BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau
bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik.
Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat
manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya
manusia, sarana, dan peralatan.
Instalasi Farmasi sebagai bagian dari unit pelayanan RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro
berkewajiban untuk mendukung pelayanan paripurna terhadap pasien. Instalasi Farmasi RSUD
K.R.M.T. Wongsonegoro melaksanakan tugas pokok dan wewenangnya sesuai yang telah
ditetapkan dan melaporkan pertanggung jawaban kegiatan.
Manajemen RSUD K.R.M.T. melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan
Instalasi Farmasi untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit sebagai bentuk
Pengendalian Mutu Pelayananan Kefarmasian.
Uraian tugas tertulis dari masing – masing staf Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun sesuai kebijakan
dan prosedur di Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro atau apabila perlu dilakukan
revisi karena reorganisasi.
Untuk meningkatkan capaian kinerja target kegiatan dan efisiensi organisasi untuk masa
kedepan diperlukan optimalisasi kesesuaian pekerjaan sesuai tugas dan tanggung jawab.
Koordinator Pelayanan dan Koordinator Mutu masih merangkap tugas sebagai Apoteker di Depo
Farmasi Rawat Jalan. Untuk itu masih diperlukan tambahan tenaga Apoteker sehingga
Koordinator bisa melaksanakan pekerjaan sesuai tugas dan tanggung jawabnya.
Sesuai dengan rencana kerja RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro ada penambahan layanan
Sitostatika dan pencampuran obat pada tahun 2019 maka diperlukan tambahan tenaga di
Instalasi Farmasi sebagai berikut :
Sedangkan pencapaian pengadaan perbekalan farmasi sampai dengan Desember 2018 sebagai
berikut :
Mata anggaran 2018
20.219.153.872,0
OBAT 8
20.576.435.173,4
BHP 1
5.122.019.185,4
REAGEN 0
1.694.183.628,0
OKSIGEN 2
47.611.791.858,9
JUMLAH 1
Terlihat dalam table bahwa pengadaan perbekalan farmasi melebihi dari RAK yang telah
ditetapkan dalam perubahan anggaran. Namun dari RAK sebelum perubahan sebesar 50 milyar
pelaksanaan nya tidak melebihi anggaran sebelum nya. Diibandingkan dengan prosentase
dibanding total revenue RS sebesar 190 milyar, maka pengadaan perbekalan farmasi didapat
sebesar 25,06%.
Hal hal yang dilakukan dalam pengadaan :
- Sesuai kebijakan RS maka pengadan diutamakan perbekalan yang masuk dalam e katalog
melalui mekanisme e purchasing.
- Kecuali ada kekosongan persediaan atau perbekalan sub standar, pengadaan perbekalan
farmasi bisa dilakukan diluar e katalog dengan mengutamakan harga termurah.
- Jumlah pengadaan dihitung berdasarkan histori pengadaan yang diperoleh dari
perhitungan melaui menu SIM RS.
- Untuk sediaan perbekalan farmasi dihindari adanya double persediaan, satu komposisi
obat hanya disediakan satu sediaan kecuali untu sediaan tertentu sesuai dengan
rekomendasi dokter dengan memperhatikan efektifitas terapi dengan persetujuan
manajemen RS. Comtohnya dalah sediaan epodion dan hemapo inj.
3. Distribusi
Dalam periode Januari sd Desember 2018
Rincian kegiatan Periode Jan – Des 2018
Pemesanan ruangan 39.587
Penerimaan barang 10.677
Pengiriman barang 45.855
B. MUTU
Indikator adalah suatu cara untuk menilai penampilan dari suatu kegiatan dengan
suatu perubahan. Indikator mutu pelayanan Rumah Sakit ini mempunyai manfaat yang
sangat banyak bagi pengelola Rumah Sakit, terutama untuk mengukur kinerja rumah
sakit itu sendiri (Self assement). Manfaat tersebut antara lain sebagai alat untuk
Sasaran mutu yang telah ditetap sebagai tolok ukur mutu pelayanan kefarmasian di IFRS
Dari data tabel diatas menunjukan bahwa standar mutu sudah mencapai standar mutu yg telah
1. Waktu tunggu pelayanan resep rawat inap dengan target 80% , tercapai 98,26 %, ini
menunjukan bahwa pelayan resep rawat inap bisa di layani kurang dari 60 menit ( sudah
lebih cepat) hal ini karenakan berlakunya pengisian cppt dan penulisan resep melalui
komputer ( paperles ) shg tulisan nama obat jelas dan pelayanan lebih cepat.
2. Kepatuhan dokter dlm menulis resep sdh sesuai formularium dgn target 90% sudah tercapai
99,95 % pencapaian dapat dilampaui karena di berlakukannya kebijakan tentang penulisan
resep sesuai formularium, retriksi dan pembatasannya, berlaku utk pasirn umum dan BPJS,
subtitusi obat jk ada resep obat diluar formularium sehingga semua kebutuhan obat utk
pasienrs dapat disediakan dan terlayani oleh IFRS
3. kesalahan pemberian obat target 0 % tercapai 0 %, pencapai ini dikarena dan penulisan
resep melalui komputer ( paperles ) shg tulisan nama obat jelas , petugas lebih mudah
membaca permintaan obat dan petugas farmasi melayani lebih teliti (cek dua kali)
4. Pelabelan Obat yang harus di waspadai target 100 % , tercapai 99, 68 %, ini menunjukan
bahwa masih ada obat yg terlewat di beri label / label lepas (Waspada obat) Upaya yg harus
dilakukan yaitu :
a. Melukan pelabelan pada kemasan saat menerima barang
b. Meningkatkan kepedulian petugas gudang dan petugas farmasi di depo obat
untuk selalu mengontrol pelabelan obat yg harus diwaspadai.
5. waktu tunggu pelayanan resep rawat jalan ( racikan ) target 80% tercapai 80,48 %,
pencapaian ini di karena dokter melulis sdh resep sesuai formularium dan penulisan resep
melalui komputer ( paperles ) shg tulisan nama obat jelas dan pelayanan resep racikan di
rawat jalan sdh lebih cepat ( < 30 mnt.)
6. waktu tunggu pelayanan resep rawat jalan ( racikan ) target 80% tercapai 80,31 % sdh lebih
cepat ( < 60 mnt )
7. Pemenuhan Permintaan Obat dan BHP sesuai Kebutuhan Pasien dgn target 90 % tercapai
99.17 %, pencapaian ini dpt dilampaui karena dlm menyusun formularium melibatkan dokter
,penulisan resep sesuai formularium dan IFRS dpt melakukan penggantian bila ada
kekosongan obat, menjaga buffr stok, sehingga terjamin ketersediaan obat dan bhp di IFRS.
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2017 jumlah kegiatan penelusuran riwayat
penggunaan obat adalah 0 (nol), namun bukan berarti kegiatan tersebut tidak dilakukan. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan karena tidak terdokumentasikannya kegiatan penelusuran
riwayat penggunaan obat oleh Apoteker. Sedangkan pada tahun 2018 kegiatan penelusuran
riwayat penggunaan obat tercatat sebesar 38044.
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat
yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat
(medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat.
Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit
ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke
layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Kegiatan rekonsiliasi di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro dilakukan oleh Apoteker
terhadap semua pasien baik pasien rawat jalan maupun rawat inap. Apoteker juga akan mencatat
ada atau tidaknya riwayat alergi obat dan bilamana ada obat yang dibawa pasien dari luar rumah
sakit untuk selanjutnya dilaporkan kepada DPJP. Hingga akhir tahun 2018 kegiatan rekonsiliasi
baru dapat dilakukan oleh Apoteker pada pagi dan siang hari. Pada siang hari rekonsiliasi
dilakukan di bagian triase IGD oleh Apoteker ruangan sesuai jadwal masing-masing.
Kegiatan PIO mengalami peningkatan pada tahun 2018 sebesar 5,38% dibandingkan
tahun 2017 (Gambar 6). Hal tersebut dipengaruhi oleh makin meningkatnya kebutuhan akan
informasi obat baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan lain.
Gambar 7. Konseling
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara
langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada
dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
Gambar 9. Visite
Kegiatan visite Apoteker di RSWN dilakukan setiap hari secara mandiri maupun bersama
dokter dan tenaga kesehatan lain (perawat atau ahli gizi). Apoteker yang melakukan kegiatan
visite wajib mendokumentasikan kegiatannya dalam Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi
(CPPT). Pada tahun 2018 kegiatan visite mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan yaitu
sebesar 4,42% dibandingkan tahun 2017 (Gambar 8).
Pada tahun 2018 kegiatan pemantauan terapi obat mengalami kenaikan sebanyak 23,97%
dibandingkan tahun 2017 (Gambar 10). Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah
pasien yang membutuhkan pemantauan terapi obat. Hal tersebut dipengaruhi juga dengan
dibukanya beberapa layanan baru rawat inap seperti ruang rawat Gatotkaca 3, Gatotkaca 4, serta
bertambahnya jumlah tempat tidur ruang ICU, HCU, PICU, dan NICU.
Sistem E-Prescribing
Pada awal bulan Januari 2018 di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang mulai
diberlakukan sistem e-prescribing. Sistem resep elektronik atau e-prescribing adalah sistem
komputerisasi penulisan resep obat. Pada sistem ini, dokter menuliskan dan mengirimkan resep
kepada bagian farmasi/apotek menggunakan media elektronik menggantikan tulisan tangan dan
penggunaan media kertas.
Permintaan
resep dari
dokter
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan diterapkannya sistem resep elektronik adalah :
1. Dengan resep elektronik menghilangkan kemungkinan salah penafsiran dari tulisan tangan
dokter dan mempersingkat waktu dalam membaca resep sehingga memungkinkan farmasi
dapat mempersiapkan resep lebih cepat.
2. Percepatan penerimaan resep di apotek sebelum pasien meninggalkan tempat praktek dokter,
sehingga ketika pasien tiba di apotek, diharapkan waktu tunggu menjadi lebih singkat.
3. Meningkatkan kepatuhan dokter terhadap formularium obat, karena obat-obat yang
tercantum dalam database SIMRS hanya yang terdapat dalam Formularium RS dan
dilengkapi dengan retriksi / batasan peresepan obat.
4. Dokter dapat menggunakan fitur “Gunakan” resep sebelumnya bilamana obat-obat yang
hendak diresepkan ke pasien sama dengan riwayat resep sebelumnya sehingga mempercepat
proses input resep oleh dokter.
5. Peningkatan perbaikan kesalahan resep yang dibuat oleh dokter seperti penulisan dosis yang
tidak lengkap.
Sedangkan kendala yang masih dihadapi terkait penerapan resep elektronik antara lain :
1. Terjadinya pemadaman listrik PLN yang bisa mengganggu pelayanan pasien.
2. Kemungkinan kerusakan perangkat keras atau gangguan pada jaringan sehingga dokter
maupun pihak apotek tidak bisa mengoperasikan program resep elektronik.
3. Beberapa dokter di IGD terkadang tidak menuliskan signa yang jelas di resep elektronik
sehingga menyulitkan pihak apotek untuk memberikan aturan pemakaian yang jelas pada
label obat. Begitu juga untuk obat racikan berupa puyer seringkali hanya ditulis jumlah
obatnya saja (tidak dituliskan berapa milligram kandungan obat yang dikehendaki tiap
bungkusnya). Oleh sebab itu pihak farmasi harus sering melakukan konfirmasi kepada dokter
penulis resep. Contoh : Infus Ringer Lactat tidak ada keterangan signa diberikan berapa tetes
per menit, demikian juga dengan injeksi ranitidine (gambar 4a).
4. Tidak adanya keterangan pada resep elektronik apakah pasien akan di rawat inap atau sedang
menjalani observasi (gambar 4b) karena pemberian obat harus harus disesuaikan jumlahnya.
Untuk pasien yang dirawat inap akan diberikan obat secara oddd (one daily dose dispensing),
sedangkan pasien observasi diberikan juga obat untuk dibawa pulang.
5. Penulisan resep racikan berupa puyer yang terkadang dilakukan oleh mahasiswa praktikan
kedokteran sering tidak sesuai dosisnya (terlalu kecil atau besar). Hal ini kemungkinan
disebabkan karena mahasiswa praktikan tersebut kurang jelas dalam membaca tulisan dokter
sehingga perlu dilakukan konfirmasi ulang ke klinik yang bersangkutan.
6. Penggunaan fitur “Gunakan Riwayat Resep Sebelumnya” memberikan kemudahan bagi
Dokter dalam menuliskan obat untuk pasien, namun banyak dijumpai pasien mendapatkan
obat yang tidak sesuai indikasinya. Sebagai contoh : pada kunjungan sebelumnya pasien
mendapatkan obat batuk karena ada keluhan batuk, pada kunjungan berikutnya pasien sudah
tidak mengeluhkan batuk, namun masih diberikan obat batuk karena Dokter menyalin resep
yang sama pada kunjungan sebelumnya tanpa melakukan telaah lagi.
7. Tidak adanya bunyi notifikasi khusus bila ada tambahan resep yang dituliskan dokter untuk
pasien tertentu, sehingga pihak farmasi harus sering melakukan pengecekan pada sistem ada
tidaknya tambahan resep. Pada saat kondisi pelayanan ramai, hal tersebut sering terlewatkan.
(a) (b)
Gambar 4. Aplikasi resep elektronik IGD
Ketika klinik rawat jalan, Paviliun Gatotkaca dan Instalasi Gawat Darurat telah memulai
penggunaan resep elektronik pada awal tahun 2018, berbeda halnya dengan unit hemodialisa
yang baru memulai penerapan resep elektronik pada akhir bulan November 2018. Proses pasien
hemodialisa yang lancar meliputi finger print, registrasi, anamnese, pemeriksaan, dan akses.
Resep program di mesin hemodialisa bisa selesai sekitar pukul 08.30. Selesai input data sekitar
pukul 10.00 (bila semua pasien tenang, tidak ada komplikasi, tidak ada konsultasi-konsultasi dari
ruangan) sehingga pelayanan obat bisa dimulai sekitar pukul 09.00. Kendala terjadi pada saat
banyak keluhan dari pasien, ada komplikasi, banyak konsultasi-konsultasi dari ruangan serta
tenaga medis (dokter) yang bertugas di unit hemodialisa yang terkadang hanya 1 orang sehingga
tidak mampu melakukan input resep elektronik sendirian. Kendala order resep lewat fitur di Unit
Hemodialisa tersebut menyebabkan pelayanan obat terlambat yaitu paling cepat bisa dimulai
sekitar pukul 10.00.
Untuk resep elektronik pasien rawat inap sampai sejauh ini belum dapat dilaksanakan
karena dibutuhkan persiapan dan konsep yang matang tentang aplikasi resep elektronik di
lapangan. Namun, untuk pasien rawat inap yang masuk melalui IGD telah diberikan resep
elektronik oleh dokter yang berjaga di IGD.
Apotek Apel
Pada bulan Juni 2018 RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang menunjukkan
komitmennya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan membuat inovasi
membuka klinik khusus bagi anak, perempuan dan lansia atau yang disingkat “Klinik Apel”.
Inovasi tersebut merupakan upaya yang dilakukan RSUD Wongsonegoro dalam memberikan
perlindungan terhadap kasus diskriminasi yang kerap menimpa anak, perempuan dan lanjut usia.
Melalui klinik Apel tersebut semua pelayanan dapat dilakukan di dalamnya. Seperti pendaftaran,
pemeriksaan, pengobatan, pemeriksaan laboratorium, dan apotek.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan signifikan terkait pelayanan kefarmasian yang
diberikan oleh Apotek Apel dengan depo farmasi yang lainnya. Di Apotek Apel juga diterapkan
penggunaan resep elektronik dan nomer antrian yang tidak jauh berbeda dengan Apotek rawat
jalan. Dengan dibukanya Apotek Apel dapat membantu mengurai antrian pengambilan obat di
Apotek rawat Jalan. Tidak ada kendala berarti dalam pelayanan kefarmasian di Apotek Apel,
kendala lebih berkaitan dengan kurang luasnya tempat sehingga sulit untuk mengatur tata letak
rak obat dan tempat menyimpan persediaan obat dan BHP.
Sistem Barcode
Sejak April 2018 telah dimulai penggunaan sistem antrian menggunakan barcode untuk
memudahkan pencatatan waktu tunggu. Pencatatan waktu tunggu dimulai sejak pasien
melakukan scan barcode yang tercetak di Form Kendali.
(a) (b)
Gambar 6. (a) Mesin Barcode (b) Tampilan antrian dengan sistem barcode
Ketika pasien melakukan scan barcode melalui mesin barcode (gambar 6a), pasien akan
mendapatkan nomer antrian dengan kode sesuai dengan resep dari dokter. Jika resep racikan
maka nomer antrian memiliki kode huruf “F”, sedangkan untuk resep non racikan memiliki kode
antrian berupa huruf “G” (gambar 7). Kertas nomor antrian yang tercetak rangkap 2. Lembar
pertama dipegang pasien atau keluarga pasien untuk pengambilan obat, sedangkan lembar kedua
ditempelkan bersama berkas (SEP dan Form Kendali). Pasien atau keluarga pasien yang
menunggu penyerahan obat dapat mengikuti antrian penyiapan obat melalui layar monitor
sampai sejauh mana antrian penyerahan obat (gambar 6b).
Pencatatan waktu tunggu akan berakhir ketika petugas farmasi menekan atau klik tombol
“Panggil” pada fitur SIMRS (gambar 8), maka nomer antrian akan secara otomatis terpanggil.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan sistem antrian barcode tersebut antara lain :
1. Memudahkan dan mempercepat proses pendokumentasian waktu tunggu pelayanan obat
2. Dengan menggunakan antrian barcode pasien atau keluarga pasien akan lebih merasa
puas dan lebih merasa nyaman karena pelayanan lebih bisa obyektif (tidak merasa ada
yang didahulukan atau terakhir).
3. Sistem antrian barcode bermanfaat bagi petugas farmasi untuk membantu menentukan
resep mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu sesuai dengan kedatangan resep.
Karena peracikan obat selesainya tidak urut, ada yang bisa cepat selesai ada yang
membutuhkan waktu lama. Dengan adanya barcode dapat membantu petugas saat
memanggil pasien yang racikannya sudah selesai.
4. Aplikasi antrian dapat membantu petugas farmasi untuk mengelola data-data pasien tanpa
harus direpotkan memanggil pasien satu persatu. Petugas farmasi tinggal menekan
tombol pada aplikasi antrian lalu memajukan nomor antrian berikutnya jika pasien sudah
selesai di layani.
Selain beberapa keuntungan di atas, sistem barcode memiliki beberapa kendala yang
masih dihadapi pihak farmasi, diantaranya :
1. Terjadinya pemadaman listrik PLN atau kerusakan perangkat keras atau gangguan pada
jaringan sehingga pemberian nomer antrian dilakukan secara manual.
2. Tidak semua pasien maupun keluarga pasien paham cara menggunakan mesin barcode
untuk mencetak nomer antrian sehingga masih membutuhkan pendampingan dari petugas
rumah sakit seperti security.
Apotek Online
Aplikasi Apotek Online adalah Sistem Aplikasi Pelayanan Apotek BPJS Kesehatan
Berbasis Web yang merupakan salah satu proyek pengembangan sistem aplikasi yang
mendukung operasional BPJS Kesehatan sesuai bisnis proses dalam pencatatan penagihan biaya
obat oleh fasilitas kesehatan. Adapun tujuan dibangunnya Aplikasi Apotek Online, yaitu :
1. Menyediakan sistem yang mendukung mekanisme penagihan biaya pelayanan obat diluar
Paket Kapitasi dan obat diluar INACBG’s
2. Menyediakan sistem yang dapat menggambarkan riwayat pelayanan obat dari setiap peserta
JKN secara Realtime Online sehingga dapat mencegah fraud pengambilan obat oleh peserta.
Implementasi Sistem Informasi Manajemen Aplikasi Pelayanan Apotek BPJS Kesehatan
Berbasis Web dilakukan dengan memanfaatkan infrastruktur jaringan internet secara maksimal
dengan pengaturan hak akses aplikasi oleh Kantor Cabang kepada Petugas Apotek atau Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Aplikasi Apotek Online mulai berjalan menggantikan sistem
Asterix sejak bulan Agustus 2018.
Beberapa kendala yang dihadapi petugas farmasi berkaitan dengan Apotek Online adalah:
1. Pada awal dimulainya Apotek Online (Agustus 2018) beberapa item obat belum masuk di
daftar referensi obat Apotek Online, antara lain : metformine 500 mg, spironolaktone 25 mg
dan 100 mg, fenofibrate 100 mg dan 300 mg, vitamin b complex, avodart, depakote ER 250
mg dan 500 mg, cilostazol, v-block, dan aminophillin 200 mg. Hal tersebut menyebabkan
tertundanya proses entri sehingga dibutuhkan 2 (dua) kali pengerjaan (tidak efisien waktu).
2. Sistem Apotek Online memanfaatkan infrastruktur jaringan internet, oleh sebab itu jika
koneksi internet tidak stabil dapat menghambat proses entri resep.
3. Proses entri realtime resep obat di Apotek Online memperlama waktu tunggu, karena
dilakukan 3 (tiga) kali proses entri yaitu entri resep untuk INACbgs, entri resep kronis dan
entri resep di Apotek Online.
4. Sering terjadi gangguan di server atau sistem BPJS seperti gangguan pada menu pencarian
peserta, dll sehingga dapat menghambat proses entri.
5. Pada bulan Oktober 2018 beberapa item obat sudah masuk dalam daftar referensi Apotek
Online, namun terkendala proses entri resep karena sudah dientri oleh rumah sakit lain pada
bulan berikutnya (Tabel 1). Sebagai contoh obat spironolaktone yang belum dientri di RSWN
pada bulan Agustus 2018 tetapi pasien sudah mendapatkan obat yang sama ketika kontrol di
rumah sakit lain pada bulan berikutnya (September) dan rumah sakit lain sudah melakukan
proses entri obat spironolaktone, maka petugas farmasi RSWN tidak dapat melakukan
proses entri obat tersebut untuk bulan Agustus. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan
menghubungi administrator rumah sakit lain tersebut untuk menghapus entrian obat
spironolaktone pada bulan berikutnya (September 2018). Daftar nama pasien, nama obat dan
nama rumah sakit terlampir.
6. Hingga saat ini masih terdapat 2 (dua) macam obat yang belum masuk ke dalam daftar
referensi Apotek Online yaitu vitamin b complex dan farsorbid 10 mg.
Tabel 1. Jumlah resep yang belum dapat dientri di Apotek Online
NO BULAN JUMLAH RESEP
1. Agustus 2018 57
2. September 2018 38
3. Oktober 2018 15
Rujukan Berjenjang
Rujukan berjenjang merupakan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan secara berjenjang
sesuai dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta BPJS
Kesehatan dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, atau dokter
keluarga yang tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan.
Apabila memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka peserta BPJS
Kesehatan dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua atau fasilitas kesehatan
sekunder.Rujukan ini hanya diberikan jika peserta BPJS Kesehatan membutuhkan pelayanan
kesehatan spesialistik, atau jika fasilitas kesehatan primer yang ditunjuk untuk melayani peserta
tersebut, tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan karena keterbatasan fasilitas, pelayanan,
dan atau tenaga medis. Jika peserta masih belum dapat tertangani di fasilitas kesehatan sekunder,
maka dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier untuk ditangani oleh dokter sub-spesialis yang
menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialistik.
Pada pertengahan tahun 2018 sejak diberlakukannya rujukan berjenjang berdampak pada
penurunan jumlah pasien di RSWN. Hal tersebut juga berdampak pada jumlah resep yang
dilayani oleh Instalasi Farmasi. Berkurangnya kunjungan pasien rawat jalan menyebabkan
penurunan jumlah lembar resep yang masuk ke Apotek Rawat Jalan. Dengan penurunan tersebut
diharapkan Index Kepuasan Masyarakat (IKM) terkait waktu tunggu dapat tercapai. Sedangkan
penurunan pasien rawat inap tidak begitu signifikan.
CPPT Paperless
Dengan meningkatnya mutu pelayanan di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro semarang
dengan menggunakan standar akreditasi rumah sakit serta tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi sehingga diperlukan pendokumentasian berbasis
computerized. Mulai 1 Agustus 2018 di RSWN telah dimulai penerapan CPPT (Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi) paperless (Gambar 9).
Pencatatan perkembangan pasien secara terintegrasi menggunakan teknik penulisan
Subyektif, Obyektif, Analisa dan Perencanaan (SOAP) melalui sistem teknologi informasi
dapat di lakukan dengan sistem computerized dan mendapatkan catatan yang lebih efisien dan
efektif. Koordinasi antar tim kesehatan juga dapat dilakukan dengan menggunakan sistem
teknologi informasi ini. Pencatatan di CPPT paperless dilakukan baik oleh Dokter, Apoteker,
Perawat, serta Ahli Gizi.
Keuntungan yang diperoleh dengan penerapan CPPT paperless bagi Apoteker RSWN
adalah :
1. Apoteker tidak perlu lagi berebut rekam medis pasien dengan tenaga medis lain jika hendak
mendokumentasikan kegiatannya dalam CPPT.
2. Apoteker dapat mengakses berbagai informasi yang berkaitan dengan data pasien seperti
hasil pengukuran tanda-tanda vital yang dilakukan oleh perawat, hasil laboratorium, terapi
pengobatan yang diberikan oleh DPJP, hasil radiologi, dll.
3. Sistem komputerisasi yang digunakan baik sebagai pencatatan maupun penyimpanan data
pasien dapat di akses kapan saja oleh Apoteker dari ruangan lain yang memiliki username
dan password yang terdaftar di SIMRS ketika menggantikan APJP ruangan tersebut yang
sedang berhalangan (ijin atau cuti).
4. Pengerjaannya lebih cepat sehingga lebih efisien waktu.
5. CPPT paperless ini juga akan menghasilkan suatu pencatatan yang lebih terstruktur yang
dapat mengintegrasikan semua data pasien ke dalam rekam medik elektronik yang sewaktu-
waktu dapat dimanfaatkan oleh Apoteker untuk melihat riwayat kesehatan pasien
sebelumnya meskipun pasien sudah dipulangkan, sehingga tidak perlu mencari berkasnya di
ruang rekam medik. Misalnya untuk kepentingan penelitian retrospektif.
Gambar 11. Tampilan CPPT paperless
Dengan demikian banyak manfaat yang dapat diambil oleh Apoteker dengan adanya
inovasi CPPT paperless tersebut. Para Apoteker ruangan merasa tidak ada kendala berarti terkait
pengaplikasian CPPT paperless. Kendala sebatas ketika terjadi gangguan pada sistem atau
jaringan komputer sehingga menghambat proses input SOAP.
Implementasi dari inovasi tersebut dilakukan dengan cara membuat paket obat dan BHP
(gambar 12) yang digunakan pada program tindakan operasi baik elektif maupun operasi cito.
Obat dan BHP yang disiapkan berdasarkan kebutuhan tindakan operasi sehingga mencegah
pemberian obat dan BHP yang berlebihan. Apabila operator atau perawat membutuhkan
tambahan obat dan BHP diluar paket yang telah disediakan maka dapat meminta tambahan
tersebut ke Apotek IBS.
Beberapa item BHP yang sebelumnya tidak jelas penguasaannya setelah dilakukan
sterilisasi dari CSSD, sejak bulan November 2018 dilakukan penertiban. Sebagai contoh
wrapping non woven yang setelah disterilisasi dikirim oleh CSSD ke bagian bedah sentral,
namun selama digunakan tidak pernah dikelola stok barang dan tidak dimasukkan ke dalam
tagihan pasien, maka hal tersebut berpotensi kerugian. Oleh sebab itu, wrapping non wofen
setelah disterilisasi selanjutnya dikirim ke bagian farmasi bedah sentral untuk dikelola baik stok
fisik maupun pengentriannya ke billing ke pasien. Demikian juga BHP lain seperti kassa tampon
(besar dan kecil), jarum mani, dan kassa steril.