Anda di halaman 1dari 35

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 ANALISA STRUKTUR MIKRO BAJA SETELAH HARDENING DAN


TEMPERING
Struktur mikro yang dihasilkan setelah proses hardening akan menentukan sifat-sifat
mekanis baja perkakas, terutama kekerasan karena salah satu tujuan utama dari
proses hardening adalah untuk meningkatkan kekerasan baja. Peningkatan kekerasan
ini diperoleh melalui pembentukan fasa martensit sebanyak mungkin melalui
quenching ataupun pendinginan udara (air cooling). Semakin banyak fasa martensit
yang terbentuk maka akan semakin tinggi kekerasan baja. Oleh karena itu,
pengamatan terhadap struktur mikro baja setelah proses hardening perlu dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana efektifitas proses hardening yang telah dilakukan
dalam penelitian ini.

Untuk mengetahui fasa-fasa yang terbentuk setelah proses hardening, maka sampel
baja diamati dengan menggunakan mikroskop optik. Cara ini sudah umum dilakukan
untuk mengidentifikasi fasa-fasa yang terdapat dalam suatu paduan logam.

Dari hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop optik terlihat bahwa


perlakuan panas pengerasan AISI H13 yang dilanjutkan dengan pendinginan udara
sampai temperatur kamar terbukti mampu memunculkan struktur martensit. Gambar
4.1 memperlihatkan kondisi struktur mikro baja setelah mengalami pengerasan pada
temperatur austenitisasi 1050oC. Struktur martensit yang dihasilkan adalah berupa
lath martensite. Hal ini disebabkan kandungan karbon baja AISI H13 (Bohler W302)
hanya sebesar 0,39%. Karakteristik utama dari struktur lath martensite adalah
kecenderungannya membentuk struktur lath (berbentuk garis) yang terletak secara
paralel satu sama lainnya di dalam butiran austenit lama.

BAB IV Pembahasan 69
Gambar 4.1 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1050oC, Tanpa Tempering.
600X

Kemampuan membentuk struktur martensit pada laju pendinginan yang lambat


dikarenakan baja perkakas AISI H13 memiliki tingkat kemampuan untuk diperkeras
(hardenability) yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari diagram CCT baja AISI H13
berikut ini.

BAB IV Pembahasan 70
Gambar 4.2 Diagram CCT Baja Perkakas AISI H13. Temperatur
Austenitisasi 1075 oC (1)

Berdasarkan diagram CCT diatas terlihat bahwa pendinginan yang relatif lambat dari
daerah temperatur kestabilan austenit menuju temperatur kamar dapat menekan
terjadinya pembentukan perlit pada baja AISI H13, kecuali pada pendinginan yang
sangat lambat hingga dalam hitungan jam.

Pada penelitian ini sampel yang telah diberi perlakuan panas pengerasan didinginkan
melalui pendinginan udara (air cooling) dengan bantuan kipas angin. Tujuannya
adalah untuk mencegah pendinginan yang terlalu lambat sehingga kemungkinan
terbentuknya fasa perlit dan bainit dapat dikurangi. Lama pendinginan sampel dari
temperatur austenitisasi hingga temperatur kamar pada penelitian ini adalah sekitar
7-10 menit. Jika kita memperhatikan kembali diagram CCT pada gambar 4.2 diatas,
pendinginan yang berlangsung selama 7-10 menit tetap mampu menghasilkan
struktur martensit dan sejumlah karbida (titik B).

Hardenability yang tinggi pada baja AISI H13 ini disebabkan oleh adanya
kandungan sejumlah unsur-unsur pemadu seperti: 5.2 % Cr , 1.4 % Mo, 0.4 % Mn,
dan 1.1 % Si. Unsur-unsur tersebut dapat memberikan peningkatan terhadap
hardenability sesuai dengan persamaan 4.1. (1, 7)

BAB IV Pembahasan 71
D1 = D x FMn x FSi x FNi x FMo x FCr …… (4.1)

Keterangan : D1 = diameter kritis ideal


D = diameter kritis
Fi = faktor pengali untuk unsur i

Di menunjukkan kedalaman pengerasan baja. Semakin besar nilai Di maka


hardenability baja juga akan semakin tinggi. (7)

Berdasarkan data yang diperoleh dari literatur bahwa baja perkakas AISI H13 dapat
(5)
diperkeras sampai 52-56 HRC. Sedangkan dalam penelitian ini kekerasan yang
diperoleh setelah hardening adalah 51.8 , 54.43, dan 59 HRC masing-masing pada
temperatur austenitisasi 1020 oC, 1050 oC, dan 1080 oC. Nilai ini jauh lebih besar
jika dibandingkan dengan kekerasan pada kondisi annealed, yakni 19.32 HRC.

Tabel 4.1 Kekerasan Baja Setelah Proses Hardening


Kondisi Kekerasan (HRC) Peningkatan (%)
Annealed (As Received)
19.32 -
o
Hardening 1020 C, Air Cooling 51.80 168.12

Hardening 1050 oC, Air Cooling 54.43 181.73


Hardening 1080 oC, Air Cooling 59.00 205.38

Peningkatan kekerasan yang sangat signifikan ini menunjukkan bahwa telah terjadi
transformasi dari fasa austenit menjadi martensit selama berlangsungnya
pendinginan menuju temperatur kamar.

Selain fasa martensit juga terbentuk sejumlah karbida-karbida berwarna putih yang
tersebar di seluruh matrik. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.3 di bawah ini.

BAB IV Pembahasan 72
Gambar 4.3 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1050 oC, Mengandung Karbida-
Karbida yang Terdispersi Merata Diseluruh Matrik dan Butiran. 300X

Karbida-karbida ini disebut dengan karbida primer, yaitu karbida yang tidak larut
(undissolved carbides) selama berlangsungnya proses austenitisasi. Berdasarkan
perhitungan ukuran partikel karbida menggunakan perangkat lunak Optimas
diperoleh ukuran partikel rata-rata sebesar 0,1082.

Berdasarkan literatur dan diagram isothermal paduan Fe-Cr-C dengan kandungan Cr


sebanyak 5% yang diperlihatkan pada gambar 4.4, karbida yang tidak larut ini adalah
M7C3.

BAB IV Pembahasan 73
Gambar 4.4 Diagram Isothermal Paduan Fe-Cr-C dengan Kandungan 5% Cr (13)

Struktur mikro baja setelah proses tempering terdiri atas ferit dan martensit serta
sejumlah karbida.

BAB IV Pembahasan 74
Martensit Ferit

Gambar 4.5 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080oC dan Triple Tempering
620oC. 600X.

Gambar 4.6 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080oC, Single Tempering
620oC. 600X.

BAB IV Pembahasan 75
Gambar 4.6 memperlihatkan karbida yang tersebar didalam matriks dan butiran.
Karbida-karbida ini diperkirakan terdiri atas campuran karbida primer Cr7C3 dan
sementit (Fe3C). Partikel sementit terbentuk melalui proses pengintian pada beberapa
tempat seperti pada antarmuka karbida epsilon (ε – carbide), pada batas butir austenit
lama, dan pada batas lath martensite.

4.2 PENGARUH TEMPERATUR HARDENING TERHADAP


KETANGGUHAN DAN KEKERASAN
Proses hardening terdiri atas dua tahap utama, yaitu austenitisasi dan pendinginan.
Austenitisasi merupakan tahap penting dalam proses hardening. Selama
berlangsungnya proses austenitisasi struktur awal baja AISI H13 yang mengandung
karbida-karbida yang tersebar didalam matrik ferit akan berubah menjadi austenit.

Kontrol terhadap proses austenitisasi akan sangat mempengaruhi ketangguhan dan


kekerasan baja AISI H13 setelah pengerasan (hardened). Adapun variabel yang
mempengaruhi sifat-sifat tersebut selama berlangsungnya proses austenitisasi antara
lain laju pemanasan, waktu dan temperatur austenitisasi, jenis tanur yang digunakan,
dan udara luar.

Diantara variabel-variabel tersebut, temperatur dan waktu tahan austenitisasi


merupakan faktor yang banyak menjadi perhatian karena sangat berpengaruh
terhadap homogenitas austenit. Homogenitas matrik austenit pada akhirnya akan
menentukan homogenitas baja setelah hardening, yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap ketangguhan dan kekerasan baja AISI H13.

(32)
Menurut Stuhl pengaruh temperatur austenitisasi terhadap parameter hardening
lebih besar jika dibandingkan pengaruh waktu tahan. Hal terlihat dari persamaan 4.2.

BAB IV Pembahasan 76
HP = T (24 + log t)……………………………4.2

Keterangan : HP = Hardening parameter


T = Temperatur hardening (austenitisasi), K
t = Waktu tahan (menit)

Oleh karena itu, pemilihan temperatur austenitisasi yang tepat akan sangat
menentukan kualitas proses hardening dalam rangka menghasilkan baja dengan
kombinasi sifat mekanik yang optimal.

Berdasarkan data dari berbagai literatur, secara umum baja AISI H13 disarankan
diaustenitisasi pada temperatur 1000 oC -1080oC. Pada penelitian ini digunakan tiga
temperatur austenitisasi masing-masing 1020 oC, 1050 oC, dan 1080 oC. Pemilihan
temperatur 1080 oC dilakukan untuk melihat pengaruh temperatur austenitisasi yang
terlalu tinggi terhadap ketangguhan dan kekerasan baja.

4.2.1 Pengaruh Temperatur Hardening (Austenitisasi) Terhadap Ketangguhan


Pengujian ketangguhan dilakukan pada sampel yang telah diaustenitisasi pada 1020
o
C, 1050 oC, dan 1080 oC, didinginkan ke temperatur kamar selama 10 menit, dan
ditemper masing-masing pada temperatur 540 oC, 593 oC, dan 620 oC. Hasil
percobaan ternyata menunjukkan bahwa peningkatan temperatur austenitisasi
menyebabkan penurunan nilai ketangguhan (energi impak). Hal ini berlaku baik pada
sampel yang diberi perlakuan single tempering maupun triple tempering. Gambar 4.7
dan 4.8 memperlihatkan pengaruh temperatur austenitisasi terhadap ketangguhan
pada tiga variabel temperatur tempering dan dua jumlah tempering.

BAB IV Pembahasan 77
35

Energi Impak (Joule) 30

25

20 Tempering 540 C

15 Tempering 593 C

10 Tempering 620 C
5

0
1000 1020 1040 1060 1080 1100
Temperatur Austenitisasi (Celcius)

Gambar 4.7 Kurva Pengaruh Temperatur Austenitisasi Terhadap Ketangguhan pada


Spesimen yang Diberi Perlakuan Single Tempering

50
45
40
Energi Impak (Joule)

35
30 Tempering 540 C
25
20 Tempering 593 C
15
Tempering 620 C
10
5
0
1000 1020 1040 1060 1080 1100
Temperatur Austenitisasi (Celcius)

Gambar 4.8 Kurva Pengaruh Temperatur Austenitisasi Terhadap Ketangguhan pada


Spesimen yang Diberi Perlakuan Triple Tempering.

Peningkatan temperatur austenitisasi dari 1020 oC menjadi 1050 oC mengakibatkan


penurunan ketangguhan rata-rata sekitar 18 %. Penurunan ketangguhan tertinggi
terjadi pada sampel single tempering pada 540 oC, yakni sebesar 42,83%. Sedangkan

BAB IV Pembahasan 78
kenaikan temperatur austenitisasi dari 1050 oC menjadi 1080 oC menghasilkan
penurunan di atas 50%. Proses austenitisasi pada temperatur yang lebih tinggi lagi,
o
dalam hal ini 1080 C, mengakibatkan penurunan ketangguhan yang sangat
signifikan hingga 75% jika dibandingkan dengan austenitisasi pada temperatur 1020
o
C. Besarnya persentase penurunan ketangguhan akibat peningkatan temperatur
austenitisasi disajikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Persentase Penurunan Energi Impak Akibat Kenaikan Temperatur


Austenitisasi
Austenitisasi 1020 ºC → 1050 ºC
Variabel Tempering 1020 ºC 1050 ºC Penurunan Energi Impak (%)
Single tempering 540 ºC 13.73 7.85 42.83
Single tempering 593 ºC 19.61 19.61 0.00
Single tempering 620 ºC 30.40 29.42 3.20
Triple tempering 540 ºC 17.65 13.73 22.20
Triple tempering 593 ºC 35.30 28.44 19.43
Triple tempering 620 ºC 44.13 36.28 17.79
Austenitisasi 1050 ºC → 1080 ºC
Variabel Tempering 1050 ºC 1080 ºC Penurunan Energi Impak (%)
Single tempering 540 ºC 7.85 3.92 50.06
Single tempering 593 ºC 19.61 4.90 75.01
Single tempering 620 ºC 29.42 7.85 73.32
Triple tempering 540 ºC 13.73 6.86 50.04
Triple tempering 593 ºC 28.44 8.83 68.95
Triple tempering 620 ºC 36.28 13.73 62.16
Austenitisasi 1020 ºC → 1080 ºC
Variabel Tempering 1020 ºC 1080 ºC Penurunan Energi Impak (%)
Single tempering 540 ºC 13.73 3.92 71.45
Single tempering 593 ºC 19.61 4.90 75.01
Single tempering 620 ºC 30.40 7.85 74.18
Triple tempering 540 ºC 17.65 6.86 61.13
Triple tempering 593 ºC 35.30 8.83 74.98
Triple tempering 620 ºC 44.13 13.73 68.89

BAB IV Pembahasan 79
Dari tabel di atas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa jika dilihat dari segi
ketangguhan maka proses austenitisasi pada baja AISI H13 hendaknya dilakukan
pada temperatur bawah dari rentang temperatur austenitisasi yang direkomendasikan,
yakni 1020 oC. Sebaliknya austenitisasi pada temperatur yang terlalu tinggi (1080
o
C) harus dihindari karena terjadinya degradasi ketangguhan. Hal ini tentunya sangat
tidak sesuai dengan aplikasi baja AISI H13 seperti pada Die, yang membutuhkan
ketangguhan yang memadai agar dapat menahan shock dan pertumbuhan retakan
(crack growth).

Penurunan ketangguhan dengan kenaikan temperatur austenitisasi ini disebabkan


oleh beberapa hal :
1. Temperatur austenitisasi sangat menentukan kelarutan karbida-karbida primer
didalam matrik austenit selama berlangsungnya proses austenitisasi. Semakin
tinggi temperatur austenitisasi maka akan semakin banyak karbida primer yang
larut dalam matrik..

Gambar 4.9 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1050 oC dan Single Tempering
pada 540 oC. 300X

BAB IV Pembahasan 80
Gambar 4.10 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080 oC dan Single Tempering
pada 593 oC. 300X

Dari gambar 4.9 dan 4.10 terlihat bahwa austenitisasi pada temperatur 1050 oC
mengandung jumlah karbida primer yang lebih banyak jika dibandingkan
austenitisasi pada temperatur 1080 oC. Hal ini terjadi karena semakin tinggi
temperatur austenitisasi akan mengakibatkan semakin banyak karbida primer
yang larut sewaktu berlangsungnya proses austenitisasi. Karbida-karbida yang
larut ini kemudian akan mengalami presipitasi sebagai karbida batas butir (grain
boundary carbides) selama berlangsungnya proses pendinginan (gambar 4.11).
Karbida batas butir inilah yang menyebabkan turunnya nilai ketangguhan baja.

2. Larutnya karbida-karbida primer akibat kenaikan temperatur austenitisasi


mengakibatkan matrik austenit semakin kaya dengan karbon dan unsur-unsur
pemadu. Matrik austenit yang kaya dengan karbon dan unsur-unsur pemadu ini
(enriched austenitic matrix) menurunkan temperatur Ms (temperatur awal
pembentukan martensit) sehingga mengakibatkan jumlah austenit sisa yang
terbentuk setelah proses hardening semakin banyak. Fasa austenit sisa ini sangat
merugikan karena fasa ini akan mengalami transformasi menjadi sementit, ferit,
atau untempered martensite ketika ditemper. Fasa untempered martensite ini

BAB IV Pembahasan 81
sangat merugikan terhadap ketangguhan baja karena fasa ini bersifat getas.
Sedangkan transformasi dari austenit sisa menjadi ferit dan sementit bisa
mengakibatkan terbentuknya interlath carbide yang bersifat menurunkan
ketangguhan. Keberadaan interlath carbide sulit teramati dengan menggunakan
mikroskop optik karena sangat halus.

Karbida Batas Butir

Gambar 4.11 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080oC dan Single Tempering
593oC. 500X

BAB IV Pembahasan 82
3. Temperatur austenitisasi yang tinggi akan meningkatkan ukuran butiran austenit
lama (prior austenite grain size). Semakin besar ukuran butiran austenit lama
maka akan semakin besar pula ukuran butiran baja setelah perlakuan panas
tempering. Ukuran butiran baja yang besar bersifat merugikan terhadap
ketangguhan baja.

Martensit halus Batas butir austenit lama

Gambar 4.12 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
540oC. 600X.

BAB IV Pembahasan 83
Batas butir austenit Martensit kasar

Gambar 4.13 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1080oC dan Single Tempering
540oC. 600X.

Gambar 4.12 dan 4.13 memperlihatkan pengaruh temperatur austenitisasi terhadap


ukuran butiran austenit lama. Ukuran butiran austenit lama sampel yang
diaustenitisasi pada 1080oC dan single tempering pada 540oC lebih besar jika
dibandingkan sampel yang diaustenitisasi pada 1020oC pada temperatur dan jumlah
tempering yang sama. Hal yang sama juga terjadi pada sampel yang diberi perlakuan
triple tempering. Ukuran butiran austenit yang lebih besar ini mengakibatkan ukuran
produk baik martensit maupun ferit yang terbentuk juga lebih kasar dan besar.
Ukuran butiran yang besar inilah yang mengakibatkan turunnya ketangguhan matrik.

4.2.2 Pengaruh Temperatur Hardening (Austenitisasi) Terhadap Kekerasan


Pengaruh temperatur austenitisasi terhadap kekerasan terlihat pada gambar 4.14,
4.15, dan 4.16.

BAB IV Pembahasan 84
60.00

59.00
58.00
Kekerasan (HRC)

57.00
56.00

55.00
54.00

53.00
52.00
1010 1020 1030 1040 1050 1060 1070 1080 1090
Temperatur Austenitisasi (Celcius)

Gambar 4.14 Kurva Pengaruh Temperatur Austenitisasi Terhadap Kekerasan Baja


Setelah Hardening (tanpa tempering)

60.00

50.00
Kekerasan (HRC)

40.00
SINGLE TEMPERING
540ºC
30.00 SINGLE TEMPERING
593ºC
20.00 SINGLE TEMPERING
620ºC
10.00

0.00
1000 1020 1040 1060 1080 1100
Temperatur Austenitisasi (Celcius)

Gambar 4.15 Kurva Pengaruh Temperatur Austenitisasi Terhadap Kekerasan pada


Spesimen yang Diberi Perlakuan Single Tempering

BAB IV Pembahasan 85
Triple Tempering

50.00
45.00
40.00
Kekerasan (HRC)

TRIPLE TEMPERING
35.00 540ºC
30.00 TRIPLE TEMPERING
25.00 593ºC
20.00 TRIPLE TEMPERING
15.00 620ºC
10.00
5.00
0.00
1000 1020 1040 1060 1080 1100
Temperatur Austenitisasi (Celcius)

Gambar 4.16 Kurva Pengaruh Temperatur Austenitisasi Terhadap Kekerasan pada


Spesimen yang Diberi Perlakuan Triple Tempering

Tabel 4.3 Persentase Peningkatan Kekerasan Akibat Kenaikan Temperatur


Austenitisasi
Austenitisasi 1020 ºC → 1050 ºC
Variabel Tempering 1020 ºC 1050 ºC Peningkatan Kekerasan (%)
Single tempering 540 ºC 46.18 47.95 3.83
Single tempering 593 ºC 41.05 47.04 14.59
Single tempering 620 ºC 33.55 45.92 36.87
Triple tempering 540 ºC 41.05 45.12 9.91
Triple tempering 593 ºC 38.73 42.20 8.96
Triple tempering 620 ºC 24.79 39.12 57.81
Austenitisasi 1050 ºC → 1080 ºC
Variabel Tempering 1050 ºC 1080 ºC Peningkatan Kekerasan (%)
Single tempering 540 ºC 47.95 50.52 5.36
Single tempering 593 ºC 47.04 48.03 2.10
Single tempering 620 ºC 45.92 46.33 0.89
Triple tempering 540 ºC 45.12 45.45 0.73
Triple tempering 593 ºC 42.20 43.71 3.58
Triple tempering 620 ºC 39.12 39.69 1.46

BAB IV Pembahasan 86
Austenitisasi 1020 ºC → 1080 ºC
Variabel Tempering 1020 ºC 1080 ºC Peningkatan Kekerasan (%)
Single tempering 540 ºC 46.18 50.52 9.40
Single tempering 593 ºC 41.05 48.03 17.00
Single tempering 620 ºC 33.55 46.33 38.09
Triple tempering 540 ºC 41.05 45.45 10.72
Triple tempering 593 ºC 38.73 43.71 12.86
Triple tempering 620 ºC 24.79 39.69 60.10

Peningkatan temperatur austenitisasi ternyata mengakibatkan kenaikan kekerasan


setelah proses hardening. Dari seluruh hasil pengujian kekerasan juga terlihat bahwa
pada jumlah dan temperatur tempering yang sama, sampel yang diaustenitisasi pada
temperatur yang lebih tinggi memiliki kekerasan yang lebih tinggi pula. Sampel yang
diaustenitisasi pada temperatur 1080 oC bahkan memberikan peningkatan kekerasan
hingga 60% jika dibandingkan dengan sampel yang diaustenitisasi pada temperatur
1020 oC.

Austenitisasi pada temperatur yang lebih tinggi akan mengakibatkan pelarutan


karbida dalam jumlah yang lebih banyak didalam matrik austenit jika dibandingkan
austenitisasi pada temperatur yang lebih rendah. Semakin banyak karbida yang larut
maka matrik austenit akan semakin kaya dengan kandungan karbon dan unsur-unsur
pemadu. Akibatnya produk yang terbentuk sewaktu pendinginan dari temperatur
austenitisasi (dalam hal ini martensit) juga akan kaya dengan kandungan karbon dan
unsur-unsur pemadu. Sehingga kekerasan martensit juga meningkat karena
kekerasan martensit sebanding dengan kandungan karbonnya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa peningkatan temperatur austenitisasi akan menghasilkan
martensit yang kaya dengan karbon sehingga meningkatkan kekerasan baja.

BAB IV Pembahasan 87
Gambar 4.17 Kekerasan Sebagai Fungsi Karbon pada Beberapa Struktur Mikro Baja
(1)

4.3 PENGARUH JUMLAH TEMPERING TERHADAP KETANGGUHAN


DAN KEKERASAN
4.3.1 Pengaruh jumlah Tempering Terhadap Ketangguhan
Perlakuan panas tempering yang dilakukan setelah perlakuan panas pengerasan baja
perkakas AISI H13 memberikan pengaruh sangat besar terhadap ketangguhan seperti
yang ditunjukkan pada gambar 4.18 dan gambar 4.19.

BAB IV Pembahasan 88
Austenitisasi 1020 C

Energi Impak (Joule) 50

40

30 Single Tempering

20 Triple Tempering

10

0
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)

Gambar 4.18 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Ketangguhan pada Temperatur Austenitisasi 1020 oC

Austenitisasi 1050 C

40
35
Energi Impak (Joule)

30
25
Single Tempering
20
Triple Tempering
15
10
5
0
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)

Gambar 4.19 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Ketangguhan pada Temperatur Austenitisasi 1050 oC

BAB IV Pembahasan 89
Austenitisasi 1080 C

16
14
Energi Impak (Joule)

12
10
Single Tempering
8
Triple Tempering
6
4
2
0
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)

Gambar 4.20 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Ketangguhan pada Temperatur Austenitisasi 1080 oC

Tabel 4.4 Persentase Peningkatan Energi Impak karena Pengaruh Jumlah Tempering
Austenitisasi 1020 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Peningkatan Energi Impak (%)
Tempering 540 ºC 13.73 17.65 28.55
Tempering 593 ºC 19.61 35.30 80.01
Tempering 620 ºC 30.40 44.13 45.16

Austenitisasi 1050 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Peningkatan Energi Impak (%)
Tempering 540 ºC 7.85 13.73 74.90
Tempering 593 ºC 19.61 28.44 45.03
Tempering 620 ºC 29.42 36.28 23.32
Austenitisasi 1080 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Peningkatan Energi Impak (%)
Tempering 540 ºC 3.92 6.86 75.00
Tempering 593 ºC 4.90 8.83 80.20
Tempering 620 ºC 7.85 13.73 74.90

BAB IV Pembahasan 90
Dari seluruh hasil pengujian ketangguhan terlihat bahwa sampel yang diberi
perlakuan panas triple tempering memiliki ketangguhan yang jauh lebih tinggi jika
dibandingkan sampel yang diberi perlakuan panas single tempering. Peningkatan
ketangguhan yang dicapai melalui proses triple tempering mencapai 80%. Spesimen
yang diaustenitisasi pada 1020oC dan dilaku panas triple tempering pada temperatur
6200C menunjukkan ketangguhan paling tinggi yaitu sebesar 44.13 Joule.

Peningkatan ketangguhan pada sampel yang diberi perlakuan panas triple tempering
disebabkan oleh beberapa faktor utama. Pada saat pendinginan dari temperatur single
tempering akan terjadi dekomposisi austenit sisa, dimana austenit sisa sebagian akan
bertransformasi menjadi ferit, sementit, bainit, ataupun martensit. Martensit baru
yang terbentuk pada saat pendinginan tempering bersifat getas seperti halnya
martensit yang terbentuk setelah hardening. Martensit inilah yang harus di-temper
lagi untuk meningkatkan ketangguhan. Selain mentemper martensit baru hasil
dekomposisi austenit sisa, triple tempering juga dapat memberikan peningkatan
ketangguhan melalui pengkasaran dan membentuk karbida primer menjadi lebih
bulat (spheroid). Selain kedua faktor tersebut, peningkatan ketangguhan juga
disebabkan oleh spheroidisasi interlath carbide. Interlath carbide merupakan karbida
yang terbentuk akibat transformasi austenit sisa menjadi ferit dan sementit sewaktu
proses single tempering. Interlath carbide yang terbentuk sewaktu proses single
tempering ini biasanya memiliki struktur memanjang (elongated interlath carbide)
yang bersifat merugikan terhadap ketangguhan baja. Melalui triple tempering,
elongated interlath carbide ini mengalami pembulatan (spheroidisasi) sehingga
memberikan peningkatan ketangguhan. Interlath carbide ini tidak dapat diamati
dengan menggunakan mikroskop optik karena ukurannya yang sangat halus.

BAB IV Pembahasan 91
4.3.2 Pengaruh Jumlah Tempering Terhadap Kekerasan

Austenitisasi 1020 C

50.00
45.00
Energi Impak (Joule)

40.00
35.00
30.00
Single Tempering
25.00
20.00 Triple Tempering
15.00
10.00
5.00
0.00
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)

Gambar 4.21 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Kekerasan pada Temperatur Austenitisasi 1020 oC

Austenitisasi 1050 C

60.00
Energi Impak (Joule)

50.00

40.00
Single Tempering
30.00
Triple Tempering
20.00

10.00

0.00
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)

Gambar 4.22 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Kekerasan pada Temperatur Austenitisasi 1050 oC.

BAB IV Pembahasan 92
Austenitisasi 1080 C

60
Energi Impak (Joule)

50

40
Single Tempering
30
Triple Tempering
20

10

0
540 593 620
Temperatur Tempering (Celcius)

Gambar 4.23 Diagram Pengaruh Jumlah Tempering (single dan triple tempering)
Terhadap Kekerasan pada Temperatur Austenitisasi 1080 oC

Tabel 4.5 Persentase Penurunan Kekerasan karena Pengaruh Jumlah Tempering


Austenitisasi 1020 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Penurunan Kekerasan (%)
Tempering 540 ºC 46.18 41.05 11.11
Tempering 593 ºC 41.05 38.73 5.65
Tempering 620 ºC 33.55 24.79 26.11

Austenitisasi 1050 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Penurunan Kekerasan (%)
Tempering 540 ºC 47.95 45.12 5.90
Tempering 593 ºC 47.04 42.20 10.29
Tempering 620 ºC 45.92 39.12 14.81
Austenitisasi 1080 ºC
Variabel Tempering Single Tempering Triple Tempering Penurunan Kekerasan (%)
Tempering 540 ºC 50.52 45.45 10.04
Tempering 593 ºC 48.03 43.71 8.99
Tempering 620 ºC 46.33 39.69 14.33

BAB IV Pembahasan 93
Berdasarkan tabel 4.5 terlihat bahwa penurunan kekerasan spesimen triple tempering
dibandingkan dengan spesimen single tempering tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan, yakni rata-rata hanya sebesar 5 HRC. Hal ini dikarenakan setelah proses
pendinginan single tempering selesai, akan ada martensit baru yang terbentuk.
Terbentuknya martensit baru setelah proses single tempering inilah yang
memberikan pengaruh terhadap kekerasan sehingga kekerasan tidak turun secara
signifikan

Penurunan kekerasan pada spesimen triple tempering diakibatkan oleh semakin


banyaknya terbentuk ferit dan berkurangnya volume fraksi martensit. Pembentukan
ferit akan menurunkan kekerasan baja karena ferit lebih lunak daripada martensit.

Martensit Ferit

Gambar 4.24 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
620oC. 300X.

BAB IV Pembahasan 94
Martensit
Ferit

Gambar 4.25 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Triple Tempering
620oC. 300X.

Penurunan kekerasan yang paling tinggi terjadi pada spesimen triple tempering
620oC (austenitisasi 1020oC). Hal ini terjadi karena jumlah ferit yang terbentuk
semakin banyak jika dibandingkan spesimen lainnya. Berdasarkan perhitungan fasa
dengan menggunakan optimas, sampel yang ditunjukkan pada gambar 4.25
mengandung ferit sebanyak 83,4 % dan martensit 16.6 %. Sedangkan sampel pada
gambar 4.24 mengandung martensit sebanyak 47.8 %.

4.4 PENGARUH TEMPERATUR TEMPERING TERHADAP


KETANGGUHAN DAN KEKERASAN
Berdasarkan kurva pada gambar 4.7, 4.8, 4.26, 4.27, dan 4.28 terlihat bahwa
temperatur tempering memiliki pengaruh yang hampir sama dengan jumlah
tempering terhadap ketangguhan dan kekerasan baja AISI H13. Peningkatan
temperatur tempering memberikan peningkatan ketangguhan yang disertai dengan
penurunan kekerasan.

BAB IV Pembahasan 95
Austenitisasi 1020 C

50.00

40.00
Kekerasan (HRC)

30.00 Single Tempering

20.00 Triple Tempering

10.00

0.00
520 540 560 580 600 620 640
Temperatur Tempering (Celcius)

Gambar 4.26 Kurva Pengaruh Temperatur Tempering Terhadap Kekerasan.


Austenitisasi 1020oC

Austenitisasi 1050 C

60.00

50.00
Kekerasan (HRC)

40.00
Single Tempering
30.00 Triple Tempering

20.00

10.00

0.00
520 540 560 580 600 620 640
Temperatur Tempering (Celcius)
Gambar 4.27 Kurva Pengaruh Temperatur Tempering Terhadap Kekerasan.
Austenitisasi 1050oC

BAB IV Pembahasan 96
Austenitisasi 1080 C

60.00

50.00
Kekerasan (HRC)

40.00
Single Tempering
30.00
Triple Tempering
20.00

10.00

0.00
520 540 560 580 600 620 640
Temperatur Tempering (Celcius)

Gambar 4.28 Kurva Pengaruh Temperatur Tempering Terhadap Kekerasan.


Austenitisasi 1080oC

Peningkatan ketangguhan dan penurunan kekerasan terhadap temperatur tempering


berkaitan erat dengan transformasi austenit sisa, pembentukan ferit, dan
berkurangnya jumlah martensit. Jumlah austenit sisa yang terdekomposisi meningkat
sebanding dengan peningkatan temperatur. Austenit sisa dapat terdekomposisi
menjadi ferit, sementit, bainit, maupun martensit. Persentase dan jenis fasa yang
terbentuk dari dekomposisi austenit sisa sangat sulit untuk diamati maupun dihitung.

Transformasi austenit sisa menjadi ferit dan sementit dan berkurangnya jumlah
martensit berlangsung secara difusi. Proses ini berkaitan erat dengan difusi atom C
secara interstisi keluar dari larutan padat jenuh martensit sehingga martensit akan
kehilangan struktur tetragonal BCT. Atom C yang berdifusi tersebut akan stabil
dengan membentuk karbida dan sementit (Fe3C) dalam matrik ferit. Hal ini terjadi
karena tersedianya energi aktivasi panas yang mendorong terjadinya difusi karbon
dan unsur-unsur pemadu. Semakin tinggi temperatur tempering maka difusi atom C
dan unsur-unsur pemadu akan semakin banyak dan berlangsung dengan cepat.

BAB IV Pembahasan 97
Akibatnya jumlah ferit, karbida, dan sementit yang terbentuk juga akan semakin
banyak. Pembentukan ferit mengakibatkan turunnya nilai kekerasan baja dan
sebaliknya meningkatkan ketangguhan baja.

Gambar 4.29 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
540oC. 600X.

Gambar 4.30 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
593oC. 600X.

BAB IV Pembahasan 98
Gambar 4.31 Foto Struktur Mikro Sampel Hardening 1020oC dan Single Tempering
620oC. 300X.

Dari ketiga gambar di atas terlihat bahwa rekristalisasi dan pertumbuhan ferit
semakin intensif dengan semakin tingginya temperatur tempering. Spesimen single
tempering pada 620oC menunjukkan bahwa ferit mendominasi struktur mikro baja
dengan persentase sebesar 52.2 %.

4.5 PENENTUAN KONDISI OPTIMAL PROSES PERLAKUAN PANAS


HARDENING DAN TEMPERING
Penentuan kondisi optimal proses perlakuan panas hardening dan tempering yang
menghasilkan kombinasi kekerasan dan ketangguhan pada baja AISI H13 sangat
komplek. Hal ini sangat ditentukan oleh aplikasinya di lapangan.

Baja AISI H13 sebagian besar digunakan sebagai material untuk membuat die,
(1)
seperti extrusion dies, casting dies, forging dies, molding dies, dll. Untuk
menentukan kombinasi ketangguhan dan kekerasan yang sesuai dengan aplikasi di
lapangan, maka kita perlu mengetahui mekanisme kegagalan yang sering terjadi pada
berbagai aplikasi tersebut. Pengetahuan mengenai model kegagalan tersebut sangat
penting dalam menentukan parameter proses perlakuan panas hardening dan

BAB IV Pembahasan 99
tempering. Di dunia industri, khususnya forging industry, semakin banyak variabel
proses (termasuk variabel proses perlakuan panas) dan semakin panjang siklus
perlakuan panas tentunya akan semakin meningkatkan biaya forging. Pembiayaan
die (die cost) merupakan salah satu hal penting pada industri forging. Biaya die ini
(32)
mencapai 10 hingga 15 % dari seluruh biaya di industri forging. Biaya ini
meliputi biaya untuk pembelian material die, permesinan die, dan biaya proses
perlakuan panas. Oleh karena itu, proses perlakuan panas harus dilakukan seefektif
mungkin.

Berdasarkan kondisi proses dan karakteristik material, maka kegagalan yang sering
terjadi pada die antara lain:
1) Keausan (wear)
2) Thermal fatigue
3) Mechanical fatigue
4) Plastic deformation

Keausan akan mengakibatkan terjadinya pengelupasan pada permukaan material die.


Sedangkan deformasi plastis adalah kegagalan yang terjadi pada material akibat
tekanan dan temperatur yang sangat tinggi. Adapun faktor yang paling menentukan
terhadap ketahanan aus dan ketahanan terhadap deformasi plastis adalah kekerasan.
Ketahanan aus pada die pada umumnya merupakan fungsi dari karbida-karbida yang
dihasilkan sewaktu proses perlakuan panas. Semakin banyak karbida yang terbentuk
maka ketahanan aus material die semakin baik. Namun disisi lain keberadaan karbida
bersifat merugikan terhadap keuletan (ductility) dan ketangguhan baja (toughness).
Penurunan ketangguhan dan keuletan tentunya bisa mengakibatkan terjadinya
mekanisme kegagalan lain seperti mechanical fatigue dan thermal fatigue.
Sebaliknya peningkatan ketahanan terhadap mechanical fatigue dan thermal fatigue
melalui peningkatan ketangguhan dan keuletan akan mengakibatkan turunnya
kekuatan luluh (yield strength). Penurunan kekuatan luluh ini akan mengakibatkan
penurunan ketahanan aus material die.

BAB IV Pembahasan 100


Untuk menentukan kombinasi sifat mekanik yang optimum dan terbaik dari sebuah
proses perlakuan panas membutuhkan pemahaman menyeluruh mengenai model
kegagalan yang biasa terjadi di lapangan. Salah satu cara yang paling efektif adalah
dengan menentukan mekanisme kegagalan yang paling dominan. Melalui cara ini
kita bisa mengetahui sifat mekanik yang paling dibutuhkan pada die sehingga kita
bisa menentukan parameter proses perlakuan panas yang paling efektif untuk
menghasilkan sifat mekanik yang mampu meningkatkan ketahanan terhadap
mekanisme kegagalan yang paling dominan tersebut.

Diantara keempat kegagalan ini, keausan (abrasive wear dan adhesive wear) dan
kegagalan mekanik (mechanical failure) merupakan dua kegagalan yang paling
sering terjadi pada die. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.32. Ketahanan aus
dipengaruhi oleh kekerasan baja sedangkan mechanical fatigue dan mechanical
shock erat kaitannya dengan ketangguhan. Oleh karena itu, proses perlakuan panas
pada die harus bisa menghasilkan kekerasan yang cukup tinggi dengan ketangguhan
yang cukup untuk menghindari terjadinya perpatahan.

Penentuan kondisi optimal proses perlakuan panas hardening dan tempering pada
penelitian ini dilakukan dengan memberikan nilai (scoring) sesuai dengan nilai
kekerasan dan ketangguhan pada setiap variabel perlakuan panas. Kekerasan
dijadikan acuan utama dalam menentukan urutan tersebut karena kekerasan
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kegagalan yang paling dominan
terjadi pada berbagai aplikasi baja AISI H13. Tabel 4.6 memperlihatkan urutan
proses perlakuan panas hardening dan tempering mulai dari yang paling baik hingga
yang paling tidak efektif.

BAB IV Pembahasan 101


Gambar 4.32 Frekuensi dan Lokasi Kegagalan yang Sering Terjadi pada Forging Die
(32)

Kekerasan yang dihasilkan pada penelitian ini sebagian besar di atas 40 HRC dengan
rata-rata 42.58 HRC. Sampel A dan B (tabel 4.6) memiliki kombinasi kekerasan dan
ketangguhan yang optimum. Dari segi kekerasan kedua sampel ini memenuhi standar
kekerasan yang dibutuhkan pada berbagai aplikasi baja AISI H13 (tabel 2.14).
Ketangguhan keduanya juga lebih tinggi jika dibandingkan sampel lainnya, yakni
29,42 dan 28,44 Joule. Ketangguhan sebesar ini sudah cukup memadai untuk baja
AISI H13 yang membutuhkan ketangguhan sedang hingga tinggi.

Sampel L, M, N, O, P, dan Q memiliki kombinasi kekerasan dan ketangguhan yang


tidak sebanding. Meskipun sampel-sampel tersebut memiliki kekerasan yang tinggi,
namun ketangguhannya jauh dibawah standar sehingga tidak cocok untuk aplikasi di
lapangan seperti pada forging die yang membutuhkan ketangguhan lebih untuk
menahan pertumbuhan retakan (crack growth). Kondisi sebaliknya justru terjadi pada
sampel yang diaustenitisasi pada 1020oC dan triple tempering pada 620oC (sampel
R). Nilai ketangguhan sampel ini paling tinggi jika dibandingkan sampel lainnya,
yaitu 44.13 Joule. Namun peningkatan ketangguhan ini diikuti dengan penurunan
kekerasan yang sangat signifikan hingga 24,79 HRC. Harga kekerasan ini mendekati

BAB IV Pembahasan 102


kekerasan sampel dalam kondisi annealed sehingga tidak cocok pada hampir seluruh
aplikasi baja AISI H13 yang membutuhkan kekerasan tinggi untuk ketahanan aus.

Tabel 4.6 Urutan Efektifitas Perlakuan Panas Berdasarkan Kombinasi Ketangguhan


dan Kekerasan
Sampel Perlakuan Panas Kekerasan Ketangguhan Urutan
(HRC) (Joule)
A Hardening 1050 C, Single Tempering 620 C
o o
1
45.92 29.42
B Hardening 1050 C, Triple Tempering 593 C
o o
42.20 28.44
C Hardening 1050oC, Triple Tempering 620oC 2
39.12 36.28
D Hardening 1020 C, Triple Tempering 593 C
o o
38.73 35.30
E Hardening 1050oC, Single Tempering 593oC 3
47.04 19.61
F Hardening 1020oC, Single Tempering 593oC
41.05 19.61
G Hardening 1020oC, Single Tempering 540oC 4
46.18 13.73
H Hardening 1020 C, Triple Tempering 540 C
o o
41.05 17.65
I Hardening 1020oC, Single Tempering 620oC
33.55 30.40
J Hardening 1050oC, Triple Tempering 540oC 5
45.12 13.73
K Hardening 1080oC, Triple Tempering 620oC
39.69 13.73
L Hardening 1050oC, Single Tempering 540oC
47.95 7.85
M Hardening 1080oC, Single Tempering 620oC
46.33 7.85
N Hardening 1080oC, Triple Tempering 593oC
43.71 8.83
O Hardening 1080oC, Single Tempering 540oC 6
45.45 6.86
P Hardening 1080oC, Single Tempering 593oC
48.03 4.90
Q Hardening 1080oC, Single Tempering 540oC
50.52 3.92
R Hardening 1020oC, Triple Tempering 620oC 24.79 44.13

BAB IV Pembahasan 103

Anda mungkin juga menyukai