DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
DOSEN PEMBIMBING
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongannya kami tidak akansanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha ESA karena dengan
rahmat,karunia,serta taufik dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas
kuliah yang berjudul “Kebijakan dan Program Pemerintah dalam
Penanggulangan Penyakit DBD”.
Kelompok 6
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
3.1 Kesimpulan...................................................................................................13
3.2 Saran.............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
mengingat awal perjalanan penyakit dengan gejala yang sulit dibedakan dengan
gejala infeksi lainnya. Selain itu, kasus-kasus yang dilaporkan sebagai DBD tidak
semuanya didukung hasil pemeriksaan laboratorium klinik terutama adanya
peningkatan hematrokit dan penurunan trombosit sebagaimana kriteria yang
ditetapkan WHO.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Belum ada vaksin untuk pencegahan penyakit DBD dan belum ada
obatobatan khusus untuk penyembuhannya, dengan demikian pengendalian DBD
tergantung pada pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Program pemberantasan
penyakit DBD di berbagai negara umumya belum berhasil, karena masih
tergantung pada penyemprotan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa.
Penyemprotan membutuhkan pengoperasian yang khusus dan membutuhkan
biaya yang tinggi.
1
Kementerian Kesehatan RI, ‘Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue
Di Indonesia’, Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam Berdarah Di Indonesia, 5 (2017),
1–128.
6
Tindakan pencegahan dan pemberantasan akan lebih lestari bila dilakukan
dengan pemberantasan sumber larva, Dalam hal ini perlu pendekatan yang terpadu
terhadap pengendalian nyamuk dengan menggunakan semua metode yang tepat
(lingkungan, biologi dan kimiawi) yang murah, aman dan ramah lingkungan.
Upaya-upaya ini antara lain dengan pengelolaan lingkungan, perlindungan diri,
pengendalian biologis dan pengendalian secara kimia.
Pada penyakit DBD, agen penyakit menular berupa virus dengue yang
termasuk dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari empat serotipe,
yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Virus ditularkan kepada manusia (host)
melalui perantara gigitan vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpictus
yang terinfeksi virus dengue. Pada mulanya nyamuk tersebut berasal dari negara
Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia melalui
transportasi udara dan laut. Nyamuk tersebut hidup dengan subur di belahan dunia
yang mempunyai iklim tropis dan subtropis seperti Benua Asia, Afrika, Australia
dan Amerika.
7
Faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD antara
lain yaitu:
Pada umumnya penderita DBD akan mengalami fase demam selama 2-7
hari. Fase pertama terjadi selama satu hingga tiga hari. Penderita akan merasakan
demam yang cukup tinggi, yaitu 40C. Pada fase kedua, penderita mengalami fase
kritis pada hari keempat hingga kelima. Pada fase ini penderita akan mengalami
penurunan suhu tubuh hingga 37C dan penderita akan merasa dapat melakukan
aktivitas kembali (merasa sembuh kembali). Pada fase ini jika tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat, dapat terjadi keadaan fatal, yaitu penurunan trombosit
secara drastis akibat pemecahan pembuluh darah (pendarahan). Selanjutnya fase
ketiga akan terjadi pada hari kelima dan keenam di mana penderita akan
merasakan demam kembali. Fase ini dinamakan fase pemulihan di mana trombosit
akan perlahan naik dan normal kembali (Kementerian Kesehatan, 2017). Sampai
saat ini, DBD masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dan
menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang terjadi
antara lain munculnya kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga,
berkurangnya usia harapan dalam keluarga, dan berkurangnya usia harapan hidup
masyarakat. Dampak ekonomi langsung adalah biaya pengobatan yang cukup
mahal, sedangkan dampak tidak langsung adalah kehilangan waktu kerja dan
biaya lain yang dikeluarkan selain pengobatan seperti transportasi dan akomodasi
selama perawatan sakit.
8
a. Mekanisme Penularan DBD
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan
sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari
mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita DBD digigit nyamuk
penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam
lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar
di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya.
Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut
siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus
ini akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu,
nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi
penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali
nyamuk menusuk (menggigit), sebelumnya menghisap darah akan
mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis), agar darah yang
dihisap tidak membeku. Bersamaan air liur tersebut virus dengue
dipindahkan dari nyamuk ke orang lain
b. Tempat potensial bagi penularan DBD
Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk
penularnya. Oleh karena itu tempat yang potensial untuk terjadi penularan
DBD adalah:
Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).
1. Tempat-tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya
orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga
kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue
yang cukup besar seperti: sekolah, RS/Puskesmas dan sarana
pelayanan kesehatan lainnya, tempat umum lainnya (hotel,
pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah dan lain-lain).
2. Pemukiman baru di pinggir kota, penduduk pada lokasi ini
umumnya berasal dari berbagai wilayah maka ada
kemungkinan diantaranya terdapat penderita yang membawa
tipe virus dengue yang berbeda dari masing-masing lokasi
9
2.4 Kebijakan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa DBD
Kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai
tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau
sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Kebijakan publik
dalam bentuk undang-undang mengenai penanggulangan wabah penyakit menular
tertera dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular (UU WPM). Undang-undang tersebut merupakan pengganti dari
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah yang dinilai kurang
mengakomodir perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, lalu lintas
internasional, dan perubahan lingkungan hidup yang dapat memengaruhi
perubahan pola penyakit. Dalam ketentuan umum disebutkan bahwa wabah
adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Maksud dan tujuan adanya undang-undang tersebut adalah untuk melindungi
penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan oleh wabah sedini mungkin, dalam
rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Menteri
mempunyai wewenang menetapkan dan mencabut penetapan daerah tertentu
dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah.
a. Penyelidikan epidemiologi
b. Pemeriksaan
c. Pengobatan
d. Perawatan
e. Isolasi penderita termasuk tindakan karantina
f. Pencegahan dan pengebalan
g. Pemusnahan penyebab penyakit
h. Penanganan jenazah akibat wabah
i. Penyuluhan kepada masyarakat
10
Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang adalah jenis kebijakan
publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau peraturan pelaksananya
(Nugroho, 2012). Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular yang memerlukan peraturan pelaksananya.
Undangundang tersebut mengamanatkan pembentukan enam peraturan
pemerintah dan satu peraturan menteri sebagai peraturan pelaksana UU WPM.
Namun hingga kini hanya ada satu peraturan pelaksana, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular yang isinya merupakan gabungan dari enam peraturan pemerintah yang
terdapat dalam pasal 17 dan pasal 18 yaitu :
Pasal 17
(1) Penanggulangan KLB DBD dilakukan pada saat terjadi wabah atau KLB.
(2) KLB DBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara resmi
oleh walikota untuk KLB DBD skala daerah.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pernyataan keadaan KLB DBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan penanggulangan KLB dan wabah
DBD .
Pasal 18
(1) Dalam hal suatu daerah dinyatakan KLB DBD, semua penderita yang
dinyatakan positif DBD dirawat di rumah sakit kelas III (tiga) atau
Puskesmas dan biaya perawatannya ditanggung oleh pemerintah daerah.
(2) Biaya perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota apabila KLB DBD dinyatakan
oleh Walikota.
(3) Ketetntuan mengenai biaya perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dilaksanakan dengan berpedoman pada buku Petunjuk Pelaksanaan
Penanggulangan KLB dan wabah DBD.
11
bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita- cita bangsa kesehatan bagi setiap
individu, maka apabila terjadi suatu gangguan kesehatan dalam suatu negara,
pemerintah berupaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui
kebijakan kesehatan.
(1) Pencegahan
(2) Penemuan, pertolongan dan pelaporan
(3) Pengamatan penyakit dan penyelidikan epidemiologi
Penanggulangan seperlunya.
12
PM.01.11/Menkes/591/2016 tentang Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk
3M Plus dengan “Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik”. Upaya tersebut antara
lain:
13
1. Mengurangi habitat vektor seperti menutup tempat penyimpanan air,
membuang limbah padat yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk.
2. Penggunaan bilogi seperti predator nyamuk seperti capung, katak, dan
ikan.
3. Penggunaan bahan kimia yang memiliki sifat insektisida guna mengurangi
populasi nyamuk di lingkungan setempat seperti larvasida yang diterapkan
langsung ke air dan adulticides yang digunakan dalam fogging untuk
melawan nyamuk dewasa. Contoh insektisida yang digunakan adalah
organofosfat seperti fenitrothion, fenthione malathione, dan piretroid
seperti cypermethin, deltamethrin, dan permethrin (WHO, 2009).
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabakan oleh virus dengue yang ditandai demam 2 – 7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya
hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit),
asites, efusi pleura, hipoalbuminemia).Mengingat DBD merupakan penyakit
berbasis lingkungan, maka upaya penanggulangan DBD tidak akan maksimal
apabila hanya dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga bermanfaat bagi pembaca dan bisa
menambah wawasan dan pengetahuan tentang kebijakan dan program pemerintah
dalam penanggulangan penyakit DBD. Dan juga makalah penulis ini dapat
dijadikan referensi bagi teman-teman semua atau pembaca. Diharapkan pembaca
bisa memberikan kritik dan saran untuk dapat menjadikan penulis lebih baik lagi
dalam penulisan makalah-makalah selanjutnya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI, ‘Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam
Berdarah Dengue Di Indonesia’, Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian
Demam Berdarah Di Indonesia, 5 (2017), 1–128
Gubler, Duane. (2005). The Emergence of Epidemic Dengue Fever and Dengue
Hemorrhagic Fever in The Americas: a Case of Failed Public Health
Policy. Rev Panam Salud Publica. Vol 17, No.2, hlm. 221-224
16