Anda di halaman 1dari 15

PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA

SEKOLAH YANG MENGALAMI STUNTING DI DESA


SUMUR

Manuscript

Oleh:

Setyawati
NIM : G2A017152

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2021
HALAMAN PERSETUJUAN

Manuskrip dengan judul :

PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA


SEKOLAH YANG MENGALAMI STUNTING DI DESA
SUMUR

Telah diperiksa dan disetujui untuk dipublikasikan

Semarang, Agustus 2021

Semarang, Agustus 2021

Pembimbing

Ns. Eni Hidayati., M.Kep., Sp. Kep.J


PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA
SEKOLAH YANG MENGALAMI STUNTING DI DESA
SUMUR
Setyawati 1 Eni Hidayati 2

1. Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fikkes UNIMUS


setyawati23417@gmail.com
2. Dosen Keperawatan Jiwa Fikkes UNIMUS
eni.hidayati82@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Stunting merupakan kegagalan tumbuh kembang pada anak yang disebabkan
karena kekurangan gizi atau infeksi yang berulang, sehingga tinggi badan anak lebih pendek dari
standar usianya. Anak stunting memiliki perbedaan perilaku dari anak yang normal, biasanya anak
stunting cenderung lebih apatis, aktifitas bermain dan bereksplorasi kurang, serta anak lebih suka
menyendiri. Perkembangan emosi anak stunting pada usia sekolah mengarah pada kemampuan
anak untuk mempunyai pengetahuan dalam mengatur dan mengekspresikan emosinya dengan baik
sebagai bentuk tingkah laku yang dapat diterima di lingkungannya. Perkembangan emosi sangat
berhubungan dengan perkembangan sosial anak. Ketika anak sudah dapat berhubungan sosial
dengan baik dan memiliki emosi yang positif dengan orang lain, maka anak akan lebih mudah
berinteraksi dengan oranglain.
Tujuan: Mengetahui tentang Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Sekolah yang
Mengalami Stunting di Desa Sumur.
Metode: Desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif
kuantitatif. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh anak usia sekolah yang mengalami stunting
di Desa Sumur yang berjumlah 31 anak Adapun teknik dalam pengambilan sampel tersebut adalah
menggunakan teknik total sampling.
Hasil: Berdasarkan Penelitian yang dilakukan di Desa Sumur dapat diketahui bahwa sebagian
besar responden di Desa Sumur memiliki ganguan perkembangan sosial emosional dengan jumlah
22 anak (71 %).
Saran: Orangtua diharapkan untuk dapat memperhatikan, menambah wawasan, tentang dampak
dari stunting, serta perkembangan sosial emosional terlebih kepada anak dengan riwayat stunting.
Kata kunci: Stunting, Perkembangan Sosial Emosional

ABSTRACT
Background: Stunting is a failure to grow and develop in children caused by malnutrition or
repeated infections, so that the child's height is shorter than the standard age. Stunting children
have different behavior from normal children, usually stunted children tend to be more apathetic,
play and explore activities, and children prefer to be alone. The emotional development of
stunting children at the beginning leads to the child's ability to have knowledge in regulating and
expressing their emotions well as a form of behavior that is acceptable in their environment.
Emotional development is closely related to the social development of children. When children are
able to relate well socially and have positive emotions with others, children will easily interact
with other people.
Goal: Understanding social-emotional development of stunted school-age children in Sumur
village.
Methods: This study is designed using type of descriptive and quantitative research. Population in
this research is all stunted school-age children totally 31 children. The technique in taking the
sample is using the total sampling technique.
Results: According to the study that have been done in Sumur village, can be known that most of
respondance in Sumur village that have social emotional development disorder is totally 22
children (71%).
Suggestion : Parents are expected to be able to pay attention and add insight about the impact of
stunting and social-emotional development. Morover for children who have a history of stunting.
Keywords: : Stunting, Social-emotional development

PENDAHULUAN
Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh
pada anak berusia dibawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan
infeksi berulang terutama pada periode 1000 hari pertama kehidupan. Anak
stunting dan anak yang tidak mengalami stunting menunjukkan perbedaan
perilaku yaitu anak stunting lebih apatis, aktifitas bermain dan bereksplorasi
kurang dibandingkan anak yang tidak stunting. Kejadian stunting mempunyai
konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang yang merugikan diantaranya yaitu
berhubungan dengan kognitif, motorik, sosial emosi, menurunnya performa
sekolah dan kapasitas belajar, menurunnya kapasitas kerja dan produktivitas, serta
meningkatnya resiko obesitas (Susmiyati, 2019). Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018 menunjukkan penurunan prevalensi stunting di tingkat nasional
sebesar 6,4% selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2% menjadi 30,8% (2018).
Berdasarkan (Riskesdas, 2013) didapatkan prevalensi status gizi pendek anak usia
sekolah (6 – 12 tahun) di Indonesia sebesar 30,7%. Di Jawa Tengah prevalensi
Stunting anak usia sekolah dasar adalah 34,1 %.
Global Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di
Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Dalam laporan sebelumnya,
Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda
gizi, baik kelebihan maupun kekurangan gizi. Dikawasan Asia Tenggara,
prevalensi stunting di Indonesia merupakan tertinggi kedua, setelah Cambodia.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal pada tahun 2017
prevalensi Stunting pada balita sebesar 32,9%. Prevalensi stunting secara nasional
tahun 2013 adalah 37,2 %. Data tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan
tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,%). Berdasarkn standar WHO angka prevalensi
stunting di Indonesia termasuk masalah kesehatan masyarakat yang berat karena
prevalensinya lebih dari 20% yaitu berada pada angka 30 – 39% (Ministry of
Health Republik Indonesia, 2018). Stunting dapat mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan baik fisik maupun kognitifnya, dan akan berpengaruh terhadap
produktivitas di masa dewasa.
Stunting mempunyai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang yang
merugikan diantaranya yaitu berhubungan dengan kognitif, motorik, sosial emosi,
menurunnya performa sekolah dan kapasitas belajar, menurunnya kapasitas kerja
dan produktivitas, serta meningkatnya resiko obesitas, kemampuan pertumbuhan
yang rendah pada masa berikutnya, baik fisik, motorik, maupun kognitif anak.
Ketika anak mengalami salah satu gangguan tersebut maka perkembangannya
tidak sesuai dengan anak seusianya (Latifa, 2017).
Perkembangan dalam diri individu merupakan hasil dari beberapa proses
yaitu proses biologis (biological processes), proses kognitif (cognitive processes),
dan proses sosial emosional (socio – emotional processes) yang saling
mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain. Perkembangan manusia memiliki
tujuan untuk memahami tentang bagaimana proses berkembang, pada usia 6 – 12
tahun atau sering disebut masa anak usia sekolah (Soetjiningsih, 2018).
Anak usia sekolah merupakan anak yang sedang berada pada periode usia
pertengahan yaitu anak yang berusia 6 – 12 tahun. Anak usia sekolah dianggap
sudah mampu melaksanakan tugas – tugas belajar yang menuntut kemampuan
kognitifnya atau kemampuan intelektualnya seperti membaca, menulis, dan
menghitung. Anak usia sekolah membutuhkan zat gizi yang diperlukan untuk
proses kehidupan, proses pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak. Anak
juga sudah lebih aktif memiliki makanan yang disukai, kebutuhan energi mereka
lebih besar karena anak usia sekolah lebih banyak melakukan aktifitas fisik
(Hardinsyah & Supariasa, 2016).
Perkembangan pada anak usia sekolah meliputi beberapa perkembangan yaitu
perkembangan fisik, motorik, perkembangan intelektual, perkembangan bahasa,
perkembangan emosi (perubahan pengalaman dan pemahaman emosional),
perkembangan sosial (perubahan hubungan sosial), dan perkembangan kesadaran
beragama. Beberapa aspek yang berkembang pesat pada anak usia sekolah adalah
perkembangan bahasa, emosi dan sosial anak (Latifa, 2017).
Bahasa adalah komponen penting untuk kehidupan anak di era komunikasi
global yang tentunya memerlukan bahasa sebagai media komunikasi. Ketika anak
mengalami gangguan bahasa maka akan berdampak pada kemampuan seorang
anak dalam menggunakan informasi serta komunikasi. Selain bahasa, emosi serta
sosial juga berperan penting terhadap perkembangan anak (Silawati, 2016).
Perkembangan emosi pada anak usia sekolah mengarah pada kemampuan
anak untuk mempunyai pengetahuan dalam mengatur dan mengekspresikan emosi
dengan baik seperti ungkapan emosi positif atau emosi negatif, anak dapat
menjalin hubungan dengan anak – anak lain dan orang dewasa. Pada
perkembangan anak emosi memiliki peran dan fungsi yaitu sebagai bentuk
komunikasi dengan lingkungannya, sebagai bentuk kepribadian dan penilaian
anak terhadap dirinya, sebagai bentuk tingkah laku yang dapat diterima
lingkungannya, sebagai pembentuk kebiasaan dan sebagai upaya pengembangn
diri (Suryana, 2018).
Perkembangan emosi sangat berhubungan dengan perkembangan sosial anak.
Ketika anak sudah dapat berhubungan dan memiliki emosi yang positif dengan
orang lain maka anak akan mudah berinteraksi dengan oranglain. Proses
perkembangan sosial terdiri dari tiga proses, yaitu belajar bertingkah laku dengan
cara yang dapat diterima masyarakat, belajar memainkan peran sosial yang ada di
masyarakat, serta mengembangkan sikap sosial terhadap individu lain.
Perkembangan sosial pada anak usia sekolah ditandai dengan luasnya hubungan
atau interaksi anak pada kegiatan pembelajaran dikelas. Selain dengan keluarga,
anak juga dapat menjalin ikatan dengan teman sebaya (Tusyana & Trengginas,
2019). Maka dari itu, perkembangan sosial dan emosi seringkali disebut
perkembangan sosial emosional (M. P. Dewi et al., 2020).
Data dari Riskesdas tahun 2018, disebutkan bahwa prevalensi gangguan
mental emosional di Indonesia menunjukkan angka sebesar 9,8%, data tertinggi
dicapai oleh provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu sebesar 19,8%, sedangkan di Jawa
Tengah sebesar 8,1% (Kemenkes RI, 2018).
METODE
Desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif kuantitatif. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak usia
sekolah yang mengalami stunting di Desa Sumur yang berjumlah 31 anak. Sampel
dari penelitian ini sebanyak 31 responden. Adapun teknik dalam pengambilan
sampel tersebut adalah menggunakan teknik total sampling,

HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik responden
Hasil karaktik responden akan ditunjukan pada tabel dibawah ini:
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan usia, jenis kelamin, tinggi badan,
berat badan, indeks massa tubuh, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan perkembangan
sosial emosional anak usia sekolah di Desa Sumur pada bulan Juni 2021 (n : 31)

Karakteristik Frekuensi Presentase Mean SD Min Maks


Responden (f) (%)

Usia 9,55 1,287 7 12

Tinggi badan 7,71 4,406 1 16

Berat badan 5,58 2,433 1 10

IMT 12,710 1,1577 9,0 16,3

Jenis kelamin

Laki-laki 12 38,7

Perempuan 19 16,3

Pendidikan orang
tua

Tidak sekolah 1 3,2

SD 16 51,6

SMP 9 29,0
Karakteristik Frekuensi Presentase Mean SD Min Maks
Responden (f) (%)

SMA 5 16,1

Pekerjaan orang tua

Bekerja 27 87,1

tidak bekerja 4 28,9

Penghasilan orang 2,26 0,729 1 3


tua

Rp 0 5 16,1

>Rp 1.500.000 13 41,9

<Rp 1.500.000 13 41,9

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Sumur pada Juni 2021


dapat diketahui bahwa rata – rata usia anak sekolah yang mengalami stunting
9,55, dengan usia termuda yaitu 7 tahun dan usia tertua yaitu 12 tahun dengan
standar deviasi 1,287. Jenis kelamin responden sebagian besar adalah
perempuan sebanyak 19 anak (61,3%) dengan tinggi badan responden rata –
rata 7,71 dengan standar deviasi 4,406, sedangkan pada berat badan rata –
rata berat badan anak usia sekolah yang mengalami stunting 5,58 dengan
standar deviasi 2,433. Indeks massa tubuh rata – rata IMT anak usia sekolah
yang mengalami stunting 12,710 dengan standar deviasi 1,1577. Pendidikan
orangtua responden sebagian besar adalah SD sebanyak 16 (51,6%) dan
sebagian besar bekerja dengan jumlah 27 orang (87,1%) yang memiliki
penghasilan kurang lebih dari Rp 1.500.000 adalah 13 orang (41,9%).

2. Karakteristik Perkembangan Sosial Emosional


Dibawah ini adalah tabel distribusi frekuensi gambaran karakteristik
perkembangan sosial emosional.
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Perkembangan Sosial Emosional
Anak Usia Sekolah yang mengalami Stunting.

Perkembangan Sosial Frekuensi Presentase


Emosional (f) (%)
Normal 9 29,0
Gangguan 22 71,0
Jumlah 31 100,0
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan di Desa Sumur dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden di Desa Sumur memiliki ganguan
perkembangan sosial emosional dengan jumlah 22 anak (71 %).

PEMBAHASAN
1. Gambaran karakteristik responden
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Sumur pada Juni 2021
dapat diketahui bahwa rata – rata usia anak sekolah yang mengalami stunting
9,55, dengan standar deviasi 1,287. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Korre, 2016) yang menunjukkan prevalensi stunting sebagian
besar terjadi pada anak usia 9-12 tahun. Berbeda dengan Hasil Riset
Kesehatan Dasar Nasional 2013 menunjukkan bahwa ada kecenderungan
penurunan prevalensi pendek-gemuk (0,8 %) pada balita dari tahun 2010
tetapi berbeda pada usia dewasa (>18 tahun) yang mengalami peningkatan
1,3 % (Riskesdas, 2013). Sementara itu, (Zahraini, 2011) melaporkan bahwa
lebih dari sepertiga ( 36,1% ) anak usia sekolah di Indonesia tergolong
pendek yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis dan terjadinya
penyakit infeksi berulang. Kebiasaan makan yang terbentuk pada usia ini,
serta jenis makanan yang disukai dan tidak disukai, merupakan dasar bagi
pola konsumsi makanan dan asupan gizi  anak pada usia selanjutnya. Anak
usia sekolah mempunyai banyak akses terhadap uang, warung, penjaja
makanan di lingkungan sekolah, toko swalayan, yang menyebabkan
terbukanya pula akses terhadap makanan yang kurang terjamin nilai gizinya
(Widanti, 2017).
Hasil dari jenis kelamin pada anak yang mengalami stunting diketahui
bahwa sebagian besar adalah berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 anak
(61,3%). Hal ini didukung pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
(Akombi, 2017) menunjukkan bahwa jenis kelamin anak adalah salah satu
faktor resiko yang dapat menyebabkan anak mengalami stunting. Namun, hal
tersebut tidak sejalan dengan penelitian (Lestari et al., 2018) yang
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan
kejadian stunting pada anak. Menurut Kamerun (2018) menyebutkan bahwa
anak perempuan lebih berpeluang untuk mengalami stunting dibandingkan
anak laki-laki. Pendapat tersebut juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Ramli, 2016) bahwa jenis kelamin menentukan besar
kecilnya kebutuhan gizi untuk seseorang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Sumur pada Juni 2021
dapat diketahui bahwa pendidikan orangtua responden sebagian besar adalah
SD sebanyak 16 (51,6%), tingkat pendidikan sangat mempengaruhi akan
adanya kejadian stunting, anak – anak yang lahir dari orangtua yang
berpendidikan cenderung tidak mengalami stunting dibandingkan dengan
anak yang lahir dari orangtua yang tingkat pendidikannya rendah. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan Haile yang menyatakan bahwa anak
yang terlahir dari orangtua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih
mudah dalam menerima edukasi kesehatan selama kehamilan, misalnya
dalam pentingnya memenuhi kebutuhan nutrisi saat hamil dan pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan (D. A. M. M. T. and R. R. Haile, 2016). Penelitian
yang dilakukan oleh Larasati juga menyatakan bahwa anak yang terlahir dari
orangtua yang berpendidikan tinggi berpotensi lebih rendah menderita
stunting dibandingkan anak yang memiliki orangtua yang tidak
berpendidikan, dikarenakan orang – orang yang memiliki penididikan lebih
tinggi akan memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih luas jika
dibandingkan dengan orang – orang yamg memiliki pendidikan yang lebih
rendah (Larasati, 2018).
Hasil dari status pekerjaan orang tua pada anak yang mengalami stuting
diketahui bahwa sebagian besar bekerja dengan jumlah 27 orang (87,1%),
stimulasi atau kontak dengan orangtua akan berpengaruh terhadap
perkembangan dan tumbuh kembang anak. Banyak sedikitnya kontak anak
dengan orangtua dapat dilihat dari sisi apakah orangtua lebih banyak dirumah
atau bekerja, jika orangtua tersebut bekerja, maka akan mengurangi ikatan
atau interaksi anatara orangtua dan anak (Dewi S, Novita., Noviawati, Dyah.,
Rahmawati, 2018), menurut (Larasati, 2018) menyatakan bahwa keluarga
yang memadai akan menunjang perilaku anggota keluarga untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan keluarga yang lebih maksimal. Dalam hal
ini termasuk pelayanan kesehatan yang didapatkan keluarga tersebut, hal ini
disebabkan apabila seorang yang mengalami kurang gizi maka secara
langsung akan menyebabkan hilangnya produktifitas kerja karena kekurangan
fisik, menurunnya fungsi kognitif yang akan mempengaruhi tingkat
pendidikan dan tingkat ekonomi keluarganya (Ambarwati, 2019).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi menujukkan hasil bahwa
meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli
pangan dengan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan
akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kualitas
maupun kuantitas (N. Dewi, 2015). Pendapatan keluarga yang memadai akan
menunjang tumbuh kembang, status sosial ekonomi yang rendah dapat dilihat
dari pendapatan yang rendah. Tingginya penghasilan yang tidak diimbangi
dengan pengetahuan gizi yan cukup akan menyebabkan seseorang menjadi
konsumtif falam pola makanannya sehari – hari, sehingga pemilihan suatu
bahan makanan lebih didasarkan kepada pertimbangan selera dibandingkan
aspek gizi, keadaan anak yang tidak mengalami stunting terjadi bila tubuh
memperoleh cukup zat – zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, pertumbuhan otak, kemampuan kerja dan
kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Firdaus, 2018).
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian
yang menunjukkan pendapatan keluarga saat hamil meningkatkan
perkembangan pada anak melalui panjang badan lahir dan stunting sesuai
dengan penelitian terdahulu dan teori yang ada. Sosial ekonomi keluarga
selalu dikaitkan dengan aspek kesehatan dan perkembangan anak yang
berefek pada kehidupan yang akan datang (Rahmawati et al., 2018). Hal ini
didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan (Dakhi, 2019) bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kekayaan rumah tangga dan stunting. Anak-
anak yang memiliki keluarga dengan pendapatan yang tinggi 0,43 kali lebih
kecil kemungkinannya anak mengalami stunting dibandingkan dengan yang
keluarga berpendapatan rendah. Sejalan dengan studi yang dilakukan (D.
Haile et al., 2016) (Haile et al., 2016) bahwa anak-anak dari yang keluarga
miskin memiliki kemungkinan risiko lebih tinggi untuk terjadinya stunting
dibandingkan dengan anak-anak keluarga kaya.
2. Perkembangan Sosial Emosional
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan di Desa Sumur dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden di Desa Sumur memiliki ganguan
perkembangan sosial emosional dengan jumlah 22 anak (71 %).
Perkembangan sosial emosional adalah kemampuan anak dalam mengelola
dan mengekspresikan emosi secara lengkap baik emosi positif maupun emosi
negatif, selain itu anak juga mampu berinteraksi dengan teman sebayanya
atau orang dewasa disekitarnya secara aktif belajar dengan mengeksplorasikn
lingkungannya (Maria & Amalia, 2018). Penelitian lain menyebutkan bahwa
perkembangan sosial emosional adalah proses belajar anak dalam
menyesuaikan diri untuk memahami keadaan serta perasaan ketika
berinteraksi dengan orang – orang dilingkugannya yang diperoleh dengan
cara mendengar, mengamai, dam meniru hal – hal yang dilihatnya (Latifa,
2017).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap Perkembangan Sosial
Emosional Anak Usia Sekolah di Desa Sumur tahun 2021 maka peneliti dapat
menyimpulkan:
1. Karakteristik responden
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Sumur pada Juni 2021
dapat diketahui bahwa rata – rata usia anak sekolah yang mengalami stunting
9,55, dengan usia termuda yaitu 7 tahun dan usia tertua yaitu 12 tahun dengan
standar deviasi 1,287. Jenis kelamin responden sebagian besar adalah
perempuan sebanyak 19 anak (61,3%) dengan tinggi badan responden rata –
rata 7,71 dengan standar deviasi 4,406, sedangkan pada berat badan rata –
rata berat badan anak usia sekolah yang mengalami stunting 5,58 dengan
standar deviasi 2,433. Indeks massa tubuh rata – rata IMT anak usia sekolah
yang mengalami stunting 12,710 dengan standar deviasi 1,1577. Pendidikan
orangtua responden sebagian besar adalah SD sebanyak 16 (51,6%) dan
sebagian besar bekerja dengan jumlah 27 orang (87,1%) yang memiliki
penghasilan kurang lebih dari Rp 1.500.000 adalah 13 orang (41,9%).
2. Perkembangan Sosial Emosional
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan di Desa Sumur dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden di Desa Sumur memiliki ganguan
perkembangan sosial emosional dengan jumlah 22 anak (71 %),
SARAN
Orangtua diharapkan untuk memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
dampak dari kejadian stunting pada anak dan cara mengatasinya serta mampu
mencukupi kebutuhan fisik maupun psikologis anak.

DAFTAR PUSTAKA
Akombi, B. J. A. K. E. H. J. J. M. D. A. B. T. and R. A. M. . (2017). Stunting and
severe stunting among children under-5 years in Nigeria. BMC Pediatrics.
Ambarwati, A. (2019). HUBUNGAN PENDAPATAN KELUARGA DENGAN
KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 2-5 TAHUN DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS.
Dakhi, A. (2019). Hubungan Pendapatan Keluarga, Pendidikan, dan Pengetahuan
Ibu Tentang Gizi Dengan Kejadian Stunting pada Anak Umur 6-23 Bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Jati Makmur Binjai Utara. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Indonesia, VIII, 3–77.
Dewi, M. P., S, N., & Irdamurni, I. (2020). Perkembangan Bahasa, Emosi, Dan
Sosial Anak Usia Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 7(1), 1.
https://doi.org/10.30659/pendas.7.1.1-11
Dewi, N. (2015). HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN
STUNTING. X.
Dewi S, Novita., Noviawati, Dyah., Rahmawati, A. (2018). Hubungan KEejadian
BBLR Dengan Perkembangan Sosial Emosional Anak Pra-sekolah Di RSUD
Sleman Tahun 2018. Child Development: Analysis Of A New Concept.
Firdaus, N. D. (2018). Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga, Tingkat
Penegtahuan Ibu Tentang Stimulasi Perkembangan Anak, dan Tingkat
Pendidikan Ibu dengan Perkembangan Sosial Anak Balita di Kota Madiun.
107–121.
Haile, D. A. M. M. T. and R. R. (2016). Exploring spatial variations and factors
associated with childhood stunting in Eithopia: spatial and multilevel
analysis. BMC Pediatrics.
Haile, D., Azage, M., Mola, T., & Rainey, R. (2016). Exploring spatial variations
and factors associated with childhood stunting in Ethiopia: Spatial and
multilevel analysis. BMC Pediatrics, 16(1), 1–14.
https://doi.org/10.1186/s12887-016-0587-9
Hardinsyah & Supariasa. (2016). Buku 2016_1_TVS.pdf.
Kemenkes RI. (2018). Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017.
Korre, D. (2016). Reaksi Inflamasi Pada Anak Stunted-Obesity Usia.
Larasati, N. N. (2018). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
DI POSYANDU WILAYAH PUSKESMAS WONOSARI II TAHUN 2017
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
STUNTING PADA BALITA USIA 25-59 BULAN DI POSYANDU WILAYAH
PUSKESMAS WONOSARI II.
Latifa, U. (2017). Aspek Perkembangan pada Anak Sekolah Dasar : Masalah dan
Perkembangannya. Journal of Multidisciplinary Studies, 1(2), 185–196.
Lestari, W., Rezeki, S. H. I., Siregar, D. M., & Manggabarani, S. (2018). Faktor
Yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting Pada Anak Sekolah Dasar
Negeri 014610 Sei Renggas Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan.
Jurnal Dunia Gizi, 1(1), 59. https://doi.org/10.33085/jdg.v1i1.2926
Maria, I., & Amalia, E. R. (2018). Perkembangan Aspek Sosial-Emosional dan
Kegiatan Pembelajaran yang Sesuai untuk Anak Usia 4-6 Tahun.
https://doi.org/10.31219/osf.io/p5gu8
Rahmawati, V. E., Pamungkasari, E. P., & Murti, B. (2018). Determinants of
Stunting and Child Development in Jombang District. Journal of Maternal
and Child Health, 03(01), 68–80.
https://doi.org/10.26911/thejmch.2018.03.01.07
Ramli, et al. (2016). Prevalence and Risk Factor for Stunting and Severe
Stunting Among Under Fives in North Maluku Povince of Indonesua. BMC
Pediatrics.
Riskesdas. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
RI tahun 2013. https://doi.org/10.1517/13543784.7.5.803
Silawati, E. (2016). Simulasi Guru pada Pembelajaran Anak Usia Dini. Ilmu
Pendidikan.
Soetjiningsih, C. H. (2018). Perkembangan Anak : Sejak Pembuahan sampai
dengan Kanak - Kanak Akhir (1st ed.). KENCANA.
Suryana, D. (2018). Pendidikan Anak Usia Dini: Stimulasi & Aspek
Perkembangan Anak (Pertama). PRENAMEDIA GROUP.
Susmiyati. (2019). Hubungan Stunting dengan Status Pertumbuhan,
Perkembangan, dan Perilaku Mental Emosional pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Poncol Kota Semarang.
Tusyana, E., & Trengginas, R. (2019). ANALISIS PERKEMBANGAN SOSIAL-
EMOSIONAL TERCAPAI Abstrak. Jurnal Iventa, 3(1), 18–26.
Widanti, Y. A. (2017). Prevalensi, Faktor Risiko, dan Dampak Stunting pada
Anak Usia Sekolah. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 1(1), 23–28.
Zahraini. (2011). Stop Generasi Stunting di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai