SINDROM NEFROTIK
Dosen Pembimbing
Disusun Oleh :
Nama : MUSTAKIM
Nim : 21317082
TANGERANG
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA KASUS SINDROME NEFROTIK
A. Definisi
Pengertian Sindrom nefrotik adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia
(kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan
etiologinya, Sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi Sindrom nefrotik primer (idiopatik) yang
berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan Sindrom
nefrotik sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu.
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab
Sindrom snefrotik. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum
dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien
Sindrome nefrotik yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T (4). Kelainan
histopatologi pada Sindrom nefrotik primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati
membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif.
Penyebab sindrom nefrotik sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi,
keganasan, obat- obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit
metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis,
stenosis arteri renalis, obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus sindrom nefrotik merupakan
SN primer (idiopatik).
Pada Sindrom nefrotik primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau
melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain
itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan Sindrom nefrotik dengan respon terapi yang
bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas
patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan sindrom
Pada anak-anak 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)
dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-
3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik
sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk
homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan
dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri
dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain
itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (buli-
buli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.
B. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat
penyakit sistemik seperti berikut
lesi minimal
membranosa
membranoproliferatif
proliferatif lain
D. manifestasi klinis
E. Patosfisiologis
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun
penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan
adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan
membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari
proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang
interstitial. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.
Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume
sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan
air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler
tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian
menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang
interstitial. berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas
sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon)
dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar
natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa
peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata
tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut
teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung
pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma
dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam
kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat
dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia
Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein
urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kg BB/24 jam atau 3,5 g/hari),
hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa ataupun disertai
edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati hematuria
mikroskopik (20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal).
Pemeriksaan penunjang
Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat) didapatkan
hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping
besar atau bergumpal-gumpal atau memadat
Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil proteinuria
terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari.
Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.
Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama edema
masih ada.
Berat jenis urin meningkat.
Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid
ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan Sudan
III).
Terdapat leukosit
1) Obesitas
2) Perlengketan pertoneum
3) Peritonitis locak
4) Operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi
5) Luka bakar abdomen (luas, disertai infeksi
Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan proses bedah dengan mengganti organ ginjal yang mengalami
kerusakan dengan organ ginjal dari donor. Proses ini memerlukan pemeriksaan kecocokan ginja
pendonor dengan tubuh penerima donor.
Indikasi :
1) Hipertensi renal
2) Tumor ginjal
3) Nefropati diabetik akibat DM
Kontraindikasi :
Penderita kanker yang telah bermetastasus dan penderita infeksi
Hasil lab
Jenis pemeriksaan fungsi ginjal
a. Urinalisis
Urinalisis atau tes urine dilakukan untuk mendeteksi protein dan darah didalam urine. Faktor yang
diperiksa adalah warna dan kejernihan urine, serta kandungan kimia di dalam urine.
b. Tes urine 24 jam
Dilakukan untuk mengukur kadar protein atau kreatinin yang keluar dari urine selama 24 jam.
Kreatinin adalah zat sisa metabolisme otot yang seharusnya dibuang melalui urine. Sementara,
protein tidak seharusnya didapatkan dalam jumlah yang banyak pada urine.
c. Tes albumin
Berutujuan untuk mendeteksi keberadaan albumin dalam urine. Albumin adalah protein di dalam
darah yang seharusnya tidak ada pada urine. Tes ini dapat dilakukan sebagai bagian urnalisis atau
sebagai tes terpisah.
d. Pemeriksaan fungsi ginjal dengan sampel darah
FHATWAY SINDROM NEFROTIK Sindrom nefrotik
glomerulunefritis
Permeabilitas
glomerulus meningkat
Proteinuria
hipoalbuminemia
A. Pengkajian
( PSYSICAL ASSASSMENT )
BIODATA PASIEN
1. Nama : An, a
2. Umur : 8 tahun
4. No. Register :-
5. Alamat :-
6. Status : pelajar
5. Kekuarga terdekat :-
1. ANAMNESE
A. Keluhan Utama ( Alasan MRS ) :
mengeluhkan pada badan , kaki wajah, dan lengan , dan wajah.
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
An. A mengeluhkan pada badan, kaki, wajah, dan lengan, dan wajah. Klien mengeluh sering
sakit kepala. Ibu klien mengatakan jika anaknya tidak nafsu makan, sering mual disertai
muntah, berat badan klien menurun, awal BB klien 26 kg menjadi 21 kg. An. A terlihat
lemas, lemah, dan pucat.
C. Riwayat Penyakit Yang Lalu
Klien mengatakan tidak pernah menderita suatu penyakit yang berat
D. Riwayat Kesehatan Keluarga :
Klien mengatakan Keluarga tidak ada yang memiliki kelainan / kecacatan dan menderita
suatu penyakit yang berat
b. Pola Eliminasi
Dari hasil data pengkajian pola eliminasi urie dan BAB klien tidak terkaji, konsentrasi serta
warna dan pengeluaran BAB tidak terdapat keterangan di pengkajian awal.
e. Aktivitas Lain
Dari data pengkajian di dapatkan hasil klien tidak memiliki aktivitas lain selama di rumah
sakit.
a. Ekonomi
Siapa yang membiayai perawatan klien selama dirawat :
4. PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
Hasi pemeriksaan fisik :
TD: 100/80 mmHg
RR: 15 x/menit
N: 102 x/meni
t S: 37,5o C
B. Keadaan Umum
Keadaan umum klien pada saat di lakukan pengkajian yakni
TD: 100/80 mmHg
RR:15 x/menit
N: 102 x/menit
S: 37,5o C
Pemeriksaan Integument, Rambut Dan Kuku
1. Integument
A. Tipe Primer: tidak dilakukan pengkajian
B. Tipe Sekunder :Tidak terdapat hasil pengkajian
2. Pemeriksaan Rambut
a. Ispeksi dan Palpasi : Tidak dilakukan pengkajian
G. Pemeriksaan Abdomen
Klien tidak dilakukan pemeriksaan abdomen baik secara inspeksi, palpasi, perkusi serta
auskultasi.
H. Pemeriksaan Genetalia
Klien tidak dilakukan pemeriksaan genetalia baik secara inspeksi, palpasi, perkusi serta
auskultasi
I. Pemeriksaan Anus
Klien tidak dilakukan pemeriksaan anus baik secara inspeksi, serta palpasi
Masalah Keperawatan : ..........................................................
J. Pemeriksaan jumlah urin yang keluar
Klien melakukan pemeriksaan jumlah urin secara rutin
5. PEMERIKSAAN MUSKULOSKELETAL
Tidak dilakukan pengkajian
6.PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
A. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
a. GCS (Glasgow Coma Scale )
Tidak dilakukan pengkajian
b. Tanda-tanda rangsangan otak
Peningkatan suhu tubuh (-), nyeri kepala (+), kaku kuduk (-), mual-muntah (-), kejang (-),
penurunan tingkat kesadaran (-).
c. Nervus cranialis
Tidak melakukan pengkajian
d. Memeriksa fungsi Motorik
Ukuran otot (simetris), gerakan-gerakan yang tidak disadari oleh klien (-)
e. Memeriksa fungsi sensorik
Kepekaan saraf perifer : benda tumpul peka, benda tajam peka. Menguji sensasi
panas/dingin peka, kapas halus peka, minyak wangi peka.
f. Memeriksa reflek kedalaman tendon
1. Reflek fisiologis
Tidak dilakukan pengkajian
2. Reflek pathology
Tidak dilakukan pengkajian
7. RIWAYAT PSIKOLOGIS
Saat dilakukan pemeriksaan pada mengeluhkan pada badan, kaki, wajah, dan lengan, dan wajah.
Klien mengeluh sering sakit kepala. Ibu klien mengatakan jika anaknya tidak nafsu makan,
sering mual disertai muntah, berat badan klien menurun, awal BB klien 26 kg menjadi 21 kg.
An. A terlihat lemas, lemah, dan pucat
Hasil pengkajian
TD 100/80
N 102
RR 15x/m
S 37,5 c
Intervensi keperawatan
No SDKI SLKI SIKI
No Implementasi Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
2. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik
PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009
3. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited 2010, Nov 28]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_
Si ndromaNefrotikPatogenesis.html
4. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited Dec
05, 2010]. Available: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
5. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran., edisi Bahasa
Indonesia. Jakarta: EGC. 2001
6. Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia: Elsevier saunders.
1996
7. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001
8. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2010 Dec, 20]
9. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A,
Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3 rd ED. Great Britain: Oxford Universsity
Press., 197-22
10. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison’s Manual Of Medicine. 17 th
ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806
4th
11. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. ed. Jakarta:
IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549
12. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA Davis Company;
2007
13. Stephen JM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of Disease. 5th ed. USA:
Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477