Anda di halaman 1dari 17

ARSITEKTUR KONTEKSTUAL SEBAGAI SOLUSI SIMALAKAMA

KAWASAN KOTA TUA JAKARTA


Dina Arifia
I0612012
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret Surakarta

A. Pendahuluan

Jakarta adalah ibukota Indonesia yang juga merupakan salah satu kota

terbesar di Indonesia. Jakarta atau yang pada awalnya bernama Jayakarta ini

kini merupakan kota Metropolitan dilihat dari kecenderungan pemusatan

kegiatan penduduk baik yang bersifat sentripetal maupun sentrifugal

(Blumenfeld, 1982). Meskipun demikian kota yang pada tahun 2012 berusia

484 tahun ini juga disebut sebagai The City of Museums dilihat dari banyaknya

museum yang berdiri di kota ini terutama pada kawasan Kota Tua, antara lain

Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri, Museum Bahari, Museum

Wayang, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Sejarah Jakarta, dan lain

sebagainya.

Cikal bakal dari kota besar yang saat ini berusia lebih dari 6 juta jiwa

ini (Heuken, 1982, p:15) adalah kawasan Kota Tua Jakarta, dibangun oleh

Pangeran Fatahillah yang dulunya merupakan bekas Pelabuhan Sunda Kelapa.

Kota ini kemudian direbut serta dihancurkan untuk dibangun kembali oleh Jan

Pieterszoon Coon dan diberi nama Batavia untuk menghormati kaum

Batavieren (suku bangsa Eropa yang menjadi nenek moyang bangsa Belanda).
Kemudian orang-orang pribumi disebut dengan Batavienen yang selanjutnya

menjadi Betawi pada masa sekarang.

Wilayah Batavia mencakup wilayah Jayakarta pada saat ini dan

mengarah ke tenggara Sungai Ciliwung. Wilayah yang membentang dari

paling utara Luar Batang dan Pelabuhan Sunda Kelapa hingga paling selatan

Jalan Gajah Mada di lokasi bagunan Candranaya, dibatasi oleh sungai di sisi

barat dan timur inilah yang disebut Kota Tua (Surat Keputusan Gubernur

Provinsi DKI Jakarta No. 34 Tahun 2006).

Berdasarkan Rencana Induk Kota Tua Jakarta (DTK., 2007) kawasan

cagar budaya Kota Tua Jakarta dibagi menjadi 5 zona yang di tengah-

tengahnya terdapat zona inti seluas 87 Ha, yaitu area yang memiliki nilai

sejarah yang lebih tinggi yang dahulunya sebagian besar adalah kota di dalam

dinding. Kelima zona tersebut adalah Kawasan Sunda Kelapa, Kawasan

Fatahillah, Kawasan Pecinan, Kawasan Pekojan, dan Kawasan Peremajaan.

Kawasan Kota Tua layak dijadikan sebagai berbagai macam tujuan

objek wisata, antara lain wisata sejarah dan edukasi karena tidak hanya kaya

akan bangunan-bangunan berasrsitektur kuno yang kini dijadikan museum,

melainkan juga perkampungan tua yang masih kental dengan nuansa

Tionghoa di kawasan Pecinan.

Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta Utara yang juga dikenal dengan Pasar

Ikan terletak di muara Sungai Ciliwung, merupakan pelabuhan tertua di

Indonesia ini pun masih berfungsi hingga sekarang. Suasana pelabuhan ini

sangatlah menarik dan dengan adanya barisan kapal tradisional “Pinisi” yang
berjajar di dermaga. Pengunjung yang ingin berkeliling dermaga pun dapat

menyewa perahu di sekitarnya. Selain itu, area ini terletak sangat strategis

dekat dengan pusat perbelanjaan dan hiburan seperti Mangga Dua, Mangga

Besar, dan Ancol.

Tidak mengherankan apabila kemudian kawasan Kota Tua ini

kemudian ramai dikunjungi oleh banyak orang, baik yang ingin berwisata

maupun yang ingin bertempat tinggal di kawasan ini. Semakin padatnya

permukiman di kawasan ini ditambah dengan bangunan-bangunan tua

peninggalan Belanda yang tidak terawat memperjelas kesan kumuh dan

berantakan serta macet dan padat. Keadaan ini ditambah dengan sepi dan

gelapnya area Taman Fatahillah pada malam hari menumbuhkan persepsi

tidak aman dan rawan kejahatan.

Supaya permasalahan tersebut tidak semakin memburuk, perlu

dilakukan usaha penataan, perbaikan, dan pelestarian kawasan ini. Kawasan

Kota Tua Jakarta dapat dimasukkan ke dalam kawasan cagar budaya dan ilmu

pengetahuan yaitu kawasan yang berfungsi untuk melindungi kekayaan

budaya bangsa berupa peninggalan-peniggalan sejarah, bangunan arkeologi

dan monumen nasional serta keragaman bentukan geologi yang berguna untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dari ancaman kepunahan yang disebabkan

oleh kegiatan alam maupun manusia (Adisasmita, 2010, p:80). Sedangkan

menurut Kepres No. 32 tahun 1990, Pemerintah wajib untuk menetapkan

kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang dilindungi dengan

kebijakan kawasan lindung (Adisasmita, 2010, p:82).


Kawasan lain yang serupa dengan kawasan Kota Tua Jakarta yang

dapat dijadikan contoh dalam hal penataan dan pengoptimalan potensinya

adalah kawasan Kota Tua Venesia, Italia. Tidak jauh berbeda dengan Jakarta,

arsitektur bangunan di Venesia juga berbau Eropa. Kesamaan yang lain adalah

dengan melintasnya Sungai Ciliwung di tengah Kota Tua Jakarta menjadikan

Kota Tua sama berpotensinya dengan kawasan Hanoi, Hongkong. Dengan

mencontoh Venesia dan Hanoi dalam hal wisata berkeliling kota dengan kanal

atau pinisi dapat memberikan banyak sekali keuntungan terutama dalam

perekonomian dan menarik wisatawan ke Indonesia, tentu saja dengan

membersihkan Sungai Ciliwung terlebih dahulu.

B. Pembangunan Kawasan Kota Tua Jakarta

Pembangunan Kawasan adalah pembangunan yang mengutamakan

pada terwujudnya pembangunan kawasan yang memiliki fungsi tertentu

(Adisasmita, 2010, p:5). Kawasan Kota Tua Jakarta sendiri adalah suatu

kawasan lindung cagar budaya yang memiliki fungsi untuk menjaga

kelestarian sejarah dan budaya yang sangat kental di dalamnya. Sehingga

dalam pembangunannya, kawasan Kota Tua Jakarta harus tetap dilestarikan

arsitektur gaya lamanya dan bukan malah dibiarkan terbengkalai tek terurus

apalagi apabila dirobohkan dan justru diganti dengan bangunan lain yang

sama sekali menghilangkan fungsi lindung Kota Tua Jakarta.

Upaya pembangunan Kota Tua Jakarta dalam rangka usaha menata,

memperbaiki, serta melestarikan dan mengoptimalkan potensinya haruslah


memerhatikan beberapa aspek yaitu Aspek Lingkungan, Aspek Bangunan, dan

Aspek Manusia (Broadbent, 1973).

1. Aspek Lingkungan

Aspek Lingkungan lebih mengarah pada sarana dan prasarana kota,

dibedakan menjadi dua macam yaitu lingkungan fisik dan non fisik. Aspek

Lingkungan Fisik adalah berupa bangunan-bangunan tua berarsitektur

Eropa di dalam kawasan Kota Tua yang saat ini dimanfaatkan sebagai

museum. Untuk ke depannya mungkin tidak hanya museum, namun juga

bisa dibangun coffee shop atau Butik atau segala bentuk bangunan yang

dapat mempertegas kesan Kota Tua bergaya Eropa untuk tujuan wisata

sejarah, budaya, dan edukasi.

Sedangkan Aspek Non Fisik dapat berupa kondisi perekonomian di

dan pola sirkulasi jalan sekitar daerah tersebut. Kondisi perekonomian

sangat bergantung pada banyaknya wisatawan yang datang berkunjung.

Maka dari itu pembangunan kawasan berorientasi ekonomi ini harus

direncanakan dan dilakukan secara matang sehingga dapat menarik banyak

wisatawan baik luar negeri maupun dalam negeri, misalnya dengan

mengoptimalkan pada wisata pinisi Sungai Ciliwung. Sedangkan pola

sirkulasi jalan juga harus diperjelas apakah satu atau dua arah,

diperuntukkan hanya bagi pejalan kaki atau juga dibuat jalur bagi

kendaraan bermotor supaya tidak terjadi kesimpangsiuran.


2. Aspek Bangunan

Karena merupakan zona lama yaitu zona di sekitar pusat kota besar

yang umumnya berupa bangunan tua atau lama (Adisasmita, 2010, p:63),

maka peraturan pendirian bangunan di kawasan ini memiliki aturan yang

lebih ketat. Pendirian bangunan haruslah memerhatikan bentuk bangunan,

gaya, material, dan sistem struktur. Kenyamanan dan keamanan pada

bangunan juga harus diperhatikan sehingga memenuhi persyaratan yang

ada sesuai dengan Perda No. 9 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan

Lingkungan Bangunan Bersejarah, yang menyebutkan bahwa masyarakat

pemilik bangunan tetap mempunyai hak penuh atas bangunannya dengan

syarat tidak mengganggu gaya atau arsitektur serta tidak merusak citra

Kota Tua.

3. Aspek Manusia

Aspek Manusia yang dimaksud adalah kebutuhan manusia akan

ruang atau spasial. Pembangunan kawasan ini haruslah tertata rapi dalam

perencanaannya tentang pembagian ruang-ruang dalam satu Kota Tua ini

supaya wisatawan yang berkunjung merasa kebutuhan spasialnya telah

terpenuhi.

Kebutuhan ruang ini dapat dijawab dengan mengkotak-kotakkan

suatu zona sesuai fungsinya. Misalnya dengan membangun museum dan

galeri yang memfokuskan pada masalah sejarah dan edukasi, membangun

coffee shop atau kedai-kedai makanan. Membangun hotel atau tempat

penginapan bagi wisatawan yang bertempat tinggal jauh dan ingin


menginap, memberikan sentuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berupa

Arboretum baik yang bersifat Closed System maupun Opened System

(RTBL Klaster SBB UGM).

Arboretum Closed System ditujukan sebagai daerah resapan air dan

penyejuk udara dengan bentuk miniatur hutan liar dan jenis tanaman

beragam. Sedangkan Arboretum Opened System ditujukan sebagai tempat

parkir, taman, tempat olahraga, di sepanjang jalan atau tempat kegiatan

lain yang dinaungi oleh pohon-pohon yang tinggi, besar, dan beragam.

Pembangunan dua Arboretum ini tentu saja tak lepas dari ketentuan untuk

tetap menjaga kekolonialan bangunan dan suasana Kota Tua.

C. Dilema Rehabilitasi Kawasan Kota Tua Jakarta

Usaha pemanfaatan (rehabilitation) bangunan-bangunan bersejarah

yang merupakan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan seperti pada

Kota Tua Jakarta memang sangat dianjurkan. Namun demikian, pembangunan

baru (new infill urban development) juga tidak dapat dihindari pada jaman

yang terus berkembang seperti ini. Pada studi kasus Kota Tua Jakarta ini,

pengembangan kota bersifat konsentris yaitu dari suatu pusat kota dan

berkembang sub-sub pusat kota yang mengelilingi pusat kota.

Hal ini bukanlah suatu hal baru karena sangat wajar apabila suatu kota

kemudian bertambah penduduknya sehingga menjadi padat. Apalagi kawasan

Kota Tua yang merupakan tempat wisata sangat memicu pertumbuhan

penduduk di sekitar daerah itu terkait dengan segi ekonomi. Karena banyak
wisatawan yang datang tentu saja banyak penduduk setempat untuk

memanfaatkan hal tersebut untuk menambah penghasilan mereka. Otomatis

kawasan tersebut menjadi padat dan perlahan tumbuh areal permukiman baru

sebagai tempat tinggal penduduk dan tidak dapat dihindari secara perlahan

munculah slum and squatter area.

Slum and squatter area (kumuh dan liar) terlihat dari karakteristiknya

yang paling menonjol yaitu kualitas bangunan rumahnya yang tidak

permanen, dengan kerapatan bangunan yang tinggi, serta sarana dan prasarana

perkotaan yang sangat terbatas, sehingga terlihat kotor dan tidak nyaman

dipandang mata. Selain tidak nyaman dilihat secara visual, keadaan seperti ini

akan memicu munculnya berbagai permasalahan lain seperti munculnya

wabah penyakit dan bencana alam seperti banjir (Rebekka, 1991).

Pertumbuhan area permukiman kumuh dan liar di kawasan Kota Tua

bukanlah sesuatu yang dapat disepelekan. Area Kota Tua merupakan salah

satu situs peninggalan sejarah yang harus dilestarikan dan atau dimanfaatkan

sebagai sarana wisata edukasi, sejarah, dan rekreasi. Apabila kawasan tersebut

akhirnya menjadi kumuh tak terawat, tentu saja tidak akan ada wisatawan

yang berkunjung, itu berarti mematikan potensi Kota Tua sebagai warisan

dunia yang harus dijaga sejarahnya sebagai bukti cerita sejarah turun temurun

dari generasi ke generasi.

Inilah dilema yang dihadapi Pemerintah pada khususnya dan

masyarakat pada umumnya. Di satu sisi, new infill urban development tidak

dapat dihindari kejadiannya sedangkan di sisi lain pelestarian kawasan cagar

budaya sebagai situs sejarah juga wajib dilakukan. Pemerintah tidak dapat
hanya memenangkan salah satunya saja, apabila Pemerintah hanya

memfokuskan pada pelestarian Kota Tua sebagai situs sejarah, maka

Pemerintah bertindak kejam kepada masyarakat yang ingin mencari nafkah di

daerah tersebut. Sedangkan apabila Pemerintah membiarkan masyarakat

tersebut menetap dan membangun permukiman baru di kawasan Kota Tua,

berarti Pemerintah tidak menghargai sejarah dan membiarkan warisan dunia

tersebut hilang.

Maka dari itu diperlukan suatu solusi dari dilema ini sebelum kawasan

tersebut rusak terlalu parah. Bagaikan buah simalakama yang tidak dapat

dipilih salah satunya, Pemerintah dapat memilih dua-duanya sekaligus dengan

menggunakan teori arsitektur kontekstual dipadukan dengan ilmu

pembangunan kawasan dan tata ruang, yang kemudian dapat diterapkan pada

kawasan Kota Tua dan kawasan lain yang mempunyai problematika serupa

dengan dituangkan dalam Undang-undang, Peraturan Daerah, atau Surat

Keputusan.

D. Arsitektur Kontekstual sebagai Solusi

Arsitektur Kontekstual merupakan sebuah pendekatan dalam proses

perancangan arsitektur dengan memerhatikan dan menghormati kondisi

lingkungan di sekitarnya baik dari aspek fisik maupun non fisik.

Kontekstualisme adalah kemungkinan perluasan bangunan dan mengaitkan

bangunan baru dan lingkungan di sekitarnya (Brolin, 1980). Dengan kata lain,

kontekstualisme merupakan sebuah cara tentang perlunya tanggapan terhadap


lingkungannya serta bagaimana menjaga dan menghormati jiwa dan karakter

suatu tempat terbangun untuk diperluas dengan bangunan baru.

Hal ini dimaksudkan bahwa dalam suatu kawasan yang sudah terdapat

bangunan bernuansa Eropa jaman Renaissance seperti pada Kota Tua Jakarta

dapat dibuat bangunan lain yang senada dengan tema yang sudah ada

sebelumnya dan tidak merusak atau mengganggu citra bangunan gaya kolonial

yang memang harus dijaga dan dilestarikan.

Bentuk arsitektur dan ruang terbuka (architectural and urban space)

pada kawasan bersejarah bukan berarti seperti sebuah kertas putih yang siap

digambar sesuai keinginan kita, melainkan sudah terdapat gambar pada kertas

tersebut dan kita harus memperindahnya. Di dalam situs bersejarah tersebut

sudah terdapat jaringan budaya yang kompleks yang telah terbentuk dalam

ruang dan waktu yang tidak singkat. Oleh karena itu new infill urban

development yang dilakukan haruslah menghormati dan menghargai estetika

kawasan dari bentuk fisik dan non fisik yang sudah ada.

Dalam konsep arsitektur kontekstual, terdapat 3 hal yang saling

berkaitan satu sama lain yaitu kegiatan, lingkungan, dan visual.

1. Kegiatan

Kegiatan berhubungan dengan fungsi dan tata ruang. Pada kawasan

Kota Tua Jakarta ini, kegiatan yang ada begitu beragam, mulai dari

kegiatan ekonomi dan wisata yang paling menonjol sampai kegiatan

pemerintahan pun ada. Sehingga dengan banyaknya kegiatan ini maka

pembentukan fungsi bangunan pun juga berbagai macam.


Kegiatan yang ada di kota ini antara lain aktivitas rumahan

penduduk, kegiatan wisata edukasi dan sejarah pada museum, galeri, dan

pelabuhan Sunda Kelapa, serta kegiatan ekonomi oleh warga sekitar.

Untuk kegiatan rumahan, tentu saja penduduk memerlukan rumah untuk

melakukan aktivitasnya, maka dari itu rumah dan perumahan yang

dibentuk haruslah memenuhi kegiatan yang dilakukan.

Kegiatan wisata sejarah dan edukasi yang dilakukan pastilah

menggunakan museum dan galeri serta bangunan-bangunan bersejarah

yang berarsitektur kolonial yang wajib dilestarikan tersebut, sehingga

tidak perlu dilakukan banyak perubahan melainkan hanya beberapa

penyesuaian saja dengan kebutuhan wisatawan yang berkunjung. Seperti

misalnya penambahan kamar mandi, tempat parkir, tempat-tempat duduk,

dan sarana prasarana lain yang mendukung.

Sedangkan untuk kegiatan ekonomi, penduduk dapat membuka

mata pencaharian di Kota Tua ini misalnya dengan membuka restoran,

butik dan juga jasa penyewaan kanal dan pemandu wisata apabila rencana

pengoptimalan potensi Ciliwung untuk jalur wisata sudah terealisasi. Butik

dan restoran yang dibuka di kawasan ini dapat dibangun dengan konsep

dan nuansa yang harmonis dengan suasana Kota Tua, baik dari segi fisik

bangunan, interior dan eksterior, serta makanan yang dijual.

2. Lingkungan

Dari segi lingkungan berhubungan dengan sirkulasi dan ruang

publik. Sirkulasi dapat berupa jaringan jalan dan drainase, jaringan-


jaringan ini harus dipikirkan secara matang. Jaringan jalan harus

direncanakan dan dibuat peta pola pengembangan jalan, baik jalan untuk

pejalan kaki, pengguna kendaraan bermotor, dan kendaraan tidak

bermotor, baik jalan di dalam kota maupun jalan yang menghubungkan

dengan kota-kota di sekitarnya.

Selain jalur transportasi darat, dapat direncanakan juga jalur

transportasi air karena terdapat Sungai Ciliwung yang melintas di tengah

kota. Dengan membersihkan Sungai Ciliwung terlebih dahulu sebelumnya,

potensi Kota Tua untuk menarik wisatawan akan semakin besar apabila

berhasil dibuat duplikat dari konsep Kota Kanal Venesia dengan wisata

berkeliling Kota Tua Jakarta menggunakan perahu pinisi seperti yang telah

diuraikan sebelum ini.

Jaringan drainase merupakan jaringan pembuangan air atau yang

biasa disebut dengan selokan. Limbah yang ditemukan di kota ini kurang

lebih hanya merupakan limbah rumah tangga dari permukiman penduduk

setempat atau dari restoran atau coffee shop yang buka di kawasan ini.

Sehingga sistem drainase yang diperlukan tidaklah cukup rumit karena

limbah yang dikeluarkan bukanlah jenis limbah yang perlu penanganan

ekstra.

Hanya perlu diperhatikan bahwa limbah tersebut sebisa mungkin

tidak dibuang ke aliran Sungai Ciliwung karena hal itu akan merusak

kondisi fisik sungai dan membunuh pemanfaatan Sungai Ciliwung untuk

wisata keliling kota dengan jalur air. Sebagai solusi dapat dibuat selokan-
selokan kecil yang tertutup dari permukaan untuk mempercantik estetika

kota, sedangkan aliran pembuangan akhir bisa langsung ke Laut Jawa.

Berkaitan dengan ruang publik atau open space, mengarah pada

pembuatan Arboretum yang sudah dibahas di atas dan juga pembuatan

ruang terbuka hijau (RTH) baik yang bersifat aktif maupun pasif. RTH

Aktif merupakan RTH yang dapat dimanfaatkan oleh banyak orang,

seperti taman kota misalnya. Sedangkan RTH Pasif merupakan RTH yang

hanya dapat dimanfaatkan oleh beberapa orang saja (private), misalnya

pekarangan rumah.

Selain dapat mempercantik kota, pengadaan open space berupa

Arboretum dan RTH dapat berarti banyak bagi bumi kita dalam kaitannya

dengan maraknya aksi Saving Global Warming saat ini. Meskipun

demikian, pembangunan ruang hijau ini tidak bisa seenaknya melainkan

memerlukan suatu perencanaan yang tepat supaya konsep kota yang ada

tetaplah sebagai Old City bukan sebagai Green City.

3. Visual

Visual dapat dilihat dari bentuk gaya dan arsitektur bangunan.

Karena pada awalnya di kawasan ini sudah terlebih dahulu terbentuk pola

Kota Tua, maka perluasan atau penambahan bangunan, sarana, atau

prasarana baru, pembuatan pola jaringan jalan serta segala sesuatu yang

bersifat visual atau fisik kota tersebut haruslah sesuai dengan image Kota

Tua.
Sesuai dengan tujuan dari program rehabilitasi ini, Kota Tua harus

tetap dilestarikan dengan tidak mematikan pertumbuhan penduduk di

dalamnya. Sehingga penambahan bangunan-bangunan yang diperlukan

untuk menunjang keperluan penduduk yang tinggal di dalamnya haruslah

tetap menjaga kondisi gaya arsitektur ini.

E. Simpulan

Kota Tua Jakarta merupakan cikal bakal dari kota metropolitan Jakarta

saat ini. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan yang masih berarsitektur

Renaissance Eropa, dibangun oleh Jan Pieterszoon Coon pada masa kolonial

Belanda. Saat ini bangunan-bangunan tersebut dimanfaatkan sebagai museum

dan galeri, juga masih terdapat kampung bernuansa Tionghoa di kawasan

Pecinan, selain itu Pelabuhan Sunda Kelapa pun masih menampakkan

kegiatannya.

Pada saat ini Pemerintah menghadapi dilema terkait dengan kawasan

Kota Tua Jakarta yang pada satu sisi merupakan suatu situs sejarah warisan

dunia yang wajib untuk dijaga dan dilestarikan. Namun di sisi lain,

pertumbuhan penduduk berupa permukiman baru yang secara perlahan

muncul sebagai akibat dari urbanisasi tidak dapat dibendung. Seperti magnet,

kawasan wisata selalu saja menarik penduduk untung bermukim di sekitarnya

karena menjanjikan peluang usaha yang cukup besar.

Pemerintah harus bersikap bijaksana dalam mencari solusi dalam

masalah ini. Karena merupakan situs sejarah, kawasan Kota Tua harus dijaga
keasliannya supaya warisan dunia ini tetap dapat diwariskan turun temurun.

Dengan kata lain, pembangunan permukiman baru yang muncul tersebut tidak

boleh merusak keaslian Kota Tua, apalagi jika sampai menghilangkan bukti

sejarah tersebut. Maka dari itu, pola pengembangan dengan berdasar pada

arsitektur kontekstual dapat diusulkan untuk menjadi solusinya, yaitu pola

perluasan pembangunan dengan tetap memerhatikan keaslian bangunan yang

sudah ada sebelumnya.

Realisasi konsep arsitektur kontekstual ini dapat berupa pengoptimalan

museum dan galeri yang sudah memanfaatkan bangunan tua tersebut yang

merupakan daya tarik utama dan inti dari wisata sejarah dan edukasi Kota Tua.

Untuk menambah daya tarik wisatawan, Pemerintah bisa memaksimalkan

Sungai Ciliwung yang melintas untuk wisata berkeliling kota menggunakan

perahu.

Sedangkan perluasan bangunan yang lain adalah pembangunan rumah-

rumah penduduk akibat new infill urban development. Meskipun hanya

perumahan, gaya arsitektur yang digunakan tidak boleh seenaknya namun

wajib mengikuti pola arsitektur yang menjadi ciri utama kawasan ini, yaitu

gaya Renaissance Eropa, atau mengikuti pola kawasan Tionghoa bagi yang

berada di daerah Pecinan.

Untuk menunjang kegiatan ekonomi, warga sekitar dapat membuka

usaha pada kawasan wisata Kota Tua seperti misalnya membuka restoran,

coffee shop, butik, penginapan, atau jasa penyewaan perahu dan pemandu

untuk wisata keliling kota melewati Ciliwung. Semua sarana dan prasarana
yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan ekonomi ini tentu saja harus tetap

menjaga arsitektur asli Kota Tua sesuai konsep kontekstual.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dilema Kota Tua Jakarta

tidak lagi menjadi buah simalakama bagi Pemerintah. Usulan konsep

arsitektur kontekstual yang dipadukan dengan ilmu pembangunan kawasan

dan tata ruang yang matang serta tepat dalam realisasinya, dapat menjadikan

Kota Tua Jakarta menjadi salah satu wisata edukasi dan sejarah warisan dunia

yang patut disandingkan dengan situs-situs warisan dunia yang lain.

F. Daftar Pustaka

A, Heuken, (1982), Historical Sites of Jakarta, University of Indonesia Press,


Jakarta.

Adisasmita, Rahardjo, (2010), Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang,


Graha Ilmu, Jogjakarta.

Blumenfeld, Hans, (1982), Where Did All the Metropolitanites Go, Personal
Communication, New York.

Branch, Melville C., (1996), Perencanaan Kota Komprehensif, Gajah Mada


University Press, Jogjakarta.

Broadbent, Geoffrey, (1973), Design in Architecture, John Wiley and Sons


Ltd., New York.

Brolin, Brent C., (1980), Architecture in Context, Diponegoro Press,


Semarang.

Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990.

Koestoer, Raldi Hendro, Rudi P. Tambunan, Hari Tri Budianto, dan Sobirin,
(2001), Dimensi Keruangan Kota, University of Indonesia Press,
Jakarta.

Perda No. 9 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Lingkungan Bangunan


Bersejarah.
Rebekka, Y., (1991), Penyebaran Permukiman Kumuh Kecamatan Tambora,
Tamansari, dan Grogol Petamburan Jakarta Barat (Skripsi S1),
Jurusan Geografi FMIPA-UI, Depok.

Rencana Induk Kota Tua Jakarta Tahun 2007.

Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Klaster Sekip-Bulaksumur-


Boulevard Universitas Gadjah Mada Jogjakarta Tahun 2005-2015.

Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 34 tahun 2006.

Anda mungkin juga menyukai