Anda di halaman 1dari 2

TEKS ARTIKEL (Gabriel Radika Prabowo // 17 // XII MIPA 7)

KARHUTLA

Tidak dapat dimungkiri bahwa, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih
menjadi momok yang menakutkan bagi negeri ini. Tahun demi tahun karhutla berulang, tidak ada
jaminan bahwa karhutla akan berhenti secara permanen dan tidak akan terjadi di tahun-tahun ke
depan. Kita masih dapat memaklumi jika karhutla bersumber dari kejadian alam, seperti fenomena El Nino,
yang dapat memantik api di lahan yang sudah mengering. Namun, pada kenyataannya permasalahan karhutla
yang menahun, bersumber dari ulah manusia itu sendiri. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menyebut bahwa 99% penyebab terjadinya karhutla di Indonesia adalah ulah manusia yang lebih
mementingkan keuntungan ekonomi semata. Karhutla telah menjadi persoalan multi dimensi. Tidak hanya
pada kerugian lingkungan, tetapi kerugian negara dan masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan tata kelola adalah dalang dari karhutla. Ia mencakup,
mulai dari persoalan transparansi data, anggaran, dan penegakan hukum para pelaku karhutla. Buruknya
kejadian karhutla pun mengindikasikan buruknya tata kelola hulu ke hilir. Membenahinya tentunya menjadi
tantangan tersendiri, -sulit, tapi bukannya tidak mungkin.
Pertama, transparansi data dan informasi karhutla. Kemudahan masyarakat dalam mengakses data
karhutla adalah hak dasar yang harus disediakan oleh pemerintah. Patut diapresiasi bahwa Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyediakan SiPongi sebagai portal penyedia data karhutla.
Namun, selanjutnya masih butuh kolaborasi dari media massa dan para pihak agar informasi yang disampaikan
itu tepat dan akurat, tidak simpang siur, yang dapat memunculkan bias perbedaan data.
Kedua, partisipasi dan kolaborasi. Permasalahan karhutla tersebar pada banyak sektor yang saling
bergantung satu sama lain. Untuk itu, partisipasi dan kolaborasi dari banyak pihak adalah sebuah keniscayaan.
Termasuk di dalamnya, sinergitas para petugas pemadam api yang mencakup para pemangku kepentingan,
baik pusat maupun daerah, hingga level tapak, harus satu visi, misi, dan strategi.
Ketiga, persoalan pengukuran kinerja. Salah satu regulasi yang harus dirombak adalah tentang
indikator keberhasilan penanganan karthula. Seharusnya indikasi keberhasilan penanganan karhutla bukan lagi
berpedoman pada serapan alokasi anggaran karhutla. Namun pada kinerja dan prestasi pemadaman api. Pun,
pada penyiapan struktur masyarakat dan peralatan sebelum karhutla terjadi.
Keempat, pengawasan dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sudah menjadi
rahasia umum, bahwa karhutla sering kerap terjadi di lahan dan konsesi. Hal ini tak lepas dari paradigma
sebagian pengusaha untuk terus mencari keuntungan dengan korbanan paling minimal. Opsi membakar lahan
pun lalu menjadi pilihan. Pada saat ketahuan, mereka berkelit saat ditindak, dan menimpakan detik kesalahan
pada pihak lain. Pengawasan dan penegakan hukum yang tajam dan tanpa pandang bulu tentu menjadi kunci
untuk mengatasi ini. Saat area terbakar, sedini mungkin investigasi kasus dan pemberian sanksi, -baik
administratif dan hukum, harusnya dapat segera dimulai.

Anda mungkin juga menyukai