SPONDILITIS TB
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Spondilitis TB disebut juga penyakit pott bila disertai paraplegi atau deficit
neurologis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling
jarang pada vertebra C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra,
sehingga jarang menyerang arkus vertebra.
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Manifestasi klinik
Secara kelinik gejala tuberculosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberculosis pada umumnya, yaitu badan lemah/ lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) trutama pada malam hari serta
sakit pada punggung. Pada anak anak sering di sertai dengan menangis pada malam
hari. Pada awal dapat di jumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,
kemudian di ikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas,
klonus, hiper-refleksia dan reflek Babinski bilateral.
Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus termasuk akibat penekanan
medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix
saraf.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1. Peningkatan LED dan mungkin di sertai leukositosis
2. Uji Mantoux positif
3. Pada pewarnaan tahan asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin di
temukan mikobakterium
4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limpe regional
5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
6. Pungsi lumbal, akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah
b. Pemeriksaan radiologis:
Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberculosis paru. Hal ini sangat
diperlukan untuk menyingkirkan diagnose banding penyakit yang lain.
c. Pemeriksaan CT scan
CT scan dapat dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irregular skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
6. Penatalaksanaan
Bakteri TB dapat di bunuh atau di hambat dengan pemberian obat obat anti
tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol, pyrazinamide dan ririfampicin.
Kategori 1 untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
1. Tahap 1 di berikan Rifampisin 450 mg, Etam butol 750 mg, INH 300 mg, dan
pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali)
2. Tahap 2 di berikan Rifampisin 450 mg, INH 600 mg 3 kali seminggu selama 4
bulan (54 kali).
Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan termasuk penderitanya kambuh.
1. Tahap 1 diberikan streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
pirazinamid 1.500 mg, dan etambutol 750 mg, setiap hari. Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, rifampisin 450 mg, dan etambutol 1250 mg 3
kali seminggu selama 5 bulan (66 kali). Kriteria penghentian pengobatan yaitu
apabila keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun dan menetap,
gejala-gejala kelinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran
radiologi ditemukan adanya union pada vertebra.
Trapi opratif yang di lakukan untuk spondylitis TB yaitu debridement (Moesbar 2016
dalam haryani 2017) , Tujuan dilakukan tindakan ini yaitu untuk menghilangkan sumber
infeksi, mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologic dan kerusakan
lebih lanjut (Dewald 2015 dalam haryani 2016). Trapi ovrasi di lakukan jika terapi
konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, terjadi kompresi pada medulla
spinalis, dan hasil radiologis menunjukan adanya sekuester dan kaseonekrotik dalam
jumlah banyak (Moesbar, 2016 dalam haryani 2015). Agrawal, patgaonkar, dan nagariya
(2015 dalam Hayrani, 2015) menyatakan bahwa prosedur oprasi. Yang di lakukan pada
penderita spondylitis TB meliputi debridement posterior dan anterior untuk
mengeluarkan abses ataupun pus yang berada pada tulang belakang .
7. Komplikasi
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury), dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekustra tulang, sekuster dari diskus
intervertebralis (contoh: pott’s paraplegia-prognosa baik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh:
mnigomyelitis – prognosa buruk). MRI dan mielografi dapat membantu
membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena ruptumnya abses paravertebral di torakal ke dalam
pleura.