
Beliau sakit, saya menemukan suatu fakta yang
cukup berarti. Nona Julia Tripp menyebutkan
bahwa ia melihat ada semacam lingkaran kabut
bercahaya di sekeliling kepala Nona Arundell.
Pernyataan ini didukung oleh saudaranya, Nona
Isabel Tripp. Kedua Nona Tripp itu tentu saja
menghubungkan fenomena tadi sesuai dengan
keyakinan mereka, yaitu dengan hal-hal yang
sifatnya magis. Pada waktu saya menanyai Nona
Lawson, saya juga mendapat informasi yang
sangat menarik. Nona Lawson menyatakan
bahwa dia melihat ada semacam kepulan asap
bercahaya yang bentuknya seperti pita keluar
dari mulut Nona Arundell dan kemudian
membentuk lingkaran di sekeliling kepalanya.

"Bagi saya menjadi jelas, bahwa walaupun


diungkapkan secara sedikit berbeda, tapi
kenyataannya memang ada dan sama. Lepas
dari pemikiran kaum spiritualis, yang terjadi itu
adalah sebagai berikut. Pada malam yang
dimaksud, napas Nona Arundell mengandung
fosfor!

Dokter Donaldson bergerak.

Poirot mengangguk kepadanya.

"Nah, rupanya Anda mulai mengerti sekarang.


Bahan yang mengandung zat fosfor dalam dosis
yang tinggi tidak banyak terdapat. Tapi, yang
pertama-tama saya temui dan kelihatannya
cukup banyak dipakai betul-betul merupakan
bahan yang memang sedang saya cari-cari. Akan
saya bacakan kepada Anda sekalian cuplikan
sebuah artikel mengenai keracunan zat ini.

"Sebelum korban merasakan pengaruh


racunnya, mula-mula napasnya akan
mengandung fosfor. Nah, itulah yang disaksikan
oleh Nona Lawson serta kedua kakak beradik
Tripp di ruang gelap tempat mereka duduk-
duduk bersama Nona Arundell. Yang mereka
lihat itu tidak lain adalah napas Nona Arundell
yang sudah mengandung fosfor. Selanjutnya,
artikel itu menyebutkan sebagai berikut: Gejala
yang muncul kemudian dapat disamakan
dengan gejala-gejala umum yang biasa
ditemukan pada penderita penyakit kuning.
Racun fosfor merambat dan mempengaruhi
jaringan-jaringan darah pada tubuh si korban.
Pengaruhnya terhadap darah sama dengan
pengaruh yang ditimbulkan oleh kerusakan
pada hati penderita sakit kuning.

"Cerdik sekali, bukan? Kita semua tahu bahwa


Nona Arundell telah bertahun-tahun mengidap
penyakit lever, dan bahwa telah beberapa kali
penyakitnya itu kambuh dengan gejala seperti
yang baru saja saya sebutkan. Gejala keracunan
fosfor pada dirinya cuma akan kelihatan seperti
kambuhnya penyakit lama itu. Tidak ada yang
baru, dan tidak akan menimbulkan kecurigaan
apa pun.
"Perencanaannya memang sangat sempurna!
Mencari fosfor bukan pekerjaan yang terlalu
sulit. Di samping itu, sedikit saja sudah bisa
mematikan. Dalam obat-obatan, biasanya unsur
fosfor tidak melebihi seperseribu sampai
seperlimaratus gram.

"Voila. Pandai dan sangat mengagumkan.


Dokter Grainger jelas-jelas tertipu. Itu bisa
dimaafkan karena saya kebetulan tahu, bahwa
indera penciuman dokter tua itu sudah rusak.
Jadi, bau tajam yang dikeluarkan oleh napas
pasiennya - ini merupakan salah satu gejala jelas
keracunan fosfor - tidak mungkin tercium oleh
dokter itu. Di samping itu Dokter Grainger
memang tidak menaruh curiga sama sekali. Ini
bisa dimengerti, sebab memang dia tidak
menemukan gejala yang mencurigakan pada diri
pasiennya. Satu-satunya gejala yang terlihat
tidak dilihatnya sendiri. Dan, seandainya ia
mendengar mengenai gejala ini pun, besar
kemungkinan dia akan menganggapnya sebagai
omong kosong penganut aliran spiritual.

"Berdasarkan kesaksian Nona Lawson dan


kedua kakak beradik Tripp tadi, yakinlah saya,
bahwa kematian Nona Arundell bukan kematian
wajar melainkan hasil pembunuhan.
Pertanyaannya ialah: siapa pelakunya? Saya
tidak mencurigai pembantu rumah tangga,
karena saya tahu pemikiran mereka tidak akan
serumit itu. Begitu pula halnya dengan Nona
Lawson. Seandainya Nona Lawson yang
meracuni Nona Arundell, ia tidak akan
mencerite-rakan tentang asap yang keluar dari
mulut Nona Arundell. Charles pun saya buang
dari kemungkinan ini. Charles telah melihat
surat wasiat yang baru dibuat bibinya, dan ia
tahu kematian bibinya tidak akan memberinya
keuntungan apa pun.

"Sisanya tinggal Theresa, Dokter Tanios, Nyonya


Tanios, dan Dokter Donaldson. Dokter
Donaldson saya masukkan dalam pertimbangan
saya. karena belakangan saya tahu bahwa ia
datang bersantap malam di Puri Hijau pada
malam terjadinya kecelakaan Nona Arundell.

"Sampai di sini, saya merasa tidak banyak lagi


kenyataan yang bisa membantu saya. Karena itu
saya mulai menyandarkan pemikiran saya pada
psikologi kejahatannya dan kepribadian
pembunuhnya! Secara kasar kedua kejahatan
yang dilakukan terhadap diri Nona Arundell itu
mempunyai garis besar yang sama: sederhana!
Keduanya hasil pemikiran licik, dan dilaksanakan
dengan sangat efisien. Untuk melaksanakan ini
diperlukan sejumlah pengetahuan tertentu,
tetapi tidak banyak. Hal-hal yang berhubungan
dengan keracunan fosfor mudah dipelajari. Di
samping itu, zat kimia itu sendiri tidak terlalu
sulit didapat, lebih-lebih di luar negeri.

"Kecurigaan saya mula-mula tertuju kepada dua


pria yang mungkin melakukannya. Mereka
sama-sama merupakan dokter yang pandai.
Tidak mustahil kalau satu di antara mereka
berpikir bahwa fosfor merupakan racun yang
paling tepat digunakan dalam kasus ini. Tetapi,
kemudian terpikir oleh saya, bahwa tidak
mungkin percobaan pembunuhan yang pertama
itu hasil pemikiran seorang pria. Pada pikiran
saya, kecelakaan yang diduga disebabkan oleh
bola Bob itu pasti hasil pemikiran seorang
wanita.

"Kecurigaan saya berpindah, mula-mula kepada


Theresa Arundell. Theresa mempunyai sifat-
sifat tertentu yang potensial. Keras, kasar,
kurang berperasaan. Di samping itu,
kehidupannya selama ini tamak dan egois. Ia
selalu mendapat apa yang diingininya, dan pada
saat ini ia sudah mencapai suatu titik di mana ia
sangat membutuhkan uang -untuk dirinya
sendiri, dan juga untuk kepentingan kekasihnya.
Lain daripada itu, dari sikapnya dapat diambil
kesimpulan bahwa ia tahu bibinya dibunuh.
"Antara dia dan kakaknya terjadi perselisihan
kecil yang sangat menarik perhatian saya. Saya
mendapat kesan bahwa mereka saling
mencurigai. Charles setengah memaksanya
untuk mengatakan, bahwa ia tahu mengenai
surat wasiat baru yang dibuat bibinya.
Mengapa? Jelas kalau Theresa mengetahui
adanya surat wasiat baru itu, ia tidak akan
dicurigai sebagai pembunuh. Sebaliknya,
Theresa tidak percaya akan pernyataan
kakaknya bahwa Nona Arundell menunjukkan
surat wasiat baru itu kepadanya. Theresa
menganggap pernyataan kakaknya itu sebagai
usaha yang janggal untuk membebaskan dirinya
sendiri dari kecurigaan.

"Ada satu hal lagi yang cukup penting. Charles


menunjukkan keengganan menggunakan kata
'arsenik'. Belakangan baru saya tahu, bahwa ia
pernah menanyakan kekuatan obat pembasmi
semak-semak pada tukang kebun tua di Puri
Hijau. Apa yang dipikirkan Charles jelas
terlihat."
Charles menggeserkan duduknya sedikit.

"Saya memang pernah memikirkan itu,"


ujarnya. "Tapi - yah, saya merasa takut." Poirot
mengangguk.

"Tepat, itu memang bukan ciri psikologi Anda.


Kalau Anda melakukan kejahatan, kejahatan itu
pasti sifatnya lemah. Mencuri, memalsu - ya,
yang mudah-mudah semacam itulah! Tapi
membunuh -tidak.' Untuk membunuh,
seseorang perlu pikiran yang bisa dibakar oleh
ide tertentu."

Poirot kembali pada posisinya sebagai pemberi


ceramah.

"Menurut pendapat saya. Theresa Arundell


punya cukup kekuatan untuk melaksanakan
kejahatan semacam itu. tetapi ada beberapa hal
yang patut dipertiimbangkan. Theresa belum
pernah dikekang - hidupnya selalu bebas dan
egois. Tapi tipe orangnya bukan tipe orangyang
bisa membunuh - kecuali, mungkin dalam
keadaan sangat marah. Walaupun begitu, saya
merasa yakin - Theresa-lah yang mencuri obat
pembasmi semak dari kalengnya."

Tiba-tiba Theresa berkata,

"Saya akan menceriterakannya secara jujur. Itu


memang terlintas dalam pikiran saya. Dan saya
memang mengambil sedikit obat pembasmi
semak itu dari sebuah kaleng di kebun Puri
Hijau. Tetapi saya tak sampai hati buat
melakukannya! Saya begitu senang hidup -
bersyukur bahwa saya diberi hidup - dan saya
merasa tidak tega melakukan hal itu kepada
orang lain - mengambil hidup orang lain.... Saya
memang jelek dan egois, tapi ada hal-hal
tertentu yang tidak bisa saya lakukan! Saya
tidak tega membunuh orang yang jelas-jelas
masih hidup, masih bernapas!"

Poirot mengangguk. "Yang Anda katakan


memang benar. Mademoiselle. Dan Anda
sebetulnya tidak sejelek yang Anda gambarkan.
Anda cuma muda - dan sembrono."

Kemudian lanjutnya,

"Satu-satunya yang tertinggal adalah Nyonya


Tanios Begitu bertemu dengannya, saya sadar
bahwa ia ketakutan. Ia tahu bahwa saya
menyadari hal itu, dan dengan cepat
menggunakan kesempatan itu. Ia memberikan
gambaran yang begitu meyakin kan tentang
dirinya sendiri sebagai seorang wanita yang
takut pada suaminya. Tak lama kemudian ia
mengubah taktiknya. Ini dilakukannya dengan
teramat cermat - tapi toh perubahannya tak
lepas dan pengamatan saya. Seorang wanita
bisa merasa takut untuk suaminya, dan bisa
juga takut pada suaminya tapi yang jelas, tidak
kedua-duanya sekaligus. Nyonya Tanios
memutuskan untuk berperan sebagai yang
kedua, dan ia memerankannya dengan bagus
sekali - bahkan sampai berlari mengejar saya ke
lobby hotel berpura-pura hendak mengatakan
sesuatu. Ketika suaminya keluar mencarinya -
kemungkinan ini sudah diperhitungkannya - ia
berpura-pura tidak dapat berbicara di hadapan
suaminya.

"Segera saya menjadi sadar, bahwa ia bukan


takut pada suaminya melainkan membenci
suaminya. Dan segera pula saya merasa yakin,
bahwa inilah sifat yang saya cari-cari. ia bukan
seorang wanita yang selalu memanjakan dirinya
sendiri, melainkan seorang wanita yang
terkekang. Seorang gadis sederhana, tidak bisa
menarik perhatian lelaki yang diingininya, dan
akhirnya menerima seorang pria yang tidak
dicintainya cuma karena takut menjadi perawan
tua. Saya bisa menelusuri kembali
ketidakpuasan dalam hidupnya yang makin hari
makin dirasakannya. Kehidupan di Smyrna
mengasingkannya dari segala yang dicintainya
dalam hidupnya. Kemudian lahirlah anak-
anaknya, dan ia pun melekatkan hidupnya pada
mereka.

"Suaminya sangat setia kepadanya, tetapi ia


diam-diam jadi semakin membencinya.
Suaminya pernah menggunakan uangnya untuk
berspekulasi, dan uangnya tidak pernah kembali
- itu merupakan salah satu penyebab perasaan
dendamnya.

"Cuma ada satu hal yang menjadi titik terang


dalam hidupnya yang merana itu: harapannya
akan kematian bibi Emilynya. Dengan kematian
bibinya ia akan memperoleh uang, kebebasan,
biaya untuk pendidikan anak-anaknya - seperti
yang selama ini menjadi cita-citanya. Ada satu
hal yang patut diingat, baginya pendidikan
merupakan hal yang sangat penting: dia puteri
seorang profesor.

"Ada kemungkinan dia sudah merencanakan


kejahatan yang akan dilakukannya, paling tidak
sudah punya bayangan - sebelum ia datang di
Inggris. Dia mempunyai pengetahuan yang
cukup dalam bidang kimia, karena dulunya ia
banyak menghabiskan waktunya membantu
ayahnya di laboratorium. Ia tahu penyakit yang
diderita Nona Arundell, dan sadar bahwa fosfor
merupakan zat paling ideal untuk
merealisasikan rencananya.

"Tapi, ketika sampai di Puri Hijau, cara yang


lebih sederhana terpikir olehnya. Bola Bob -
seutas tali atau benang direntang di tangga. Ini
adalah ide sederhana yang bisa terpikir oleh
seorang perempuan yang bodoh sekalipun.
"Dia mencoba - tapi gagal Saya pikir, ia tidak
sadar bahwa Nona Arundell sesungguhnya tahu
penyebab kecelakaannya. Bagaimanapun,
kecurigaan Nona Arundell tertuju pada Charles
seorang. Dan karenanya, saya pikir, sikap Nona
Arundell terhadap Bella tidak berubah. Diam-
diam, dan dengan tekad yang bulat, perempuan
pendiam yang tidak bahagia dan ambisius itu
melaksanakan apa yang semula telah
direncanakannya.-Ia menemukan media yang
cocok sekali untuk racunnya, yaitu sejenis
kapsul yang selalu diminum oleh Nona Arundell
selelah makan. Membuka kapsul, memasukkan
fosfor ke dalamnya, dan menutup kapsul itu
kembali -merupakan permainan anak kecil.
Kapsul tadi dikembalikannya ke dalam botolnya.
Cepat atau lambat Nona Arundell pasti akan
meminumnya. Orang tidak mungkin mengira
Nona Arundell keracunan. Seandainya toh
terbukti bahwa Nona Arundell keracunan, ia
sendiri sudah tidak ada di dekat-dekat Market
Basing.
"Meskipun begitu, ia masih mengambil langkah
bual berjaga-jaga Dengan memalsu tanda
tangan suaminya pada lembaran resep, ia
membeli hidrat chloral di apotek. Maksudnya
tidak saya ragukan lagi - untuk disimpan dan
digunakan bila suatu ketidakberesan terjadi.

"Seperti telah saya katakan tadi, saya yakin


sejak saat pertama bertemu dengannya, bahwa
Nyonya Tanios adalah orang yang saya cari-cari -
tapi saya sama sekali tidak mempunyai - bukti.
Karena itu, saya harus berhati-hati sekali. Saya
kualir Nyonya Tanios akan memakan korban lagi
bila tahu bahwa saya mencurigainya. Lebih
lanjut, saya sudah bisa membayangkan siapa
korban berikut yang diincarnya. Ia ingin
membebaskan hidupnya dari suaminya.

"Pembunuhan yang telah dilakukannya ternyata


tidak membawa hasil yang diharapkannya, uang
yang diidam-idamkannya semuanya jatuh ke
tangan Nona Lawson! Itu merupakan pukulan
buatnya, tetapi ia tidak habis akal. ia mulai
mempengaruhi perasaan Nona Lawson dengan
cara yang begitu pandai supaya Nona Lawson
semakin merasa tidak enak."

Tiba-tiba terdengar tangis terisak-isak. Nona


Lawson mengeluarkan saputangannya dan
menangis tersedu-sedu.

Jahat," isaknya. "Saya jahat! Sangat jahat. Oh,


saya pernah merasa begitu kepingin tahu
mengenai surat wasiat itu - maksud saya,
mengapa Nona Arundell menulis surat wasiat
baru. Pada suatu hari, ketika Nona Arundell
sedang mengaso, saya mencoba-coba membuka
laci meja tulisnya. Pada waktu itu saya tahu
bahwa ia mewariskan semua kekayaannya
kepada saya! Saya tidak pernah membayangkan
akan menerima warisan sebegitu banyak.
Beberapa ribu saja - itu yang saya bayangkan.
Saya jadi berpikir - mengapa tidak? Toh
keluarganya tidak ada yang sayang kepadanya!
Tetapi kemudian, pada waktu ia sakit keras, ia
menanyakan surat wasiatnya. Saya tahu - dia
bermaksud menyobek surat wasiat itu.... Di situ
kejahatan saya timbul. Saya katakan kepadanya,
bahwa surat itu sudah dikembalikan kepada
pengacaranya, Tuan Purvis. Saya tahu dia
orangnya Sangat pelupa. Dia tidak ingat lagi
apa-apa yang pernah dilakukannya. Dan, dia
percaya pada kata-kata saya. Dia menyuruh
saya menulis kepada Tuan Purvis, meminta
kembali surat wasiat itu, dan saya bilang ya.

"Oh, Tuhan... tapi dia semakin gawat sakitnya,


dan tidak bisa berpikir lagi. Lalu dia meninggal.
Dan. ketika surat wasiat itu dibacakan, saya
merasa bersalah. Tiga ratus tujuh puluh lima
ribu pound. Oh. kalau tahu jumlahnya sebanyak
itu, saya tidak akan berbuat jahat. Saya pikir
uang yang diwariskan Nona Arundell itu cuma
beberapa ribu saja. Sungguh -kalau tahu
sebanyak itu, saya tidak akan membohongi
Nona Arundell.
"Saya merasa saya telah merampas uang
sebanyak itu, dan saya tidak tahu apa yang
mesti saya lakukan dengan uang sebanyak itu.
Waktu Bella dalang ke tempat saya, saya
katakan kepadanya, bahwa dia akan saya beri
separuh dari uang yang saya terima itu. Pada
waktu itu saya merasa yakin, bahwa dengan
begitu saya bisa merasa gembira lagi dan bebas
dari perasaan bersalah."

"Betul, bukan? Nyonya Tanios berhasil


mencapai sasarannya," sambung Poirot. "Itu
sebabnya ia menentang keinginan sepupu-
sepupunya untuk memperkarakan surat wasiat
itu. Dia sudah punya rencana sendiri, dan yang
jelas-jelas tak mau dilakukannya adalah
menyerang Nona lawson. ia berpura-pura
bahwa ia perlu merundingkannya dulu dengan
suaminya, tapi sama sekali tidak
menyembunyikan pendapatnya pribadi.
"Pada waktu itu ada dua hal yang menjadi
tujuannya: memisahkan diri bersama kedua
anaknya dari suaminya, dan menerima bagian
uang yang dijanjikan oleh Nona lawson. Setelah
itu ia akan menjadi seperti yang dicita-
citakannya-hidup kaya dan tenang di Inggris
bersama anak-anaknya.

"Lama-kelamaan ia tidak bisa menyembunyikan


rasa bencinya terhadap suaminya. Tentu saja
suaminya merasa sangat bingung dan sedih. Ia
tidak bisa mengerti mengapa isterinya jadi
bertingkah laku begitu. Padahal sebenarnya
tingkah lakunya itu logis. Dia sengaja bertingkah
laku seperti orang yang menderita semacam
kelainan jiwa - orang yang selalu dibayangi oleh
perasaan takut. Ia sadar, bahwa saya
mencurigai kematian Nona Arundell bukan
kematian wajar melainkan suatu pembunuhan.
Dan ia berusaha meyakinkan diri saya, bahwa
suaminyalah yang melakukan pembunuhan itu.
Sementara itu saya sadar, bahwa setiap saat
bisa terjadi pembunuhan yang kedua. Saya
yakin itu sudah direncanakannya. Saya tahu
bahwa ia menyimpan chloral dengan dosis
berlebih. Saya kuatir ia akan memproklamirkan
bahwa suaminya bunuh diri.

"Tapi, saya lelap belum punya bukti untuk


mempermasalahkannya! Ketika saya sudah
hampir putus asa, saya menemukan sesuatu!
Nona Lawson menceriterakan bahwa dia
melihat Theresa Arundell berlutut di tangga
pada hari Senin malam setelah Paskah.
Berdasarkan pengamatan saya, tidak mungkin
Nona Lawson bisa melihat wajah Theresa
dengan jelas. Meskipun begitu, Nona Lawson
sangat pasti bahwa yang dilihatnya itu Theresa.
Dalam keadaan terpojok oleh pertanyaan-
pertanyaan saya, Nona Lawson teringat akan
sesuatu yang membuatnya merasa pasti bahwa
yang dilihatnya itu Theresa. Perempuan yang
dilihatnya dari cerminnya mengenakan bros
dengan inisial Theresa - T.A.
"Atas permintaan saya, Theresa menunjukkan
bros termaksud kepada saya. Pada waktu itu
Theresa menyangkal bahwa ia pernah
melakukan sesuatu di tangga. Mula-mula, saya
mengira ada orang lain yang meminjam bros itu,
tetapi - ketika saya melihat bros itu di depan
cermin saya segera tahu kebenarannya. Nona
Lawson yang terbangun dengan kaget melihat
seorang wanita mengenakan bros dengan inisial
T.A. dari cermin di kamarnya. Dari situ dia
menyimpulkan bahwa yang dilihatnya itu adalah
Theresa Arundell.

"Tetapi, bila yang dilihat Nona Lawson dicermin-


nya itu inisial T.A. - maka inisial tersebut
sesungguhnya adalah kebalikannya, yakni A.T.
Cermin selalu merefleksikan kebalikan dari yang
sesungguhnya - yang kanan jadi nampak di
sebelah kiri, dan yang kiri jadi nampak di
sebelah kanan.
"Tentu saja ibu Nyonya Tanios bernama
Arabella Arundell. Bella merupakan kependekan
dari nama itu. Jadi, A.T. sebenarnya merupakan
inisial Arabella Tanios. Bahwa Nyonya Tanios
memiliki bros semacam itu, bukanlah
merupakan hal yang aneh. Bros semacam itu
masih merupakan barang eksklusif sekitar hari
Natal tahun lalu. Tapi, menjelang musim semi
tahun ini imitasinya mulai dijual dengan harga
murah. Di samping itu, saya pernah mendengar,
Nyonya Tanios suka meniru model pakaian dan
topi yang dikenakan Theresa dengan biaya yang
tentu saja terbatas.

"Berdasarkan penemuan itu, secara pribadi saya


berpendapat bahwa kasusnya telah terbukti.

"Lalu, apa yang selanjutnya mesti saya lakukan?


Meminta yang berwenang supaya
mengeluarkan surat perintah buat membongkar
kubur Nona Arundell? Saya yakin itu bisa saya
lakukan. Mungkin saya akan bisa membuktikan
bahwa Nona Arundell memang meninggal
karena diracuni dengan fosfor. Tapi saya kurang
yakin bahwa hal itu bisa dibuktikan.
Bagaimanapun, sudah lebih dari dua bulan
Nona Arundell dimakamkan. Di samping itu,
saya dengar dalam beberapa kasus keracunan
fosfor tidak nampak adanya bekas-bekas
tertentu pada jenazah korbannya. Tapi, bisakah
saya membuktikan bahwa Nyonya Tanios
menyimpan atau memiliki fosfor? Saya ragu,
karena besar kemungkinan fosfor itu dibelinya
di luar negeri.

"Pada saat saya bingung memikirkan bagaimana


mendapatkan bukti yang saya perlukan. Nyonya
Tanios mulai bertindak. Ia meninggalkan
suaminya, dan menjatuhkan dirinya pada
rangkulan belas kasihan Nona Lawson. Ia
sekaligus menuduh suaminya sebagai
pembunuh.
"Kalau saya tidak bertindak, saya yakin Dokter
Tanios akan menjadi korban pembunuhan
berikutnya. Saya berusaha memisahkan mereka
satu sama lain dengan alasan demi keselamatan
Nyonya Tanios. Nyonya Tanios tidak bisa
menolak anjuran saya itu. Padahal maksud saya
yang sebenarnya adalah demi keselamatan
suaminya. Dan kemudian -dan kemudian..."

Poirot berhenti - kali ini cukup lama. Wajahnya


nampak sedikit pucat.

"Tapi itu cuma buat sementara. Saya harus


berbuat sesuatu agar si pembunuh tidak
membunuh orang lain lagi. Saya harus
melindungi orang yang tidak bersalah.

"Maka saya pun menuliskan rekonstruksi


kasusnya dan menyerahkan tulisan saya itu
kepada Nyonya Tanios."
Lama Poirot tidak menyambung bicaranya.
Dokter Tanios menjerit,

"Ya, Tuhan... jadi itu sebabnya dia bunuh diri."

Lembut Poirot berkata,

"Bukankah itu jalan yang paling baik? Nyonya


Tanios menganggapnya begitu. Masih ada anak-
anak yang perlu dipikirkan."

Dokter Tanios menutup wajahnya dengan kedua


belah telapak tangannya.

Poirot mendekatinya dan memegangi bahu pria


itu.

"Memang begitu seharusnya Percayalah, itu


memang harus terjadi. Kalau tidak, akan
bertambah jumlah korbannya. Mula-mula Anda
sendiri, lalu -sangat mungkin Nona Lawson juga.
Dan belum tentu ini tidak akan herlanjut lagi."

Dengan suara serak Tanios berkata,

"Pernah dia menvuruh saya - minum obat


tidur... Tapi, saya lihat ada sesuatu pada
wajahnya - saya buang obat itu. Itulah mula-
mulanya saya merasa yakin bahwa pikirannya
tidak..."

"Bila dipikir-pikir, ada benarnya juga dugaan


Anda itu. Tapi bukan dalam arti kala yang
sebenarnya. sebab - sesungguhnya dia tahu apa
arti tindakannya...."

Amat sedih kedengarannya suara Dokter Tanios


waktu ia mengatakan.
"Padahal... dia baik sekali - selalu terasa terlalu
baik buatku."

Kenangan yang aneh akan seseorang yang


mengaku dirinya pembunuh!

BAB 30

PENUTUP

Hampir tidak ada lagi yang mesti kuceriterakan.

Theresa kawin dengan dokter pujaan hatinya


tidak lama setelah peristiwa itu. Mereka
kukenal dengan baik sekarang ini, dan aku mulai
menghargai Donaldson - jalan pikirannya yang
jernih, serta kekuatan dan kemanusiaannya
Memang sikapnya masih kaku seperti dulu,
Theresa sering menirukan sikap kakunya itu
waktu bergurau. Kelihaiannya Theresa sangat
berbahagia, perhatiannya tercurah pada karir
suaminya. Donaldson memang sudah mulai
punya nama dan kedudukan yang terpandang di
kalangannya.

Nona Lawson, karena merasa begitu bersalah,


bersikeras mengembalikan setiap sen yang
pernah diterimanya. Tapi akhirnya, dengan
bantuan Tuan Purvis, dibuatlah suatu surat
persetujuan bersama -warisan Nona Arundell
dibagi sama rata untuk Nona Lawson, Theresa.
Charles, dan kedua anak Tanios.

Bagian Charles sudah habis dalam waktu


setahun lebih sedikit. Pemuda itu saat ini. kalau
tidak salah, berada di British Columbia.
Ada dua insiden yang patut kucatat.

"Anda memang pandai, bukan?" tanya Nona


Peabody ketika kami melangkah ke luar dan
halaman Puri Hijau pada suatu hari. "Bisa
menghentikan segala desas-desus! Tidak jadi
digali kubur Emily, bukan? Semuanya kalian
lakukan dengan sopan."

"Tidak diragukan lagi kematian Nona Arundell


memang disebabkan oleh penyakit kuning
karena levernya kambuh," komentar Poirot
halus.

"Kedengarannya memuaskan," ujar Nona


Peabody pula. "Oh, ya - dengar-dengar Bella
Tanios minum obat tidur kelewat banyak?"

"Ya. Sangat menyedihkan."


"Yah - hidupnya sangat menyedihkan - anak itu -
selalu ingin yang tidak dipunyainya. Orang
sering kali jadi gila kalau menuruti perasaan
seperti itu. Pernah ada pembantu, tukang
masak. Begitu juga. Anaknya sederhana. Sadar
akan kenyataan itu. Ingin terkenal. Mulai
menulis surat kaleng. Masuk rumah sakit gila
akhirnya. Tapi, yah - mungkin itu yang terbaik."

"Orang memang selalu mengharapkan yang


paling baik, Madame."

"Yah," kata Nona Peabody sambil bersiap-siap


hendak meneruskan perjalanannya, "Kuakui,
Anda benar-benar pandai. Bisa menghentikan
desas-desus dengan cara yang begitu bagus,"

Ia pergi.
Kudengar bunyi 'Guk' di belakangku.

Aku berbalik, membukakan pintu.

"Ayo, Bob!"

Bob menerobos ke luar.

"Jangan bawa bob itu ke jalan!"

Bob mengeluh, tapi dengan enggan segera


mendorong bolanya ke dalam pagar. Dipandang
bolanya yang menggelinding, setelah itu ia pun
kembali ke dekatku.

Ia memandangku.
"Kuturuti perintahmu, Tuan." Kutarik napas
panjang.

"Oh, Poirot - senang sekali rasanya punya anjing


lagi."

"Ingat, Kawan," ujar Poirot, "Nona Lawson


menghadiahkan anjing itu kepadaku, bukan
kepadamu."

"Aku tahu." sahutku. "Tapi kau toh kurang suka


anjing, Poirot. Kau tidak mengerti jiwa seekor
anjing! Bob dan aku saling mengerti satu sama
lain. Betul kan, Bob?"

"Guk," sahut Bob penuh semangat.

-End-

Anda mungkin juga menyukai