PEMBAHASAN
Untuk mengetahui fasa-fasa yang terbentuk setelah proses hardening, maka sampel
baja diamati dengan menggunakan mikroskop optik. Cara ini sudah umum dilakukan
untuk mengidentifikasi fasa-fasa yang terdapat dalam suatu paduan logam.
BAB IV Pembahasan 69
Gambar 4.1 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1050oC, Tanpa Tempering.
600X
BAB IV Pembahasan 70
Gambar 4.2 Diagram CCT Baja Perkakas AISI H13. Temperatur
Austenitisasi 1075 oC (1)
Berdasarkan diagram CCT diatas terlihat bahwa pendinginan yang relatif lambat dari
daerah temperatur kestabilan austenit menuju temperatur kamar dapat menekan
terjadinya pembentukan perlit pada baja AISI H13, kecuali pada pendinginan yang
sangat lambat hingga dalam hitungan jam.
Pada penelitian ini sampel yang telah diberi perlakuan panas pengerasan didinginkan
melalui pendinginan udara (air cooling) dengan bantuan kipas angin. Tujuannya
adalah untuk mencegah pendinginan yang terlalu lambat sehingga kemungkinan
terbentuknya fasa perlit dan bainit dapat dikurangi. Lama pendinginan sampel dari
temperatur austenitisasi hingga temperatur kamar pada penelitian ini adalah sekitar
7-10 menit. Jika kita memperhatikan kembali diagram CCT pada gambar 4.2 diatas,
pendinginan yang berlangsung selama 7-10 menit tetap mampu menghasilkan
struktur martensit dan sejumlah karbida (titik B).
Hardenability yang tinggi pada baja AISI H13 ini disebabkan oleh adanya
kandungan sejumlah unsur-unsur pemadu seperti: 5.2 % Cr , 1.4 % Mo, 0.4 % Mn,
dan 1.1 % Si. Unsur-unsur tersebut dapat memberikan peningkatan terhadap
hardenability sesuai dengan persamaan 4.1. (1, 7)
BAB IV Pembahasan 71
D1 = D x FMn x FSi x FNi x FMo x FCr …… (4.1)
Berdasarkan data yang diperoleh dari literatur bahwa baja perkakas AISI H13 dapat
(5)
diperkeras sampai 52-56 HRC. Sedangkan dalam penelitian ini kekerasan yang
diperoleh setelah hardening adalah 51.8 , 54.43, dan 59 HRC masing-masing pada
temperatur austenitisasi 1020 oC, 1050 oC, dan 1080 oC. Nilai ini jauh lebih besar
jika dibandingkan dengan kekerasan pada kondisi annealed, yakni 19.32 HRC.
Peningkatan kekerasan yang sangat signifikan ini menunjukkan bahwa telah terjadi
transformasi dari fasa austenit menjadi martensit selama berlangsungnya
pendinginan menuju temperatur kamar.
Selain fasa martensit juga terbentuk sejumlah karbida-karbida berwarna putih yang
tersebar di seluruh matrik. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.3 di bawah ini.
BAB IV Pembahasan 72
Gambar 4.3 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1050 oC, Mengandung Karbida-
Karbida yang Terdispersi Merata Diseluruh Matrik dan Butiran. 300X
Karbida-karbida ini disebut dengan karbida primer, yaitu karbida yang tidak larut
(undissolved carbides) selama berlangsungnya proses austenitisasi. Berdasarkan
perhitungan ukuran partikel karbida menggunakan perangkat lunak Optimas
diperoleh ukuran partikel rata-rata sebesar 0,1082.
BAB IV Pembahasan 73
Gambar 4.4 Diagram Isothermal Paduan Fe-Cr-C dengan Kandungan 5% Cr (13)
Struktur mikro baja setelah proses tempering terdiri atas ferit dan martensit serta
sejumlah karbida.
BAB IV Pembahasan 74
Martensit Ferit
Gambar 4.5 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080oC dan Triple Tempering
620oC. 600X.
Gambar 4.6 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080oC, Single Tempering
620oC. 600X.
BAB IV Pembahasan 75
Gambar 4.6 memperlihatkan karbida yang tersebar didalam matriks dan butiran.
Karbida-karbida ini diperkirakan terdiri atas campuran karbida primer Cr7C3 dan
sementit (Fe3C). Partikel sementit terbentuk melalui proses pengintian pada beberapa
tempat seperti pada antarmuka karbida epsilon (ε – carbide), pada batas butir austenit
lama, dan pada batas lath martensite.
(32)
Menurut Stuhl pengaruh temperatur austenitisasi terhadap parameter hardening
lebih besar jika dibandingkan pengaruh waktu tahan. Hal terlihat dari persamaan 4.2.
BAB IV Pembahasan 76
HP = T (24 + log t)……………………………4.2
Oleh karena itu, pemilihan temperatur austenitisasi yang tepat akan sangat
menentukan kualitas proses hardening dalam rangka menghasilkan baja dengan
kombinasi sifat mekanik yang optimal.
Berdasarkan data dari berbagai literatur, secara umum baja AISI H13 disarankan
diaustenitisasi pada temperatur 1000 oC -1080oC. Pada penelitian ini digunakan tiga
temperatur austenitisasi masing-masing 1020 oC, 1050 oC, dan 1080 oC. Pemilihan
temperatur 1080 oC dilakukan untuk melihat pengaruh temperatur austenitisasi yang
terlalu tinggi terhadap ketangguhan dan kekerasan baja.
BAB IV Pembahasan 77
35
25
20 Tempering 540 C
15 Tempering 593 C
10 Tempering 620 C
5
0
1000 1020 1040 1060 1080 1100
Temperatur Austenitisasi (Celcius)
50
45
40
Energi Impak (Joule)
35
30 Tempering 540 C
25
20 Tempering 593 C
15
Tempering 620 C
10
5
0
1000 1020 1040 1060 1080 1100
Temperatur Austenitisasi (Celcius)
BAB IV Pembahasan 78
kenaikan temperatur austenitisasi dari 1050 oC menjadi 1080 oC menghasilkan
penurunan di atas 50%. Proses austenitisasi pada temperatur yang lebih tinggi lagi,
o
dalam hal ini 1080 C, mengakibatkan penurunan ketangguhan yang sangat
signifikan hingga 75% jika dibandingkan dengan austenitisasi pada temperatur 1020
o
C. Besarnya persentase penurunan ketangguhan akibat peningkatan temperatur
austenitisasi disajikan pada tabel 4.2.
BAB IV Pembahasan 79
Dari tabel di atas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa jika dilihat dari segi
ketangguhan maka proses austenitisasi pada baja AISI H13 hendaknya dilakukan
pada temperatur bawah dari rentang temperatur austenitisasi yang direkomendasikan,
yakni 1020 oC. Sebaliknya austenitisasi pada temperatur yang terlalu tinggi (1080
o
C) harus dihindari karena terjadinya degradasi ketangguhan. Hal ini tentunya sangat
tidak sesuai dengan aplikasi baja AISI H13 seperti pada Die, yang membutuhkan
ketangguhan yang memadai agar dapat menahan shock dan pertumbuhan retakan
(crack growth).
Gambar 4.9 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1050 oC dan Single Tempering
pada 540 oC. 300X
BAB IV Pembahasan 80
Gambar 4.10 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080 oC dan Single Tempering
pada 593 oC. 300X
Dari gambar 4.9 dan 4.10 terlihat bahwa austenitisasi pada temperatur 1050 oC
mengandung jumlah karbida primer yang lebih banyak jika dibandingkan
austenitisasi pada temperatur 1080 oC. Hal ini terjadi karena semakin tinggi
temperatur austenitisasi akan mengakibatkan semakin banyak karbida primer
yang larut sewaktu berlangsungnya proses austenitisasi. Karbida-karbida yang
larut ini kemudian akan mengalami presipitasi sebagai karbida batas butir (grain
boundary carbides) selama berlangsungnya proses pendinginan (gambar 4.11).
Karbida batas butir inilah yang menyebabkan turunnya nilai ketangguhan baja.
BAB IV Pembahasan 81
sangat merugikan terhadap ketangguhan baja karena fasa ini bersifat getas.
Sedangkan transformasi dari austenit sisa menjadi ferit dan sementit bisa
mengakibatkan terbentuknya interlath carbide yang bersifat menurunkan
ketangguhan. Keberadaan interlath carbide sulit teramati dengan menggunakan
mikroskop optik karena sangat halus.
Gambar 4.11 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080oC dan Single Tempering
593oC. 500X
BAB IV Pembahasan 82
3. Temperatur austenitisasi yang tinggi akan meningkatkan ukuran butiran austenit
lama (prior austenite grain size). Semakin besar ukuran butiran austenit lama
maka akan semakin besar pula ukuran butiran baja setelah perlakuan panas
tempering. Ukuran butiran baja yang besar bersifat merugikan terhadap
ketangguhan baja.
Gambar 4.12 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
540oC. 600X.
BAB IV Pembahasan 83
Batas butir austenit Martensit kasar
Gambar 4.13 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080oC dan Single Tempering
540oC. 600X.
BAB IV Pembahasan 84
60.00
59.00
58.00
Kekerasan (HRC)
57.00
56.00
55.00
54.00
53.00
52.00
1010 1020 1030 1040 1050 1060 1070 1080 1090
Temperatur Austenitisasi (Celcius)
60.00
50.00
Kekerasan (HRC)
40.00
SINGLE TEMPERING
540ºC
30.00 SINGLE TEMPERING
593ºC
20.00 SINGLE TEMPERING
620ºC
10.00
0.00
1000 1020 1040 1060 1080 1100
Temperatur Austenitisasi (Celcius)
BAB IV Pembahasan 85
Triple Tempering
50.00
45.00
40.00
Kekerasan (HRC)
TRIPLE TEMPERING
35.00 540ºC
30.00 TRIPLE TEMPERING
25.00 593ºC
20.00 TRIPLE TEMPERING
15.00 620ºC
10.00
5.00
0.00
1000 1020 1040 1060 1080 1100
Temperatur Austenitisasi (Celcius)
BAB IV Pembahasan 86
Austenitisasi 1020 ºC → 1080 ºC
Variabel Tempering 1020 ºC 1080 ºC Peningkatan Kekerasan (%)
Single tempering 540 ºC 46.18 50.52 9.40
Single tempering 593 ºC 41.05 48.03 17.00
Single tempering 620 ºC 33.55 46.33 38.09
Triple tempering 540 ºC 41.05 45.45 10.72
Triple tempering 593 ºC 38.73 43.71 12.86
Triple tempering 620 ºC 24.79 39.69 60.10
BAB IV Pembahasan 87
Gambar 4.17 Kekerasan Sebagai Fungsi Karbon pada Beberapa Struktur Mikro Baja
(1)
BAB IV Pembahasan 88
Austenitisasi 1020 C
40
30 Single Tempering
20 Triple Tempering
10
0
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)
Gambar 4.18 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Ketangguhan pada Temperatur Austenitisasi 1020 oC
Austenitisasi 1050 C
40
35
Energi Impak (Joule)
30
25
Single Tempering
20
Triple Tempering
15
10
5
0
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)
Gambar 4.19 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Ketangguhan pada Temperatur Austenitisasi 1050 oC
BAB IV Pembahasan 89
Austenitisasi 1080 C
16
14
Energi Impak (Joule)
12
10
Single Tempering
8
Triple Tempering
6
4
2
0
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)
Gambar 4.20 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Ketangguhan pada Temperatur Austenitisasi 1080 oC
Tabel 4.4 Persentase Peningkatan Energi Impak karena Pengaruh Jumlah Tempering
Austenitisasi 1020 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Peningkatan Energi Impak (%)
Tempering 540 ºC 13.73 17.65 28.55
Tempering 593 ºC 19.61 35.30 80.01
Tempering 620 ºC 30.40 44.13 45.16
Austenitisasi 1050 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Peningkatan Energi Impak (%)
Tempering 540 ºC 7.85 13.73 74.90
Tempering 593 ºC 19.61 28.44 45.03
Tempering 620 ºC 29.42 36.28 23.32
Austenitisasi 1080 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Peningkatan Energi Impak (%)
Tempering 540 ºC 3.92 6.86 75.00
Tempering 593 ºC 4.90 8.83 80.20
Tempering 620 ºC 7.85 13.73 74.90
BAB IV Pembahasan 90
Dari seluruh hasil pengujian ketangguhan terlihat bahwa sampel yang diberi
perlakuan panas triple tempering memiliki ketangguhan yang jauh lebih tinggi jika
dibandingkan sampel yang diberi perlakuan panas single tempering. Peningkatan
ketangguhan yang dicapai melalui proses triple tempering mencapai 80%. Spesimen
yang diaustenitisasi pada 1020oC dan dilaku panas triple tempering pada temperatur
6200C menunjukkan ketangguhan paling tinggi yaitu sebesar 44.13 Joule.
Peningkatan ketangguhan pada sampel yang diberi perlakuan panas triple tempering
disebabkan oleh beberapa faktor utama. Pada saat pendinginan dari temperatur single
tempering akan terjadi dekomposisi austenit sisa, dimana austenit sisa sebagian akan
bertransformasi menjadi ferit, sementit, bainit, ataupun martensit. Martensit baru
yang terbentuk pada saat pendinginan tempering bersifat getas seperti halnya
martensit yang terbentuk setelah hardening. Martensit inilah yang harus di-temper
lagi untuk meningkatkan ketangguhan. Selain mentemper martensit baru hasil
dekomposisi austenit sisa, triple tempering juga dapat memberikan peningkatan
ketangguhan melalui pengkasaran dan membentuk karbida primer menjadi lebih
bulat (spheroid). Selain kedua faktor tersebut, peningkatan ketangguhan juga
disebabkan oleh spheroidisasi interlath carbide. Interlath carbide merupakan karbida
yang terbentuk akibat transformasi austenit sisa menjadi ferit dan sementit sewaktu
proses single tempering. Interlath carbide yang terbentuk sewaktu proses single
tempering ini biasanya memiliki struktur memanjang (elongated interlath carbide)
yang bersifat merugikan terhadap ketangguhan baja. Melalui triple tempering,
elongated interlath carbide ini mengalami pembulatan (spheroidisasi) sehingga
memberikan peningkatan ketangguhan. Interlath carbide ini tidak dapat diamati
dengan menggunakan mikroskop optik karena ukurannya yang sangat halus.
BAB IV Pembahasan 91
4.3.2 Pengaruh Jumlah Tempering Terhadap Kekerasan
Austenitisasi 1020 C
50.00
45.00
Energi Impak (Joule)
40.00
35.00
30.00
Single Tempering
25.00
20.00 Triple Tempering
15.00
10.00
5.00
0.00
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)
Gambar 4.21 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Kekerasan pada Temperatur Austenitisasi 1020 oC
Austenitisasi 1050 C
60.00
Energi Impak (Joule)
50.00
40.00
Single Tempering
30.00
Triple Tempering
20.00
10.00
0.00
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)
Gambar 4.22 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Kekerasan pada Temperatur Austenitisasi 1050 oC.
BAB IV Pembahasan 92
Austenitisasi 1080 C
60
Energi Impak (Joule)
50
40
Single Tempering
30
Triple Tempering
20
10
0
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)
Gambar 4.23 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Kekerasan pada Temperatur Austenitisasi 1080 oC
Austenitisasi 1050 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Penurunan Kekerasan (%)
Tempering 540 ºC 47.95 45.12 5.90
Tempering 593 ºC 47.04 42.20 10.29
Tempering 620 ºC 45.92 39.12 14.81
Austenitisasi 1080 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Penurunan Kekerasan (%)
Tempering 540 ºC 50.52 45.45 10.04
Tempering 593 ºC 48.03 43.71 8.99
Tempering 620 ºC 46.33 39.69 14.33
BAB IV Pembahasan 93
Berdasarkan tabel 4.5 terlihat bahwa penurunan kekerasan spesimen triple tempering
dibandingkan dengan spesimen single tempering tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan, yakni rata-rata hanya sebesar 5 HRC. Hal ini dikarenakan setelah proses
pendinginan single tempering selesai, akan ada martensit baru yang terbentuk.
Terbentuknya martensit baru setelah proses single tempering inilah yang
memberikan pengaruh terhadap kekerasan sehingga kekerasan tidak turun secara
signifikan
Martensit Ferit
Gambar 4.24 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
620oC. 300X.
BAB IV Pembahasan 94
Martensit
Ferit
Gambar 4.25 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Triple Tempering
620oC. 300X.
Penurunan kekerasan yang paling tinggi terjadi pada spesimen triple tempering
620oC (austenitisasi 1020oC). Hal ini terjadi karena jumlah ferit yang terbentuk
semakin banyak jika dibandingkan spesimen lainnya. Berdasarkan perhitungan fasa
dengan menggunakan optimas, sampel yang ditunjukkan pada gambar 4.25
mengandung ferit sebanyak 83,4 % dan martensit 16.6 %. Sedangkan sampel pada
gambar 4.24 mengandung martensit sebanyak 47.8 %.
BAB IV Pembahasan 95
Austenitisasi 1020 C
50.00
40.00
Kekerasan (HRC)
10.00
0.00
520 540 560 580 600 620 640
Temperatur Tempering (Celcius)
Austenitisasi 1050 C
60.00
50.00
Kekerasan (HRC)
40.00
Single Tempering
30.00 Triple Tempering
20.00
10.00
0.00
520 540 560 580 600 620 640
Temperatur Tempering (Celcius)
Gambar 4.27 Kurva Pengaruh Temperatur Tempering Terhadap Kekerasan.
Austenitisasi 1050oC
BAB IV Pembahasan 96
Austenitisasi 1080 C
60.00
50.00
Kekerasan (HRC)
40.00
Single Tempering
30.00
Triple Tempering
20.00
10.00
0.00
520 540 560 580 600 620 640
Temperatur Tempering (Celcius)
Transformasi austenit sisa menjadi ferit dan sementit dan berkurangnya jumlah
martensit berlangsung secara difusi. Proses ini berkaitan erat dengan difusi atom C
secara interstisi keluar dari larutan padat jenuh martensit sehingga martensit akan
kehilangan struktur tetragonal BCT. Atom C yang berdifusi tersebut akan stabil
dengan membentuk karbida dan sementit (Fe3C) dalam matrik ferit. Hal ini terjadi
karena tersedianya energi aktivasi panas yang mendorong terjadinya difusi karbon
dan unsur-unsur pemadu. Semakin tinggi temperatur tempering maka difusi atom C
dan unsur-unsur pemadu akan semakin banyak dan berlangsung dengan cepat.
BAB IV Pembahasan 97
Akibatnya jumlah ferit, karbida, dan sementit yang terbentuk juga akan semakin
banyak. Pembentukan ferit mengakibatkan turunnya nilai kekerasan baja dan
sebaliknya meningkatkan ketangguhan baja.
Gambar 4.29 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
540oC. 600X.
Gambar 4.30 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
593oC. 600X.
BAB IV Pembahasan 98
Gambar 4.31 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
620oC. 300X.
Dari ketiga gambar di atas terlihat bahwa rekristalisasi dan pertumbuhan ferit
semakin intensif dengan semakin tingginya temperatur tempering. Spesimen single
tempering pada 620oC menunjukkan bahwa ferit mendominasi struktur mikro baja
dengan persentase sebesar 52.2 %.
Baja AISI H13 sebagian besar digunakan sebagai material untuk membuat die,
(1)
seperti extrusion dies, casting dies, forging dies, molding dies, dll. Untuk
menentukan kombinasi ketangguhan dan kekerasan yang sesuai dengan aplikasi di
lapangan, maka kita perlu mengetahui mekanisme kegagalan yang sering terjadi pada
berbagai aplikasi tersebut. Pengetahuan mengenai model kegagalan tersebut sangat
penting dalam menentukan parameter proses perlakuan panas hardening dan
BAB IV Pembahasan 99
tempering. Di dunia industri, khususnya forging industry, semakin banyak variabel
proses (termasuk variabel proses perlakuan panas) dan semakin panjang siklus
perlakuan panas tentunya akan semakin meningkatkan biaya forging. Pembiayaan
die (die cost) merupakan salah satu hal penting pada industri forging. Biaya die ini
(32)
mencapai 10 hingga 15 % dari seluruh biaya di industri forging. Biaya ini
meliputi biaya untuk pembelian material die, permesinan die, dan biaya proses
perlakuan panas. Oleh karena itu, proses perlakuan panas harus dilakukan seefektif
mungkin.
Berdasarkan kondisi proses dan karakteristik material, maka kegagalan yang sering
terjadi pada die antara lain:
1) Keausan (wear)
2) Thermal fatigue
3) Mechanical fatigue
4) Plastic deformation
Diantara keempat kegagalan ini, keausan (abrasive wear dan adhesive wear) dan
kegagalan mekanik (mechanical failure) merupakan dua kegagalan yang paling
sering terjadi pada die. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.32. Ketahanan aus
dipengaruhi oleh kekerasan baja sedangkan mechanical fatigue dan mechanical
shock erat kaitannya dengan ketangguhan. Oleh karena itu, proses perlakuan panas
pada die harus bisa menghasilkan kekerasan yang cukup tinggi dengan ketangguhan
yang cukup untuk menghindari terjadinya perpatahan.
Penentuan kondisi optimal proses perlakuan panas hardening dan tempering pada
penelitian ini dilakukan dengan memberikan nilai (scoring) sesuai dengan nilai
kekerasan dan ketangguhan pada setiap variabel perlakuan panas. Kekerasan
dijadikan acuan utama dalam menentukan urutan tersebut karena kekerasan
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kegagalan yang paling dominan
terjadi pada berbagai aplikasi baja AISI H13. Tabel 4.6 memperlihatkan urutan
proses perlakuan panas hardening dan tempering mulai dari yang paling baik hingga
yang paling tidak efektif.
Kekerasan yang dihasilkan pada penelitian ini sebagian besar di atas 40 HRC dengan
rata-rata 42.58 HRC. Sampel A dan B (tabel 4.6) memiliki kombinasi kekerasan dan
ketangguhan yang optimum. Dari segi kekerasan kedua sampel ini memenuhi standar
kekerasan yang dibutuhkan pada berbagai aplikasi baja AISI H13 (tabel 2.14).
Ketangguhan keduanya juga lebih tinggi jika dibandingkan sampel lainnya, yakni
29,42 dan 28,44 Joule. Ketangguhan sebesar ini sudah cukup memadai untuk baja
AISI H13 yang membutuhkan ketangguhan sedang hingga tinggi.