Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, dan tidak lupa shalawat serta salam kepada nabi kita, Nabi
Muhammad SAW. Makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat. Dan kami harap semoga
makalah ini menambah pengetahuan dan pengalaman ini bagi para pembaca dan kami
menyadari bahwa menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
masih banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini. Untuk kedepannya
dapat memperbaiki isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dan membantu menyusun makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan dan semoga Allah SWT
senantiasa meridoi segala usaha kami, Aamiin.
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu mengerti dan memahami konsep dasar asuhan
keperawatan, penatalaksanaan, dan penanganan klien dengan Multi Trauma.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mahasiswa mengerti dan memahami definisi dari multi trauma.
2. Mahasiswa mengerti dan memahami etiologi multi trauma.
3. Mahasiswa mengerti dan memahami patofisiologi multi trauma.
4. Mahasiswa mengerti dan memahami manifestasi klinis multi trauma.
5. Mahasiswa mengerti dan memahami klasifikasi dari multi trauma.
6. Mahasiswa mengerti dan memahami komplikasi multi trauma.
7. Mahasiswa mengerti dan memahami pemeriksaan multi trauma.
8. Mahasiswa mengerti dan memahami penanganan multi trauma.
9. Mahasiswa mengerti dan memahami askep pada Multi trauma.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Multi Trauma
2.1.1 Definisi
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera definisi
ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera, trauma
juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya trauma adalah
kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif
seseorang. Informasi tentang pola atau mekanisme terjadinya cedera seringkali
akan sangat terbantu dalam mendiagnosa kemungkinan gangguan yang
diakibatkan. Trauma tumpul terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor ( KKB)
dan jatuh, sedangkan trauma tusuk (penetrasi) seringkali diakibatkan oleh luka
tembak atau luka tikam. Umumnya, makin besar kecepatan yang terlibat dalam
suatu kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi, misalnya : KKB
kecelakaan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat yang sangat
tinggi (Hudak,carolyn 1996).
2.1.2 Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka
tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam kategori luka
tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa yang cedera ,dan
bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik terutama cedera pada
trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam , benda tumpul, peluru, ledakan,
panas, maupun zat kimia . Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ.
2.1.3 Patofisiologi
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase :
1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase
ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan
hiperglikemia.
2. Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang
negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini yang terjadi setelah
tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat berlangsung dari beberapa hari
sampai beberapa minggu, tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan
sebelum terjadi trauma, dan tindakan pertolongan medisnya.
3. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan
lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa
nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan sudah teratasi. Fase ini
merupakan proses yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari fase
katabolisme karena isintesis protein hanya bisa mencapai 35 gr /hari.
2. Trauma Penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi dari
luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di sekitar jaringan dan
dapat terpecah atau merubah arah dalam tubuh, mengakibatkan peningkatan
cedera. Perdarahan internal, perforasi organ, dan fraktur kesemuanya dapat
disebabkan oleh cedera penetrasi. Dengan menggunakan keterampilan
pengkajian yang baik dan kewaspadaan pada mekanisne terjadinya cederam,
perawat unit perawatan kritis dapat membantu dalam mengidentifikasi cedera
yang tidak didiagnosa di unit kegawatdaruratan.
3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera
torakik. Banyak cedera toraks yang secara potensial mengancam jiwa,
misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga
melayang (flail chest) dan tamponade jantung, dapat ditangani secara cepat
dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani, maka akan
mengancam jiwa.
5. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun yang
berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan yang
serius organ-organ padat dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-
organ berongga. Kompresi dan perlambatan dari trauma tumpul menyebabkan
fraktur pada kapsula dan parenkim organ padat, sementara organ berongga
dapat kolaps dan menyerap energi benturan. Bagaimana pun usus yang
menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan untuk mengalami oleh
trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ padat berespons terhadap trauma
dengan perdarahan. Organ-organ berongga pecah dan mengeluarkan isinya
dan ke dalam rongga peritoneal, menyebabkan peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang
memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal,
ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen
akut dilakukan eksplorasi dengan pembedahan. Pada kebanyakan kasus
trauma abdomen lainnya, dilakukan lavase peritoneal diagnostic (LPD). LPD
yang positif juga mengharuskan dilakukan eksplorasi pembedahan.
Baik LPD ataupun CT scan adalah 100% diagnostic, sehingga pasien-
pasien trauma dengan hasil negative harus diobservasi. Dilakukan serangkaian
pengukuran tingkat hematokrit dan amylase. Pengobatan nyeri mungkin
ditunda sehingga tidak mengaburkan tanda-tanda dan gejala-gejala yang
potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk berjaga-jaga jika dilakukan
pembedahan. Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda abdomen akut,
seperti distensi, rigiditas, guarding, dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan
menjadi perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala yang
mengindikasikan cedera. Penggunaan CT abdomen telah memperoleh
popularitas dan sering digunakan atau sebagai tambahan pada LPD. Cedera
retroperitoneal, seringkali terlewatkan dengan LPD dan bahkan dengan
pembedahan eksplorasi, sering dapat diidentifikasi dengan CT scan. Namun
CT scan tidak dapat terlalu diandalkan dalam mendeteksi cedera pada organ-
organ berongga.
6. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling sering
sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kangdung kemih sering
kali berhubungan dengan fraktur pelvik.adanya hematuria ( nyata atau
mikroskopik ), nyeri abdomen bawah, atau tidak mampuan berkemih
memerlukan pemeriksaan terhadap cidera uretra dengan uretrogram
retrograd sebelum pemasangan kateter urine. Cidera pada kandung kemih
dapat mennyebabkan ekstravasasi urine intraperitonial atau
ekstraperitoneal. Ekstravasi ekstraperitoneal sering dapat ditangani dengan
drainase kateter urine . ektravasi intraperitoneal, bagaimanapun
memerlukan pembedahan. Mungkin dipasang selang sistostomi
suprapubik . komplikasi jarang tejadi infeksi karena kateter urine atau
sepsis akibat ekstra vasasi urine.
b. Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang tinggi.
Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paing sering dari kematian dini,
sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas. Radiografi dan scan
CT dapat memastikan adanya dan menentukan tingkat fraktur pelvik.
Fraktur pelvik sering sering menyebabkan laserasi pembuluh – pembuluh
kecil yang mengeluarkan darah ke dalam jaringan lunak pada rongga
retroperineal. Areal ini meluas dari difragma sampai ke pertengahan paha
dan akan menampung beberapa liter darah sebelum terjadi tamponade.
Angiogram sering kali diperlukan untuk menemukan letak dan menyumbat
sumber darah.
Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan primer.
PASG mungkin dipasang pada fase prarumah sakit atau di unit gawat
intensif. PASG dapat membantu membelat pelvis dan tamponade hemoragi,
karena PASG menurunkan volume tidal, maka ada kemungkinan
dibutuhkan bantuan ventilator mekanik. Fiksasi internal atau eksternal
adalah lebih efektif dalam menstabilkan fraktur juga dalam mengontrol
perdarahan. selain itu, fiksasi dini mengurangi nyeri dan membantu
ambulasi lebih dini. Pembedahan untuk mengontrol hemoragi mungkin juga
diperlukan .
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk
mencegah syok hemoragi. Tranfusi multiple dan pemantauan hemodinamik
diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan. Hematoma pelvik dapat
menjadi sumberdari sepsis dan dapat memerlukan drainase perkuata atau
pembedahan. Komplikasi utama lain dari fraktur pelvik termasuk
keterlibatan saraf pelvik dan emboli pulmonal. Penting untuk dilakukan
terapi fisik yang berkepanjangan dan rehabilitasi yang sering.
7. Trauma pada ekstremitas
a. Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada trauma
penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan adanya fraktur, maka
harus dilakukan stabilitas atau perbaikan fraktur. Karena prosedur
ortopedik akan memakan banyak waktu,sehingga cidera lain yang
mengancam jiwa harus terlebih dahulu di atasi, dan operasi perbaikan
dapat di tunda sampai masalah itu teratasi. Fiksasi internal fraktur sering
memungkinkan ambulasi dini pada pasien dengan cidera multiple yang
mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah baring berkepanjangan
( ulkus dekubitus, emboli pulmonal, penyusutan otot). Penatalaksanaan
fraktur juga dapat dikerjakan dengan fiksasi eksternal atau traksi skeletal .
fraktur terbuka akan memerlukan debridemen dengan pembedahan.
Tanggung jawab keperawatan termasuk pengkajian neurovaskular, sejalan
dengan perawatan lika dan pin. Fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi
terhadap infeksi. Potensial komplikasi lainnya adalah emboli lemak dari
fraktur tulang panjang dan sindom kompartemen. Asuhan keperawatan
harus di arahkan terhadap pencegahan dan deteksi dini tentang masalah –
masalah ini. Perawat juga harus bekerja sama dengan terapis fisik untuk
meningkatkan kekuatan dan mobilisasi dini.
b. Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Dislokasi mudah
dikenali karena adanya perubahan dari anatomi yang normal. Dislokasi
sendi umumnya tidak mengancam jiwa, tapi memerlukan tindakan darurat
karena apabila tidak dilakukan tindakan secepatnya, akan menyebabkan
gangguan pada daerah distal yang mengalami dislokasi. Sangat sulit
diketahui apakah fraktur disertai dengan dilokasi atau tidak, maka sangat
penting untuk mengetahui denyut nadi, gerakan dan gangguan persyarafan
distal dari dislokasi. Kebanyakan tindakan yang baik untuk klien adalah
menyangga dan meluruskan ekstremitas ke posisi yang lebih
menyenangkan untuk klien dan membawanya ke pelayanan kesehatan
yang terdapat fasilitas ortopedi yang baik.
8. Cedera vaskular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan atau trombosis
pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma penetrasi, dan
kurang sering karena fraktur. Ultrasonografi doppler seing digunakan untuk
mendiagnosa cedera vaskular perifer. Angiogram juga dapat digunakan untuk
menetukan tempat cedera dan mengidentifikasi fistula arteriovenosa,
psudoaneurisme, dan penutupan intima. Dilakukan perbaikan pembedahan
primer atau tandur vaskular. Segera setelah periode pascaoperasi, terdapat
resiko perdarahan berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh keduannya
mengharuskan kembali kekamar operasi. Perawat harus mengkaji nadi distal,
warna kulit, sensasi gerakan , dan suhu ekstrimitas yang cedera. Indeks ankel
– brakial (ABI) serinkali berguna dalam mendeteksi perkembangan oklusi
setelah trauma ekstrimitas bawah. Untuk meghitung nilai ABI, tekanan darah
sistolik pada pergelangan kaki di bagi dengan tekanan darah sistolik lengan .
penurunan ABI menunjukkan peningkatan gradien tekanan yang menembus
pembuluh. Metoda ini memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya meraba
nadi. Perawat juga harus memperhatikan perkembangan sindrom kompartemen.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera definisi
ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera, trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan social. Trauma dapat disebabkan oleh benda
tajam, benda tumpul, atau peluru. Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ. Trauma terjadi dalam 3 fase : Fase pertama
berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase ini akan terjadi
kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Pada fase kedua
terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negative,
hiperglikemia, dan produksi panas. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu
penumpukan kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan
dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan
sudah teratasi.
3.2 Saran
Yang harus dilakukan perawat terlebih dahulu saat menangani pasien multi
trauma yaitu mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara
efektif, dan mengontrol pendarahan. Perawat harus melakukan pendekatan primary
dan secondary survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat
pada jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. Dalam pendekatan primary, perawat
melakukan Airway (jalan napas), Breathing (pernapasan), Circulation (sirkulasi),
Disability (defisit neurologis), dan Exposure and environmental control (pemaparan
dan kontrol lingkungan).
DAFTAR PUSTAKA