Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEBIJAKAN KESEHATAN

“KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMERINTAH DALAM


PENANGGULANGAN PENYAKIT DBD”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

1. Delvan Trimayolanda (213310720)


2. Dini Hendiani (213310722)
3. Fhathin Furaiza Brahmita (213310723)
4. Prahardinasti Nabilah (213310733)

DOSEN PEMBIMBING

Tasman, Skp, Sp. Kep. Kom

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
TP. 2022/2023

1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongannya kami tidak akansanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik.

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha ESA karena dengan
rahmat,karunia,serta taufik dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas
kuliah yang berjudul “Kebijakan dan Program Pemerintah dalam
Penanggulangan Penyakit DBD”.

Kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapa Tasman, Skp, Sp.


Kep. Kom selaku dosen mata kuliah. Kami tentu menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masihbanyak kesalahan serta kekurangan
didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik sertasaran supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi lebih baik lagi. kami juga mengucapkanterimakasih
kepada dosen pembimbing yang memberikan tugas ini. Demikian semoga dapat
bermanfaat, Terimakasi.

Padang, 19 Oktober 2022

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3

1.1 Latar Belakang...............................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................4

1.3 Tujuan Umum.................................................................................................4

1.4 Tujuan Khusus................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4

2.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)................................................5

2.2 Epidemiologi Penyakit DBD..........................................................................6

2.3 Penularan DBD...............................................................................................7

2.4 Kebijakan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa DBD.................................9

2.5 Strategi Pencegahan dan Pengendalian KLB DBD......................................12

BAB III PENUTUP...............................................................................................13

3.1 Kesimpulan...................................................................................................13

3.2 Saran.............................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia dalam peta wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) berada
dalam posisi yang memprihatinkan. Hampir setiap tahun kasus DBD berfluktuasi
dan cenderung meningkat angka kesakitan dan sebaran wilayah yang terjangkit.
Tahun 2014, DBD berjangkit di 433 kabupaten/ kota dengan angka kesakitan
39,83 per 100.000 penduduk, namun angka kematian dapat ditekan di bawah 1
persen yaitu 0,9 persen. Demam Berdarah Dengue (DBD) diperkirakan cenderung
meningkat dan meluas sebarannya (Kemenkes, 2015).

Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD pernah beberapa kali terjadi di


Indonesia, yaitu tahun 1973, 1977, 1978, 1983, 1988, 1966, 1998, 2007 dan 2009.
Kasus KLB tertinggi selama kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 2009
sebanyak 154.855 kasus dan jumlah penderita yang meninggal sebanyak 1.384
orang. Peningkatan jumlah kasus dua kali lipat lebih banyak bila dibandingkan
dengan KLB DBD tahun 1998 sebanyak 72.133 dengan penderita yang meninggal
sebanyak 1.414 orang (Kemenkes, 2011).

Penyakit yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes Aegypti ini


sebenarnya dapat dikendalikan melalui pengendalian vektor dengan cara memutus
rantai penularan melalui Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), terlebih vaksin
untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat DBD masih dikembangkan.
Akan tetapi, pengendalian vektor hampir di semua negara dan negara endemis
tidak tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan belum memutus rantai penularan
(Achmadi, 2010; Sukowati, 2010).

Mengingat DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan, maka upaya


penanggulangan DBD tidak akan maksimal apabila hanya dilaksanakan oleh
sektor kesehatan saja. Sektor kesehatan sebagai instansi teknis dalam penemuan
dan tatalaksana penderita DBD masih dihadapkan pada beberapa permasalahan
diantaranya penemuan kasus secara dini yang bukanlah hal yang mudah

4
mengingat awal perjalanan penyakit dengan gejala yang sulit dibedakan dengan
gejala infeksi lainnya. Selain itu, kasus-kasus yang dilaporkan sebagai DBD tidak
semuanya didukung hasil pemeriksaan laboratorium klinik terutama adanya
peningkatan hematrokit dan penurunan trombosit sebagaimana kriteria yang
ditetapkan WHO.

Berdasarkan Latar belakang diatas maka makalah ini disusun dengan


mengangkat judul tentang “Kebijakan dan Program Pemerintah dalam
Penanggulangan Penyakit DBD”

1.2 Rumusan Masalah


Megetahui bagaimanakah kebijakan dan program pemerintah dalam
penanggulangan penyakit DBD dalam ilmu kesehatan terutama dalam profesi
keperawatan.

1.3 Tujuan Umum


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas makalah
yang diberikan oleh dosen pengampu dalam mata kuliah Kebjikan Kesehatan
dengan judul “Kebijakan dan Program Pemerintah dalam Penanggulangan
Penyakit DBD”.

1.4 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus dalam penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui dan memahami pengertian DBD


2. Mengetahui epidemiologi penyakit DBD
3. Mengetahui penularan DBD
4. Mengetahui dan memahami kebijakan penanggulangan kejadian luar biasa
DBD
5. Mengetahui strategi pencegahan dan pengendalian KLB DBD

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)


Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabakan oleh virus dengue yang ditandai demam 2 – 7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya
hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit),
asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Dapat disertai gejala-gejala tidak khas
seperti nyeri kepala, nyeri otot & tulang, ruam kulit atau nyeri belakangan bola
mata.

Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi


DBD berat. Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh
dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit
(asimtomatik). Sebagian lagi akan menderita demam dengue saja yang tidak
menimbulkan kebocoran plasma dan mengakibatkan kematian.

Dalam 3 dekade terakhir penyakit ini meningkat insidennya di berbagai


belahan dunia terutama daerah tropis dan sub-tropis, banyak ditemukan di wilayah
urban dan semi-urban. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes yang
mengandung virus dengue. 1

Belum ada vaksin untuk pencegahan penyakit DBD dan belum ada
obatobatan khusus untuk penyembuhannya, dengan demikian pengendalian DBD
tergantung pada pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Program pemberantasan
penyakit DBD di berbagai negara umumya belum berhasil, karena masih
tergantung pada penyemprotan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa.
Penyemprotan membutuhkan pengoperasian yang khusus dan membutuhkan
biaya yang tinggi.

1
Kementerian Kesehatan RI, ‘Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue
Di Indonesia’, Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam Berdarah Di Indonesia, 5 (2017),
1–128.

6
Tindakan pencegahan dan pemberantasan akan lebih lestari bila dilakukan
dengan pemberantasan sumber larva, Dalam hal ini perlu pendekatan yang terpadu
terhadap pengendalian nyamuk dengan menggunakan semua metode yang tepat
(lingkungan, biologi dan kimiawi) yang murah, aman dan ramah lingkungan.
Upaya-upaya ini antara lain dengan pengelolaan lingkungan, perlindungan diri,
pengendalian biologis dan pengendalian secara kimia.

2.2 Epidemiologi Penyakit DBD


Epidemiologi merupakan studi tentang penyebaran penyakit serta faktor-
faktor yang memengaruhinya. Penyebaran penyakit dikaji melalui frekuensi
penyakit yang dihitung dalam angka prevalensi, insiden, CFR, dan lainnya.
Kegunaan epidemiologi adalah untuk menggambarkan penyakit yang terjadi di
masyarakat secara keseluruhan berdasarkan frekuensi, distribusi, dan determinan
yang memengaruhinya. Terdapat tiga hal yang memengaruhi terjadinya penyakit
menular atau biasa disebut segitiga epidemiologi penyakit menular, yaitu agent,
host dan environment. Ketiganya saling memengaruhi satu sama lain. Agen
merupakan penyebab penyakit menular seperti virus, bakteri, protozoa, jamur,
cacing, riketsia, dan lainnya. Agen penyakit dapat bertahan di tubuh manusia dan
juga binatang (zoonosis). Host atau induk semang dapat terinfeksi agen penyakit
namun tergantung pada kekebalan tubuhnya. Sedangkan environment merupakan
media kontak antara agen dan induk semang, yaitu berupa udara, sentuhan kulit,
makanan yang telah terkontaminasi, plasenta ibu hamil, dan lainnya.

Pada penyakit DBD, agen penyakit menular berupa virus dengue yang
termasuk dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari empat serotipe,
yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Virus ditularkan kepada manusia (host)
melalui perantara gigitan vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpictus
yang terinfeksi virus dengue. Pada mulanya nyamuk tersebut berasal dari negara
Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia melalui
transportasi udara dan laut. Nyamuk tersebut hidup dengan subur di belahan dunia
yang mempunyai iklim tropis dan subtropis seperti Benua Asia, Afrika, Australia
dan Amerika.

7
Faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD antara
lain yaitu:

a. Pertumbuhan penduduk yang tinggi


b. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
c. Kontrol vektor nyamuk yang tidak efektif di daerah endemis
d. Peningkatan sarana transportasi.

Pada umumnya penderita DBD akan mengalami fase demam selama 2-7
hari. Fase pertama terjadi selama satu hingga tiga hari. Penderita akan merasakan
demam yang cukup tinggi, yaitu 40C. Pada fase kedua, penderita mengalami fase
kritis pada hari keempat hingga kelima. Pada fase ini penderita akan mengalami
penurunan suhu tubuh hingga 37C dan penderita akan merasa dapat melakukan
aktivitas kembali (merasa sembuh kembali). Pada fase ini jika tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat, dapat terjadi keadaan fatal, yaitu penurunan trombosit
secara drastis akibat pemecahan pembuluh darah (pendarahan). Selanjutnya fase
ketiga akan terjadi pada hari kelima dan keenam di mana penderita akan
merasakan demam kembali. Fase ini dinamakan fase pemulihan di mana trombosit
akan perlahan naik dan normal kembali (Kementerian Kesehatan, 2017). Sampai
saat ini, DBD masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dan
menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang terjadi
antara lain munculnya kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga,
berkurangnya usia harapan dalam keluarga, dan berkurangnya usia harapan hidup
masyarakat. Dampak ekonomi langsung adalah biaya pengobatan yang cukup
mahal, sedangkan dampak tidak langsung adalah kehilangan waktu kerja dan
biaya lain yang dikeluarkan selain pengobatan seperti transportasi dan akomodasi
selama perawatan sakit.

2.3 Penularan DBD


Penularan penyakit DBD memiliki tiga faktor yang memegang peranan
pada penularan infeksi virus, yaitu manusia, virus dan vektor perantara
(Hadinegoro, dkk. 2001). Lebih jelasnya Depkes RI, 2005 menjelaskan
mekanisme penularan penyakit DBD dan tempat potensial penularannya:

8
a. Mekanisme Penularan DBD
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan
sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari
mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita DBD digigit nyamuk
penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam
lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar
di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya.
Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut
siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus
ini akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu,
nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi
penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali
nyamuk menusuk (menggigit), sebelumnya menghisap darah akan
mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis), agar darah yang
dihisap tidak membeku. Bersamaan air liur tersebut virus dengue
dipindahkan dari nyamuk ke orang lain
b. Tempat potensial bagi penularan DBD
Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk
penularnya. Oleh karena itu tempat yang potensial untuk terjadi penularan
DBD adalah:
Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).
1. Tempat-tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya
orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga
kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue
yang cukup besar seperti: sekolah, RS/Puskesmas dan sarana
pelayanan kesehatan lainnya, tempat umum lainnya (hotel,
pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah dan lain-lain).
2. Pemukiman baru di pinggir kota, penduduk pada lokasi ini
umumnya berasal dari berbagai wilayah maka ada
kemungkinan diantaranya terdapat penderita yang membawa
tipe virus dengue yang berbeda dari masing-masing lokasi

9
2.4 Kebijakan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa DBD
Kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai
tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau
sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Kebijakan publik
dalam bentuk undang-undang mengenai penanggulangan wabah penyakit menular
tertera dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular (UU WPM). Undang-undang tersebut merupakan pengganti dari
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah yang dinilai kurang
mengakomodir perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, lalu lintas
internasional, dan perubahan lingkungan hidup yang dapat memengaruhi
perubahan pola penyakit. Dalam ketentuan umum disebutkan bahwa wabah
adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Maksud dan tujuan adanya undang-undang tersebut adalah untuk melindungi
penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan oleh wabah sedini mungkin, dalam
rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Menteri
mempunyai wewenang menetapkan dan mencabut penetapan daerah tertentu
dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah.

Upaya penanggulangan wabah meliputi :

a. Penyelidikan epidemiologi
b. Pemeriksaan
c. Pengobatan
d. Perawatan
e. Isolasi penderita termasuk tindakan karantina
f. Pencegahan dan pengebalan
g. Pemusnahan penyebab penyakit
h. Penanganan jenazah akibat wabah
i. Penyuluhan kepada masyarakat

10
Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang adalah jenis kebijakan
publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau peraturan pelaksananya
(Nugroho, 2012). Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular yang memerlukan peraturan pelaksananya.
Undangundang tersebut mengamanatkan pembentukan enam peraturan
pemerintah dan satu peraturan menteri sebagai peraturan pelaksana UU WPM.
Namun hingga kini hanya ada satu peraturan pelaksana, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular yang isinya merupakan gabungan dari enam peraturan pemerintah yang
terdapat dalam pasal 17 dan pasal 18 yaitu :

Pasal 17

(1) Penanggulangan KLB DBD dilakukan pada saat terjadi wabah atau KLB.
(2) KLB DBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara resmi
oleh walikota untuk KLB DBD skala daerah.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pernyataan keadaan KLB DBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan penanggulangan KLB dan wabah
DBD .
Pasal 18
(1) Dalam hal suatu daerah dinyatakan KLB DBD, semua penderita yang
dinyatakan positif DBD dirawat di rumah sakit kelas III (tiga) atau
Puskesmas dan biaya perawatannya ditanggung oleh pemerintah daerah.
(2) Biaya perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota apabila KLB DBD dinyatakan
oleh Walikota.
(3) Ketetntuan mengenai biaya perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dilaksanakan dengan berpedoman pada buku Petunjuk Pelaksanaan
Penanggulangan KLB dan wabah DBD.

Sebagai suatu wabah penyakit yang mengganggu kesehatan masyarakat


DBD (Demam berdarah dengue) tentu saja harus menjadi perhatian penting sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, mengatakan

11
bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita- cita bangsa kesehatan bagi setiap
individu, maka apabila terjadi suatu gangguan kesehatan dalam suatu negara,
pemerintah berupaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui
kebijakan kesehatan.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan suatu kebijakan spesifik


dan mengrucut kepada masalah DBD (Demam berdarah dengue) tersebut melalui
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
581/MENKES/SK/VII/1992. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 Bab VI tentang upaya
pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue bahwa Pemberanatsan
Penyakit DBD (Demam berdarah dengue) dilakukan kegiatan meliputi:

(1) Pencegahan
(2) Penemuan, pertolongan dan pelaporan
(3) Pengamatan penyakit dan penyelidikan epidemiologi
Penanggulangan seperlunya.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


92/MENKES/II/1994 dijelaskan bahwa adanya perubahan pada bab VIII
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
581/MENKES/SK/VII/1992, dijelaskan bahwa adanya penambahan pembentukan
wilayah pokja DBD Demam Berdarah Dengue (DBD) di tingkat Desa/Kelurahan
atau dapat juga dibentuk di tingkat wilayah dibawah Desa/Kelurahan, seprti
Dusun/Lingkungan/RW/RT, dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 92/MENKES/II/1994 dijelaskan bahwa pembentukan pokjanal
DBD hanya pada wilayah Kecamatan dan Pusat.

Atas dasar kejadian KLB 2016, Kementerian Kesehatan mendorong


masyarakat melakukan upaya pencegahan dan pengendalian DBD melalui
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus dengan “Gerakan Satu Rumah
Satu Jumantik (Juru Pemantau Jentik)” melalui Surat Edaran Nomor

12
PM.01.11/Menkes/591/2016 tentang Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk
3M Plus dengan “Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik”. Upaya tersebut antara
lain:

1. Menguras, yaitu membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat


penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air
minum, dan penampungan air di lemari es dan dispenser.
2. Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti
drum, kendi, dan toren air.
3. Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki
potensi untuk menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes.

2.5 Strategi Pencegahan dan Pengendalian KLB DBD


Strategi pencegahan dan pengendalian KLB DBD dilakukan dengan upaya
melakukan surveilans aktif berbasis laboratorium, kesiapan dan tanggap darurat
untuk pengendalian nyamuk, darurat rawat inap dan pengobatan penderita DBD,
pendidikan kesehatan masyarakat tentang diagnosis klinis dan manajemen DBD,
pengendalian nyamuk Aedes di komunitas (Gubler, 2005). Menurut Kementerian
Kesehatan, fogging bukan strategi yang utama dalam mencegah DBD. Fogging
tidak dilakukan secara rutin melainkan dilakukan di daerah sekitarnya pada saat
terjadinya kasus di suatu wilayah. Pencegahan dilakukan melalui menjaga
kebersihan dan menghilangkan jentik nyamuk. Upaya pemusnahan nyamuk
dewasa dengan metode ultra-low-volume fogging merupakan kegagalan kebijakan
yang terjadi di negaranegara endemis DBD di Amerika. Ketika pandemi DBD
terjadi, biasanya respon untuk menerapkan penyemprotan fogging kembali
meningkat. Metode ini dinilai tidak efektif karena membutuhkan biaya yang tidak
sedikit dan dampak yang tidak adekuat pada transmisi nyamuk. Walaupun
kegiatan fogging telah dilakukan, namun tetap terjadi puluhan ribu kasus DBD,
ratusan kematian, dan ratusan juta dolar dalam kerugian ekonomi (Gubler, 2005).

Manajemen lingkungan merupakan upaya pengendalian vektor yang


paling efektif, yaitu:

13
1. Mengurangi habitat vektor seperti menutup tempat penyimpanan air,
membuang limbah padat yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk.
2. Penggunaan bilogi seperti predator nyamuk seperti capung, katak, dan
ikan.
3. Penggunaan bahan kimia yang memiliki sifat insektisida guna mengurangi
populasi nyamuk di lingkungan setempat seperti larvasida yang diterapkan
langsung ke air dan adulticides yang digunakan dalam fogging untuk
melawan nyamuk dewasa. Contoh insektisida yang digunakan adalah
organofosfat seperti fenitrothion, fenthione malathione, dan piretroid
seperti cypermethin, deltamethrin, dan permethrin (WHO, 2009).

Dengan kata lain, pendekatan untuk meningkatkan kesehatan lingkungan


dan mengelola habitat vektor seharusnya menjadi prioritas dalam penanggulangan
KLB DBD. Kontrol vektor DBD merupakan alat yang efektif dalam mengurangi
populasi nyamuk Aedes terutama melalui pendekatan berbasis komunitas dan
dikombinasikan dengan pendidikan kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan,
kesadaran, dan sikap masyarakat. Dalam upaya penanggulangan penyakit DBD
yang efektif, diperlukan koordinasi lintas sektor yang terkait sanitasi,
pengembangan perkotaan dan sektor pendidikan. Selain itu, harus melibatkan
komunitas lokal dalam melindungi diri mereka sendiri dengan upaya pemusnahan
tempat perindukan nyamuk, penggunaan obat nyamuk, dan lainnya (Singh, 2017).

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabakan oleh virus dengue yang ditandai demam 2 – 7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya
hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit),
asites, efusi pleura, hipoalbuminemia).Mengingat DBD merupakan penyakit
berbasis lingkungan, maka upaya penanggulangan DBD tidak akan maksimal
apabila hanya dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan suatu kebijakan spesifik


dan mengrucut kepada masalah DBD (Demam berdarah dengue) tersebut melalui
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
581/MENKES/SK/VII/1992

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga bermanfaat bagi pembaca dan bisa
menambah wawasan dan pengetahuan tentang kebijakan dan program pemerintah
dalam penanggulangan penyakit DBD. Dan juga makalah penulis ini dapat
dijadikan referensi bagi teman-teman semua atau pembaca. Diharapkan pembaca
bisa memberikan kritik dan saran untuk dapat menjadikan penulis lebih baik lagi
dalam penulisan makalah-makalah selanjutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI, ‘Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam
Berdarah Dengue Di Indonesia’, Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian
Demam Berdarah Di Indonesia, 5 (2017), 1–128

Susianti, Novia, ‘STRATEGI PEMERINTAH DALAM PROGRAM


PEMBERANTASAN DEMAM BERDARAH DENGUE ( DBD ) DI
KABUPATEN MERANGIN PROVINSI JAMBI Government Strategy in
the Dengue Hemorrhagic Fever ( DHF ) Eradication Program in Merangin
District , Jambi Province’, Jurnal Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 22.1
(2018), 34–43

Tarigan, Rahma Hayati Br, and Febri Yuliani, ‘Implementasi Kebijakan


Pemberantasan Penyakit Dbd (Demam Berdarah Dengue) Di Kota
Pekanbaru’, Gastronomía Ecuatoriana y Turismo Local., 1.69 (2020), 5–24

Nugroho, Riant. (2012). Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan,


dan Manajemen Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Gubler, Duane. (2005). The Emergence of Epidemic Dengue Fever and Dengue
Hemorrhagic Fever in The Americas: a Case of Failed Public Health
Policy. Rev Panam Salud Publica. Vol 17, No.2, hlm. 221-224

Singh, Amerjeet dan Andrew W Taylor-Robinson. (2017). Vector Control


Interventions to Prevent Dengue: Current Situation and Strategies for
Future Improvements to Management of Aedes in India. Journal of
Infectious Disease and Pathology. Vol. 2. No. 1, hlm. 1-8.

Kementerian Kesehatan. (2016). Menkes. Dibanding Fogging, PSN 3M Plus lebih


Utama Cegah DBD. Jakarta: Kementerian Kesehatan

16

Anda mungkin juga menyukai