Anda di halaman 1dari 40

REVIEW KEGIATAN INSTALASI FARMASI

RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO


TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau
bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik.
Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat
manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya
manusia, sarana, dan peralatan.
Instalasi Farmasi sebagai bagian dari unit pelayanan RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro
berkewajiban untuk mendukung pelayanan paripurna terhadap pasien. Instalasi Farmasi RSUD
K.R.M.T. Wongsonegoro melaksanakan tugas pokok dan wewenangnya sesuai yang telah
ditetapkan dan melaporkan pertanggung jawaban kegiatan.
Manajemen RSUD K.R.M.T. melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan
Instalasi Farmasi untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit sebagai bentuk
Pengendalian Mutu Pelayananan Kefarmasian.

B. MAKSUD DAN TUJUAN


Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro melaporkan capaian kegiatan dan
rencana kerja periode selanjutnya sebagai pertanggung jawaban kegiatan kepada Direktur RSUD
K.R.M.T. Wongsonegoro.
BAB II
INSTALASI FARMASI
RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO
A. STRUKTUR ORGANISASI
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/MENKES/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit struktur organisasi
Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro ditetapkan sebagai berikut :

Uraian tugas tertulis dari masing – masing staf Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun sesuai kebijakan
dan prosedur di Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro atau apabila perlu dilakukan
revisi karena reorganisasi.
Untuk meningkatkan capaian kinerja target kegiatan dan efisiensi organisasi untuk masa
kedepan diperlukan optimalisasi kesesuaian pekerjaan sesuai tugas dan tanggung jawab.
Koordinator Pelayanan dan Koordinator Mutu masih merangkap tugas sebagai Apoteker di Depo
Farmasi Rawat Jalan. Untuk itu masih diperlukan tambahan tenaga Apoteker sehingga
Koordinator bisa melaksanakan pekerjaan sesuai tugas dan tanggung jawabnya.

B. SUMBER DAYA MANUSIA


Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai
dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi
Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro.
Adapun jumlah staf Instalasi Farmasi sampai dengan Desember 2017 adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Jumlah Staf Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro
Per Desember 2018
No Uraian Jabatan Apoteker TTK Umum
1 Kepala Instalasi 1
2 Koordinator Pelayanan* 1
3 Koordinator Mutu* 1
4 Rawat Jalan dan apel 1 6
5 Hemodialisa - 1
6 Rawat Inap 1 11
7 IGD 10
8 IBS 10
9 Gatotkaca 1 6
10 Gudang farmasi 1 2
11 Administrasi 7
12 Reseptir 1
13 Pengantar Obat 2
14 Petugas Gas Medis 3
15 Klinis 15** 15**
22 61 13
*Koordinator Pelayanan dan Koordinator Mutu
merangkap tugas Apoteker di Depo Farmasi IBS dan
IGD
*Apoteker & TTK klinis melayani 21 bangsal, masih
ada beberapa Apoteker & TTK merangkap
mengerjakan lebih dari 1 bangsal.

Sesuai dengan rencana kerja RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro ada penambahan layanan
Sitostatika dan pencampuran obat pada tahun 2019 maka diperlukan tambahan tenaga di
Instalasi Farmasi sebagai berikut :

Tabel 2. Jumlah Usulan Staf Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro


No Uraian Jabatan Apoteker TTK Umum Keterangan
1 Kepala Instalasi 1
2 Koordinator Pelayanan 1 Tidak merangkap
3 Koordinator Mutu 1 Tidak merangkap
4 Rawat Jalan dan Apel 2 8 Sesuai rasio 1:50 resep
5 Hemodialisa - 1
6 Rawat Inap 1 13 Buka 24 jam
7 IGD 1 11
8 IBS 1 9 Buka 24 jam dan 12
OK
9 Gatotkaca 1 7 Buka
10 Gudang farmasi 1 3 Rasio pengadaan
11 Administrasi 7 Entri ulang
eprescribing
12 Reseptir 1
13 Pengantar Obat 2
14 Petugas Gas Medis 3
15 Klinis 15 16
16 Depo pencampuran 1 10 Buka 24 jam
obat aseptis
26 76 13

Berdasarkan perhitungan usulan jumlah staf diseusiakan dengan penambahan layanan


dan fasilitas terhadap jumlah staf yang telah ada. Disampaikan jumlah usulan tenaga sebagai
berikut :
Tabel 3. Jumlah Kekurangan Staf Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro
yang diusulkan
No Uraian Apoteker TTK Umum
1 Staf yang ada 22 61 12
2 Usulan 26 76 13
3 Kekurangan 4 15 1

C. FASILITAS DAN PERALATAN


Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan farmasi yang fungsional, profesional dan
etis diperlukan ruangan, peralatan dan fasilitas lain yang dapat mendukung administrasi,
profesionalisme dan fungsi teknik pelayanan farmasi. Fasilitas yang diperlukan di Instalasi
Farmasi adalah fasilitas gedung penyimpanan barang, fasilitas produksi sediaan farmasi, fasilitas
pendistribusian barang, fasilitas pemberian informasi dan edukasi dan fasilitas penyimpanan
arsip resep.
Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro telah memiliki fasilitas Gudang
Farmasi untuk penyimpanan sediaan farmasi. Sesuai dengan hasil asesment Akreditasi versi
2012 tidak ditemukan temuan mayor dan minor yang tidak sesuai dengan kaidah dan persyaratan
penyimpanan sediaan farmasi. Namun fasilitas produksi sediaan farmasi yang memenuhi standar
ruang produksi belum dimiliki. Diharapkan dengan rencana pelayanan sediaan sitostatika turut
pula difasilitasi pengadaan ruang produksi sediaan farmasi.
Untuk distribusi sediaan farmasi telah sesuai dengan standar, untuk sediaan dengan
volume dan ukuran kecil diusulkan untuk menggunakan fasilitas pneumatic tube. Untuk
sementara fasilitas pneumatic tube baru dipakai untuk pengiriman sampel laboratorium.
Fasilitas ruangan yang digunakan untuk pemberian konsultasi dan edukasi pasien masih
belum memenuhi, untuk itu kami mengusulkan adanya ruangan konsultasi dan edukasi pasien
terutama di depo farmasi rawat jalan. Begitupun dengan ruang penyimpanan arsip resep maupun
berkas administrasi, mengingat masa pemusnahan resep adalah setelah melampaui 5 tahun.
Resep dan berkas administrasi yang belum masanya dimusnahkan perlu disimpan pada fasilitas
penyimpanan yang memadai, memudahkan pencarian pada saat di butuhkan misalkan saat ada
audit.
BAB III
PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI, MUTU
DAN PELAYANAN KEFARMASIAN

A. PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI


Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro bertanggung jawab terhadap
pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan
perbekalan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan ketentuan
yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat dan keamannnya. Pengelolaan perbekalan
farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan kefarmasian.
Biaya yang diresepkan untuk penyediaan obat merupakan komponen terbesar dari
pengeluaran rumah sakit. Di banyak negara berkembang belanja obat di rumah sakit dapat
menyerap sekitar 40-50% biaya keseluruhan rumah sakit. Belanja perbekalan farmasi yang
demikian besar tentunya harus dikelola dengan efektif dan efisien, hal ini diperlukan mengingat
dana kebutuhan obat di rumah sakit tidak selalu sesuai dengan kebutuhan. Instalasi Farmasi
Rumah Sakit (IFRS) adalah bagian yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan perbekalan
farmasi. Agar pengelolaan perbekalan farmasi dan penyusunan formularium di rumah sakit dapat
sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan kegiatan yang sesuai dengn kebijakan dan
prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan kaidah kefarnasian.

Kegiatan yang dilakukan


1. Perencanaan.
Perencanaan perbekalan farmasi adalah salah satu fungsi yang menetukan dalam proses
pengadaan perbekalan farmasi dirumah sakit. Tujuan perencanaan perbekalan farmasi adalah
untuk mendapatkan jenis dan jumlah perbekalan farmasi sesuai dengan pola penyakit dan
kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Perencanaan di Intalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro dilakukan dengan
mengikuti Formularium RS yang mengacu pada Formularium Nasional. Formularium RS
mengikat bagi dokter penulis resep untuk memberikan terapi sesuai yang telah disepakati melalui
rapat rutin oleh Panitia Farmasi dan Terapi.
Dalam pelaksanaannya review terhadap kepatuhan dokter dlm menulis resep sdh sesuai
formularium dgn target 90% sudah tercapai 99,95 % pencapaian dapat dilampaui karena di
berlakukannya kebijakan tentang penulisan resep sesuai formularium, retriksi dan
pembatasannya, berlaku utk pasien umum dan BPJS.

Hal hal yang dilakukan dalam perencanaan :


- Formularium mengacu pada Formularium Nasional digunakan baik untuk pasien BPJS
maupun pasien Umum.
- Perbekalan farmasi diluar formularium bisa diadakan apabila ada persetujuan manajemen
melalui formulir pengajuan oleh dokter.
- Formularium RS minimal 2 tahun sekali direvisi namun pada pelaksaanya telah
dilakukan revisi setiap 6 bulan dengan melibatkan perwakilan dokter dalam wadah rapat
yang diadakan Panitia Farmasi dan Terapi.
2. Pengadaan
Instalasi Farmasi dalam melakukan kegiatan pengadaan mengacu pada Rencana Anggaran
Keuangan yang digunakan untuk pembelanjaan perbekalan farmasi pada tahun 2018 telah
ditetapkan melalui perubahan sebagai berikut :

Mata anggaran   2018


20.000.000.000,0
OBAT 0
15.000.000.000,0
BHP 0
8.000.000.000,0
REAGEN 0
2.000.000.064,0
OKSIGEN 0
45.000.000.064,0
JUMLAH 0

Sedangkan pencapaian pengadaan perbekalan farmasi sampai dengan Desember 2018 sebagai
berikut :
Mata anggaran   2018
20.219.153.872,0
OBAT 8
20.576.435.173,4
BHP 1
5.122.019.185,4
REAGEN 0
1.694.183.628,0
OKSIGEN 2
47.611.791.858,9
JUMLAH 1

Terlihat dalam table bahwa pengadaan perbekalan farmasi melebihi dari RAK yang telah
ditetapkan dalam perubahan anggaran. Namun dari RAK sebelum perubahan sebesar 50 milyar
pelaksanaan nya tidak melebihi anggaran sebelum nya. Diibandingkan dengan prosentase
dibanding total revenue RS sebesar 190 milyar, maka pengadaan perbekalan farmasi didapat
sebesar 25,06%.
Hal hal yang dilakukan dalam pengadaan :
- Sesuai kebijakan RS maka pengadan diutamakan perbekalan yang masuk dalam e katalog
melalui mekanisme e purchasing.
- Kecuali ada kekosongan persediaan atau perbekalan sub standar, pengadaan perbekalan
farmasi bisa dilakukan diluar e katalog dengan mengutamakan harga termurah.
- Jumlah pengadaan dihitung berdasarkan histori pengadaan yang diperoleh dari
perhitungan melaui menu SIM RS.
- Untuk sediaan perbekalan farmasi dihindari adanya double persediaan, satu komposisi
obat hanya disediakan satu sediaan kecuali untu sediaan tertentu sesuai dengan
rekomendasi dokter dengan memperhatikan efektifitas terapi dengan persetujuan
manajemen RS. Comtohnya dalah sediaan epodion dan hemapo inj.
3. Distribusi
Dalam periode Januari sd Desember 2018
Rincian kegiatan Periode Jan – Des 2018
Pemesanan ruangan 39.587
Penerimaan barang 10.677
Pengiriman barang 45.855

Ruangan tujuan distribusi perbekalan farmasi


No Nama ruangan No Nama ruangan No Nama ruangan
1 Anestesi 31 K3RS 61 Klinik Paru
2 Apotik APEL 32 Kamar Jenazah 62 Klinik Saraf
3 Apotik Gatotkaca 33 Klinik Akupuntur 63 Klinik THT
Klinik Tumbuh
Apotik IBS 34 Klinik Anak 64
4 Kembang Anak
5 Apotik IGD 35 Klinik Anak Gatotkaca 65 Komite PMKP
Lab. Patology
Apotik Rawat Inap 36 Klinik Bedah Digestif 66
6 Anatomi
7 Apotik Rawat Jalan 37 Klinik Bedah Gatotkaca 67 Lab. Patology Klinik
Klinik Bedah Kepala dan
Arimbi 38 68 Laundry
8 Leher
9 ARJUNA 1 39 Klinik Bedah Syaraf 69 NAKULA 1
10 ARJUNA 2 40 Klinik Bedah Umum 70 NAKULA 2
11 Bank Darah 41 Klinik Dalam 71 NAKULA 3
12 Banowati 42 Klinik Dalam Gatotkaca 72 NAKULA 4
13 Bedah Sentral 43 Klinik Geriatri 73 NICU
Nurse Station
Bidang Keperawatan 44 Klinik Gigi Anak 74
14 Gatotkaca
Klinik Gigi Anak
Bidang Pelayanan 45 75 Operator
15 Gatotkaca
Klinik Gigi Konservasi
Bima 46 76 Parikesit/Gyn
16 Gatotkaca
17 CSSD 47 Klinik Gigi Ortodonsi 77 Perinatologi
Klinik Gigi Ortodonsi
Dewi Kunthi 48 78 Perlengkapan(Gudang)
18 Gatotkaca
Klinik Gigi Sp Bedah
Diklat 49 79 PICU
19 Mulut
Klinik Gigi Sp
Gatotkaca 2 50 80 Pool Driver
20 Konservasi
21 Gatotkaca 3 51 Klinik Gigi Umum 81 Prabu Kresna
Klinik Gynekologi
Gatotkaca 4 52 82 Radiologi Sentral
22 Gatotkaca
Klinik Gynekologi/
Gawat Darurat 53 83 Registrasi RI
23 Kebidanan
Klinik Jantung dan
Gizi Sentral 54 84 Registrasi RJ
24 Pembuluh Darah
25 Gudang (Perlengkapan) 55 Klinik Kosmetik Medik 85 Rehabilitasi Medik
26 HCU/HND 56 Klinik Kulit & Kelamin 86 Srikandi
27 Hemodialisa 57 Klinik Mata 87 Sub Bagian Umum
Instalasi Pengolahan Air
58 Klinik Mata Gatotkaca 88 Verifikasi Keuangan
28 Limbah
Intensive Care Unit Klinik Medical Check-
59 89 VK Bersalin
29 (ICU) Up
30 IPSRS 60 Klinik Orthopedi 90 Yudistira

Hal hal yang dilakukan dalam distribusi :


- Sesuai dengan kebijakan RS dimana menganut satu pintu, perbekalan farmasi
didistribusikan hanya oleh Instalasi Farmasi. Seluruh unit di RS melakukan permintaan
perbekalan farmasi kepada Instalasi Farmasi.
- Untuk permintaan rutin, unit terkait melakukan perhitungan sesuai kebutuhan dan
disampaikan kepada Instalasi Farmasi dan diadakan sesuai perhitungan tersebut.
- Stok perbekalan farmasi yang telah dikirimkan kepada unit peminta menjadi tanggung
jawab unit tersebut termasuk perhitungan stok opname pada akhir periode tertentu.
- Apabila permintaan perbekalan farmasi dilakukan menurut permintaan resep sessuai
rekening pasien maka perhitungan / pengentrian dan pengeluaran dilakukan di depo
farmasi. Namun apabila pengeluaran perbekalan farmasi dilakukan di unit di luar farmasi
maka perhitungan / pengentrian menjadi tanggung jawab unit terkait melalui mekanisme
perhitungan akomodasi dsb.

B. MUTU
Indikator adalah suatu cara untuk menilai penampilan dari suatu kegiatan dengan

menggunakan instrumen. Indikator merupakan variabel yang digunakan untuk menilai

suatu perubahan. Indikator mutu pelayanan Rumah Sakit ini mempunyai manfaat yang

sangat banyak bagi pengelola Rumah Sakit, terutama untuk mengukur kinerja rumah

sakit itu sendiri (Self assement). Manfaat tersebut antara lain sebagai alat untuk

melaksanakan manajemen kontrol dan alat untuk mendukung pengambilan keputusan

dalam rangka perencanaan kegiatan untuk masa yang akan mendatang.

Sasaran mutu yang telah ditetap sebagai tolok ukur mutu pelayanan kefarmasian di IFRS

RSUD K.M.R.T.Wongsonegoro adalah ;

1 . Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat Inap tercapai 98,26 %

2. Kepatuhan Penulisan Resep Sesuai Formularium tercapai : 99,95%

3. Tidak Ada Kesalahan Pemberian Obat tercapai : 0 %

4. Pelabelan Obat yang Diwaspadaitercapai : 99,68 %

5. Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat Jalan (Racikan) tercapai: 80,48 %


6. Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat Jalan (Non Racikan)tercapai : 80,31 %

7. Pemenuhan Permintaan Obat dan BHP sesuai Kebutuhan Pasientercapai : 99.17 %

Indikator : Pelabelan Obat yang Diwaspadai

Indikator : Pemenuhan Permintaan Obat dan BHP sesuai Kebutuhan Pasien


Indikator : Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat I

Indikator : Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat Jalan (Non Racikan)

Indikator : Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat Jalan (Racikan)


Indikator : Tidak Ada Kesalahan Pemberian Obat

Indikator : Kepatuhan Penulisan Resep Sesuai Formularium

Dari data tabel diatas menunjukan bahwa standar mutu sudah mencapai standar mutu yg telah

di tetapkan sudah lebihihi target yaitu :

1. Waktu tunggu pelayanan resep rawat inap dengan target 80% , tercapai 98,26 %, ini
menunjukan bahwa pelayan resep rawat inap bisa di layani kurang dari 60 menit ( sudah
lebih cepat) hal ini karenakan berlakunya pengisian cppt dan penulisan resep melalui
komputer ( paperles ) shg tulisan nama obat jelas dan pelayanan lebih cepat.
2. Kepatuhan dokter dlm menulis resep sdh sesuai formularium dgn target 90% sudah tercapai
99,95 % pencapaian dapat dilampaui karena di berlakukannya kebijakan tentang penulisan
resep sesuai formularium, retriksi dan pembatasannya, berlaku utk pasirn umum dan BPJS,
subtitusi obat jk ada resep obat diluar formularium sehingga semua kebutuhan obat utk
pasienrs dapat disediakan dan terlayani oleh IFRS
3. kesalahan pemberian obat target 0 % tercapai 0 %, pencapai ini dikarena dan penulisan
resep melalui komputer ( paperles ) shg tulisan nama obat jelas , petugas lebih mudah
membaca permintaan obat dan petugas farmasi melayani lebih teliti (cek dua kali)
4. Pelabelan Obat yang harus di waspadai target 100 % , tercapai 99, 68 %, ini menunjukan
bahwa masih ada obat yg terlewat di beri label / label lepas (Waspada obat) Upaya yg harus
dilakukan yaitu :
a. Melukan pelabelan pada kemasan saat menerima barang
b. Meningkatkan kepedulian petugas gudang dan petugas farmasi di depo obat
untuk selalu mengontrol pelabelan obat yg harus diwaspadai.
5. waktu tunggu pelayanan resep rawat jalan ( racikan ) target 80% tercapai 80,48 %,
pencapaian ini di karena dokter melulis sdh resep sesuai formularium dan penulisan resep
melalui komputer ( paperles ) shg tulisan nama obat jelas dan pelayanan resep racikan di
rawat jalan sdh lebih cepat ( < 30 mnt.)
6. waktu tunggu pelayanan resep rawat jalan ( racikan ) target 80% tercapai 80,31 % sdh lebih
cepat ( < 60 mnt )
7. Pemenuhan Permintaan Obat dan BHP sesuai Kebutuhan Pasien dgn target 90 % tercapai
99.17 %, pencapaian ini dpt dilampaui karena dlm menyusun formularium melibatkan dokter
,penulisan resep sesuai formularium dan IFRS dpt melakukan penggantian bila ada
kekosongan obat, menjaga buffr stok, sehingga terjamin ketersediaan obat dan bhp di IFRS.

C. . PELAYANAN FARMASI KLINIK


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya
efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas
hidup pasien (quality of life) terjamin.
Berdasarkan Permenkes No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep;
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat;
3. Rekonsiliasi Obat;
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
5. Konseling;
6. Visite;
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10. Dispensing Sediaan Steril; dan
11. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD);
Pelayanan farmasi klinis di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro telah dimulai sejak tahun 2015
meskipun hanya di beberapa bangsal saja. Dari 11 kegiatan ada 10 kegiatan farmasi klinis yang
dilakukan di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang, yaitu :

1. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Pengkajian resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila
ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker
melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administratif, persyaratan farmasetik, dan
persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Pengkajian resep di RSUD
K.R.M.T Wongsonegoro dilakukan oleh Apoteker.
Apoteker juga melakukan pengkajian terkait 7 (tujuh) benar atau tepat yang meliputi
tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat indikasi, tepat waktu, tepat dokumentasi dan tepat cara
pemberian. Apabila obat yang diresepkan telah memenuhi 7 tepat maka dapat dilakukan
checklist pada sistem entrian SIMRS (gambar 1).

Gambar 1. Checklist 7 (tujuh) tepat

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan sediaan


farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan,
penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan
upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error). Apoteker juga
melakukan
Berdasarkan data laporan pelayanan kefarmasian diketahui bahwa pada tahun 2018
terjadi peningkatan jumlah kegiatan pengkajian dan pelayanan resep sebesar 2,98%
dibandingkan tahun 2017. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Pengkajian dan Pelayanan Resep

2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi
mengenai seluruh obat / sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat
pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/ pencatatan penggunaan obat
pasien.

Gambar 3. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Gambar 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2017 jumlah kegiatan penelusuran riwayat
penggunaan obat adalah 0 (nol), namun bukan berarti kegiatan tersebut tidak dilakukan. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan karena tidak terdokumentasikannya kegiatan penelusuran
riwayat penggunaan obat oleh Apoteker. Sedangkan pada tahun 2018 kegiatan penelusuran
riwayat penggunaan obat tercatat sebesar 38044.

3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat
yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat
(medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat.
Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit
ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke
layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Kegiatan rekonsiliasi di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro dilakukan oleh Apoteker
terhadap semua pasien baik pasien rawat jalan maupun rawat inap. Apoteker juga akan mencatat
ada atau tidaknya riwayat alergi obat dan bilamana ada obat yang dibawa pasien dari luar rumah
sakit untuk selanjutnya dilaporkan kepada DPJP. Hingga akhir tahun 2018 kegiatan rekonsiliasi
baru dapat dilakukan oleh Apoteker pada pagi dan siang hari. Pada siang hari rekonsiliasi
dilakukan di bagian triase IGD oleh Apoteker ruangan sesuai jadwal masing-masing.

Gambar 4. Rekonsiliasi Obat


Sama seperti kegiatan penelusuran riwayat penggunaan obat, kegiatan rekonsiliasi pada
tahun 2017 tidak terdokumentasi oleh Apoteker, sehingga tidak ada data jumlah kegiatan yang
dilakukan. Sedangkan pada tahun 2018 kegiatan rekonsiliasi obat tercatat sebesar 37963.

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang
dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien
dan pihak lain di luar rumah sakit.
Kegiatan PIO yang dilakukan di RSWN meliputi menjawab setiap pertanyaan dari pasien
terkait obat, pemberian informasi obat kepada pasien pulang untuk rawat inap, penjelasan
informasi obat pada pasien rawat jalan saat penyerahan obat, pemberian informasi obat kepada
perawat maupun nakes yaang lain, pembuatan leaflet, dan pembuatan buku saku (Gambar 5).

Gambar 5. Leaflet untuk Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Kegiatan PIO mengalami peningkatan pada tahun 2018 sebesar 5,38% dibandingkan
tahun 2017 (Gambar 6). Hal tersebut dipengaruhi oleh makin meningkatnya kebutuhan akan
informasi obat baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan lain.

Gambar 6. Pelayanan Informasi Obat


5. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari
Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Pemberian konseling obat bertujuan
untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki
(ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety).
Pemberian konseling oleh Apoteker RSWN diutamakan untuk pasien kondisi khusus
(pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui); pasien dengan terapi jangka
panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, pasien HIV/AIDS dan lain-lain); pasien yang
menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin); pasien yang menggunakan
banyak obat (polifarmasi); dan pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.

Gambar 7. Konseling

Dibandingkan tahun 2017, kegiatan konseling pada tahun 2018 menunjukkan


peningkatan sebesar 23,14%. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 7. Peningkatan kegiatan
konseling disebabkan makin meningkatnya jumlah pasien yang menggunakan obat sehingga
meningkat pula kebutuhan akan konseling.

6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara
langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada
dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.

Gambar 8. Kegiatan visite bersama DPJP (kiri), bersama perawat (kanan)

Gambar 9. Visite

Kegiatan visite Apoteker di RSWN dilakukan setiap hari secara mandiri maupun bersama
dokter dan tenaga kesehatan lain (perawat atau ahli gizi). Apoteker yang melakukan kegiatan
visite wajib mendokumentasikan kegiatannya dalam Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi
(CPPT). Pada tahun 2018 kegiatan visite mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan yaitu
sebesar 4,42% dibandingkan tahun 2017 (Gambar 8).

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah
meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD).
Tidak semua pasien di RSWN dilakukan pemantauan terapi obat diantaranya pasien
dengan kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui);
pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, pasien HIV/AIDS dan
lain-lain); pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin)
serta pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi). Kegiatan PTO didokumentasikan
dalam rekam medis dengan mengisi Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT).

Gambar 10. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Pada tahun 2018 kegiatan pemantauan terapi obat mengalami kenaikan sebanyak 23,97%
dibandingkan tahun 2017 (Gambar 10). Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah
pasien yang membutuhkan pemantauan terapi obat. Hal tersebut dipengaruhi juga dengan
dibukanya beberapa layanan baru rawat inap seperti ruang rawat Gatotkaca 3, Gatotkaca 4, serta
bertambahnya jumlah tempat tidur ruang ICU, HCU, PICU, dan NICU.

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon
terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi obat
yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. Apoteker RSWN bilamana
menemukan kejadian efek samping obat segera mendokumentasikan pada form kuning untuk
selanjutnya dilaporkan kepada kepala Instalasi Farmasi dan Tim MESO.
Pada tahun 2018 tidak terdapat data laporan kejadian efek samping obat di RSWN. Hal
tersebut dapat disebabkan karena pengetahuan yang kurangnya kesadaran pasien dan / atau
keluarga pasien untuk melaporkan setiap kejadian tidak diharapkan akibat penggunaan obat,
kurang memadai tentang prosedur pelaporan ESO oleh tenaga kesehatan RS, serta ketidakpastian
hubungan penyebab antara ADR (Adverse Drug Reaction) dan obat.

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)


Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan obat yang
terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Kegiatan EPO di RSWN
dilakukan secara berkala.
Meningkatnya jumlah pasien berdampak pada meningkatnya penggunaan obat sehingga
mendasari dilakukannya evaluasi penggunaan obat di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro. Kegiatan
EPO dilakukan dengan membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu.
Namun dari gambar 11 terlihat bahwa kegiatan EPO dari 2017 ke 2018 turun sekitar 12,12%. Ke
depan dengan penurunan jumlah kegiatan EPO pada tahun 2018 dapat mamacu semangat para
Apoteker untuk lebih meningkatkan pelaksanaan kegiatan EPO agar mendapatkan gambaran
keadaan saat ini atas pola penggunaan obat, membandingkan pola penggunaan obat pada periode
waktu tertentu, memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat dan menilai pengaruh
intervensi atas pola penggunaan obat.

Gambar 11. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

10. Dispensing Sediaan Steril


Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik
untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat
berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan
steril belum seluruhnya dilakukan di semua ruang perawatan terkait belum adanya sarana dan
prasarana yang memadai. Kegiatan dispensing sediaan steril pada tahun 2018 mengalami
penurunan sebanyak 93,46% (Gambar 12). Direncanakan pada tahun 2019 akan dibuka layanan
farmasi berupa ruang aseptis yang bertempat diruang parikesit. Ruang aseptis digunakan oleh
tenaga farmasi baik Apoteker maupun Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang sudah terlatih
untuk melakukan kegiatan pencampuran obat suntik (IV Admixture).
Gambar 12. Dispensing Sediaan Steril

11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)


Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan
kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit
atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
Pada dasarnya obat-obat yang perlu dilakukan pemantauan kadarnya mempunyai kriteria
atau kondisi klinik antara lain:
a. Obat yang mempunyai batas keamanan (margin of safety) yang sempit
b. Efek toksis sukar diamati atau dipastikan secara klinis
c. Efek terapinya sukar di pantau secara klinis
d. Kadar obat dalam plasma bervariasi antar individu
e. Penderita mempunyai gangguan pada salah satu organ ekskresi
f. Penderita yang sudah diberi dosis tetapi memperlihatkan tanda toksik atau tidak
memperlihatkan efek terapi yang diharapkan
g. Terjadinya interaksi obat akibat polifarmasi
h. Untuk menilai kepatuhan penderita makan obat secara teratur
Namun karena kurangnya sarana dan prasarana laboratorium yang dapat mendukung
maka kegiatan PKOD hingga saat ini belum dapat dilakukan di RSWN. Jika informasi
terkait kadar obat tertentu dalam darah sangat diperlukan oleh DPJP maka proses
pemeriksaan kadar obat dapat dilakukan di laboratorium
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya
efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas
hidup pasien (quality of life) terjamin.
Berdasarkan Permenkes No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
12. Pengkajian dan Pelayanan Resep;
13. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat;
14. Rekonsiliasi Obat;
15. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
16. Konseling;
17. Visite;
18. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
19. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
20. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
21. Dispensing Sediaan Steril; dan
22. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD);

Sistem E-Prescribing
Pada awal bulan Januari 2018 di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang mulai
diberlakukan sistem e-prescribing. Sistem resep elektronik atau e-prescribing adalah sistem
komputerisasi penulisan resep obat. Pada sistem ini, dokter menuliskan dan mengirimkan resep
kepada bagian farmasi/apotek menggunakan media elektronik menggantikan tulisan tangan dan
penggunaan media kertas.

Gambar 1. Aplikasi pengisian resep elektronik oleh dokter


1. Kolom Jenis Obat digunakan untuk menentukan jenis obat yang akan dientri yaitu Biasa
atau Racikan (Kapsul, Puyer atau Salep). Bila item obat merupakan racikan, dokter hanya
menuliskan dosis obat tanpa perlu menuliskan jumlah obat.
2. Kolom Perintah Racikan digunakan untuk menuliskan keterangan perintah resep racikan
untuk Farmasi. Contoh : M F Pulv dtd No. XV …. 3 dd 1 Bungkus
3. Tombol Resep Sebelumnya digunakan untuk melihat detail resep yang sebelumnya
pernah diberikan kepada pasien dan datanya dapat digunakan kembali untuk resep
kunjungan saat ini dengan memilih item resep yang akan digunakan kembali lalu tekan
tombol Gunakan.

Gambar 2. Tampilan Riwayat Resep Sebelumnya

Permintaan
resep dari
dokter

Gambar 3. Tampilan resep dokter setelah terkirim ke bagian Apotek

Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan diterapkannya sistem resep elektronik adalah :
1. Dengan resep elektronik menghilangkan kemungkinan salah penafsiran dari tulisan tangan
dokter dan mempersingkat waktu dalam membaca resep sehingga memungkinkan farmasi
dapat mempersiapkan resep lebih cepat.
2. Percepatan penerimaan resep di apotek sebelum pasien meninggalkan tempat praktek dokter,
sehingga ketika pasien tiba di apotek, diharapkan waktu tunggu menjadi lebih singkat.
3. Meningkatkan kepatuhan dokter terhadap formularium obat, karena obat-obat yang
tercantum dalam database SIMRS hanya yang terdapat dalam Formularium RS dan
dilengkapi dengan retriksi / batasan peresepan obat.
4. Dokter dapat menggunakan fitur “Gunakan” resep sebelumnya bilamana obat-obat yang
hendak diresepkan ke pasien sama dengan riwayat resep sebelumnya sehingga mempercepat
proses input resep oleh dokter.
5. Peningkatan perbaikan kesalahan resep yang dibuat oleh dokter seperti penulisan dosis yang
tidak lengkap.

Sedangkan kendala yang masih dihadapi terkait penerapan resep elektronik antara lain :
1. Terjadinya pemadaman listrik PLN yang bisa mengganggu pelayanan pasien.
2. Kemungkinan kerusakan perangkat keras atau gangguan pada jaringan sehingga dokter
maupun pihak apotek tidak bisa mengoperasikan program resep elektronik.
3. Beberapa dokter di IGD terkadang tidak menuliskan signa yang jelas di resep elektronik
sehingga menyulitkan pihak apotek untuk memberikan aturan pemakaian yang jelas pada
label obat. Begitu juga untuk obat racikan berupa puyer seringkali hanya ditulis jumlah
obatnya saja (tidak dituliskan berapa milligram kandungan obat yang dikehendaki tiap
bungkusnya). Oleh sebab itu pihak farmasi harus sering melakukan konfirmasi kepada dokter
penulis resep. Contoh : Infus Ringer Lactat tidak ada keterangan signa diberikan berapa tetes
per menit, demikian juga dengan injeksi ranitidine (gambar 4a).
4. Tidak adanya keterangan pada resep elektronik apakah pasien akan di rawat inap atau sedang
menjalani observasi (gambar 4b) karena pemberian obat harus harus disesuaikan jumlahnya.
Untuk pasien yang dirawat inap akan diberikan obat secara oddd (one daily dose dispensing),
sedangkan pasien observasi diberikan juga obat untuk dibawa pulang.
5. Penulisan resep racikan berupa puyer yang terkadang dilakukan oleh mahasiswa praktikan
kedokteran sering tidak sesuai dosisnya (terlalu kecil atau besar). Hal ini kemungkinan
disebabkan karena mahasiswa praktikan tersebut kurang jelas dalam membaca tulisan dokter
sehingga perlu dilakukan konfirmasi ulang ke klinik yang bersangkutan.
6. Penggunaan fitur “Gunakan Riwayat Resep Sebelumnya” memberikan kemudahan bagi
Dokter dalam menuliskan obat untuk pasien, namun banyak dijumpai pasien mendapatkan
obat yang tidak sesuai indikasinya. Sebagai contoh : pada kunjungan sebelumnya pasien
mendapatkan obat batuk karena ada keluhan batuk, pada kunjungan berikutnya pasien sudah
tidak mengeluhkan batuk, namun masih diberikan obat batuk karena Dokter menyalin resep
yang sama pada kunjungan sebelumnya tanpa melakukan telaah lagi.
7. Tidak adanya bunyi notifikasi khusus bila ada tambahan resep yang dituliskan dokter untuk
pasien tertentu, sehingga pihak farmasi harus sering melakukan pengecekan pada sistem ada
tidaknya tambahan resep. Pada saat kondisi pelayanan ramai, hal tersebut sering terlewatkan.

(a) (b)
Gambar 4. Aplikasi resep elektronik IGD

Ketika klinik rawat jalan, Paviliun Gatotkaca dan Instalasi Gawat Darurat telah memulai
penggunaan resep elektronik pada awal tahun 2018, berbeda halnya dengan unit hemodialisa
yang baru memulai penerapan resep elektronik pada akhir bulan November 2018. Proses pasien
hemodialisa yang lancar meliputi finger print, registrasi, anamnese, pemeriksaan, dan akses.
Resep program di mesin hemodialisa bisa selesai sekitar pukul 08.30. Selesai input data sekitar
pukul 10.00 (bila semua pasien tenang, tidak ada komplikasi, tidak ada konsultasi-konsultasi dari
ruangan) sehingga pelayanan obat bisa dimulai sekitar pukul 09.00. Kendala terjadi pada saat
banyak keluhan dari pasien, ada komplikasi, banyak konsultasi-konsultasi dari ruangan serta
tenaga medis (dokter) yang bertugas di unit hemodialisa yang terkadang hanya 1 orang sehingga
tidak mampu melakukan input resep elektronik sendirian. Kendala order resep lewat fitur di Unit
Hemodialisa tersebut menyebabkan pelayanan obat terlambat yaitu paling cepat bisa dimulai
sekitar pukul 10.00.
Untuk resep elektronik pasien rawat inap sampai sejauh ini belum dapat dilaksanakan
karena dibutuhkan persiapan dan konsep yang matang tentang aplikasi resep elektronik di
lapangan. Namun, untuk pasien rawat inap yang masuk melalui IGD telah diberikan resep
elektronik oleh dokter yang berjaga di IGD.

Apotek Apel
Pada bulan Juni 2018 RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang menunjukkan
komitmennya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan membuat inovasi
membuka klinik khusus bagi anak, perempuan dan lansia atau yang disingkat “Klinik Apel”.
Inovasi tersebut merupakan upaya yang dilakukan RSUD Wongsonegoro dalam memberikan
perlindungan terhadap kasus diskriminasi yang kerap menimpa anak, perempuan dan lanjut usia.
Melalui klinik Apel tersebut semua pelayanan dapat dilakukan di dalamnya. Seperti pendaftaran,
pemeriksaan, pengobatan, pemeriksaan laboratorium, dan apotek.

Gambar 5. Klinik Apel RSWN

Pada dasarnya tidak ada perbedaan signifikan terkait pelayanan kefarmasian yang
diberikan oleh Apotek Apel dengan depo farmasi yang lainnya. Di Apotek Apel juga diterapkan
penggunaan resep elektronik dan nomer antrian yang tidak jauh berbeda dengan Apotek rawat
jalan. Dengan dibukanya Apotek Apel dapat membantu mengurai antrian pengambilan obat di
Apotek rawat Jalan. Tidak ada kendala berarti dalam pelayanan kefarmasian di Apotek Apel,
kendala lebih berkaitan dengan kurang luasnya tempat sehingga sulit untuk mengatur tata letak
rak obat dan tempat menyimpan persediaan obat dan BHP.

Sistem Barcode
Sejak April 2018 telah dimulai penggunaan sistem antrian menggunakan barcode untuk
memudahkan pencatatan waktu tunggu. Pencatatan waktu tunggu dimulai sejak pasien
melakukan scan barcode yang tercetak di Form Kendali.
(a) (b)
Gambar 6. (a) Mesin Barcode (b) Tampilan antrian dengan sistem barcode

Ketika pasien melakukan scan barcode melalui mesin barcode (gambar 6a), pasien akan
mendapatkan nomer antrian dengan kode sesuai dengan resep dari dokter. Jika resep racikan
maka nomer antrian memiliki kode huruf “F”, sedangkan untuk resep non racikan memiliki kode
antrian berupa huruf “G” (gambar 7). Kertas nomor antrian yang tercetak rangkap 2. Lembar
pertama dipegang pasien atau keluarga pasien untuk pengambilan obat, sedangkan lembar kedua
ditempelkan bersama berkas (SEP dan Form Kendali). Pasien atau keluarga pasien yang
menunggu penyerahan obat dapat mengikuti antrian penyiapan obat melalui layar monitor
sampai sejauh mana antrian penyerahan obat (gambar 6b).

Gambar 7. Karcis nomer antrian pengambilan obat

Pencatatan waktu tunggu akan berakhir ketika petugas farmasi menekan atau klik tombol
“Panggil” pada fitur SIMRS (gambar 8), maka nomer antrian akan secara otomatis terpanggil.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan sistem antrian barcode tersebut antara lain :
1. Memudahkan dan mempercepat proses pendokumentasian waktu tunggu pelayanan obat
2. Dengan menggunakan antrian barcode pasien atau keluarga pasien akan lebih merasa
puas dan lebih merasa nyaman karena pelayanan lebih bisa obyektif (tidak merasa ada
yang didahulukan atau terakhir).
3. Sistem antrian barcode bermanfaat bagi petugas farmasi untuk membantu menentukan
resep mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu sesuai dengan kedatangan resep.
Karena peracikan obat selesainya tidak urut, ada yang bisa cepat selesai ada yang
membutuhkan waktu lama. Dengan adanya barcode dapat membantu petugas saat
memanggil pasien yang racikannya sudah selesai.
4. Aplikasi antrian dapat membantu petugas farmasi untuk mengelola data-data pasien tanpa
harus direpotkan memanggil pasien satu persatu. Petugas farmasi tinggal menekan
tombol pada aplikasi antrian lalu memajukan nomor antrian berikutnya jika pasien sudah
selesai di layani.
Selain beberapa keuntungan di atas, sistem barcode memiliki beberapa kendala yang
masih dihadapi pihak farmasi, diantaranya :
1. Terjadinya pemadaman listrik PLN atau kerusakan perangkat keras atau gangguan pada
jaringan sehingga pemberian nomer antrian dilakukan secara manual.
2. Tidak semua pasien maupun keluarga pasien paham cara menggunakan mesin barcode
untuk mencetak nomer antrian sehingga masih membutuhkan pendampingan dari petugas
rumah sakit seperti security.

Gambar 8. Fitur pemanggilan nomer antrian

Apotek Online
Aplikasi Apotek Online adalah Sistem Aplikasi Pelayanan Apotek BPJS Kesehatan
Berbasis Web yang merupakan salah satu proyek pengembangan sistem aplikasi yang
mendukung operasional BPJS Kesehatan sesuai bisnis proses dalam pencatatan penagihan biaya
obat oleh fasilitas kesehatan. Adapun tujuan dibangunnya Aplikasi Apotek Online, yaitu :
1. Menyediakan sistem yang mendukung mekanisme penagihan biaya pelayanan obat diluar
Paket Kapitasi dan obat diluar INACBG’s
2. Menyediakan sistem yang dapat menggambarkan riwayat pelayanan obat dari setiap peserta
JKN secara Realtime Online sehingga dapat mencegah fraud pengambilan obat oleh peserta.
Implementasi Sistem Informasi Manajemen Aplikasi Pelayanan Apotek BPJS Kesehatan
Berbasis Web dilakukan dengan memanfaatkan infrastruktur jaringan internet secara maksimal
dengan pengaturan hak akses aplikasi oleh Kantor Cabang kepada Petugas Apotek atau Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Aplikasi Apotek Online mulai berjalan menggantikan sistem
Asterix sejak bulan Agustus 2018.
Beberapa kendala yang dihadapi petugas farmasi berkaitan dengan Apotek Online adalah:
1. Pada awal dimulainya Apotek Online (Agustus 2018) beberapa item obat belum masuk di
daftar referensi obat Apotek Online, antara lain : metformine 500 mg, spironolaktone 25 mg
dan 100 mg, fenofibrate 100 mg dan 300 mg, vitamin b complex, avodart, depakote ER 250
mg dan 500 mg, cilostazol, v-block, dan aminophillin 200 mg. Hal tersebut menyebabkan
tertundanya proses entri sehingga dibutuhkan 2 (dua) kali pengerjaan (tidak efisien waktu).
2. Sistem Apotek Online memanfaatkan infrastruktur jaringan internet, oleh sebab itu jika
koneksi internet tidak stabil dapat menghambat proses entri resep.
3. Proses entri realtime resep obat di Apotek Online memperlama waktu tunggu, karena
dilakukan 3 (tiga) kali proses entri yaitu entri resep untuk INACbgs, entri resep kronis dan
entri resep di Apotek Online.
4. Sering terjadi gangguan di server atau sistem BPJS seperti gangguan pada menu pencarian
peserta, dll sehingga dapat menghambat proses entri.
5. Pada bulan Oktober 2018 beberapa item obat sudah masuk dalam daftar referensi Apotek
Online, namun terkendala proses entri resep karena sudah dientri oleh rumah sakit lain pada
bulan berikutnya (Tabel 1). Sebagai contoh obat spironolaktone yang belum dientri di RSWN
pada bulan Agustus 2018 tetapi pasien sudah mendapatkan obat yang sama ketika kontrol di
rumah sakit lain pada bulan berikutnya (September) dan rumah sakit lain sudah melakukan
proses entri obat spironolaktone, maka petugas farmasi RSWN tidak dapat melakukan
proses entri obat tersebut untuk bulan Agustus. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan
menghubungi administrator rumah sakit lain tersebut untuk menghapus entrian obat
spironolaktone pada bulan berikutnya (September 2018). Daftar nama pasien, nama obat dan
nama rumah sakit terlampir.
6. Hingga saat ini masih terdapat 2 (dua) macam obat yang belum masuk ke dalam daftar
referensi Apotek Online yaitu vitamin b complex dan farsorbid 10 mg.
Tabel 1. Jumlah resep yang belum dapat dientri di Apotek Online
NO BULAN JUMLAH RESEP
1. Agustus 2018 57
2. September 2018 38
3. Oktober 2018 15

Rujukan Berjenjang
Rujukan berjenjang merupakan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan secara berjenjang
sesuai dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta BPJS
Kesehatan dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, atau dokter
keluarga yang tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan.
Apabila memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka peserta BPJS
Kesehatan dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua atau fasilitas kesehatan
sekunder.Rujukan ini hanya diberikan jika peserta BPJS Kesehatan membutuhkan pelayanan
kesehatan spesialistik, atau jika fasilitas kesehatan primer yang ditunjuk untuk melayani peserta
tersebut, tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan karena keterbatasan fasilitas, pelayanan,
dan atau tenaga medis. Jika peserta masih belum dapat tertangani di fasilitas kesehatan sekunder,
maka dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier untuk ditangani oleh dokter sub-spesialis yang
menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialistik.
Pada pertengahan tahun 2018 sejak diberlakukannya rujukan berjenjang berdampak pada
penurunan jumlah pasien di RSWN. Hal tersebut juga berdampak pada jumlah resep yang
dilayani oleh Instalasi Farmasi. Berkurangnya kunjungan pasien rawat jalan menyebabkan
penurunan jumlah lembar resep yang masuk ke Apotek Rawat Jalan. Dengan penurunan tersebut
diharapkan Index Kepuasan Masyarakat (IKM) terkait waktu tunggu dapat tercapai. Sedangkan
penurunan pasien rawat inap tidak begitu signifikan.

Gambar 9. Penurunan Pelayanan Resep Rawat Jalan

Gambar 10. Pelayanan Resep Rawat Inap

CPPT Paperless
Dengan meningkatnya mutu pelayanan di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro semarang
dengan menggunakan standar akreditasi rumah sakit serta tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi sehingga diperlukan pendokumentasian berbasis
computerized. Mulai 1 Agustus 2018 di RSWN telah dimulai penerapan CPPT (Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi) paperless (Gambar 9).
Pencatatan perkembangan pasien secara terintegrasi menggunakan teknik penulisan
Subyektif, Obyektif, Analisa dan Perencanaan (SOAP) melalui sistem teknologi informasi  
dapat di lakukan dengan sistem computerized dan mendapatkan catatan yang lebih efisien dan
efektif. Koordinasi antar tim kesehatan juga dapat dilakukan dengan menggunakan sistem
teknologi informasi ini. Pencatatan di CPPT paperless dilakukan baik oleh Dokter, Apoteker,
Perawat, serta Ahli Gizi.
Keuntungan yang diperoleh dengan penerapan CPPT paperless bagi Apoteker RSWN
adalah :
1. Apoteker tidak perlu lagi berebut rekam medis pasien dengan tenaga medis lain jika hendak
mendokumentasikan kegiatannya dalam CPPT.
2. Apoteker dapat mengakses berbagai informasi yang berkaitan dengan data pasien seperti
hasil pengukuran tanda-tanda vital yang dilakukan oleh perawat, hasil laboratorium, terapi
pengobatan yang diberikan oleh DPJP, hasil radiologi, dll.
3. Sistem komputerisasi yang digunakan baik sebagai pencatatan maupun penyimpanan data 
pasien dapat di akses kapan saja oleh Apoteker dari ruangan lain yang memiliki username
dan password yang terdaftar di SIMRS ketika menggantikan APJP ruangan tersebut yang
sedang berhalangan (ijin atau cuti). 
4. Pengerjaannya lebih cepat sehingga lebih efisien waktu.
5. CPPT paperless ini juga akan menghasilkan suatu pencatatan yang lebih terstruktur yang
dapat mengintegrasikan semua data pasien ke dalam rekam medik elektronik yang sewaktu-
waktu dapat dimanfaatkan oleh Apoteker untuk melihat riwayat kesehatan pasien
sebelumnya meskipun pasien sudah dipulangkan, sehingga tidak perlu mencari berkasnya di
ruang rekam medik. Misalnya untuk kepentingan penelitian retrospektif.
Gambar 11. Tampilan CPPT paperless

Dengan demikian banyak manfaat yang dapat diambil oleh Apoteker dengan adanya
inovasi CPPT paperless tersebut. Para Apoteker ruangan merasa tidak ada kendala berarti terkait
pengaplikasian CPPT paperless. Kendala sebatas ketika terjadi gangguan pada sistem atau
jaringan komputer sehingga menghambat proses input SOAP.

Inovasi “Ariel Peterpan Fan Base”


Pada awal tahun 2018 Instalasi Farmasi menciptakan sebuah inovasi yang diberi judul
“Ariel Peterpan Fan Base” yang merupakan kependekan dari Ayo Realisasi Inovasi Program
Efektif Efisien Terpadu Layanan Farmasi Bedah Sentral. Berlatar belakang banyaknya obat dan
BHP yang digunakan di Instalasi Bedah Sentral maka dilakukanlah upaya untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan obat dan BHP melalui inovasi tersebut.
Gambar 12. Paket Obat dan BHP Anestesi dan bedah Sentral

Implementasi dari inovasi tersebut dilakukan dengan cara membuat paket obat dan BHP
(gambar 12) yang digunakan pada program tindakan operasi baik elektif maupun operasi cito.
Obat dan BHP yang disiapkan berdasarkan kebutuhan tindakan operasi sehingga mencegah
pemberian obat dan BHP yang berlebihan. Apabila operator atau perawat membutuhkan
tambahan obat dan BHP diluar paket yang telah disediakan maka dapat meminta tambahan
tersebut ke Apotek IBS.
Beberapa item BHP yang sebelumnya tidak jelas penguasaannya setelah dilakukan
sterilisasi dari CSSD, sejak bulan November 2018 dilakukan penertiban. Sebagai contoh
wrapping non woven yang setelah disterilisasi dikirim oleh CSSD ke bagian bedah sentral,
namun selama digunakan tidak pernah dikelola stok barang dan tidak dimasukkan ke dalam
tagihan pasien, maka hal tersebut berpotensi kerugian. Oleh sebab itu, wrapping non wofen
setelah disterilisasi selanjutnya dikirim ke bagian farmasi bedah sentral untuk dikelola baik stok
fisik maupun pengentriannya ke billing ke pasien. Demikian juga BHP lain seperti kassa tampon
(besar dan kecil), jarum mani, dan kassa steril.

Tabel 2. Hasil Implementasi Inovasi “Ariel Peterpan Fan Base”


Laporan penjualan Jumlah Operasi
Sebelum Inovasi 19 Nov 2017 – 18 Maret 2018 19 Nov 2017 – 18 Maret 2018
Rp 3.519.589.479 2549 operasi
Setelah Inovasi 19 Maret – 16 Juli 2018 19 Maret – 16 Juli 2018
Rp 3.440.715.084 2668 operasi

Rata - rata penggunaan BHP dan Alkes per pasien


Sebelum
Rp. 3.519.589.479 : 2549 operasi = Rp. 1.380.773 per pasien
Sesudah
Rp. 3.440.715.084 : 2668 operasi = Rp. 1.289.623 per pasien
Penghematan Penggunaan BHP dan Alkes sebelum dan sesudah implementasi
Penghematan = Rp . 3.440.715.084 – (Rp. 1.289.623 x 2549)
= Rp. 153.466.057 → selama 4 bulan
= Rp. 460.398.171 → estimasi selama 1 tahun
Beberapa kendala yang ditemukan dalam pelayanan di depo farmasi IBS antara lain :
1. Tempat yang kurang represantatif (kurang luas) untuk depo farmasi IBS sehingga sulit untuk
mengatur tata letak penyimpanan obat.
2. Masih sering dijumpai sisa obat dalam spuit (gambar 13) tanpa ada identitas BUD (beyond
use date)
3. Belum ada kesepakatan dari masing-masing operator untuk satu jenis tindakan operasi yang
sama terkait obat dan BHP yang digunakan. Contoh : obat dan BHP yang digunakan untuk
tindakan SC dari beberapa dokter Obsgyn tidak sama.
4. Belum tersedianya sarana dan prasarana untuk petugas farmasi IBS melakukan kegiatan
pencampuran / penyiapan obat (IV Admixture) untuk menghindari sisa obat yang terlalu
banyak.
5. Belum adanya mekanisme pembuangan limbah sisa obat yang digunakan di Instalasi Bedah
Sentral.
BAB III
KENDALA DAN RENCANA KERJA
A. Kendala
A1. Pengelolaan perbekalan farmasi
Dalam pengelolaan perbekalan farmasi masih ditemui kendala kendala di lapangan, baik
yang terkait dengan internal RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro maupun eksternal. Adapun
kendala-kendala tersebut adalah :
1. Kekosongan perbekalan farmasi akibat kekurangan persediaan di pihak pemasok.
2. Masih adanya permintaan perbekalan farmasi diluar RAB / Formularium tidak melalui
sistem satu pintu intalasi farmasi.
3. Menu di SIM RS belum optimal digunakan untuk kegiatan perencanaan, pengendalian
dan pelaporan.
4. Belum adanya standarisasi pembuatan master barang dan adanya duplikasi master yang
bisa mengakibatkan kesalahan pencatatan.
5. Belum adanya mekanisme pengadaan perbekalan farmasi antar intalasi Farmasi RS lain.
6. Adanya informasi tidak tersampaikan terkait penambahan layanan Rumah Sakit yang
berujung pada penambahan penyediaan perbekalan farmasi.
7. Komplain pengirim barang dari pihak pemasok terkait akses bongkar barang akibat
8. Belum adanya ruang khusus untuk penyimpanan arsip.

A2. Pelayanan kefarmasian


Dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan kefarmasian masih ditemui beberapa kendala,
diantaranya :
1. Sarana komputer yang sering bermasalah sehingga menghambat pelayanan.
2. Tidak tersedianya tempat yang representatif (ruang tertutup dan terpisah dengan ruang
pelayanan obat) untuk memberikan PIO dan Konseling bagi pasien maupun keluarga
pasien.PIO dan Konseling dilakukan di tempat penyerahan obat bukan tempat yang
tertutup sehingga pasien merasa tidak nyaman dalam berkonsultasi kepada Apoteker atau
petugas PIO.
3. Sumber informasi terbaru seperti buku untuk memperkuat kegiatan PIO dan Konseling
masih kurang sehingga informasi yang diberikan belum merujuk pada informasi yang
lebih maju.
4. Belum terbentuknya Tim MESO internal untuk mengelola pelaporan kejadian MESO
yang terjadi di RSWN.
5. Minimnya kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga Apoteker maupun Tenaga
Teknis Kefarmasian terutama terkait Farmasi Klinik untuk meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan.
6. Tempat yang kurang represantatif (kurang luas) untuk depo farmasi IBS sehingga sulit
untuk mengatur tata letak penyimpanan obat.
7. Masih sering dijumpai sisa obat dalam spuit (gambar 13) tanpa ada identitas BUD
(beyond use date)
8. Belum ada kesepakatan dari masing-masing operator untuk satu jenis tindakan operasi
yang sama terkait obat dan BHP yang digunakan. Contoh : obat dan BHP yang digunakan
untuk tindakan SC dari beberapa dokter Obsgyn tidak sama.
9. Belum tersedianya sarana dan prasarana untuk petugas farmasi IBS melakukan kegiatan
pencampuran / penyiapan obat (IV Admixture) untuk menghindari sisa obat yang terlalu
banyak.
10. Belum adanya mekanisme pembuangan limbah sisa obat yang digunakan di Instalasi
Bedah Sentral.
11. Pada awal dimulainya Apotek Online (Agustus 2018) beberapa item obat belum masuk di
daftar referensi obat Apotek Online, antara lain : metformine 500 mg, spironolaktone 25
mg dan 100 mg, fenofibrate 100 mg dan 300 mg, vitamin b complex, avodart, depakote
ER 250 mg dan 500 mg, cilostazol, v-block, dan aminophillin 200 mg. Hal tersebut
menyebabkan tertundanya proses entri sehingga dibutuhkan 2 (dua) kali pengerjaan
(tidak efisien waktu).
12. Sistem Apotek Online memanfaatkan infrastruktur jaringan internet, oleh sebab itu jika
koneksi internet tidak stabil dapat menghambat proses entri resep.
13. Proses entri realtime resep obat di Apotek Online memperlama waktu tunggu, karena
dilakukan 3 (tiga) kali proses entri yaitu entri resep untuk INACbgs, entri resep kronis
dan entri resep di Apotek Online.
14. Sering terjadi gangguan di server atau sistem BPJS seperti gangguan pada menu
pencarian peserta, dll sehingga dapat menghambat proses entri.
15. Pada bulan Oktober 2018 beberapa item obat sudah masuk dalam daftar referensi Apotek
Online, namun terkendala proses entri resep karena sudah dientri oleh rumah sakit lain
pada bulan berikutnya (Tabel 1). Sebagai contoh obat spironolaktone yang belum dientri
di RSWN pada bulan Agustus 2018 tetapi pasien sudah mendapatkan obat yang sama
ketika kontrol di rumah sakit lain pada bulan berikutnya (September) dan rumah sakit
lain sudah melakukan proses entri obat spironolaktone, maka petugas farmasi RSWN
tidak dapat melakukan proses entri obat tersebut untuk bulan Agustus. Langkah yang
harus dilakukan adalah dengan menghubungi administrator rumah sakit lain tersebut
untuk menghapus entrian obat spironolaktone pada bulan berikutnya (September 2018).
Daftar nama pasien, nama obat dan nama rumah sakit terlampir.
16. Hingga saat ini masih terdapat 2 (dua) macam obat yang belum masuk ke dalam daftar
referensi Apotek Online yaitu vitamin b complex dan farsorbid 10 mg.
17. Terjadinya pemadaman listrik PLN yang bisa mengganggu pelayanan pasien.
18. Kemungkinan kerusakan perangkat keras atau gangguan pada jaringan sehingga dokter
maupun pihak apotek tidak bisa mengoperasikan program resep elektronik.
19. Beberapa dokter di IGD terkadang tidak menuliskan signa yang jelas di resep elektronik
sehingga menyulitkan pihak apotek untuk memberikan aturan pemakaian yang jelas pada
label obat. Begitu juga untuk obat racikan berupa puyer seringkali hanya ditulis jumlah
obatnya saja (tidak dituliskan berapa milligram kandungan obat yang dikehendaki tiap
bungkusnya). Oleh sebab itu pihak farmasi harus sering melakukan konfirmasi kepada
dokter penulis resep. Contoh : Infus Ringer Lactat tidak ada keterangan signa diberikan
berapa tetes per menit, demikian juga dengan injeksi ranitidine (gambar 4a).
20. Tidak adanya keterangan pada resep elektronik apakah pasien akan di rawat inap atau
sedang menjalani observasi (gambar 4b) karena pemberian obat harus harus disesuaikan
jumlahnya. Untuk pasien yang dirawat inap akan diberikan obat secara oddd (one daily
dose dispensing), sedangkan pasien observasi diberikan juga obat untuk dibawa pulang.
21. Penulisan resep racikan berupa puyer yang terkadang dilakukan oleh mahasiswa
praktikan kedokteran sering tidak sesuai dosisnya (terlalu kecil atau besar). Hal ini
kemungkinan disebabkan karena mahasiswa praktikan tersebut kurang jelas dalam
membaca tulisan dokter sehingga perlu dilakukan konfirmasi ulang ke klinik yang
bersangkutan.
22. Penggunaan fitur “Gunakan Riwayat Resep Sebelumnya” memberikan kemudahan bagi
Dokter dalam menuliskan obat untuk pasien, namun banyak dijumpai pasien
mendapatkan obat yang tidak sesuai indikasinya. Sebagai contoh : pada kunjungan
sebelumnya pasien mendapatkan obat batuk karena ada keluhan batuk, pada kunjungan
berikutnya pasien sudah tidak mengeluhkan batuk, namun masih diberikan obat batuk
karena Dokter menyalin resep yang sama pada kunjungan sebelumnya tanpa melakukan
telaah lagi.
23. Tidak adanya bunyi notifikasi khusus bila ada tambahan resep yang dituliskan dokter
untuk pasien tertentu, sehingga pihak farmasi harus sering melakukan pengecekan pada
sistem ada tidaknya tambahan resep. Pada saat kondisi pelayanan ramai, hal tersebut
sering terlewatkan.
B. Rencana kerja :
1. Permintaan perbekalan farmasi dengan sistem perencanaan pembelian 3 bulanan, untuk
menghindari kekosongan dan penumpukan berkas.
2. Permintaan persetujuan acc perbekalan diluar RAB diluar formularium secara online/
paperless
3. Optimalisasi Sistem Informasi Manajemen untuk membantu perencanaan, pengendalian
dan pelaporan.
4. Standarisasi master barang serta melakukan perbaikan / penghapusan master barang yang
tidak digunakan lagi.
5. Membuat SOP pengadaan perbekalan farmasi antar intalasi Farmasi RS lain dan
pengusulan anggaran pembelian.
6. Permintaan informasi tambahan layanan Rumah Sakit pada pihak terkait secara berkala.
7. Pengusulan tambahan akses pintu khusus bongkar muat barang.
8. Pengusulan gedung gudang farmasi baru dengan lay out sesuai standar farmasi.
9. Persiapan pemenuhan permintaan perbekalan farmasi terkait dengan rencana kegiatan
pelayanan berupa layananhandling sitostastika dan iv admixture
10. Mengusulkan kepada bagian SIMRS untuk mengupgrade sarana komputer sehingga
dapat menunjang pelayanan dengan cepat.
11. Merencanakan dan mengatur kegiatan layanan baru berupa Handling sitostatika dan IV
Admixture.
12. Lebih sering mengikutsertakan Apoteker dan TTK dalam kegiatan pendidikan dan
pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan terutama bidang Farmasi
Klinik.
13. Mengusulkan untuk dibuatkan suatu ruangan (tertutup) dekat dengan Instalasi Farmasi
baik IGD, rawat jalan maupun rawat inap untuk memberikan PIO dan konseling.
14. Pelayanan Depo obat Rawat Inap 24 Jam
15. Memperluas depo Rawat Inap dan Depo IGD agar penataan obat tertata lebih lebih rapih
16. Melengkapi Pustaka dan sumber informasi ( buku dan internet) sehingga informasi yang
di berikan belum merujuk informasi yang lebih maju.

17. Pengembangan Pelayanan Farmasi Klinik :


a. Pelayanan Informasi Obat : apoteker untuk memberi informasi secara akurat,
tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan
lainnya dan pasien.
b. Pelayanan Kemoterapi
c. Pelayanan pencampuran obat intravena, nutrisi parenteral dan pengemasan
kembali obat suntik dengan teknik aseptik.
18. Inovasi sapu jagat untuk pasien pulang
19. Inovasi layanan antar obat

Anda mungkin juga menyukai