Anda di halaman 1dari 36

LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN JIWA REVIEW JURNAL

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

Pola Pengasuhan Anak Di Kampung Nelayan Kelurahan Untia, Makassar


(Rahayu Salam. 2017)

Oleh :

Fathur Rahman S.Ked

K1B1 21 069

Pembimbing:

dr. H. Junuda RAF, M.Kes., Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERISITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
Pola Pengasuhan Anak Di Kampung Nelayan Kelurahan Untia, Makassar

Rahayu Salam

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya, Kota


Makassar dengan tujuan untuk menjelaskan pola pengasuhan anak terkait dengan
relokasi masyarakat nelayan dari Pulau Laelae ke Kelurahan Untia. Pendekatan
kualitatif dengan metode observasi partisipasi dengan wawancara dilakukan untuk
mengamati aktivitas individu yang terkait dengan pola pengasuhan anak pada saat
sebelum dan sesudah relokasi. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan pola
pengasuhan anak yang diterapkan oleh masyarakat nelayan Makassar di Laelae
sebelum dan setelah relokasi ke Kelurahan Untia. Pola pengasuhan sebelum
relokasi lebih kepada otoriter sedangkan setelah relokasi lebih kepada otoratif.
Namun pada dasarnya masyarakat nelayan di Kelurahan Untia memberikan
pengasuhan anak melalui kebiasaan-kebiasaan dalam keluarga dan penanaman
nilai-nilai. Hal tersebut berjalan dengan baik dengan adanya dukungan berupa
fasilitas pendidikan formal dan informal di lingkungan pemukiman Untia. Peran
orang tua terhadap anak tidak terjadi dalam satu arah saja, melainkan dari dua
arah, interaksi antara anak dan orang tua yang selanjutnya mendapatkan pengaruh
dari budaya, lembaga sosial dan pendidikan. Studi kasus komunitas nelayan hasil
relokasi dari Pulau Laelae ke Kelurahan Untia dapat dijadikan role model untuk
perencanaan atau pengembangan kawasan pemukiman nelayan di wilayah lain.

Kata kunci: pengasuhan anak, nelayan, relokasi.


PENDAHULUAN

Pola pengasuhan anak sangat berperan dalam pembentukan karakter anak,

dimana yang bertanggung jawab dalam hal pola pengasuhan tersebut adalah ibu,

ayah, keluarga, kerabat, masyarakat dan lingkungan sekitar. Dalam lingkungan

keluarga, anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting bagi

kehidupannya kemudian yang dipelajari anak melalui model para anggota

keluarga yang ada di sekitar terutama orang tua. Model perilaku keluarga secara

langsung maupun tidak langsung akan dipelajari dan ditiru oleh anak. Anak

memodel orang tua dalam keluarga bersikap, bertutur kata, mengekspresikan

harapan, tuntutan, dan kritikan satu sama lain, menanggapi dan memecahkan

masalah, serta mengungkap perasaan dan emosinya. Model perilaku yang baik

akan membawa dampak baik bagi perkembangan anak demikian juga sebaliknya.

Pola asuh merupakan cara orang tua membesarkan anak dengan memenuhi

kebutuhan anak, memberi perlindungan, mendidik anak, serta mempengaruhi

tingkah laku anak dalam kegiatan sehari-hari. Adapun tujuan orang tua mengasuh

anaknya adalah untuk membentuk kepribadian yang matang. Dengan pola

pengasuhan tersebut maka anak akan belajar tentang peran-peran yang ada dalam

masyarakat seperti nilai-nilai, sikap serta perilaku yang pantas dan tidak pantas,

atau baik dan buruk. Segala pengasuhan yang diberikan sejak masih kecil akan

memberikan nilai terhadap anak.


Pola pengasuhan anak merupakan pola yang diterapkan oleh suatu

masyarakat, termasuk dalam kehidupan masyarakat di sekitar wilayah laut atau

masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang tinggal di

daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara

langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari

nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya,

pedagang ikan, pengolah ikan, suplier fakor sarana produksi perikanan. Dalam

bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata,

penjual jasa trnasportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan

sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.

Masyarakat nelayan menjadi salah satu objek pengamatan yang menarik

untuk dikaji, tidak terkecuali dalam hal pola pengasuhan dengan pembentukan

karakter anak nelayan. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pola

pengasuhan anak dalam masyarakat nelayan juga dipengaruhi oleh strata sosial

nelayan, dalam hal ini adalah punggawa (pemilik kapal) atau nelayan kaya dan

sawi atau nelayan miskin. Orang tua di keluarga nelayan juragan lebih mengarah

menggunakan pola asuh demokratis, sedangkan untuk keluarga nelayan pekerja

dan nelayan pemilik/ miskin menggunakan kombinasi bentuk pola asuh

demokratis dan laissez faire. Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya

dorongan orang tua untuk anak, perhatian, jika ada perbedaan pendapat dilakukan

dengan jalan musyawarah untuk mencari jalan tengah, serta adanya komunikasi

yang baik antara orang tua dengan anak, sedangkan pola asuh laissez faire

mempunyai ciri orang tua memberikan kebebasan kepada anaknya untuk bergaul
atau bermain dan mereka kurang begitu tahu tentang apa yang dilakukan anak

(Budi, 2005:1). Para ibu di kalangan keluarga nelayan sudah cukup mengerti

tentang peranannya sebagai orang tua dalam mengasuh anak, hanya yang perlu

diperhatikan adalah masalah penanaman perilaku kepada anak agar lebih

diperhatikan. Pola asuh orang tua adalah cara yang ditempuh atau yang dilakukan

orangtua dalam mendidik anaknya, dengan harapan anak dapat tumbuh kembang

sesuai apa yang diharapkan keluarga.

Menurut Baumrid, pola asuh terdiri dari empat jenis pola asuh yang

digunakan oleh orang tua dalam mendidik anak-anak yaitu pola asuh otoriter, pola

asuh autoritatif, pola asuh permisif dan Uninvolved parenting style (pola

pengasuhan tidak terlibat). Dari beberapa macam pola asuh tersebut secara garis

besar dapat dijelaskan bahwa perbedaan dalam pola asuh dapat terjadi karena

setiap orang tua memiliki sikap dan nilai- nilai yang berbeda dan akan

mempengaruhi mereka dalam menghadapi anak-anaknya. Proses pengasuhan

bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak

namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orang tua dan

anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial di mana anak

dibesarkan.

Tradisi dan budaya dalam masyarakat nelayan juga memberikan

sumbangsih yang besar terhadap pola pengasuhan anak. Nelayan suku Makassar

memiliki pola-pola bagi tingkah laku dalam bentuk norma, sopan santun, ide, dan

nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi anak-anak mereka. Tradisi dan budaya

nelayan Makassar tidak terlepas dengan aktivitas di laut.


Tulisan ini akan mengangakat studi kasusnya pada masyarakat nelayan

suku Makassar di Perkampungan Nelayan, Kelurahan Untia. Perkampungan

nelayan di Kelurahan Untia merupakan wilayah relokasi nelayan yang

sebelumnya bermukim di pantai Kota Makassar, Pulau Laelae. Pulau Laelae

terletak di pantai barat Kota Makassar dan merupakan pulau yang terdekat dengan

Kota Makassar, yaitu ±1,5 km. Lokasi strategis pulau Laelae menjadikan wilayah

ini menjadi tujuan wisata bagi turis lokal maupun mancanegara yang berwisata di

sekitar Kota Makassar. Hal ini mendorong pemerintah Kota makassar untuk

menjadikan Pulau-Lae- Lae sebagai kawasan wisata yang kemudian mendorong

kebijakan relokasi nelayan di Pulau Laelae ke Kelurahan Untia sejak tahun 1998

secara bertahap.

Kelurahan Untia sebagai daerah relokasi, mendapatkan perhatian lebih dari

pemerintah dan non pemerintah dalam peningkatan kualitas lingkungan terkait

dengan akses pendidikan, kesehatan dan layanan publik. Melaut tidak lagi

menjadi satu-satunya mata pencaharian masyarakat, terdapat beberapa mata

pekerjaan sampingan yang dilakukan untuk menambah penghasilan keluarga yang

tidak jarang melibatkan anak-anak nelayan Untia seperti pekerjaan mengupas biji

mente dan sebagai buruh bangunan.

Masalah dalam perekonomian keluarga nelayan dan rendahnya sumber

daya masyarakat akibat terbatasnya akses pendidikan, kesehatan dam pelayanan

publik sangat mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap pembentukan

kepribadian anak. Beberapa penelitian menyebutkan anak nelayan cenderung

kasar dan tidak sopan (Budi, 2005). Hal yang menarik di Kampung Nelayan Untia
adalah anak-anak terlihat lebih sopan dan ramah, bertentangan dengan beberapa

penelitian sebelumnya terkait dengan pola pengasuhan anak di keluarga nelayan.

Pola pengasuhan anak ditelaah dalam kelompok masyarakat nelayan

terkecil yaitu keluarga dalam hal ini adalah bapak dan ibu. Bapak yang berprofesi

sebagai nelayan memiliki waktu lebih sedikit dalam pengasuhan anak

dibandingkan dengan ibu, sehingga ibu memiliki peranan besar dalam pola

pengasuhan anak. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola pengasuhan

anak, antara lain: 1) faktor eksternal yang dapat mempengaruhi karakter anak

antara lain akses pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik di sekitar wilayah

tempat tinggal mereka. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan

perbedaan hasil pola asuh anak nelayan untia dengan hasil penelitian lainnya

terkait dengan pola pengasuhan anak nelayan, 2) faktor lain yang akan dibahas

adalah perubahan pola asuh yang terjadi pada saat sebelum dan sesudah relokasi

dilakukan akibat perubahan akses wilayah, sarana dan prasarana penunjang bagi

pengasuhan anak. Dengan demikian perlunya suatu pengkajian pola pengasuhan

anak di kampung nelayan, Kelurahan Untia untuk menjelaskan fenomena pola

pengasuhan anak yang terjadi sebelum san setelah relokasi. Pola pengasuhan anak

tidak terlepas dari peran ibu dan keterlibatan ayah, sehingga akan dipaparkan

lebih lanjut dalam tulisan ini.

Menurut Koentjaraningrat (2009:96), benih dari ciri-ciri dari unsur watak

telah tertanam dalam jiwa seorang individu sejak ia masih anak- anak.

Pembentukan watak dalam jiwa individu banyak dipengaruhi oleh pengalamannya

ketika anak-anak diasuh dalam lingkungannya yaitu: ibunya, ayahnya, kakak-


kakaknya, dan individu- individu lain yang biasa mengerumuninya pada waktu

itu. Watak juga sangat ditentukan oleh cara-cara ia sewaktu kecil diajar makan,

diajar kebersihan, disiplin, diajar main dan bergaul dengan anak-anak lain dan

sebagainya. Oleh karena dalam setiap kebudayaan cara pengasuhan anak

didasarkan pada adat dan norma-norma tertentu, maka beberapa unsur watak pada

adat dan norma-norma tertentu, maka beberapa unsur watak yang seragam akan

nampak menonjol pada banyak individu yang telah menjadi dewasa itu.

Secara tradisional, perkembangan psikologis memandang anak-anak

sebagai calon manusia (human becomings), yang kebutuhan alami dan

kematangan kemampuannya melalui tahap-tahap sosialisasi yang terkait dengan

umur, melalui penyerapan pasif dari model yang memberi sedikit perhatian

terhadap pengaruh-pengaruh dari orang dewasa yang memberi perhatian dan

perlindungan (suatu model universal yang memberi sekidit perhatian terhadap

kelas sosial, gender dan etnisitas). Oleh sebab itu pengaruh lingkungan sekitar

sangat menentukan pola pengasuhan yang baik bagi anak.

Anak tumbuh dan berkembang di bawah pengasuhan orang tuanya,

sehingga orang tualah yang bertanggung jawab sebagai lapisan pertama dalam

pembentukan karakter seorang anak. Masa kanak-kanak adalah masa dimana

peran orang tua untuk menanamkan norma-norma kebiasaan maupun sifat-sifat

yang membentuk pola tingkah laku anak sebagai individu dan anggota

masyarakat. Proses belajar bermasyarakat tidak hanya berlangsung hanya pada

masa kanak- kanak saja, akan tetapi akan terus berlanjut pada siklus kehidupan

individu .
Peran orang tua dalam mengasuh anak sangatlah penting. Menurut Safitri

dan Hidayati (2013:14), peran orang tua akan mampu membantu pembentukan

sikap dan perilaku anak menjadi terarah, mandiri, dan mempunyai rasa tanggung

jawab terhadap dirinya sendiri dengan tetap memandang orang tua sebagai sosok

yang dihormati dan patut untuk dijadikan teladan.

METODE

Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya, Kota makassar dipilih sebagai

lokasi penelitian dengan peruntukan wlayah daerah tersebut adalah permukiman

nelayan yang dibuat khusus oleh pemerintah sebagai wilayah relokasi masyarakat

nelayan Laelae, Sulawesi Selatan. Ruang lingkup material dalam penelitian ini

mencakup penanaman nilai-nilai dalam sistem pengasuhan anak nelayan Laelae

pada saat sebelum dan setelah di Kelurahan Untia. Berdasarkan latar belakang

diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana pola

pengasuhan anak di Kampung Nelayan, Kelurahan Untia terkait dengan relokasi

masyarakat nelayan dari Pulau Lae-Lae ke Kelurahan Untia.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif

dengan metode observasi partisipasi dengan wawancara dilakukan untuk

mengamati aktivitas individu yang terkait dengan pola pengasuhan anak di

kampung nelayan, Kelurahan Untia. Data dikumpulkan berupa data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan dari hasil observasi dan

wawancara sedangkan data sekunder didapatkan dari literatur.

PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Kelurahan Untia

Kelurahan Untia merupakan wilayah relokasi penduduk Pulau Laelae

yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Sarana dan

Parasarana lingkungan serta pemukiman penduduk cukup memadai sebagai suatu

wilayah yang memiliki perencanaan sebelumnya.

Kelurahan Untia terletak di bagian barat laut ibu kota Provinsi Sulawesi

Selatan (Kota Makassar). Luas wilayah Kelurahan Untia mencapai 256,80 ha

yang termasuk kedalam Kecamatan Biringkanaya dengan luas wilayah 48,22

Km2 . Kelurahan Untia merupakan kelurahan terkecil dan satu-satunya yang

terletak di daerah pantai dengan ketinggian dibawah 500 m. Kelurahan untia

terdiri dari 14 RT dan 5 RW. Kelurahan Untia mempunyai Hutan bakau/

mangrove yang cukup luas, yaitu 10 ha. Sebagai Perkampungan nelayan, jenis

ikan tangkapan dan budidaya didominasi oleh jenis udang/ lobster yaitu 10

ton/tahun dan rajungan 15 ton/ tahun. Selain hasil bumi di bidang perikanan, hasil

alam lainnya adalah peternakan yaitu sapi dan ayam kampung. Di Kelurahan

Untia juga terdapat terdapat sawah ladang dengan luas 1,2 ha. Kelurahan Untia

dapat ditempuh dengan menggunakan semua jenis transportasi darat. Kelurahan

Untia berjarak sekitar 4 Km atau 2 jam dari Kecamatan ke Ibu Kota Provinsi

dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Menurut data statistik penduduk Kelurahan Untia berdasarkan agama

pada tahun 2015, sebagian besar memeluk agama Islam yaitu 2015 jiwa dan

memeluk agama Kristen 10 jiwa . Masyarakat Kelurahan Untia mempunyai


kesadaran yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari adanya kegiatan

pengajian, yasinan dan arisan rutin yang dilaksanakan oleh ibu-ibu setiap bulan

sekali, memperingati hari-hari besar seperti maulid Nabi Muhammad saw. dan

Isra alMi’raj Nabi Muhammad saw., pengajian umum yang dilaksanakan tiap

sabtu malam di masjid, pengajian TPQ remaja yang dilaksanakan tiap hari di

masjid.Untuk meningkatkan ibadah masyarakat Kelurahan Untia maka

dilengkapilah dengan sarana ibadah antara lain 1 mesjid dan 1 langgar/mushalla.

Sarana dan prasarana lingkungan tersebut meliputi pendidikan, ibadah,

pemerintahan, lembaga kemasyarakatan kelurahan. Masyarakat Kelurahan Untia

Kec. Biringkanaya tidak hanya terdiri darisatu suku saja, namun terdiri dari

berbagai suku diantaranya adalah suku Makassar dan suku Bugis. Penduduk

Kelurahan Untia secara keseluruhan berjumlah 2067 jiwa dengan 405 KK

dengan laki-laki berjumlah 1070 jiwa dan perempuan berjumlah 997 jiwa.

Kepadatan penduduk 794 km2 dengan beragam etnis antara lain suku Makassar

berjumlah 1947 jiwa, suku Bugis berjumlah 94 jiwa, suku Betawi berjumlah 1

orang, suku Jawa berjumlah 5 orang, suku Ambon berjumlah 5 orang dan suku

Flores berjumlah 3 orang.

Masyarakat Kelurahan Untia sadar akan pentingnya pendidikan, apalagi

pendidikan agama, hal ini terlihat pada jumlah penduduk buta aksara dan huruf

latin 50 orang dari 2067 jiwa atau sekitar 2% penduduk Kelurahan Untia.

Sebagian besar masyarakat di Kelurahan Untia berprofesi sebagai Nelayan

(32,08%) kemudian diikuti oleh profesi petani (19,31%) dan buruh tani
(19,31%). Selebihnya berprofesi sebagai pedagang, tukang ojek, tukang batu dan

PNS.

Dalam kehidupan masyarakat Nelayan di Untia, sistem kekerabatan

memegang peranan penting. Tidak ada satu urusan yang tidak melibatkan

sebanyak mungkin anggota keluarga. Hal-hal yang menyangkut siri’, diminta

atau tidak, sudah menjadi kewajiban anggota kerabat untuk berpartisipasi secara

spontan. Terciptanya suatu kekerabatan diawali dengan suatu bentuk perkawinan

yang disebut dengan sialle. Keluarga inti/batih terdiri atas ibu, ayah dan

sipammanakangi. Dalam suatu rumah tangga, tidak hanya keluarga inti atau

batih, tetapi ikut serta saudara atau kemanakan, baik dari pihak ibu maupun ayah,

ipar, bibi atau mertua. Sistem kekerabatan pada masyarakat Makassar Nelayan di

Untia dikenal adanya istilah bija (kerabat). Konsepsi tentang bija mengacu pada

suatu pengertian adanya kelompok-kelompok individu yang terjaring dalam

suatu ikatan kekerabatan dan terbentuk melalui darah dan perkawinan.

Kekerabatan yang terbentuk melalui hubungan darah disebut bija pa’manakkang

yang artinya ikatan kekerabatan yang sangat erat dan terjalin karena adanya

pertalian darah. Di dalamnya terkait hubungan kekerabatan melalui silsilah

keturunan yang berawal dari sepasang nenek moyang. Ada dua golongan bija

pa’manakkang, yaitu bija mareppese (sebutan untuk kerabat dekat) dan bija bella

(sebutan untuk kerabat jauh). Sementara hubungan kekerabatan yang tidak

mempunyai pertalian darah tetapi melalui hubungan perkawinan disebut bija

pa’renrengan, yaitu hubungan kekerabatan istri atau suami.

Masyarakat Nelayan Di Pulau Laelae Kelurahan Untia


Pengembangan kawasan wisata di Kota Makassar menjadi asal muasal

terbentuknya kampung nelayan di Kelurahan Untia.Kawasan wisata yang

dimaksud termasuk pulau-pulau kecil yang memiliki jarak yang dekat dan letak

yang strategis pengembangan ekonomi produktif. Salah satu dari pulau-pulau

tersebut adalah Pulau Laelae. Awal mulanya di Pulau Laelae bermukim

kelompok masyarakat nelayan yang kemudian direlokasi ke suatu kawasan yang

telah disiapkan oleh pemerintah Kota Makassar yaitu Kelurahan Untia.

Relokasi yang dimulai pada bulan Februari dan Maret tahun 1998 bagi 40

KK, namun yang berhasil pindah ke Kampung nelayan di Kelurahan Untia

sampai sekarang ini hanya sekira 140 lebih KK, dan umumnya hanya kepala

keluarga yang status nelayan kecil/ sawi nelayan yang masih bertahan di Pulau

Laelae maupun yang pindah ke Kelurahan Untia atau buruh, sementara para

punggawa masih tetap di Pulau Laelae. Terjadi pemisahan secara fisik

lingkungan geografis, lingkungan sosial budaya dan sumber-sumber ekonomi

lainnya yang selanjutnya mempengaruhi kelangsungan hidup sosial,ekonomi dan

budaya pada kedua komunitas nelayan tersebut. Terdapat kemungkinan

terjadinya kondisi yang transisi terhadap seluruh aspek kehidupann masyarakat.

Namun kebijakan relokasi atau pemindahan warga nelayan dari pulau Laelae ke

Kampung Nelayan di Kelurahan Untia tidak membuat warga pada kedua

komunitas tersebut menjadi putus hubungan dan komunikasi sama sekali, bahkan

hubungan dan kerjasama tetap berjalan baik terkait dengan aktivitas kenelayanan

maupun hubungan dan kerjasama sosial dalam aktivitas sosial seperti pesta

perkawinan, hajatan dan kegiatan sosial lainnya. Lebih dari itu kedua komunitas
yang terpisah tadi justru saling merindukan dan saling mengunjungi satu sama

lain sebagai nostalgia. Artinya bahwa kedua komunitas tersebut memiliki sejarah

masa lalu yang berkesan untuk tetap dijaga dan dipelihara walaupun dipisahkan

oleh jarak, batas administratif dan geografis kelautan yang jauh secara fisik.

Artinya ada kondisi di mana mutualtrust diantara mereka sudah tertaman begitu

lama.

Keterpisahan dan keterhentian lingkungan fisik dan sosial selama lebih

dari 10 tahun tidak membuat masyarakat Laelae yang telah pindah ke Kelurahan

Untia maupun yang masih bertahan di Lae-Lae mengalami dinamika kehidupan

sosial meskipun terdapat perbedaan dalam relasi-relasi sosial termasuk adanya

proses dan adaptasi baru dalam keseharian mereka. Hubungan sosial masyarakat

dari Pulau Laelae dan Kelurahan Untia pada akhirnya menjadi kuat yang

didukung pula oleh hubungan keluarga dan rasa saling membutuhkan dan saling

menguntungkan antara kedua komunitas tersebut. Aktivitas masyarakat nelayan

Pulau Laelae di Kelurahan Untia tidak banyak berubah dari aktivitas masyarakat

nelayan sewaktu masih bermukim di Pulau Laelae.

Di awal perpindahan masyarakat nelayan Pulau Laelae di Kelurahaan

Untia seringkali masyarakat merasa kurang aman akibat adanya ancaman,

ketegangan dan konflik, sehingga ada ketakutan dengan warga penduduk lokal.

Namun sekarang ini hubungan dan kerjasama dengan warga penduduk lokal

sudah berlangsung dengan begitu baik bahkan saat ini sudah sulit dibedakan

antara warga hasil relokasi dan warga penduduk lokal. Hal ini karena proses-

proses sosial yang terjadi mengarah pada proses sosial yang asosiatif seperti
kerjasama, assimilasi, toleransi dalam bentuk perkawinan antara kedua

komunitas, sehingga akan mengarah pada hubungan dan solidaritas yang

mekanik berupa hubungan darah dan kekeluargaan (Suparman, 2014:43).

Masyarakat nelayan Pulau Laelae di Kelurahan Untia sebagian besar

merupakan nelayan miskin yang strata sosialnya sebagai buruh/sawi masih

berhubungan baik dengan para pemilik kapal atau punggawa yang masih

bermukim di Pulau Laelae. Masyarakat nelayan tidak bisa dipisahkan dengan

kawasan pesisir karena terdapat tradisi dan budaya leluhur yang masih mereka

jaga dan junjung tinggi sampai generasi selanjutnya.

Pada umumnya kehidupan di kawasan pesisir jauh dari kelayakan dari

segi ketersediaan fasilitas dan perekonomian, hal ini dirasakan masyarakat

nelayan sewaktu masih bermukim di Pulau Laelae. Sehingga tidak semua dan

tidak selamanya masyarakat tersebut mau tetap hidup di daerah pesisir, sebagian

dari masyarakat nelayan ada yang mau mencoba untuk beralih profesi di

perkotaan.

Masyarakat nelayan di Untia adalah hasil relokasi dari Pulau Laelae.

Sewaktu mereka masih bermukim di Pulau Laelae keadaan sosial ekonominya

cukup rendah sebagai akibat dari ketergantungan hidup pada alam sepenuhnya

dan keterbatasan fasilitas-fasilitas seperti pendidikan, kesehatan, perdagangan,

dan lainlain. Keterbatasan tersebut terkait dengan posisi Pulau Laelae yang harus

ditempuh dengan menggunakan perahu dari Kota Makassar. Pengembangan

kawasan pariwisata yang merencanakan pulau Laelae sebagai salah satu


objeknya membuat pemerintah merencanakan relokasi penduduk ke Kelurahan

Untia. Kelurahan untia telah disiapkan sebagai kampung nelayan dengan

sejumlah fasilitas-fasilitas umum dan sosial untuk menunjang keberlanjutan

hidup para nelayan hasil relokasi. Dengan terjangkaunya fasilitas-fasilitas

pendidikan dan sosial tersebut, terjadi perubahan sosial dan ekonomi dalam

kehidupan masyarakat nelayan.

Hidup di wilayah pesisir memiliki permasalahannya sendiri, seperti

susahnya memperoleh air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

dan juga letak lokasi yang dekat dengan bibir pantai yang sewaktuwaktu terjadi

abrasi pantai yang membahayakan warga (Suryaningsi, 2016:170). Perubahan

kecil terjadi pada aktivitas masyarakat nelayan akibat adanya interaksi sosial

dengan penduduk lokal. Faktor geografis dan interaksi dengan penduduk

setempat di Kelurahan Untia membuat komunitas nelayan tidak lagi

menggantungkan hidupnya sebagai nelayan sepenuhnya. Selain itu terkadang

para nelayan merasa pekerjaan lain tidak membutuhkan modal yang begitu besar

seperti pekerjaan. Adapun beberapa pekerjaan tambahan lain menjadi buruh

bangunan, buruh industri rumahan, sektor jasa angkutan tukang ojek, pengawas

bangunan ataupun pengupas biji mete. al ini di dukung dengan hasil wawancara

dengan salah satu nelayan Bapak Nurdin. “kami sudah tidak sering melaut, karena

kadang kami tidak sanggup beli bahan bakar, mahalki. Lebih baik jadi buruh

bangunan kalau belum ada modal beli bahan bakar.Banyak bahan bakar yang

dipakai karena tidak bisa lagi tangkap ikan disekitar Makassar, ikannya sudah
kurang akibat pengeboman ikan.Cuaca yang tidak menentu juga menghalangi

kami melaut”.

Dalam hal pengasuhan anak, masyarakat pesisir memiliki pola

pengasuhan yang khas yang dipengaruhi oleh kebudayaan setempat dimana

masyarakat nelayan belajar tentang apaapa saja yang harus dilakukan dalam

mengasuh anak, yaitu sejak kelahiran hingga mengantarkan anak ke jenjang

pernikahan.

Masyarakat nelayan Makassar memiliki tahapan pengasuhan anak seperti

pada umumnya yang berlaku dalam Masyarakat suku Makassar. Adapun

tahapan-tahapan pengasuhan anak dalam suku Makassar sejak anak lahir diawali

dengan meletakkan plasenta bayi yang baru lahir di atas kapparak, kemudian tali

pusat digunting oleh dukun beranak. Kemudian plasenta tersebut dimasukkan

dalam periuk tanah bersama asam dan garam. Hal ini dimaksudkan agar sang

anak kelak selalu dapat mempertahankan martabatnya (siri’) dan mempunyai

belas kasihan (pacce), setelah itu periuk dibuang kelaut dengan maksud kelak

memiliki hubungan yang kuat dengan laut dan memiliki pemikiran yang luas.

Setelah Pola Pengasuhan Anak ... Rahayu Salam 542 PB bayi menjatuhkan tali

pusatnya yaitu kira-kira pada saat berumur 7 hari, ibunya dapat turun ke tanah

dan tanggung jawab dukun telah lepas. Kemudian dilaksakan tradisi atturungang

yaitu ibu dimandikan yang dirangkaikan dengan acara syukuran yang dihadiri

oleh kerabat. Setelah acara selesai, dukun yang telah bertugas akan diberikan

bingkisan berisi beras, kelapa, gula dan makanan lainnya, yang dibuat dengan

pasanroang.
Sejak masih kecil, anak dididik untuk bisa membaca Alqur’an demi

meningkatkan jiwa kerohanian sejak dini. Anak-anak akan belajar mengaji

ketika pulang dari sekolah. Orang tua menginginkan anak-anak mereka ketika

pulang dari sekolah, langsung pergi mengaji. Anak-anak pun sangat antusias

untuk melakukannya karena seperti menjadi kewajiban bagi mereka untuk bisa

mengaji seperti dengan kegiatan mereka ketika di sekolah. Dengan demikian

diharapkan pribadi yang religius sudah tertanam dalam diri anak-anak sebagai

bekal mereka ketika beranjak dewasa. Ilmu agama mereka dapat dipraktekkan

dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, harapan dari orang tua adalah

menjadikan anak anak mereka berakhlak mulia, berperilaku baik, dan menjadi

kebanggaan orang tua. Mengaji dilakukan sampai anak-anak mereka tamat

Alquran. Saat anak berumur 5 atau 6 tahun, anak mulai diajarkan mengaji oleh

seorang guru. Anak akan datang sambil membawa hantara yang disimpan dalam

sebuah bakul . Setelah anak dapat mengaji dan menamatkan Alquran maka akan

diadakan syukuran yang disebut nipatammak yang biasanya disatukan dengan

sunatan yang disebut nisunnak pada anak lakilaki dan nikattang pada anak

perempuan.

Ritual-ritual terkait pengasuhan anak di atas masih terjaga dengan baik

sewaktu masyarakat nelayan Makassar masih bermukim di Pulau Laelae. Setelah

relokasi ke Kelurahan Untia, beberapa ritual tersebut mulai tidak dijalankan

seperti semula. Hal ini karena adanya pengaruh dari suku lain yang berbaur

dengan masyarakat yang direlokasi. Suku lain dapat dengan mudah berbaur

dengan masyarakat nelayan Makassar di Kelurahan Untia karena faktor geografis


Kelurahan Untia yang berada sangat dekat dengan Kota Makassar yang dihuni

oleh berbagai suku.

Pola Pengasuhan Anak Nelayan Untia Terkait Dengan Kearifan Lokal

Sebelum Relokasi

Keadaan geografis Pulau Laelae yang dikelilingi oleh lautan dan akses

yang cukup sulit dan keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan dan

kesehatan terbatas. Anak-anak pada saat sebelum relokasi membutuhkan biaya

yang lebih banyak untuk transportasi ke sekolah yang hanya ada di daratan, yang

ditempuh dengan perahu bermotor. Keadaan perekonomian yang sangat

tergantung kepada alam tidak cukup baik menunjang kebutuhan pendidikan

anak-anak mereka. Sehingga masyarakat nelayan di Pulau Laelae berpikir bahwa

melaut dan mengolah hasil laut sebagai pekerjaan yang akan diteruskan kepada

anakanak. Tingkat ketergantungan hidup yang tinggi terhadap laut membuat para

nelayan di Pulau Laelae menganggap jika anak mereka dapat meneruskan

pekerjaan orang tua merupakan suatu kebanggaan. Masyarakat nelayan Laelae

sejak dulu sudah terbiasa mengikutsertakan anak-anak mereka untuk melaut,

dimana selain untuk memberikan pendidikan melaut bagi anak mereka juga

dapat membantu perekonomian keluarga.

Mengatasi persoalan ekonomi yang sering dialami oleh masyarakat

nelayan ketika memasuki musim paceklik, ketika berada di pulau tidak banyak

yang bisa dilakukan selain hanya sersikap pasrah akan keadaan. Nelayan hanya

menunggu cuaca yang baik untuk melaut kembali dan hanya tinggal di rumah
memperbaiki jaring atau peralatan menangkap ikan yang rusak. Selain itu peran

istri nelayan untuk membantu ekonomi suami tidak ada karena keterbatasan

akses untuk berbuat banyak ketika berada di Pulau Laelae.

Tradisi yang terkait dengan melaut diajarkan dan berusaha untuk

diturunkan kepada anak-anak dengan baik, dimana tradisi tersebut 543 PB

dianggap sebagai pedoman dalam hidup. Tradisi terkait dari kelahiran, syukuran,

dan pernikahan dipegang teguh tanpa adanya pengaruh dari luar. Secara turun-

temurun para orang tua memberikan pendidikan melaut dan mengolah hasil laut

bagi anak-anak mereka. Karena keadaan alam dan pengetahuan yang dimiliki

oleh masyarakat nelayan di Pulau Laelae menyebabkan anakanak nelayan di

wilayah tersebut terdidik dengan karakter maritim yang kuat.

Dalam mengasuh anak, masyarakat nelayan tidak hanya memenuhi

kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis

(seperti rasa aman, kasih sayang) termasuk norma-norma yang berlaku di

masyarakat. Masyarakat nelayan di Pulau Laelae juga menyadari bahwa

perlakuan orangtua terhadap seorang anak akan mempengaruhi bagaimana anak

itu memandang, menilai, dan juga mempengaruhi sikap anak tersebut terhadap

orangtua dan juga hubungan antara anak dan orang tua. Kegiatan pendidikan

informal yang berjalan dengan baik sebelum relokasi adalah pendidikan agama

melalui mengaji dan pendidikan agama di keluarga dengan menjalankan sholat

lima waktu baik berjamaah maupun tidak. Walaupun secara sederhana dan

terbatas, orang tua dalam masyarakat nelayan tetap mengutamakan pendidikan

agama sebagai salah satu tiang dari upaya pengasuhan anak.


Pola pengasuhan anak dahulu di Pulau Laelae cenderung kepada pola

pengasuhan anak otoriter, di mana masyarakat nelayan tidak memiliki pilihan

lain selain nelayan sebagai mata pencaharian hidup, hal ini karena terbatasnya

pengaruh dari luar baik dalam hal budaya, teknologi dan informasi.

Pola Pengasuhan Anak Nelayan Untia Terkait Dengan Kearifan Lokal

Setelah Relokasi

Setelah relokasi, melaut tidak lagi menjadi satu-satunya mata pencaharian

hidup masyarakat nelayan di Kelurahan Untia. Kemudahan akses transportasi

membuka peluang untuk melakukan pekerjaan sampingan yang dapat menambah

kekuatan perekonomian masyarakat. Perekonomian yang membaik membuat

masyarakat setempat mampu menyediakan pendidikan formal yang layak pada

anak-anak mereka.Ketersediaan pendidikan formal juga didukung oleh fasilitas

pendidikan yang tersedia di Kelurahan Untia dan jarak yang dekat dengan

fasilitas pendidikan formal lainnya di perkotaan.

Mereka menginginkan pendidikan tinggi anaknya agar kelak anak-

anaknya tidak harus menjadi nelayan dan bisa keluar dari kemiskinan. Apabila

para orangtua nelayan mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya, mereka

berusaha menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, sehingga tidak harus

menjadi nelayan seperti orangtuanya. Masyarakat nelayan Pulau LaeLae di

Kelurahan Untia menganggap pendidikan formal sangat penting.Perekonomian

keluarga digenjot agar pendidikan formal dapat terpenuhi. Anak dan istri nelayan

juga ikut mencari tambahan agar seNelayan di Kelurahan Untia yang bekerja
sebagian besar berada direntang usia 22 tahun-60 tahun. Setelah relokasi ke

Untia, anak-anak tidak dikutkan lagi untuk melaut dengan pertimbangan adanya

lapangan pekerjaan didarat yang tidak memiliki resiko sebesar di laut.

Masyarakat nelayan menganggap, anak yang bekerja di darat lebih aman dengan

upah yang lebih baik. Anakanak nelayan di Kelurahan Untia membantu orang tua

mencari tambahan sepulang sekolah. Anak laki-laki bekerja menjadi buruh

bangunan pada usia remaja sedangkan anak perempuan bekerja sebagai

pengupas biji mete. Mengupas biji mete menjadi pekerjaan sampingan untuk

ibu-ibu dan para remaja di kampung nelayan .Di Kelurahan Untia mengupas biji

mete menjadi salah satu pekerjaan tambahan di sela-sela kesibukan ibu-ibu

mengurus rumah tangga. Upah yang mereka terima untuk mengupas biji mete

adalah 7000/kg dirasakan cukup membantu perekonomian keluarga.mua

kebutuhan hidup termasuk pendidikan formal terpenuhi.

Hutan mangrove yang berada di pesisir pantai Untia dimanfaatkan sebagai

tempat budidaya ikan bandeng. Anak-anak nelayan turut serta menanam

mangrove untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir sebagai tempat budidaya

ikan, sumber mata pencaharian keluarga apabila tidak melaut. Penanaman

mangrove adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang ada di Kelurahan

Untia.Telah terjadi perubahan pandangan hidup masyrakat nelayan kearah yang

lebih baik di bidang pendidikan anak. Masyarakat nelayan di Untia tidak lagi

menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan nomor sekian dalam rumah tangga.

melaut tidak lagi dipandang sebagai satusatunya pekerjaan yang akan

dilakukan oleh anak-anak, sehingga pola pengasuhan otoriter yang tadinya


berlaku mulai bergeser ke pola pengasuhan autoratif dan demokratis. Anak dapat

mengemukakan pendapat tentang pilihan pekerjaan karena akses pendidikan,

teknologi dan komunikasi yang lebih baik. Namun tetap memiliki kearifan lokal

terkait dengan Alam yang menghidupi mereka, yaitu Lautan. Di Kelurahan

Untia, anak-anak mendapatkan pengetahuan menanam mangrove sebagai

tindakan pembudidayaan untuk pelestarian sekaligus sebagai salah satu faktor

untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Orang tua di Kelurahan Untia juga

lebih terbuka terhadap berbagai lembaga dan organisasi yang datang di

Kelurahan Untia untuk turut memberikan sumbangsih terhadap pengasuhan anak

mereka melalui pendidikan informal dan kegiatankegiatan kepemudaan yang

dilaksanakan oleh berbagai pihak di Kelurahan Untia, seperti kegiatan budidaya

mangrove, peningkatan keterampilan remaja, pengentasan buta aksara dan lain-

lain.

Pola perilaku masyarakat Untia dalam mengasuh anak lebih kepada

memberikan contoh yang sesuai dengan perkembangan anak (Pola asuh

autoritatif). Pola pengasuhan ini dapat terjadi dengan adanya dukungan

ketersediaan fasilitasfasilitas yang mendukung tumbuh kembang anak seperti

pendidikan, kesehatan dan sosial. Orang tua mempunyai peranan yang sangat

penting dan mempunyai tanggung jawab yang sangat besar bagi seluruh anggota

keluarganya. Keduanya mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap

pembentukan karakter dan tingkah laku anak.Anak-anak yang masih duduk di

bangku sekolah, diberikan perhatian khusus sampai anak-anak tersebut dapat

mandiri. Ketika sang anak sudah mandiri, orang tua memberikan kebebasan pada
mereka dengan tetap menjaga adat istiadat dan kebudayaan sebagai masyarakat

nelayan Makassar. Secara umum, kedudukan Ayah dan Ibu dalam sistem

pengasuhan anak sama namun masing-masing mempunyi peranan dan fungsi

yang berbeda.

Peranan ayah tidak hanya terbatas pada mencari nafkah untuk keluarga

tetapi juga berperan dalam mengasuh dan mendidik anak. Ayah nelayan di Untia

berpean sebagai kepala keluarga, penyedia fasilitas, pemberi perlindungan dan

pembuatan keputusan. Masyarakat nelayan di Untia percaya bahwa keterlibatan

ayah dalam pengasuhan anak memiliki dampak yang positif bagi tumbuh

kembang anak termasuk dalam kecerdasan dan pencapaian anak dalam belajar.

Ayah lebih diposisikan sebagai panutan dan jati diri anak anaknya. Apabila ayah

seorang pekerja keras maka anak-anak akan menjadikannya panutan dan meniru

kebiasaan-kebiasaan ayah.

Mengatur dan mengelola rumah tangga merupakan tugas utama para ibu

dalam rumah tangga di masyarakat nelayan, yang didalamnya termasuk

mengasuh anak, mendidik dan mejaga anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Peranan ibu dalam mendidik anak lebih kepada pengawasan terhadap pekerjaan

anak. Tidak sedikit para Ibu di Kelurahan untia memiliki peranan ganda juga

ikut mencari nafkah bagi keluarganya. Selain pengaruh dari masuknya budaya

lain di dalam masyarakat nelayan Untia, faktor keadaan sosial ekonomi juga

memberikan pengaruh terhadap pola pengasuhan anak nelayan di Untia. Hasil

wawancara pada masyarakat nelayan dengan tingkat kesejahteraan yang rendah

di Kelurahan Untia menunjukkan pandangan anak sebagai aset dalam membantu


pekerjaaan orangtua di rumah dan membantu mencari nafkah. Sebagian orangtua

merasa senang bila memiliki anak laki-laki sebab bisa membantu ayahnya

mencari nafkah dan bisa meneruskan pekerjaan ayahnya, sedangkan anak

perempuan dapat membantu ibunya dalam pekerjaan rumah tangga. Namun bagi

masyarakat nelayan di Untia yang berkecukupan memandang bahwa anakanak

mereka perlu dibekali dengan pengetahuan lain selain melaut dan bahkan

mengharapkan anak mereka dapat mendapatkan pekerjaan lain yang

pendapatannya lebih besar dari melaut.

Sistem pengasuhan anak dipelajari dan diwariskan dengan anggapan

bahwa sistem pengasuhan yang mereka terapkan membawa anak-anak ke arah

yang positif. Pertumbuhan anak di bawah pengasuhan orangtua, kemudian

beradaptasi dengan lingkungannya dimana orang tua merupakan dasar pertama

bagi pembentukan pribadi anak. Para orangtua di Kelurahan Untia menanamkan

nilai-nilai agama dengan cara memasukkan anak-anak mereka di TPA untuk

belajar membaca Alquran. Hal ini mereka lakukan karena adanya kesadaran

bahwa membaca Alquran adalah hal yang wajib dilakukan bagi setiap

muslim.Terdapat budaya malu apabila anak-anak mereka tidak dapat membaca

Alquran. Dibawah ini beberapa fasilitas pendidikan agama yang ada di Kelurahan

Untia.

Anak yang masih kecil disuruh dengan sedikit pemaksaaan untuk mengaji

atau membaca Alquran. Sedangkan anak yang sudah besar berangkat untuk

mengaji dengan kerelaan dan faktor kebersamaan dengan anak-anak lainnya di

Untia. Karakter anak nelayan Pulau Lae-Lae sebagai hasil dari sistem pengasuhan
anak di Kelurahan Untia cenderung lebih sopan dan dari segi keagamaan lebih

baik dibandingkan anakanak nelayan di Pulau Laelae. Hal ini disebabkan

pendidikan formal dan non formal telah terpenuhi dengan baik di daerah ini.

Anak-anak nelayan di Untia juga lebih aktif di lingkungan sosial, akibat dari

berbagai lembaga sosial yang aktif memberikan penyuluhan dan pendampingan

ke anak-anak nelayan di Untia.

Tradisi yang diturunkan ke anak-anak mulai mengalami pembauran denan

etnis lainnya yang juga bermukim di Kelurahan Untia dan sekitarnya. Tradisi

tersebut yaitu yang meliputi sejak kelahiran hingga pernikahan. Pembauran yang

terjadi berupa kelengkapan tradisi, bahan dan alat yang tidak lengkap atau

digantikan dengan hal lainnya.

Nilai Nilai Yang Terkandung Dalam Hal Pengasuhan Anak

Konsep-konsep umum tentang sesuatu yang di anggap baik, patut, layak

yang keberadaannya di cita-citakan dan diinginkan, di hayati dan dilaksanakan

dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi tujuan bersama dalam masyarakat,

mulai dari unit kesatuan terkecil hingga suku, bangsa dan masyarakat

internasional. Selain itu, nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa

yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk

menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus

melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan

yang dianut oleh masyarakat bersangkutan.


Nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai

pedoman dalam berprilaku sehari-hari dan berguna untuk mencari keseimbangan

dalam tatanan kehidupan yang kemudian salah satunya diwujudkan dalam

bentuk upacara tradisional. Secara khusus upacara tradisional mengandung

kegiatan sosialisasi dimana rasa keterlibatan bersama dari masyarakat

pendukungnya mendorong mereka untuk berperan serta hingga mempertebal

rasa solidaritas kelompoknya. Dari Sistem pengasuhan anak nelayan di Kelurahan

Untia, terdapat beberapa nilai yang terkadung di dalamnya yaitu nilai religi, nilai

regenerasi, nilai kebersamaan, nilai pendidikan, nilai tolong menolong.

Nilai Religi

Pola pengasuhan anak secara tidak langsung mengajarkan kepada anak

bahwa pentingnya untuk belajar ajaran-ajaran agama Islam. Dengan Demikian

secara religius anakanak terbentuk karakternya menjadi anak yang berbudi

pekerti yang baik, berperilaku yang baik, melakukan perbuatan yang tidak

melanggar agama, dan menjauhi larangan-laraganNya. Anak-anak menjadi anak

yang selalu menjaga dirinya dengan baik karena diharapkan kuatnya benteng

iman di dalam dirinya sejak dari dini. Pembiasaan diri untuk beribadah

bersamasama menanamkan nilai religi pada anakanak. Melaksanakan ritual-ritual

keagamaan lainnya dalam siklus kehidupanmanusia (life cycle), seperti upacara

aqiqah yang disertai pengajian ataupun upacara-upacara lainnya yang

mengandung ritual-ritual keagamaan.

Nilai Kebersamaan
Aktivitas keluarga yang selalu dilakukan bersama-sama seperti rutinitas

makan bersama, beribadah bersama, dan waktu kumpul keluarga akan

menanamkan nilai kebersamaan. Nilai kebersamaan, akan memunculkan rasa

tidak mementingkan diri sendiri dan sejumlah nilainilai positif lainnya. Sangat

pentingnya untuk mengatur intensitas pertemuan dengan seluruh anggota

keluarga dan saling mengkomunikasikan segala urusan dan aktivitas mereka

sehari-hari. Kebersamaan yang diharapkan dapat menjalin hubungan yang

senantiasa harmonis, saling membantu dan bekerja sama dan mengatasi setiap

masalah dengan mengutamakan kepentingan bersama dalam keluarga. Selain itu

nilai kebersamaan akan tercipta di lingkungan sekitar permukiman sebagai

bentuk sosailisasi, interaksi dan mengakrabkan diri satu dengan lainnya sehingga

hubungan antar sesama tidak renggang atau putus.

Nilai Ekonomi

Masyarakat nelayan Untia adalah masyarakat yang giat bekerja di bidang

apa saja. Hal ini menurun kepda anak-anak mereka yang melihat orang tuanya

bekerja. Nilai ekonomi dapat terlihat dari kegiatan Ibu-ibu dan remaja putri

mengupas biji mete untuk mendapatkan 547 PB uang tambahan keperluan sehari-

hari. Peran ayah sebagai pencari nafkah tidak berat ketika istri dan anak-anak

mereka turut terlibat dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan

demikian, masalah keuangan lebih bisa diatasi karena pekerjaan yang dilakukan

tidak terfokus hanya pada sektor kelautan saja. Pemenuhan kebutuhan dapat

diperolah di darat juga.


Nilai Pendidikan

Pendidikan diberikan melalui keteladanan dengan orang tua memberikan

contoh yang baik kepada anak dengan membantu orang tua di waktu luang,

mengaji, dan lain-lain. Anak memiliki sifat peniru yang dilakukan orangorang di

sekitarnya terutama orang tuanya. Pendidikan juga bisa diberikan melalui nasihat,

dialog, pemberian penghargaan dan hukuman. Hal tersebut berjalan dengan baik

dengan adanya dukungan pemenuhan fasilitas pendidikan formal dan informal di

lingkungan pemukiman Untia. Peran orang tua terhadap anak tidak terjadi dalam

satu arah saja, melainkan dari dua arah, interaksi antara anak dan orang tua yang

selanjutnya mendapatkan pengaruh dari budaya, lembaga sosial dan pendidikan.

Studi kasus komunitas nelayan hasil relokasi dari Pulau Laelae ke Kelurahan

Untia dapat dijadikan role model untuk perencanaan atau pengembangan

kawasan pemukiman nelayan di wilayah lain.

Nilai Sosial

Kehidupan sosial sangat penting dalam menjalani aktivitas keseharian.

Pola pengasuhan terhadap anak diharapkan membentuk karakter yang senantiasa

mementingkan sikap saling tolong-menolong dengan lingkungan sekitar.

Mengedepankan sikap gotong-royong sejak dini sehingga anak tidak menjadi

egois, hanya mementingkan diri sendiri, namun memiliki jiwa sosial, dermawan,

suka memberi, membantu orang lain, menjaga hubungan dengan orang lain,

sering mengikuti acara yang bersifat sosial kemasyarakatan sehingga nilai-nilai


solidaritas dalam masyarakat tidak hilang sebagai bagian dalam dirinya yang

terbentuk dalam hubungannya secara sosial di masyarakat.

Nilai Kedisiplinan

Nilai kedisiplinan yang terbentuk sejak dini terhadap anak memberikan

dampak yang positif terhadap anak. Anak menjadi tahu untuk bisa menghargai

waktu, bisa mendisiplinkan diri dalam menjalankan segala aktivitas keseharian

mereka. Disiplin dalam membagi waktu antara belajar dan bermain. Demikian

pula dalam menjalani aktivitas membantu orang tua, anak menjadi disiplin dalam

bekerja sehingga segala yang diharapkan dapat selesai tepat waktu. Disiplin di

sekolah dengan guru, teman bermain, disiplin dengan orang tua, lingkungan

sekitar, dan disiplin dalam setiap aktivitas baik di lingkungan sekolah, rumah dan

masyarakat. Dengan demikian nilai kedisiplinan terhadap anak terbentuk dalam

diri mereka menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan mereka.

Nilai Kepedulian

Anak senantiasa peduli dengan lingkungan keluarga, masyarakat, dan

lingkungan alam merupakan suatu bentuk nilai kepedulian. Anak menjadi peka

terhadap situasi yang ada dengan merespon dengan tindakan yang bernilai positif.

Dengan keluarga, anak peduli dengan pekerjaan orang tua, peduli dengan situasi

yang dihadapi keluarga sehingga turun tangan membantu keluarga. Anak

membantu dalam kegiatankegiatan di lingkungannya merupakan bentuk

kepedulian terhadap kehidupan bermasyarakat. Anak peduli dengan membantu

orang lain, menolong orang lain, merupakan bentuk kepedulian anak yang sangat
bernilai positif yang ditunjukkan dalam masyarakat sehingga anak dinilai sebagai

anak yang berbhakti, menciptakan karakter yang disenangi dalam masyarakat.

Anak menjaga lingkungan alam dengan tidak membuang sampah sembarangan,

membersihkan lingkungan sekitar merupakan bentu kepedulian anak terhadap

lingkungan alamnya. Anak menjaga lingkugan laut, menanam mangrove

(membantu orang tua), merupakan bentuk kepedulian terhadap lingkungan laut,

dan menjaga kelestarian laut.

PENUTUP

Keluarga nelayan di Kelurahan Untia menerapkan pola pengasuhan anak

melalui kebiasaan-kebiasaan dalam keluarga dan penanaman nilai-nilai. Pola

asuh yang diterapkan oleh masyarakat nelayan dipengaruhi oleh keadaan

geografis wilayah yang memberikan pengaruh terhadap kemudahan akses

transportasi, teknologi dan informasi, kondisi sosial ekonomi, dan faktor

eksternal berupa perhatian dari masyarakat sekitar dan pemerintah.

Masyarakat nelayan di Pulau Laelae sebelum relokasi menerapkan pola

asuh otoriter yang menekankan bahwa tidak ada pilihan lain untuk bekerja selain

meneruskan pekerjaan orang tua sebagai nelayan. Dan berusaha memberikan

keteladanan dalam menjalani kehidupan sebagai seorang nelayan. Sedangkan

masyarakat nelayan di Untia setelah relokasi menerapkan pola pengasuhan

autoritatif yaitu bersikap demokratis, menghargai dan memahami keadaan anak

dengan kelebihan kekurangannya karena didukung oleh ketersediaan sarana dan

prasarana pendidikan baik formal maupun informal.


Pada dasarnya pola pengasuhan anak yang terjadi sebelum dan setelah

relokasi oleh masyarakat nelayan di Pulau Laelae dan Kelurahan Untia

memberikan contoh yang dapat diteladani oleh anak, bersikap menyayangi anak,

dengan harapan anak akan mengikuti orang tua berbuat hal yang sama, dengan

kata lain semuanya ingi menuju ke arah pertumbuhan anak yang positif. Hal ini

dapat dilihat melalui keseharian anak-anak nelayan dalam berinteraksi dalam

masyarakat nelayan terutama dalam keluarga. Namun faktor pendidikan dan

kesopanan anak setelah relokasi dinilai lebih meningkat oleh para orang tua

sebagai akibat kegiatan sepulang sekolah yang dapat mengontrol energi masa

muda anak-anak mereka. Karakter anak nelayan di Untia cenderung lebih sopan

jika dibandingkan dengan anak-anak nelayan pada umumnya.

Fasilitas-fasilitas yang mendukung tumbuh kembang anak di Kelurahan

Untia lebih memadai dibandingkan sewaktu mereka masih bermukim di Pulau

Laelae. Fasilitas-fasilitas tersebut meliputi pendidikan (TK, SD, SMA, TPA,

PAUD), fasilitas sosial melalui berbagai kegiatan yang diadakan oleh lembaga

sosial, fasilitas kesehatan dengan adanya beberapa posyandu dan dokter praktek

di Kelurahan Untia.

Pendidikan formal yang terjamin sebagai implikasi dari perbaikan

ekonomi yang terjadi setelah pindah ke Kelurahan Untia. Perbaikan ekonomi

terjadi karena nelayan di Untia tidak lagi menggantungkan kehidupan

sepenuhnya pada alam, sebagian dari mereka telah memiliki pekerjaan

sampingan antara lain sebagai buruh bangunan, tukang ojek, berdagang, dll.
Peran orang tua terhadap anak tidak terjadi dalam satu arah saja,

melainkan dari dua arah, interaksi antara anak dan orang tua yang selanjutnya

mendapatkan pengaruh dari budaya, lembaga sosial dan pendidikan. Ayah tidak

hanya berperan sebagai pencari nafkah tapi juga ikut berperandalam mengasuh

dan memberikan pendidikan moral pada anak. Peran ibu juga tidak hanya sebatas

mengasuh dan mengurus rumah tangga, namun ikut membantu suami mencari

tambahanuntuk memenuhi kebutuhan sehari hari termasuk pendidikan yang telah

menjadi perhatian utama di dalam keluarga masyarakat nelayan di Untia.

Studi kasus komunitas nelayan hasil relokasi dari Pulau Laelae ke

Kelurahan Untia dapat dijadikan role model untuk perencanaan atau

pengembangan kawasan pemukiman nelayan di wilayah lain. Terdapat banyak

hal yang menarik untuk di kaji di pemukiman nelayan Kelurahan Untia terkait

dengan kearifan lokal, perekonomian masyarakat, dan sosial budaya.


DAFTAR PUSTAKA

Budi. U. A. 2005. Pola Pengasuhan Anak pada Keluarga Nelayan di Kabupaten

Pekalongan” (Studi Kasus pada 9 Keluarga Nelayan Desa Wonokerto

549 PB Wetan Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan). (Tesis).

Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Iriani. 2012. “Pola Pengasuhan Anak pada Masyarakat Tolaki di Sulawesi

Tenggara” dalam Samsyul Bahri (ed) Sistem Pengetahuan tentang

Pengobatan Tradisional dan Pola Pengasuhan Anak pada Masyarakat di

Sulawesi Tenggara. Makassar: De Lamacca

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Revisi. Jakarta:

Rineka Cipta.
Nikijuluw, Viktor P.H. 2001. “Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

serta Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir Secara terpadu” (Makalah). Bogor: Institut

Pertaninan Bogor

Rahman, Putria Lia dan Elvi Andriani Yusuf. 2012. “Gambaran Pola Asuh

Orangtua pada Masyarakat Pesisir Pantai” dalam Jurnal Predicara.

Volume 1, Nomor 1. Hal: 21-36.

Respati, Winanti Siwi,dkk. 2006. “Perbedaan Konsep Diri antara Remaja Ahir

yang Mempersepsikan Pola Asuh Orang Tua Authoritarian, Permissive

dan Authoritative” dalam Jurnal Psikologi. Volume 4, Nomor 2. Hal:

119-138.

Safitri, Yuhanda, dan Eny Hidayati. 2013. “ Hubungan antara Pola Asuh Orang

Tua dengan Tingkat Depresi Remaja di SMK 10 November Semarang”

dalam Jurnal Keperawatan Jiwa. Volume 1, Nomor 1. Hal: 11-17.

Scott, Jhon (Editor). 2011. Sosiologi The key Concepts. Tim penerjemah Labsos

FISIP UNSOED. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Suparman, 2014, Modal Sosial dalam Diskontinyuitas Komunitas : Studi kasus

Pulau Lae-Lae dan Kampung Nelayan Keluraha Untia Makassar

Sulawesi Selatan, Disertasi, Universitas Negeri Makassar. Makassar

Suryaningsi, Tini. 2016. “Pola Permukiman Nelayan Untia di Kota Makassar”

dalam Jurnal Walasuji. Volume 7, Nomor 1. Hal: 169-183.

Anda mungkin juga menyukai