Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi
permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang
memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien yang tidak berhasil
disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB yang tinggi di dunia, World
Health Organization (WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2011
terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian dengan menurunnya angka
penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini.
Insiden TB secara global dilaporkan menurun dengan 2,2% pada tahun 2010-2011.
Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti beban global akibat TB masih besar.
Diperkirakan pada tahun 2011 insiden kasus TB mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta
dengan koinfeksi HIV) dan 990 orang meninggal karena TB. Secara global
diperkirakan insiden TB resisten adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan
riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia
terjadi di negara berkembang.
Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati urutan
keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia merupakan negara dengan
beban TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium
Development Goals (MDG’s) untuk penemuan kasus TB diatas 70% dan angka
kesembuhan 85% pada tahun 2006.
Untuk menanggulangi kasus TB yang semakin meningkat, WHO telah
merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak
tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi
kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-evective). Integrasi ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan
dengan demikian menurunkan insidensi TB di masyarakat. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan
TB.
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB di Indonesia mulai
menerapkan strategi DOTS yang dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak
tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional diseluruh UPK terutama
Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar untuk mencapai

1
tujuan Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional, yaitu Angka Penemuan
Kasus minimal 70% dan Angka Kesembuhan minimal 85%.
Mengingat betapa banyaknya kasus TB di Indonesia yang masih menjadi
masalah kesehatan yang belum bisa diatasi, dan Puskesmas sebagai salah satu unit
pelayanan dasar dalam program pengendalian tuberkulosis, maka disusunlah
Pedoman Pengendalian TB ditingkat Puskesmas sebagai acuan dalam implementasi
program pengendalian TB sehingga berjalan efektif, efisien dan bermutu.

B. TUJUAN PEDOMAN
1. Tujuan jangka panjang
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TBC,
memutuskan rantai penularan,serta mencegah terjadinya MDR TB

2. Tujuan jangka pendek


a. Tercapainya angka kesembuhan Minimal 85 % dari semua penderita baru
BTA positif yang ditemukan
b. Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga
dapat mencapai 70 % dari perkiraan semua penderita baru BTA Positif

C. SASARAN
Sasaran dari pedoman ini adalah semua pemangku kepentingan terkait
pelaksanaan program pengendalian tuberkulosis agar dapat bekerjasama dalam
pengendalian tuberkulosis di wilayah Puskesmas Mirit.

D. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pedoman ini meliputi tatalaksana dan pencegahan TB,
manajemen program TB, dan pengendalian TB komprehensif di wilayah
Puskesmas Mirit.

E. BATASAN OPERASIONAL
1. Angka Default adalah presentase pasien TB yang default diantara seluruh
pasien TB yang diobati dalam kurun waktu tertentu.
2. Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase
pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang
sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA
positif yang tercatat.
3. Angka Keberhasilan Rujukan adalah presentase pasien TB yang dirujuk dan
sampai di UPK rujukan diantara seluruh pasien TB yang dirujuk.

2
4. Angka Kesembuhan (Cure Rate) adalah angka yang menunjukkan prosentase
pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa
pengobatan, diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
5. Angka Konversi (Conversion Rate) adalah prosentase pasien baru TB paru
BTA positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalni
masa pengobatan intensif.
6. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate=CNR) adalah angka yang
menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemuakan dan tercatat diantara
100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu.
7. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate=CDR) adalah prosentase
jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibanding jumlah
pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
8. Angka penjaringan suspek adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya
dintara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun.
9. Contact tracing TB adalah prosedur untuk mengidentifikasi kontak serumah,
kontak erat maupun lingkungan yang terpapar pasien TB.
10. DOTS (Directly Observed Treatment Shor-course) adalah strategi
pengendalian tuberkulosis yang dikembangkan oleh Who yang berfokus pada
penemuan dan penyembuhan pasien sehingga dapat memutus rantai
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
11. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya
atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
12. Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih.
13. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan
saat ini ditegakkan diagnosis TB episode rekuren (baik untuk kasus yang
benar-benar kambuh atau episode yang disebabkan reinfeksi)
14. Kasus pengobatan gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapat
OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
15. Kasus setelah putus berobat adalah pasien yang pernah menelan OAT satu
bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut
turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan (Pada revisi
guideline WHO tahun 2013 klasifikasi ini direvisi menjadi pasien dengan
perjalanan pengobatan tidak dapat dilacak (loss to follow up) yaitu pasien
yang pernah mendapatkan OAT dan dinyatakantidak dapat dilacak pada akhir
pengobatan)

3
16. Kasus dengan riwayat pengobatan lainnya adalah pasien sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatan tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
17. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada saat
ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien telah
terdaftar di register HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi ARV.
18. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada
saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif dikemudian
hari harus disesuaikan klasifikasinya.
19. Pasien TB berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis adalah
seorang pasien Tb yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya dengan
pemeriksaan mikroskopis, biakan atau diagnostik cepat ang diakui.
20. Pasien TB berdasarkan diagnois klinis adalah seseorang yang memulai
pengobatan namun tidak memenuhi defiisi dasar diagnosis berdasarkan hasil
konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis.
21. Pasien pindah adalah pasien yang dipindah register TB (TB 03) lain untuk
melanjutkan pengobatan (klasifikasi ini tidak terdapat lagi dalam revisi
guideline WHO tahun 2013)
22. Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien
yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori diatas.
23. Pasien kasus TB apusan negatif adalah pasien dengan hasil pemeriksaan
apuan dahak BTA negatif tetapi biakan positif untuk M. Tuberkulosis.
24. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki
bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui
HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya.
25. Pengendalian adalah segala upaya yang meliputi pelayanan promotif,
preventif, diagnosis, kuratif, rehabilitatif yang ditujukan untuk menurunkan
angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran
penyakit agar tidak meluas kedaerah lain serta mengurangi dampak negatif
yang ditimbulkannya.
26. PMO (Pengawas Menelan Obat) adalah orang yang diberikan kepercayaan
untuk mengawasi pasien dalam menelan obat secara teratur sehingga
pengobatan bisa selesai dengan benar dan lengkap.
27. Proporsi pasien TB BTA Positif diantara suspek adalah prosentase pasien
BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya.

4
28. Proporsi pasien TB BTA Positif diantara semua pasien TB paru yang
tercatat/diobati adalah prosentase pasien Tuberkolosis paru BTA positif
diantara semua pasien Tuberkulosis pasru tercatat.
29. Proporsi pasien TB anak diantara semua pasien TB adalah prosentase
pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat.
30. TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ diluar parenkim paru
seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourenaria, kulit,
sendi dan tulang, selaput otak.
31. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial.
32. Tersangka pasien TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala
yang mendukung TB.
33. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberkulosis)

F. LANDASAN HUKUM
1. UU No 23/92 : Kewenangan penyelenggaraan Program Nasional ada pada
pemerintah
Pasal 6, pasal 9, pasal 53
2. UU no 32 th 2004 tentang pemerintah daerah :
Amandemen UUD 1945 pasal 17 dan pasal 8, istilah baku yang dipakai adalah
“urusan pemerintah”bukan “kewenangan”
Sebagai landasan atau aspek legal penyelenggaraan penanggulangan nasional
adalah:
a. Kepmenkes No 364/Menkes/SK/V/2009 tanggal 13 Mei 2009 tentang
Pedoman Nasional Penanggulangan TB
b. SK Menkes RI Nomor 13/2013 tentang Pedoman Manajemen Terpadu
Pengendalian TB Resisten Obat.
c. Surat Edaran Dirjen Bina Pelayanan Medik No. YM.02.08/III/673/07 tentang
penatalaksanaan TB di Rumah Sakit.
d. SK Menkes No.1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Kolaborasi TB HIV

BAB II

STANDART KETENAGAAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

5
DI PUSKESMAS

A. Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas


Upaya Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas merupakan salah satu Upaya
Kesehatan Wajib yang harus diselenggarakan oleh setiap Puskesmas.

B. Tujuan Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas


Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Tujuan umum:
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TBC,
memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya MDR TB
b. Tujuan khusus:
1. Terlaksananya pengendalian TB yang adekuat di Puskesmas sesuai
strategi DOTS
2. Terlaksanya kemitraan dan jejaring TB yang komprehensif
3. Terlaksananya pencatatan, pelaporan, monitoring dan evaluasi yang baik di
Puskesmas dan jejaringnya.

C. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Puskesmas pelaksana mandiri : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terdiri
dari 1 dokter, satu perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. Selain itu
program pengendalian TB di Puskesmas melibatkan semua jajaran karyawan
Puskesmas termasuk Kepala Puskesmas, lintas program baik tenaga medis dan
non medis, serta lintas sektor setempat di wilayah kerja Puskesmas Mirit.

D. Distribusi Ketenagaan di Puskesmas dalam Pengendalian Tuberkulosis


1. Dokter
Dokter berperan sebagai penanggung jawab pelayanan tuberkulosis sekaligus
sebagai Koordinator Pengendalian Tubekulosis di Puskesmas yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut:
a. Menemukan penderita
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita terduga) TBC
3) Menegakkan diagnosis TBC sesuai protap
4) Membuat klasifikasi/type penderita
5) Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC
yang ditemukan
b. Memberikan pengobatan

6
1) Menetapkan jenis paduan obat
2) Memberi obat tahap intensif dan tahap lanjutan
3) Memberi KIE (penyuluhan) pada penderita, keluarga dan PMO
4) Memantau keteraturan berobat
5) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
6) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
c. Penanganan Logistik
1) Menjamin tersedianya OAT di Puskesmas
2) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lain (formulir,reagen dll)
d. Menjaga mutu semua pelaksanaan kegiatan pengendalian tuberkulosis

2. Perawat Poliklinik
Perawat poliklinik mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut:
a. Menemukan penderita
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita terduga) TBC
b. Memberikan pengobatan
3) Memberi KIE (penyuluhan) pada penderita, keluarga dan PMO
4) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya

3. Petugas TB Puskesmas
Petugas TB Puskesmas mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut:
a. Menemukan penderita
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita terduga) TBC
3) Mengumpul dahak dan mengisi uku daftar suspek Form TB.06
4) Membuat sediaan hapus dahak
5) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium dengan Form TB.05
6) Menegakkan diagnosis TBC sesuai protap
7) Membuat klasifikasi/type penderita
8) Mengisi kartu penderita (Form TB.01) dan kartu identitas penderita
9) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TBC BTA
Pos.
10)Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC
yang ditemukan
b. Memberikan pengobatan

7
1) Menetapkan jenis paduan obat
2) Memberi obat tahap intensif dan tahap lanjutan
3) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (Form
TB.01)
4) Menentukan PMO (bersama pasien)
5) Memberi KIE (penyuluhan) pada penderita, keluarga dan PMO
6) Memantau keteraturan berobat
7) Melakukan pemeriksan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
9) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
c. Penanganan Logistik
1) Menjamin tersedianya OAT di Puskesmas
2) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lain (formulir,reagen dll)

4. Petugas Lab
a. Menemukan penderita
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita terduga) TBC
3) Mengumpul dahak dan mengisi uku daftar suspek Form TB.06
4) Membuat sediaan hapus dahak
5) Mewarnai dan membaca sediaan dahak, mengirim balik hasil bacaan,
mengisi buku register laboratorium (TB.04), dan menyimpan sedikit
sediaan untuk dicrosscheck
b. Memberikan pengobatan
Melakukan pemeriksan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
c. Penanganan Logistik
Menjamin tersedianya bahan pelengkap lain (formulir,reagen dll)
d. Pengelolaan Laboratorium
1) Memelihara mikroskop dan alat laboratorium lainnya
2) Menangani limbah laboratorium
3) Melaksanakan prosedur keamanan dan keselamatan kerja
5. Bidan
a. Menemukan penderita
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita terduga) TBC
b. Memberikan pengobatan
1) Memberi obat tahap intensif dan tahap lanjutan

8
2) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (Form
TB.01)
3) Menentukan PMO (bersama pasien)
4) Memberi KIE (penyuluhan) pada penderita, keluarga dan PMO
5) Memantau keteraturan berobat
6) Melakukan pemeriksan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
7) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
8) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita

6. Petugas Pustu
a. Menemukan penderita
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita terduga) TBC
3) Mengumpul dahak dan mengisi uku daftar suspek Form TB.06
4) Membuat sediaan hapus dahak
5) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium dengan Form TB.05
6) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TBC BTA Pos.
7) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TBC BTA Pos.
b. Memberikan pengobatan
1) Memberi obat tahap intensif dan tahap lanjutan
2) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (Form
TB.01)
3) Menentukan PMO (bersama pasien)
4) Memberi KIE (penyuluhan) pada penderita, keluarga dan PMO
5) Memantau keteraturan berobat
6) Melakukan pemeriksan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
7) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
8) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita

E. Jadwal Kegiatan.
Jadwal pelaksanaan kegiatan disepakati dan disusun bersama dengan sektor
terkait dalam pertemuan lokakarya mini lintas program dan lintas sektor tiap tiga
bulan sekali

9
BAB III

STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruang
Sarana dan Prasarana yang diperlukan untuk menunjang Pengendalian
Tuberkulosis di Puskesmas

10
a. Ruang Konsultasi TB
1) Letak
Letak ruang konsultasi TB berada pada bagian belakang Puskesmas dekat
dengan langsung dengan lingkungan luar puskesmas.
2) Denah ruang konsultasi TB
Jendela

250

Alat
Pintu
Antr
opo
met
ri

300
Meja Konsultasi

Kursi

Gambar 1. Contoh Layout Ruang Konsultasi TB di Puskesmas

B. Standar Fasilitas
1. Ruang Konsultasi Tuberkulosis
Peralatan/perlengkapan yang disediakan pada ruangan konsultasi
tuberkulosis
antara lain :
a) Meja
b) Kursi
c) Media KIE
d) Alat ukur antropometri (timbangan berat badan)
e) OAT TB
2. Pojok Batuk
a) Pot sputum

11
b) Masker
c) Wastafel, sabun, handuk tangan
d) Peralatan kebersihan dan pencucian alat
1. Tempat sampah tertutup
2. Perlengkapan kebersihan (sapu, sikat, serokan dan lap pel)
3. Ketersediaan sarana dan prasarana mengacu pada standar, tetapi
dapat disiapkanbertahap sesuai dengan kondisi setempat.

BAB IV

TATA LAKSANA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS


DI PUSKESMAS

Program Pengendalian Tuberkulosis Di Puskesmas adalah kegiatan


pengendalian TB mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
dilakukan di wilayah kerja Puskesmas yang mengacu pada strategi DOTS. Program

12
Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas dilakukan di dalam gedung dan di luar
gedung, sebagaimana dijelaskan berikut ini.

A. Pelayanan Program Pengendalian TB di Dalam Gedung

1. Kegiatan Pelayanan Pengendalian TB di Dalam Gedung


Kegiatan pengendalian TB di dalam gedung terdiri dari upaya promotif, preventif,
dan kuratif serta rehabilitatif yang dilakukan di dalam puskesmas. Kegiatan
pengendalian tuberkulosis di dalam gedung terdiri dari tatalaksana pasien TB di
Puskesmas.
Berikut adalah uraian mengenai program pengendalian TB di dalam gedung
Tatalaksana Pasien TB
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola
dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan pasien TB
adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan
dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan
bagian dari surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien menelan obat
sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana
bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi
kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.
1) PENEMUAN PASIEN TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan
langkah pertamadalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan
penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan
kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di
masyarakat. Strategi penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan;didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif,
yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara
aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

Gejala klinis pasien TB


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur

13
darah,batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpaipula
pada penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini
masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut
diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunungan yang berurutan
berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada
saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek
membawa sebuah pot dahak untukmengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua,
saatmenyerahkan dahak pagi.
2) DIAGNOSIS TB
Diagnosis TB paru
•Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi – sewaktu (SPS).
•Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
•Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis
•Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
•Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
Diagnosis TB ekstra paru.

14
•Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjarlimfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang
(gibbus) pada spondilitis TBdan lain-lainnya.
•Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung
pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat
diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks
dan lain-lain.

Gambar Alur Diagnosis TB Paru


Pemeriksaan dahak mikroskoewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)Pemeriksaan dahak
Suspek TB Paru
mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)Pemeriksaan dahak mikroskopis -
Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi,
Sewaktu (SPS)
Pemeriksaan dahak mikroskopis – Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)
Hasil BTA + + +
+ + - /+ - -
Hasil BTA - - -
+=

+=
=

Kasus definitif TB BTA (+) Lihat klinis dan foto toraks

15

Tidak sesuai TB Sesuai TB


Antibiotik 2 minggu Kasus TB BTA (-)

Tidak perbaikan, klinis sesuai TB


Perbaikan sesuai

Bukan TB
Obati sesuai kasus TB BTA (-)
serta melakukan pemeriksaan
biakan sputum M. TB

Indikasi pemeriksaan foto toraks


Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan
dahaksecara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi
tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai
berikut:
• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan
foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis ‘TB paru BTA positif.
• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.

16
• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis
atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk
menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).
3) KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN
• Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu
‘definisi
kasus’ yang meliputi empat hal , yaitu:
- Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
- Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau BTA
negatif;
- Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
- Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
• Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
- menentukan paduan pengobatan yang sesuai
- registrasi kasus secara benar
- menentukan prioritas pengobatan TB BTA(+)
- analisis kohort hasil pengobatan
• Beberapa istilah dalam definisi kasus:
- Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis
oleh dokter.
- Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimendahak SPS hasilnya BTA positif.
• Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat
diperlukan untuk :
- menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah
timbulnya resistensi,
- menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan
pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
- mengurangi efek samping.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:


• Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

17
• Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:


• Tuberkulosis paru BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.

• Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit


• TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far
advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
• TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
- TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
- TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.
Catatan:
• Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

18
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipepasien yaitu:
• Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
• Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
• Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
• Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
• Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
• Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
initermasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.

4) PENGOBATAN TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Jenis, sifat dan dosis OAT
Tabel 3.1. Jenis, sifat dan dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)

Harian 3xseminggu

19
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10(8-12) 10 (8-12)

Pyrazinamide Bakterisid 25(20-30) 35 (30-40)


(Z)
Streptomycin Bakterisid 15(12-18) 15 (12-18)
(S)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15(15-20) 30(20-35)

Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.

Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangkawaktu yang lebih lama
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

20
• Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR
􀂃 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini
disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
􀂃 Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam
bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1)
pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan
dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan
mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat
ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana
dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT dan peruntukannya.


1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
􀂃 Pasien baru TB paru BTA positif.
􀂃 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
􀂃 Pasien TB ekstra paru

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan


tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16

21
RHZE (150/75/400/275) minggu
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
􀂃 Pasien kambuh
􀂃 Pasien gagal
􀂃 Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)
Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Badan tiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(275)
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
30–37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT+ 2 tab
+ 500 mg Streptomisin Etambutol
inj.
38–54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj.
55–70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
≥ 71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.

Catatan:
 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)

22
 Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lapis kedua.

5) TATALAKSANA TB ANAK
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak – anak batuk bukan merupakan
gejala utama.Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak
perlu kriteria laindengan menggunakan sistem skor. Unit Kerja Koordinasi
Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan
menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau
tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program
nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak. Setelah dokter
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
makadilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang
lebih atau sama dengan 6 ( >6 ), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT (obat antituberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis
kecurigaan kearah TB kuat makaperlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi
pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak - Laporan BTA positif
jelas keluarga, BTA
negatif atau
tidak tahu,
BTA
tidak jelas
Uji tuberkulin negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi
)
Berat badan / Bawah garis Klinis gizi
keadaan gizi merah (KMS) buruk

23
atau (BB/U < 60%)
BB/U < 80%
Demam > 2 minggu
tanpa
sebab jelas
Batuk ≥3 minggu
Pembesaran >1 cm,
kelenjar limfe jumlah >1,
koli, tidak nyeri
aksila,
inguinal
Pembengkak Ada
an pembengkak
tulang / sendi an
panggul,
lutut,
falang
Foto toraks toraks Suggestif TB
Normal /
tidak
jelas
Skor total
Catatan :
• Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
• Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti
Asma, Sinusitis, dan lain – lain.
• Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
• Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan
badan.
• Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
• Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
• Anak dinyatakan probable TB jika skoring mencapai nilai 6 atau lebih. Namun
demikian, jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif dan uji tuberkulinnya

24
positif namun tidak didapatkan gejala, maka anak cukup diberikan profilaksis INH
terutama anak balita.
• Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
􀂃 kejang, kaku kuduk
􀂃 penurunan kesadaran
􀂃 kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis

Skor > 6

Bukan TB

Respons (+) Respons (-)

Terapi TB diteruskan Teruskan terapi TB sambil


mencari penyebabnya

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan , lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun
gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)


Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif
maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Dosis OAT Kombipak pada anak
BB < 10 kg BB BB
Jenis Obat 10 – 20 kg 20 – 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg

25
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Dosis OAT KDT pada anak


Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:
􀂃 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
􀂃 Anak dengan BB 15 – 19 kg dapat diberikan 3 tablet.
􀂃 Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
􀂃 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
􀂃 OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem
skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak
tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5 – 10 mg/kg BB/hari selama 6
bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG
dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.
6) PENGAWASAN MENELAN OBAT
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan
seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
• Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
• Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
• Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
• Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

b. Siapa yang bisa menjadi PMO

26
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
 Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
 Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
 Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
 Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-
gejalamencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan
Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat
dari unit pelayanan kesehatan.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya:
• TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
• TB bukan penyakit keturunan atau kutukan
• Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
• Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
• Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
• Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK

7) PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN TB


Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan.
Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan
karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan
pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen
positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan

27
positif. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak
Tipe Pasien TB Tahap Pengobatan Hasil Pemeriksaan TINDAK LANJUT
Dahak
Pasien baru BTA Akhir tahap intensif Negatif Tahap lanjutan
positif dengan dimulai
pengobatan Positif Dilanjutkan dengan
kategori 1 fase lanjutan
diteruskan follow
up pada akhir
bulan ke3
Sebulan sebelum Negatif OAT dilanjutkan
akhir pengobatan Positif Gagal, ganti
dengan OAT kat2
mulai dari awal.
Jika
memungkinkan,
lakukan biakan, tes
resistensi atau
rujuk ke layanan
TB-MDR
Akhir pengobatan Negatif dan Sembuh
(AP) minimal satu
pemeriksaan
sebelumnya negatif
Positif Gagal, ganti
dengan OAT kat2
mulai dari awal.
Jika
memungkinkan,
lakukan biakan, tes
resistensi atau
rujuk ke layanan
TB-MDR
Pasien baru BTA Akhir intensif Negatif Berikan
neg dan foto toraks pengobatan tahap

28
mendukung TB lanjutan sampai
dengan selesai, kemudian
pengobatan kat 1 pasien dikatakan
pengobatan
lengkap.
Positif Ganti dengan kat 2
mulai dari awal
Pasien BTA positif Akhir intensif Negatif Teruskan
dengan pengobatan
pengobatan kat 2 dengan tahap
lanjutan
Positif Teruskan
pengobatan
dengan tahap
lanjutan, follow up
di bulan berikutnya
Sebulan sebelum Negatif Lanjutkan
akhir pengobatan pengobatan hingga
selesai
Positif Pengobatan gagal,
disebut kasus
kronik, bila
mungkin lakukan
uji kepekaan obat,
bila tidak rujuk ke
layanan TB-MDR
Akhir Pengobatan Negatif Sembuh
(AP) Positif Pengobatan gagal,
disebut kasus
kronik, bila
mungkin lakukan
uji kepekaan obat,
bila tidak rujukke
layanan TB-MDR

Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur


Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

29
Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan
 Lacak pasien
 Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur
 Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan
terpenuhi*
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan
Tindakan-1 Tindakan kedua
 Lacak pasien Bila hasil BTA Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa
 Diskusikan dan negatif atau Tb sampai seluruh dosis pengobatan
cari masalah extra paru terpenuhi *
 Periksa 3 kali Bila salah satu Totaldosis Lanjutkan
dahak (SPS) atau lebih hasil pengobatan pengobatan dosis
dan lanjutkan BTA positif sebelumnya <5 yang tersisa
pengobatan bulan sampai seluruh
sementara dosis pengobatan
menunggu terpenuhi *
hasilnya Totaldosis  Kategori 1 :
pengobatan 1. Lakukan
sebelumnya >5 pemeriksaan
bulan tes cepat
2. Berikan
Kategori 2
mulai dari
awal **
 Kategori 2 :
Lakukan
pemeriksaan tes
cepat atau
dirujuk ke RS
Pusat Rujukan
TB MDR***
Tindakan pada pasien yang putus berobat berobat 2 bulan atau lebih (loss to
follow)
 Lacak pasien Bila hasil BTA Keputusan pengobatan selanjutnya
 Diskusikan dan negatif atau Tb ditetapkan oleh dokter tergantung pada
cari masalah extra paru kondisi klinis pasien, apabila :
1. Sudah ada perbaikan nyata :

30
 Periksa 3 kali hentikan pengobatan dan pasien
dahak (SPS) tetap diobservasi
dan atau tes 2. Belum ada perbaikan nyata :
cepat lanjutkan pengobatan sampai dosis
 Hentikan yang tersisa sampai seluruh dosis
pengobatan pengobatan terpenuhi
sementara Bila salah satu Kategori 1
menunggu atau lebih hasil Dosis pengobatan Berikan
hasilnya BTA positif dan sebelumnya < 1 bln pengobatan
tidak ada bukti Kat.1 mulai dari
resistensi awal
Dosis pengobatan Berikan
sebelumnya > 1 bln pengobatan
Kat.2 mulai dari
awal
Kategori 2
Dosis pengobatan Berikan
sebelumnya < 1 bln pengobatan
Kat.2 mulai dari
awal
Dosis pengobatan Dirujuk ke
sebelumnya > 1 bln layanan
spesialistik
untuk
pemeriksaan
lebih lanjut
Bila salah satu Kategori 1 maupun Kategori 2 Dirujuk
atau lebih hasil ke RS pusat rujukan TB MDR
BTA positif dan
ada bukti resistensi
(dimodifikasi dari : Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme,
WHO, 2003)
Keterangan :
* Lanjutkan pengobatan sampai dosis yang tersisa sampai seluruh dosis
pengobatan terpenuhi dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah
menyelesaikan dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan AP

31
**Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat diberikan
pengobatan paduan OAT kategori 2
*** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan
pengobatan paduan OAT

Hasil Pengobatan
• Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang
dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya
• Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
• Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
• Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
• Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
• Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

8) PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS.


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan
TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan,
kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanentototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap
pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya

32
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB
sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang
mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama
seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan
pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah
dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai
berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan
Streptomisin harus memperhatikan Prinsip – prinsipUniversal Precaution
( Kewaspadaan Keamanan Universal ) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya
diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan
secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke
pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Kónsul sukarela dengan test
HIV)
c. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana
pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)
maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan
Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
d. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak
diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya
kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh
digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau
2HES/10HE

33
e. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu
dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat
diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan
faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis
yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal
ginjal adalah 2HRZ/4HR.
f. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat
oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan.
Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan
TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering
terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
g. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
pasien seperti:
􀂃 Meningitis TB
􀂃 TB milier dengan atau tanpa meningitis
􀂃 TB dengan Pleuritis eksudativa
􀂃 TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan
kemajuan pengobatan.
h. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
Untuk TB paru:
􀂃 Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
􀂃 Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
􀂃 Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
Untuk TB ekstra paru:
􀂃 Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai
kelainan neurologik.

9) EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA

34
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan
gejala.
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu H, R, Z Semua OAT diminum malam sebelum
makan, mual, sakit Tidur. Apabila keluhan tetap ada, OAT
Perut ditelan dengan sedikit makanan. Apabila
keluhan semakin hebat disertai muntah,
waspada efek samping berat dan rujuk ke
dokter.
Nyeri Sendi Z Beri Aspirin, Paracetamol atau obat anti
radang non steroid
Kesemutan s/d rasa H Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per
terbakar di kaki hari

Warna kemerahan R Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu


pada air seni penjelasan kepada pasien.
(urine)

Flu syndrome R dosis Pemberian R dirubah dari intermitten


(demam, menggigil, intermitten menjadi setiap hari
lemas, sakit kepala,
nyeri tulang )

Efek samping berat OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan kulit H, R, Z, S Ikuti petunjuk penatalaksanaan
dibawah *).
Tuli S Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol.
Gangguan keseimbangan S Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol.
Ikterus tanpa penyebab lain H, R, Z Hentikan semua OAT sampai
ikterus menghilang.
Bingung dan muntah-muntah Hampir semua Hentikan semua OAT, segera
(permulaan ikterus karena OAT lakukan tes fungsi hati.
obat)
Gangguan penglihatan E E dihentikan

35
Purpura dan renjatan (syok) R R dihentikan
Penurunan produksi urine S S dihentikan

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”:


Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan
dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan
OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.
Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara
sebagai berikut:
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT
harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini
dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek
samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau
karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu
kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam
proses rechallenge yang dimulai dengandosuis rendah sudah timbul reaksi, berarti
hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid
atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan
tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya
pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko
terjadinya kambuh
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid
atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga
merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila
pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut
HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan
desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar
terjadi keracunan yang berat.

36
B. Pelayanan Program Pengendalian TB di Luar Gedung

Kegiatan pengendalian TB di luar gedung terdiri dari upaya promotif, preventif, dan
yang dilakukan di luar puskesmas. Kegiatan pengendalian tuberkulosis di luar
gedung terdiri dari penyuluhan dan penjaringan terduga TB melalui contact
traccing.

Berikut adalah uraian mengenai program pengendalian TB di luar gedung

1. Penyuluhan Tuberkulosis
Penyuluhan dilakukan secara berkala melalui kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan di desa seperti posyandu, PKK, pertemuan kader maupun
pertemuan khusus yang membahas tentang Program Pengendalian
Tuberkulosis.
Penyuluhan berisi tentang gambaran penyakit Tuberkulosis beserta program
pengendalian penyakit tuberculosis yang sedang berjalan. Diharapkan hasil
akhir dari penyuluhan TB adalah kesadaran masyarakat tentang bahaya TB
sehingga dapat diwujudkan kemandirian dan partisipasi masyarakat dalam
program pengendalian tuberculosis.

2. Penjaringan Terduga TB melalui Contact Traccing


Contact traccing adalah kegiatan surveilans yang bertujuan untuk menemukan
dan menjaring terduga TB di rumah penderita TB dan daerah sekitar rumah
penderita TB. Dengan adanya kegiatan ini kondisi rumah, lingkungan dan
terduga TB di sekitar rumah pasien TB dapat dipantau sehingga dapat
memutus mata rantai penyebaran TB di wilayah lingkungan tersebut.

37
BAB V

LOGISTIK

Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan


penggunaan logistic laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program
pengendalian TB.

38
BAB VI

KESELAMATAN SASARAN

Dalam perencanaan sampai dengan pelaksanaan kegiatan pengendalian


tuberkulosis baik dalam maupun luar gedung perlu diperhatikan keselamatan
sasaran dengan melakukan identifikasi risiko terhadap segala kemungkinan yang
dapat terjadi pada saat pelaksanaan kegiatan. Upaya pencegahan risiko terhadap
sasaran harus dilakukan untuk tiap-tiap kegiatan yang akan dilaksanakan

39
BAB VII

KESELAMATAN KERJA

Dalam perencanaan sampai dengan pelaksanaan kegiatan pengendalian


tuberkulosis perlu diperhatikan keselamatan kerja karyawan puskesmas dan lintas
sektor terkait dengan melakukan identifikasi risiko terhadap segala kemungkinan
yang dapat terjadi pada saat pelaksanaan kegiatan. Upaya pencegahan risiko
terhadap harus dilakukan untuk tiap-tiap kegiatan yang akan dilaksanakan

40
BAB VIII

PENGENDALIAN MUTU

Pencatatan, pelaporan, monitoring dan evaluasi dilaksanakan di Puskesmas,


data dan informasi dari hasil pencatatan diolah dan dianalisa serta dilaporkan ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/kota.

A. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dan pelaporan untuk mendokumentasikan Program Pengendalian


Tuberkulosis di dalam dan di luar gedung menggunakan instrumen antara lain:

1. Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB. 06)

2. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB. 05)

3. Kartu pengobatan pasien TB (TB. 01)

4. Kartu identitas pasien TB (TB. 02)

41
5. Register TB fasilitas kesehatan (TB. 03 faskes)

6. Formulir rujukan/pindah pasien (TB. 09)

7. Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB. 10)

8. Register Laboratorium TB (TB. 04)

9. Formulir mandatory notification untuk TB. (*)

10.Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT)

B. Monitoring dan Evaluasi Kegiatan

Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai


keberhasilan pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai
deteksi awal masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera
dilakukan tindakan perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana
pencapaian tujuan, indikator, dan target yang telah ditetapkan. Monitoring dan
evaluasi dilakukan dalam mini lokakarya yang dilakukan setiap 3 bulan sekali di
puskesmas yang dihadiri oleh seluruh karyawan puskesmas. Seluruh kegiatan
program akan dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses maupun
keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengalaman langsung dan
wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran serta analisis
indicator program TB dan hasil capaian yang telah diperoleh. Dalam monitoring dan
evaluasi yang dilakukan akan dihasilkan RTL dan komitmen bersama untuk
meningkatkan cakupan program pengendalian tuberkulosis.

Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indicator sebagai alat ukur kemajuan
program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program
pengendalian TB digunakan beberapa indicator.
Indicator utama program pengendalian TB secara nasional ada 2, yaitu :
 Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
 Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)
Disamping itu, di tingkat faskes ada beberapa indikator proses untuk
mencapai indikator nasional tersebut di atas yaitu :

No Indikator Sumber Data Waktu


1 Angka Keberhasilan Kartu Pengobatan (TB. 01) Triwulan
Pengobatan Register TB Kab. Kota (TB. Tahunan
03)

42
Laporan Hasil Pengobatan
(TB. 08)
2 Proporsi pasien baru TB Daftar terduga TB (TB. 06) Triwulan
paru terkonfirmasi Register TB Kab. Kota (TB.
bakteriologis diantara 03)
terduga TB Laporan Penemuan (TB. 07)
3 Proporsi pasien baru TB Kartu Pengobatan (TB. 01) Triwulan
paru terkonfirmasi Register TB Kab. Kota (TB.
bakteriologis diantara 03)
semua TB paru diobati Laporan Penemuan (TB. 07)
4 Proporsi pasien TB Kartu Pengobatan (TB. 01) Triwulan
anak diantara seluruh Register TB Kab. Kota (TB.
pasien TB 03)
Laporan Penemuan (TB. 07)
5 Proporsi pasien TB Kartu TB. 01, Register TB. 03 Triwulan
yang dites HIV
6 Proporsi pasien TB Kartu TB. 01, Register TB. 03 Triwulan
yang dites HIV hasil
tesnya positif
7 Angka Konversi Kartu Pengobatan (TB. 01) Triwulan
(Conversion Rate) Register TB Kab. Kota (TB.
03)
Laporan konversi (TB. 011)
8 Angka Kesembuhan Kartu Pengobatan (TB. 01) Triwulan
(Care Rate) Register TB Kab. Kota (TB.
03)
Laporan Hasil Pengobatan
(TB. 08)
9 Angka Keberhasilan Laporan Hasil Pengobatan Triwulan
Pengobatan TB Anak (TB. 08) Tahunan
10 Proporsi anak yang Kartu TB. 01, Register TB. 03 Triwulan
menyelesaikan PP INH
diantara seluruh anak
yang mendapatkan PP
INH
11 Proporsi pasien TB Kartu TB. 01, Register TB. 03 Triwulan
dengan HIV positif yang

43
menerima PPK
12 Proporsi pasien TB Kartu TB. 01, Register TB. 03 Triwulan
dengan HIV positif yang
mendapat ARV

BAB IX

PENUTUP

Pedoman ini akan menjadi acuan bagi karyawan/wati puskesmas dan lintas sektor
terkait dalam pelaksanaan Program Pengendalian Tuberkulosis. Dalam penggunaan
pedoman ini diharapkan disertai dengan pemanfaatan buku petunjuk teknis yang
relevan. Pedoman ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi tenaga
Program Pengendalian Tuberkulosis puskesmas dalam rangka meningkatkan
kualitas Program Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas. Untuk meningkatkan
efektifitas pemanfaatan Pedoman Program Pengendalian Tuberkulosis Puskesmas
ini, hendaknya tenaga Program Pengendalian Tuberkulosis puskesmas dapat
menjabarkannya dalam Protab (prosedur tetap) yang berisi langkah-langkah dari
setiap kegiatan.

Keberhasilan kegiatan Program Pengendalian Tuberkulosis tergantung pada


komitmen yang kuat dari semua pihak terkait dalam upaya meningkatkan kualitas

44
pelayanan dan kemandirian masyarakat dan peran serta aktif masyarakat dalam
bidang kesehatan.

45

Anda mungkin juga menyukai