Anda di halaman 1dari 119

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A220030/ Maret 2022


**Pembimbing/ dr. Dian Angraeni, Sp.A, M.Kes

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN ASIANOTIK +


BRONKOPNEUMONIA + SYNDROM DOWN + HERNIA
UMBILIKUS + KONJUNGTIVITIS

Maydina Gusta, S.Ked*


dr. Dian Angraeni, Sp.A, M.Kes **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN ASIANOTIK +


BRONKOPNEUMONIA + SYNDROM DOWN + HERNIA
UMBILIKUS + KONJUNGTIVITIS

Disusun Oleh :
Maydina Gusta, S.Ked
G1A220030

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi Program Studi
Pendidikan Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Maret 2022

PEMBIMBING

dr. Dian Angraeni, Sp.A, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case Report
Session ini dengan judul “Penyakit Jantung Bawaan Asianotik +
Bronkopneumonia + Syndrom Down + Hernia Umbilikus + Konjungtivitis”.
CRS ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Dian Angraeni, Sp.A, M.Kes selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga CRS ini dapat terselesaikan dengan baik dan kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan CRS ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Maret 2022

Maydina Gusta, S.Ked

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ...................................................................................................... 1


Halaman Pengesahan ........................................................................................... 2
Kata Pengantar ...................................................................................................... 3
Daftar Isi................................................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 6
2.1 Anatomi Hidung ........................................................................................ 6
2.2 Fisiologi Hidung dan Sinus..................................................................... 19
2.3 Rhinosinusitis Akut ................................................................................. 22
2.3.1 Definisi ............................................................................................. 22
2.3.2 Epidemiologi .................................................................................... 23
2.3.3 Etiologi ............................................................................................. 24
2.3.4 Faktor Predisposisi ........................................................................... 25
2.3.5 Klasifikasi ........................................................................................ 26
2.3.6 Patofisiologi ..................................................................................... 26
2.3.7 Diagnosis .......................................................................................... 28
2.3.8 Diagnosis Banding ........................................................................... 29
2.3.9 Tatalaksana ....................................................................................... 32
2.3.10 Komplikasi ..................................................................................... 37
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 39

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman Judul ...................................................................................................... 1


Halaman Pengesahan ........................................................................................... 2
Kata Pengantar ...................................................................................................... 3
Daftar Isi................................................................................................................. 4

v
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa


sejak lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir
kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah lengkap, jadi kelainan
pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan.
Penyakit jantung kongenital pada bayi dan anak cukup banyak ditemukan
di Indonesia. Laporan dari berbagai penelitian diluar negeri menunjukkan 6-10
dari 100 bayi lahir hidup mengalami penyakit jantung kongenital. Terjadinya
penyakit jantung kongenital masih belum jelas, namun dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Ada kecenderungan timbulnya beberapa penyakit jantung kongenital
dalam satu keluarga. Pembentukan jantung janin yang lengkap terjadi pada akhir
semester pertama potensial dapat menimbulkan gangguan pembentukan jantung.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah paparan sinar rontgen, trauma fisik dan
psikis, serta minum jamu atau pil KB. Secara garis besar penyakit jantung
kongenital dibagi dalam 2 kelompok, yaitu penyakit jantung kongenital non-
sianotik dan penyakit jantung kongenital sianotik. Penyakit jantung kongenital
non-sianotik merupakan kelompok penyakit terbanyak yakni sekitar 75% dari
semua penyakit jantung kongenital dan sisanya merupakan kelompok penyakit
jantung kongenital sianotik sekitar 25%. Yang termasuk dalam penyakit jantung
kongenital non-sianotik adalah duktus arteriosus persisten (PDA), defek septum
atrium (ASD), defek septum ventrikel (VSD). Penyakit jantung kongenital
sianotik antara lain Tetralogy of Fallot (TOF), transposisi arteri besar (TGA),
double outlet right ventricle (DORV).1, 2
Bronkopneumonia merupakan inflamasi paru yang terfokus pada area
bronkiolus dan memicu produksi eksudat mukopurulen yang dapat
mengakibatkan obstruksi saluran respiratori berkaliber kecil dan menyebabkan
konsolidasi merata ke lobulus yang berdekatan.1 Insiden penyakit ini pada negara
berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan risiko
kematian yang tinggi.2 Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak

1
2

bergantung pada berat-ringannya infeksi. Gejala infeksi umum, yaitu demam,


sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal
seperti mual, muntah, atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi
dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.3 Terapi
pneumonia adalah terapi suportif dan terapi spesifik yang tergantung pada berat
ringannya penyakit, komplikasi dan kuman penyebab pneumonia.1
Sindrom Down (juga disebut trisomi 21) adalah gangguan genetik yang
terjadi pada 1 dari 800 kelahiran hidup. Ini adalah penyebab utama kerusakan
kognitif. Sindrom Down terkait dengan ketidakmampuan belajar ringan sampai
sedang, perkembangan terhambat, ciri wajah dan otot rendah nada awal masa
bayi. Banyak individu dengan sindrom down juga memiliki penyakit jantung,
leukemia, penyakit Alzheimer, masalah gastro-intestinal, dan masalah kesehatan
lainnya. Gejala sindrom Down berkisar dari ringan sampai berat.4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama penderita : By. Raisa Wulandari
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 3 Bulan 20 hari
Tanggal Lahir : 7 November 2021
Nama Ayah : Tn. S
Nama Ibu : Ny. N
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Muaro Jambi
MRS tanggal : 9 Februari 2022

2.2 Anamnesis (15/02/2022) (Alloanamnesis)


Alloanamnesis dengan ibu pasien, pada tanggal 15 Februari 2022
Keluhan Utama : Sesak napas sejak ± 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan : Batuk berdahak sejak ± 2 hari SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang dibawa oleh keluarganya ke IGD Raden Mattaher
dengan keluhan sesak nafas sejak ± 2 hari SMRS, sesak semakin memberat
saat pasien menangis. Sesak pada pasien tampak dari cara bernapas yang
beda dari biasanya dan frekuensi nafas jadi cepat.
Ibunya juga mengatakan os batuk sejak ± 2 hari SMRS. Batuk disertai
dahak berwarna putih. Muntah (+) 2-3 kali dalam sehari, mengeluarkan
cairan berwarna putih sebanyak satu seperempat gelas air mineral, mata
kanan berair, dan kejang (+) 1 kali dengan disertai demam yang naik turun.
± 1 bulan SMRS ibu pasien mengaku bahwa anaknya sering demam
dan juga disertai batuk, dan pernah berobat ke bidan diberikan obat penurun
panas, pilek (-), riwayat tersedak (-), orang dewasa/ tetangga yang batuk

3
4

lama/ konsumsi obat 6 bulan (-), keringat malam (-), pingsan (-). Anak
terlihat rewel dan sering menangis, bibir dan kedua ujung tangan dan kaki
tidak biru saat menangis. Ibu pasien mengatakan bahwa berat badan anak
tidak mengalami peningkatan dan ibu pasien juga mengatakan BAB pasien
seperti kotoran kambing dan kembali normal beberapa hari berikutnya.
Pasien terlihat cepat lelah saat diberi ASI sehingga pemberian ASI
terputus-putus atau sedikit-sedikit, karena pasien belum merasa kenyang,
ibu pasien mengatakan berat badan pasien sulit naik. Bayi lahir prematur
secara seksio sesaria, dan setelah lahir sempat dirawat di NICU dalam
inkubator selama 2 hari, ibu pasien juga mengaku bahwa terdapat benjolan
hilang timbul sejak lahir disekitar pusat anaknya, berukuran ± 3 cm,
benjolan membesar pada saat pasien menangis atau batuk, dan hilang pada
saat tidur/ istirahat, kembung (-), nyeri perut (-), BAB dan BAK normal.

Riwayat penyakit dahulu :


• Riwayat keluhan serupa (-)

Riwayat penyakit keluarga :


• Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-)
• Riwayat penyakit jantung (+) Kakek

Riwayat sosial ekonomi :


• Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara
• Ayah bekerja sebagai wiraswasta
• Ibu bekerja sebagai Ibu rumah tangga

2.3 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


• Riwayat kehamilan dan kelahiran
Masa kehamilan : 31-32 minggu
Partus : Seksio Sesaria
Ditolong oleh : Dokter spesialis kandungan
5

Tanggal : 7 November 2021


Berat badan lahir : 2000 gram
Panjang badan : 50 cm

• Riwayat makanan
ASI :+
Susu Formula : + (Umur 2,5 bulan)
Bubur Nasi :-
Nasi Tim/ Lembek :-
Nasi Biasa :-
Daging, Ikan, Telur :-
Tempe, Tahu :-
Sayuran :-
Buah :-
Kesan :-
• Riwayat imunisasi
- BCG :-
- DPT :-
- Polio :-
- HiB :-
- Campak :-
- Hepatitis B : 1 kali usia 0 bulan.
- Kesan : Imunisasi belum lengkap

• Riwayat pertumbuhan
Berat badan lahir : 2000 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Lingkar kepala lahir : Ibu lupa
Lingkar perut lahir : Ibu lupa
Berat badan : 1800 gram
Panjang badan : 52 cm
Lingkar kepala : 32 cm
6

Lingkar lengan atas : 9 cm


Lingkar perut : 35 cm

• Riwayat perkembangan
Gigi pertama :-
Tengkurap :-
Merangkak :-
Duduk :-
Berdiri :-
Berjalan :-
Berbicara :-
Sering mimpi :-
Aktifitas :-
Membangkang :-
Ketakutan :-
Kesan :-

• Status gizi
Usia 3 bulan dengan berat badan 2 kg dan panjang badan 52 cm.
7

PB/U = < -3 SD Kesan : Perawakan Sangat Pendek (stunted)

BB/U : < -3 SD Kesan : BB sangat kurang


8

BB/PB : < -3 SD Kesan : Gizi Buruk (wasted)


9

Lingkar Kepala/ U : Mikrocephal

• Riwayat penyakit yang pernah diderita


Parotitis :- Muntah berak : -
Pertusis :- Asma :-
Difteri :- Cacingan :-
Tetanus :- Patah tulang :-
Campak :- Jantung :-
Varicella :- Sendi bengkak : -
Thypoid :- Kecelakaan :-
Malaria :- Operasi :-
DBD :- Keracunan :-
Demam menahun : - Sakit kencing : -
Radang paru :- Sakit ginjal :-
10

TBC :- Alergi :-
Kejang :- Perut kembung : -
Lumpuh :- Otitis Media :-
Batuk/pilek : Batuk + 2 hari SMRS

2.4 Pemeriksaan Fisik (10/11/2020)


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5 = 15
b. Pengukuran
Tanda vital à TD :-
Nadi : 117 x/menit,
RR : 60 x/menit
Suhu : 36,1 °C
SpO2 : 100% dengan O2 Headbox 10 lpm
c. Kulit
Warna : Putih pucat
Sianosis :-
Turgor : Kembali cepat

d. Kepala
Bentuk : Mikrocephal
• Rambut
Warna : Hitam, merata, tidak mudah dicabut
Alopesia :-
Lain-lain :-
• Mata
Palpebra : Edema (-/-), cekung (-)
Alis dan bulu mata : Hitam
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
11

Pupil : Isokor, refleks cahaya (+/+)


• Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : (-/-)
Serumen : (+/+) minimal
Nyeri tekan : (-/-)
• Hidung
Bentuk : Simetris, NCH (+)
Sekret : +/+ minimal
Epistaksis : - /-
Lain-lain :-
• Mulut dan Gigi
Bentuk : Simetris
Bibir : Sianosis (-), kering (+)
Karies :-
• Faring
Hiperemis :-
Edema :-
Membran / pseudomembran : -
• Tonsil
Warna : Merah muda
Pembesaran :-
Abses / tidak :-
Membran / pseudomembran : -

e. Leher
Pembesaran kelenjar leher : -
Kaku kuduk :-
Massa :-

f. Thoraks
12

1. Paru
Inspeksi
Gerakan : Dinamis, cepat
Bentuk Pernapasan : Thorakal
Retraksi Interkostal :+
Retraksi Subcosta :+

Palpasi
Nyeri tekan :-
Fraktur iga :-
Krepitasi :-
Tumor :-

Perkusi
Bunyi ketuk : Sulit dinilai
Nyeri ketuk :-

Auskultasi
Bunyi napas pokok : Vesikular (+/+)
Bunyi napas tambahan : Rhonki basah halus nyaring (+/+)

2. Jantung
Inspeksi
Ictus cordis : ICS 4, 1 jari medial garis mid clavicula
Pulsasi jantung :+
Palpasi
Ictus cordis : ICS 4, 1 jari medialgaris mid clavicula
Perkusi
Batas kiri : Sulit dinilai
Batas kanan : Sulit dinilai
Interkostal : Sulit dinilai
13

Auskultasi
Bunyi Jantung
BJ I : Cepat, Regular
Mitral : Kuat, cepat
Trikuspid : Lemah, normal
BJ II : Tunggal pada seluruh siklus pernapasan
Pulmonal : Normal
Aorta : Normal
Bising Jantung
Fase bising : Sistol
Bentuk bising : Ejeksi sistolik
Derajat Bising : 4/6
Punctum maximum : ICS 4 midclavicula
Penjalaran bising : Ke aksila/ lateral
Kualitas bising : Blowing

g. Abdomen
• Inspeksi
Bentuk : Datar, simetris, Hernia umbilicus (+)
• Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Palpasi
Nyeri tekan :-
Nyeri lepas :-
Tugor : Baik
Hepar : Teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Massa : Terdapat benjolan didekat umbilicus berukuran
diameter ± 3 cm, permukaan tampak tidak rata, tepi regular, warna kulit
sama dengan warna kulit sekitar, konsistensi kenyal, nyeri (-), panas (-)
• Perkusi
14

Timpani : (+)
Ascites : (-)
h. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 dtk, edema (-/-), sianosis (-/-),
clubbing finger (-/-)

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Tanda perangsang selaput otak :
- Kaku kuduk : (-)
- Brudzinsky I : (-)
- Brudzinsky II : (-)
- Kernig : (-)

Refleks patologis : Refleks fisiologis :


- Babinsky : (-/-) - Reflek bisep : (+/+)
- Chadook : (-/-) - Reflek trisep : (+/+)
- Gordon : (-/-) - Reflek patella : (+/+)
- Oppenheim : (-/-) - Reflek achilles : (+/+)

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi (9/02/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin 10,3 ↓ g/dL 12-16
Hematokrit 31,6 ↓ % 34.5-54
Eritrosit 3,07 ↓ 1012/L 4,5-5,5
MCV 103 ↑ fL 80-96
MCH 33,5 ↑ Pg 27-31
MCHC 33,3 g/L 32-36
Trombosit 256 109/L 100-300
Leukosit 10,4 ↑ 109/L 4-10
Pemeriksaan Gula darah
GDS 60 mg/dl <200
15

Hitung jenis
Neutrofil 41,7 ↓ % 50-70
Limfosit 50,7 ↑ % 18-24
Monosit 5,05 % 2-11
Eosinofil .179↓ % 1-3
Basofil 2,41↑ % 0-2

Hematologi (13/02/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin 10,2 ↓ g/dL 12-16
Hematokrit 32,6 ↓ % 34.5-54
Eritrosit 3,18 ↓ 1012/L 4,5-5,5
MCV 103 ↑ fL 80-96
MCH 32,1 ↑ Pg 27-31
MCHC 31,2 g/L 32-36
Trombosit 261 109/L 100-300
Leukosit 11,5 ↑ 109/L 4-10
Hitung jenis
Neutrofil 37,5 ↓ % 50-70
Limfosit 52,6 ↑ % 18-24
Monosit 6,05 % 2-11
Eosinofil 1,74 % 1-3
Basofil 2,18 ↑ % 0-2

Hematologi (21/02/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin 9,43 ↓ g/dL 12-16
Hematokrit 29,0 ↓ % 34.5-54
Eritrosit 2,98 ↓ 1012/L 4,5-5,5
MCV 97,4 ↑ fL 80-96
MCH 31,6 ↑ Pg 27-31
MCHC 32,5 g/L 32-36
Trombosit 254 109/L 100-300
Leukosit 14,4 ↑ 109/L 4-10
Hitung jenis
Neutrofil 31,3 ↓ % 50-70
Limfosit 54,7 ↑ % 18-24
16

Monosit 9,20 % 2-11


Eosinofil 2,53 % 1-3
Basofil 2,32 ↑ % 0-2

Hematologi (25/02/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin 9,60 ↓ g/dL 12-16
Hematokrit 28,4 ↓ % 34.5-54
Eritrosit 2,98 ↓ 1012/L 4,5-5,5
MCV 95,4 fL 80-96
MCH 32,2 ↑ Pg 27-31
MCHC 33,8 g/L 32-36
Trombosit 138 109/L 100-300
Leukosit 14,3 ↑ 109/L 4-10
Hitung jenis
Neutrofil 23,0 ↓ % 50-70
Limfosit 64,0 ↑ % 18-24
Monosit 8,60 % 2-11
Eosinofil 2,20 % 1-3
Basofil 2,26 ↑ % 0-2

Pemeriksaan Endokrin (10/02/2022)


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Tiroid
T3 1,08 nmol/L 0,92
T4 87,74 nmol/L 60-120
TSH 16,86 ↑ uIU/mL 0,25-5,0 : Euthyroid
<0,15 : Hyperthyroid
>7,0 : Hypothyroid

Pemeriksaan Endokrin (12/02/2022)


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Tiroid
FT4 14,79 Pmol/L 10,6-19,4

<
17

TSH 3,49 uIU/mL 0,25-5,0 :


Euthyroid
<0,15 :
Hyperthyroid
Pemeriksaan Imuno Serologi (25/02/2022) >7,0 : Hypothyroid
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
CRP Negatif mg/L Negatif

b. Pemeriksaan rontgen (10/02/2022)

<

<

Kesan : Jantung : Normal


Paru : Bronkopneumonia
18

c. Pemeriksaan Echocardiografi (12/02/2022)


19

Kesan :
ASD Sekundum L-R Shunt

2.6 Diagnosis Banding

- Asma
- Bronkhiolitis
- Bronkopneumonia
- ASD
- PJB Sianotik

2.7 Diagnosis Kerja


PJB Asianotik + Bronkopneumonia + Hernia Umbilikalis + Konjungtivitis

2.8 PENATALAKSANAAN
- IVFD D10 1/5 NS 100 cc/ 24 Jam
- O2 Headbox 5-6 L/mnt
- Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
- Inj Aminosteril infant 30 cc/ hari
- Inj Ampicillin 3 x 70 mg
- Inj. Ceftriaxon 1 x 200 mg
- Inj Aminofillin 2 x 5 mg + D5% 2 cc
- Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
- Inj Furosemide 1 x 3 mg
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl 0,9% 2 cc 2 x/ hari dan Nebu Combivent 1 cc + NaCl
0,9% 2 cc 2 x/ hari (selang seling) + Suction post Nebu
- Spironolacton 1 x 2 mg/ NGT
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD OS
- PCT Syrup 1,25 cc bila T > 38 ˚C/ NGT
- Furilex Zalf unt diaper rash
- Captopril 2 x 2 mg
- Diet F100 8 x 30 cc (NGT) + Similac, ibu diet TKTP
- Gendongan Kangguru
20

- Chest Fisioterapi

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

2.9 Follow Up
Tanggal S O A P
BANGSAL
14/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D5 ¼ NS 150 cc/ 24
lemas, umum : Asianotik + Jam
Sesak (+), Tampak Bronkopneu - O2 nasal kanul 2 L/mnt
Batuk (+) sakit monia + - Inj Ampicillin 2 x 125 mg
sedang Syndrom - Inj Furosemide 1 x 2 mg
Kesadaran down dd - Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
: Compos Hipotiroid 0,9% 1 cc 4 x/ hari
mentis, kongenital + - Inj Lasix 2 mg/ hari
GCS : 15 Gagal
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
(E4V5M6) tumbuh +
OS
N : 140 x/i Hernia
- Diet ASI 8 x 40 cc-45 cc/
RR : 45 x/i Umbilikus +
Oral
T : 37,1 ˚C Konjungtivi
SPO2 : 84% tis
dengan NC
2 lpm
BB : 2,1 kg
PB : 52 cm
LK : 31 cm
LP : 39 cm
LILA : 12
cm
15/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - Pasang NGT
21

lemas umum : Asianotik + - IVFD D5 ¼ NS 150 cc/ 24


Batuk (+) Tampak Bronkopneu Jam
Sesekali, sakit monia + - O2 Headbox 5 L/mnt
sesak (+), sedang Syndrom - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sianosis (-), Kesadaran down dd - Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
muntah (-), : Compos Hipotiroid - Inj Furosemide 1 x 2 mg
demam (-), mentis, kongenital +
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
BAB dan GCS : 15 Gagal
0,9% 2 cc 4 x/ hari
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh +
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
N : 130 x/i Hernia
OS
RR : 50 x/i Umbilikus +
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
T : 36,7 ˚C Konjungtivi
38 ˚C
SPO2 : 96% tis
- Diet ASI Adlib/ NGT
dengan O2
Headbox 6
lpm
BB : 2,2 kg
PB : 52 cm
LK : 31 cm
LP : 39 cm
LILA : 12
cm
16/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D5 ¼ NS 150 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Headbox 5 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
sianosis (-), Kesadaran down dd - Inj Furosemide 1 x 2 mg
muntah (-), : Compos Hipotiroid
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
demam (+), mentis, kongenital +
0,9% 2 cc 4 x/ hari
BAB dan GCS : 15 Gagal
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh +
OS
N : 117 x/i Hernia
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
22

RR : 60 x/i Umbilikus + 38 ˚C/ NGT


T : 36,1 ˚C Konjungtivi - Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
2
SPO : tis Similac, ibu diet TKTP
100% - Gendongan Kangguru
dengan O2
Headbox
10 lpm
BB : 2 kg
PB : 52 cm
LK : 31 cm
LP : 39 cm
LILA : 12
cm
17/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D5 ¼ NS 150 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Headbox 5 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
sianosis (-), Kesadaran down dd - Inj Furosemide 1 x 2 mg
muntah (-), : Compos Hipotiroid - Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
demam (+), mentis, kongenital + 0,9% 2 cc 4 x/ hari
BAB dan GCS : 15 Gagal
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh +
OS
N : 128 x/i Hernia
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
RR : 45 x/i Umbilikus +
38 ˚C/ NGT
T : 36,9 ˚C Konjungtivi
- Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
SPO2 : tis
Similac, ibu diet TKTP
100%
- Gendongan Kangguru
dengan O2
Headbox
10 lpm
BB : 2 kg
PB : 52 cm
23

LK : 31 cm
LP : 39 cm
LILA : 12
cm
18/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D5 ¼ NS 150 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Headbox 5 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
sianosis (-), Kesadaran down dd - Inj Furosemide 1 x 2 mg
muntah (-), : Compos Hipotiroid
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
demam (-), mentis, kongenital +
0,9% 2 cc 4 x/ hari
BAB dan GCS : 15 Gagal
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh +
OS
N : 146 x/i Hernia
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
RR : 36 x/i Umbilikus +
38 ˚C/ NGT
T : 37,2 ˚C Konjungtivi
- Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
SPO2 : 97% tis
Similac, ibu diet TKTP
dengan O2
- Gendongan Kangguru
Headbox 8
lpm
BB : 1,8 kg
PB : 52 cm
LK : 31 cm
LP : 39 cm
LILA : 12
cm
19/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D5 ¼ NS 150 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Headbox 5 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
sianosis (-), Kesadaran down dd - Inj Furosemide 1 x 2 mg
24

muntah (-), : Compos Hipotiroid - Nebu Ventolin 1 cc + NaCl


demam (-), mentis, kongenital + 0,9% 2 cc 4 x/ hari (Nebu
BAB dan GCS : 15 Gagal dengan O2 NC) + Suction
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh + post Nebu
N : 146 x/i Hernia - Tobroson eye 2 x1 tetes OD
RR : 36 x/i Umbilikus + OS
T : 37,2 ˚C Konjungtivi - PCT Syrup 1,25 cc bila T >
2
SPO : 97% tis 38 ˚C/ NGT
dengan O2 - Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
Headbox 8 Similac, ibu diet TKTP
lpm - Gendongan Kangguru
BB : 1,9 kg
PB : 52 cm
LK : 31 cm
LP : 39 cm
LILA : 12
cm
20/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D5 ¼ NS 150 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Headbox 5 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
sianosis (-), Kesadaran down dd - Inj Furosemide 1 x 2 mg
muntah (-), : Compos Hipotiroid - Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
demam (-), mentis, kongenital + 0,9% 2 cc 4 x/ hari (Nebu
BAB dan GCS : 15 Gagal dengan O2 NC) + Suction
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh +
post Nebu
N : 136 x/i Hernia
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
RR : 38 x/i Umbilikus +
OS
T : 37 ˚C Konjungtivi
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
SPO2 : 98% tis
38 ˚C/ NGT
dengan O2
- Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
Headbox 8
Similac, ibu diet TKTP
25

lpm - Gendongan Kangguru


BB : 1,9 kg
PB : 52 cm
LK : 31 cm
LP : 39 cm
LILA : 12
cm
21/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD DS ¼ NS 150 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Headbox 5-6 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Aminosteril infant 20 cc/
sianosis (-), Kesadaran down dd hari
muntah (-), : Compos Hipotiroid - Inj Aminofillin 2 x 5 mg +
demam (-), mentis, kongenital + D5% 2 cc
BAB dan GCS : 15 Gagal
- Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh +
- Inj Furosemide 1 x 2 mg
N : 128 x/i Hernia
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
RR : 40 x/i Umbilikus +
0,9% 2 cc 4 x/ hari + Suction
T : 36,7 ˚C Konjungtivi
post Nebu
SPO2 : 98% tis
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
dengan O2
OS
Headbox 6
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
lpm
38 ˚C/ NGT
BB : 1,8 kg
- Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
PB : 52 cm
Similac, ibu diet TKTP
LK : 31 cm
- Gendongan Kangguru
LP : 39 cm
LILA : 12
cm
22/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D10 1/5 NS 100 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Headbox 5-6 L/mnt
26

Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT


sesak (+), sedang Syndrom - Inj Aminosteril infant 25 cc/
sianosis (-), Kesadaran down dd hari
muntah (-), : Compos Hipotiroid - Inj Aminofillin 2 x 5 mg +
demam (-), mentis, kongenital + D5% 2 cc
BAB dan GCS : 15 Gagal - Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh + - Inj Furosemide 1 x 2 mg
N : 140 x/i Hernia
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
RR : 50 x/i Umbilikus + 0,9% 2 cc 4 x/ hari + Suction
T : 37 ˚C Konjungtivi
post Nebu
SPO2 : tis
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
100%
OS
dengan O2
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
Headbox 6
38 ˚C/ NGT
lpm
- Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
BB : 1,8 kg
Similac, ibu diet TKTP
PB : 52 cm
- Gendongan Kangguru
LK : 31 cm
- Chest Fisioterapi
LP : 39 cm
LILA : 12
cm
23/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D10 1/5 NS 100 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Headbox 5-6 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Aminosteril infant 25 cc/
sianosis (-), Kesadaran down dd hari
muntah (-), : Compos Hipotiroid - Inj Aminofillin 2 x 5 mg +
demam (-), mentis, kongenital + D5% 2 cc
BAB dan GCS : 15 Gagal
- Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh +
- Inj Furosemide 1 x 3 mg
N : 110 x/i Hernia
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
RR : 42 x/i Umbilikus +
0,9% 2 cc 2 x/ hari + Suction
27

T : 37 ˚C Konjungtivi post Nebu


2
SPO : 99% tis - Spironolacton 1 x 2 mg/ NGT
dengan O2 - Tobroson eye 2 x1 tetes OD
Headbox 6 OS
lpm - PCT Syrup 1,25 cc bila T >
BB : 1,9 kg 38 ˚C/ NGT
PB : 52 cm - Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
LK : 31 cm Similac, ibu diet TKTP
LP : 39 cm - Gendongan Kangguru
LILA : 12
- Chest Fisioterapi
cm
24/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D10 1/5 NS 100 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Headbox 5-6 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Aminosteril infant 30 cc/
sianosis (-), Kesadaran down dd hari
muntah (-), : Compos Hipotiroid - Inj Aminofillin 2 x 5 mg +
demam (-), mentis, kongenital + D5% 2 cc
BAB dan GCS : 15 Gagal - Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
BAK spontan (E4V5M6) tumbuh +
- Inj Furosemide 1 x 3 mg
N : 110 x/i Hernia
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
RR : 42 x/i Umbilikus +
0,9% 2 cc 2 x/ hari + Suction
T : 37 ˚C Konjungtivi
post Nebu
SPO2 : 99% tis
- Spironolacton 1 x 2 mg/ NGT
dengan O2
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
Headbox 6
OS
lpm
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
BB : 1,9 kg
38 ˚C/ NGT
PB : 52 cm
- Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
LK : 31 cm
Similac, ibu diet TKTP
LP : 39 cm
- Gendongan Kangguru
LILA : 12
- Chest Fisioterapi
28

cm
25/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D10 1/5 NS 100 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Nasal Canul 2 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Aminosteril infant 30 cc/
sianosis (-), Kesadaran down + hari
muntah (-), : Compos Gagal - Inj Aminofillin 2 x 5 mg +
demam (-), mentis, tumbuh + D5% 2 cc
BAB dan GCS : 15 Gizi buruk
- Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
BAK spontan (E4V5M6) + Hernia
- Inj Furosemide 1 x 3 mg
N : 128 x/i Umbilikus +
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
RR : 40 x/i Konjungtivi
0,9% 2 cc 2 x/ hari dan Nebu
T : 37 ˚C tis
Combivent 1 cc + NaCl 0,9%
SPO2 :
2 cc 2 x/ hari (selang seling) +
100%
Suction post Nebu
dengan O2
- Spironolacton 1 x 2 mg/ NGT
Nasal
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
Canul 2
OS
lpm
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
BB : 2 kg
38 ˚C/ NGT
PB : 52 cm
- Diet ASI 8 x 30 cc (NGT) +
LK : 31 cm
Similac, ibu diet TKTP
LP : 39 cm
- Gendongan Kangguru
LILA : 12
cm
- Chest Fisioterapi

26/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D10 1/5 NS 100 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Nasal Canul 2 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Aminosteril infant 30 cc/
sianosis (-), Kesadaran down + hari
muntah (-), : Compos Gagal - Inj Ampicillin 3 x 70 mg
29

demam (+), mentis, tumbuh + - Inj. Ceftriaxon 1 x 200 mg


BAB dan GCS : 15 Gizi buruk - Inj Aminofillin 2 x 5 mg +
BAK spontan (E4V5M6) + Hernia D5% 2 cc
N : 130 x/i Umbilikus + - Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
RR : 49 x/i Konjungtivi - Inj Furosemide 1 x 3 mg
T : 37,6 ˚C tis - Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
SPO2 : 0,9% 2 cc 2 x/ hari dan Nebu
100% Combivent 1 cc + NaCl 0,9%
dengan 2 cc 2 x/ hari (selang seling) +
Nasal Suction post Nebu
Canul 2
- Spironolacton 1 x 2 mg/ NGT
lpm
- Tobroson eye 2 x1 tetes OD
BB : 2 kg
OS
PB : 52 cm
- PCT Syrup 1,25 cc bila T >
LK : 31 cm
38 ˚C/ NGT
LP : 39 cm
- Furilex Zalf unt diaper rash
LILA : 12
- Captopril 2 x 2 mg
cm
- Diet F100 8 x 30 cc (NGT) +
Similac, ibu diet TKTP
- Gendongan Kangguru
- Chest Fisioterapi
27/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D10 1/5 NS 100 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Nasal Canul 2 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Aminosteril infant 30 cc/
sianosis (-), Kesadaran down + hari
muntah (-), : Compos Gagal - Inj Ampicillin 3 x 70 mg
demam (+), mentis, tumbuh + - Inj. Ceftriaxon 1 x 200 mg
BAB dan GCS : 15 Gizi buruk
- Inj Aminofillin 2 x 5 mg +
BAK spontan (E4V5M6) + Hernia
D5% 2 cc
N : 128 x/i Umbilikus +
- Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
RR : 40 x/i Konjungtivi
30

T : 38,5 ˚C tis - Inj Furosemide 1 x 3 mg


2
SPO : - Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
100% 0,9% 2 cc 2 x/ hari dan Nebu
dengan Combivent 1 cc + NaCl 0,9%
Nasal 2 cc 2 x/ hari (selang seling) +
Canul 2 Suction post Nebu
lpm - Spironolacton 1 x 2 mg/ NGT
BB : 2 kg - Tobroson eye 2 x1 tetes OD
PB : 52 cm OS
LK : 31 cm - PCT Syrup 1,25 cc bila T >
LP : 39 cm 38 ˚C/ NGT
LILA : 12
- Furilex Zalf unt diaper rash
cm
- Captopril 2 x 2 mg
- Diet F100 8 x 30 cc (NGT) +
Similac, ibu diet TKTP
- Gendongan Kangguru
- Chest Fisioterapi
28/02/2022 Anak tampak Keadaan PJB - IVFD D10 1/5 NS 100 cc/ 24
lemas umum : Asianotik + Jam
Batuk (+) Tampak Bronkopneu - O2 Nasal Canul 2 L/mnt
Sesekali, sakit monia + - Feruit Drop 1 x 0,2 cc/ NGT
sesak (+), sedang Syndrom - Inj Aminosteril infant 30 cc/
sianosis (-), Kesadaran down + hari
muntah (-), : Compos Gagal - Inj Ampicillin 3 x 70 mg
demam (-), mentis, tumbuh +
- Inj. Ceftriaxon 1 x 200 mg
BAB dan GCS : 15 Gizi buruk
- Inj Aminofillin 2 x 5 mg +
BAK spontan (E4V5M6) + Hernia
D5% 2 cc
N : 139 x/i Umbilikus +
- Inj Ceftazidim 2 x 125 mg
RR : 55 x/i Konjungtivi
- Inj Furosemide 1 x 3 mg
T : 36,8 ˚C tis
- Nebu Ventolin 1 cc + NaCl
SPO2 :
0,9% 2 cc 2 x/ hari dan Nebu
100%
Combivent 1 cc + NaCl 0,9%
dengan
31

Nasal 2 cc 2 x/ hari (selang seling) +


Canul 2 Suction post Nebu
lpm - Spironolacton 1 x 2 mg/ NGT
BB : 2 kg - Tobroson eye 2 x1 tetes OD
PB : 52 cm OS
LK : 31 cm - PCT Syrup 1,25 cc bila T >
LP : 39 cm 38 ˚C/ NGT
LILA : 12 - Furilex Zalf unt diaper rash
cm - Captopril 2 x 2 mg
- Diet F100 8 x 30 cc (NGT) +
Similac, ibu diet TKTP
- Gendongan Kangguru
- Chest Fisioterapi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Atrial Septal Defect (ASD)


3.1.1 Definisi
Defek septum atrial atau Atrial Septal Defect (ASD) adalah gangguan
septum atau sekat antara rongga atrium kanan dan kiri atau lubang abnormal pada
sekat yang memisahkan kedua belah atrium sehingga terjadi pengaliran darah dari
atrium kiri yang bertekanan tinggi ke dalam atrium kanan yang bertekanan
rendah. Septum tersebut tidak menutup secara sempurna dan membuat aliran
darah atrium kiri dan kanan bercampur.3

3.1.2 Epidemiologi
Di Indonesia belum ada angka yang pasti mengenai kejadian PJB.
Literatur yang ada menunjukkan prevalensi 0,5-0,8% pada kelahiran hidup.
Dengan mengacu hal tersebut, pada tahun 2005 diperkirakan antara 24.000
sampai 38.000 bayi dilahirkan dengan penyakit jantung bawaan. Sementara itu,
Surabaya merupakan kota terpadat di Jawa Timur dengan jumlah penduduk
pertengahan tahun 2005 mencapai 2.698.972, dengan angka kelahiran 43.978.
Dengan demikian kejadin PJB diperkirakan antara 220 sampai 352 pada tahun
tersebut.5
Prevalensi kelahiran di Amerika serikat untuk atrium septal defect berkisar
antara 13,63 dan 100,18 per 10.000 kelahiran (national Birth Defects Prevention
Network 2005). Rata-rata di Texas untuk tahun 1992-2002 adalah 40,12 kasus per
10.000 kelahiran.6
3.1.3 Anatomi dan Fisiologi
Secara fisiologi, jantung adalah salah satu organ tubuh yang paling vital
fungsinya dibandingkan dengan organ tubuh vital lainnya. Dengan kata lain,
apabila fungsi jantung mengalami gangguan maka besar pengaruhnya terhadap
organ-organ tubuh lainya terutama ginjal dan otak. Karena fungsi utama jantung
adalah sebagai single pompa yang memompakan darah ke seluruh tubuh untuk
kepentingan metabolisme sel-sel demi kelangsungan hidup.7
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan :
1. Epikardium,yaitu bagian luar otot jantung atau pericardium visceral.
2. Miokardium, yaitu jaringan utama otot jantung yang bertanggung jawabatas
kemampuan kontraksi jantung.
3. Endokardium, yaitu lapisan tipis bagian dalam otot jantung atau lapisan tipis
endotel sel yang berhubungan langsung dengan darah dan bersifat sangat licin
untuk aliran darah, seperti halnya pada sel-sel endotel pada pembuluh darah
lainnya.7
Katup Jantung
Katup jatung terbagi menjadi 2 bagian, yaitu katup yang menghubungkan
antara atrium dengan ventrikel dinamakan katup atrioventrikuler, sedangkan katup
yang menghubungkan sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal dinamakan katup
semilunar. Katup atrioventrikuler terdiri dari katup trikuspid yaitu katup yang
menghubungkan antara atrium kanan dengan ventrikel kanan, katup
atrioventrikuler yang lain adalah katup yang menghubungkan antara atrium kiri
dengan ventrikel kiri yang dinamakan dengan katup mitral atau bicuspid. Katup
semilunar terdiri dari katup pulmonal yaitu katup yang menghubungkan antara
ventrikel kanan dengan pulmonal trunk, katup semilunar yang lain adalah katup
yang menghubungkan antara ventrikel kiri dengan asendence aorta yaitu katup
aorta.7
Katup berfungsi mencegah aliran darah balik ke ruang jantung sebelumnya
sesaat setelah kontraksi atau sistolik dan sesaat saat relaksasi atau diastolik. Tiap
bagian daun katup jantung diikat oleh chordae tendinea sehingga pada saat
kontraksi daun katup tidak terdorong masuk keruang sebelumnya yang bertekanan
rendah. Chordae tendinea sendiri berikatan dengan otot yang disebut muskulus
papilaris.7

Gambar 3.1.1 Katup Jantung7


Ruang, Dinding & Pembuluh Darah Besar Jantung
Jantung kita dibagi menjadi 2 bagian ruang, yaitu :
- Atrium (serambi)
- Ventrikel (bilik)
Karena atrium hanya memompakan darah dengan jarak yang pendek,
yaitu ke ventrikel. Oleh karena itu otot atrium lebih tipis dibandingkan dengan
otot ventrikel. Ruang atrium dibagi menjadi 2, yaitu atrium kanan dan atrium kiri.
Demikian halnya dengan ruang ventrikel, dibagi lagi menjadi 2 yaitu ventrikel
kanan dan ventrikel kiri. Jadi kita boleh mengatakan kalau jantung dibagi menjadi
2 bagian yaitu jantung bagian kanan (atrium kanan & ventrikel kanan) dan jantung
bagian kiri (atrium kiri & ventrikel kiri).
Kedua atrium memiliki bagian luar organ masing-masing yaitu auricle.
Dimana kedua atrium dihubungkan dengan satu auricle yang berfungsi
menampung darah apabila kedua atrium memiliki kelebihan volume.
Kedua atrium bagian dalam dibatasi oleh septal atrium. Ada bagian septal
atrium yang mengalami depresi atau yang dinamakan fossa ovalis, yaitu bagian
septal atrium yang mengalami depresi disebabkan karena penutupan foramen
ovale saat kita lahir.
Ada beberapa ostium atau muara pembuluh darah besar yang perlu anda
ketahui yang terdapat di kedua atrium, yaitu :
- Ostium Superior vena cava, yaitu muara atau lubang yang terdapat diruang
atrium kanan yang menghubungkan vena cava superior dengan atriumkanan.
- Ostium Inferior vena cava, yaitu muara atau lubang yang terdapat di atrium
kanan yang menghubungkan vena cava inferior dengan atriumkanan.
- Ostium coronary atau sinus coronarius, yaitu muara atau lubang yang
terdapat di atrium kanan yang menghubungkan sistem vena jantung dengan
atrium kanan.
- Ostium vena pulmonalis, yaitu muara atau lubang yang terdapat di atrium
kiri yang menghubungkan antara vena pulmonalis dengan atrium kiri yang
mempunyai 4 muara.7
Bagian dalam kedua ruang ventrikel dibatasi oleh septal ventrikel, baik
ventrikel maupun atrium dibentuk oleh kumpulan otot jantung yang mana bagian
lapisan dalam dari masing-masing ruangan dilapisi oleh sel endotelium yang
kontak langsung dengan darah. Bagian otot jantung di bagian dalam ventrikel
yang berupa tonjolan-tonjolan yang tidak beraturan dinamakan trabecula. Kedua
otot atrium dan ventrikel dihubungkan dengan jaringan penghubung yang juga
membentuk katup jatung dinamakan sulcus coronary, dan 2 sulcus yang lain
adalah anterior dan posterior interventrikuler yang keduanya menghubungkan dan
memisahkan antara kiri dan kanan kedua ventrikel.
Perlu diketahui bahwa tekanan jantung sebelah kiri lebih besar
dibandingkan dengan tekanan jantung sebelah kanan, karena jantung kiri
menghadapi aliran darah sistemik atau sirkulasi sistemik yang terdiri dari
beberapa organ tubuh sehingga dibutuhkan tekanan yang besar dibandingkan
dengan jantung kanan yang hanya bertanggung jawab pada organ paru-paru saja,
sehingga otot jantung sebelah kiri khususnya otot ventrikel sebelah kiri lebih tebal
dibandingkan otot ventrikel kanan.7

Gambar 3.1.3 Bagian interior Jantung7


Pembuluh Darah Besar Jantung
Ada beberapa pembuluh besar yang perlu anda ketahui, yaitu :
1. Vena cava superior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari
bagian atas diafragma menuju atrium kanan.
2. Vena cava inferior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari
bagian bawah diafragma ke atrium kanan.
3. Sinus Coronary, yaitu vena besar di jantung yang membawa darah kotordari
jantung sendiri.
4. Pulmonary Trunk, yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah kotor
dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis
5. Arteri Pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang membawa
darah kotor dari pulmonary trunk ke kedua paru-paru.
6. Vena pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang membawa
darah bersih dari kedua paru-paru ke atrium kiri.
7. Assending Aorta, yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah bersih
dari ventrikel kiri ke arkus aorta ke cabangnya yang bertanggung jawab
dengan organ tubuh bagian atas.
8. Desending Aorta,yaitu bagian aorta yang membawa darah bersih dan
bertanggung jawab dengan organ tubuh bagian bawah.7

Gambar 3.1.3 Pembuluh Darah pada Jantung7


Sirkulasi Jantung
- Sirkulasi Sistemik
Darah masuk ke atrium kiri dari vena pulmonalis. Darah di atrium kiri
mengalir ke dalam ventrikel kiri melewati katup atrioventrikel (AV), yang
terletak di taut atrium dan ventrikel kiri. Katup ini disebut katup mitral. Semua
katup jantung membuka jika tekanan dalam ruang jantung atau pembuluh yang
berada di atasnya lebih besar dari tekanan di dalam ruang atau pembuluh yang
adadi bawah.
Aliran keluar darah dari ventrikel kiri adalah menuju sebuah arteri besar
berotot yang disebut aorta. Darah mengalir dari ventrikel kiri ke aorta melalui
katup aorta. Darah di aorta disalurkan ke seluruh sirkulasi sistemik, melalui
arteri, arteriol, dan kapiler, yang kemudian menyatu kembali untuk membentuk
vena. Vena dari bagian bawah tubuh mengembalikan darah ke vena terbesar ,
vena cava inferior. Vena dari bagian atas tubuh mengembalikan darah ke vena
cava superior.Kedua vena cava bermuara di atrium kanan.8
Sirkulasi Paru
Darah di atrium kanan mengalir ke ventrikel kanan melalui katup AV
lainnya, yang disebut katup tricuspid. Darah keluar dari ventrikel kanan dan
mengalir melewati katup ke empat, katup pulmonalis, ke dalam arteri pulmonalis.
Arteri pulmonalis bercabang-cabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri
yang masing-masing mengalir ke paru kanan dan kiri berturut-turut. Di paru,
arteri pulmonalis bercabang berkali-kali menjadi arteriol dan kemudian kapiler.
Masing-masing kapiler memperfusi alveolus yang merupakan unit pernafasan.
Semua kapiler menyatu kembali untuk menjadi venula, dan venula menjadi vena.
Vena-vena menyatu untuk membentuk vena pulmonalis besar. Darah mengalir di
dalam vena pulmonalis kembali ke atrium kiri untuk menyelesaikan siklus aliran
darah.8
Gambar 3.1.3 Sirkulasi Jantung8

3.1.4 Etiologi
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa
faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.
Faktor-faktor tersebut diantaranya :
1. Faktor Genetik
Resiko penyakit jantung kongenital meningkat 2 sampai 6% jika terdapat
riwayat keluarga yang terkena sebelumnya. Selain itu, 5-8% penderita
penyakit jantung kongenital mempunyai keterkaitan dengan kelainan
kromosom.
2. Faktor lingkungan
Penyakit jantung kongenital juga dihubungkan dengan lingkungan ibu
selama kehamilan. Seringnya terpapar dengan sinar radioaktif dipercaya dapat
menjadi faktor pencetus terjadinya penyakit jantung kongenital pada bayi.9
3. Obat-obatan
Meliputi obat-obatan yang dikonsumsi ibu selama masa kehamilan,
misalnya litium, busulfan, reinoids, trimetadion, thalidomide, dan agen
antikonsulvan, antihipertensi, eritromicin, dan clomipramin.
4. Kesehatan Ibu

10
Beberapa penyakit yang di derita oleh ibu hamil dapat berakibat pada
janinnya, misalnya diabetes melitus, fenilketouria, lupus eritematosus
siskemik, sindrom rubella kongenital.6

3.1.5 Patogenesis
Pada Atrial Septal Defect, aliran darah yang ada di atrium sinistra bocor ke
atrium dextra karena ada defect di septum interatrial-nya yang disebabkan oleh
gagalnya menutup sebuah septum maupun karena adanya gangguan pertumbuhan.
Karena tekanan di ventrikel sinistra yang notabene memompa darah ke seluruh
tubuh lebih besar maka darah dari atrium dextra tidak dapat masuk ke atrium
sinistra sehingga dapat dikatakan darah jalan dari tekanan tinggi ke tekanan
rendah (dari Atrium Sinistra ke Atrium Dextra). Di atrium dextra dan ventrikel
dextra terjadi overload darah yang mengakibatkan hipertrofi atrium dan ventrikel
dextra. Darah kemudian masuk ke arteri pulmonalis melewati katup pulmonal,
yang otomatis terlalu sempit untuk jalan darah yang begitu banyak. Hal ini disebut
stenosis pulmonal relative. Akibatnya arteri pulmonalis menjadi dilatasi.
Selanjutnya terjadi turbulensi disana yang menyebabkan terjadinya bunyi murmur
systole.4,10

3.1.6 Manifestasi Klinis


Sebagian besar asimptomatik, terutama pada bayi dan anak kecil. Sangat
jarang ditemukan gagal jantung pada defek septum atrium. Bila pirau cukup besar,
pasien mengalami sesak napas, sering mengalami infeksi paru, dan berat badan
akan sedikit turun. Jantung umumnya normal, atau hanya sedikit membesar.11

3.1.7 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan pada
daerah para sterna kanan, wide fixed splitting bunyi jantung kedua walaupun tidak
selalu ada, bising sistolik tipe ejeksi pada daerah pulmonal pada garis sterna kiri
atas, bising mid diastolik pada daerah tricuspid, dapat menyebar ke apeks. Bunyi
jantung kedua mengeras di daerah pulmonal, oleh karena kenaikan tekanan
pulmonal, dan perlu diingat bahwa bising-bising yang terjadi pada ASD
merupakan bising fungsional akibat adanya beban volume yang besar pada

11
jantung kanan. Sianosis jarang ditemukan, kecuali bila defek besar atau common
atrium, defek sinus coronarius, kelainan vascular paru, stenosis pulmonal, atau
bila disertai anomaly Ebstein.4

3.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada penderita ASD adalah :
1. Foto Thorax
Jika jantung membesar atau hipertensi pulmonal ada, itu mungkin yang
disebabkan oleh ASD. Jika kita mencurigai sebuah ASD kita harus
memperhatikan hal-hal berikut ini :
- Jantung mungkin membesar. Penentuan CTR yaitu dengan
membandingkan lebar thorax dan lebar dari pada jantung. Jika diameter
jantung lebih besar daripada diameter thorax, itu adalah pembesaran
jantung.
- Perhatikan bentuk jantung. pertama, perhatikan apexnya yang mana sering
terjadi pembesaran pada ventrikel kanan dan kadang-kadang terlihat jelas
diafragma terangkat. Selanjutnya lihat batas dari jantung kanan. Karena
atrium kanan membesar, batas dari jantung kanan terlihat lebih lebar dari
normalnya.
- Perhatikan posisi dari jantung dengan membandingkan pada posisi dari
vertebra. Pada ASD, jantung kadang bergeser ke kiri dan terlihat juga ke
tepi kanan dari columna vertebra.
- Perhatikan tonjolan dan lengkungan aorta. Itu sering mengecil jika ASD
ada, karena darah dialirkan melalui atrium kanan, tidak melalui aorta.12
Pada penderita ASD dengan pirau yang bermakna, foto toraks AP
menunjukkan atrium kanan yang menonjol, dan dengan konus pulmonalis
yang menonjol. Jantung hanya sedikit membesar dan corakan vaskularisasi
paru yang prominent sesuai dengan besarnya pirau.4

Batang arteri pulmonalis membesar sehingga pada hilus tampak denyutan


(pada fluoroskopi) dan disebut sebagai hilar dance. Hilar dance ini terjadi karena

12
arteri pulmonalis penuh darah dan melebar, sehingga pulsasi ventrikel kanan
merambat sampai ke hilus. Makin besar defeknya, makin kecil jumlah darah yang
mengalir ke ventrikel kiri, karena sebagian besar darah dari atrium kiri mengalir
ke atrium kanan melalui defek. Aorta menjadi kecil, hampir sukar dilihat,
sedangkan arteri pulmonalis menjadi 3-5 kali lebih besar. Pembuluh darah hilus
melebar demikian juga cabang-cabangnya. Lambat laun pembuluh darah paru
bagian tepi menyempit dan tinggal pembuluh dari sentral (hilus) saja yang
melebar. Bentuk hilus lebar, meruncing ke bawah berbentuk sebagai tanda koma
terbalik (‛).13

B C

Gambar 3.1.8 (A). Foto PA: Kebocoran Septum Atrium (ASD),


hemodinamika, belum ada HP, atrium kanan membesar dan atrium kiri tidak. (B).
Foto PA: hilus melebar sekali, berbentuk koma terbalik. Vaskular paru bagian tepi
sempit. Tanda hipertensi pulmonal. (C). Foto lateral : tampak ventrikel kanan yang
membesar sekali. Atrium kiri dan ventrikel kiri normal.13

13
2. CT scan

Gambar 3.1.8 (A). Tiga-dimensi permukaan dari rekonstruksi ASDs seperti yang
terlihat dari anterior obliq dan sedikit proyeksi caudal. Penampakan rims memadai
kecuali pada bagian parsial dari tepi superior. Defek ini diukur dengan diameter
34 mm dan itu adalah diameter yang besar. Ao = aorta, ventrikel RV = kanan. (B).
Gambaran CT axial dari sebuah Amplatzer septum atrium occluder 24 jam setelah
penyebaran. Perangkat ini tidak menimpa struktur terdekat yang penting seperti
lapisan mitral anterior atau vena pulmonalis kanan atas. RA = atrium kanan, LA =
atrium kiri, Ao= akar aorta, RV = saluran keluar ventrikel kanan.13

14
CT jantung memberikan kualitas gambar yang sangat baik pada
atrium septum yang dapat direkonstruksi untuk memberikan gambaran tiga
dimensi dari defek yang non-geometris. Selain itu, Penilaian lingkaran dari
septum atrium mungkin didapat dengan mudah. Kelebihan ini membuat CT
menjadi metode non-invasif yang ideal untuk menentukan ukuran ASD, bentuk,
dan persiapan untuk penutupan perkutan. Pasca penutupan alat perkutan,
tomografi jelas menunjukkan posisi dari alat, adanya trombus, dan setiap
pelampiasan potensial dari struktur yang terdekat. ASD sinus venosus superior
sering disertai dengan anomali parsial aliran balik vena pulmonalis, biasanya dari
lobus paru kanan atas dan tengah. Defek seperti itu tidak dapat ditutup perkutan.
Intervensi operative sering diperlukan karena volume pendorongan yang selalu
besar dan menyebabkan pembesaran pada ventrikel kanan, hipertensi arteri
pulmonal dan tachiaritmia. CT jantung dengan angiography yang jelas
menunjukkan anomali drainase vena pulmonal. Kadang- kadang, kehadiran ASD
disertai dengan temuan lainnya dari anatomi bersangkutan. CT dengan
angiography dapat menunjukkan kelainan terkait lainnya yang mungkin tidak
didapat dengan echocardiography. Penentuan shunt yang akurat juga mungkin
didapat dengan mudah. Kurva waktu konsentrasi arteri yang dihasilkan setelah
injeksi intravena dari indikator (iodine) menunjukkan kenaikan resirkulasi pada
lekukan kurva dengan arah shunt kiri ke kanan. Area di bawah kurva bersifat
indikatif dari volume shunt.14

15
Gambar 3.1.8 A. Gambaran CT Aksial ASD sinus venosus dengan anomali vena
pulmonalis kanan atas mengalir ke persimpangan SVC/ RA. B. 3-D rekonstruksi
dengan diberikan volume pada kasus yang sama dilihat dari lateralis kanan dan
proyeksi caudal. atrium kanan = RA, atrium kiri = LA, LULPV = lobus atas vena
pulmonalis kiri, RIPV = vena pulmonalis inferior kanan, Ao = aorta, LAA =
atrium kiri tambahan, PA = arteri pulmonalis, IVC = vena cava inferior.14

3. MRI
Karena kemajuan di dunia teknologi, kardiovaskular MR (CMR) telah
berkembang pesat, terutama selama dekade terakhir ini. Dengan meningkatnya
prevalensi penyakit arteri koroner (CAD) dan gagal jantung, antusiasme untuk
penilaian jantung berbasis CMR menjadi dihargai. Dengan satu kali pemeriksaan,
struktur LV, perfusi, dan kelangsungan hidup dapat dievaluasi dengan tingkat
ketelitian yang tinggi sambil menghindari efek potensi berbahaya dari radiasi
pengion dan agen kontras nefrotoksik. Indikasi umum lain untuk CMR termasuk
pencitraan cardiomiopati, penyakit perikardial, penyakit katup jantung, penyakit
jantung bawaan, massa pada jantung, dan pembuluh darah paru.
Umumnya lesi jantung bawaan termasuk shunts intracardiac, seperti
atrium septal defek (ASD) dan ventrikel septal defek (VSD). CMR merupakan
pelengkap echocardiography dalam mendiagnosa Penyakit Jantung Kongenital.
Pengecualian pada anomali vena balik pulmonal dengan ASD sinus venosus yang
saling terkait, di mana CMR lebih akurat daripada echocardiography karena
berbentuk 3D yang dapat mencakup bagian dada. Selain pencitraan cine yang
menunjukkan aliran, kecepatan menyandi pada pencitraan ini berguna untuk
mengukur besarnya defek dan menentukan rasio shunt.
Penyakit jantung congenital yang kompleks sering memerlukan
penggunaan echocardiography yang lengkap. CMR memiliki keuntungan dari
cakupan 3D dan kemampuan untuk dengan mudah menggambarkan pembuluh
darah besar dan cabang-cabang arteri pada paru.15

16
Gambar 3.1.8 Gambaran atrial Septal defek tipe sekundum (panah kiri) dan
ventrikel septal defek (panah kanan).15

4. Echocardiography
Echocardiography adalah dasar diagnosis pada kondisi ini. pencitraan dua-
dimensi akan menunjukkan defek dalam hampir semua kasus (Gambar 9.A).
Tipe defek secundum yang terbaik dilihat dari gambaran subkostal, yang
menempatkan septum interatrial pada sudut yang signifikan terhadap berkas
pemeriksaan dan mengurangi kemungkinan diagnosis artefactual yang positif
palsu. Karakteristik dilatasi dari ruang sisi kanan jantung baik terlihat dan
dominasi volume overload ventrikel kanan akan sering dilihat sebagai gerakan
septum ‘paradoxical’. Ini adalah gerakan anterior abnormal dari septum
interventrikular selama sistole ventricular.
Defek ostium primum (juga dikenal sebagai defek septum atrioventrikular
parsial) juga baik terlihat, seperti anatomi katup atrioventrikular. Defek sinus
venosus yang kurang umum lebih sulit untuk divisualisasikan, karena letaknya
tinggi pada atrium yaitu dekat muara vena kava superior. Studi transesophageal
sering digunakan menunjukkan lesi yang sulit ini. Semua studi dari ASD harus
disertai dengan pemeriksaan yang teliti yaitu memeriksa hubungan dari vena
pulmonal dan sistemik, karena ini sering abnormal.

17
Studi doppler akan melengkapi informasi diagnostik. Pemetaan aliran warna
sangat membantu dalam diagnosis dari setiap defek dan anomali vena. waktu
akselerasi yang singkat dalam aliran arteri pulmonal kadang-kadang bisa
menunjukkan adanya hipertensi pulmonal, seperti kecepatan tinggi jet pada
regurgitasi trikuspid. Rasio aliran sistemik untuk paru dapat dihitung
menggunakan teknik dopler, tetapi ini sangat memakan waktu dan rentan
terhadap kesalahan. Sederhana dan lebih akurat penilaian dengan non invasif
pada tingkat shunting kiri ke kanan dapat dicapai dengan terlebih dahulu studi
radionuklide sebelumnya. Studi radionuklida sebelumnya juga membantu pada
anak yang lebih tua dengan kecurigaan ASD yang mana pencitraan subkostal
bukan sebuah diagnostik.16
Transthoracis echocardiography, kadang-kadang ditambah dengan
transesophageal, merupakan diagnostic dalam kebanyakan kasus. Shunt yang
besar akan menyebabkan kelebihan volume ventrikel kanan dengan pembalikan
gerakan septum. Defek Ostium primum dan ostium sekundum dapat dibedakan
dengan mudah, defek sinus venosus mungkin sulit untuk digambarkan. Warna
aliran dopler akan menunjukkan shunt dan setiap regurgitasi katup.
Kecepatan dari setiap regurgitasi tricuspid akan memperkirakan tekanan arteri
pulmonalis. Dengan pengalaman, operator dapat menetapkan tambahan katup
AV cordal pada cacat primum dan mendeteksi anomaly drainase pembuluh darah
lobus kanan atas untuk SVC yang sering mempersulit defek sinus venosus
dan terlihat sesekalipada ASDs lainnya.17

18
A B

Gambar 3.1.8 (A). Modifikasi apikal echocardiogram empat ruang dari


pasien dengan ASD secundum. Ruang sisi kanan jauh diperbesar. (B). M-
Mode echocardiogram dari seorang pasien dengan ASD dan volume
overload pada ventrikel kanan. Ada gerakan paradoks dari Septum
interventriculare (tanda panah). (C). Studi aliran warna Doppler pada pasien
dengan ASDs. Mengalir melalui defek menuju katup tricuspid yang
berwarna merah (arah transduser)17

19
5. Katerisasi jantung dan angiocardiografi
Diagnosis echochardiography komprehensif akan sering menghilangkan
keperluan untuk penyelidikan invasif, tetapi akan ada saat ketika ada keperluan
untuk kateterisasi, baik untuk menghitung rasio shunt yang akurat atau untuk
mengkonfirmasi atau mengecualikan beberapa detail anatomi. injeksi atrium kiri
dengan media kontras kadang-kadang membantu, tetapi biasanya angiografi
digunakan untuk menilai abnormalnya anatomi vena atau untuk menilai fungsi
ventricel kiri. ASD tentu umumnya terkait dengan bentuk lain dari penyakit
jantung bawaan yang mana diperlukan kateterisasi jantung untuk diagnosis.16
Kateterisasi jantung sekarang jarang diindikasikan pada ASD (kecuali
untuk terapi intervensi), karena sebagian besar untuk diagnosis telah beralih ke
echocardiography. Sebuah kateter dari pembuluh darah di kaki biasanya lewat
dari RA melalui ASD ke LA. Suntikan media kontras ke LA akan menunjukkan
shunt kiri-ke kanan atrium. Suntikan ke PA akan menunjukkan shunt kiri-ke-
kanan selama fase laevo. Sekali shunt atrium telah dibuktikan, tidak mungkin
untuk mengidentifikasi distal shunt lagi (misalnya VSD atau PDA).
Defek Ostium primum ini dapat didiagnosis dengan angiografi LV pada
film frontal sebagai batas kanan atas LV ini sangat melekuk dengan kurva
cekungan halus yang disebabkan oleh kesalahan tempat katup mitral.
Karakteristik penampilan 'leher angsa ' seringkali disertai dengan regurgitasi
mitral, aliran inkompeten sering diarahkan melalui defek ostium primum ke RA.
Pada angiocardiography ECD yang lengkap dapat menunjukkan refluks
dari kedua ventrikel sampai ke kedua atrium dan shunt kiri-ke-kanan pada level
kedua atrium dan ventrikel. Beberapa Suntikan angiografik akan diperlukan dan
LAO 30° dengan 40° dengan kemiringan caudocranial merupakan proyeksi yang
optimal. Penyimpangan vena pulmonalis kadang-kadang dapat dideteksi
dengan angiografi jantung kanan pada tahap laevo tetapi hanya tipe sinus
venosus atau vena yang berbentuk seperti pedang dapat divisualisasikan.
Bedah penutupan paling sering dilakukan pada ASD (ASD sekundum) -
sekarang telah banyak bukti dilakukannya echodiagnostic, ini untuk
menyingkirkan diagnostik kateterisasi jantung dan angiografi.17

20
6. Trans Esophageal Echocardiography
Trans Esofagus Echocardiograf (TEE) berguna dalam mengevaluasi defek
septum atrium (ASD) untuk menilai rincian atau bagian yang halus pada saat
memutuskan untuk penutupan defek. Hal ini juga berguna dalam
menggambarkan ASDs yang tidak terlihat oleh trans toraks echocardiography
(TTE) baik karena echo window yang jelek atau karena lokasi dari ASD seperti
dalam ASD sinus venosus. TEE sering digunakan pada saat mengevaluasi
hipertensi pulmonal dengan etiologi yang tidak jelas pada orang dewasa.
Pemeriksaan TEE gambarannya sangat dekat dengan jantung tanpa ada
intervensi dari jaringan paru- paru, dapat memberikan gambar yang sangat baik.
Selain itu, jarak yang pendek memungkinkan penggunaan frekuensi transduser
yang lebih tinggi dengan resolusi gambar yang lebih baik. Biasanya frekuensi
transduser yang lebih tinggi tidak dapat digunakan untuk TTE karena kedalaman
penetrasi ultrasound di frekuensi yang lebih tinggi pada orang dewasa.18
Gambar TEE dalam tampilan axis pendek menunjukkan aorta (Ao), bagian
dariintra atrium septum (IAS) dan ASD. Hal ini dapat dilihat bahwa hampir tidak
adarim aorta (aorta rim botak). Bagian dari atrium kiri terlihat di bagian atas IAS
(tidak ditandai dalam gambar). Di bawah IAS, atrium kanan yang besar dapat
terlihat.18

21
Gambar 3.1.8 Atrial septal defect pada trans esofagus echocardiography18

3.1.9 Diagnosis Banding


1. Patent Ductus Arteriosus
Patent Ductus Arteriosus adalah suatu kelainan dimana ductus asteriosus
tidak menutup sehingga tetap menghubungkan antara aorta dan arteri pulmonalis.
Pada PDA yang cukup besar, volume darah dalam arteri pulmonalis menjadi
lebih besar. Jumlah darah di atrium kiri bertambah dan menyebabkan dilatasi,
sertai terjadi hipertrofi ventrikel kiri seperti pada VSD. Darah yang dipompa ke
dalam aorta biasa saja, tetapi setelah melampaui duktus arteriosus, jumlah darah
ini berkurang karena sebagian darah mengalir ke arteri pulmonalis sehingga arteri
pulmonalis dan cabang-cabangnya menjadi lebar, sedangkan aorta descendens
menjadi lebih kecil. Pembuluh darah paru melebar, hilus melebar, dan pada
fluoroskopi sering tampak hillar dance.
Pada PDA sedang gejala biasanya timbul pada usia 2-5 bulan tetapi tidak
berat. Pasien mengalami kesulitan makan (menyusu), sering menderita infeksi
saluran nafas, namun biasanya berat badan masih dalam batas normal.
Frekuensi nafas sedikit lebih cepat dibanding dengan anak normal. Gambaran foto
toraks, bila PDA kecil sekali, gambaran jantung dan pembuluh darah paru normal
dan bila PDA cukup besar, maka gambaran radiologinya :19
a. Aorta descedens dan arkus tampak normal atau membesar sedikit dan nampak
menonjol pada proyeksi PA
b. A. pulmonalis tampak menonjol lebar di samping aorta

22
c. Pembuluh darah paru dan hilus nampak melebar, karena volume darah yang
bertambah
d. Pembesaran atrium kiri
e. Pembesaran ventrikel kanan dan kiri.

Pada orang dewasa, gambaran radiologi ini tampak jelas, tetapi pada
anakanak tidak khas dan sulit dinilai, karena biasanya jantung anak-anak masilh
berbentuk bulat. Pelebaran pembuluh darah paru untuk sebagian radiografi PA
tidak nampak karena tertutup oleh jantung, terutama di bagian sentral. Bila
keadaan telah lanjut dan timbul tanda hipertensi pulmonal, gambaran
radiologinya :
- Pembuluh darah paru bagian sentral melebar. Hilus melebar. Pembuluh
darah paru perifer berkurang.
- Ventrikel kanan semakin besar karena adanya hipertrofi dan dilatasi.
- Arteri pulmonalis menonjol.
- Aorta descendens lebar dengan arkus yang menonjol.
- Atrium kiri nampak normal kembali. Pembesaran dari arkus aorta di samping
pembesaran a. pulmonalis adalah khas dan dapat dipakai untuk membedakan
PDA dari ASD atau VSD.

Gambar 3.1.9 Jantung sedikit membesar, a. pulmonalis menonjol, dan arkus aorta
menonjol . Corakan paru bertambah.19

23
2. Ventricular Septal Defect
VSD merupakan kelainan jantung dimana terjadi defect sekat
antarventrikel pada berbagai lokasi. Gambaran klinis yang ditemukan secara
garis besar dapat dibedakan berdasarkan apakah sudah terjadi hipertensi
pulmonal atau belum. Pada kasus VSD tanpa hipertensi pulmonal, gejala klinis
yang dominan adalah gejala yang timbul akibat kurangnya perfusi ke perifer,
sering bermanifestasi sebagai keterlambatan pertumbuhan. Sedangkan jika sudah
terjadi hipertensi pulmonal, gejala klinis umumnya berkaitan dengan keadaan
cyanotic yang timbul karena adanya R-L Shunt.1,4
Gambaran foto thorax :1
a. Kebocoran yang sangat kecil. Jantung tidak membesar. Pembuluh darah paru
normal.
b. Kebocoran yang ringan, jantung membesar ke kiri oleh hipertrofi dan
ventrikel kiri. Apeks menuju ke bawah diafragma. Ventrikel kanan belum jelas
membesar. Atrium kiri berdilatasi.
c. Kebocoran yang sedang-berat, ventrikel kanan dilatasi dan hipertrofi. Atrium
kiri berdilatasi. A. Pulmonalis dengan cabang-cabangnya melebar. Atrium
kanan tidak tampak kelainan. Ventrikel kiri hipertrofi. Aorta kecil.
d. Kebocoran dengan hipertensi pulmonal, ventrikel kanan tampak makin besar.
A. Pulmonalis dan cabang-cabangnya di bagian sentral melebar. Segmen
pulmonal menonjol. Atrium kiri normal. Aorta mengecil. Pembuluh darah
paru bagian perifer sangat berkurang. Thoraks menjadi emfisematous. Pada
tahap ini secara klinis ditemukan Sindrom Eisenmenger. Pada stadium ini
kadang secara radiografi sukar dibedakan dengan Atrial Septal Defect (ASD)
dengan hipertensi pulmonal.

24
Gambar 3.1.9 PA : pembesaran jantung, konus pulmonalis menonjol dan corakan
bronkhovaskuler bertambah4

3. Stenosis Pulmonal
Stenosis pulmonal adalah penyempitan lubang antara ventrikel kanan dan
katup pulmonalis. Stenosis katup pulmonalis terutama terjadi akibat defek
kongenital. Dengan menyempitnya lubang, ventrikal kanan harus memompa
secara lebih kuat untuk mendorong darah. Kondisi ini dapat menyebabkan
hipertrofi ventrikel kanan sehingga menahan darah di atrium kanan serta
menyebabkan dilatasi vena cava dan akumulasi darah di system vena.
Aliran darah ke paru dan sisi kiri jantung berkurang jika stenosisnya parah
sehingga tekanan darah berkurang. Dapat terjadi gagal jantung kanan.8

25
Gambar 3.1.9 Foto thorax pada anak dengan stenosis katup pulmonal . Arteri
pulmonal utama dan arteri pulmonal kiri mengalami pelebaran, tetapi
varkularisasi paru dalam batas normal.8

4. Hipertensi Pulmonal
Hipertensi pulmonal (HP) adalah tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25
mm Hg saat beristirahat dan lebih dari 30 mm Hg saat beraktivitas. HP dibagi
menjadi 2 yaitu idiopatik atau primer yang tidak diketahui penyebabnya dan HP
sekunder yang penyebabnya dapat diidentifikasi. Penyebab dari HP ini sendiri
yaitu karena adanya lesi pada jantung berupa pirau dari kiri ke kanan,
peningkatan tekanan pada vena pulmonalis, penyakit jantung sianotik, anomaly
dari arteri atau vena pulmonalis, dan arena operasi shunting paliatif.
Pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya distorsi dinding dada akibat
hipertrofi ventrikel kanan yang berat. Temuan dari pemeriksaan fisik yang paling
penting dan konsisten adalah peningkatan komponen pulmonal pada auskultasi.
Bunyi jantung 2 terdengar keras dengan splitting yang tidak lebar pada pirau
interventrikuler dan aorta pulmonal, namun splitting terdengar lebar apabila pirau
terdapat pada tingkat interatrial. Klik ejeksi dan murmur ejeksi sistolik dapat
didengar di sela iga 2-3 parasternal kiri, kadang-kadang disertai murmur awal
diastolik dari insufisiensi pulmonal dan murmur pansistolik dari regurtisasi
trikuspid. Tanda-tanda adanya kegagalan jantung kanan seperti hepatomegali,
udem perifer, akrosianosis jarang ditemukan pada anak kecil.19 Gambaran foto
thoraks yang khas berupa konus pulmonalis yang sangat membonjol, hilus yang
lebar,vaskularisasi paru yang meningkat sekitar hilus, namun berkurang di perifer.
Gambaran ini disebut pruning.18

26
Gambar 3.1.9 Foto thoraks pada perempuan dewasa dengan ASD dan hipertensi
pulmonal severe. Arteri pulmonal utama dan hilus arteri pulmonal sangat melebar,
dengan redaman vaskular perifer.18

3.1.10 Tatalaksana
Defek septum atrium harus ditututp dengan pembedahan pada usia sekolah
untuk mencegah hipertensi pulmonal.20
Indikasi penutupan ASD :
a. Pembesaran jantung pada thorax, dilatasi ventrikel kanan, kenaikan tekanan
arteri pulmonalis 50% atau kurang dari tekanan aorta, tanpa
mempertimbangkan keluhan. Prognosis penutupan ASD akan sangat baik
dibanding dengan pengobatan medikamentosa. Pada kelompok umur 40 tahun
ke atas harus dipertimbangkan terjadinya aritmia atrial, apalagi bila
sebelumnya telah ditemui adanya gangguan irama. Pada kelompok ini perlu
dipertimbangkan ablasi per kutan atau ablasi operatif pada saat penutupan
ASD
b. Adanya riwayat iskemik transient atau stroke pada ASD atau foramen ovale
persisten. Operasi merupakan kontraindikasi bila terjadi kenaikan resistensi
vascular paru 7-8 unit, atau ukuran defek kurang dari 8 mm tanpa adanya
keluhan dan pembesaran jantung kanan.

27
Tindakan penutupan dapat dilakukan dengan operasi terutama untuk
defek yang sangat besar lebih dari 40 mm, atau tipe ASD selain tipe sekundum.
Sedangkan untuk ASD sekundum dengan ukuran defek lebih kecil dari 40 mm
harus dipertimbangkan penutupan dengan kateter dengan menggunakan amplatzer
septal occluder. Masih dibutuhkan evaluasi jangka panjang untuk menentukan
kejadian aritmia dan komplikasi tromboemboli.20,21

3.1.11 Komplikasi
1. Kira-kira 10 % dari pasien menjadi hipertensi pulmonal. Situasi aliran shunt
yang terus-menerus nantinya berubah sebaliknya menjadi kanan ke kiri.
Kemudian pasien menjadi sianotik. Hal ini diketahui sebagai sindrom
Eisenmenger
2. Emboli paradoxical
3. Cardiac conduction defects (fibrilasi atrium, flutter)
4. Pada penderita ASD ini dapat terjadi gagal jantung kongestif, disaritmia
atrium, insufisiensi katup mitral dan penyakit obstruksi vaskular.2,11,22

3.1.12 Prognosis
Biasanya sebagian besar gejala tidak berkembang sampai umur 20 tahun
dimana evidence dari penyakit vaskuler paru menjadi nyata. Dengan penambahan
umur, resiko dari gangguan peningkatan irama jantung bertambah. Pada umur 40
tahun, kebanyakan pasien menunjukkan gejala. Gagal jantung adalah yang paling
banyak menyebabkan kematian. Dan yang lain termasuk emboli dan infeksi.10,22

3.2 Pneumonia
3.2.1 Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.23

3.2.2 Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan
utama pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak

28
balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika
dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6%
angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit system respiratori, terutama pneumonia.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak
di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada
anak di bawah umur 2 tahun. Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara
maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20
kasus/100 anak/tahun. Setiap tahunnya, pneumonia selalu berada pada daftar 10
penyakit terbesar di fasilitas kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2013, prevalensi
pneumonia pada pada bayi adalah 18,5%. Sebesar 15,5% kematian bayi
disebabkan oleh pneumonia. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian
pertahun pada anak balita di negara berkembang.23

3.2.3 Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S.
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.23
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens
global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia
dengan 3,4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan
tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV,
99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas
kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia

29
anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.8
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data
di Negara maju dapat dilihat di tabel.23

Tabel 3.2.3 Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara
maju.23
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 miggu – 3 bulan Bakteri Bakteri
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza tipe
B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitides

30
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
Tahun – Remaja Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza / Parainfluenza

3.2.4 Klasifikasi
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang.
Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak
malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut :24

Tabel 3.2.4 Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO.8


Klasifikasi Anak usia < 2 bulan Anak usia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia • Kesadaran turun, letargis • Kesadaran turun, letargis
Sangat Berat • Tidak mau menetek / • Tidak mau minum
minum • Kejang
• Kejang • Sianosis
• Demam atau hipotermia • Malnutrisi
• Bradipnea atau

31
pernapasan ireguler

Pneumonia • Napas cepat • Retraksi (+)


Berat • Retraksi yang berat • Masih dapat minum
• Sianosis (-)
Pneumonia • Takipnea
Ringan • Retraksi (-)

Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa


pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan
pneumonia ringan yang bisa rawat jalan.

Tabel 3.2.4 Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia


(MTBS).9
Diagnosis Klinis Klasifikasi (MTBS)
Pneumonia berat (rawat inap) :
- tanpa gejala hipoksemia Penyakit sangat berat
- dengan gejala hipoksemia (Pneumonia berat)
- dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas Batuk : Bukan pneumonia

32
3.2.5 Patofisiologi23

Gambar 3.2.5 Algoritma Patofisiologi pneomonia.23

3.2.6 Manifestasi Klinis


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil
yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi
gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-

33
kadang tidak khas terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu,
kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam
tatalaksana pneumonia.25
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
- Gejala infeksi umum, yaitu: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti: mual, muntah atau diare;
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori, yaitu: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, merintih, dan sianosis.
• Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat :
- Pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/ menit
- Pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/ menit
• Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut :
- Kepala terangguk – angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini :
- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali / menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : > 50 kali/ menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : > 40 kali/ menit
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/ menit

34
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar :
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis atau tidak sadar
- Sianosis
- Distres pernapasan berat.25

3.2.7 Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan
infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi
terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada
bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi,
penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.25
Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan
berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi
ditemukan crackles sedang nyaring.

35
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm2 dengan
limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan
neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta peningkatan LED.Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi
mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak
rutin dilakukan.
Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen
toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis.
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia
hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi
lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
penegakkan diagnosis.

36
Gambar 3.2.7 Rontgen infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumonia25

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :


- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris
atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk
sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru
disebut sebagai round pneumonia
- Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan
hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa
konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air bronchogram sangat
mungkin disebabkan oleh bakteri.
C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus

37
dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang
digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.12,13

3.2.8 Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.26

Tabel 3.2.8 Kriteria rawat inap pneumonia26


Bayi Anak
Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, Distres pernapasan
atau grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di
rumah

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan


antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam

38
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi
dengan adekuat.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena
tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan
pengalaman empiris yakni didasrkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan
mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta epidemiologis.
• Pneumonia rawat jalan26
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara
oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat
jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai
90%. Dosis yang digunakan adalah Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3
hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol
ulang anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk,
tidak bisa minum atau menyusu. Ketika anak kembali :
- Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan
membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
- Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan,
ganti ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
- Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai
pedoman di bawah ini.
• Pneumonia rawat inap
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan respons
yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah
atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali
sehari) untuk 5 hari berikutnya.

39
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang
berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan semuanya,
kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat) maka
ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM
atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila
keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara oral 4
kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara
oral selama 2 minggu.
• Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara
kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup
untuk mempertahankan saturasi oksigen > 92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena
dan dilakukan balans cairan ketat
- Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak
dengan pneumonia
- Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman pasien
(Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)
- Nebulisasi dengan ß2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4
jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen
• Nutrisi
- Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral,
harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau
intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan

40
pernapasan, khusunya pada bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil.
Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan yang terkecil.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami
overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon
antidiuretik
• Kriteria pulang :
- Gejala dan tanda pneumonia menghilang
- Asupan peroral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
- Keluarga mengert dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan
kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.9,11,12,13

3.2.9 Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan
memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-
duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi
dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi
dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.27

3.3 Sindrom Down


3.3.1 Definisi
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi,
karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu
kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya
mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah keseimbangan
genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik dan kemampuan
intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh.

41
Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas
perkembangan kromosom. Sindrom Down dapat disebut juga penyakit
Mongoloid. Yaitu berupa kelainan pada kromosom no 15 dan 21, yang biasanya
kedua kromosom ini berdekatan. Karena salah satu penyebab yang tidak
seharusnya, terjadilah pemecahan yang disebut dispuntum. Karena suatu
penyebab, dapat juga keadaan ini disebut translokasi yang sifatnya sama karena
jumlahnya, tetapi pada pembentukan gamet berlainan. Kromosom ini terbentuk
akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi
pembelahan. Sindroma Down merupakan kelainan kromosom yang paling sering
terjadi. Kelainan sindroma Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada
kromosom nomor 21, yang seharusnya dua menjadi tiga, yang menyebabkan
jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah, sehingga disebut trisomi 21. Pada
manusia normal jumlah kromosom sel mengandung 23 pasangan kromosom.
Akibat proses tersebut, terjadi goncangan sistem metabolisme di dalam sel.
Kelainan kromosom itu bukan merupakan faktor keturunan.28
Anak yang menyandang sindroma Down ini akan mengalami keterbatasan
kemampuan mental dan intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau
pertumbuhan mental yang lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami
perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh yang relatif lemah,
penyakit jantung bawaan, alzheimer, leukemia, dan berbagai masalah kesehatan
lain.29

3.3.2 Epidemiologi
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling
banyak terjadi pada manusia. Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800
sampai satu per 1000 kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit memperkirakan tingkat kejadiannya sebagai satu per 733
kelahiran hidup di Amerika Serikat (5429 kasus baru per tahun). Sekitar 95% dari
kasus ini adalah trisomi 21. Sindroma Down terjadi pada semua kelompok etnis
dan di antara semua golongan tingkat ekonomi. Kebanyakan anak dengan
Sindrom Down dilahirkan oleh wanita yang berusia datas 35 tahun. Sindrom

42
Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan angka kejadian pada orang kulit
putih lebih tinggi dari orang hitam. Sumber lain mengatakan bahwa angka
kejadian 1,5 per 1000 kelahiran, terdapat pada penderita retardasi mental sekitar
10 %, secara statistik lebih banyak di lahirkan oleh ibu yang berusia lebih dari 30
tahun, prematur dan pada ibu yang usianya terlalu muda.30

3.3.3 Etiologi
Penyebab kelainan kromosom adalah terjadinya pemecahan kromosom
dan pecahnya hilang/melekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut
translokasi. Pengaturan kembali yang dilakukan sel dapat menghasilkan
keseimbangan normal tetapi dapat juga menjadi tidak seimbang. Jika terjadi
keseimbangan normal, total materi genetik didalam sel dengan kromosom normal.
Pengaturan semacam ini biasanya tidak akan menimbulkan sindrom klinis.
Apabila terjadi ketidakseimbangan maka terjadi kelebihan atau kekurangan materi
genetik dalam barisan sel-sel tersebut. Pengaturan semacam ini biasanya
menimbulkan perubahan dalam fenotif klinis.
Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom.
Individu ini ialah penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah
kromosom dari orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi
ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14
dan 1 autosom translokasi 14q21q. Jelaslah bahwa bahwa ibu merupakan “carrier”
yang walaupun memiliki 45 kromosom 45.XX.t (14q21q) ia adalah normal.
Sebaliknya, laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa
sebabnya , sampai sekarang belum diketahui.31

3.3.4 Klasifikasi
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan
mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan
mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus
sindrom Down adalah dari tipe ini.
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan
berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang

43
menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter
penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari total kasus.
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang
mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini
dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan.32

3.3.5 Patofisiologi
Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh
bagian dalam nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat
lolos sebagai struktur tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam
nukleus yang diwarnai dengan jelas. Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut
mulai mengatur dirinya untuk membentuk untaian kromosom. Kromosom ini
mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam urutan tertentu.
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23
pasang, merupakan susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom,
dan 1 pasang kromosom seks. Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki
1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam setiap sel. Dalam terminologi standar,
seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai
dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal dari kedua
orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing
mengandung 23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga pembuahan
menghasilkan zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.
Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya
memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46.
t(14 q 21q). setelah kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya
normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1
autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q 21q. jelaslah bahwa ibu itu
merupakan “carrier” yang walupun memiliki 45 kromosom 45.xx.t (14q21q) ai
adalah normal. Sebaliknya laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak
dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui.
Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis
pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam

44
perkembangan zigot, walaupun kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian
yang pertama. Oosit primer yang terhenti perkembangannya saat profase pada
meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi, yang jaraknya dapat
mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut, oosit mungkin
mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam meiosis
I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila
dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk
zigot trisomi 21. Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :
1. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia
tua
2. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
3. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena
itu para ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko
yang lebih besar untuk mendapat anak sindroma Down Tripel-21.

Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak


pernah ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis
terjadi setiap hari dan tidak ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya
pada oogenesis. Akibat dari adanya trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita
Down syndrome jenis ini mempunyai 47 kromosom (47,XX,+21 atau
47,XY,+21).33

45
Gambar 3.3.5 Kariotipe Trisomi 2133

Jika pada trisomi 21 karena non-disjunction mempengaruhi seluruh sel


tubuh, pada kasus Down syndrome mosaik (46,XX/47,XX,+21), terdapat sejumlah
sel yang normal dan yang lainnya mempunyai mengalami trisomi 21. Kejadian ini
dapat terjadi dengan dua cara:non-disjunction pada perkembangan sel awal pada
embryo yang normal menyebabkan pemisahan sel dengan trisomi 21, atau embryo
dengan Down syndrome mengalami non- disjunction dan beberapa sel embryo
kembali kepada pengaturan kromosom normal.
Penderita Down syndrome translokasi mempunyai 46 kromosom
t(14q21q). Setelah kromosom orang tua diselidiki, ternyata ayah normal, tetapi
ibu hanya mempunyai 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, satu autosom 14,
dan satu autosom translokasi 14q21q. Ibu merupakan karier, sehingga normal
walaupun kariotipenya 45,XX,t(14q21q). Perkawinan laki-laki normal (46,XY)
dengan perempuan karier Down syndrome secara teoritis menghasilkan keturunan
dengan perbandingan fenotip 2 normal : 1 Down syndrome. (Suryo, 2005). Pada
Down syndrome translokasi, susunan kromosom tidak sesuai dengan susunan

46
kromosom normal. Jumlah kromosom tetap 46, tetapi karena terdapat bagian
tambahan dari kromosom ke-21, anak akan memiliki fitur Down syndrome.34
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan
menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan
secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan survival prenatal dan
meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak - anak yang terkena
biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan
tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan
tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas,
anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis
molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21
bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita
sindrom Down. Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang
diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2, adalah sangat terekspresi pada otak dan
jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan defek jantung.
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme tiroid
dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari
respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi kondisi
aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit Hashimoto. Penderita
dengan sindrom Down sering kali menderita hipersensitivitas terhadap proses
fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine dan respons lain
yang abnormal. Sebagai contoh, anak - anak dengan sindrom Down yang
menderita leukemia sangat sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer
proses metabolik menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan
meningkatnya resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus
Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down.
Anak - anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita
leukemia, seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute
Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang menderita sindrom

47
Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi hematopoietic transcription
factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak - anak dengan sindrom Down
terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang
berupa proses perubahan genetik yang belum diketahui pasti.35

3.3.6 Manifestasi Klinis


Anak dengan sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir
yang kurang dari normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir
2500 gr atau kurang. Secara fenotip karakteristik yang terdapat pada bayi dengan
sindroma Down yaitu :36
• Sutura sagitalis yang terpisah
• Fisura palpebralis yang oblique
• Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II
• “plantar crease ” jari kaki I dan II
• Hiperfleksibilitas
• Peningkatan jaringan sekitar leher
• Bentuk palatum yang abnormal
• Tulang Hidung hipoplasia
• Kelemahan otot
• Hipotonia (Kaplan)
• Bercak Brushfield pada mata (Prof Suci, Baby Down Syd)
• Mulut terbuka
• Lidah terjulur
• Lekukan epikantus
• “single palmar crease ” pada tangan kiri
• "srngie palmar crease ” pada tangan kanan
• “Brachyclinodactily ” tangan kiri
• “Brachyclinodactily ” tangan kanan
• Jarak pupil yang lebar
• Tangan yang pendek dan lebar
• Oksiput yang datar
• Ukuran telinga yang abnormal

48
• Kaki yang pendek dan lebar
• Bentuk atau struktur telinga abnormal
• Letak telinga yang abnormal
• Kelainan tangan lainnya
• Kelainan mata lainnya
• Sindaktili
• Kelainan kaki lainnya
• Kelainan mulut lainnya
Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan
bertambahnya umur anak, misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di
sekitar leher akan berkurang dengan bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas
ditemukannya karakteristik dengan frekuensi yang tinggi pada sindroma Down,
maka gejala-gejala tersebut dianggap sebagai “ Cardinal sign” dan petunjuk
diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma Down secara klinis. Tetapi yang
perlu diketahui adalah tidak adanya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten
dan patognomonik pada sindroma Down. Bentuk muka anak dengan sindroma
Down pada umumnya mirip dengan ras Mongoloid.37

Gambar 3.3.6 Neonatus dengan Sindroma Down37

49
Gambar 3.3.6 Penampakan klinis tangan anak dengan Sindroma Down37

Selain beberapa tampilan dari anak dengan sindroma Down terdapat juga
kelainan klinis antara lain :38
• Cacat jantung bawaan, cacat jantung kongenital yang umum (40 - 50%)
jantung bawaan yang paling sering endocardial cushion defect (43%),
ventricular septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy
Fallot cacat septum atrium (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%),
lesions pada patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%).
Sekitar 70% dari semua endocardial cushion defects terkait dengan sindroma
Down.
• Vision disorders
• Hearing disorders
• Obstructive sleep apnoea syndrome, terjadi ketika aliran udara inspirasi dari
saluran udara bagian atas ke paru-paru yang terhambat untuk 10 detik atau
lebih sehingga sering mengakibatkan hypoxemia or hypercarbia.
• Wheezing airway disorders
• Congenital defek pada gastrointestinal tract
• Coeliac disease
• Obesity dan bertubuh pendek selama remaja
• Transient myeloproliferative disorder
• Thyroid disorders, yaitu hipotiroidism
• Atlanto-axial instability

50
• Anomali saluran kemih
• Masalah kulit seperti Atopik eksim, Seborrhoeic eczema, Alopecia areata,
Vitiligo Syringomas, Perforans elastosis serpiginosa, Onychomycosis, Tinea
corporis, Anetoderma, Folliculitis, Chelitis, Keratosis pilaris, Psoriasis , Cutis
marmoratadvedo reticularis, Xerosis, hyperkeratosis Palmar atau
hiperkeratosis plantar
• Behaviour problems, spontanitas alami, kehangatan, ceria, kelembutan dan
kesabaran sebagai karakteristik toleransi. Beberapa pasien menunjukkan
kecemasan dan keras kepala.
• Psychiatric disorder, Prevalensi dari 17.6% gangguan kejiwaan di kalangan
anak- anak dan di antara orang dewasa adalah 27,1%. Anak-anak dan remaja
berada pada risiko tinggi untuk autisme, attention deficit hyperactivity
disorder dan conduct disorder. Obsessive-compulsive disorder, Tourette
syndrome, gangguan depresi, dan dapat terjadi selama transisi dari remaja
sampai dewasa.Gangguan Kejang 5-10 %, yaitu umumnya kejang infantil
pada bayi, sedangkan- kejang tonik klonik umumnya diamati pada pasien
yang lebih tua.

Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh


Temuan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek.
Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka tubuh
penderita sindrom Down mempunyai ciri - ciri yang khas. Tangan mereka pendek
dan melebar, adanya kondisi clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima
yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara
jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul
(6%).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan
xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis - garis transversal pada telapak
tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata,
vitiligo, follikulitis, abses dan infeksi pada kulit yang rekuren.

51
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio
(IQ) mereka sering berada antara 20 - 85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang
diderita akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat
gangguan artikulasi.
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan,
sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan
menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu yang tinggi
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak -
anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada
yang dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering
gugur, hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan
dengan hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang,
neoplasma, penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam melakukan
sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita
sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang - orang
lanjut usia.
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly,
dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan
tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan
sphenoid serta hipoplasia pada sinus maksilaris.
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting)
karena fissure palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik -
titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus
(20%), blepharitis (33%), conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak
kongenital, pseudopapil edema, spasma nutans dan keratoconus.
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi
tulang hidung dan jembatan hidung yang rata.
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil
dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir
bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak
terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada

52
gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi serta kerusakan periodontal yang jelas.
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang
berlipat. Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan.
Kira - kira 60-80% anak penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 - 20
dB pada satu telinga.
Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat
Leukemia, termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid.
Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon
preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid pada hati yang mempunyai
karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada
faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient Leukemia, Transient
Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient Abnormal Myelopoiesis
(TAM).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom
Down dengan prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering
ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian yang
paling sering adalah aneuploidy dalam dua tahun pertama kehidupan.
Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular
Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect
(43%), Ventricular Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
(10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi
yang paling sering ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus (16%) dan
Pulmonic Stenosis(9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects adalah
terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira -
kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung mereka.
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya
kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak
sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang sering di hubungkan dengan

53
AVD adalah patent ductus arteriosus, coarctation of the aorta, atrial septal defects,
absent atrial septum, dan anomalous pulmonary venous return. Kelainan pada
katup mitral juga sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi
asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada
dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan
pulmonary venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shuntpada
atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang
ditandai dengan antara lain takipnu dan penurunan berat badan (William 2002).
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan ada salah satu,
atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada penderita dengan penyakit ini, jaringan
jantung pada bagian superior dan inferior tidak menutup dengan sempurna.
Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita
kenal sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup atrioventikuler yang
abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi jaringan endokardial
yang tidak sempurna juga mangakibatkan lemahnya struktur pada leaflet katup
mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting. Apabila
penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering terjadi melalui
ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat defek yang komplit,
maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel dan juga insufisiensi valvular.
Kemudian akan terjadi volume overloading pada ventrikel kiri dan kanan yang
akhirnya diikuti dengan gagal jantung pada awal usia. Sekiranya terjadi overload
pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal
jantung kongestif.
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada
kondisi dimana adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi ini
boleh terjadi sebagai anomali primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain.
Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan seperti Tetralogy of Fallot (TOF),
complete atrioventricular (AV) canal defects, transposition of great arteries,dan
corrected transpositions.

54
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur
yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau
sebaliknya, melalui septum interatrial. Apabila tejadinya defek pada septum ini,
darah arterial dan darah venous akan bercampur, yang bisa atau tidak
menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini juga disebut sebagai
‘shunt’. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih berbahaya.
Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada
anak yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang kaya
oksigen dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang
sering terkait dengan Tetralogy of fallot. Pertama adalah hipertrofi ventrikel
kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada katup pulmonari atau otot katup,
yang menyebabkan katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini akan
menimbulkan restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja
lebih kuat yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua
adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya lubang pada dinding
yang memisahkan dua ventrikel, akan menyebabkan darah yang kaya oksigen dan
darah yang kurang oksigen bercampur. Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen
yang dihantar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary valve
stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang minimal terjadi karena
darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat,
darah yang sampai ke paru adalah lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih
berat.
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak
gagal menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi bising
jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas yang pendek dan aritmia
jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal jantung kongestif. Semakin besar
PDA, semaki buruk status kesehatan penderita.

55
Immunodefi siensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai
respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka sangat rentan mendapat
pneumonia.
Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang
dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE
fistula, Meckel divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu,
hasil penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac
disease pada pasien sindrom Down adalah sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi
karena defek genetik, yaitu spesifik pada human leukocyte antigen (HLA)
heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat
antara hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek.
Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah
gangguan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering
pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens ditemukannya Graves
disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi mendapat penyakit tiroid seperti
hipothirodis kongenital, hipertiroid primer, autoimun tiroiditis, dan compensated
hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada penderita
sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya umur.
Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan
psikiatri atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko
mendapat gangguan psikis. Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional Defiant Disorder,
gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan spektrum Autisme.
Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala - gejala sindrom

56
Down yang sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis awal
bagi penyakit Alzheimer. Fenotip individu yang mendapat trisomi 21 mosaik
manggambarkan persentase sel - sel trisomik yang terdapat dalam jaringan yang
berbeda di dalam tubuh.39

3.3.7 Faktor Risiko


Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat
dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada
usia di atas 35 tahun. Walaubagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda
tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down
adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom
Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat yang pernah mendapat
kondisi yang sama. Walau bagaimanapun kebanyakan kasus yang ditemukan
didapatkan ibu dan bapaknya normal.
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down
berdasarkan umur ibu yang hamil :40
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun : 1 per 1,300
- 30 tahun : 1 per 900
- 35 tahun : 1 per 350
- 40 tahun : 1 per 100
- 45 tahun : 1 per 30

3.3.8 Diagnosis
Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down. Namun,
retardasi mental merupakan gambaran yang menumpang tindih dengan sindroma
Down. Sebagian besar orang dengan sindroma ini mengalami retardasi mental
sedang atau berat, hanya sebagian kecil yang memiliki IQ diatas 50.
Perkembangan mental tampak normal dari lahir hingga usia 6 bulan dan nilai IQ
secara bertahap menurun dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga sekitar 30
pada usia yang lebih tua. Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas : uji infantil

57
mungkin tidak mengungkapkan tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin
tertungkap ketika uji yang lebih canggih digunakan pada masa kanak-kanak awal.
1 Derajat atau tingkat retardasi mental diekspresikan dalam berbagai istilah.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text
Revision (DSM-IV-TR) memberikan empat tipe retardasi mental, yang
mencerminkan tingkat gangguan intelektual antara lain: retardasi mental ringan,
sedang, berat, dan sangat berat. Adapun kriteria diagnostik untuk retardasi mental
menurut DSM-IV antara lain :41
a. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata: IQ kira-kira 70
atau kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi,
pertimbangan klinis adanya fungsi intelektual yang jelas di bawah rata-rata)
b. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang
(yaitu, efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang
dituntut menurut usianya dalam kelompok kulturalnya) pada sekurangnya dua
bidang keterampilan berikut: komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan
sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat, mengarahkan diri
sendiri, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan, dan
keamanan.
c. Onset sebelum usia 18 tahun
Penulisan didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat
gangguan intelektual :
a. Retardasi mental ringan : Tingkat IQ 50-55 sampai 70
b. Retardasi mental sedang : Tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
c. Retardasi mental berat : Tingkat IQ 20-25 sampai 35-40
d. Retardasi mental sangat berat : Tingkat IQ dibawah 20 atau 25
e. Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan : Jika terdapat kecurigaan kuat
adanya retardasi mental tetapi inteligensi pasien tidak dapat diuji oleh tes
inteligensi baku.
Untuk gangguan kromosom dan metabolik, seperti sindroma Down,
sindroma X rapuh, dan fenilketonuria (PKU) merupakan gangguan yang sering
dan biasanya menyebabkan sekurangnya retardasi mental sedang.41

58
Diagnosis Sindrom Down dapat dibuat setelah riwayat penyakit,
pemeriksaan intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan
bahwa perilaku anak sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang
diharapkan. Suatu riwayat penyakit dan wawancara psikiatrik sangat berguna
untuk mendapatkan gambaran longitudinal perkembangan dan fungsi anak,
sedangkan pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium dapat digunakan untuk
memastikan penyebab dan prognosis.
Pada anamnesis riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua
atau pengasuh, dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan,
kelahiran, riwayat keluarga retardasi mental, dan gangguan herediter. Selain itu,
sebagai bagian riwayat penyakit, klinisi sebaiknya menilai latar belakang
sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah, dan fungsi intelektual pasien.
Pada pemeriksaan fisik berbagai bagian tubuh mungkin memiliki
karakteristik tertentu yang sering ditemukan pada orang dengan retardasi mental
seperti sindroma Down ini dan kemungkinan memiliki penyebab pranatal.
Pemeriksaan fisik pasien dengan sindroma Down dapat dilihat dari gambaran
klinis fisik pasien yang telah dijelaskan sebelumnya.41
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom
Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau
sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah
bayi yang dikandung menderita sindrom Down atau tidak.
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal
Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 - 14 kehamilan. Apa
yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh
daripada sepulah bayi dengan sindrom Down dapat dikenal pasti dengan tehnik
ini.
Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu
hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah
plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang

59
tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan pada bayi yang
dikandung (Mayo Foundation for Medical Education and Research.
b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang
kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis
merupakan pemeriksaan yang berguna untuk diagnosis berbagai kelainan
kromososm bayi terutama sindroma Down, di mana dengan mengambil sejumlah
kecil cairan amniotik dari ruang amnion secara transabdominal antara usia
kehamilan 14-16 minggu. Amniosentesis dianjurkan untuk semua wanita hamil di
atas usia 35 tahun. Risiko keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
c. Chorionic villus sampling (CVS)
CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel
tersebut akan diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada
kehamilan minggu kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100
kehamilan.
d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)
PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk
melihat kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes
ini dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas.
Resiko keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical Education
and Research.
e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika.
Karyotyping sangat penting untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam
translokasi sindrom Down, karyotyping dari orang tua dan kerabat lainnya
diperlukan untuk konseling genetik yang tepat. 10

60
Gambar 3.3.8 Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 dari lengan
isochromosome arm 21q tipe [46,XY,i(21)(q10)]10 41

f. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH)


FISH dapat digunakan untuk diagnosis cepat. Hal ini dapat berhasil di
kedua diagnosis prenatal dan diagnosis pada periode neonatal. Mosaicism yang
tersembunyi untuk trisomi 21 sebagian dapat menerangkan hubungan yang telah
dijelaskan antara sejarah keluarga sindroma Down dan risiko penyakit Alzheimer.
Skrining untuk mosaicism dengan FISH diindikasikan pada pasien tertentu
dengan gangguan perkembangan ringan dan mereka dengan Alzheimer onset dini.
g. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk
mengidentifikasi penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada pemeriksaan
fisik. 10
h. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial termasuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic facial
bones dan sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan untuk
menyingkirkan atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun. Radiografi juga
digunakan sebelum anesthesia diberikan jika terdapat tanda-tanda spinal cord
compression. Penurunan sudut iliac dan acetabular juga dapat ditemukan pada
bayi baru lahir.38

61
3.3.9 Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding dari sindroma Down adalah :
a. Hipotiroidisme
Terkadang gejala klinis sindroma Down sulit dibedakan dengan
hipotiroidisme. Secara kasar dapat dilihat dari aktivitasnya karena anak-anak
dengan hipotiroidisme sangat lambat dan malas, sedangkan anak dengan sindroma
Down sangat aktif
b. Akondroplasia
c. Rakitis
d. Sindrom Turner
e. PenyakitTrisomi

62
Tabel 3.3.9 Perbedaan sindrom down, sindroma Edwards dan sindroma patau41

Penyakit Angka kejadian Kelainan Keterangan Prognosis


Trisomi 21 1 dari 700 bayi baru Kelebihan Perkembangan fisik Biasanya bertahan
(Sindroma Lahir kromosom 21 & mental sampai usia 30-40
Down) terganggu, tahun
ditemukan berbagai
kelainan fisik
Trisomi 18 1 dari Kelebihan Kepala kecil, Jarang bertahan
(Sindroma 3.000 bayi baru lahir kromosom 18 telinga terletak sampai lebih dari
Edwards) lebih rendah, celah beberapa bulan;
bibir/celah langit- keterbelakangan
langit, tidak mental yg terjadi
memiliki ibu jari sangat berat
tangan, clubfeet,
diantara jari tangan
terdapat selaput,
kelainan jantung &
kelainan saluran
kemihkelamin
Trisomi 13 1 dari 5.000 bayi Kelebihan Kelainan otak & Yang bertahan hidup
(Sindroma baru lahir kromosom 13 mata yg berat, sampai lebih dari 1
Patau) celah bibir/celah tahun, kurang dari
langit-langit, 20%,
kelainan jantung, keterbelakangan
kelainan saluran mental yg terjadi
kemih-kelamin & sangat berat
kelainan bentuk
telinga

63
3.3.10 Tatalaksana
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif
untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down
syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistim tubuhnya. Dengan
demikian penderita harus mendapatkan support maupun informasi yang cukup
serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan
dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya.
MEDIKAMENTOSA
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya
defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal
dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut
menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini
memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.
NON MEDIKAMENTOSA
1. Fisioterapi.
Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar
untuk mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan.
Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya seperti duduk dan berjalan dengan cara/gerakan yang
tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down
Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang
dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome
menyesuaikan gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang
dimilikinya, sehingga selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur. Dapat
dilakukan seminggu sekali.
2. Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
3. Terapi Okupasi. Melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman,
kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada

64
dasarnya anak DS tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh
sehingga beraktifitas tanpa ada komunikasi dan tidak memperdulikan orang
lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan koordinasi
dengan atau tanpa menggunakan alat.
4. Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan
kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan
pelajaran dari sekolah biasa.
5. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah
rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang
mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh,
motorik kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan
aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
6. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang
sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang
tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
7. Terapi alternatif. Penaganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya
penanganan medis tetapi juga dilakukan penanganan alternatif, hanya saja
terapi jenis ini masih belum pasti manfaatnya secara akurat karena belum
banyak penelitian yang membuktikan manfaatnya, meski tiap pihak
mengklaim dapat menyembuhkan DS. Terapi alternatif tersebut di antaranya
adalah :
a. Terapi Akupuntur. Dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian
tubuh tertentu dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan
kondisi sang anak.
b. Terapi Musik. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak
sangat senang dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan
bagi mereka dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan
meningkat dan mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain juga membaik
c. Terapi Lumba-Lumba. Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi
hasil yang sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak DS.
Sel-sel saraf otak yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika

65
mendengar suara lumba-lumba.
d. Terapi Craniosacral. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang
ringan pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak DS diperbaiki
metabolisme tubuhnya sehingga daya tahan tubuh lebih meningkat.
e. Terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen
maupun dengan pemijatan pada bagian tubuh tertentu.

Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis


yang sama dengan anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan
kesehatan, imunisasi, kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari
keluarga, tetapi terdapat beberapa keadaan di mana anak dengan sindroma Down
memerlukan perhatian khusus antara lain :42
a. Pemeriksaan mata dan telinga serta pendeteksian fungsi tiroid pada bayi baru
lahir dan rutin pada anak sindroma Down
b. Penyakit jantung bawaan, intervensi dini dengan pemeriksaan kardiologi pada
bayi baru lahir
c. Status Nutrisi, perlu perhatian meliputi kesulitan menyusu pada bayi sindroma
Down dan pencegahan obesitas pada usia anak dan remaja
d. Kelainan tulang
e. Pendidikan, sebagai intervensi dini terhadap kelainan perkembangan terutama
menyangkut kemampuan kognitif dan perkembangan social
f. Monitoring pertumbuhan dan perkembangan dengan kurva spesial untuk
sindroma Down dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak
sindroma Down
g. Perawatan mulut dan gigi
h. Atlanto-axial instability screening pada usia tiga tahun
i. Konseling genetik.42

3.3.11 Pencegahan
1. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan

66
Down syndrome atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan
hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki resiko
melahirkan anak dengan Down syndrome lebih tinggi. Down Syndrome tidak
bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan
jumlah kromosom. Deteksi dini sindrom Down dilakukan pada usia janin
mulai 11 minggu (2,5 bulan) sampai 14minggu. Dengan demikian, orangtua
akan diberi kesempatan memutuskan segala hal terhadap janinnya. Jika
memang kehamilan ingin diteruskan, orangtua setidaknya sudah siap secara
mental.
2. Amniocentesis – Merupakan prosedur invasif di mana jarum melewati perut
ibu bagian bawah ke dalam rongga ketuban dalam rahim. Cairan ketuban yang
cukup akan dicapai mulai sekitar 14 minggu kehamilan. Untuk diagnosis
prenatal, kebanyakan amniocenteses dilakukan antara 14 dan 20 minggu
kehamilan.
3. Chorionic villus sampling (CVS) – dilakukan antara minggu 11-12 kehamilan.
Dalam prosedur ini, sebuah kateter dimasukkan melalui vagina melalui leher
rahim dan masuk ke dalam rahim ke berkembang ke plasenta di bawah
bimbingan USG. Pendekatan alternatifnya adalah transvaginal dan
transabdominal. Penggunaan kateter memungkinkan sampel sel dari chorionic
vili plasenta. Sel-sel ini kemudian akan dilakukan analisis kromosom untuk
menentukan kariotipe janin.
4. Konseling genetik juga menjadi alternatif yang sangat baik, karena dapat
menurunkan angka kejadian sindrom down. Dengan biologi molekular
misalnya Gene targeting atau Homologous recombination gene dapat dinon-
aktifkan. Sehingga suatu saat gen 21 yang bertanggung jawab terhadap
munculnya fenotip sindrom down dapat di non aktifkan.40,41

3.3.12 Komplikasi
Anak-anak dengan sindrom Down bisa mempunyai berbagai komplikasi,
ada yang menjadi lebih menonjol sesuai dengan umur yang semakin meningkat,
antara komplikasi yang timbul termasuk :

67
1. Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur,
anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek pada
jantung. Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat dideteksi, kemungkinan
terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat dikurangi, sehingga dapat mencegah
terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat dideteksi, keadaan ini akan
menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten dengan perubahan pada
vaskular yang ireversibel.
Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung
dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap operasi
yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan apabila anak
sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik dan anak yang
dioperasi mampu hidup lebih lama.
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal
atrioventrikuler, symptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan
shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi, disertai dengan
peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal. Resistensi pulmonal yang
meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan dari shunting sistemik-pulmonal
yang diikuti dengan sianosis.
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal ini
disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang lebih
tipis dan fungsi endotelial yang terganggu.
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah
terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru – paru. Apalagi
dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin, endothelin, antagonis reseptor dan
phosphodiesterase-5-inhibitor) didapatkan mampu memperbaiki status klinis dan
jangka hidup bagi penderita hipertensi arteri pulmonal.
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada
penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi dimana
didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis pada penderita sindrom.

68
2. Leukemia. Anak-anak dengan sindrom Down lebih cenderung menderita
leukemia. Hal ini berdasarkan pengamatan bahawa leukemia tertentu dapat
berhubungan dengan defek pada kromosom 21.
3. Penyakit menular. Disebabkan sistem imun yang terganggu, penderita sindrom
Down lebih mudah terkena serangan penyakit menular seperti radang paru-
paru.
4. Demensia. Resiko untuk terkena demensia di waktu tua, tanda dan gejala
demensia sering muncul sebelum berumur 40 tahun. Mereka yang menderita
demensia juga mempunyai kecenderungan yang tinggi menderita kejang.
5. Apnea tidur. Disebabkan oleh perubahan pada sel jaringan dan tulang yang
menyebabkan penyempitan pada jalan pernafasan, risiko untuk terjadinya
sleep apneu tinggi.
6. Obesitas. Penderita sindrom Down mempunyai kecenderungan yang lebih
besar untuk menjadi obes daripada penduduk umum.
7. Lain-lain. Sindrom Down juga bisa dikaitkan dengan keadaan kesehatan yang
lain, termasuk masalah gastrointestinal, masalah tiroid, menopause awal,
kehilangan pendengaran, penuaan dini, masalah tulang dan masalah
penglihatan.
Sekitar 20% janin sindrom Down mengalami abortus spontan antara masa
kehamilan 10-16 minggu. Banyak janin tidak berimplantasi pada endometrium
atau ibu mengalami keguguran sebelum usia kehamilan 6-8 minggu.42

3.3.13 Prognosis
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40
tahun. Selain perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai
kelainan fisik. Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan
biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang
memperburuk prognosis.15 Sebesar 44% penderita sindroma Down hidup sampai
60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko terkena
leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit
Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44
tahun.42

69
Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut :
a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan
kecerdasan dan kepribadian).
d. Gangguan tiroid.
Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun
banyak juga penderita yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan
kelainan jantung bawaan. Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan
pada penderita ini yang mengakibatkan 80% kematian. Anak-anak dengan
sindroma Down memiliki risiko tinggi untuk menderita kelainan jantung dan
leukemia. Jika terdapat kedua penyakit tersebut maka angka harapan hidupnya
berkurang dan jika kedua penyakit tersebut tidak ditemukan maka anak bisa
bertahan sampai dewasa.
Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan
bertahan. Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat
hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital sering
menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom Down. Selain itu,
penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal,
Hirschsprung disease, atresia duodenal dan leukemia akan meningkatkan
mortalitas.
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang
tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil
yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis, atau glossoptosis
dapat menimbulkan obstruksi pada saluran nafas atas. Obstruksi saluran nafas
dapat menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar Hypoventilation, Arterial
Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai
dengan cor pulmonale dan gagal jantung.
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang
tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel.

70
Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek yang lain akan
menyebabkan keterbatasan kepada anak – anak dengan sindrom Down dalam
meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi masalah dalam
pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan kemampuan
interpersonal.42

71
BAB IV
ANALISA KASUS

Dilaporkan seorang anak A (3 bulan) BB 2 kg PB 50 cm, dengan keluhan


sesak napas sejak ± 2 hari SMRS, sesak semakin memberat saat pasien menangis.
Sesak pada pasien tampak dari cara bernapas yang beda dari biasanya dan
frekuensi napas jadi cepat. keluhan tambahan berupa batuk berdahak, bewarna
putih dan, berat badan tidak naik. Di diagnosa sementara Penyakit jantung bawaan
asianosis ec Atrium septum defect. Ada beberapa tahapan untuk menegakkan
diagnosa ASD ini, yang antara lain adalah anamnesis, pemeriksaan fisik, foto
toraks, EKG dan ekokardiografi, yang merupakan gold standard untuk
menegakkan diagnosa pada ASD.
Berdasarkan anamnesis, pasien datang dibawa oleh keluarga ke IGD
RSUD Raden Mattaher dengan keluhan sesak napas sejak ± 2 hari SMRS, sesak
semakin memberat saat pasien menangis. Sesak pada pasien tampak dari cara
bernapas yang beda dari biasanya dan frekuensi napas menjadi cepat.
Ketika bayi saat menghisap ASI sering terputus 4-5 kali hisap, dan cepat
lelah ketika sedang menyusu, pasien menarik napas dalam (sesak napas). Pada PJB
asianotik ec ASD Sebagian besar asimptomatik, terutama pada bayi dan anak
kecil. Sangat jarang ditemukan gagal jantung pada defek septum atrium. Bila pirau
cukup besar, pasien mengalami sesak napas, sering mengalami infeksi paru, dan
berat badan akan sedikit turun. Jantung umumnya normal, atau hanya sedikit
membesar.

Sesak disebabkan oleh hipervaskularisasi paru yang menyebabkan vaskular


bed paru sehingga mengisi ruang interstitial dan menghalangi proses difusi
oksigen. Sesak ini cenderung bertambah jika beraktifitas, karena pada saat
beraktifitas kebutuhan oksigen meningkat disamping itu pada saat beraktifitas
terjadi takikardi dimana periode diastolik menurun dan cardiac output ke paru
meningkat sehingga menyebabkan darah cenderung tertahan diparu.

72
Keluhan cepat lelah jelas disebabkan karena menurunnya cardiac output
keseluruh tubuh sehingga suplai darah dan oksigen keseluruh organ menurun
menyebabkan menurunnys kapasitas kerja setiap organ. Bahkan pada sebagian
kasus terjadi perlambatan pertumbuhan pada anak akibat kurangnya sirkulasi
sistemik.
Os sering sakit setiap bulan, berat badan turun naik, bahkan cenderung tetap,
pada PJB pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu dibandingkan
dengan anak sebayanya. Sejumlah faktor penyebab terjadinya malnutrisi pada bayi
dengan PJB, antara lain hipoksemia, asupan kalori yang tidak adekuat,
hipermetabolisme, malabsorbsi, dan faktor hormon pertumbuhan. Malnutrisi lebih
sering terjadi pada PJB sianotik dibandingkan dengan PJB nonsianotik.
Ketidakseimbangan energi merupakan faktor utama kegagalan pertumbuhan dan
malnutrisi pada anak dengan PJB. Secara umum, anak memiliki tingkat
metabolisme yang lebih tinggi. Tingkat metabolisme basal bayi hampirdua kali
orang dewasa per kilogram berat badan. Asupan kalori yang tidak adekuat
diyakini menjadi penyebab utama terjadinya malnutrisi pada bayi dengan penyakit
jantung bawaan. Proses pemberian makan pada bayi dengan kelainan jantung
bawaan sama dengan suatu latihan fisik, menuntut peningkatan jumlah energi.
Intoleransi terhadap proses makan dapat disebabkan ketidakmampuan untuk
mengeluarkan cukup energi, ditandai dengan takikardia, takipnea, sesak napas,
dan muntah. Faktor kontribusi lain adalah menurunnya kapasitas lambung yang
disebabkan oleh hepatosplenomegali, tertundanya waktu pengosongan lambung,
kemampuan menghisap yang tidak terkoordinasi, pola menelan dan bernafas yang
abnormal disebabkan oleh takipnea. Jika terjadi hipertensi pulmonal, maka akan
terjadi pengingkatan aliran darah ke paru dan penurunan aliran darah ke sistemik
termasuk ke saluran pencernaan sehingga akan terjadi malabsorbsi. Malabsorpsi
merupakan akibat dari hipoksia jaringan gastrointestinal dan menyebabkan
intoleransi makan, membatasi asupan kalori, dan penurunan penyerapan nutrisi.
Selain hal tersebut, infeksi saluran napas akut berulang juga dapat menyebabkan
anoreksia dan menyebabkan gangguan status gizi. Karena asupan makanan yang
kurang juga berdampak pada imunitas anak, anak menjadi mudah terserang

73
penyakit, itu pula yang mengakibatkan imunisasi tidak lengkap karena saat akan
imunisasi anak selalu dalam kondisi demam dan pilek.
Keluhan tambahan berupa batuk (+) berdahak berwarana putih, berdarah (-),
keringat malam (-), orang dewasa/tetangga yang batuk lama/ konsumsi obat 6
bulan (-) (menyingkirkan batuk oleh TB) batuk tidak dipengaruhi
udara/obat/makanan (menyingkirkan oleh riwayat alergi), riwayat tersedak (-)
(menyingkirkan oleh karena aspirasi ), pilek (+) (berhubungan dengan masalah
gizi dan daya tahan tubuh anak mudah terserang penyakit terutama yang
berhubungan infeksi saluran napas kasus ini anak juga menderita batuk dan pilek
yang mengarah ke bronkopneumonia yang diperkuat dengan temuan pemeriksaan
fisik dan penunjang yang akan dibahas nanti).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, Keadaan umum : Tampak sakit sedang-
berat, Kesadaran CM, Status gizi : Gizi buruk, TTV didapatkan T : 36,4 ºC,
Respirasi : 68 x/menit/takipneu, SpO2 = 66%, Nadi : 153x/menit. Pada
pemeriksaan didapatkan dalam batas normal, Mulut : dalam batas normal, Leher :
JVP (-), Pembesaran KGB (-) (menyingkirkan TB), pada pemeriksaan Thorax
Depan dan Paru, Retraksi interkostal, retraksi subcostal, Perkusi : Tidak diperiksa,
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (+/+) basah halus nyaring, pada jantung,
Inspeksi : Ictus cordis : ICS 4, 1 jari medial garis mid clavicula, pulsasi jantung.
Palpasi : Ictus cordis ICS 4, 1 jari medialgaris mid clavicula. Perkusi sulit dinilai.
Auskultasi : BJ I Normal, reguler, BJ II Tunggal pada seluruh siklus pernapasan,
bentuk bising : Ejeksi sistolik, derajat bising : 4/6, punctum maximum : ICS 2 tepi
kanan sternum, penjalaran bising : Sepanjang tepi sternum, Akral hangat,
Kekuatan : sup 5/5, inf 5/5.
Telah jelas dijabarkan pada uraian diatas kenapa terdapat gangguan
pertumbuhan pada anak dengan PJB berawal dari asupan makanan yang kurang,
hal ini tercermin dari status gizi anak berdasarkan Z score/NCHS WHO nilai
BB/TB, BB/U, TB/U SD = <-3 (gizi buruk).
Pada kasus ini inspeksi dada terdapat retraksi intercostals sebagai gambaran
dari tambahan usahan bernapas dari otot pernapasan karena pasien sesak, selain
karena pasien kurus hal ini tampak dari sela iga. Anak berkompensasi lama

74
dengan keadaan sesaknya. Pada pasien BP biasanya akan terliht retraksi
epigastrium. Karena infeksi saluran napas terjadi di bagian bawah.
Auskultasi didapatkan rhonki basah halus nyaring pada kasus ini
mengindikasikan adanya konsolidasi di paru kanan yang biasa disebabkan oleh
pneumonia, dan adanya ronkhi basah kasar di basal thorax sinistra
mengindikasikan oedem paru oleh karena transudasi cairan dengan kandungan
protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri
dan sebagian kapiler paru, peningkatan denyut dan tekanan darah akan
mengurangi kemampuan pengisisan dari ventrikel kiri, hal ini menambah beban
jantung sehingga fungsi kardiak semakin menurun. Pada kasus ini edem paru juga
dapat dicetuskan oleh gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli, yang
merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kepiler dan alveolar
salah satunya bisa disebabkan oleh pneumonia.
Pada pemeriksaan fisik jantung dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan
pada daerah para sterna kanan, wide fixed splitting bunyi jantung kedua walaupun
tidak selalu ada, bising sistolik tipe ejeksi pada daerah pulmonal pada garis sterna
kiri atas, bising mid diastolik pada daerah tricuspid, dapat menyebar ke apeks.
Bunyi jantung kedua mengeras di daerah pulmonal, oleh karena kenaikan
tekanan pulmonal, dan perlu diingat bahwa bising-bising yang terjadi pada ASD
merupakan bising fungsional akibat adanya beban volume yang besar pada
jantung kanan. Sianosis jarang ditemukan, kecuali bila defek besar atau common
atrium, defek sinus coronarius, kelainan vascular paru, stenosis pulmonal, atau
bila disertai anomaly Ebstein.
Pada kasus ini juga diteggakkan Bronkopneumonia berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda klinis seperti, suara napas melemah, dan ronki basah kasar.
Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Pada
anamnesa Keluhan pada anak meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala,
anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare.
Secara klinis ditemukan gejala respiratori seperti takipnea, retraksi, napas cuping
hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan

75
konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Ronki hanya ditemukan bila
ada infiltrat alveoler. Klasifikasi pneumonia pada bayi dan anak berusia 2 bulan -
5 tahun berdasarkan pedoman dari WHO adalah sebagai berikut :
Pneumonia berat
- Bila ada sesak napas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik pneumonia
- Bila tidak ada sesak napas
- Ada napas cepat dengan laju napas :
> 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun
> 40 x/menit untuk anak >1-5 tahun
- Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Pada kasus ini pemeriksaan fisik ditemukan takipneu dan dypsneu, hal ini
sulit di bedakan dengan penyebab oleh karena PJB karena pasien juga mengalami
PJB. Indikasi lain berupa batuk, ronkhi, dan vesikuler menurun, juga terdapat
demam.
Pada kasus ini juga diteggakkan sindrom down berdasarkan : Anak dengan
sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir yang kurang dari
normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr atau
kurang, pada anak ini diketahui BBL 2000 gram.
Temuan Fisik sindrom down yang dijumpai pada pasien ini yaitu , Penderita
sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi yang rata,
occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang
tengkorak yang lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan
sphenoid serta hipoplasia pada sinus maksilaris. Pada pasien ini didapatkan
bentuk kepala microcephal.
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting)
karena fissure palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik -
titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus
(20%), blepharitis (33%), conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak
kongenital, pseudopapil edema, spasma nutans dan keratoconus. Didapatkan pada
pasien ini yaitu konjungtivitis.

76
Pada sistem endokrin Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan
hipothyroidism adalah gangguan pada sistem endokrin yang paling sering
ditemukan. Terdapat kelainan endokrin hipothyroid pada pasien ini.
Cacat jantung bawaan, cacat jantung kongenital yang umum (40 - 50%)
jantung bawaan yang paling sering endocardial cushion defect (43%), ventricular
septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy Fallot cacat
septum atrium (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%), lesions pada
patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari
semua endocardial cushion defects terkait dengan sindroma Down. Kelainan
jantung bawaan pada pasien ini yaitu ASD.
Kelainan saluran cerna pada sindrom down, gangguan struktural dan
fungsional saluran cerna dapat terjadi pada sekitar 10% anak dengan sindrom
down, adanya gangguan pembentukan saluran cerna, pada pasien ini didapatkan
kelainan saluran cerna berupa hernia umbilkalis.
Pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan pemeriksaan darah rutin terdapat hasil leukositosis. Hal ini
sesuai dengan teori pada kasus bronkopneumonia dimana pada pemeriksaan lab
terdapat peningkatan leukositosis. hitung leukosit dapat membedakan pneumonia
virus dan bakteri pada pemeriksaan GDS didapatkan 60 mg/dl, (menyingkirkan
sesak karena penyakit metabolik)
Foto toraks
Pada bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Echocardiography
Pada pemeriksaan echocardiography didapatkan kesan ASD Sekundum L-R
Shunt, pemeriksaan echocardiography merupakan pemeriksaan yang sangat
dianjurkan dalam mendiagnosis ASD, walaupun bukan gold standar diagnosis.
Pemeriksaan ini mudah, cepat, murah dan tidak invasif serta dapat dengan baik
memperlihatkan struktur dinding jantung, katup, pergerakan, tekanan dan volume
ruang jantung secara real-time.

77
Komplikasi
1. Kira-kira 10 % dari pasien menjadi hipertensi pulmonal. Situasi aliran shunt
yang terus-menerus nantinya berubah sebaliknya menjadi kanan ke kiri.
Kemudian pasien menjadi sianotik. Hal ini diketahui sebagai sindrom
Eisenmenger
2. Emboli paradoxical
3. Cardiac conduction defects (fibrilasi atrium, flutter)
Pada penderita ASD ini dapat terjadi gagal jantung kongestif, disaritmia
atrium, insufisiensi katup mitral dan penyakit obstruksi vaskular.
Terapi
- O2 Headbox 8 L/mnt
- IVFD D5 1/4 NS 150cc/hari
- Inj. Ampicillin sulbactam 3x150mg
- Inj. Ceftazidim 2x125 mg
- Inj. Furosemide 1x4mg
- Nebulisasi ventolin 1cc+Nacl 0,9% 2 cc 4x/hari
- Tobroson eye 2x1 tetes OD OS
- Spironolacton 1x2 mg
IVFD D5 ¼ NS 150cc/hari berdasarkan buku pelayanan Kesehatan anak
280ml, namun karena pasien ini mengalami kelainan jantung tetesan dibuat
menjadi 250cc, penambahan volume cairan tubuh dengan infuse bermanfaat pada
penanganan serangan sianosis, kebutuhan energi usia 0-6 bulan= 120 kkal/kg BBI
(4,5 kg)
Kebutuhan protein adalah sebesar 10% dari total kebutuhan energi sehari,
dapat dihitung : (10% x Total Energi Harian) : 4 = x gram.
Kebutuhan Lemak yaitu sebesar 20% dari total energi harian yaitu (20% x
Total Energi Harian) : 9 = x gram.
Kebutuhan Karbohidrat adalah sisa dari total energi harian dikurangi prosentase
protein dan lemak yaitu (70% x Total Energi Harian) : 4 = x gram.
Kebutuhan energi harian = 410kkal = 102 g.
Kebutuhan protein =10,2 g.

78
Kebutuhan lemak= 20,4 g, dan
Kebutuhan Karbohidrat = 71,4 g.
Pada pasien gagal jantung pemberian diuretik adalah untuk mengurangi
preload atau volum diastolik akhir. Dosis furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, 1-2
kali/hari oral/IV. Pada pasien ini diberikan Furosemid 1 x 2 mg.
Pada pasien ini diberikan antibiotik yaitu Inj. Ceftaxidim yang merupakan
antibiotika cephalosporin semisintetik yang bersifat bakterisidal. Mekanisme kerja
antibakaterinya adalah dengan menghambat kerja enzim tertentu yang
bertanggung jawab terhadap sintesis dinding sel bakteri. Secara invitro,
ceftazidime dapat mempengaruhi mikroorganisme dalam rentang/spektrum yang
luas, termasuk strain yang resisten terhadap gentamicin dan aminoglycoside
lainnya. Ceftazidime sangat stabil terhadap beta laktamase, plasmid dan
kromosom yang paling penting secara klinis dihasilkan oleh organisme gram
positif dan gram negatif dan dengan demikian, ceftazidime aktif melawan
beberapa strain yang resisten terhadap ampicilin dan ceplasporin lainnya. Indikasi
pada infeksi saluran pernapasan bagian bawah : pneumonia, bronkopneumia,
pleura yang terinfeksi, emfisema, bronkiektasis yang terinfeksi, abses pada paru-
paru, infeksi paru-paru pada pasien dengan fibrosis kistik.
Pasien juga diberikan paracetamol syrup dengan dosis 1,25 cc sebagai
antipiretik. Karena gejala klinis pada BP terdapat demam, demam pada pasien ini
berkisar antara 37,5-38 °C. Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk
menjaga kenyamanan pasien dan mengontrol batuk.
Pasien juga diberikan terapi inhalasi nebulisasi ventolin obat ini bekerja
dengan cara merangsang selektif reseptor beta-2 adrenergik terutama pada otot
bronkus sehingga menyebabkan terjadinya bronkodilatasi karena otot bronkus
mengalamai relaksasi.
Pasien juga diberikan Tobroson eye 2x1 tetes OD OS, adalah obat tetes
mata yang mengandung tobramycin sebagai antibiotik aminoglikosida yang
digunakan untuk mengobati infeksi akibat bakteri. Dalam mengobati infeksi
tobramycin bekerja dengan cara membunuh bakteri dan menekan
pertumbuhannya agar tidak muncul kembali.

79
Pemberian spironolacton merupakan steroid dengan struktur yang mirip
aldosteron, bekerja pada bagian distal tubulus ginjal dimana akan terjadi
peningkatan ekskresi nattrium dan air serta pengurangan ekskresi kalium sehingga
berefek sebagai diuretik dan antihipertensi.

80
BAB V
KESIMPULAN

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa


sejak lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir
kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah lengkap, jadi kelainan
pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan. %. Yang termasuk dalam
penyakit janutng kongenital non-sianotik adalah duktus arteriosus persisten
(PDA), defek septum atrium (ASD), defek septum ventrikel (VSD). Defek septum
atrial atau Atrial Septal Defect (ASD) adalah gangguan septum atau sekat antara
rongga atrium kanan dan kiri atau lubang abnormal pada sekat yang memisahkan
kedua belah atrium sehingga terjadi pengaliran darah dari atrium kiri yang
bertekanan tinggi ke dalam atrium kanan yang bertekanan rendah.
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Pada pneumonia
gambaran klinis yang muncul yaitu demam, sesak napas, batuk, dan retraksi dada.
Pada kedaan lebih berat dapat terlihat nafas cuping hidung dan kepala terangguk-
angguk. Pada pneumonia dapat terdengar suara nafas yang menurun, vesikuler,
dan adanya suara ronki basah halus nyaring pada auskultasi. Pemeriksaan
penunjang pada bronkopneumonia diantaranya laboratorium darah rutin, CRP, uji
serologis, mikrobiologis, dan foto toraks. Terapi yang diberikan pada
bronkopneumonia yaitu antimikroba sesuai antigen penyebab.
Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas
perkembangan kromosom. Kelainan sindroma Down terjadi karena kelebihan
jumlah kromosom pada kromosom nomor 21 sehingga kelainan ini disebut trisomi
21. Anak yang menyandang sindroma Down ini akan mengalami keterbatasan
kemampuan mental dan intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau
pertumbuhan mental yang lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami
perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh yang relatif lemah,

81
penyakit jantung bawaan, alzheimer, leukemia, dan berbagai masalah kesehatan
lain.

82
DAFTAR PUSTAKA

1. Tsuda T. 2016. Lectures Series of Congenital Heart Disease ―Cyanotic


Congenital Heart Diseaseǁ. Journal of heart and cardiology 2(1): 1- 5. Volume
2 issue 1.
2. Munniseche, K. Wilar, R. Kaunang,E D. Hubungan penyakit jantung bawaan
dengan status pendidikan orangtua. Jurnal e-clinic (eCL). 2016. Dapat
diunduh di :
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/download/13921/13495
3. Haas, N. Franke, J. Management of a child with cyanosis in Guideline for
management of congenital heart disease in childhood and adolescence.
Cambrige core. 2017. DOI : 10.1017/S1047951116001955
4. Suryo. Abnormalitas akibat kelainan kromosom dalam Genetika manusia,
Universitas Gadjah Mada press, cetakan ke 6 tahun 2001. Hal 259-270.
5. Kliegman R, Behrman R, Jenson H SB. 2020. Nelson textbook of pediatrics.
Philadelphia; saunders Ed 21.
6. Mcleod G, Shum K, Gupta T, Chakravorty S, Kachur S, Bienvenu L, White
M, Shah SB. Echocardiography in Congenital Heart Disease. Prog Cardiovasc
Dis. 2018 Nov - Dec; 61(5-6): 468-475.
7. Senst B, Kumar A, Diaz RR. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
TreasureIsland (FL): Sep 18, 2020. Cardiac Surgery.
8. Sun HY, Proudfoot JA, McCandless RT. Prenatal detection of critical cardiac
outflow tract anomalies remains suboptimal despite revised obstetrical
imaging guidelines. Congenit Heart Dis. 2018 Sep;13(5):748-756.
9. Mawad W, Mertens LL. Recent Advances and Trends in Pediatric
CardiacImaging. Curr Treat Options Cardiovasc Med. 2018 Feb 21; 20(1): 9.
10. Refaat MM, Ballout J, Mansour M. Ablation of Atrial Fibrillation in Patients
with Congenital Heart Disease. Arrhythm Electrophysiol Rev. 2017 Dec; 6(4):
191-194.
11. Mat Bah MN, Sapian MH, Jamil MT, Abdullah N, Alias EY, Zahari N. The

83
birth prevalence, severity, and temporal trends of congenital heart disease in
the middle‐ income country: a population‐based study. Congenit Heart Dis.
2018;13(6):1012‐1027.
12. Liu Y, Chen S, Zühlke L, et al. Global birth prevalence of congenital heart
defects 1970–2017: updated systematic review and meta‐analysis of 260
studies. Int J Epidemiol. 2019;48(2):455‐463.
13. Bakker MK, Bergman JE, Krikov S, et al. Prenatal diagnosis and prevalence
of critical congenital heart defects: an international retrospective
cohort study. BMJ Open. 2019;9(7):e028139.
14. Chen LJ, Zhang YQ, Tong ZR, Sun AM. Evaluation of the anatomic and
hemodynamic abnormalities in tricuspid atresia before and after surgery using
computational fluid dynamics. Medicine. 2018;97:2e9510.
15. Congenital heart disease—diagnosis [online]. 2018.
https://www.nhs.uk/conditions/congenital‐heart‐disease/diagnosis/.
16. Pammi M, Arias‐Shah A. Assessment of cyanosis in the newborn—
differential diagnosis of symptoms | BMJ Best
Practice [online]. 2020. https://bestpractice.bmj.com/topics/en‐gb/768.
17. Daley M, Brizard CP, Konstantinov IE, Brink J, Jones B, d'Udekem Y.
Absorbable pulmonary artery banding: a strategy for reducing reoperations.
Eur J Cardiothorac Surg. 2017;51(4):735‐739.
18. John R Charpie. 2017. Transposition of the great arteries treatment and
management. Diunduh dari : emedicine.medscape.com.
19. Boucek DM, Qureshi AM, Goldstein BH, Petit CJ, Glatz AC. Blalock‐Taussig
shunt versus patent ductus arteriosus stent as first palliation for
ductal‐dependent pulmonary circulation lesions: a review of the literature.
Congenit Heart Dis. 2019;14(1):105‐109.
20. Ihsanul A. Teddy O. 2017. Tatalaksana dan Rujukan Awal Penyakit Jantung
Bawaan Kritis. Divisi Kardiologi – Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU dr.Soetomo, Surabaya,
Indonesia. vol. 44 no. 9.
21. Khalil et al. 2019. Critical newborns with CHD. Transl Pediatr 2019;8(2):114-

84
126.
22. Indonesia KKR. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018 [Internet]. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2019. 187–191 p. Available from:
http://www.kemkes.go.id.
23. Samuel A. Bronkopneumonia in pediatric patient. J Agromed Unila.
2014;1(2):186–9.
24. (IDAI) IDAI. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Pudjaji, Antonius H., Hegar, Badriul., Handryastuti, Setyo., Idris, Nikmah
Salamia., Gandaputra Ellen P., Harmoniati ED, editor. Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2009.
25. A F. Penegakan Diagnosis dan Penatalaksanaan Bronkopneumonia pada
Pasien Laki-laki Berusia 6 Bulan. Medula. 2013;1(2):1–10.
26. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta: World Health Organization Indonesia; 2009. 86–93
p.
27. Ebeledike, Chiemelie., Ahmad T. Pediatric Pneumonia [Internet]. StatPearls
[Internet]. 2020 [cited 2021 Apr 23]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536940/
28. Adkinson R.L, Brown M.D. Disorders of gender differentiation and sexual
development in Elsevier’s Integrated Genetics 2007. p 17-20
29. Reed E.P. medical genetics. Current medical diagnosis and treatment,
McGraw-Hill Companies. 44th ed. 2005. p 1670
30. N Heyn, Sietske. 2011. Available at : Down
Syndrome.http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.htm.
[Accessed on June 8th 2013.
31. Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. Epidemiology of Down
Syndrome. Mental Retardation And Developmental Disabilities Research
Reviews. 2007; 13: 221 - 227.
32. Chen H. genetics of Down syndrome. eMedicine. Feb 4, 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/943216-overviewtfa0104. Accessed on

85
June 6th 2013.
33. Mayo C.S Down syndrome. Available at
http://www.mayoclinic.com/health/down- syndrome/DS00182. Accessed on
June 2rd 2013.
34. Sietske N.H. Down syndrome 10 July 2011. Available at
http://www.medicinenet.com/down syndrome/article.html. Accessed on June
3rd 2013.
35. Down syndrome. Genetics Home Reference. 30 Aug 2010. Available at
http://www.ghr.nlm.nih.gov/condition/down-syndrome. Accessed on June 3rd
2013.
36. Care C. masalah sindrom Down. 2009. Available at http://www.childcare-
center.com/masalah/sindrom-down.html. Accessed on June 3rd 2013.
37. Saharso D. Sindroma Down. 2006. Available at
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=061214-
irky208.htm. Accessed on June 6th 2013.
38. Lyle R. Down syndrome. 2004. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15510164. Accessed on June 6th 2013.
39. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar
Psikiatri Klinis. Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563.
40. Shin, M., Besser, Lilah M., Kucik, James E., Lu, C., Siffel, C., Correa, A. et
al. 2009.
41. Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescents in 10
Regions of the United States. Official Journal of the American Academic of
Pediatrics. 124:1565- 1571.
42. Sindrom Down. Available at :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31669/4/Chapter%20II.pdf.
Accessed on June 8th 2013.

86

Anda mungkin juga menyukai