Anda di halaman 1dari 21

KEPERAWATAN GERONTIK

“TUGAS AKHIR SEMESTER : KAJIAN LITERATUR ”

DOSEN PENGAMPUH :
dr. Margareth Sutjiato, M.Kes
DISUSUN OLEH :
SHARON VERONICA TUKIMIN
NIM. 1814201076
A3/ SEMESTER VII

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


FAKULTAS KEPERAWATAN
MANADO
2022
I. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AGING PROCESS

A. Pengertian Proses Penuaan

- Menurut Wahyudi Nughroho (2006), proses menua adalah proses alami yang
diawali sejak lahir secara berkelanjutan dan terus menerus yang akan dialami
semua makhluk hidup. Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga
tidak sama cepatnya. Terkadang orang yang belum lansia (muda) tetapi sudah
mengalami kekurangan-kekurangan yang menyoloh atau diskrepansi (Muhith
dan Siyoto, 2016).

- Penuaan adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi
seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem
fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan
kematian. Pada lanjut usia, individu mengalami banyak perubahan baik secara
fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Penurunan tersebut mengenai berbagai
sistem dalam tubuh seperti penurunan daya ingat, kelemahan otot, pendengaran,
penglihatan, perasaan dan tampilan fisik yang berubah serta berbagai disfungsi
biologis lainnya.

Proses penuaan biologis ini terjadi secara perlahan-lahan dan dibagi menjadi
beberapa tahapan, antara lain :

1. Tahap Subklinik (Usia 25 – 35 tahun)

Usia ini dianggap usia muda dan produktif, tetapi secara biologis mulai
terjadi penurunan kadar hormon di dalam tubuh, seperti growth hormone,
testosteron dan estrogen. Namun belum terjadi tanda-tanda penurunan
fungsi-fungsi tubuh.

2. Tahap Transisi (Usia 35 – 45 tahun)

Tahap ini mulai terjadi gejala penuaan seperti tampilan fisik yang tidak
muda lagi, seperti penumpukan lemak di daerah sentral, rambut putih mulai
tumbuh, penyembuhan lebih lama, kulit mulai berkeriput, penurunan
kemampuan fisik dan dorongan seksual sehingga berkurangnya gairah
hidup. Radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat
bermanifestasi pada berbagai penyakit. Terjadi penurunan lebih jauh kadar
hormon-hormon tubuh yang mencapai 25% dari kadar optimal.

3. Tahap Klini (Usia 45 tahun ke atas)

Gejala dan tanda penuaan menjadi lebih nyata yang meliputi penurunan
semua fungsi sistem tubuh, antara lain sistem imun, metabolisme, endokrin,
seksual dan reproduksi, kardiovaskuler, gastrointestinal, otot dan saraf.
Penyakit degeneratif mulai terdiagnosis, aktivitas dan kualitas hidup
berkurang akibat ketidakmampuan baik fisik maupun psikis yang sangat
terganggu.
B. Teori-Teori Proses Penuaan

Studi yang dilakukan Nies untuk mengidentifikasi pola makan dan pola
hidup yang mempengaruhi kehidupan yang sehat di usia tua, melibatkan 1.091 laki-
laki dan 1.109 perempuan usia 70-75 tahun. Hasilnya menunjukkan, pola hidup
tidak sehat seperti kebiasaan merokok, diet tidak sehat, aktivitas fisik rendah
meningkatkan risiko kematian. Modifikasi gaya hidup seperti tidak merokok,
meningkatkan aktivitas fisik, dan pola hidup sehat merupakan salah satu strategi
untuk memiliki kualitas hidup yang tetap baik meski usia telah lanjut.

Terdapat empat teori utama yang menjelaskan terjadinya proses penuaan :


1. Teori Wear and Tear

Tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan
disalahgunakan. Organ tubuh, seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lain,
menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan
lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena
stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ,
melainkan juga terjadi di tingkat sel. Hal ini berarti walaupun seseorang tidak
pernah merokok, minum alkohol, dan hanya mengonsumsi makanan alami,
dengan menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya terjadi
kerusakan.

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini menyangkut peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada
usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai
fungsi organ tubuh. Karena itu pada muda fungsi berbagai organ tubuh sangat
optimal, seperti kemampuan bereaksi terhadap panas dan dingin, kemampuan
motorik, fungsi seksual, dan fungsi memori. Hormon bersifat vital untuk
memperbaiki dan mengatur fungsi tubuh. Ketika manusia menjadi tua, tubuh
hanya mampu memproduksi hormon lebih sedikit sehingga kadarnya menurun.
Akibatnya berbagai fungsi tubuh terganggu. Growth hormone yang membantu
pembentukan massa otot, Human Growth Hormone (HGH), testosteron, dan
hormon
tiroid, akan menurun tajam ketika menjadi tua.

3. Teori Kontrol Genetika

Faktor genetik memiliki peran besar untuk menentukan kapan menjadi tua dan
umur harapan hidup, dapat dianalogikan individu lahir seperti mesin yang telah
diprogram sebelumnya untuk merusak diri sendiri. Tiap individu memiliki jam
biologi yang telah diatur waktunya untuk dapat hidup dalam rentang waktu
tertentu. Ketika jam biologi tersebut berhenti, merupakan tanda individu
tersebut mengalami proses penuaan kemudian meninggal dunia, waktu dalam
jam biologi sangat bervariasi tergantung pada peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan individu tersebut dan pola hidupnya.
4. Teori Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dapat bereaksi dengan molekul
lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat destruktif. Radikal bebas bersifat
sangat reaktif. Radikal bebas akan merusakn membran sel. Deoxyribo Nucleic
Acid (DNA), dan protein. Banyak studi mendukung ide bahwa radikal bebas
mempunyai kontribusi yang besar pada terjadinya penyakit yang berhubungan
dengan proses penuaan seperti kanker, penyakit jantung dan proses penuaan.

Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan dengan
proses penuaan, yaitu : teori biologi, teori psikologi, teori sosial, dan teori spiritual.
a. Teori Biologis

Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory,
teori stress, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.

1) Teori genetik dan mutasi. Menurut teori genetik dan mutasi, semua
terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi
sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-
molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
2) Immunology Slow Theory, Menurut immunology slow theory sistem imun
menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam
tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

3) Teori stress. Teori stress mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya


sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress
yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

4) Teori radikal bebas. Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak
stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen
bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini
menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.

5) Teori rantai silang. Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia
sel-sel yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan
kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas kekacauan, dan
hilangnya fungsi sel.
b. Teori Psikologi

Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan


mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dan
intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan
belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan
berinteraksi. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan.
Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula
penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus
sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang
ada.

c. Teori Sosial

Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu

1) Teori interaksi sosial. Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia


bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai
masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga
menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah
harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.

2) Teori penarikan diri. Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita
lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia
secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.

3) Teori aktivitas. Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses


bergantung bagaimana seorang lansia merasakan kepuasaan dalam
melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting
dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.

4) Teori kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan


dalam siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat
merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat
terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak
berubah meskipun ia telah menjadi lansia.
5) Teori perkembangan. Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses
menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia
terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun
negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi
tua yang diinginkan atau yang seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.

6) Teori stratifikasi usia. Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa


pendekatan yang dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan
untuk mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap
kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya
dengan kelompok usia lainnya. Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat
dipergunakan untuk menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa
statifikasi sangat kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi
kelas dan kelompok etnik.
d. Teori Spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan
individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penuaan

Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Perlu hati-hati dalam
mengidentifikasi penuaan. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis diharapkan
mereka tua dalam keadaan sehat. Ada faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
penuaan seseorang, yaitu :

a. Faktor endogen, yaitu faktor bawaan ( keturunan) yang berbeda pada setiap
individu. Faktor inilah yang mempengaruhi perbedaan efek menua pada setiap
individu, dapat lebih cepat atau lebih lambat. Seperti seseorang yang
mempunyai bawaan penuaan dini, penyakit tertentu, perbedaan tingkat
intelegensia, warna kulit dan tipe kepribadian. Seseorang yang memahami
adanya faktor keturunan yang dapat mempercepat proses penuaan harus lebih
hati-hati. Ia harus berusaha menangkal efek negatif yang ditimbulkan oleh
genetiknya. Misalnya, seseorang yang mempunyai keturunan terkena diabetes
atau obesitas maka perilaku pola makan, aktivitas atau perilaku lainnya tidak
bisa sama dengan orang yang berisiko.
Faktor intelegensia sedikit banyak mempengaruhi proses penuaan. Umumnya
orang berintelegensia tinggi cenderung memiliki pola pikir kedepan yang lebih
baik sehingga berusaha menetapkan pola hidup sehat. Ras kulit juga akan
mempengaruhi kecepatan proses penuaan. Golongan kulit putih mempunyai
risiko terserang osteoporosis lebih tinggi dari pada kulit hitam. Perbedaan tipe
kepribadian dapat juga memicu seseorang lebih awal memasuki masa lansia.
Kepribadian yang selalu ambisius, senantiasa dikejar- kejar tugas, cepat gelisah,
mudah tersinggung, cepat dewasa dan sebagainya akan mendorong seseorang
cepat stres dan frustasi. Akibatnya, orang tersebut mudah mengalami berbagi
penyakit.

b. Faktor eksogen, yaitu faktor luar yang dapat mempengaruhi penuaan.


Biasanya faktor lingkungan, sosial budaya dan gaya hidup. Misalnya, diet
atau asupan gizi, merokok, polusi, obat-obatan maupun dukungan sosial.
Faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh kuat dalam menangkal proses
penuaan. Tidak heran bila untuk menyangkal proses penuaan dilakukan
dengan cara menyiasati faktor ini (Dikutip dalam Priyoto, 2014).

Menurut Siti Bandiyah (2009) dalam Muhith dan Siyoto (2016) penuaan
dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Penuaan yang terjadi sesuai dengan
kronologis usia. Faktor yang mempengaruhi yaitu hereditas atau genetik, nutrisi
atau makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, dan stres.

1. Hereditas atau Genetik


Kematian sel merupakan seluruh program kehidupan yang dikaitkan dengan
peran DNA yang penting dalam mekanisme pengendalian fungsi sel. Secara
genetik, perempuan ditentukan oleh sepasang kromosom X sedangkan laki-
laki oleh satu kromosom X. Kromosom X ini ternyata membawa unsur
kehidupan sehingga perempuan berumur lebih panjang daripada laki-laki.

2. Nutrisi/ Makanan

Berlebihan atau kekurangan mengganggu keseimbangan reaksi kekebalan.

3. Status Kesehatan

Penyakit yang selama ini selalu dikaitkan dengan proses penuaan, sebenarnya
bukan disebabkan oleh proses menuanya sendiri, tetapi lebh disebkan oleh
faktor luas yang merugikan yang berlangsung tetap dan berkepanjangan.

4. Pengalaman Hidup

a. Terpapar sinar matahari : kulit yang tidak terlindung sinar matahari akan
mudah ternoda oleh flek, kerutan, dan menjadi kusam.
b. Kurang olahraga : olahraga membantu pembentukan otot dan melancarkan
sirkulasi darah.
c. Mengkonsumsi alkohol : alkohol mengakibatkan pembesaran pembuluh
darah kecil pada kulit dan meningkatkan aliran darah dekat permukaan
kulit.

5. Lingkungan

Proses menua secara biologik berlangsung secara alami da tidak dapat


dihindari, tetapi seharusnya dapat tetap dipertahankan dalam status sehat.

6. Stress

Tekanan kehidupan sehari-hari dalam lingkungan rumah, pekerjaan, ataupun


masyarakat yang tercemin dalam bentuk gaya hidup akan berpengaruh
terhadap poses penuaan.

Faktor-faktor perubahan proses menua dipengaruhi oleh faktor internal


dan faktor eksternal pada perubahan proses menua.

1. Faktor Internal

Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan anatomik,


fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua makin besar,
penurunan ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit dimana
batas antara penurunan tersebut dengan penyakit seringkali tidak begitu nyata.
Penurunan anatomik dan fisiologik dapat meliputi sistem saraf pusat,
kardiovaskuler, pernapasan, metabolisme, ekskresi, musculoskeletal serta
kondisi psikososial. Kondisi psikososial itu sendiri meliputi perubahan
kepribadian yang menjadi faktor predisposisi yaitu gangguan memori, cemas,
gangguan tidur, perasaan kurang percaya diri, merasa diri menjadi beban
orang lain, merasa rendah diri, putus asa dan dukungan sosial yang kurang.
Faktor sosial meliputi perceraian, kematian, berkabung, kemiskinan,
berkurangnya interaksi sosial dalam kelompok lansia mempengaruhi
terjadinya depresi. Respon perilaku seseorang mempunyai hubungan dengan
kontrol sosial yang berkaitan dengan kesehatan. 20 Frekuensi kontak sosial dan
tingginya integrasi dan keterikatan sosial dapat mengurangi atau memperberat
efek stress pada hipotalamus dan sistim saraf pusat. Hubungan sosial ini dapat
mengurangi kerusakan otak dan efek penuaan. Makin banyaknya jumlah
jaringan sosial pada usia lanjut mempunyai hubungan dengan fungsi kognitif
atau mengurangi rata-rata penurunan kognitif 39%.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara lain
gaya hidup, faktor lingkungan dan pekerjaan. Gaya hidup yang mempercepat
proses penuaan adalah jarang beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan
nutrisi yang tidak teratur. Hal tersebut dapat diatasi dengan strategi
pencegahan yang diterapkan secara individual pada usia lanjut yaitu dengan
menghentikan merokok. Serta faktor lingkungan, dimana lansia manjalani
kehidupannya merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh
pada proses menua karena penurunan kemampuan sel, faktor-faktor ini antara
lain zat-zat radikal bebas seperti asap kendaraan, asap rokok meningkatkan
resiko penuaan dini, sinar ultraviolet mengakibatkan perubahan pigmen dan
kolagen sehingga kulit tampak lebih tua.

II. PEMBATASAN FISIK PADA LANSIA

A. Pengertian Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh


otot rangka yang memberikan energi. Penurunan aktivitas fisik
merupakn salah satu factor resiko independent untuk penyakit kronis
dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara
global (WHO, 2010).Menurut fatmah (2010) aktivitas fisik yaitu
pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga
yang sangat penting untuk pemeliharaan kesehatan fisik dan mental,
serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar
sepanjang hari.Jadi, aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang
dihasilkan oleh otot rangka yang sangat penting bagi pemeliharaan
kesehatan fisik dan mental.

B. Manfaat Aktivitas Fisik


Menurut Pusat Promosi Kesehatan Dapertemen Kesehatan Republic
Indonesia (2006), aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang
menguntungkan terhadap kesehatan yaitu:
1. Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker,
tekanan darah tinggi, kencing manis, dan lain-lain.
2. Berat badan terkendali.
3. Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat.
4. Bentuk tubuh lebih ideal dan proporsional
5. Lebih percaya diri
6. Lebih bertenaga dan bugar.
7. Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik.
8. Dapat mempengaruhi kesehatan otak dan fungsi kognitif.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Pada Lansia


Menurut Potter dan perry 2005, kemauan dan kemampuan untuk
melaksanakan aktivitas sehari-hari pada lansia dipengaruhi oleh
factor- faktor sebagai berikut:

1. Faktor-faktor dari dalam diri sendiri

a. Umur

Menurut Potter dan perry 2005, kemampuan aktivitas sehari-


hari pada lanjut usia dipengaruhi dengan umur lanjut usia itu
sendiri. Umur seseorang menunjukan tanda kemaun dan
kemampuan, ataupun bagaimana seseorang bereaksi terhadap
ketidak mampuan melaksanakan aktivitas sehari-hari.

b. Kesehatan Fisiologis

Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi


kemampuan partisipasi dalam aktivitas sehari-hari, sebagai
contoh system nervous mengumpulkan dan menghantarkan,
serta mengelola informasi dari lingkungan.

c. Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif yaitu berfikir dan memberi rasional, termasuk


proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan
memperhatikan (keliat 2009). Tingkat fungsi kognitif dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.

2. Faktor dari luar

Menurut Leuckenotte 2012, ada beberapa factor yang dapat


mempengaruhi aktivitas lansia, yaitu:

a. Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan tempat berlindung yang paling disukai


dengan lansia. Lanjut usia merupakan kelompok lansia yang
rentan masalah, baik masalah ekonomi, social, budaya,
kesehatan maupun psikologis, oleh karenanya lansia tetap
sehat, sejahtera dan bermanfaat.
b. Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja sangat mempengaruhi keadaan diri dalam


mereka bekerja, karena setiap kali seseorang bekerja maka
dapat memasuki situasi lingkungan tempat yang ia kerjakan.

c. Rime Biologi

Waktu rime biologi dikenal sebagai irama biologi, yang


mempengaruhi fungsi hidup manusia. Irama biologi
membantu mahluk hidup mengatur lingkungan fisik
disekitarnya.

D. Aktivitas Fisik Untuk Lansia

Menentukan olahraga untuk lansia tidak dapat disamakan


dengan olahraga untuk muda-mudi. Sebagian besar orang yang sudah
menginjak usia 65 tahun ke atas memang dianjurkan mengurangi
aktivitas berat, tetapi bukan berhenti begitu saja. Pasalnya,
beraktivitas di masa senja memberikan sejumlah manfaat, seperti
keseimbangan tubuh yang lebih stabil, mencegah penyakit, hingga
menjaga ketajaman mental.

Olahraga atau aktivitas fisik untuk lansia perlu disesuaikan


dengan kemampuan dan kondisi manula yang bersangkutan. Lansia
dapat memulainya dengan sesi konsultasi untuk memperoleh
rekomendasi tipe aktivitas yang cocok dan batasan yang masih aman
untuk tubuh mereka.

Berdasarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), kriteria


aktivitas fisik yang memenuhi kebutuhan para lansia di antaranya
sebagai berikut :

1. Durasi minimal 150 menit untuk latihan fisik sedang atau 17


menit untuk latihan fisik berat dalam waktu seminggu.

2. Setiap praktik, kita harus memastikan durasinya berlangsung


paling sebentar sepuluh menit. Jika partisipan sudah terbiasa
dengan durasi anjuran tadi, maka biasakan olahraga untuk lansia
dalam intensitas sedang selama 300 menit atau intensitas berat
selama 150 menit sepekan.

3. Sebagian besar lansia mempunyai kendala dalam koordinasi


tubuh, sehingga membutuhkan sesi latihan keseimbangan minimal
tiga kali seminggu, sedangkan untuk latihan otot minimal dua kali
seminggu.

Ada banyak pilihan jenis olahraga atau aktivitas fisik untuk


lansia yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk intensitas
sedang, misalnya, jalan kaki jarak dekat, membersihkan rumah,
bersepeda santai, naik tangga, hingga berkebun. Sementara itu,
aktivitas berat meliputi berenang, tai chi, yoga, jogging, jalan cepat,
menggendong anak, sampai bulu tangkis.

Seperti yang telah disinggung, pemilihan kegiatan harus


didiskusikan dengan dokter terpercaya. Jangan paksakan diri kalau
olahraga yang ingin dilakukan malah membebani tubuh. Mulai secara
perlahan dari hal-hal paling dasar, lalu tingkatkan kalau dirasa mampu
menguasainya.

Cari juga teman sesama manula untuk meningkatkan motivasi,


sehingga tujuan olahraga untuk lansia dapat tercapai tanpa mengalami
hambatan.

E. Pembatasan Aktivitas Pada Lansia

Saat mencapai usia 50-an atau 60-an harus memperhatikan jenis


olahraga ataupun aktivitas fisik. Sebab beberapa jenis aktivitas fisik
bisa membahayakan bagian tubuh lansia. Oleh karena itu, penting
untuk mengetahui aktivitas fisik apa saja yang harus dihindari jika
sudah mencapai usia di atas 60 tahun, seperti dilansir Eat This, Ahad
(22/8).

1. Lari

Orang-orang diusia tua mungkin menghindari berlari pada pagi


hari. Pelatih Lari Bersertifikat USATF dan Direktur Pendidikan
STRIDE, Steve Stonehouse, mengatakan bangun dan berlari pada
pagi hari tanpa pemanasan benar dapat berdampak pada
persendian.
Dia menyarankan mereka yang berusia di atas 60 tahun ke atas
untuk berjalan atau jogging ringan.

2. HIIT

Direktur Pendidikan Row House, Caley Crawford, mengatakan


high intensity interval training (HIIT) dapat menjadi latihan
bagus bagi banyak orang. Tapi saat anda berusia di atas 60 tahun,
itu dapat membahayakan lutut lansia.

3. Senam Lantai

CPT Inside Bodybuilding, Jack Craig, mengaku saat bekerja


dengan klien yang usianya tua, dia mencoba membatasi beberapa
latihan lantai terutama dipagi hari. Menurut dia, dengan
bertambahnya usia, fleksibilitas tulang belakang makin
berkurang.
Ini berarti seseorang dapat mengalami kesulitan untuk bangun
dan berbaring di lantai. Dalam waktu lama itu dapat
menyebabkan cedera atau masalah kesehatan yang
berkepanjangan. Bagi orang yang sudah berusia 60-an, latihan
crunch adalah salah satu latihan yang tidak boleh dilakukan.

4. Mesin Press Kaki

Pelatih Angkat Besi Level 1 dan Editor Senior Garage Gym


Review, Kate Meier, menyebut bagi orang yang berusia 60 tahun,
ada banyak latihan mesin yang harus mereka hindari.
Seiiring bertambahnya usia, keseimbangan menjadi sangat
penting untuk dikerjakan dan dipelihara. Menggunakan mesin
olahraga dapat menghilangkan kebutuhan tubuh untuk
menstabilkan berat dan stabilisasi yang meningkatkan
keseimbangan. Misal, mesin press kaki akan menargetkan otot
kaki. Namun, itu akan membahayakan lutut dan punggung
bawah. Sedangkan mesin bar duduk bisa membahayakan tulang
belakang.

III. PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL TERHADAP


LANSIA

A. Pengertian
Penggunaan obat di sarana pelayanan kesehatan umumnya belum rasional.
Penggunaan obat yang tidak tepat ini dapat berupa penggunaan berlebihan,
penggunaan yang kurang dari seharusnya, kesalahan dalam penggunaan resep
atau tanpa resep, polifarmasi, dan swamedikasi yang tidak tepat (WHO,
2010). Secara praktis, menurut Kementrian RI, (2011) penggunaan obat
dikatakan rasional jika memenuhi kriteria :

a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan
obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut.
Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi
yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat
ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi
bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus
yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat
yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya
efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin
tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian Obat
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk
ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan
efektivtasnya.
f. Tepat Interval Waktu
Pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana
mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering
frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin
rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x
sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan
interval setiap 8 jam.
g. Tepat Lama Pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing masing
pengobatan. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling
singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam
tifoid adalah 10-
14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang
seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

h. Waspada Terhadap Efek Samping


Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena
itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek
samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian
tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena
menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

i. Tepat Penilaian Kondisi Pasien


Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida.
Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida
sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada
kelompok ini meningkat secara bermakna.

j. Obat Yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam
daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial
didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan
harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis.

k. Tepat Informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi.
l. Tepat Tindak Lanjut (Follow-Up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh
atau mengalami efek samping.
m. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah
obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke
apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten
apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep
untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan
penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat
sebagaimana harusnya.
n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan. (Kemenkes
RI 2011: 3-9).

B. Ciri-Ciri Penggunaan Obat Tidak Rasional


a. Peresepan berlebih (overprescribing). Yaitu jika memberikan obat yang
sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan.
Contoh :
1) Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya
disebabkan oleh virus).
2) Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang
dianjurkan.
3) Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk
pengobatan penyakit tersebut.
4) Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk
timbulnya efek yang tidak diinginkan seperti : Interaksi , efek
samping, intoksikasi.

b. Peresepan kurang (under prescribing), yaitu jika pemberian obat kurang


dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun
lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk
penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori ini. Contoh :
1) Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
2) Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
3) Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare.
c. Peresepan Majemuk (multiple prescribing), yaitu jika memberikan
beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok
ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang
diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Contoh :
1) Amoksilin
2) Parasetamol
3) Gliseril guaiakolat
4) Deksametason
5) CTM, dan
6) Luminal
d. Peresepan salah (incorrect prescribing). Mencakup pemberian obat
untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya merupakan
kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek
samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai
obat yang diberikan kepada pasien dan sebagainya.
Contoh :
1) Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofl oksasin &
ofl oksasin) untuk anak.
2) Meresepkan asam mefenamat untuk demam bukannya parasetamol
yang lebih aman (Kemenkes RI 2011 : 9-11).

C. Dampak Ketidakrasionalan Penggunaan Obat


a. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan
Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Sebagai contoh,
penderita diare akut non spesifik umumnya mendapatkan antibiotika dan
injeksi, sementara pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) umumnya
kurang
banyak dilakukan. Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak
yang diare dapat membahayakan keselamatan jiwa anak yang bersangkutan. Hal
yang sama juga terjadi pada penderita ISPA non pneumonia pada anak yang
umumnya mendapatkan antibiotika yang sebenarnya tidak diperlukan. Sebaliknya
pada anak yang jelas menderita pneumonia justru tidak mendapatkan terapi yang
adekuat. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila hingga saat ini angka
kematian bayi dan balita akibat ISPA dan diare masih cukup tinggi di Indonesia.
b. Dampak Terhadap Biaya Pengobatan
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk keadaan
yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan pemborosan
dan sangat membebani pasien. Di sini termasuk pula peresepan obat yang mahal,
padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dengan harga
lebih terjangkau telah tersedia. Peresepan antibiotika bukannya keliru, tetapi
memprioritaskan pemberiannya untuk penyakit-penyakit yang memang
memerlukannya (yang jelas terbukti sebagai infeksi bakteri) akan sangat berarti
dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi. Oleh sebab itu jika
pemberiannya sangat selektif, maka pemborosan anggaran dapat dicegah dan dapat
direalokasikan untuk penyakit atau intervensi lain yang lebih prioritas. Dengan
demikian mutu pelayanan kesehatan dapat dijamin.
c. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan
Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat adalah meningkatkan resiko
terjadinya efek samping serta efek lain yang tidak diharapkan, baik untuk pasien
maupun masyarakat. Beberapa data berikut mewakili dampak negatif yang terjadi
akibat penggunaan obat yang tidak rasional:

1) Resiko terjadinya penularan penyakit (misalnya hepatitis & HIV) meningkat


pada penggunaan injeksi yang tidak lege artis, (misalnya 1 jarum suntik
digunakan untuk lebih dari satu pasien).

2) Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan resiko


terjadinya syok anafi laksis.

3) Resiko terjadinya efek samping obat meningkat secara konsisten dengan makin
banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini semakin nyata
pada usia lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek samping dialami oleh 1
di antara 6 penderita usia lanjut yang dirawat di rumah sakit.

4) Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotika merupakan salah satu akibat


dari pemakaian antibiotika yang berlebih (overprescribing), kurang
(underprescribing), maupun pemberian pada kondisi yang bukan merupakan
indikasi (misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus)
d. Dampak Terhadap Mutu Ketersediaan Obat
Sebagian besar dokter masih cenderung meresepkan antibiotika untuk keluhan
batuk dan pilek. Akibatnya kebutuhan antibiotika menjadi sangat tinggi, padahal
diketahui bahwa sebagian besar batuk pilek disebabkan oleh virus dan antibiotika
tidak diperlukan. Dari praktek pengobatan tersebut tidaklah mengherankan apabila
yang umumnya dikeluhkan oleh Puskesmas adalah tidak cukupnya ketersediaan
antibiotik. Akibatnya jika suatu saat ditemukan pasien yang benar-benar menderita
infeksi bakteri, antibiotik yang dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi
selanjutnya adalah pasien terpaksa diberikan antibiotik lain yang bukan pilihan
utama obat pilihan (drug of choice) dari infeksi tersebut.
e. Dampak Injeksi
1) Pemberian substitusi terapi pada diare. Dengan memasyarakatnya penanganan
diare di rumah tangga, petugas kesehatan seolah dihinggapi keengganan
(keraguan) untuk tetap memberikan oralit tanpa disertai obat lain pada pasien
dengan diare akut non spesifik. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila
sebagian besar penderita diare akut non spesifik masih saja mendapat injeksi
maupun antibiotik, yang sebenarnya tidak diperlukan. Sementara oralit yang
menjadi terapi utama justru sering tidak diberikan.
2) Memberikan roboransia pada anak dengan dalih untuk merangsang nafsu
makan sangatlah keliru apabila tidak disertai upaya untuk memotivasi orang tua
agar memberikan makanan yang bergizi, apalagi pada saat anak sakit.
(kemenkes RI 2011: 17-2).

D. Indikator Penggunaan Obat Rasional


Dalam melakukan identifikasi masalah maupun melakukan monitoring dan evaluasi
Penggunaan Obat Rasional, WHO menyusun indikator, yang dibagi menjadi indikator
inti dan indikator tambahan.
Indikator Inti:
a. Indikator Peresepan
1) Rerata jumlah item dalam tiap resep.
2) Persentase peresepan dengan nama generik.
3) Persentase peresepan dengan antibiotik.
4) Persentase peresepan dengan suntikan.
5) Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial.
b. Indikator Pelayanan
1) Rerata waktu konsultasi.
2) Rerata waktu penyerahan obat.
3) Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.
4) Persentase obat yang dilabel secara adekuat.
c. Indikator Fasilitas
1) Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.
2) Ketersediaan Daftar Obat Esensial.
3) Ketersediaan key drugs.
d. Indikator Tambahan
Indikator ini dapat diperlakukan sebagai tambahan terhadap indikator inti.
Indikator ini tidak kurang pentingnya dibandingk indikator inti, namun sering data
yang dipergunakan sulit diperoleh atau interpretasi terhadap data tersebut mungkin
sarat muatan lokal.
a) Persentase pasien yang diterapi tanpa obat.
b) Rerata biaya obat tiap peresepan.
c) Persentase biaya untuk antibiotik.
d) Persentase biaya untuk suntikan.
e) Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan.
f) Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan.
g) Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi yang
obyektif.(World Health Organisation 1993: 13-22).

E. Penggunaan Obat Rasional di Indonesia


Panduan pengobatan menurut WHO diare akut dapat dilaksanakan secara
sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral dan melanjutkan pemberian
makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak direkomendasikan dan
terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.

Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi
berat. Pemberian antibiotik secara rutin tidak diperlukan. Tetapi antibiotic diberikan
sesuai dengan tatalaksana diare akut atau apabila ada infeksi non intestinal seperti
pneunomia, infeksi saluran kencing atau sepsis. Terapi Zinc digunakan untuk
mengobati diare persisten. Terapi zinc pada kasus diare akut tertentu ternyata dapat
menurunkan kejadian berlanjutnya diare akut menjadi diare persisten. Indikasi yang
dianjurkan adalah berat badan untuk umur saat diperiksa kurang dari 70%, diare telah
berlangsung lebih dari lima hari, dan jika terdapat tanda-tanda defisiensi zinc, yaitu
satu atau lebih gejala. Pemberian antibiotika hanya terbatas karena pada umumnya
diare dapat sembuh dengan sendirinya (self-limiting disease), yang perlu diperhatikan
adalah penanganan dehidrasi yang terjadi. (Septin Handayani:10-16).
Pada tahun 1993 peresepan di Indonesia masih dikategorikan tidak rasional
karena masih tingginya poli-farmasi (3,5 obat per pasien), spenggunaan antibiotik yang
berlebihan (43,0%), serta penggunaan injeksi yang berlebihan (10- 80%). 5
Penggunaan obat rasional dapat diperbaiki mutunya antara lain melalui upaya
pengelolaan obat (managerial strategies) yang mencakup perbaikan sistem suplai
(proses seleksi dan pengadaan obat), kemudian sistem peresepan dan dispensing obat.
Kementerian Kesehatan RI belum memiliki standar dalam penggunaan obat rasional di
puskesmas, tetapi hanya memiliki target berdasarkan indikator peresepan WHO, yaitu:

1. Rerata jumlah obat tiap pasien: 2,6.


2. Persentase obat generik yang diresepkan: 100%.
3. Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia: 20%.
4. Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik: 8%.
5. Persentase injeksi pada myalgia: 1%.
6. Persentase obat yang diresepkan dari DOEN: 100%. (Kemenkes RI, 2017)

Ketidaktepatan penggunaan obat di puskesmas dapat merugikan masyarakat.


Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota wajib menyediakan obat esensisal dengan nama
generik untuk kebutuhan puskesmas dan unit pelaksana teknis lainnya sesuai
kebutuhan. Salah satu UPT (unit pelaksana Teknis) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
adalah instalasi farmasi (dulu bernama gudang farmasi Kabupaten/Kota) yang berfungsi
sebagai pengelola obat di Kabupaten/ Kota. puskesmas sebagai salah satu lini terdepan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia sudah seharusnya menerapkan
penggunaan obat yang rasional sesuai standar yang ada. Ketidaktepatan penggunaan
obat pada tingkat puskesmas dapat berakibat merugikan bagi kalangan luas masyarakat.
Hal tersebut karena banyak masyarakat kalangan menengah ke bawah yang merupakan
mayoritas penduduk Indonesia yang memilih pelayanan kesehatan di puskesmas.
(Widya kardella, dkk 2014: 93)
DAFTAR PUSTAKA

Triani Dewi, Laras. (2019). EVALUASI PELAYANAN INFORMASI OBAT


TERHADAP MASYARAKAT YANG MELAKUKAN SWAMEDIKASI DI
SALAH SATU APOTEK DI KOTA BANDUNG.
Coresa, T., & Ngestiningsih. (2017). Gambaran fungsi kognitif pada lansia di unit
rehabilitasi sosial pucang gading semarang. DIPONEGORO MEDICAL
JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO)
Sandi, F. (2013). BAB II Tinjauan Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai