Anda di halaman 1dari 33

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A219092

** Pembimbing/ dr. Yunaldi, Sp.THT-KL

EPISTAKSIS

Nur Ramlah Rezi, S.Ked*


G1A219092

Pembimbing :
dr. Yunaldi, Sp.THT-KL**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN THT-KL RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

EPISTAKSIS

Oleh:
Nur Ramlah Rezi, S.Ked
G1A219092

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian/SMF THT-KL RSUD Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan pada


Desember 2021

PEMBIMBING

dr. Yunaldi, Sp.THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang
berjudul “Epistaksis”. Tugas ini bertujuan agar penulis dapat lebih memahami
mengenai teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian THT-KL RSUD Raden Mattaher Jambi dan melihat penerapannya secara
langsung di lapangan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yunaldi,
Sp.THT-KL yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian THT-
KL RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Case Report
Session (CRS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan Case Report Session (CRS). Penulis mengharapkan semoga Case
Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Desember 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................................i
Lembar Pengesahan.......................................................................................................ii
Kata Pengantar.............................................................................................................iii
Daftar Isi.......................................................................................................................iv
BAB I Pendahuluan.......................................................................................................1
BAB II Status Pasien.....................................................................................................2
BAB III Tinjauan Pustaka.............................................................................................8
BAB IV Analisi Masalah.............................................................................................27
BAB V Kesimpulan.....................................................................................................28
Daftar Pustaka..........................................................................................29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis atau mimisan ialah perdarahan dari dalam hidung. Epistaksis bisa
terjadi pada semua usia. Epistaksis ialah gejala bukan merupakan suatu penyakit dan
seringkali membutuhkan penanganan segera.1

Epistaksis merupakan tanda kegawatdaruratan di bidang THT-KL. 60%


penduduk pernah mengalami epistaksis dan 6% diantaranya mencari bantuan medis.
Insiden epistaksis sekitar 108 per 100.000 penduduk per tahun. Epistaksis dijumpai
pada usia dibawah 10 tahun dan usia diatas 40 tahun.2

Epistaksis terdiri dari anterior dan posterior. Epistaksis anterior lebih banyak
terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Epistaksis posterior lebih sering terjadi
pada orang tua dengan perdarahan akut yang berat. Epistaksis disebabkan karena
kelainan lokal yang serius atau penyakit sistemik. Etiologi dari epistaksis harus dicari
tau terlebih dauhulu kemudian dilakukan penatalaksanaan yang tepat.1

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 36 Tahun
Alamat : Telanai Pura
No RM : 752675
Tanggal Pemeriksaan : 16 Desember 2021

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Keluar darah dari kedua hidung sejak ± 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poli THT RSUD Raden Mataher dengan keluhan keluar
darah dari kedua lubang hidung sejak ± 1 hari, keluhan timbul awalnya pada
sore hari setelah pasien berpergian jauh, perdarahan yang keluar sedikit, lalu
berhenti sendiri dengan memencet hidung dan menyumpalnya dengan tisu,
lalu keesokan harinya pasien kembali lagi mimisan, perdarahan yang keluar
juga sedikit dan berhenti dengan memasukkan daun sirih ke dalam hidung.
Badan terasa tidak enak, pasien juga merasa sedikit pusing. Pasien tidak
sedang mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan, riwayat sering mengorek
hidung (-), demam (-), batuk pilek (-)

Riyawat Penyakit Dahulu :

Sebelumnya tidak pernah seperti ini, Hipertensi, DM, dan penyakit kelainan
darah (-), riwayat trauma pada wajah/hidung (-)

2
Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluhan serupa (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan sosial ekonomi


menengah.

C. PEMERIKSAAN

1. Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

TD : 120/90 mmhg

RR : 22 x/menit

Nadi : 98 x/menit

Suhu : 36,6ºC

2. Status Lokalis THT

PEMERIKSAAN FISIK

TELINGA PEMERIKSAAN TELINGA Kanan Kiri


- Daun Telinga
- Anotia/mikrotia/makrotia - -
- Keloid - -
- Perikondritis - -
- Kista - -
- Fistel - -

3
- Ott Hematoma - -

- Liang Telinga
- Atresia - -
- Serumen prop - -

- Epidermis prop - -
- Korpus alineum - -

- Jaringan granulasi - -
- Exocytosis - -
- Osteoma - -
- Ferunkel - -
- Hiperemis - -

- Membrane timpani
- Hiperemis - -
- Retraksi - -
- Bulging - -
- Atropi - -
- Perforasi - -
- Bula - -
- Secret - -

- Retroaurikular
- Fistel - -
- Kista - -
- Abses - -

4
- Preaurikular - -
- Fistel - -
- Kista - -
- Abses

HIDUNG RINOSKOPI ANTERIOR Kanan Kiri


- Vestibulum nasi Hiperemis (-) Hiperem
- Kavum nasi Lapang is (-)
- Selaput lender - Lapang
- Septum nasi Deviasi (-) -
- Lantai+dasar hidung Hiperemis (-) Deviasi
- Konka inferior Hiperemis (-) (-)
- Meatus nasi inferior Hiperemis (-) Hiperemi
- Konka media N s (-)
- Meatus nasi media - Hiperemi
- Korpus alineum - s (-),
- Massa tumor Hiperem
is (-)
-
-
HIDUNG RINOSKOPI POSTERIOR (tidak Kanan Kiri
dilakukan)
- Kavum nasi
- Selaput lender
- Koana
- Septum nasi
- Konka superior
- Meatus nasi media
- Muara tuba
- Adenoid
- Massa tumor
TRANSLUMINASI Kanan Kiri
- Sinus Maxillaris N N
- Sinus Frontalis N N
MULUT Bibir : Jejas (-), massa (-), sianosis (-),
simetris
Lidah gigi : Simetris, papil atrofi (-), stomatitis
(-)
Kelenjar ludah : tidak diperiksa
FARING Uvula : ditengah, simetris, hiperemis (-)
Palatum mole : Hiperemis (-)
Palatum durum : Hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1, warna sama dengan sekitar,
permukaan rata, kripta (-), detritus (-).
Mukosa orofaring : Hiperemis (-), granulasi (-)

5
LARING Pemeriksaan laringoskopi indirek tidak dilakukan
Pangkal lidah :
Epiglottis :
Valekula :
Plika ventrikularis :
Plika vokalis :
Komisura anterior :
Aritenoid :
Massa tumor :
Sinus piriformis :
Trakea :

KEPALA/LEHER Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening

a. Regio I :Pembesaran (-).benjolan (-)

b. Regio II : Pembesaran (-).benjolan (-)

c. Regio III : Pembesaran (-).benjolan (-)

d. Regio IV : Pembesaran (-).benjolan (-)

e. Regio V : Pembesaran (-).benjolan (-)

f. Rego VI : Pembesaran (-).benjolan (-)

g. Area Parotid : Pembesaran (-).benjolan (-)

h. Area postaurikular: Benjolan (-), hiperemis (-)

i. Area occipital : Benjolan (-), hiperemis (-)

j. Area supraklavikula: Benjolan (-), hiperemis (-)

Nb. bila teraba benjolan, deskripsikan benjolan tsb.

6
D. DIAGNOSIS
Diagnosis Banding :

 Epistaksis anterior
 Epistaksis posterior

Diagnosis Kerja :

Epistaksis anterior

E. TERAPI
Tampon hidung dengan adrenalin 1/5000-1/10.000

F. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam : Bonam
Quo Ad Sanationam : Bonam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Hidung

3.1.1 Hidung luar


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagiannya dari atas ke bawah
yaitu dari yang paling atas adalah pangkal hidung (bridge), batang hidung
(dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan yang paling
bawah adalah lubang hidung (nares anterior).1,4

Hidung dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os
nasal, prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau kartilago ala mayor
dan tepi anterior kartilago septum.1,4,8

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Luar5

8
3.1.2 Hidung dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk seperti terowongan dari
depan ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi dan di bagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior atau koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Kavum nasi yang letaknya sama dengan ala nasi, atau lebih tepat di
belakang nares anterior disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh
kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.
Kavum nasi memiliki empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi.
Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang yaitu 1)
lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila dan
4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan yaitu 1) kartilago septum
(lamina kuadran agularis) dan 2) kolumela.
Dinding lateral dari hidung terdapat empat buah konka. Konka
terbesar dan letaknya paling bawah adalah konka inferior, yang lebih kecil
adalah konka media, dan yang lebih kecil lagi adalah konka superior,
sedangkan konka terkecil disebut konka suprema.
Rongga sempit yang terletak diantara konka dengan dinding lateral
hidung disebut meatus, yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus
inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung, kemudian terdapat muara duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak diantara konka media dengan dinding lateral rongga
hidung, kemudian terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Meatus superior terletak di ruang diantara konka superior
dengan konka media dan terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.

9
Batas dari dinding inferior rongga hidung adalah dasar rongga hidung
yang dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior dari hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan
rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan
lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang- lubang yang
merupakan tempat masuknya serabut saraf olfaktorius.
Bagian posterior dari rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.1,4

Gambar 2.2 Anatomi Kavum Nasi6


Kompleks ostiomeatal adalah celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Kompleks ostiomeatal
merupakan unit fungsional yang berfungsi sebagai tempat ventilasi dan
drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid
anterior dan frontal. Obstruksi pada celah yang sempit ini akan menyebabkan
perubahan patologis pada sinus.1,4,8

3.1.3 Perdarahan Hidung


Hidung mendapatkan pasokan perdarahan yang berasal dari sistem
arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna, yaitu untuk dinding lateral
dan dinding medial. Perdarahan dinding lateral dari rongga hidung berasal
dari sistem arteri karotis interna dan merupakan cabang dari a.oftalmika yaitu
a.etmoidalis anterior dan a.etmoidalis posterior. Arteri yang berasal dari

10
sistem a.karotis eksterna terdiri dari cabang dari arteri sfenopalatina yang
terdiri dari a.nasalis lateralis posterior, cabang dari arteri maksilaris yang
terdiri dari a.palatina mayor, cabang dari arteri infraorbitalis yaitu cabang
nasalis yang terdiri dari a.dentalis anterior superior, cabang dari arteri dentalis
anterior superior dan cabang-cabang dari arteri fasialis untuk vestibulum nasi.1

Gambar 2.3 Perdarahan hidung.6

Perdarahan septum nasi berasal dari sistem a.karotis interna ialah


cabang dari a.oftalmika yang tediri dari a.etmoidalis anterior dan a.etmoidalis
posterior. Arteri yang berasal dari a.karotis eksterna ialah cabang dari
a.maksilaris yang terdiri dari a.sfenopalatina dengan cabang-cabang yaitu
a.nasopalatina dan a.nasalis medialis posterior, cabang a.maksilaris yang
terdiri dari cabang septalis a.palatina mayor, cabang a.fasialis yang terdiri dari
cabang septalis a.labialis superior.1

Perdarahan septum nasi pada bagian anterior inferior terdapat empat


arteri anastomosis yaitu a.etmoidalis anterior, cabang septal a.labialis
superior, a.sfenopalatina dan a.palatina mayor.1 Cabang a.sfenopalatina yang
berasal dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus, dan septum.

11
Cabang etmoidalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri oftalmika
menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung.

Pleksus Kiesselbach terletak superficial dan merupakan daerah yang


mudah berdarah jika udara pernapasan kering atau bisa terjadi karena cedera
akibat dikorek. Area ini adalah sumber epitaksis pada anak-anak. Pleksus
Woodruff merupakan pleksus vena yang terletak di bawah ujung posterior
dari konka inferior. Area ini adalah sumber epitaksis posterior pada orang
dewasa.1

Gambar 2.4 Perdarahan hidung6

Vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arteri. Vena pada vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena pada
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
memudahkan penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.4,8

12
3.1.4 Persarafan hidung
Fungsi persarafan ialah sebagai indra penghidu (penciuman). Tersusun
atas reseptor olfaktorius yang tersebar di mukosa olfaktorius pada septum nasi
bagian superior, konka superior dan konka media yang berdekatan dengan
lamina kibrosa.

Persarafan sensorik untuk hidung bearasal dari n.olftalmikus dan


n.maksilaris yang merupakan cabang dari n.trigeminus melalui ganglion
sfenopalatina. Persarafan ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung. Persarafan
ini berperan dalam meneruskan sensasi perabaan, tekanan, suhu pada hidung
ke pusat otak.1,4

Ganglion sfenopalatina juga memberikan persarafan vasomotor atau


otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris
dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.1,4

3.2 Fisiologi Hidung


A. Fungsi respirasi

Udara masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior,


kemudia naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring saat terjadi inspirasi. Aliran udara dari hidung ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh
palut lendir.4

B. Pengatur kondisi udara

13
Hidung berfungsi sebagai penyejuk udara untuk paru-paru. Hidung
menyaring dan memurnikan udara serta menyesuaikan suhu dan kelembaban
sebelum udara masuk ke paru-paru.

1. Filtrasi dan pemurnian.

Vibrissae hidung di pintu masuk hidung berfunsi sebagai filter untuk


menyaring partikel yang lebih besar seperti bulu kapas. Partikel yang lebih
halus seperti debu, serbuk sari, dan bakteri menempel pada lendir yang
menyebar seperti lembaran di seluruh permukaan selaput lendir.

2. Pengontrol suhu udara inspirasi.

Pengatur suhu udara inspirasi diatur oleh membran mukosa hidung.


Membran mukosa berada di konka medial dan konka inferior dan bagian
septum yang berdekatan dan memiliki banyak pembuluh darah dengan rongga
vena kavernosa atau sinusoid yang mengontrol aliran darah, dan berfungsi
untuk meningkatkan atau menurunkan ukuran konka. Membran mukosa ini
berfungsi juga untuk menghangatkan udara dingin.3

3. Humidifikasi.

Hidung berfungsi untuk melembabkan udara atmosfer. Udara menjadi


kering di musim dingin dan lembab di musim panas. Membran mukosa
hidung mengatur kelembaban dari udara yang diinspirasi hingga 75% atau
lebih. Suhu udara diatur sehingga berkisar 37̊ C.3,4

C. Melindungi jalan napas bagian bawah

1. Mekanisme mukosiliar.

Mukosa hidung mengandung kaya akan sel goblet dan kelenjar


sekretori baik mukus maupun serosa. Selimut lendir terdiri lapisan mukus

14
superfisial dan lapisan serosa yang lebih dalam yang mengambang di atas silia
yang berjalan menuju nasofaring. Selimut lendir bergerak dengan kecepatan
5-10 mm/menit dan dibersihkan ke dalam faring setiap 10-20 menit. Bakteri,
virus, dan debu yang terhirup partikel akan terperangkap pada selimut lendir
yang kental dan kemudian dibawa ke nasofaring untuk ditelan. Konka
berfungsi untuk menggandakan luas permukaan untuk melakukan fungsi ini.
Sekitar 600-700 mL sekret hidung diproduksi dalam 24 jam.

2. Enzim dan imunoglobulin.

Sekresi hidung juga mengandung enzim yang disebut muramidase


(lisozim) yang membunuh bakteri dan virus. Imunoglobulin IgA dan IgE dan
interferon juga ada di dalam sekret hidung dan memberikan kekebalan
terhadap infeksi pada saluran pernapasan bagian atas.

3. Bersin.

Bersin adalah refleks pelindung. Partikel asing yang mengiritasi


mukosa hidung yang dikeluarkan dengan bersin. PH sekresi hidung hampir
konstan pada 7. Silia dan lisozim bekerja paling baik pada pH ini. Perubahan
pH hidung karena infeksi atau obat tetes hidung dapat merusak fungsi silia
dan lisozim. Fungsi hidung sangat efisien hingga 500 kaki kubik udara yang
kita hirup dalam 24 jam akan disaring, dilembabkan, disesuaikan dengan suhu
yang tepat dan dibersihkan dari semua debu bakteri dan virus sebelum
mencapai paru-paru.3

D. Fungsi fonetik

Resonansi hidung berfungsi untuk kualitas suara ketika berbicara dan


menyanyi. Sumbatan di hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung juga membantu
proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum

15
mole. Pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.4

E. Fungsi refleks nasal

Mukosa hidung ialah reseptor refleks yang berhubungan dengan


saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi pada kelenjar liur, lambung dan pancreas.4

F. Fungsi penghidu

Hidung berfungsi sebagai indra penghidu dan pengecap, karena


adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi
pengecapan hidung ialah untuk membedakan rasa manis, seperti perbedaan
rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat dan juga untuk membedakan
rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.4

3.3 Epistaksis

3.3.1 Definisi
Epistaksis atau mimisan ialah perdarahan dari dalam hidung.
Epistaksis ialah gejala, bukan suatu penyakit dan sering terjadi sebagai tanda
kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Epistaksis sendiri
dapat terjadi pada semua umur, baik bayi, anak-anak, remaja maupun usia
lanjut. Epistaksis yang ringan dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan
bantuan medis, tetapi untuk epistaksis yang berat ialah masalah
kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.
Epistaksis harus dicari penyebabnya terlebih dahulu baru dilakukan
penanganannya.1,3,4

16
3.3.2 Epidemiologi
Epistaksis merupakan tanda kegawatdaruratan di bidang THT-KL.
60% penduduk pernah mengalami epistaksis dan 6% diantaranya mencari
bantuan medis. Insiden epistaksis sekitar 108 per 100.000 penduduk per
tahun. Di Inggris didapatkan 10,2 per 100.000 pasien epistaksis dengan rata-
rata masa rawatan 2,9 hari dalam 3 bulan dan di Amerika Serikat tercatat 17
per 100.000 penduduk(6%). Insiden tertinggi epistaksis dijumpai pada usia
dibawah 10 tahun dan usia diatas 40 tahun.2

3.3.3 Etiologi
Epistaksis seringkali timbul spontan tanpa dapat diketahui
penyebabnya, terkadang jelas bila disebabkan karena trauma. Epistaksis juga
dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik
maupun idiopatik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara
lingkungan, deviasi nasal septum. Kelainan sistemik seperti penyakit
kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,
kelainan hormonal dan kelainan kongenital.1,3,4

a. Trauma

Epistaksis atau mimisan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya


mengorek hidung dengan jari, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan
ingus terlalu keras, atau bisa juga terjadi akibat trauma yang lebih hebat
seperti karena benturan atau pukulan pada hidung, jatuh atau kecelakaan lalu-
lintas yang menyebabkan fraktur pada wajah. Epistaksis juga bisa terjadi
akibat adanya benda asing tajam atau trauma akibat pembedahan.1,4

b. Kelainan pembuluh darah

17
Epistaksis sering terjadi karena kongenital, seperti pembuluh darah
lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.

c. Infeksi

Epistaksis juga bisa terjadi karena infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rinitis atiau sinusitis. Epistaksis bisa juga terjadi karena infeksi spesifik
seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.

d. Tumor

Epistaksis juga bisa terjadi karena tumor jinak seperti hemangioma


dan papiloma. Epistaksis dapat terjadi karena tumor ganas seperti karsinoma
dan sarcoma, yang lebih sering terjadi pada angiofibroma, karena dapat
menyebabkan epistaksis berat.1,4

e. Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada


arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi
seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.4

f. Kelainan darah

Kelainan darah bisa menjadi penyebab epistaksis antara lain yaitu


leukemia, trombositopenia, defisiensi vitamain K, bermacarn-macam anemia
serta hemofilia.

g. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah


teleangiektiasis hemoragik herediter (hereditary hemonhagic teleangieclasis
atau sindrom Osler-Rendu-Weber disease). Penyakit ini meupakan penyakit
genetik yang ditandai karena pembulih darah abnormal pada kulit, selaput

18
mukosa dan organ tubuh dan sering menyebabkan perdarahan di saluran
cerna.1

h. Infeksi sistemik

Infeksi sistemik akut yang sering menyebabkan epistaksis yaitu


demam berdarah (dengue hemorhagic fever), demam tifoid, influenza dan
morbilli juga dapat disertai epistaksis.

i. Perubahan udara atau tekanan atmosfir

Epistaksis sering terjadi bila seseorang berada di tempat dengan cuaca


yang sangat dingin atau kering. Epistaksis juga dapat disebabkan karena zat-
zat kimia di tempat industri yang dapat menyebabkan keringnya mukosa
hidung.

j. Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.4

3.3.4 Klasifikasi
a. Epistaksis anterior

Epistaksis anterior terbanyak berasal dari pleksus Kiesselbach atau


bagian anterior dinding lateral hidung atau dari arteri etmoidalis anterior.
Epistaksis sendiri sering terjadi pada anak-anak, dan penyebab tersering
adalah trauma karena kebiasaan mengorek hidung sehingga keadaan mukosa
yang hiperemis. Epitaksis anterior biasanya perdarahannya ringan, dan dapat
dihentikan dengan menekan cuping hidung atau kompres dengan es.1,4

19
Gambar 2.5 Epistaksis Anterior7

b. Epistaksis posterior

Epistaksis ini lebih jarang terjadi dibandingkan dengan epistaksis


anterior. Perdarahan berasal dari bagian posterior dinding lateral hidung yaitu
arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina dan seringkali terjadi
perdarahan hebat yang sulit berenti sendiri. Epistaksis ini sulit untuk
menemukan titik perdarahannya. Epistaksis posterior sebagian besar
mengenai orang dewasa di atas 40 tahun. Penderita hipertensi maupun
arteriosclerosis, perdarahan sering timbul spontan dan biasanya berat sehingga
perlu di bawa keruma sakit atau bisa dipasang dengan tampon posterior.1,5

Gambar 2.6 Epistaksis Posterior7

20
Gambar 2.7 Perbedaan epistaksis anterior dan posterior.3

3.3.5 Diagnosa
Penegakkan diagnosis penyebab terjadinya epistaksis diperlukan
serangkaian pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan keadaan umum diperlukan sebelum
melakukan anamnesis untuk mewaapadai adanya kegawatdaruratan:1

1. Lihat keadaan umum pasien apakah dalam keadaan compos mentis, dapat
berjalan sendiri atau tampak lesu, pucat maupun berkeringan dingin.

2. Lihat apakah ada perdarahan aktif.

3. Perhatikan ABC (Airway, Breathing, Circulation).

4. Pasien diperiksa dalam posisi duduk dengan kepala menunduk agar darah
keluar melalui hidung, jangan dibiarkan kepala mengadah keatas karena dapat
masuk ke dalam saluran napas bawah. Pasien dibaringakn dengan posisi
tempat tidur ditinggikan agar darah tidak mengalir kearah tenggorokan jika
dalam keadaan lemah.

21
5. Pasien anak duduk dengan badan dan tangan dipeluk, jika memberontak,
kepalanya dipegang oleh perawat atau keluarga pasien.

a. Anamnesis

Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu


anamnesis yang cermat. Hal-hal penting yang perlu ditanyakan adalah sebagai
berikut:3,8

1. Timbul spontan atau disebabkan oleh trauma.


2. Lokasi perdarahan, apakah darah mengalir dari satu sisi atau kedua sisi
hidung, darah mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak,
3. Durasi dan frekuensi perdarahan.
4. Riwayat perdarahan sebelumnya.
5. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, anemia, leukemia, penyakit jantung,
hati atau ginjal maupaun gangguan perdarahan pada pasien maupun
keluarga pasien.
6. Riwayat pemakaian obat-obatan, seperti antikoagulan dan analgesik.

b. Pemeriksaan THT

Pemeriksaan rongga hidung, mulut maupun tenggorokan


menggunakan lampu kepala dengan spekulum hidung dan spatula lidah.
Epitaksis harus dicari sumber perdarahan, apakah dari anterior maupun
posterior. Darah maupun bekuan darah dapat diisap melalui rongga hidung
menggunakan alat penghisap (suction), selain itu dapat juga dipasang tampon
kapas atau kasa yang dibasahi oleh larutan adrenalin 1/5000 dan
lidokain/pantokain 2% kedalam rongga hidung, kemudian biarkan dalam 10
menit. Keluarkan tampon dan lihat asal darah dari bagian anterior maupun
posterior.1

22
3.3.6 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum,
cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk
mencegah berulangnya perdarahan.4

a. Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di


septum bagian depan. Apabila perdarahan tidak berhenti dengan sendirinya,
dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar pada sisi yang
berdarah dengan 1 jari atau hidung dipencet dengan 2 jari selama 10-15 menit,
untuk mendapatkan efek vasokontriksi dapat juga dibantu dengan kompres
es.1,4

Sumber perdarahan dapat terlihat di pleksus Kiesselbach, titik


perdarahan dikaustik dengan mengoleskan dengan larutan albothyl atau Nitras
Argenti (AgNOs) 25-30%. Kemudian area tersebut diberi krim antibiotik.

Tampon anterior dipasang jika perdarahan masih berlangsung, tampon


dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik.
Pemakaian pelumas ini berguna supaya tampon mudah dimasukkan dan tidak
menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan amaupun dicabut. Tampon
dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat
menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus
dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk rnencari faktor penyebab epistaksis. Tampon
baru dipasang jika perdarahan masih belum berhenti.1,4

23
Gambar 2.5 Pemasangan tampon anterior9

b. Perdarahan posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, karena biasanya


terjadi perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan
rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan
pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini
dapat dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm.
Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi
berlawanan.

Pemasangan tampon posterior pada perdarahan satu sisi, dapat


digunakan bantuan dengan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung
sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Ujung kateter ini
diikatkan dengan 2 benang tampon Bellocq, kemudian kateter ditarik kembali
melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu
didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole
masuk ke nasofaring. Perdarahan masih berlanjut, maka dapat ditambah
tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung
diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya. Benang lain yang keluar dari

24
mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien, berguna untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati dalam mencabut
tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.1,4

Gambar 2.6 Pemasangan tampon posterior9

3.3.7 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena epistaksisnya sendiri maupun akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis. Komplikasi perdarahan yang hebat
dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkans syok, anemia dan gagal ginja. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan
kematian. Pemberian infus atau transfusi darah secepatnya jika hal ini terjadi.

Komplikasi dari pembuluh darah yang terbuka dapat menyebabkan


infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik. Pemasangan tampon juga dapat
menyebabkan rinosinosisits, otitis media, septikemia atau toxic shock
syndrome. Antibiotik diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung, dan

25
setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, jika perdarahan masih berlanjut
dipasang tampon baru.

Komplikasi epistaksis juga dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat


dari mengalirnya darah melalui tuba Eustachius dan air mata berdarah (blood
tears), akibat mengalirnya darah secara retrogad melalui duktus
nasolakrimalis.

Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan


laserasi palatum mole atau sudut bibir, apabila benang yang keluar dari mulut
terlalu dekat dengan pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh
dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung
atau septum.4

3.3.8 Pencegahan perdarahan berulang


Perdarahan sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon,
selanjutnya perlu dicari penyebabnya, kemudian lakukan Pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah,
hemostasis . Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus jika dicurigai ada
sinusitis. Konsul ke dokter spesialis THT-KL, Penyakit Dalam atau Kesehatan
Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.4

26
BAB IV
ANALISIS MASALAH

Pasien datang ke poli THT RSUD Raden Mataher dengan keluhan keluar
darah dari kedua lubang hidung sejak ± 1 hari, keluhan timbul awalnya pada sore
hari setelah pasien berpergian jauh, perdarahan yang keluar sedikit, lalu berhenti
sendiri dengan memencet hidung dan menyumpalnya dengan tisu, lalu keesokan
harinya pasien kembali lagi mimisan, perdarahan yang keluar juga sedikit dan
berhenti dengan memasukkan daun sirih ke dalam hidung. Badan terasa tidak enak,
pasien juga merasa sedikit pusing. Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan
antikoagulan, riwayat sering mengorek hidung (-), demam (-), batuk pilek (-).
Pemeriksaan hidung tidak ditemukan darah.
Maka dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat diambil
diagnosis sementara yaitu epistaksis anterior. Mekanisme epistaksis dari pasien
adalah :
Etiologi

Pecahnya pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior

Epiktaksis
Pasien diberikan terapi berupa pemasangan tampon adrenalin 1/5000-1/10.000
dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan kedalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan mengurangi rasa nyeri pada saat tindakan selanjutnya.
Tampon dibiarkan selama 10-15 menit, setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat
dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.

27
BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis atau mimisan ialah perdarahan dari dalam hidung. Epistaksis


merupakan gejala, bukan suatu penyakit dan sering terjadi sebagai tanda
kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Pada epistaksis yang
ringan dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi untuk
epistaksis yang berat ialah masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila
tidak segera ditangani. Epitaksis harus dicari penyebabnya terlebih dahulu baru
dilakukan penanganannya.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung maupun kelainan
sistemik dan berlokasi pada anterior maupun posterior hidung. Penegakkan diagnosis
penyebab terjadinya epistaksis diperlukan serangkaian pemeriksaan meliputi
pemeriksaan keadaan umum, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari
sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Endiyarti F. Hidung dan Sinus Paranasal. In: Buku Teks


Komprehensif Ilmu THT-KL. Jakarta: EGC; 2019. 229-236 p.
2. Husni T, Hadi Z. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis. J Ked N
Med. 2019;2(2):26–32.
3. Dhingra P, Dhingra S. Disease of Ear, Nose and Throat & Head and Neck
Surgery. 6th ed. Haryana: Elsevier; 2014. 176-180p
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashuruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher FKUI. 7th ed.
Jakarta; 2014. 96 - 100 p.
5. Saladin, Kenneth S. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and
Function, 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2001.
6. Paulsen F, Waschke J.Sobotta: Atlas anatomi manusia: Kepala, leher, dan
neuroanatomi. Edisi ke 23. Jakarta:EGC, 2012
7. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Wijaya
C, Effendi H, editors. Jakarta: EGC; 1997. 224-230 p.
8. James B Snow jr, Ballenger JJ. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.
16th ed. Ontario: BC Decker; 2003. 547-550 p.

29

Anda mungkin juga menyukai