Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai agent of development memiliki peran


penting dalam perkembangan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran BUMN tersebut, pengurusan dan pengawasan
terhadap BUMN harus dilakukan secara profesional. Strategi pemerintah dalam
mendukung pengoptimalan kinerja BUMN salah satunya yaitu dengan
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 pada tanggal 30 Desember
2016 tentang  Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan  Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan
Perseroan Terbatas.
Pembentukan PP No 72 Tahun 2016 ini sebenarnya bertujuan untuk mempertegas
pembentukan holding BUMN. Pembentukan holding BUMN merupakan suatu program
Pemerintah yang sudah direncanakan dan sebagian telah dilaksanakan sejak tahun 1995.
Secara hukum, pelaksanaan pembentukan Holding BUMN dilakukan dengan cara
melakukan pengalihan (inbreng) investasi Pemerintah (saham) dari suatu BUMN ke
BUMN lain. Dengan pengalihan (inbreng) saham tersebut, BUMN yang sahamnya
dialihkan (diinbrengkan) selanjutnya menjadi Anak Perusahaan BUMN sedangkan
BUMN penerima pengalihan (inbreng) memberikan tambahan modal/saham kepada
Negara sebesar nilai BUMN Inbreng.
Sejak berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan
Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas, pembentukan Holding BUMN
dilakukan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf d, Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 huruf c, dan
Pasal 7 dikaitkan dengan penjelasan Pasal 4 UU BUMN. Berdasarkan Pasal-Pasal
tersebut, Saham Negara pada suatu BUMN yang dijadikan penyertaan modal,
dikategorikan sebagai “aset-aset negara lainnya” sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
ayat (2) huruf d PP 44 Tahun 2005.

Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf d PP 44 tahun 2005, disebutkan bahwa dalam
hal aset-aset negara lainnya tersebut belum dimasukkan dalam APBN, maka prosesnya
dilakukan melalui mekanisme APBN yaitu “pencatatan aset dimaksud dalam APBN
sebagai penerimaan dan sekaligus dikeluarkan sebagai Penyertaan Modal Negara
(PMN)”. Dalam konteks pengalihan (inbreng) saham untuk pembentukan holding selama
ini, Pemerintah tidak lagi melakukan mekanisme APBN (mencatat sebagai penerimaan
dan dikeluarkan sebagai PMN), karena pada saat awal negara melakukan penyertaan
modal yang kemudian berubah menjadi saham yang akan dialihkan (diinbrengkan),
sudah melalui APBN sehingga statusnya menjadi Kekayaan Negara Dipisahkan (KND).
Dalam Penjelasan Pasal 4 UU BUMN, dijelaskan bahwa KND adalah kekayaan negara
yang dipisahkan dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal yang selanjutnya
pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun
pembinaan dan pengelolaannya tunduk pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Dengan penjelasan tersebut, terlihat dengan jelas dasar hukum pelaksanaan


pembentukan Holding BUMN selama ini. Namun demikian, masih tetap ada pendapat
yang berbeda karena belum ada ketentuan yang secara eksplisit menuliskan bahwa
“saham dapat dialihkan (diinbrengkan) menjadi penyertaan modal pada BUMN lain dan
tidak perlu melalui mekanisme APBN”. Selain itu, pemahaman masyarakat yang masih
minim mengenai PP No 72 tahun 2016 ini menimbulkan berbagai isu yang menyebabkan
terjadinya pergunjingan di masyarakat terlebih lagi pada peraturan ini muncul istilah
BUMN inberg atau saham pengalihan menjadi anak perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas disebutkan bahwa dengan diterbitkannya PP No 72 Tahun


2016 menimbulkan polemik yang bergunjingan di masyarakat. Maka dengan itu dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Apakah yang dimaksud dengan BUMN?


2. Bagaimanakah substansi PP Nomor 72 Tahun 2016?
3.  Apakah proses Inbreng saham perlu dilakukan melalui mekanisme APBN?
4. Dengan adanya BUMN inberg, apakah BUMN dapat dijual kepada
Swasta/Asing atas dasar PP 72/2016?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam makalah ini, yang menjadi fokus bahasan adalah pembahasan mengenai
BUMN dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2016 serta isu yang ditimbulkan
akibat pembentukan dan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016
tentang  Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan  Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan
Perseroan Terbatas.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi BUMN dan BUMN Inberg


BUMN adalah singkatan dari badan usaha milik negara. Sesuai dengan
kepanjangannya, BUMN artinya perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh negara. Definisi
apa itu BUMN di Indonesia adalah ketika sebuah perusahaan saham yang seluruhnya dimiliki
negara. Selain itu, BUMN juga berujuk pada perusahaan yang sebagian besar sahamnya atau
minimal 51 persen dikuasai oleh pemerintah. Tujuan didirikannya BUMN adalah
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, serta memenuhi kebutuhan masyarakat. BUMN
adalah perusahaan yang juga bertanggung jawab langsung pada pemerintah, dalam hal ini
lewat Kementerian BUMN. Saham yang dimiliki pemerintah di perusahaan BUMN
merupakan bentuk penyertaan kekayaan yang dipisahkan.
Status pegawai BUMN adalah sebagai karyawan sebagaimana yang berlaku pada
karyawan swasta yang terikat dengan kontrak perjanjian kerja. Sehingga karyawan BUMN
tak masuk dalam kategori ASN. Sementara itu merujuk pada UU Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN, dijelaskan melalui pasal 2 bahwa BUMN memiliki maksud dan tujuan
berupa:
1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya
dan penerimaan negara pada khususnya
2. Mengejar keuntungan
3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyedia baran dan/atau jasa yang
bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak
4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor
swasta dan koperasi
5. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi
lemah, koperasi, dan masyarakat.
6. BUMN adalah salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional
berdasarkan demokrasi ekonomi memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan
perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945.
Fungsi BUMN sendiri adalah sebagai berikut:

1. Sebagai penyedia barang ekonomis dan jasa yang tidak disedikan oleh swasta
Merupakan alat pemerintah dalam menata kebijakan perekonomian
2. Sebagai pengelola dari cabang-cabang produksi sumber daya alam untuk masyarakat
banyak
3. Sebagai penyedia layanan dalam kebutuhan masyarakat Sebagai penghasil barang dan
jasa demi pemenuhan orang banyak
4. Sebagai pelopor terhadap sektor-sektor usaha yang belum diminati oleh pihak swasta
5. Pembuka lapangan kerja
6. Penghasil devisa negara
7. Pembantu dalam pengembangan usaha kecil koperasi
8. Pendorong dalam aktivitas masyarakat terhadap diberbagai lapangan usaha.

Jenis BUMN

BUMN memiliki berbagai macam atau jenis bentuk-bentuk yang berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Bentuk BUMN adalah
terbagi menjadi dua yakni badan usaha perseroan (persero) dan badan usaha umum (perum).

A. BUMN persero

Badan usaha perseroan (persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas
yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 persen sahamnya
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Tujuan pendirian BUMN persero adalah menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi
dan berdaya sang kuat. Persero juga didirikan untuk tujuan mencari keuntungan. Contoh
BUMN Persero antara lain PT Pertamina, PT Kimia Farma, PT KAI, PT Bank BNI, PT
Jamsostek, PT Garuda Indonesia, PT Timah, dan PT Telekomunimkasi Indonesia.

B. BUMN Perum

BUMN perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak
terbagi atas saham. Badan usaha umum memiliki maksud dan tujuan yang didukung menurut
persetujuan menteri adalah melakukan penyertaan modal dalam usaha yang lain. Tujuan
BUMN perum yakni menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyedia barang dan jasa berkualitas dengan harga yang dapat dijangkau masyarakat
menurut prinsip pengelolaan badan usaha yang sehat. Contoh BUMN perum antara lain
Perum Damri, Perum Pegadaian, Perum Bulog, Perum Peruri, Perum Jasatirta, Perum Antara,
Perum Perumnas, dan Perum Balai Pustaka.

2.2 Substansi PP Nomor 72 Tahun 2016

PP 72 Tahun 2016 ini pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari PP 44 Tahun


2005. Perubahan terhadap PP 44 Tahun 2005 adalah untuk memperjelas dan mempertegas
dasar hukum pembentukan Holding BUMN, sama sekali tidak dimaksudkan untuk
mengalihkan BUMN kepada pihak swasta. Terdapat 2 (dua) garis besar substansi PP 72
Tahun 2016 sebagai pedoman pembentukan Holding, sebagai berikut:

1. Memperjelas dan mempertegas proses pembentukan holding BUMN. Mempertegas


dan memperjelas bahwa penyertaan modal ke BUMN atau PT (yang sudah ada saham
milik negara) dapat dilakukan dengan mengalihkan (inbreng) saham pada BUMN
lain. Selama ini “saham” sebagai salah satu sumber penyertaan modal dikategorikan
dalam “aset negara lainnya”. Ketentuan ini bukan merupakan hal baru karena hanya
memperjelas dan mempertegas dasar hukum pembentukan holding yang selama ini
menjadi pegangan Pemerintah. Pengalihan (inbreng) saham menjadi kewenangan
Pemerintah tanpa melalui mekanisme APBN, karena saat pertama menjadi saham,
sudah melalui APBN, sehingga statusnya menjadi “kekayaan negara Dipisahkan
(KND)”. Dalam penjelasan Pasal 4 UU BUMN, disebutkan bahwa KND tidak lagi
mengikuti mekanisme APBN. Disamping itu, pengalihan (inbreng) saham tidak
menyebabkan jumlah saham negara berkurang secara absolute dalam catatan neraca
Pemerintah Pusat. Ketentuan ini bukan merupakan hal baru karena hanya
memperjelas dan mempertegas dasar hukum pembentukan holding yang selama ini
menjadi pegangan Pemerintah.

2. Mengatur Kontrol Negara kepada BUMN yang menjadi Anak Perusahaan Holding
BUMN. Pengaturan mengenai kontrol negara atas BUMN yang menjadi anak
perusahaan Holding BUMN dimana negara tetap memiliki saham dengan hak
istimewa (saham seri A dwiwarna dengan hak untuk menyetujui antara lain:
pengangkatan anggota Direksi dan Anggota Komisaris, perubahan anggaran dasar,
perubahan struktur kepemilikan saham, penggabungan, peleburan, pemisahan dan
pembubaran serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain). Kontrol juga
dilakukan dalam mempertegas bahwa BUMN induk harus tetap memiliki saham
mayoritas di anaknya yang eks BUMN. Hal ini merupakan ketentuan baru untuk
menjaga eksistensi atau kontrol Pemerintah terhadap BUMN yang menjadi anak
perusahaan Holding BUMN yang selama ini belum diatur. Penegasan bahwa BUMN
yang menjadi anak perusahaan Holding BUMN, tetap diperlakukan sama dengan
BUMN antara lain: mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan
pelayanan umum; dan/atau mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau
Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan
tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN antara lain terkait dengan proses dan
bentuk perizinan, hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau
keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintahan yang
melibatkan BUMN.

Hal tersebut merupakan ketentuan baru untuk mempertegas bahwa walaupun BUMN
inbreng telah menjadi Anak Perusahaan, namun tetap dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah
untuk melaksanakan kepentingan Negara. Ketentuan ini secara implisit juga sekaligus
menegaskan bahwa pembentukan Holding tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau
mengurangi kewenangan Negara terhadap BUMN tersebut terkait dengan kepentingan
Negara, namun pembentukan Holding dimaksudkan semata-mata untuk meningkatkan nilai
Perusahaan    Penegasan bahwa saham adalah investasi jangka panjang Pemerintah. Hal ini
menunjukkan bahwa saham adalah kekayaan Negara yang dipisahkan yang dikelola diluar
mekanisme APBN. Namun demikian, Pemerintah, DPR, BPK dapat tetap melakukan
pengawasan sesuai kewenangannya.

2.3 Apakah proses Inbreng saham perlu dilakukan melalui mekanisme APBN?

Pengalihan (inbreng) saham menjadi kewenangan Pemerintah tanpa melalui


mekanisme APBN, karena saat pertama kali Pemerintah menyertakan modal kepada BUMN
menjadi saham, sudah melalui mekanisme APBN, sehingga statusnya menjadi “kekayaan
negara Dipisahkan (KND)”. Dalam penjelasan Pasal 4 UU BUMN, disebutkan bahwa KND
tidak lagi mengikuti mekanisme APBN. Di samping itu, pengalihan (inbreng) saham tidak
menyebabkan jumlah saham negara berkurang secara absolute dalam catatan neraca
Pemerintah Pusat.

Selain itu, Saham milik Negara tidak masuk dalam klasifikasi Barang Milik Negara,
karena ketentuan yang mengatur pengelolaan investasi pemerintah (termasuk saham)
dengan pengelolaan BMN diatur dalam Bab yang berbeda, yaitu pengelolaan investasi
Pemerintah pada Bab VI (Pasal 41) sedangkan pengelolaan BMN diatur  pada Bab
VII (Pasal 42 s.d 49) UU 1/2004.  Di samping itu Pasal 2 huruf g UU 17/2003 juga
membedakan antara investasi pemerintah berupa surat berharga (termasuk
saham/kekayaan negara yang dipisahkan), dengan barang milik negara. Bunyi Pasal 2
huruf g UU 17/2003 adalah : Keuangan Negara meliputi diantaranya “kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah”. Perlu
ditambahkan bahwa dalam UU 1/2004, saham milik Negara merupakan investasi
pemerintah bukan BMN dan hal ini juga sudah sesuai dengan PP 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Pernyataan SAP Nomor 6, Akuntansi
Investasi) bahwa saham Negara pada BUMN/PT dicatat dan dilaporkan sebagai
investasi jangka panjang Pemerintah. Sedangkan BMN merupakan aset tetap
(Pernyataan SAP Nomor 7, Akuntansi Aset Tetap).

Inbreng saham BUMN juga tidak dapat dikategorikan sebagai privatisasi, karena
pengertian privatisasi berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU BUMN adalah penjualan saham
perseroan baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta
memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Hal ini sejalan pula dengan legal opinion
Jaksa Agung RI yang pada intinya menyampaikan bahwa, tindakan penjualan atau privatisasi
didasarkan oleh adanya suatu transaksi penjualan saham baik melalui pasar modal, investor,
maupun kepada manajemen atau karyawan yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian
syarat utama untuk dapat dikategorikan sebagai privatisasi adalah dengan adanya transaksi
penjualan, sedangkan inbreng saham pada dasarnya merupakan pergeseran investasi, karena
portofolio kepemilikan pemerintah secara absolute tidak berubah dan tidak ada penghilangan
atau pelepasan aset BUMN/aset negara sehingga dalam proses ini tidak terjadi proses
transaksi.

2.4 Apakah BUMN dapat dijual kepada Swasta/Asing atas dasar PP 72/2016?

Untuk menjawab hal tersebut, hal utama yang perlu dipahami, bahwa PP 72/2016
merupakan perubahan PP 44 Tahun 2005 yang dimaksudkan untuk mempertegas dan
memperjelas pembentukan holding BUMN. PP 72/2016 tidak dapat dipergunakan untuk
melakukan penjualan saham BUMN kepada swasta maupun asing karena hal tersebut
termasuk kategori privatisasi. Jika Pemerintah akan melakukan privatisasi BUMN,
(penjualan saham kepada publik termasuk swasta atau asing), maka dasar hukum yang
dipergunakan adalah Pasal 24 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003, Pasal 82 ayat (2) UU
Nomor 19 Tahun 2003, dan PP No. 33 Tahun 2005 jo. PP No. 59 Tahun 2009.
Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa penjualan/Privatisasi harus melibatkan Komite
Privatisasi dan persetujuan DPR. Tidak ada ketentuan dalam UU Keuangan Negara dan UU
BUMN yang dilanggar. Selanjutnya isu mengenai ketentuan “pengalihan saham BUMN
kepada perseroan terbatas” yang dimaksud sebagai “BUMN dapat dijual kepada
Swasta/asing, dapat dijelaskan bahwa:
1) PP 72 bukan merupakan PP untuk menjual saham, tetapi untuk pengalihan (inbreng)
saham
2) Dengan klausula Inbreng saham kepada PT, memang secara yuridis saham BUMN dapat
beralih menjadi milik PT, namun PT tersebut syaratnya di dalamnya sudah harus ada
saham milik Negara, sehingga inbreng saham tersebut adalah untuk memperkuat struktur
permodalan negara pada PT dimaksud, dalam arti saham Negara akan bertambah.
Penyertaan modal ke dalam PT yang belum terdapat saham milik negara, hanya dapat
dilakukan dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional, dimana
penyertaan modal ke PT yang belum terdapat saham milik negara, dilakukan dengan
persetujuan DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan Negara.
3) Klausula tersebut diatur bukan karena adanya rencana Pemerintah untuk mengalihkan
saham BUMN kepada perseroan terbatas. Pemerintah tidak bermaksud untuk
mengalihkan saham BUMN kepada PT. Ketentuan tersebut dimasukkan dalam PP 72
tahun 2016, semata-mata karena PP 72/2016 mengatur secara umum ketentuan mengenai
penyertaan modal negara ke BUMN dan perseroan terbatas. Ketentuan ini bukan hal
yang baru, karena secara hukum sudah dimungkinkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 6
PP 44 tahun 2005 yang masih tetap berlaku dan tidak diubah dalam PP 72 tahun 2016.
4) Holding dengan pola pengalihan saham, jumlah saham negara sama sekali tidak
berkurang secara absolut hanya tergabung dalam suatu perusahaan Induk. Sedangkan
privatisasi/penjualan saham menyebabkan jumlah saham negara berkurang secara
absolut. Dalam hal pemerintah melakukan privatisasi BUMN, tetap mempedomani
kepada ketentuan tentang privatisasi yaitu UU BUMN, UU Keuangan Negara, dan PP
33/2005 yang direvisi dengan PP 59/2009 yaitu melalui Komite privatisasi dan
persetujuan DPR.
5) Pemerintah tidak akan kehilangan kontrol terhadap BUMN yang menjadi
anakperusahaan pada Holding BUMN, karena sebagaimana diatur di dalam pasal 2A PP
72/2016 bahwa terhadap anak perusahaan tersebut, pemerintah memiliki kendali melalui:
a. Secara langsung, Anak Perusahaan tetap dikontrol oleh Negara (Pasal 2A ayat (2)
PP No. 72 Tahun 2016), yaitu melalui kepemilikan saham dengan hak istimewa
(saham seri A dwiwarna)yang memungkinkan Negara dapat mengontrol langsung
terhadap kebijakan-kebijakan yang strategis pada Anak Perusahaan tersebut.
b. Secara tidak langsung, Induk BUMN wajib memiliki sebagian besar saham Anak
Perusahaan sehingga Induk BUMN dapat mengontrol penuh Anak Perusahaan,
sedangkan Induk BUMN merupakan BUMN yang dikontrol langsung oleh Negara.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dari kesimpulan diatas, dapat diambil poin bahwa sebaiknya masyarakat dan pihak
yang bersangkutan dapat membaca dan memahami lebih lanjut isi dari Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan
Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas sebelum
membuat/melontarkan isu yang menyebabkan pergunjingan dan kesalah pahaman
diantara masyarakat luas. Selain itu, sudah dijelaskan bahwa penerbitan peraturan ini
bermaksud baik yaitu untuk mempertegas peraturan sebelumnya dan juga untuk
meningkatkan nilai perusahaan negara. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya
makalah ini dapat membantu wawasan pembaca dan disarankan juga kepada pembaca
untuk memberikan kritik ataupun saran yang membangkit terkait makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, tentang  Perubahan atas Peraturan


Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan  Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan
Perseroan Terbatas.
Idris,Muhamad. 2021. “Mengenal BUMN: Definisi, Jenis, Fungsi, dan Tujuan Didirikan”,
https://money.kompas.com/read/2021/03/05/204910626/mengenal-bumn-definisi-
jenis-fungsi-dan-tujuan-didirikan?page=all , diakses pada 22 Maret 2021 pukul 09.00
WITA.
JDIH-KemenBUMN. 2020. “Kajian tentang Isu-Isu Strategis Dalam RUU Perubahan
UU BUMN ” , HTTPS://JDIH.BUMN.GO.ID/BERITA/KAJIAN-TENTANG-ISU-
ISU-STRATEGIS-DALAM-RUU-PERUBAHAN-UU-BUMN , diakses pada 22 Maret
2021 pukul 09.30 WITA.

JDIH-KemenBUMN. 2020. “MENJAWAB ISU-ISU DI SEPUTAR TERBITNYA PP


72 TAHUN 2016 ” , HTTPS://JDIH.BUMN.GO.ID/BERITA/MENJAWAB-ISU-
ISU-DI-SEPUTAR-TERBITNYA-PP-72-TAHUN-2016 , diakses pada 22 Maret
2021 pukul 10.00 WITA.

Anda mungkin juga menyukai