Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN MULTIPLE TRAUMA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Dosen : Nur Intan Hayati Husnul K , S.Kep.,Ners.,M.Kep

Disusun oleh : Kelompok 2 (SGD J)


1. Cecep Mulyana (AK118031)
2. Firman Taufiq Firdaus (AK118063)
3. Gita Aprilia (AK118070)
4. Intan Asmarani (AK118079)
5. Mega Alisia Panca W (AK118101)
6. Ni Putu Wulan Meyliana (AK118122)
7. Vera Viana (AK118196)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

BANDUNG
2021

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, dan tidak lupa shalawat serta salam kepada nabi kita, Nabi
Muhammad SAW. Makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat. Dan kami harap semoga
makalah ini menambah pengetahuan dan pengalaman ini bagi para pembaca dan kami
menyadari bahwa menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
masih banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini. Untuk kedepannya
dapat memperbaiki isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dan membantu menyusun makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan dan semoga Allah SWT
senantiasa meridoi segala usaha kami, Aamiin.

Bandung, 03 Juni 2021


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Trauma adalah penyebab kematian utama pada manusia antara usia 1-44
tahun. Pada kelompok usia yang lebih tua, penyebab kematian ini hanya dilampaui
oleh kanker dan penyakit kardiovaskuler. Bagaimanapun kerugian akibat trauma
dalam hal kehilangan kesempatan hidup produktif, melebihi kerugian yang
ditimbulkan oleh kanker dan penyakit kardiovaskuler. Sebagai penyebab utama
kematian dan kecacatan, trauma telah menjadi masalah kesehatan dan social yang
signifikan. Multi trauma adalah Keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera
defenisi ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera,
trauma juga mempunyai dampak psikologis dan social. Pada kenyataannya trauma
adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif
seseorang. Berdasarkan mekanismenya, terdapat trauma tumpul yang biasanya
disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor dan trauma tajam biasanya
disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan senapan.
Orang yang mengalami cedera berat harus dikaji dengan cepat dan efisien.
Kriteria dan protocol untuk memudahkan pengkajian awal, intervensi, dan triage
untuk korban trauma telah dikembangkan oleh American College of Surgeons,
Committee on Trauma. Kemajuan dalam bidang perawatan pasien trauma telah
dicapai dalam beberapa decade terakhir. Perkembangan pusat-pusat pelayanan trauma
telah menurunkan mortalitas dan morbiditas diantara korban kecelakaan. Perawatan
dan sarana angkutan prarumah sakit yang semakin baik telah menyebabkan kenaikan
jumlah korban kecelakaan dengan keadaan kritis sampai ke rumah sakit dalam
keadaan hidup. Akibatnya, pasien trauma yang tiba di unit perawatan kritis sekarang
ini cenderung mengalami cedera serius yang melibatkan banyak organ dan mereka
sering kali membutuhkan asuhan keperawatan yang ekstensif dan kompleks.
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan pasien dengan
trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah mempertahankan jalan
napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan mengontrol pendarahan.

1.2 Rumusan masalah


“Bagaimana Konsep Dasar Asuhan Keperawatan, Penatalaksanaan, dan Penanganan
pada Pasien Multi Trauma?”

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu mengerti dan memahami konsep dasar asuhan
keperawatan, penatalaksanaan, dan penanganan klien dengan Multi Trauma.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mahasiswa mengerti dan memahami definisi dari multi trauma.
2. Mahasiswa mengerti dan memahami etiologi multi trauma.
3. Mahasiswa mengerti dan memahami patofisiologi multi trauma.
4. Mahasiswa mengerti dan memahami manifestasi klinis multi trauma.
5. Mahasiswa mengerti dan memahami klasifikasi dari multi trauma.
6. Mahasiswa mengerti dan memahami komplikasi multi trauma.
7. Mahasiswa mengerti dan memahami pemeriksaan multi trauma.
8. Mahasiswa mengerti dan memahami penanganan multi trauma.
9. Mahasiswa mengerti dan memahami askep pada Multi trauma.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Multi Trauma
2.1.1 Definisi
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera definisi
ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera, trauma
juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya trauma adalah
kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif
seseorang. Informasi tentang pola atau mekanisme terjadinya cedera seringkali
akan sangat terbantu dalam mendiagnosa kemungkinan gangguan yang
diakibatkan. Trauma tumpul terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor ( KKB)
dan jatuh, sedangkan trauma tusuk (penetrasi) seringkali diakibatkan oleh luka
tembak atau luka tikam. Umumnya, makin besar kecepatan yang terlibat dalam
suatu kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi, misalnya : KKB
kecelakaan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat yang sangat
tinggi (Hudak,carolyn 1996).

2.1.2 Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka
tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam kategori luka
tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa yang cedera ,dan
bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik terutama cedera pada
trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam , benda tumpul, peluru, ledakan,
panas, maupun zat kimia . Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ.

2.1.3 Patofisiologi
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase :
1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase
ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan
hiperglikemia.
2. Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang
negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini yang terjadi setelah
tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat berlangsung dari beberapa hari
sampai beberapa minggu, tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan
sebelum terjadi trauma, dan tindakan pertolongan medisnya.
3. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan
lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa
nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan sudah teratasi. Fase ini
merupakan proses yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari fase
katabolisme karena isintesis protein hanya bisa mencapai 35 gr /hari.

2.1.4 Manifestasi klinis


1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya
pada arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal
14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas
ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
(Scheets, 2002 :  277-278)

2.1.5 Klasifikasi Trauma


Berdasarkan Hudak Carolyn 1996:517-534 bahwa klasifikasi dari multi
trauma adalah sebagai berikut :
1. Trauma Tumpul
Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan memberikan
sebagian perlindungan dan menyerap energi dari hasil benturan tabrakan.
Pengendara atau penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengman,
bagaimanapun akan terlempar dari mobil dan dampaknya mendapat cedera
tambahan. Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan yang minimal
dan seringkali akan menderita cedera yang lebih parah apabila terlempar dari
motor.
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat menyebabkan
kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur tertentu. Organ-organ
yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas dari pembuluh besar yang
menahannya. Demikian juga organ-organ abdomen (limpa, ginjal, usus) akan
terlepas dari mesenteri.
Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan oleh
kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat terhimpit
diantara sternum dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan pancreas juga sering
tertekan terhadap tulang belakang. Cedera karena benturan seringkali
menyebabkan kerusakan internal dengan sedikit tanda-tanda trauma eksternal.
Tipe kerusakan pada kendaraan seringkali memberikan petunjuk-
petumjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi kendaraan
yang bengkok atau rusak memperbesar dugaaan akan kemungkinan cedera
pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang atau abdomen. Trauma kepala
dan wajah, cedera tulang belakang servikal dan cedera trakeal sering berkaitan
dengan kerusakan pada kaca depan mobil atau dashboard. Benturan lateral
dapat menyebabkan patah iga, luka dada penetrasi akibat pegangan pintu atau
jendela, cedera limpa atau hepar dan fraktur pelvis.

2. Trauma Penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi dari
luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di sekitar jaringan dan
dapat terpecah atau merubah arah dalam tubuh, mengakibatkan peningkatan
cedera. Perdarahan internal, perforasi organ, dan fraktur kesemuanya dapat
disebabkan oleh cedera penetrasi. Dengan menggunakan keterampilan
pengkajian yang baik dan kewaspadaan pada mekanisne terjadinya cederam,
perawat unit perawatan kritis dapat membantu dalam mengidentifikasi cedera
yang tidak didiagnosa di unit kegawatdaruratan.

3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera
torakik. Banyak cedera toraks yang secara potensial mengancam jiwa,
misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga
melayang (flail chest) dan tamponade jantung, dapat ditangani secara cepat
dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani, maka akan
mengancam jiwa.

4. Cedera pada Jantung


a. Kontusio Miokard
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh benturan dada
pada batang stir atau dashboard selama KKB. Perlambatan cepat
mengakibatkan jantung yang berdenyut akan menbentur dinding dada
anterior. Ventrikel kanan, karena letaknya di sebelah anterior, adalah yang
paling sering terkena. Kontusio juga dapat terjadi apabila jantung terdesak
diantara sternum dan tulang belakang. Gejala-gejala kontusio jarang
bervariasi dari tidak ada gejala (umum) sampai pada gagal jantung
kongestif yang berat dan syok kardiogenik. Setelah trauma, keluhan-
keluhan tentang nyeri dada harus di evaluasi dengan cermat. Perubahan-
perubahan ECG nonspesifik sering terlihat dan dapat mencakup setiap tipe
disritmia. Takikardia sinus, kontraksi atrial ventrikular prematur, takikardia
supraventrikular paroksimal, blok berkas his kanan, atau perubahan-
perubahan gelombang ST dan T adalah hal yang paling umum. Secara
histologi, kontusio jantung mirip dengan infark miokardial. Diagnosa bisa
sulit ditegakkan. Untuk menegakkannya dilakukan serangkaiaan
pemeriksaan EKG dan serangkaian pengukuran kreatin kinase isoenzim
miokardial, namun pemeriksaan ini tidak 100% sensitif. Ada dokter yang
menginstruksi pemeriksan ekokardiogram dua dimensi untuk memeriksa
komplikasi-komplikasi dan tingkat cedera manakala kontusio sudah
dipastikan terjadi.
Pemantauan dengan ketat diperlukan sampai kontusio miokardial telah
disingkirkan. Yang lebih umum dari kontusio miokardial yang sudah
dipastikan adalah cedera tipe “konkusio” (gegar) yang dapat pilih. Tanda-
tanda dan gejala-gejala yang bersifat temporer akan terlihat tanpa adanya
perubahan dalam isoenzim. Selama diagnosanya belum jelas, oksigenasi,
hemodinamik, dan toleransi aktivitas harus diamati dengan cermat. Jika
timbul takikardia, maka penyebab-penyebab alternatif seperti nyeri,
penipisan volume herus menjadi pertimbangan. Manakala kontusio sudah
dipastikan, maka tindakan yang dilakukan serupa dengan untuk infark
miokardial akut.
b. Cedera Penetrasi jantung
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian korban
prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada 10% sisanya,
hemoragi dan syok adalah yang umum terlihat. Luka tikam kecil yang
mengenai ventrikel ada kalanya menutup sendiri karena tebalnya
muskulatur ventrikular. Pada kondisi dimana terjadi hemoragi terus
menerus, volume yang hilang harus diganti, dan operasi perbaikan
diperlukan. Pada kasus-kasus parah, torakotomi departemen gawat darurat
mungkin harus dilakukan sebagai tindakan untuk menyelamatkan jiwa.
Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal dn selang arterial
dipasang untuk memudahkan pemantauan hemodinamik dengan cermat.
Vasopresor atau agen-agen inotropik mungkin diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah dan curah jantung yang adekuat.
Keseimbangan cairan dan elektrolit, sejalan dengan irama jantung, harus
dipantau dengan seksama. Bunyi jantung harus dikaji terhadap murmur,
yang menandakan kelainan katup atau septum, dan sebagai tanda-tanda
gagal jantung kongestif. Drainase selang dada dan mediastinal harus sering
dicatat. Berikan plasma beku segar dan platelet, sesuai instruksi, untuk
memperbaiki koagulopati. Komplikasi termasuk hemoragi berlanjut dan
sindrom poskardiotomi.

5. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun yang
berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan yang
serius organ-organ padat dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-
organ berongga. Kompresi dan perlambatan dari trauma tumpul menyebabkan
fraktur pada kapsula dan parenkim organ padat, sementara organ berongga
dapat kolaps dan menyerap energi benturan. Bagaimana pun usus yang
menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan untuk mengalami oleh
trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ padat berespons terhadap trauma
dengan perdarahan. Organ-organ berongga pecah dan mengeluarkan isinya
dan ke dalam rongga peritoneal, menyebabkan peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang
memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal,
ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen
akut dilakukan eksplorasi dengan pembedahan. Pada kebanyakan kasus
trauma abdomen lainnya, dilakukan lavase peritoneal diagnostic (LPD). LPD
yang positif juga mengharuskan dilakukan eksplorasi pembedahan.
Baik LPD ataupun CT scan adalah 100% diagnostic, sehingga pasien-
pasien trauma dengan hasil negative harus diobservasi. Dilakukan serangkaian
pengukuran tingkat hematokrit dan amylase. Pengobatan nyeri mungkin
ditunda sehingga tidak mengaburkan tanda-tanda dan gejala-gejala yang
potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk berjaga-jaga jika dilakukan
pembedahan. Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda abdomen akut,
seperti distensi, rigiditas, guarding, dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan
menjadi perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala yang
mengindikasikan cedera. Penggunaan CT abdomen telah memperoleh
popularitas dan sering digunakan atau sebagai tambahan pada LPD. Cedera
retroperitoneal, seringkali terlewatkan dengan LPD dan bahkan dengan
pembedahan eksplorasi, sering dapat diidentifikasi dengan CT scan. Namun
CT scan tidak dapat terlalu diandalkan dalam mendeteksi cedera pada organ-
organ berongga.
6. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling sering
sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kangdung kemih sering
kali berhubungan dengan fraktur pelvik.adanya hematuria ( nyata atau
mikroskopik ), nyeri abdomen bawah, atau tidak mampuan berkemih
memerlukan pemeriksaan terhadap cidera uretra dengan uretrogram
retrograd sebelum pemasangan kateter urine. Cidera pada kandung kemih
dapat mennyebabkan ekstravasasi urine intraperitonial atau
ekstraperitoneal. Ekstravasi ekstraperitoneal sering dapat ditangani dengan
drainase kateter urine . ektravasi intraperitoneal, bagaimanapun
memerlukan pembedahan. Mungkin dipasang selang sistostomi
suprapubik . komplikasi jarang tejadi infeksi karena kateter urine atau
sepsis akibat ekstra vasasi urine.
b. Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang tinggi.
Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paing sering dari kematian dini,
sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas. Radiografi dan scan
CT dapat memastikan adanya dan menentukan tingkat fraktur pelvik.
Fraktur pelvik sering sering menyebabkan laserasi pembuluh – pembuluh
kecil yang mengeluarkan darah ke dalam jaringan lunak pada rongga
retroperineal. Areal ini meluas dari difragma sampai ke pertengahan paha
dan akan menampung beberapa liter darah sebelum terjadi tamponade.
Angiogram sering kali diperlukan untuk menemukan letak dan menyumbat
sumber darah.
Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan primer.
PASG mungkin dipasang pada fase prarumah sakit atau di unit gawat
intensif. PASG dapat membantu membelat pelvis dan tamponade hemoragi,
karena PASG menurunkan volume tidal, maka ada kemungkinan
dibutuhkan bantuan ventilator mekanik. Fiksasi internal atau eksternal
adalah lebih efektif dalam menstabilkan fraktur juga dalam mengontrol
perdarahan. selain itu, fiksasi dini mengurangi nyeri dan membantu
ambulasi lebih dini. Pembedahan untuk mengontrol hemoragi mungkin juga
diperlukan .
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk
mencegah syok hemoragi. Tranfusi multiple dan pemantauan hemodinamik
diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan. Hematoma pelvik dapat
menjadi sumberdari sepsis dan dapat memerlukan drainase perkuata atau
pembedahan. Komplikasi utama lain dari fraktur pelvik termasuk
keterlibatan saraf pelvik dan emboli pulmonal. Penting untuk dilakukan
terapi fisik yang berkepanjangan dan rehabilitasi yang sering.
7. Trauma pada ekstremitas
a. Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada trauma
penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan adanya fraktur, maka
harus dilakukan stabilitas atau perbaikan fraktur. Karena prosedur
ortopedik akan memakan banyak waktu,sehingga cidera lain yang
mengancam jiwa harus terlebih dahulu di atasi, dan operasi perbaikan
dapat di tunda sampai masalah itu teratasi. Fiksasi internal fraktur sering
memungkinkan ambulasi dini pada pasien dengan cidera multiple yang
mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah baring berkepanjangan
( ulkus dekubitus, emboli pulmonal, penyusutan otot). Penatalaksanaan
fraktur juga dapat dikerjakan dengan fiksasi eksternal atau traksi skeletal .
fraktur terbuka akan memerlukan debridemen dengan pembedahan.
Tanggung jawab keperawatan termasuk pengkajian neurovaskular, sejalan
dengan perawatan lika dan pin. Fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi
terhadap infeksi. Potensial komplikasi lainnya adalah emboli lemak dari
fraktur tulang panjang dan sindom kompartemen. Asuhan keperawatan
harus di arahkan terhadap pencegahan dan deteksi dini tentang masalah –
masalah ini. Perawat juga harus bekerja sama dengan terapis fisik untuk
meningkatkan kekuatan dan mobilisasi dini.
b. Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Dislokasi mudah
dikenali karena adanya perubahan dari anatomi yang normal. Dislokasi
sendi umumnya tidak mengancam jiwa, tapi memerlukan tindakan darurat
karena apabila tidak dilakukan tindakan secepatnya, akan menyebabkan
gangguan pada daerah distal yang mengalami dislokasi. Sangat sulit
diketahui apakah fraktur disertai dengan dilokasi atau tidak, maka sangat
penting untuk mengetahui denyut nadi, gerakan dan gangguan persyarafan
distal dari dislokasi. Kebanyakan tindakan yang baik untuk klien adalah
menyangga dan meluruskan ekstremitas ke posisi yang lebih
menyenangkan untuk klien dan membawanya ke pelayanan kesehatan
yang terdapat fasilitas ortopedi yang baik.
8. Cedera vaskular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan atau trombosis
pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma penetrasi, dan
kurang sering karena fraktur. Ultrasonografi doppler seing digunakan untuk
mendiagnosa cedera vaskular perifer. Angiogram juga dapat digunakan untuk
menetukan tempat cedera dan mengidentifikasi fistula arteriovenosa,
psudoaneurisme, dan penutupan intima. Dilakukan perbaikan pembedahan
primer atau tandur vaskular. Segera setelah periode pascaoperasi, terdapat
resiko perdarahan berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh keduannya
mengharuskan kembali kekamar operasi. Perawat harus mengkaji nadi distal,
warna kulit, sensasi gerakan , dan suhu ekstrimitas yang cedera. Indeks ankel
– brakial (ABI) serinkali berguna dalam mendeteksi perkembangan oklusi
setelah trauma ekstrimitas bawah. Untuk meghitung nilai ABI, tekanan darah
sistolik pada pergelangan kaki di bagi dengan tekanan darah sistolik lengan .
penurunan ABI menunjukkan peningkatan gradien tekanan yang menembus
pembuluh. Metoda ini memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya meraba
nadi. Perawat juga harus memperhatikan perkembangan sindrom kompartemen.

2.1.6 Komplikasi pada Multi Trauma

1. Penyebab kematian dini ( dalam 72 jam )


a. Hemoragi dan cedera kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian dini
setelah trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka perdarahan
harus dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi ligasi
( pengikatan ) dan pembungkusan, dan embolisasi dengan angiografi.
Hemoragi berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple, sehingga
meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC. Hemoragi
berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik dan akhirnya terjadi
penurunan perfusi organ.
Mekanisme yang mengarah pada penurunan perfusi jaringan :
Faktor penyebab ( seperti , penurunan volume, pelepasan toksin )

Penurunan isi secukup

Penurunan curah jantung

Penurunan perfusi jaringan yang tidak sama

Berbagai organ memberikan respon yang berbeda terhadap


penurunan perfusi yang disebabkan oleh syok hipovolemik.

2. Penyebab Lambat Kematian ( Setelah 3 Hari ) :


a. Sepsis
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multiple.
Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah pada
penggumpalan venosa yang mengakibatkan penurunan arus balik vena. Pada
mulannya, curah jantung mengikat untuk mengimbangi penurunan tekanan
vaskular sistemik. Akhirnya, mekanisme kompensasi terlampaui dan curah
jantung menurun sejalan dengan tekanan darah dan perfusi.
Sumber infektif harus ditemukan dan di basmi. Diberikan antibiotik,
dilakukan pemeriksaan kultur, mulai dilakukan pemeriksaan radiologok,
operasi eksplorasi sering dilakukan. Abses intra abdomen merupakan
penyebab sepsis paling sering . Sebagaian abses dapat keluarkan perkuatan,
sedangkan yang lainnya memerlukan pembedahan. Setelah pembedahan
drainase abses abdomen, insisi di biarkan terbuka, dengan drainase terpasang,
untuk memungkinkan penyembuhan dan menghindari kekambuhan .sumber
– sumber infeksi lainnya yang perlu diperhatikan adalah selang invasif,
saluran kemih, dan paru – paru. Di perkirakan bahwa pemberian nutrisi yang
dini dapat menurunkan perkembangan sepsis dan gagal organ multipel.
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik
1. Trauma Tumpul
a. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 %
sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh 
team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal,terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-
obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal.
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.
e) Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu
yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-
Ray yang lama misalnya Angiografi.
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding  perut) dengan kecurigaan trauma
usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai
dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun
CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang
jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi
abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya
koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup 
(Seldinger) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan
fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk
mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus
yang membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat
sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan
henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi.
Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase
dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak  10cc/kg). Sesudah cairan
tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan
ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal ,serat maupun empedu (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 149-150).
Test (+)  pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis
(gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau
pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL
(+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada
aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih (Scheets, 2002 :  279-
280).
b. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di
tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas, specifitas
dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal yang
sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang
tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitorium,
dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat
diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan
pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya.
Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150).
c. Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di diagnosa
dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
2.  Trauma Tajam
a. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma
dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun
thorax foto berulang, thoracoskopi,  laparoskopi maupun pemeriksaan CT
scan.
b. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada
luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali
rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive
adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi
diagnostik.
c. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple
contrast pada cedera flank maupun punggung. Untuk pasien yang
asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT
dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan
diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian
menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi
cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea
axillaries anterior (American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 151).
2.1.8 Pemeriksaan penunjang
1. Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
b. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan
pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma.
Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral
decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma
ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada
keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan
psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau
dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang
abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan
kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya
udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal,
pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat
memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada
rontgen foto abdomen tidur.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
b. Penurunan hematokrit/hemoglobin
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT
d. Koagulasi : PT,PTT
4. MRI
5. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
6. CT Scan
7. Radiograf dada  mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan
pneumothorax atau fraktur  tulang rusuk VIII-X.
8. Scan limfa
9. Ultrasonogram
10. Peningkatan serum atau amylase urine
11. Peningkatan glucose serum
12. Peningkatan lipase serum
13. DPL (+) untuk amylase
14. Peningkatan WBC
15. Peningkatan amylase serum
16. Elektrolit serum
17. AGD (ENA,2000:49-55)
ASUHAN KEPERAWATAN
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera definisi
ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera, trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan social. Trauma dapat disebabkan oleh benda
tajam, benda tumpul, atau peluru. Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ. Trauma terjadi dalam 3 fase : Fase pertama
berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase ini akan terjadi
kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Pada fase kedua
terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negative,
hiperglikemia, dan produksi panas. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu
penumpukan kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan
dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan
sudah teratasi.
3.2 Saran
Yang harus dilakukan perawat terlebih dahulu saat menangani pasien multi
trauma yaitu mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara
efektif, dan mengontrol pendarahan. Perawat harus melakukan pendekatan primary
dan secondary survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat
pada jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. Dalam pendekatan primary, perawat
melakukan Airway (jalan napas), Breathing (pernapasan), Circulation (sirkulasi),
Disability (defisit neurologis), dan Exposure and environmental control (pemaparan
dan kontrol lingkungan).
DAFTAR PUSTAKA

Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta. EGC


Kartikawati, Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta :
Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai