Disusun oleh :
a) Sengketa antara PT Telkom dan PT Aria West International (AWI) melalui proses
yang berat dan memakan waktu hampir dua tahun, akhirnya diselesaikan melalui
akuisisi AWI oleh PT Telkom dalam tahun 2003. Dalam sengketa ini, AWI
menggunakan Pricewaterhouse Coopers (PwC) sebagai akuntan forensiknya,
dan penyelesaian dilakukan di luar pengadilan.
b) Kasus lain yang tak kalah hebohnya adalah kasus pembongkaran korupsi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tahun 2005 oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Kasus ini mencuatkan Khairinsyah Salman sebagai salah
seorang contoh whistleblower (peniup peluit).
c) Masih pada tahun yang sama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) mampu membuktikan kepada pengadilan bahwa Adrian Waworuntu
terlibat dalam penggelapan L/C BNI senilai Rp 1.3 Triliun, dengan menggunakan
metode follow the money yang mirip dengan metode PwC dalam kasus Bank
Bali.
Konsep akuntansi forensik, korupsi, strategi pemberantasan korupsi fraud triangle serta
penelitian empiris tentang korupsi dibahas untuk mengkonstruksi pembahasan peran
akuntansi forensik dalam pemberantasan korupsi. Akuntansi forensik sebagai aplikasi
ilmu akuntansi diarahkan untuk mampu menyediakan informasi, bukti dan pembuktian
yang memadai untuk debat pada persidangan di pengadilan.
Dalam kasus yang lebih pelik, ada satu bidang tambahan disamping akuntansi dan
hukum. Bidang tambahan ini adalah audit, sehingga model akuntansi forensiknya
direpresentasikan dalam tiga bidang .
Dalam suatu audit secara umum maupun audit yang khusus untuk mendeteksi fraud
(kecurangan), si auditor (internal maupun eksternal) secara proaktif berupaya melihat
kelemahan-kelemahan dalam sistem pengendalian intern, terutama yang berkenaan
dengan perlindungan terhadap aset (safeguarding of asset), yang rawan akan
terjadinya fraud. Ini adalah bagian dari keahlian yang harus dimiliki seorang auditor.
Kalau dari suatu audit umum (general audit atau opinion audit) diperoleh temuan audit,
atau ada tuduhan (allegation) dari pihak lain, atau ada keluhan (complaint), auditor
bersikap reaktif. Ia menanggapi temuan, tuduhan atau keluhan tersebut. Auditor
bereaksi terhadap temuan audit, tuduhan, dan keluhan serta mendalaminya dengan
melaksanakan audit investigatif.
Konsep yang digunakan dalam Segitiga Akuntansi Forensik ini adalah konsep
hukum yang paling penting dalam menetapkan ada atau tidaknya kerugian, dan kalau
ada bagaimana konsep perhitungannya. Di sektor publik maupun privat, akuntansi
forensik berurusan dengan kerugian. Di sektor publik ada kerugian negara dan kerugian
keuangan negara. Di sektor privat juga ada kerugian yang timbul karena cidera janji
dalam suatu perikatan. Kerugian adalah titik pertama dalam Segitiga Akuntansi
Forensik.
Landasannya adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk menggantikan kerugian tersebut.”Titik kedua dalam Segitiga Akuntansi Forensik
adalah perbuatan melawan hukum. Tanpa perbuatan melawan hukum, tidak ada yang
dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Itulah sebabnya dalam berbagai bencana
yang jelas-jelas ada kerugian bagi para korban, seperti dalam hal kasus lumpur
Lapindo, pertanyaannya yaitu: apakah ada perbuatan melawan hukum?
Titik ketiga dalam Segitiga Akuntansi Forensik adalah adanya keterkaitan antara
kerugian dan perbuatan melawan hukum atau ada hubungan kausalitas antara kerugian
dan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dan hubungan kausalitas
(antara perbuatan melawan hukum dan kerugian) adalah ranahnya para ahli dan
praktisi hukum. Perhitungan besarnya kerugian adalah ranahnya para akuntan forensik.
Dalam mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk menetapkan adanya hubungan
kausalitas, akuntan forensik dapat membantu ahli dan praktisi hukum. Seperti diagram-
diagram akuntansi forensik di atas, Segitiga Akuntansi Forensik merupakan model yang
mengaitkan disiplin hukum, akuntansi, dan auditing.