Anda di halaman 1dari 50

REFERAT

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

“Perubahan Fungsi Seksual Pada Masa Kehamilan”

Pembimbing :

dr. Andoharman Damanik, Sp.OG

Oleh :

Anak Agung Ayunda Saraswati

20710069

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA

SURABAYA

DI RSUD KABUPATEN SIDOARJO

2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan

rahmat dan karunia-nya penulis diberikan kemudahan untuk menyelesaikan referat dengan

judul “Perubahan Fungsi Seksual Pada Masa Kehamilan”. Tugas referat ini

merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik

Obstetri dan Ginekologi.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada dr. Andoharman

Damanik, Sp.OG sebagai pembimbing yang telah memberikan arahan kepada saya.

Pemulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan oleh

sebab itu peulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

kesempurnaan laporan penelitian ini. Semoga dengan terselesaikannya referat ini dapat

bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.

Sidoarjo,28 Agustus 2021

Anak Agung Ayunda Saraswati

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul.............................................................................................. i

Kata Pengantar ............................................................................................ ii

Daftar Isi...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........................................................................... 1

1.2 Tujuan........................................................................................ 3

1.3 Manfaat ..................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 3

2.1 Kehamilan................................................................................. 4

2.1.1 Definisi............................................................................ 4

2.1.2 Perubahan Anatomi dan Fisiologi Pada Kehamilan........ 4

2.1.3 Hormon dan Seks............................................................ 9

2.2 Aktivitas Seksual Selama Kehamilan ...................................... 14

2.2.1 Mitos, Faktor Budaya, Sosial ......................................... 15

2.2.2 Faktor Psikologis Selama Kehamilan............................. 16

2.2.3 Perubahan Fisik yang Mempengaruhi............................. 20

2.2.4 Perubahan Seksual Tiap Trimester.................................. 22

2.2.5 Keadaan-Keadaan yang Beresiko.................................... 36

2.2.6 Pengaruh Hubungan Seksual........................................... 28

2.2.8 Posisi............................................................................... 31

iii
2.3 Aktivitas Seksual Setelah Kehamilan

2.3.1 Perubahan Fisik Terkait Kelahiran ................................. 33

2.3.2 Jenis Persalinan............................................................... 34

2.3.3 Dyspareunia..................................................................... 36

2.3.4 Menyusui......................................................................... 39

2.3.5 Kelelahan......................................................................... 40

BAB III PENUTUP.................................................................................... 41

3.1 Kesimpulan .............................................................................. 41

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 44

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehamilan merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan wanita.


Suatu peristiwa yang dimulai sejak terjadinya konsepsi sampai keluarnya hasil
konsepsi dari rahim. Kehamilan memiliki peran penting dalam fungsi seksual dan
perilaku wanita. (Madonna dkk, 2016)

Seksualitas merupakan kebutuhan dasar manusia yang terdiri atas motivasi,


perasaan, pikiran, perilaku ditentukan oleh kebutuhan biologis (nafsu dan reproduksi),
kebutuhan psikologis seperti cinta, kasih sayang, dan hubungan yang intim terhadap
pasangan.Fungsi seksual dipengaruhi oleh usia, pengetahuan, penyakit kronik,
hormon seksual, kehamilan dan persalinan. Gangguan fungsi seksual dapat
mempengaruhi kualitas hidup wanita dan memiliki efek negatif pada rasa percaya
diri.Dalam sebuah populasi umum wanita dapat mengalami gangguan fungsi seksual
sebesar 40-50% selama hidupnya. (Madonna dkk, 2016)

Beberapa penelitian yang dikembangkan menunjukkan bahwa masalah fungsi


seksual merupakan masalah yang sering terjadi pada 25% - 92% wanita. Fungsi
seksual dapat dipengaruhi oleh usia, pengetahuan, penyakit kronik, kehamilan, dan
persalinan. Masalah fungsi seksual dapat mempengaruhi kualitas hidup wanita,
dimana akan memberi dampak negatif pada rasa percaya diri (Allesandra, 2009)

Kekhawatiran yang paling sering disebutkan tentang aktivitas seksual selama


kehamilan adalah perdarahan, induksi persalinan, infeksi, kerusakan janin, dan
ketuban pecah . Itu juga harus digaris bawahi bahwa wanita yang puas dengan
kehidupan seks mereka mungkin tertarik untuk melanjutkan aktivitas seksual
sepanjang kehamilan mereka, sementara mereka yang tidak tertarik pada seks
mungkin cenderung menghindari hubungan seksual hubungan seksual selama
kehamilan. (Fuchs et al., 2019)

1
Banyak mitos, faktor sosial budaya yang menyebabkan wanita hamil tidak ingin
melakukan hubungan seksual dimasa kehamilan, yang banyak beredar yaitu bahwa
hubungan seksual selama kehamilan dapat membahayakan bayi, dapat menginduksi
persalinan prematur dan menyebabkan aborsi. Berbagai anggapan beredar di
masyarakat mengenai boleh tidaknya atau tidaknya hubungan seksual dilakukan
selama masa hamil. Tidak jarang suami dan istri tidak sependapat mengenai perlu
hubungan seksual selama hamil. Salah satu anggapan yang beredar luas di masyarakat
menyatakan bahwa hubungan seksual selama masa hamil harus sering dilakukan agar
bayi di dalam rahim dapat bertumbuh subur dan sehat. Alasannya, dengan melakukan
hubungan seksual maka bayi mendapat siraman sperma. Padahal anggapan ini tidak
benar sama sekali.Anggapan lain yang juga beredar luas di masyarakat ialah
hubungan seksual tidak boleh dilakukan agar tidak mengganggu perkembangan bayi.
Anggapan ini juga tidak benar karena tidak ada alasan bahwa hubungan seksual pasti
mengganggu perkembangan bayi. Sebaliknya ada anggapan lain yang menyatakan
bahwa hubungan seksual tidak menimbulkan akibat apapun terhadap kehamilan ,
sehingga boleh saja dilakukan seperti sebelumnya. Anggapan ini juga tidak selalu
benar. (Pangkahila, 2014).

2
1.2 Tujuan
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti ujian akhir
dari serangkaian kegiatan kepaniteraan klinik Bagian Kebidanan dan Kandungan dan
untuk mengetahui tentang Perubahan Fungsi Seksual Pada Masa Kehamilan.

1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan penyusun referat ini yaitu:
a. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan untuk menjadi kepustakaan
penyusunan karya ilmiah lainnya.
b. Bagi Dokter Muda
Dokter muda mampu memahami dan mengaplikasikan semua ilmu yang
telah diperoleh selama proses penyusunan referat ini.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kehamilan

2.1.1 Definisi Kehamilan

Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Indonesia, kehamilan didefinisikan sebagai

fertilitas atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi.

Kehamilan normal berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9

bulan menurut kalender. Kehamilan terbagi menjadi 3 trimester, dimana trimester

satu berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-13

hingga ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-40)

(Sarwono, 2011).

2.1.2 Perubahan Anatomi dan fisiologis pada kehamilan

1) Sistem reproduksi

a) Uterus

Uterus mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk bertambah besar

dengan cepat selama kehamilan, dan pulih kembali seperti semula dalam

beberapa minggu setelah melahirkan. Selama kehamilan, uterus akan

berubah menjadi suatu organ yang mampu menampung janin, plasenta, dan

cairan amnion rata-rata pada akhir kehamilan volume totalnya mencapai

5L bahkan 20L atau lebih dengan berat rata-rata 1100gram (Sarwono, 2011)

Pada awal kehamilan penebalan uterus distimulasi terutama oleh hormone

estrogen dan sedikit progesterone. Panjang uterus akan bertambah lebih

cepat daripada lebarnya sehingga bentuknya oval. Pada akhir kehamilan 12

4
minggu uterus akan terlalu besar dalam rongga pelvis dan sering

perkembangannya, uterus akan menyentuh dinding abdominal, mendorong

usus ke samping dan ke atas, terus tumbuh hingga hamper menyentuh hati

(Sarwono, 2011)

Pada akhir kehamilan kehamilan otot-otot uterus bagian atas akan

berkontraksi sehingga segmen bawah uterus akan melebar dan menipis.

Batas antara segmen atas yang tebal dan segmen bawah yang tipis disebut

dengan lingkaran retraksi fisiologis (Sarwono, 2011)

b) Serviks

Satu bulan setelah konsepsi serviks akan menjadi lebih lunak dan kebiruan.

Perubahan ini terjadi akibat penambahan vaskularisasi dan terjadinya

edema pada seluruh serviks, bersamaan dengan terjadinya hipertrofi dan

hyperplasia pada kelenjar – kelenjar serviks (Sarwono, 2011).

Hal tersebut menjadikan serviks bertambah vaskularisasinya dan menjadi

lunak yang disebut sebagai tanda Goodell. Kelenjar endoservikal

membesar dan mengeluarkan banyak cairan mucus. Karena pertambahan

dan pelebaran pembuluh darah, maka endoservikal berubah warna menjadi

livid atau kebiruan yang disebut sebagai tanda Chadwick. Tanda Hegar

adalah perlunakan dan komprebilitas ismus serviks sehingga ujung-ujung

jari seakan dapat ditemukan apabila ismus ditekan dari arah yang

berlawanan (Sarwono, 2011)

c) Vagina dan perineum

Selama kehamilan peningkatan vaskularisasi ddan hyperemia terlihat jelas

pada kulit dan otot - otot di perineum dan vulva, sehingga pada vagina

akan terlihat berwarna keunguan yang dikenal sebagai tanda Chadwick.

5
Perubahan ini meliputi penipisan mukosa dan hilngnya sejumlah jaringan

ikat dan hipertrofi dari sel - sel otot polos (Sarwono, 2011)

d) Ovarium.

Proses ovulasi selama kehamilan akan terhenti dan pematangan folikel

baru juga ditunda. Hanya satu korpus luteum yang dapat ditemukan di

ovarium. Folikel ini akan berfungsi maksimal 6-7 minggu awal kehamilan

dan setelah itu akan berperan sebagai progesterone dalam jumlah yang

relatif minimal (Sarwono, 2011)

e) Kulit

Pada dinding kulit perut akan terjadi perubahan warna menjadi kemerahan,

kusam, dan terkadang juga akan mengenai daerah payudara dan paha.

Perubahan ini dikenal dengan nama striae gravidarum. Pada multipara

selain striae kemerahan itu sering kali ditemukan garis berwarna perak

berkilau yang merupakan sikatrik dari striae gravidarum sebelumnya.selain

itu,terjadi perubahan pula di garis pertengahan perut (linea alba) yang akan

berubah bertambah hitam kecoklatan yang disebut linea nigra (Sarwono,

2011)

f) Payudara.

Payudara akan bertambah ukurannya di vena - vena di bawah kuit akan

terlihat jelas.puting payudara akan membesar, kehitaman dan tegak. Areola

akan lebih besar dan kehitaman, kelenjar Montgomery akan membesar dan

cenderung menonjol keluar. Jika payudara semakin membesar, striae

seperti yang terlihat pada perut akan muncul juga di payudara (Sarwono,

2011)

2) Sistem Kardiovaskuler

6
Pada minggu kelima cadiac output akan meningkat dan perubahan ini terjadi

untuk mengurani resistensi vascular sistemik. Selain itu, denyut jantung juga

mengalami peningkatan. Antara minggu ke-10 dan minggu ke-20 terjadi

peningkatan plasma. Peningkatan estrogen dan progesterone juga akan

menyebabakan terjadinya vasodilatasi dan penurunan resistensi vascular

perifer (Sarwono, 2011)

Sejak pertengahan kehamilan pembesaran uterus akan menekan vena kava

inferior dan aorta bawah ketika berada dalam posisi telentang. Penekanan

vena ke jantung. Akibatnya, terjadi penurunan preload dan cardiac output

sehingga menyebabkan terjadinya hipotensi arterial yang dikenal sebagai

sindrom hipotensi supine dan pada keadaan yang cukup bera takan

mengaibatkan ibu kehilangan kesadaran (Sarwono, 2011)

Penekanan pada aorta ini juga akan menguragi aliran darah uteroplasenta ke

ginjal.selama trimester terakhhir posisi telentang akan membuat fungsi ginjal

menurun jika dibandingkan dengan posisi miring kekiri. Oleh karena itulah

mengapa ibu hamil tidak dianjurkan dalam posisi telentang pada akhir

kehamilan (Sarwono, 2011)

3) Sistem Respirasi

Frekuensi pernapasan hanya meengalami sedikit perubahan pada kehamilan

tetapi volume tidal, volume ventilasi per menit dan penambilan oksigen per

menit akan bertambah secara signifikan pada kehamilan lanjut. Perubahan ini

akan mencapai puncaknya pada minggu ke-37 dan akan kembali hampir

seperti semula sebelum hamil dalam 24 minggu setelah persalinan (Sarwono,

2011)

4) Traktus Digestivus

7
Perubahan yang nyata akan terjadi pada penurunan motilitas otot polos pada

traktus digestivus dan penurunan sekresi asam hidroklorid dan peptin di

lambung sehingga akan menimbulkan gejala berupa pyrosis (heartburn) yang

disebabkan oleh refkluks asam lambung ke esophagus bawah sebagai akibat

perubahan posisi lambung dan menurunnya tonus sfingter esophagus bagian

bawah. Mual terjadi karena penurunan motiltas usus besar (Sarwono, 2011)

5) Traktus Urinarius

Ginjal akan membesar, glomerular filtration rate, dan renal plasma flow juga

akan meningkat. Pada ekskresi akan ditemukan kadar asam amino dan

vitamin yang larut dalam air dalam jumlah yang lebih banyyak. Glukosuria

juga merupakan hal yang umum terjadi, akan tetapi kewaspadaan terhadap

penyakt diabetes mellitus tetap harus diwaspadai. Sementara itu, proteinuria

dan hematuria merupakan suatu hal yang abnormal pada fungsi renal akan

dijumpai peningkatan creatinine clereance lebih tinggi yaitu 30% (Sarwono,

2011)

6) Sistem Endokrin

Kelenjar tyroid akan mengalami pembesaran hingga 15,0 ml pada saat

persalinan akibat dari hierplasia kelenjar dan peningkatan vaskularisasi.

Kelenjar adrenal pada kehamilan normal akan mengecil, sedangkan hormone

androstenodion, testosterone, dioksikortokossteron, aldosterone, dan kortisol

akan meningkat (Sarwono, 2011)

8
2.1.3 Hormon dan Seks

Salah satu faktor yang berperan sangat penting dalam fungsi seksual ialah

hormon. Di dalam tubuh ada beberapa kelenjar yang menghasilkan hormon

dengan fungsinya masing-masing, yaitu kelenjar pinealis, hipotalamus, hipofise,

tiroid, paratiroid, timus, adrenalis, pankreas, indung telur, dan buah pelir

(testis).(Pangkahila, 2014)

Hormon seksual reproduksi secara langsung berkaitan dengan fungsi

seksual, yaitu hormon testosteron dan estrogen. Tetapi hormon yang lain secara

tidak langsung juga berpengaruh terhadap fungsi seksual. Sebagai contoh, LH

(Luteinizing Hormone) yang dihasilkan oleh hipofise bekerja merangsang sel

Leydig di dalam buah pelir untuk memroduksi hormon testosteron. (Pangkahila,

2014)

a. Hormon Testosteron

Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama di dalam

sirkulasi darah. Testosteron pada umumnya dikaitkan dengan aspek seksual dan

reproduksi dalam hidup manusia. Meskipun ini benar, tetapi tidak berarti

testosteron hanya berfungsi pada sistem seksual dan reproduksi manusia. Telah

diketahui dengan jelas bahwa testosteron mempunyai peranan pada banyak organ

tubuh selain sistem seksual dan reproduksi, yaitu pada otak, tulang, otot, lemak,

sistem hematopoesis dan sistem imun. Hormon androgen tidak hanya diproduksi

oleh pria, melainkan juga oleh perempuan. (Pangkahila, 2014)

Dorongan seksual pada pria dan wanita dipengaruhi oleh empat faktor.

Pertama, hormon testosteron. Kedua, faktor psikis. Ketiga, keadaan kesehatan

tubuh. Keempat, pengalaman seksual sebelumnya. (Pangkahila, 2014)

Pada perempuan, testosteron juga mem-punyai peranan penting bagi

9
dorongan seksual. Testosteron memengaruhi dorongan seksual dan perilaku

seksual perempuan. Lebih jauh, penelitian pada binatang menunjukkan

testosteron mempunyai peranan penting da-lam pengaturan fisiologi jaringan

vagina, dan juga berperan dalam bangkitan seksual pada organ genitalia. Jaringan

vagina mengandung androgen receptors (ARS) dan ekspresi reseptor tersebut

diatur di bagian proksimal oleh androgen, dan di bagian distal oleh estrogen.

Relaksasi otot polos vagina nonvaskuler difasilitasi oleh androgen dan dihambat

oleh estrogen. Observasi ini didukung oleh sintesis dan aktivitas nitric oxide

synthase yang meningkat di bagian proksimal jaringan vagina dalam bereaksi

terhadap androgen, dan berkurang dalam bereaksi terhadap estrogen. Jelas bahwa

androgen berperan pada bangkitan seksual, yaitu berupa reaksi klitoris dan vagina.

(Pangkahila, 2014)

Pengaruh androgen selain berkaitan dengan fungsi otot polos nonvaskuler

vagina, juga pada fungsi otot polos vaskuler di dalam klitoris. Androgen

meningkatkan relaksasi otot polos vagina terhadap endogenous nonadrenergic

noncholinergic (NANC) released neurotransmitters dan terhadap exogenous

vasoactive intestinal polypeptide (VIP). Sebaliknya, estrogen (E2) melemahkan

reaksi tersebut. (Pangkahila, 2014)

Kadar testosteron yang meningkat pada sepertiga bagian tengah siklus

menstruasi diyakini sebagai penyebab meningkatnya dorongan seksual

perempuan pada saat ovulasi atau masa subur. Pemberian testosteron pada

perempuan yang mengalami pengangkatan ovarium memberikan perbaikan pada

dorongan seksual dan fungsi seksual lainnya, selain metabolisme tulangnya.

Pada perempuan, kerusakan atau penekanan kelenjar adrenalis dan

ovarium mengakibatkan berkurangnya sekresi androgen. Keadaan ini

10
menimbulkan gangguan dorongan seksual dan bangkitan seksual. Akibatnya,

lubrikasi vagina, relaksasi vagina. dan ereksi klitoris tidak terjadi. Karena itu

perempuan dengan keluhan dorongan seksual menurun, energi berkurang, dan

bangkitan seksual berkurang mungkin memerlukan pemeriksaan hormon

testosteron. Penyebab defisiensi androgen pada perempuan dapat diklasifikasi

menjadi penyebab ovarium, kelenjar adrenalis, poros hipotalamus-hipofise, akibat

obat, dan idiopatik.(Pangkahila, 2014)

Tetapi sebagian perempuan dengan kadar testosteron serum rendah tetap

mempunyai dorongan seksual normal, dan sebaliknya perempuan dengan kadar

testosteron tinggi tidak selalu merasakan dorongan kuat. Keadaan ini dapat

dimengerti karena dorongan seksual dipengaruhi oleh faktor lain juga, tidak

hanya hormon testosteron. (Pangkahila, 2014)

b. Hormon Estrogen

Hormon estrogen merupakan hormon vang berpengaruh besar dalam

hidup manusia. Ketika mendengar nama estrogen, banyak orang mengaitkan

hormon ini hanya dengan organ seksual dan reproduksi, terutama dengan rahim

dan menstruasi. Padahal banyak sekali organ tubuh yang mengandung reseptor

estrogen, yang berarti banyak organ tubuh yang bereaksi terhadap estrogen dan

dipengaruhi oleh estrogen. (Pangkahila, 2014)

Selain organ seksual dan reproduksi, beberapa organ yang juga bereaksi

terhadap estrogen antara lain otak, hati, payudara, kulit, tulang, dan pembuluh

darah. Ini berarti kalau terjadi perubahan pada kadar estrogen, maka banyak tanda

dan keluhan yang muncul dan dirasakan oleh perempuan. (Pangkahila, 2014)

Tanda dan gejala akibat kekurangan estrogen tampak pada masa

11
menopause, yaitu kulit menjadi lebih tipis, menua dengan lebih banyak kerutan,

payudara mengecil, tidak dapat menahan kencing, fungsi seksual menurun,

kurang cekatan, meningkatnya resistensi insulin dan kemungkinan diabetes,

perlendiran vagina berkurang, daya memori menurun, osteoporosis, infeksi

saluran kencing, dan kadar kolesterol meningkat. (Pangkahila, 2014)

Ada 3 jenis estrogen yang utama di dalam tubuh, yaitu:

 Ei disebut estron

 E2 disebut estradiol

 E3 disebut estriol

Kadar estron yang tinggi merangsang jaringan rahim dan payudara.

Keadaan ini diyakini meningkatkan risiko terjadinya kanker rahim dan payudara.

Sebelum menopause estron diproduksi di ovarium, kelenjar adre-nalis, hepar,

dan sel lemak. Di dalam ovarium, estron dikonversi menjadi estradiol. Tetapi

setelah menopause, hanya sedikit estron dikonversi menjadi estradiol karena

menurunnya fungsi ovarium. (Pangkahila, 2014)

Selanjutnya estron diproduksi di dalam sel lemak dan sedikit di hepar

dan kelenjar adrenalis. Karena itu, semakin banyak lemak tubuh, semakin

banyak estron di dalam tubuh. Akibatnya, perempuan obese mempunyai rasio

estron-estradiol yang meningkat. (Pangkahila, 2014)

Estradiol adalah jenis estrogen yang paling kuat, yaitu sekitar 12 kali

lebih kuat daripada estron dan 80 kali lebih kuat daripada estriol. Estradiol

merupakan estrogen utama yang terutama diproduksi di ovarium, sebelum

menopause. Kadar yang tinggi dikaitkan dengan risiko terjadinya kanker rahim .

Pengaruh estradiol antara lain membantu penyerapan kalsium,

magnesium, dan zine meningkatkan kadar kolesterol HDL. menurunkan

12
kolesterol total, dan trigliserid, meningkatkan growth hormone, serotonin, dan

endorphin, membantu mempertahankan memori, memperbaiki kenyamanan

tidur, dan mengurangi kelelahan. (Pangkahila, 2014)

Estriol Dibandingkan estron dan estradiol, estriol mempunyai pengaruh

rangsangan yang kurang kuat terhadap rahim dan payudara, dibandingkan estron

dan estradiol. Estriol tidak merangsang terjadinya kanker payudara. (Pangkahila,

2014)

Beberapa peranan estriol ialah mengendalikan gejala menopause,

meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol LDL,

mempertahankan pH vagina sehingga mencegah infeksi saluran kencing,

membantu usus mempertahankan lingkungan bagi berkembangnya lactobacilli

dan mengurang! bakteri patogen.(Pangkahila, 2014)

c. Hormon Progesteron

Hormon progesteron adalah hormon gestasi yang mempersiapkan

lapisan rahim bagi ovum yang telah difertilisasi dan mempertahankan

kehamilan. Hormon ini. berasal dari corpus luteum yang dibentuk di dalam

ovarium dari folikel yang pecah. Progesteron juga diproduksi di dalam plasenta

dan sedikit oleh cortex adrenalis. Hormon progesteron adalah precursor

hormone. Ini berarti hormon ini dapat dikonversi oleh tubuh menjadi hormon

steroid yang lain. (Pangkahila, 2014)

Progesteron yang berkurang menimbulkan beberapa gejala dan keluhan

sebagai berikut: cemas, depresi, mudah tersinggung, perasaan labil, insomnia,

nyeri dan radang, osteoporosis, HDL berkurang, dan menstruasi berlebihan.

(Pangkahila, 2014)

13
Progesteron yang artifisial atau progestin adalah hormon sintetik yang

sangat mirip dengan progesteron yang dihasilkan oleh tubuh, tetapi berbeda

dalam kepentingannya. Kedua hormon, baik yang natural maupun sintetik,

berkemampuan untuk mendukung lapisan vagina dan uterus, tetapi progestin

tidak mempunyai seluruh kisaran aktivitas biologis seperti pada progesteron

natural. (Pangkahila, 2014)

Progestin ternyata menghambat biosintesis progesteron. Progestin dapat

mengakibatkan berhentinya menstruasi yang abnormal, retensi cairan, mual,

insomnia, jaundice, depresi, panas badan, berat badan berfluktuasi, reaksi

alergi. dan timbulnya karakteristik pria. (Pangkahila, 2014)

Progesteron natural memberikan sedikit efek samping, kadang-kadang

menimbulkan perasaan euforia, gangguan siklus menstruasi. Penelitian pada

binatang menunjukkan betacarotene dapat merangsang produksi progesteron.

Sebagai contoh, vitamin E 150 IU setiap hari dapat meningkatkan kadar

progesteron. Tetapi dengan dosis 300-6o0 IU vitamin E justru menurunkan

kadar hormon itu.(Pangkahila, 2014)

2.2 Aktivitas Seksual Masa Kehamilan

Kehamilan merupakan masa dimana banyak terjadi perubahan fisik dan

psikis. Perubahan seperti itu mempengaruhi kehidupan pasangan dalam banyak

cara. Perubahan hormonal, fisik dan sosial umumnya berdampak pada

kesejahteraan fisik, suasana hati, hubungan, dan seksualitas wanita. Aktivitas

seksual dilaporkan menurun selama kehamilan, dan prevalensi berkurangnya

minat dan kenikmatan seksual dalam periode ini bisa lebih dari 50%. Perubahan

kehidupan seksual pasangan hamil biasanya datang secara bertahap. Meta-

14
analisis dari von Sydow dan studi dari Pauleta et al dalam (Zaksek TS., 2015)

keduanya menunjukkan bahwa seksualitas tidak berubah secara signifikan dalam

trimester pertama dan sedikit berubah pada trimester kedua kehamilan; namun,

trimester ketiga kehamilan menunjukkan lebih dari 50% penurunan aktivitas

seksual dibandingkan dengan keadaan sebelum hamil. (Zaksek TS., 2015)

2.2.1 Mitos, Faktor Budaya dan Sosial

Faktor sosial dan budaya serta mitos terkait dapat mempengaruhi

kehidupan seksual pasangan hamil. Faktor lain seperti tingkat pendidikan, , dan

lama menikah dan kelompok etnis tertentu telah dilaporkan mempengaruhi fungsi

seksual selama kehamilan. Tosun Güleroğlu dan Gördeles Beşer dalam (Zaksek

TS., 2015) ingin mengevaluasi fungsi seksual wanita hamil dan untuk

menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan seksual, mereka

menentukan bahwa kehidupan seksual ibu hamil dipengaruhi oleh faktor-faktor

seperti usia tua, status pendidikan rendah, dan pernikahan yang berlangsung lebih

dari sepuluh tahun. Mereka mengumpulkan data menggunakan formulir

informasi pribadi dan Indeks Fungsi Seksual Wanita (FSFI), 1 dari lebih dari 300

peserta, dan juga menemukan bahwa 88,9% dari peserta mereka memiliki

gangguan hasrat seksual , 86,9% mengalami gangguan gairah seksual, 42,8%

mengalami gangguan lubrikasi, 69,6% mengalami gangguan orgasme, dan 48%

memiliki gangguan kepuasan seksual. (Zaksek TS., 2015)

Ada banyak praktik seksual yang berbeda selama kehamilan berdasarkan

faktor budaya,mitos dan norma, biasanya tergantung dari mana pasangan itu

berasal. Sebuah studi oleh Naim and Bhutto dalam Zaksek TS., 2015 pada wanita

Pakistan mengungkapkan penurunan fungsi seksual selama kehamilan karena

15
adanya keyakinan bahwa hubungan seksual dapat membahayakan bayi,

menginduksi persalinan prematur dan bahkan menyebabkan aborsi. Adinma

dalam Zaksek TS., 2015 menyelidiki perilaku dan keyakinan seksual dari 440

orang hamil wanita dari Nigeria. Sebanyak 44,3% responden percaya bahwa

hubungan seksual selama kehamilan menginduksi persalinan: 30,2% percaya

bahwa itu menyebabkan aborsi pada awal kehamilan sementara 21,1% tidak

memiliki pengetahuan tentang dampak hubungan seksual pada kehamilan. Di

dalam kontras dengan penelitian yang disebutkan sebelumnya, 34,8% wanita di

Nigeria percaya bahwa hubungan seksual selama kehamilan meningkatkan

kesejahteraan janin. (Zaksek TS., 2015)

Di Cina, misalnya, studi cross-sectional prospektif mengungkapkan

bahwa wanita hamil Cina memiliki lebih sedikit aktivitas dan keinginan

hubungan seksual selama kehamilan. Sebanyak 80% dari 298 peserta dan

pasangannya khawatir tentang efek buruk dari aktivitas seksual pada janin.

Demikian pula di Taiwan sebuah penelitian dilakukan oleh Liu, Hsu dan Chen

dalam Zaksek TS., 2015 mengeksplorasi perubahan pengalaman seksual pada

kehamilan untuk mengidentifikasi penurunan frekuensi koitus di Taiwan.

Mayoritas mereka berhenti melakukan aktivitas seksual selama kehamilan, salah

satu alasannya adalah ketakutan akan membahayakan janin. (Zaksek TS., 2015)

2.2.2 Faktor Psikologis Selama Kehamilan

Kelelahan adalah salah satu masalah dan alasan paling umum untuk

kehilangan hasrat seksual selama kehamilan. Meskipun penambahan berat badan

adalah salah satu faktor dalam hubungan seksual dalam kehamilan, telah

diketahui bahwa kekhawatiran tentang penampilan fisik masih menjadi hal yang

16
utama selama kehamilan . Kitzinger dalam Zaksek TS., 2015 yakin bahwa mual

dan muntah yang dialami banyak wanita selama trimester pertama dapat

mengurangi perasaan erotisme mereka, dan kelelahan dapat menyebabkan energi

yang tidak mencukupi untuk hubungan seksual dengan pasangan. (Zaksek TS.,

2015).

Aspek lain seperti komunikasi, tampaknya menjadi prediktor yang jauh

lebih penting dari kepuasan hubungan seksual daripada variabel bentuk tubuh .

Ada juga banyak faktor psikogenik lain yang dapat mempengaruhi hasrat seksual

wanita; selain ketakutan yang telah disebutkan tentang menyakiti janin,

kecemasan persalinan atau kemampuan menjadi ibu yang baik juga bisa

menyebabkan kesusahan. Ada penelitian terbatas tentang manfaat psikologis

seksualitas pada kehamilan, tetapi pada meta-analisis dari von Sydow telah

menemukan bahwa kenikmatan seksual selama kehamilan adalah terkait dengan

stabilitas hubungan yang lebih tinggi, kelembutan dan komunikasi pada empat

bulan dan tiga tahun pascapersalinan. (Zaksek TS., 2015).

Keinginan untuk seks dan fungsi seksual dipengaruhi oleh banyak

pertimbangan lingkungan, interpersonal, dan intrapersonal. Hubungan seksual

dapat dihambat oleh kurangnya pengetahuan atau oleh rasa ketakutan. Saat

kehamilan berlanjut, semakin banyak wanita yang melaporkan ketidakpuasan

dengan kehidupan seks mereka saat ini. Pemahaman yang jelas memungkinkan

pasangan untuk lebih terbuka dalam komunikasi mereka, membuat penyesuaian

seksual lebih mudah selama kehamilan. Konseling prenatal dapat meyakinkan

pasangan bahwa masalah mereka tidak berbeda dengan masalah pasangan lain

selama kehamilan. (Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

Kekhawatiran utama bagi seorang wanita adalah hilangnya daya tarik

17
yang dirasakannya. Sekitar seperempat hingga setengah wanita hamil merasa

kurang menarik dibandingkan sebelum kehamilan. Daya tarik wanita hamil

seperti yang dirasakan oleh dirinya dan pasangannya berkorelasi positif dengan

aktivitas seksual dan kenikmatan seksual. (Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

Sebagaimana dibahas kemudian, minat dalam aktivitas seksual umumnya

menurun selama kehamilan. Namun, jika tingkat minat kedua individu berbeda,

satu pasangan dapat menganggap yang lain sebagai terlalu menuntut atau

menolak. Kenyamanan masing-masing pasangan dengan seksualitasnya sendiri

membantu menentukan seberapa komunikatif pasangan selama bulan-bulan yang

sulit ini. Bimbingan dokter dapat sangat membantu khususnya pada pasangan

yang sebelumnya tidak subur. Latar belakang faktor psikologis ini adalah

ketakutan tak terucap dari kedua pasangan bahwa penetrasi penis dapat

menyebabkan cedera pada janin.(Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

Menurut dr. Avan Novan, Sp.OG 2019, mengtakan kondisi psikologis

yang menjadi penyebab terganggunya hubungan seksual selama kehamilan yaitu:

a. Takut menyakiti janin atau menyebabkan keguguran. Pada kehamilan yang normal

hubungan seksual tidak akan menyebabkan keguguran karena janin terlindung dari

bantalan selaput ketuban dan rahim.

b. Takut bahwa orgasme akan merangsang terjadinya keguguran atau persalinan dini.

Pada saat orgasme uterus akan mengalami kontraksi tetapi ini bukan tanda persalinan

dan tidak menimbulkan bahaya pada kehamilan normal. Tapi orgasme yang kuat yang

ditimbulkan masturbasi dilarang pada kehamilan berisiko tinggi terhadap keguguran

dan kelahiran premature.

18
c. Takut terjadi infeksi pada saat penis masuk ke dalam vagina. Apabila suami tidak

memiliki penyakit menular seksual, tidak ada bahaya infeksi bagi ibu dan janin

melalui hubungan seksual selama kehamilan, asal kantong amnion tetap utuh. Untuk

pencegahan infeksi, pasangan dianjurkan untuk menggunakan kondom selama

hubungan seksual.

d. Kecemasan akan peristiwa persalinan yang akan datang. Calon ibu dan ayah dapat

mengalami perasaan yang bercampur aduk dalam menghadapi peristiwa persalinan,

pemikiran tentang tanggung jawab dan perubahan cara hidup yang akan datang dan

biaya emosional membesarkan anak, semua ini dapat menghambat hubungan cinta.

Perasaan mendua tentang bayi harus dibicarakan secara terbuka.

e. Kemarahan yang tidak didasari dari calon ayah terhadap ibu karena cemburu bahwa

istrinya sekarang menjadi pusat perhatian ataupun sebaliknya karena wanita merasa

bahwa dirinya harus menanggung penderitaan selama kehamilan, terutama jika

ditemukan komplikasi.

f. Takut menyakiti janin, ketika kepala janin sudah turun ke rongga Panggul. Pada

sebagian pasangan dapat menikmati hubungan seksual yang nyaman selama

kehamilan, ibu dapat menjadi tegang karena posisi janin yang sudah dekat. Ibu dan

suami tidak akan menyakiti janin, jika tidak melakukan penetrasi dalam.

g. Anggapan bahwa hubungan seksual pada enam minggu terakhir kehamilan akan

menyebabkan dimulainya proses melahirkan kontraksi yang disebabkan oleh orgasme

akan semakin kuat pada kehamilan tua. Tetapi bila leher rahim matang dan siap, maka

kontraksi ini tidak akan memulai proses melahirkan. Beberapa kajian menunjukkan

meningkatnya jumlah kelahiran prematur pada pasangan yang sering melakukan

hubungan seksual pada minggu-minggu terakhir kehamilan, maka seringkali dokter

19
menganjurkan pantang hubungan seksual pada wanita dengan kehamilan beresiko

kelahiran premature.

2.2.3 Perubahan Fisik Yang Mempengaruhi

Dilihat dari sudut pandang obstetri, perubahan fisik kehamilan terlihat

jelas, tetapi hubungan antara perubahan ini dan seksualitas seringkali tidak jelas,

baik untuk dokter maupun pasien. Fisiologi normal menjadi sumber berbagai

penghalang untuk aktivitas seksual. (Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

a. Mual dan Muntah

Mual dan muntah pada awal kehamilan dapat mencegah seorang wanita

mengekspresikan seksualitasnya . (Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

b. Desire (Keinginan)

Keinginan dan kinerja seksual juga terhambat oleh kelelahan yang umum

terjadi pada kehamilan. Meskipun menurun pada trimester kedua, kelelahan

meningkat pada trimester ketiga, ketika perubahan fisik membuat ekspresi

seksual menjadi canggung dan tidak nyaman. Selain itu, mulas yang terkait

dengan refluks esofagitis mencegah pasien untuk merespons secara seksual

seperti yang mereka inginkan. Frekuensi dan urgensi berkemih dapat menjadi

penghambat respons seksual, seperti halnya konstipasi, gerakan janin, dan nyeri

punggung. (Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

c. Payudara

Payudara sangat lembut pada awal kehamilan, sebagai respons terhadap

perubahan hormonal dan vaskular. Jika tidak diantisipasi, pengeluaran susu yang

terkait dengan orgasme, yang sering terjadi di akhir kehamilan, bisa sangat

menyusahkan baik bagi pasien maupun pasangan seksualnya. (Brown, C,

20
Bradford, J, et al,2008)

d. Perubahan Sekret Vagina

Jumlah sekret vagina biasanya meningkat pada kehamilan dan lebih lanjut

selama gairah seksual.Akibatnya, pria yang biasanya aktif berpartisipasi dalam

seks oral mungkin merasa terhambat oleh perubahan yang signifikan.Selain itu,

serviks lebih mungkin berdarah selama kehamilan karena trauma langsung dari

penis. (Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

e. Perubahan Hormon

Hormon androgen seperti testosteron, androstendione, dan

dehydroepiandrosterone meningkatkan seksualitas pada pria dan wanita. Tingkat

androgen yang berkurang pada wanita telah diketahui berkontribusi pada

disfungsi seksual selama kehamilan. Namun, tidak ada penelitian hingga saat ini

yang mengkonfirmasi hubungan seperti itu.(Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

Perubahan hormonal (peningkatan estrogen, progesteron, dan prolaktin)

menyebabkan mual dan kelembutan payudara, yang bersama-sama dengan,

kelemahan, kelelahan dan kecemasan dapat mengurangi keinginan seksual dan

gairah atau dengan cara lain menentukan sulitnya kehidupan seksual . Penelitan

juga menunjukkan bahwa hormon menyebabkan gejala berkurangnya sensasi

klitoris, gangguan orgasme yang dapat berlangsung hingga enam bulan

pascapersalinan dan berkurangnya libido. Beberapa penulis mengkorelasikan

berkurangnya hasrat seksual dengan perubahan hormon seks, tetapi tidak ada

yang valid penelitian sejauh ini untuk membuktikan dampak besar mereka pada

seksualitas wanita selama kehamilan . Tepatnya, pada kehamilan kadar androgen

serum memiliki kadar tertinggi pada awal kehamilan. dan kemudian mereka

jatuh pada trimester ketiga, yang secara teoritis seharusnya mengarah pada

21
penurunan dalam hasrat seksual. (Zaksek TS., 2015).

2.2.4 Perubahan Seksual Tiap Trimester

Bagi sebagian perempuan, kehamilan justru meningkatkan dorongan

seksual, tetapi bagi sebagian lain tidak berpengaruh. Sementara bagi perempuan

yang lain, kehamilan justru menekan atau menurunkan dorongan seksual.

(Pangkahila, 2014)

Perbedaan pengaruh terhadap dorongan seksual ini ditentukan oleh sejauh

mana perubahan fisik dan psikis yang terjadi selama kehamilan berpengaruh

terhadap kesehatan dan fungsi seksual perempuan yang hamil tersebut. Selain itu

tentu juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku seksual suaminya.(Pangkahila,

2014)

Karena terdapat perbedaan dorongan seksual, maka terjadi perbedaan

dalam perilaku seksual perempuan hamil dan pasangannya. Sebagian pasangan

tidak melakukan hubungan seksual pada usia kehamilan yang cukup lanjut karena

gangguan yang timbul akibat perut yang menonjol, di samping khawatir terhadap

bayi di dalam rahimnya. Tetapi sebagian lain melakukannya dengan posisi

tertentu atau melakukan aktivitas seksual lain selain hubungan

seksual.(Pangkahila, 2014)

Perubahan spesifik yang terjadi pada setiap kehamilan trimester memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap seksual perilaku. Penurunan frekuensi,

keinginan (desire), dan kepuasan (satisfaction) hubungan seksual terjadi pada

banyak wanita saat kehamilan berlangsung, terutama selama trimester ketiga,

dibandingkan dengan sebelum hamil .Perubahan hormonal (peningkatan estrogen,

progesteron, dan prolaktin) menyebabkan mual dan nyeri payudara, yang selain

22
kelelahan, kelelahan, dan kecemasan, dapat berkontribusi pada kelemahan dan

kesulitan untuk terangsang. Sebagai hasrat dan gairah seksual mempengaruhi

kepuasan seksual dan frekuensi hubungan seksual, yaitu dapat dimengerti bahwa

praktik seksual menurun. (Pauleta et al., 2010)

Perubahan Tiap Trimester :

a. Trimester Pertama

Selama tiga bulan pertama kehamilan, terdapat variasi keluhan dan

perilaku seksual di kalangan perempuan hamil. Perempuan yang mengalami

keluhan mual dan muntah hebat, merasakan dorongan seksualnya menurun,

yang mengakibatkan berkurangnya frekuensi semua aktivitas seksual. Keadaan

ini mudah dipahami karena mual dan muntah yang terjadi selama hamil muda

cukup menimbulkan gangguan bagi kesehatan tubuh secara umum. Tetapi

sebagian perempuan, yang tidak diganggu oleh muntah atau keluhan-keluhan

lain, justru mengalami peningkatan dorongan seksual. Dengan demikian

frekuensi hubungan seksualnya semakin sering. Tentu saja kalau pasangannya

bersedia untuk itu. Tetapi kalau pasangannya merasa tidak bergairah karena

tidak tertarik kepada istrinya yang mengalami perubahan fisik, tentu frekuensi

hubungan menjadi berkurang (Pangkahila, 2014)

Terjadi peningkatan volume darah yang mengakibatkan pembengkakan

jaringan khususnya pada payudara dan organ pelvis. Payudara yang besar dan

tegang mcmang menarik, tetapi bila menimbulkan rasa nyeri bila dipegang,

justru mengganggu dan menurunkan gairah seksual. Vagina menjadi peka dan

tidak nyaman ketika dilakukan penetrasi penis. Timbul pula keluhan lain yang

mengganggu seperti mual, muntah, lelah, scring kencing yang semuanya akan

menurunkan gairah seksual. Bau badan suami atau bau napas suami yang

23
biasanya tidak mengganggu, kini dapat membuat mual dan hal ini dapat

menurunkan nafsu seksual. Emosi menjadi labil sehubungan dengan keinginan

untuk banyak tidur dan istirahat, juga adanya ambivalensi dan keraguan dalam

memutuskan kapan waktu yang tepat untuk hamil, kesiapan menjadi ibu,

persiapan materi dan uang dan lain-lain. (Widiasmoko S. 2000.)

Fungsi orgasme menurun seiring dengan kemajuan kehamilan .

Persentase tindakan koitus yang mengarah ke orgasme semakin menurun,

begitu pula kekuatan atau intensitas orgasme yang dialami pasien. (Brown, C,

Bradford, J, et al,2008)

b. Trimester kedua

Trimester kehamilan kedua dianggap periode kehamilan yang stabil

secara emosional. Hilangnya mual muntah yang dirasakan ibu memungkinkan

peningkatan kualitas orgasme maupun dalam level erotisme.. (Allesandra,

2009)

Pembesaran payudara dan vaskularisasi yang meningkat pada daerah

vagina dan labia kini dapat meningkatkan kenikmatan seksual dan kualitas

orgasmus. Secara psikologis, dengan membesarnya janin timbul perasaan

bahagia karena tubuhnya merupakan sumber cinta kasih berdua. Tapi ada pula

ibu yang merasa khawatir dengan janinnya selama bersanggama, kontraksi

uterus sewaktu orgasmus menyebabkan bradikardi dan penurunan gerakan

janin yang diikuti periode hiperakitivitas. Meskipun Goodman dkk (1972)

dalam Widiasmoko 2000menyatakan hal ini tidak berbahaya tetapi dapat

menimbulkan kesulitan untuk merasa santai dan tenang sewaktu

bersanggama.(Widiasmoko S. 2000.)

Selama tiga bulan kedua kehamilan, 80 persen perempuan hamil

24
merasakan peningkatan dorongan seksual dan reaksi seksualnya. Ekspresinya,

tentu dalam hubungan seksual yang semakin sering. (Pangkahila, 2014)

Falicov dan Bogren menemukan bahwa aktivitas seksual pada trimester

kedua serupa dengan tingkat aktivitas seksual sebelum hamil. Masters dan

Johnson melaporkan berdasarkan penelitian bahwa peningkatan kinerja dan

gairah seksual selama trimester kedua pada wanita yang diteliti, tanpa

perbedaan yang signifikan antara subyek nulipara dan multipara. (Brown, C,

Bradford, J, et al,2008)

c. Trimester ketiga

Trimester akhir kehamilan ditandai dengan perubahan pada tubuh

wanita. Perubahan ini bisa menjadi alasannya untuk penurunan libido dan

aktivitas seksual selama periode ini. Peningkatan volume perut dan berat janin

penyebab kurangnya keseimbangan dan perubahan postur juga sebagai

penyebab penurunan aktivitas seksual. Juga, kelelahan, kecemasan dan

ketakutan alami yang dirasakan karena kedekatan persalinan cenderung

membuat hubungan seksual menjadi hubungan yang tidak menarik bagi ibu

hamil. Faktor lain yang berkontribusi untuk menurunkan fungsi seksual wanita

adalah pasangan kehilangan minat seksual karena kekhawatiran dengan wanita

dan bayi.(Allesandra, 2009)

Selama trimester ketiga, baik ibu maupun ayah melaporkan ketakutan

bahwa hubungan seksual atau orgasme dapat membahayakan janin.(Brown, C,

Bradford, J, et al,2008). Kekhawatiran tersebut juga dapat berkontribusi pada

penurunan durasi koitus.Frekuensi pasangan yang melakukan koitus selama 2

menit atau kurang meningkat secara progresif selama kehamilan dan tertinggi

selama trimester ketiga. Alasan lain untuk penurunan frekuensi koitus

25
termasuk ketidaknyamanan fisik yang terkait dengan hubungan seksual,

terutama dalam posisi man-on-top, dan hilangnya minat pada seks. (Brown, C,

Bradford, J, et al,2008).

Fungsi orgasme menurun seiring dengan kemajuan kehamilan .

Persentase tindakan koitus yang mengarah ke orgasme semakin menurun,

begitu pula kekuatan atau intensitas orgasme yang dialami pasien terutama

pada trimester pertama dan ketiga. (Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

Ada penurunan yang signifikan pada posisi superior pria, yang telah

digunakan oleh pasangan sekitar 80% dari waktu sebelum kehamilan. Pada

trimester terakhir, posisi berdampingan adalah posisi senggama yang paling

sering digunakan, sedangkan posisi masuk ke belakang, yang jarang digunakan

sebelum kehamilan, juga menjadi lebih populer. Tidak ada hubungan yang

ditemukan antara posisi yang digunakan dan tingkat orgasme atau frekuensi

koitus.(Brown, C, Bradford, J, et al,2008)

2.2.5 Keadaan-keadaan yang Beresiko

Paling umum risiko hubungan seksual selama kehamilan tercantum pada

Tabel 1. Johnsson dalam Zaksek TS., 2015 berbicara tentang kontraindikasi

absolut dan relatif untuk hubungan seksual selama kehamilan. Menurutnya,

kontraindikasi absolut termasuk perdarahan vagina yang tidak dapat dijelaskan,

plasenta previa, dilatasi dini serviks dan ketuban pecah dini, dan kontraindikasi

relatif termasuk riwayat persalinan prematur dan kehamilan ganda.(Zaksek TS.,

2015).

Indikasi ini belum divalidasi dengan penelitian. bagaimanapun,lebih baik

berbicara tentang risiko daripada kontraindikasi. Pada kasus plasenta previa,

26
misalnya, telah disarankan untuk tidak melakukan pemeriksaan serviks, sebuah

teori mengatakan bahwa kontak penis selama hubungan seksual dapat

mengakibatkan risiko perdarahan. Berdasarkan studi Timor-Tritch dan Yunis

dalam Zaksek TS., 2015, mengklaim bahwa beberapa wanita dengan plasenta

previa mungkin melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual selama masa

kehamilan. kita harus mempertimbangkan setiap kasus secara terpisah dan

mengevaluasi seberapa banyak apakah mereka berisiko daripada mengatakan

bahwa hubungan seksual dikontraindikasikan untuk setiap wanita dengan

plasenta previa.(Zaksek TS., 2015).

Ada kesalahpahaman umum bahwa wanita hamil tidak berisiko terkena

penyakit radang panggunl (PID). Secara teoritis mereka berada pada peningkatan

risiko mendapatkan infeksi, tetapi ketika mereka sakit, mereka berisiko lebih

besar karena kemungkinan penundaan dalam pengobatan, yang bisa menjadi

bahaya bagi wanita hamil atau anak-anak mereka yang belum lahir. Ada beberapa

laporan kasus dan studi yang membuktikan bahwa PID dan kehamilan dapat

hidup berdampingan, dan bahwa perawatannya jauh lebih rumit. Selain itu, ada

juga penelitian yang menemukan hubungan antara vaginosis bakteri dan servisitis,

endometriosis dan salpingitis . Perhatian harus diberikan ketika menasihati

tentang seksualitas untuk wanita hamil, bahwa aktivitas seksual pada kehamilan

tidak meningkatkan risiko prematur. (Zaksek TS., 2015).

Tabel 1. Risiko paling umum untuk hubungan seksual selama kehamilan

Risiko serius

 Perdarahan vagina yang tidak dapat dijelaskan.


 Plasenta previa.

27
 Ketuban pecah dini.
Peningkatan risiko

 Riwayat persalinan prematur.


 Kehamilan ganda.
 Vaginosis bakterial berulang.

2.2.6 Pengaruh Hubungan Seksual

a. Pengaruh Baik

Seks selama kehamilan dapat memiliki beberapa manfaat bagi wanita

hamil dan pasangannya. Manfaat yang mungkin didapat antara lain: (Janet, 2019)

 Orgasme yang lebih baik. Peningkatan aliran darah ke alat kelamin bisa berarti

peningkatan jumlah orgasme yang lebih kuat untuk wanita hamil.

 Tetap bugar. Seks membakar kalori dan dapat membantu menjaga kedua

pasangan tetap fit.

 Ikatan antar mitra. Beberapa pasangan menemukan bahwa aktivitas seksual

selama kehamilan membuat mereka lebih dekat.

 Sebuah dorongan untuk sistem kekebalan tubuh.

 Peningkatan kebahagiaan. Orgasme melepaskan endorfin yang dapat membantu

ibu dan bayi merasa senang dan rileks.

 Seks Untuk Induksi Persalinan

Pada saat aterm, stimulasi puting dan genital telah dianjurkan sebagai cara

alami pelepasan oksitosin. Ada literatur terbatas yang tersedia, tetapi secara

keseluruhan tidak ada bukti yang mendukung teori bahwa seks saat aterm

memiliki efek pada Skor Bishop (penilaian serviks yang digunakan untuk

memprediksi keberhasilan mencapai persalinan pervaginam). (Jones et al., 2011)

28
b. Pengaruh Buruk

 Hubungan Seksual selama kehamilan mengakibatkan peningkaatan risiko

kelahiran prematur.

Banyak penelitian telah menyimpulkan bahwa seks vaginal selama

kehamilan tidak memiliki hubungan dengan peningkatan risiko persalinan

prematur atau kelahiran prematur. Namun, jika dokter menganggap seseorang

berisiko tinggi, mereka mungkin menyarankan agar orang tersebut menghindari

hubungan seksual selama kehamilan. (Janet, 2019) .

Pada wanita resiko rendah Chhabra dan Verma mengikuti 140 hamil

wanita pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu dan ditemukan bahwa wanita

yang berhubungan seks dan gejala dengan Infeksi saluran genital memiliki

insiden yang lebih tinggi persalinan prematur dibandingkan dengan wanita

dengan aktivitas seksual tetapi tidak ada gejala.Sebuah multisenter studi

prospektif membandingkan tingkat kelahiran persalinan prematur pada wanita

yang sering berhubungan (didefinisikan sebagai sekali per minggu atau lebih)

dengan mereka yang tidak. Hubungan seksual yang sering dikaitkan dengan

peningkatan risiko persalinan prematur hanya pada bagian dari wanita dengan

Mycoplasma hominis atau Trichomonas vaginalis. Wanita dengan kehamilan

berisiko rendah yang tidak memiliki gejala atau bukti infeksi saluran genital

harus diyakinkan bahwa seks tidak meningkatkan risiko persalinan premature.

(Jones et al., 2011)

 Menyebabkan Kontraksi Braxton Hicks.

Ada kemungkinan bahwa orgasme atau penetrasi seksual dapat

menyebabkan kontraksi Braxton Hicks di akhir kehamilan. Braxton Hicks adalah

29
kontraksi ringan yang dialami beberapa wanita menjelang akhir kehamilan

mereka. Namun, kontraksi ini tidak menunjukkan atau menginduksi persalinan

sehingga tidak perlu dikhawatirkan. (Janet, 2019)

 Hubungan seksual yang sampai mencapai orgasme pada perempuan sebaiknya

dihindari, karena dapat menimbulkan gerakan rahim yang justru lebih hebat.

Terlebih , yaitu bila perempuan pernah mengalami keguguran

sebelumnya,(Pangkahila, 2014)

 Pendarahan Antepartum

Williams Obstetri memperingatkan bahwa "pemeriksaan serviks" dapat

menyebabkan pendarahan hebat. Demikian juga, telah diteorikan bahwa kontak

penis dengan serviks selama hubungan seksual dapat menyebabkan risiko yang

sama dari perdarahan, dan sebagai hasilnya, pasien dengan plasenta previa

disarankan untuk menghindari aktivitas seksual selama kehamilan. Pendarahan

hebat dijelaskan dengan pemeriksaan digital serviks lebih mungkin karena fleksi

falang distal, memungkinkan jari-jari memasuki serviks dan bersentuhan

langsung dengan plasenta. Meskipun bukti terbatas, mungkin paling aman untuk

menyarankan pasien dengan plasenta previa untuk abstain dari aktivitas seksual

untuk mengurangi risiko dari perdarahan antepartum. (Jones et al., 2011)

Hal penting yang harus selalu diingat ialah bahwa hubungan seksual

dilakukan untuk kepentingan bersama. Maka diperlukan saling pengertian atas

dasar saling mengasihi. Jangan sampai terjadi suami melakukan hubungan

seksual dengan orang lain dengan alasan istrinya hamil.(Pangkahila, 2014)

30
2.2.7 Posisi

Berbagai variasi posisi hubungan seksual pada dasarnya dikelompokkan

menjadi 3 posisi, yaitu 1) posisi berbaring, 2) posisi duduk, dan 3) posisi berdiri.

Setiap posisi dasar tersebut mempunyai banyak variasi posisi dengan kelebihan

dan kekurangannya. Setiap pasangan suami istri dapat memilih posisi mana yang

disenangi berdasarkan kelebihan dan kekurangan yang ada. (Pangkahila, 2014)

Pada masa hamil, posisi yang dapat dipilih hanyalah posisi berbaring.

Posisi pria di atas hanya dapat dilakukan selama bagian perut belum tampak

menonjol. Ketika bagian perut sudah semakin menonjol, maka posisi berbaring

samping saling berhadapan atau pria dari belakang, dapat dilakukan.(Pangkahila,

2014)

2.3 Aktivitas Seksual Setelah Kehamilan

Bulan-bulan pertama setelah kelahiran dapat berdampak besar pada

kehidupan seksual wanita . Pascapersalinan Fungsi seksual dipengaruhi oleh

banyak faktor, oleh perubahan anatomi yang signifikan, hormonal lingkungan,

dengan hubungan antara pasangan, cara keluarga dan dukungan terstruktur dan

banyak hal lainnya. Kesehatan seksual setelah melahirkan di masa lalu tidak

mendapat perhatian yang cukup dari penyedia layanan kesehatan, tetapi literatur

terbaru memberikan perhatian yang muncul pada aspek perawatan

pascapersalinan . Hampir tidak mungkin untuk mengatakan bahwa fungsi seksual

yang optimal setelah lahir. Connoly dkk dalam Zaksek TS., 2015 berdasarkan hasil

studi prospektif longitudinal mereka, mengklaim bahwa dalam waktu tiga bulan

setelah kelahiran, 80-93% wanita melanjutkan hubungan seksual, dengan

hubungan seksual menyelesaikan masalah biasanya dalam satu tahun postpartum.

31
Luire dkk. dalam Zaksek TS., 2015 berbicara tentang tiga mekanisme yang dapat

menyebabkan disfungsi seksual setelah lahir: dispareunia,cedera jalan lahir dan

kesehatan umum ibu secara keseluruhan. Lebih tepatnya von Sydow dalam

Zaksek TS., 2015 membagi faktor berhubungan dengan penurunan minat, aktivitas

dan kenikmatan seksual dan peningkatan seksual masalah selama postpartum

(lihat Tabel 2) Dia melihat kemungkinan disfungsi seksual sebagai kompleks

interaksi oleh faktor biomedis, psikososial, pasangan/hubungan serta atribut dari

hubungan bayi dan ibu-anak.(Zaksek TS., 2015 )

Faktor biomedis:

• Derajat trauma lahir perineum.


• Persalinan pervaginam yang dibantu.
• Kelelahan.
Faktor Psikososial:

• Gejala mental (suasana hati yang tertekan, tanggung jawab emosional).


• Riwayat seksual sebelum hamil dan gejala seksual.
• Hubungan masa kecil yang buruk dengan ayah.
Faktor Hubungan Pasangan:

• Kepuasan hubungan yang rendah.

Hubungan bayi dan ibu-anak:

• Bayi laki-laki: ibu dari anak laki-laki dianggap kurang lembut oleh pasangannya
sebagai ibu dari anak perempuan.
• Ibu dengan hubungan yang kaku dan terlalu protektif terhadap bayinya.
• Menyusui.
Tabel 2. Faktor yang berhubungan dengan disfungsi seksual

32
2.3.1 Perubahan Fisik Terkait Kelahiran

Perubahan fisik yang terkait dengan kelahiran dan pascapersalinan dapat

mempengaruhi seksualitas wanita. Setelah persalinan spontan normal, vagina

lebih lebar. Hal ini biasanya menyebabkan nyeri vagina selama hubungan seksual.

Hal ini disebabkan oleh kadar estrogen yang lebih rendah. Untuk ibu menyusui,

kadar estrogen lebih rendah dibandingkan ibu yang tidak menyusui. Mengalami

ketidaknyamanan dengan hubungan seksual mungkin terjadi untuk mencegah

wanita dari keinginan melakukan hubungan seksual pada kesempatan berikutnya

dan mengurangi kepuasan seksual mereka .(Zaksek TS., 2015 )

Trauma perineum atau saluran genital dikaitkan dengan dispareunia

postpartum. Penelitian tentang apakah trauma perineum ini berdampak negatif

pada kesehatan seksual setelah melahirkan, berbagai faktor seperti jangka waktu

postpartum, elektif versus episiotomi restriktif dan penjahitan atau tidak

penjahitan . Dibandingkan dengan wanita yang normal persalinan spontan, wanita

dengan episiotomi mengeluhkan peningkatan nyeri perineum, penurunan

kepuasan seksual dan keterlambatan dalam memulihkan seksualitas setelah lahir.

Rathfish dkk. dalam Zaksek TS., 2015 melaporkan bahwa wanita yang menjalani

episiotomi atau robekan derajat dua memiliki tingkat gairah, orgasme dan

kepuasan seksual dan dispareunia pada tiga bulan pascapersalinan, dibandingkan

dengan wanita dengan perineum utuh. Leeman dkk. dalam Zaksek TS., 2015

membandingkan fungsi dasar panggul wanita postpartum dengan laserasi

perineum derajat dua yang dijahit, tidak dijahit laserasi perineum derajat dua, dan

perineum utuh. Pada 12 minggu pascapersalinan, tidak perbedaan dicatat antara

kelompok mengenai keluhan inkontinensia urin atau dubur, aktivitas seksual, atau

fungsi seksual.

33
Namun, dalam penelitian yang sama Rodgers et al. dalam Zaksek TS.,

2015 dinilai fungsi seksual pada tiga bulan postpartum pada wanita dengan

trauma genital saat lahir. Trauma dikategorikan ke dalam trauma ringan (tidak

ada trauma atau perineum derajat pertama atau trauma lain yang tidak dijahit)

atau trauma besar (laserasi derajat kedua, ketiga, atau keempat atau trauma apa

pun) yang membutuhkan penjahitan). Kedua kelompok trauma memiliki

kemungkinan yang sama untuk aktif secara seksual. Perbedaan yang signifikan

ditunjukkan: wanita dengan trauma besar melaporkan lebih sedikit keinginan

untuk dipegang, disentuh, dan dibelai oleh pasangannya dibandingkan wanita

dengan trauma ringan, dan wanita yang membutuhkan penjahitan perineum

melaporkan skor Skala Hubungan Intim yang lebih rendah daripada wanita yang

tidak dijahit.(Zaksek TS., 2015 )

2.3.2 Jenis Persalinan

Ada banyak literatur yang telah meneliti cara persalinan dan dampaknya

terhadap fungsi seksual setelah lahir. Bukti memang menunjukkan hubungan

yang kuat antara persalinan pervagina dan gangguan seksualitas setelah lahir .

Johnsson dalam Zaksek TS., 2015 mengatakan bahwa mekanisme potensial

mungkin termasuk cedera saraf pudendal minimal, trauma yang lebih sedikit ke

dasar panggul dengan proses persalinan dan episiotomi dan mengurangi rasa

sakit pascapersalinan.

Ada beberapa penelitian yang menunjukkan hal ini dan beberapa yang

belum . Gejala utama trauma saraf pudendus adalah nyeri pada satu atau lebih

daerah yang dipersarafi oleh nervus pudendus atau salah satu cabangnya. Daerah-

daerah tersebut meliputi rektum, anus, uretra, perineum, dan area genital. Pada

34
wanita ini termasuk klitoris, mons pubis, vulva, 1/3 bagian bawah vagina, dan

labia . Cedera saraf pudendal intrapartum mungkin disebabkan oleh kompresi

kepala janin. Cedera peregangan saraf pudendal mungkin disebabkan oleh kala

dua persalinan yang berkepanjangan, persalinan operatif dan janin besar.

Pemulihan biasanya memakan waktu dua sampai enam bulan . Hicks dkk.dalam

Zaksek TS., 2015 melakukan tinjauan sistematis literatur tentang seksual

postpartum yang dipilih hasil fungsi seperti yang dipengaruhi oleh operasi

caesar,dan spontan pervagina .Semua studi menunjukkan peningkatan risiko

keterlambatan dalam memulai kembali hubungan seksual, dispareunia, masalah

seksual, atau nyeri perineum yang berhubungan dengan persalinan pervaginam.

Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan dalam fungsi

seksual antara wanita dengan persalinan sesar dan mereka dengan persalinan

pervaginam spontan, sedangkan yang lain melaporkan dispareunia lebih sedikit

untuk wanita dengan persalinan caesar. Sebuah literatur menunjukkan antara

persalinan pervaginam yang dibantu dan beberapa derajat disfungsi seksual.

Safarinejad dkk. dalam Zaksek TS., 2015 mencari hubungan antara insiden

disfungsi seksual dan penurunan kualitas hidup pada wanita dan suaminya.

Sebanyak 912 ibu hamil (usia rata-rata 26 +/- 2, kisaran 21-32 tahun, paritas I)

Subyek dibagi menjadi lima kelompok menurut cara persalinan mereka, termasuk:

kelompok A, persalinan pervaginam spontan (SVD) tanpa cedera; kelompok B,

persalinan pervaginam dengan episiotomi (VDE) atau laserasi perineumtion;

kelompok C, persalinan pervaginam operatif (OVD) (persalinan instrumental),

kelompok D, direncanakan operasi caesar (PCS); dan kelompok E, seksio sesarea

darurat (ECS). Wanita dalam kelompok A, B, C, D, dan E, 42,6%, 37,1%, 32,7%,

64,3%, dan 38,3% melanjutkan hubungan seksual dalam waktu delapan minggu

35
persalinan. Wanita yang mengalami PCS memiliki skor nyeri terendah, dan

wanita yang memiliki OVD memiliki skor nyeri tertinggi pada SI pertama (P =

0,001].Penelitian telah menunjukkan bahwa parameter kualitas hidup untuk

wanita operasi caesar direncanakan umumnya lebih tinggi daripada yang

kelompok lain, dan ini menyangkut hampir semua kategori.

Connolly etAl. dalam Zaksek TS., 2015 di sisi lain tidak menemukan

perbedaan pada tiga atau enam bulan pascapersalinan dalam waktu pembentukan

kembali hubungan seksual, dispareunia atau mencapai orgasme pada wanita yang

menjalani operasi caesar atau persalinan pervaginam . Selain itu, tidak ada

dampak yang ditemukan dari metoder persalinan (vaginal vs caesar) pada

kepuasan dengan hubungan seksual setelah melahirkan.

2.3.3 Dyspareunia

Penentu yang sangat penting dari fungsi seksual postpartum adalah nyeri

perineum dan akibatnya dispareunia (hubungan seksual yang menyakitkan).

Nyeri perineum setelah laserasi adalah yang paling umum menjadi penyebab

dispareunia . Dispareunia dilaporkan oleh 41% -67% pada wanita dua hingga

tiga bulan postpartum dan sangat terkait dengan derajat trauma perineum.

Connolly et al. dalam Zaksek TS., 2015 melakukan penelitian untuk

mengevaluasi efek kehamilan dan persalinan pada fungsi seksual postpartum .

Sebanyak 150 perempuan terdaftar. Kuesioner telah diisi mengenai fungsi seksual

sebelum kehamilan, saat kehamilan , dan pada 2,6 , 12, dan 24 minggu

pascapersalinan. Pada 6, 12, dan 24 minggu pascapersalinan, 57%, 82%, dan 90%

wanita kembali berhubungan. Pada titik waktu postpartum yang sama, sekitar 30

atau 17% wanita melaporkan dispareunia; kurang dari 5% menggambarkan rasa

36
sakit . Penelitian dilakukan dengan desain kohort retrospektif pada tiga

kelompok wanita primipara setelah persalinan pervagina: Kelompok 1 (n = 211)

memiliki perineum utuh atau robekan perineum derajat pertama; kelompok 2 (n =

336) mengalami trauma perineum derajat dua; kelompok 3 (n = 68) memiliki

perineum derajat ketiga . Pada enam bulan pascapersalinan, sekitar seperempat

dari semua wanita primipara melaporkan sensasi seksual yang berkurang,

kepuasan seksual yang memburuk, dan kemampuan yang kurang untuk mencapai

orgasme, dibandingkan dengan parameter sebelum mereka melahirkan. Pada tiga

dan enam bulan pascapersalinan, 41% dan 22%, masing-masing, melaporkan

dispareunia. Wanita dengan perineum derajat dua trauma 80% lebih mungkin

dan mereka dengan trauma perineum derajat ketiga atau keempat adalah 270%

lebih mungkin untuk melaporkan terjadinya dispareunia pada tiga bulan

pascapersalinan. Pada enam bulan pasca postpartum, penggunaan ekstraksi

vakum atau forsep secara signifikan terkait dengan dispareunia, dan wanita yang

menyusui empat kali lebih mungkin untuk melaporkan dispareunia dibandingkan

mereka yang tidak menyusui. Wanita yang bayinya dilahirkan melalui perineum

utuh melaporkan hasil terbaik secara keseluruhan, sedangkan trauma perineum

dan penggunaan instrumentasi obstetri faktor yang berhubungan dengan frekuensi

atau keparahan dispareunia postpartum. Hasil ini baru dikonfirmasi oleh Baksu

et al. dalam Zaksek TS., 2015 yang mengevaluasi pengaruh cara penyampaian

pada fungsi seksual postpartum pada wanita primipara. (Zaksek TS., 2015 )

Sebanyak 248 wanita primipara direkrut ke dalam penelitian ini. Wanita

yang melahirkan pervaginam dengan episiotomi melaporkan nyeri yang secara

signifikan lebih tinggi antara enam bulan pascapersalinan daripada wanita dengan

persalinan sesar atau spontan. Tidak hanya rasa sakit, tetapi juga aspek penting

37
lainnya dari fungsi seksual, seperti gairah, lubrikasi, orgasme, dan kepuasan juga

dipengaruhi oleh episiotomi mediolateral selama persalinan pervaginam, jauh di

luar masa nifas. (Zaksek TS., 2015 )

Dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa dispareunia sebagian besar

berhubungan dengan cara persalinan dan masalah yang berasal dari itu, dan

penting bahwa penyedia layanan kesehatan memiliki pengetahuan tentang

kehidupan seksual yang berubah karena dispareunia. Studi telah menunjukkan

alasan utama menghindari persalinan pervaginam adalah takut melahirkan dan

mempengaruhi hubungan seksual postpartum. (Zaksek TS., 2015 )

Persalinan caesar, seperti yang disebutkan, tampaknya menurunkan

kejadian dispareunia dalam tiga sampai enam bulan pertama pascapersalinan.

Terlepas dari kenyataan bahwa beberapa orang mungkin melihat operasi caesar

sebagai tindakan pencegahan untuk dispareunia postpartum, penelitian belum

mengkonfirmasi hal ini, dan faktanya bahwa ini adalah operasi besar dengan

kemungkinan efek samping yang serius masih tetap ada.(Zaksek TS., 2015 )

38
2.3.4 Menyusui

Ada bukti yang cukup kuat yang menunjukkan bahwa menyusui

mengurangi hasrat seksual wanita dan frekuensi hubungan seksual pada

postpartum. Ibu menyusui memiliki kadar prolaktin yang tinggi, yang

dipertahankan oleh isapan bayi. Tingkat prolaktin yang tinggi ini menekan

produksi estrogen ovarium, yang mengakibatkan berkurangnya lubrikasi vagina

sebagai respons terhadap rangsangan seksual. Di sisi lain, pelepasan oksitosin

dengan menyusui menyebabkan ASI ejeksi dan tampaknya memiliki efek positif

pada suasana hati. Avery dkk. dalam Zaksek TS., 2015 menemukan bahwa

menyusui menyebabkan gairah seksual. Secara keseluruhan, wanita menganggap

bahwa menyusui memiliki sedikit dampak negatif pada aspek fisiologis

seksualitas, tetapi tidak terlalu besar mempengaruhi hubungan seksual wanita

dengan pasangannya. Selain itu, ibu menyusui menganggap sikap pasangan

mereka terhadap kondisi yang sedang menyusui dan seksualitas sedikit positif,

dan tidak khawatir bahwa aktivitas seksual akan membahayakan suplai ASI atau

kemampuan mereka untuk menyusui. (Zaksek TS., 2015 )

Menyusui sering menyebabkan gairah pada 16,7% wanita dan jarang pada

23,7% wanita. Hasil yang cukup berbeda datang dari penelitian lain di mana

wanita menyusui dilaporkan mengalami kekeringan vagina, dispareunia,

peningkatan sensitivitas puting, susu bocor dan penurunan gairah . Barret dkk.

dalam Zaksek TS., 2015 mengidentifikasi dalam studi mereka kurangnya minat

aktivitas seksual pada dua bulan setelah lahir yang sangat terkait dengan

menyusui, dan dispareunia dilaporkan bertahan hingga enam bulan pada beberapa

wanita menyusui. Seperti yang terlihat, disana adalah data yang bertentangan

mengenai apakah menyusui meningkatkan atau menurunkan gairah seksual.

39
Beberapa wanita juga melaporkan kontak fisik dengan bayi mereka sebagai

pemenuhan keinginan untuk kontak yang mungkin jika tidak dipenuhi dengan

pasangannya; Selain itu,pengalaman menyusui dilaporkan lebih sedikit

mengurangi frekuensi seksual daripada menyusui pertama kali . (Zaksek TS.,

2015 )

2.3.5 Kelelahan

Kelelahan adalah komponen kunci yang disebabka oleh pengalaman

mengasuh anak, dan salah satu yang masalah yang dialami wanita

pascapersalinan. Dalam tiga penelitian berbeda 62% wanita melaporkan

kelelahan hingga mengganggu kehidupan seksual mereka pada empat bulan

pascapersalinan. Byrd dkk.dalam Zaksek TS., 2015 status bahwa kelelahan

menyumbang variabilitas yang cukup besar pada penurunan seksual wanita

postpartum. (Zaksek TS., 2015 )

40
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kehamilan merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan wanita.

Suatu peristiwa yang dimulai sejak terjadinya konsepsi sampai keluarnya hasil konsepsi

dari rahim. Kehamilan memiliki peran penting dalam fungsi seksual dan perilaku wanita.

Seksualitas adalah bagian penting dari kehidupan manusia, yang sangat menentukan

kesejahteraan manusia. Karena kehamilan adalah salah satu periode terpenting dalam

hidup seseorang, itu mungkin menjadi penyebab perubahan dalam aktivitas seksual calon

orang tua. Kehamilan sering dikaitkan dengan pengurangan atau penghentian aktivitas

seksual.

Banyak mitos, faktor sosial budaya yang menyebabkan wanita hamil tidak ingin

melakukan hubungan seksual dimasa kehamilan, yang banyak beredar yaitu bahwa

hubungan seksual selama kehamilan dapat membahayakan bayi, dapat menginduksi

persalinan prematur dan menyebabkan aborsi. Sebanyak 44,3% responden percaya

bahwa hubungan seksual selama kehamilan melebar vagina dan memfasilitasi persalinan;

30,2% percaya bahwa itu menyebabkan aborsi pada awal kehamilan sementara 21,1%

tidak memiliki pengetahuan tentang dampak hubungan seksual pada kehamilan. Selain

itu ada mitos yang mengatakan bahwa hubunga seksual selama kehamilan menyebabkan

pecahnya selaput dara janin perempuan atau kemungkinan kebutaan janin, dan hubungan

seksual mungkin merupakan tindakan perzinahan sambil mengandung janin perempuan

Perubahan spesifik yang terjadi pada setiap kehamilan trimester memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap perilaku seksual . Penurunan frekuensi, keinginan

(desire), dan kepuasan (satisfaction) hubungan seksual terjadi pada banyak wanita saat

41
kehamilan berlangsung, terutama selama trimester ketiga, dibandingkan dengan sebelum

hamil .Perubahan hormonal (peningkatan estrogen, progesteron, dan prolaktin)

menyebabkan mual dan nyeri payudara, yang selain kelelahan, kelelahan, dan kecemasan,

dapat berkontribusi pada kelemahan dan kesulitan untuk terangsang.

Perubahan fungsi seksual selama masa kehamilan berbeda tiap trimesternya ,

pada trimester pertama perempuan yang mengalami keluhan mual dan muntah hebat,

merasakan dorongan seksualnya menurun, yang mengakibatkan berkurangnya frekuensi

semua aktivitas seksual. Pada trimester kedua dianggap periode kehamilan yang stabil

secara emosional. 80 persen perempuan hamil merasakan peningkatan dorongan seksual

dan reaksi seksualnya. Trimester akhir kehamilan ditandai dengan perubahan pada tubuh

wanita. Perubahan ini bisa menjadi alasannya untuk penurunan libido dan aktivitas

seksual selama periode ini.

Namun ada pula keadan-keadaan tertentu yang beresiko pada wanita hamil untuk

melakukan hubungan seksual yaitu perdarahan vagina yang tidak dapat dijelaskan,

plasenta previa, dilatasi dini serviks dan ketuban pecah dini, dan kontraindikasi relatif

termasuk riwayat persalinan prematur dan kehamilan ganda.

Pengaruh hubungan seksual pada wanita hamil juga dibagi menjadi pengaruh

baik dan buruk. Pengaruh baik yaitu; ikatan baik antar pasangan, peningkatan

kebahagiaan, orongan untuk sistem kekebalan tubuh, dan ada yang mengatakan bahwa

seks saat usia kehamilan aterm dapat menginduksi persalina. Pengaruh buruk yaitu;

hubungan seksual selama kehamilan mengakibatkan peningkatan risiko kelahiran

prematur tidaklah benar, hubungan seksual selama kehamilan menyebabkan kontraksi

braxton hicks, perdarahan antepartum.

Aktivitas seksual setelah kehamilan dipengaruhi oleh banyak faktor, oleh

perubahan anatomi yang signifikan, hormonal lingkungan, dengan hubungan antara

42
pasangan. Sebuah study mengatakan bahwa dalam waktu tiga bulan setelah kelahiran,

80-93% wanita melanjutkan hubungan seksual. tiga mekanisme yang dapat

menyebabkan disfungsi seksual setelah lahir: dispareunia,cedera jalan lahir dan

kesehatan umum ibu secara keseluruhan. Sebuah studi juga mengatakan kemungkinan

disfungsi seksual sebagai kompleks interaksi oleh faktor biomedis, psikososial,

pasangan/hubungan serta atribut dari hubungan bayi dan ibu-anak.

Disfungsi seksual pascamelahirkan (termasuk dispareunia) ditemukan pada 41-

83% wanita di dua sampai tiga bulan pascapersalinan . Tidak ada dampak yang

ditemukan dari metoder persalinan (vaginal vs caesar) pada kepuasan dengan hubungan

seksual setelah melahirkan.

Sebuah studi mengatakan bahwa menyusui mengurangi hasrat seksual wanita dan

frekuensi hubungan seksual pada postpartum. Tingkat prolaktin yang tinggi ini menekan

produksi estrogen ovarium, yang mengakibatkan berkurangnya lubrikasi vagina sebagai

respons terhadap rangsangan seksual.

43
DAFTAR PUSTAKA

Aslan, G., Aslan, D., Kizilyar, A., Ispahi, Ç., & Esen, A. (2005). A prospective analysis of
sexual functions during pregnancy. International Journal of Impotence Research,
17(2), 154–157. https://doi.org/10.1038/sj.ijir.3901288

Akbar Novan, Sp.OG.(2019). Hubungan Seksual Selama Kehamilan. KSM Obsgyn RSUP
Dr. Sardjito. https://sardjito.co.id/2019/09/30/hubungan-seks-saat-kehamilan/

Brown, C, Bradford, J, et al, . (2008) . Sex and Sexuality in Pregnancy. The Global
Library of Women’s Medicine’s Welfare of Women Global Health Programme.
(ISSN: 1756-2228) 2008; DOI 10.3843/GLOWM.10111

Fuchs, A., Czech, I., Sikora, J., Fuchs, P., Lorek, M., Skrzypulec-Plinta, V., & Drosdzol-
Cop, A. (2019). Sexual functioning in pregnant women. International Journal of
Environmental Research and Public Health, 16(21).
https://doi.org/10.3390/ijerph16214216

Janet, B. 2019. What to know about sex during pregnancy. Medical New Today.
https://www.medicalnewstoday.com/articles/321648

Jones, C., Chan, C., & Farine, D. (2011). Practice Sex in pregnancy. Canadian Medical
Association Journal, 183(7), 815–818.

Allesandera, P. et. all. (2009). Artigo Original Prevalence of sexual dysfunction during
pregnancy. Rev Assoc Med Bras, 55(5), 563–568.

Madonna, F., Taufiq, R., & Enny.(2016). Hubungan Kehamilan terhadap Fungsi Seksual
Wanita Usia 20─35 Tahun di Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu.Departemen
Obstetri dan Ginekologi RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.Volume 2, Nomor 2

Pangkahila, Wimpie, 2014 , Seks dan Kualitas Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

44
Pauleta, J. R., Pereira, N. M., & Graça, L. M. (2010). Sexuality during pregnancy. Journal
of Sexual Medicine, 7(1 PART 1), 136–142. https://doi.org/10.1111/j.1743-
6109.2009.01538.x

Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan Edisi 3. PT Bina Pustaka : Jakarta

Widiasmoko S. 2000. Perilaku Kegiatan Seksual Pada Wanita Hamil. Semarang. FK


UNDIP. Tesis.

Zaksek TS. (2015). Sexual Activity during Pregnancy in Childbirth and after Childbirth.
Sexology in MIdwifery.

45

Anda mungkin juga menyukai