Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Post Partum Blues

1. Pengertian Post partum blues

Post partum blues adalah gangguan suasana hati y a n g bersifat sementara,

terjadi pada ibu pasca bersalin yang disebabkan oleh perubahan fisik dan

perubahan emosional (Damayanti, 2014: 73). Post partum blues adalah perasaan

sedih dan depresi segera setelah persalinan dengan gejala dimulai dua atau tiga

hari pasca persalinan dan akan hilang dalam waktu satu atau dua minggu. Gejala

post partum blues akan memuncak antara hari ke-tiga hingga ke-lima pasca

persalinan dan akan membaik pada 2 minggu post partum. Apabila gejala ini

berlanjut lebih dari dua minggu, maka dapat menjadi tanda terjadinya gangguan

depresi yang lebih berat, ataupun psikosis post partum dan tidak boleh diabaikan

(Rukiyah, 2018: 57). Berdasarkan pengertian post partum blues diatas, dapat

disimpulkan bahwa post partum blues adalah keadaan depresi ringan pasca

bersalin yang bersifat sementara yang akan dimulai sejak hari kedua dan mencapai

puncaknya pada hari ke-3 sampai ke-5, berangsur membaik setelah 2 minggu post

partum.

2. Gejala-Gejala Post partum blues

Gejala post partum blues mencapai puncaknya pada hari ke -3 sampai

hari ke-5 yang disertai dengan merasa sedih, mudah tersinggung, gangguan

pada nafsu makan dan tidur. Gejala post partum blues menurut Suherni (2009:

91):
a. Reaksi sedih/depresi/gelisah.

b. Sering menangis.

c. Mudah tersinggung.

d. Cemas.

e. Cenderung menyalahkan diri sendiri.

f. Gangguan tidur dan gangguan nafsu makan.

g. Kelelahan.

h. Mudah sedih.

i. Cepat marah.

j. Mood mudah berubah, cepat merasa sedih dan cepat merasa gembira.

k. Perasaan terjebak, marah terhadap pasangan dan bayinya.

l. Perasaan bersalah.

3. Penanganan post partum blues

Penanganan gangguan mental post partum pada prinsipnya tidak berbeda

dengan penanganan gangguan mental lainnya. Ibu dengan post partum blues

membutuhkan dukungan psikologis terutama dari pihak terdekat. Hal yang

dibutuhkan oleh ibu dengan keadaan post partum blues adalah kesempatan untuk

mengekspresikan pikiran dan perasaan situasi yang menakutkan serta waktu

istirahat yang cukup.

Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para

wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera

memberikan penanganan yang tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan

merujuk para ahli psikologi atau konselor bila memang diperlukan. Pendekatan
menyeluruh atau holistik dalam penanganan para ibu yang mengalami post

partum blues sangat dibutuhkan. Pengobatan medis, konseling emosional,

bantuan-bantuan praktis dan pemahaman secara intelektual tentang pengalaman

dan harapan-harapan mereka pada saat-saat tertentu. Secara garis besar dapat

dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat perilaku, emosional,

intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan melibatkan

lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya (Rukiyah, 2010:

378).

4. Pemeriksaan Penunjang Post Partum Blues

Skrining untuk mendeteksi gangguan mood atau depresi merupakan acuan

pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan di luar negeri. Edinburg Postnatal

Depression Scale yaitu kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat

mengukur intensitas perubahan suasana perasaan selama 7 hari pasca salin.

Pertanyaan-pertanyaan berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan,

perasaan bersalah serta mencakup hal-hal yang terdapat dalam post partum blues.

Kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan dimana setiap pertanyaan memiliki 4

pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan

gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat ini. Pertanyaan harus dijawab

sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit. Alat ini

telah teruji validitasnya di beberapa negara seperti Belanda, Swedia, Australia,

Italia dan Indonesia. Edinburgh Postnatal Depression Scale dapat dipergunakan

dalam minggu pertama pasca salin dan bila hasil meragukan dapat diulangi

pengisiannya 2 minggu kemudian (Suherni, 2009: 96).


Validasi sepuluh item EPDS di Indonesia telah diuji dan dipublikasikan

dengan hasil pengujian EPDS memiliki 87,5% sensitivitas dan 61,6% spesifitas,

yang berarti bahwa kemampuan EPDS di Indonesia untuk menskrining depresi

postpartum adalah 87,5% dan kemampuan untuk menjelaskan bahwa wanita tidak

mengalami depresi adalah 61,6%. Hasil validasi mengindikasikan bahwa

menggunakan EPDS di Indonesia adalah valid dan reabel sebagain instrument

untuk melakukan skrining depresi pasca persalinan wanita di Indonesia (Gondo,

2015: 8-9).

Instruksi penggunaan EPDS adalah sebagai berikut:

a. Ibu diminta untuk memilih jawaban yang paling sesuai dengan apa yang ia

rasakan selama 2 minggu terakhir.

b. Seluruh item (10 item) harus dilengkapi.

c. Perhatian perlu diberikan untuk mencegah ibu mendiskusikan jawaban

dengan pihak lain.

d. Ibu harus melengkapi sendiri skalanya, kecuali jika ia memiliki

pemahaman yang kurang terhadap bahasa atau memiliki kesulitan

membaca.

e. EPDS dapat diberikan kepada ibu tiap waktu dari setelah persalinan

hingga 6 minggu yang diidentifikasikan mengalami gejala depresif baik

secara subyektif maupun obyektif (Gondo, 2015: 8-9).

Jawaban diskor 0, 1, 2, dan 3 berdasarkan peningkatan keparahan gejala.

Keseluruhan skor pada masing-masing item dijumlahkan kemudian

dikelompokkan berdasarkan kategori sebagai berikut:

a. 0 – 8 point : Normal
b. 9 – 14 point : Post partum blues.

c. 15+ point : Tingginya probabilitas atau mengalami depresi post partum

komplikasi

d. Khusus nomor 10 dengan pilihan jawaban 3, 2 dan 1 memiliki

kemungkinan keinginan bunuh diri dan memerlukan tindakan segera pada

psikiatri (Williams, 2014: 22)

B. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Post Partum Blues

Faktor penyebab post partum blues pada umumnya tidak berdiri sendiri

sehingga faktor penyebab post partum blues merupakan hasil suatu mekanisme

multi faktorial. Beberapa faktor penyebab post partum blues menurut Sutanto

(2018: 25) diantaranya:

1. Faktor Hormonal

Setelah melahirkan, kadar hormon kortisol (hormon pemicu stress)

meningkat. Pada waktu yang bersamaan kadar estrogen turun secara tajam.

Estrogen memiliki efek supresi aktivitas enzim non-adrenalin maupun serotonin

yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi.

2. Faktor aktifitas fisik

Kelelahan fisik karna aktifitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan,

mengganti popok, dan menimang sepanjang hari menguras energi yang besar. Hal

ini diperparah dengan ketidaknyamanan fisik seperti rasa sakit akibat luka jahit

atau bengkak pada payudara yang dialami sehingga menimbulkan rasa emosi pada

wanita pasca melahirkan. Fisik yang lelah dan kondisi psikis yang belum dapat
beradaptasi dengan perubahan tersebut menjadi salah satu pemicu gangguan

psikologi.

3. Faktor demografi

Faktor demografi meliputi usia (terlalu muda atau terlalu tua) dan paritas.

a. Usia

Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda

atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Usia yang dianggap paling

aman bagi seorang wanita untuk menjalani kehamilan dan persalinan adalah pada

usia 20-35 tahun. Usia yang terlalu muda dapat memengaruhi tingkat kestabilan

emosi ibu. Ibu dengan usia kurang dari 20 tahun seringkali mengalami kesulitan

beradaptasi sehingga masih membutuhkan pertolongan sekitar dalam merawat

bayi. Ibu dengan usia lebih dari 35 tahun, memiliki resiko kelelahan yang tinggi

sebab keadaan anatomi tubuh yang tidak baik lagi untuk hamil dan bersalin.

Kelelahan dapat berdampak pada faktor psikologi ibu sehingga memengaruhi

terjadinya post partum blues (Kurniasari, 2014: 7).

b. Paritas

Paritas merupakan jumlah kehamilan yang menghasilkan jumlah janin

hidup, bukan janin yang dilahirkan, janin yang lahir hidup atau mati setelah

viabilitas (28 minggu/lebih) dicapai, tidak mempengaruhi paritas (Bobak, 2005:

104). Paritas dibagi menjadi 3 yaitu wanita yang telah melahirkan bayi aterm

sebanyak satu kali disebut primipara, multipara yaitu wanita yang telah

melahirkan anak hidup beberapa kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari

lima kali, grandemultipara yaitu wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih

dari empat kali (Manuaba, 2010: 166).


Faktor paritas diduga riwayat obstetri dan komplikasi yang meliputi

riwayat hamil sampai melahirkan sebelumnya yang juga berpengaruh buruk pada

ibu pasca bersalin sehingga memicu timbulnya postpartum blues. Kehamilan

secara tradisional dipandang sebagai krisis emosi oleh beberapa ahli psikologi.

Kondisi yang dialami wanita pada saat pertama kali mengalami kehamilan

merupakan kondisi yang baru dihadapi sehingga tidak jarang dapat menimbulkan

stres. Perubahan yang terjadi selama kehamilan khususnya peningkatan hormon

dapat menimbulkan tingkat kecematan yang semakin berarti (Hanifah, 2017: 20).

Ibu dengan jarak usia melahirkan terlalu dekat dapat memicu terjadinya

Sibling Rivalry. Kebutuhan dasar anak sebelumnya yang masih membutuhkan

perhatian dari orang tua serta kelahiran anak berikutnya yang membutuhkan

perhatian lebih besar dapat menimbulkan stress pada ibu sehingga memicu

terjadinya post partum blues (Sutanto, 2018: 26).

4. Faktor psikososial

Latar belakang psikososial wanita yang dipengaruhi beberapa hal, yaitu:

a. Sosial ekonomi

Beberapa kajian telah menunjukkan bahwa beberapa kelompok

masyarakat pada umumnya mendefinisikan status sosial ekonomi berdasarkan 3

faktor utama, yaitu: pekerjaan, pendidikan, pendapatan (Baldrige dalam Alifah,

2016: 13). Status sosial ekonomi masyarakat dapat dilihat dari faktor-faktor

sebagai berikut:

1) Pekerjaan

Pekerjaan akan menentukan status sosial ekonomi karena dari bekerja

segala kebutuhan akan terpenuhi. Pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai


ekonomi namun usaha manusia untuk mendapatkan kepuasan dan mendapatkan

imbalan atau upah, berupa barang dan jasa akan terpenuhi kebutuhan hidupnya.

Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi kemampuan ekonominya, untuk itu

bekerja merupakan suatu keharusan bagi setiap individu sebab dalam bekerja

mengandung dua segi kepuasan jasmani dan terpenuhinya kebutuhan hidup.

2) Pendidikan

Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan memiliki pendidikan yang cukup maka seseorang akan mengetahui mana

yang baik dan menjadikan seseorang berguna baik untuk dirinya sendiri maupun

untuk orang lain yang membutuhkannya.

3) Pendapatan

Pendapatan adalah penghasilan yang bersifat regular dan diterima sebagai

balas atau kontra prestasi.

b. Status Kehamilan

Pasangan akan merasa sangat bahagia bila kehamilan istri merupakan hal

yang sangat dinantikan. Hal ini akan berbanding terbalik jika keberadaan janin

merupakan kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak diinginkan

(Unwanted Pregnancy) merupakan istilah yang digunakan di kalangan medis

untuk memberikan istilah adanya kehamilan yang tidak dikehendaki oleh wanita

maupun lingkungannya. Umumnya kehamilan yang tidak diinginkan berkisar

pada terjadinya kehamilan di luar nikah, jumlah anak yang sudah cukup banyak,

merasa usia terlalu tua untuk hamil, riwayat kehamilan atau persalinan dengan

penyulit atau komplikasi, alasan ekonomi, kekhawatiran anak akan menjadi cacat

karna penggunaan obat aborsi, riwayat melahirkan anak cacat, pasangan suami
istri di ambang perceraian, dan kegagalan penggunaan alat KB atau kontrasepsi.

Hal lain yang lebih menyedihkan adalah kehamilan hasil perkosaan, kehamilan

pada ibu cacat mental atau kehamilan hasil hubungan antara sesama keluarga

(Alifah, 2016: 14-15).

c. Latar belakang psikologis

Stress yang dialami wanita itu sendiri. Misalnya, belum bisa menyusui

bayinya atau rasa bosan terhadap rutinitas baru. Rasa memiliki yang terlalu dalam

sehingga takut yang berlebihan akan kehilangan bayinya.

d. Dukungan suami.

Dukungan adalah bentuk motivasi serta bantuan yang nyata yang diberikan

oleh orang terdekat baik suami maupun lingkungan sosial. Pasca beberapa hari

melahirkan, ibu akan merasa kelelahan dalam menghadapi perubahan peran serta

bertambahnya anggota keluarga. Dukungan dari lingkungan, terutama suami

memiliki peran penting dalam proses adaptasi pasca bersalin. Dukungan yang

dibutuhkan adalah dukungan fisik dan moril, seperti bantuan dalam membantu

pekerjaan rumah tangga, membantu mengurus bayi serta mendengarkan keluh

kesah ibu (Suherni, 2009: 94).

1) Post Partum Social Questionnaire (PSSQ)

Post Partum Social Questionnaire (PSSQ) merupakan kuesioner yang

bertujuan untuk memberikan ukuran dukungan sosial selama periode

pascakelahiran. Tujuan lain dalam desain instrumen ini adalah untuk menilai

aspek-aspek dari dukungan sosial khusus untuk periode post partum seperti

bantuan perawatan anak serta pengasuhan bayi. PSSQ dirancang untuk menilai

aspek-aspek utama dukungan yang dinilai memiliki peran penting dalam


perubahan emosi ibu, sumber dukungan, dan aspek-aspek dukungan yang secara

khusus terkait dengan tuntutan pengasuhan anak. PSSQ dapat digunakan dalam

waktu 2 bulan post partum (Hopkins, 2008: 57).

Instrument PSSQ memiliki 9 pertanyaan untuk menilai dukungan suami

terhadap ibu nifas. Instrumen ini memiliki skor reliabilitas r ≥ 0,30 yang berarti

instrument ini dinilai valid, oleh karena itu kuesioner tersebut dapat diandalkan

untuk digunakan dalam data yang diambil. Ibu diminta untuk memilih jawaban

yang sesuai dengan keadaannya saat ini. Skala pengukuran skor dengan rentang

jawaban antara 1 sampai 4. Jumlah skor dihitung untuk melihat tingkat dukungan

suami terhadap ibu postpartum. Semakin tinggi skor semakin tinggi menunjukkan

dukungan suami terhadap ibu nifas, dan sebaliknya. Keseluruhan skor pada

masing-masing item dijumlahkan kemudian dikelompokkan berdasarkan kategori

sebagai berikut:

a) ≤ 12 point : Tidak ada dukungan suami.

b) > 12 point : Ada dukungan suami.

(Rahayuningsih, 2015: 88).

C. Hubungan Usia, Paritas, dan Dukungan Suami Terhadap Kejadian Post

Partum Blues

Faktor penyebab post partum blues memiliki beberapa faktor diantaranya

faktor demografi berupa usia dan paritas serta faktor psikososial berupa dukungan

suami. Berikut adalah hubungan usia, paritas dan dukungan suami terhadap

kejadian post partum blues:

1. Hubungan Usia Terhadap Kejadian Post Partum Blues


Usia reproduktif yang normal terjadi pada umur 25-35 tahun. Ibu dengan

usia < 20 tahun secara fisik dan mental belum siap dalam menghadapi kehamilan

dan persalinan. Dari segi fisik akan mendapat kesulitan persalinan karena rahim

dan panggul ibu belum tumbuh mencapai ukuran dewasa dan dari segi mental ibu

belum siap untuk menerima tugas serta tanggung jawab sebagai orang tua baru.

Pada usia > 35 tahun merupakan gerbang memasuki periode resiko dari

segi fisik dan psikologis. Berdasarkan segi fisik pada umur tersebut memiliki

resiko kelelahan yang tinggi sebab keadaan anatomi tubuh yang tidak baik lagi

untuk hamil dan bersalin. Kelelahan dapat berdampak pada faktor psikologi ibu

sehingga memengaruhi terjadinya post partum blues. Berdasarkan segi mental,

kebanyakan ibu telah mengalami persalinan sebelumnya dan tidak menginginkan

kehamilan kembali sehingga ada beban tersendiri bagi ibu karena telah memiliki

banyak tanggung jawab terhadap anak sebelumnya (Hanifah, 2017: 20).

Berdasarkan hasil penelitian Kurniasari (2014: 7) dengan judul hubungan

antara karakteristik ibu, kondisi bayi dan dukungan sosial suami dengan post

partum blues di rumah sakit Ahmad Yani Metro didapatkan ada hubungan usia

terhadap kejadian post partum blues dengan p value = 0,040, OR = 2,700. Hal ini

menunjukkan ibu nifas dengan usia yang beresiko memiliki peluang lebih besar

2,700 kali untuk mengalami post partum blues.

2. Hubungan Paritas Terhadap Kejadian Post Partum Blues

Pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman

merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab

itu, pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memeperoleh

pengetahuan. Pada paritas yang rendah (primipara), ketidaksiapan ibu


menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketikmampuan

ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan,

persalinan dan nifas. Sementara terkait anternatal care, dihubungkan dengan

kesiapan mental dan fisik ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan

nifas akan menurunkan angka morbiditas, mortalitas ibu dan anak (Anggraeni,

2014: 42).

Wanita yang melahirkan pertama kali (primipara) belum mempunyai

pengalaman dibandingkan dengan yang pernah melahirkan (multipara). Hal ini

akan berpengaruh terhadap cara adaptasi klien, dimana wanita primipara lebih

sering mengalami postpartum blues karena setelah melahirkan wanita primipara

mengalami proses adaptasi yang lebih dibandingkan pada multipara. Namun tidak

menutup kemungkinan pada ibu nifas dengan paritas multipara banyak yang

mengalami post partum blues. Hal ini bisa disebabkan karena pada ibu multipara

telah memiliki tanggung jawab yang lebih banyak seperti pekerjaan rumah tangga

dan tanggung jawab terhadap anak sebelumnya. Penyebab lain yang

menyebabkan ibu multipara depresi karena pada kehamilan yang dijalani

merupakan kehamilan yang tidak direncanakan (Sarwono dalam Anggraeni, 2014:

42).

Berdasarkan hasil penelitian Kurniasari (2014: 7) dengan judul hubungan

antara karakteristik ibu, kondisi bayi dan dukungan sosial suami dengan post

partum blues di rumah sakit Ahmad Yani Metro didapatkan ada hubungan paritas

terhadap kejadian post partum blues dengan p value = 0,048, OR = 2,667. Hal ini

menunjukkan ibu nifas dengan usia yang beresiko memiliki peluang lebih besar

2,667 kali untuk mengalami post partum blues.


3. Hubungan Dukungan Suami Terhadap Kejadian Post Partum Blues

Dukungan suami merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang

didalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang

bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang terlibat

dalam system sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta, perhatian,

maupun sense of attachment baik pada keluarga sosial maupun pasangan.

Dukungan suami sangat penting untuk membangun suasana positif, dimana istri

merasakan hari-hari yang melelahkan. Suami memegang peranan penting dalam

terjadinya post partum blues dan diharapkan suami menyadari bahwa istri sangat

membutuhkannya disaat saat tertentu. Dukungan suami dapat menjadi coping

penting saat mengalami stress dan berfungsi sebagai strategi preventif untuk

mengurangi stress dan efek negatifnya.

Berdasarkan penelitian kualitatif di Indonesia diperoleh berbagai

dukungan suami yang diharapkan istri adalah suami sangat mendambakan bayi

dalam kandungan istrinya, suami senang mendapat keturunan, suami mendapat

kebahagiaan dari kehamilan ini, suami memperhatikan kesehatan istri, yakni

menanyakan keadaan istri dan bayi, suami mengantar atau menemani istri

memeriksa kandungannya, suami tidak menyakiti istri, suami menghibur

menenangkan ketika ada masalah yang dihadapi istri, suami membantu tugas istri,

suami berdoa kesehatan atau keselamatan istri dan anaknya, suami menunggu

ketika istri melahirkan, dan suami menunggu ketika istri dioperasi. Diperoleh atau

tidaknya dukungan suami tergantung pada keintiman hubungan berupa adanya

komunikasi yang bermakna antara suami dan istri (Alifah, 2016: 15-16).
Berdasarkan hasil penelitian Utami (2016: 169) dengan judul hubungan

dukungan suami terhadap kejadian post partum blues di BPS Amrina kelurahan

Ganjar Asri Metro Barat didapatkan ada hubungan dukungan suami dengan

terjadinya post partum blues dengan p value 0,002, OR = 1,143. Hal ini

menunjukkan ibu nifas yang tidak mendapat dukungan suami berpeluang

mengalami post partum blues sebanyak 1,143 kali dibandingkan dengan ibu nifas

yang mendapatkan dukungan suami.

D. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah tinjauan teori dari hasil-hasil penelitian lain yang

berkaitan dengan permasalahan yang ingin diteliti (Notoadmojo, 2018: 35).

Kerangka teori pada penelitian ini terlihat pada gambar 1:

Demografi Aktifitas
Hormon (usia dan Psikososial
Fisik
paritas)

 Dukungan Suami
Adaptasi (-)
 Pendidikan
 Pekerjaan
Post Partum Blues  Pendapatan
 Status Kehamilan
 Latar Belakang
: Diteliti Psikologis

: Tidak Diteliti

Gambar 1. Kerangka Teori

Sumber: Sutanto (2018: 25)

E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainya, atau antara variabel yang

satu dengan variabel yang lain (Notoatmodjo, 2012: 26). Berdasarkan uraian

diatas peneliti membuat kerangka konsep penelitian faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian post partum blues pada ibu nifas, terlihat pada

gambar 2:

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Demografi (usia dan


paritas) dan Faktor
Psikososial (dukungan Post Partum Blues
suami)

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-

anggota suatu kelompok berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain.

Variabel dependen adalah variabel akibat atau efek sedangkan variabel

independen adalah variabel risiko atau sebab (Notoatmodjo, 2018: 103-104).

Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu post partum blues

dan variabel independen penelitian adalah faktor demografi (usia dan paritas) dan

faktor psikososial (dukungan suami).


G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara dari suatu penelitian,

patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam

penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2018: 39). Berdasarkan kerangka konsep, maka

hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara usia, paritas dan dukungan

suami terhadap kejadian post partum blues.

H. Definisi Operasional

Definisi operasional digunakan untuk membatasi ruang lingkup atau

pengertian variabel-variabel diamati atau diteliti. Definisi operasional juga

bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan pada

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument atau alat

ukur (Notoatmodjo, 2018: 45). Definisi operasional penelitian seperti pada tabel

1:

Tabel 1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Alat Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur Ukur
Usia Satuan waktu yang Wawan Kuisioner 1. Beresiko: Ordinal
mengukur lama cara <20 dan >35
hidup sejak lahir tahun
sampai saat 2. Tidak
penelitian Beresiko: 20-
berlangsung dengan 35 tahun
satuan tahun.

Paritas Jumlah kehamilan Wawan Kuisioner 1. Beresiko: Ordinal


yang menghasilkan cara Primipara
bayi viable 20 2. Tidak
minggu atau lebih. Beresiko:
Multipara dan
Grande
multipara
Dukungan Motivasi serta Wawan Kuisioner 1. Tidak ada Ordinal
suami bantuan yang nyata cara Post dukungan dari
yang diberikan oleh partum suami jika
suami berupa tenaga, Social skor ≤ 12
pikiran, support, Question 2. Ada
materi dan spiritual. naire dukungan dari
(PSSQ) suami jika
skor >12
Post Perasaan sedih dan Wawan Kuisioner 1. Postpartum Ordinal
Partum depresi segera cara blues jika skor
Blues setelah persalinan 9 - 14
dengan gejala 2. Tidak
dimulai dua atau tiga postpartum
hari pasca persalinan blues jika skor
dan akan hilang ≤8
dalam waktu satu
atau dua minggu

Anda mungkin juga menyukai