Anda di halaman 1dari 12

Kertas Kebijakan

Pengelolaan Risiko Banjir Berbasiskan


Masyarakat pada Kawasan Perkotaan
untuk Membangun Ketahanan Sistemik
Agustus 2021
Kertas Kebijakan

K
ertas kebijakan ini merupakan hasil studi singkat etnografi yang menggunakan metode peleburan diri
(immersion) dan pemetaan solusi (solutions mapping) yang mengandalkan pada percakapan informal,
empati, dan mendengarkan secara aktif. Studi yang didukung juga oleh survey publik ini dilakukan bulan
Mei-Juni 2021 di 7 kota di Indonesia serta melibatkan masyarakat perkotaan berpenghasilan rendah yang
terdampak banjir. Paparan dalam kertas kebijakan ini berlandaskan pada perspektif masyarakat terdampak
tentang aspirasi, kebutuhan dan solusi infrastruktur banjir. Studi dikomisikan oleh Direktorat Pengairan dan Irigasi
(DIPI) Bappenas sebagai upaya untuk mengakomodasi perspektif masyarakat terdampak dalam rancangan
kebijakan infrastruktur.

A.Latar Belakang eksternal. Infrastruktur ekologis perkotaan tersebut


merupakan gabungan antara infrastruktur fisik (format
biofisik) dan infrastruktur sosial (format sosial-budaya-
Resiliensi atau ketahanan adalah kapasitas suatu ekonomi). Kedua format ini terdiri atas pelbagai unsur
sistem untuk menyerap gangguan dan mengatur ulang yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
saat mengalami perubahan sehingga pada dasarnya
tetap mempertahankan fungsi, struktur, identitas, Sebagai contoh, dinamika air (water dynamics) yang
dan umpan balik yang sama. Pendekatan pemikiran termasuk dalam fungsi dari format biofisik, saling
ketahanan (resilience thinking) menelusuri bagaimana dipengaruhi oleh format biofisik lainnya seperti
sistem sosial-ekologis dapat dikelola dengan baik keragaman hayati, unsur kualitas infrastruktur fisik
guna memastikan pasokan layanan ekosistem penting buatan,serta format sosial-budaya-ekonomi seperti
yang berkelanjutan dan tangguh. Ketahanan sistemik rancangan, perencanaan dan regulasi Pemerintah.
dalam ruang lingkup ekosistem perkotaan ditentukan Permasalahan akut yang menimpa pelbagai unsur
oleh daya tahan infrastruktur ekologis perkotaan dalam dalam kedua format tersebut akan memperlemah
menghadapi dorongan dan tekanan internal maupun resiliensi infrastruktur ekologis perkotaan sehingga

Figur 1. Infrastruktur Ekologis Perkotaan Diadaptasi dari Childers, et.al. (2019)

2
Pengelolaan Risiko Banjir Berbasiskan Masyarakat pada Kawasan Perkotaan untuk Membangun Ketahanan Sistemik

Tindakan untuk mengurangi bahaya Tindakan untuk mengurangi kerentanan

Contohnya meliputi: Contohnya meliputi:


● Langkah-langkah berbasis ekosistem untuk ● Perlindungan sosial
mengurangi banjir pantai ● Diversifikasi mata pencaharian
● Mangrove untuk mengurangi energi badai pantai ● Solusi asuransi
● Tempat penampungan air untuk menyangga aliran ● Perumahan dan infrastruktur tahan bahaya
rendah dan kelangkaan air Bahaya Kerentanan

Dari hasil studi ini: Dari hasil studi ini:


● Optimalisasi infrastruktur yang ada (kualitas, Risiko ● Edukasi masyarakat mengenai kebencanaan
kesinambungan) dan sampah
● Penguatan solusi berbasis alam (seperti restorasi ● Pemetaan kesinambungan infrastruktur
sungai) dan perluasan kawasan hijau untuk ● Penunjukkan alur wewenang yang di level lokal
meningkatkan fungsi ekologis (RT/RW)
● Perancangan mitigasi yang sesuai dengan ● Partisipasi aktif golongan pemuda
penyebab banjir bervariasi dengan ● Pemetaan potensi gotong royong untuk
pertimbangan sejarah kawasan & alih fungsi tata Paparan mitigasi (termasuk pendanaan bersama)
wilayah

Tindakan untuk mengurangi paparan


Contohnya meliputi:
● Retret pantai dan pemukiman kembali
● Perencanaan penggunaan lahan yang sensitif terhadap risiko
● Sistem peringatan dini dan evakuasi

Dari hasil studi ini:


● Perancangan tata wilayah yang lebih partisipatif (PLUP) dan peningkatan kerjasama pemerintah-masyarakat
● Integrasi kearifan lokal seperti arsitektur dan peta banjir
● Pemetaan hubungan masyarakat dengan sungai, hubungan hulu-hilir dan potensi relokasi
● Pemetaan resiko karena infrastruktur eksternal (pemukiman, bandara, rel) dan rekomendasi pembangunan ke
depannya yang lebih memperhatikan aliran air

Figur 2. Hasil kajian singkat etnografi dalam kerangka pengurangan risiko melalui adaptasi (IPCC)

menjadikan kawasan tersebut rawan bencana. Lab- Institut Teknologi Bandung. UNDP Accelerator
Akibatnya, sebagai gantinya (trade-offs) dinamika air Lab juga telah melakukan survei publik yang diikuti
menghasilkan bencana akibat daya rusak air (misalnya oleh 78 kota dengan 353 responden.
banjir) ketimbang manfaat. Oleh karena ekosistem
perkotaan bersifat dinamis, maka ketahanan sistemik
juga bercirikan kontekstual yang relevansinya perlu
ditinjau secara berkala dari waktu ke waktu. Kajian etnografi dan survey menghasilkan
pemahamanan terkait infrastruktur sosial:
Kerangka infrastruktur ekologis perkotaan menyiratkan
pentingnya saling keterkaitan antara infrastruktur sosial 1. Adanya perbedaan Persepsi masyarakat terhadap
dan infrastruktur fisik dalam membentuk ketahanan banjir, risiko banjir dan penyebab banjir secara
konstekstual
sistemik. Pendekatan tradisional untuk pengelolaan
2. Hubungan erat antara sejarah, pertanahan, tata guna
risiko banjir berfokus pada perlindungan banjir berbasis lahan dan infrastruktur kota
infrastruktur fisik atau perbaikan dalam pemantauan 3. Ragam kepentingan atas ruang hidup masyarakat,
dan prakiraan banjir. Pendekatan ini cenderung swasta, pemerintah
4. Ragam relasi antara masyarakat-swasta-pemerintah
mengabaikan dimensi sosial. DIPI Bappenas berinisiatif
5. Solusi yang telah dilakukan dan ditawarkan oleh
membentuk kebijakan infrastruktur yang inklusif. Dalam masyarakat berdasarkan pengetahuan kontekstual
rangka mendapatkan gambaran infrastruktur ekologis yg didapatkan secara empiris (pengalaman hidup di
perkotaan secara utuh, DIPI Bappenas berkolaborasi ruang tersebut)
6. Perilaku individu dan komunal yang mempengaruhi
dengan UNDP Accelerator Lab, RCUS, serta komunitas ekosistem (sampah, reklamasi mandiri)
tujuh kota di Indonesia (Kota Banjarmasin, Provinsi DKI 7. Dampak banjir terhadap kehidupan sehari-hari,
Jakarta, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Cirebon, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, termasuk
diantaranya kehilangan potensi mobilitas ekonomi
Kabupaten Malaka, dan Kota Makassar). Kajian singkat
akibat pengeluaran rutin besar oleh masyarakat
etnografi dilakukan guna mendapatkan perspektif terdampak
emik dari komunitas berisiko dan terkena bencana 8. Indikasi terjadinya krisis iklim melalui perubahan
sebagai bukti kebijakan publik (figur 2). Pemetaan frekuensi dan intensitas banjir
9. Belum ada rangkaian kebijakan yang ada belum
solusi akar rumput menggunakan solutions mapping
mencakup wilayah sungai hulu dan hilir secara utuh.
canvas yang dirancang bersama Design Ethnography

3
Kertas Kebijakan

B. Temuan Pokok penyebab banjir. Empat faktor tersebut tidak berdiri


sendiri, namun saling berkaitan. Masyarakat mampu
mengidentifikasi dan mengasosiasikan kejadian
Persepsi masyarakat terhadap banjir. Berbeda dengan banjir dengan empat faktor diatas. Secara spesifik,
Pemerintah yang memaknai banjir secara teknis masyarakat juga menyadari perubahan bentang alam
sebagai luapan air dari sungai, masyarakat memahami pada daerah aliran sungai tidak bisa tergantikan
banjir secara umum sebagai kelebihan volume air yang serta merta dengan infrastruktur fisik. Sebagian juga
terjadi pada ruang hidupnya. Beberapa masyarakat menyadari bahwa infrastruktur fisik yang ada tidak
ada yang mampu melihat dan/atau mengetahui lokasi cukup, kurang optimal dan tidak tuntas. Masyarakat
asal air banjir secara sangat spesifik (kota Semarang, mengidentifikasi kurangnya pengawasan terhadap
dan Makassar) sementara sebagian masyarakat lain proses pemeliharaan infrastruktur yang mempengaruhi
tidak (kota Jakarta). Perbedaan persepsi tentang kualitas dan efektifitas fungsi infrastruktur dalam
definisi banjir antara pemerintah dengan masyarakat mengurangi risiko banjir. Kebanyakan masyarakat tidak
pada akhirnya membedakan uraian penyebab banjir diberikan peluang untuk terlibat secara aktif (mulai
serta perbedaan persepsi atas solusi. Masyarakat dari proses perencanaan sampai dengan monitoring)
memaknai banjir dan risiko berdasarkan konteks untuk mencapai peningkatan kualitas lingkungan
geografis (tempatan) permukimannya yang tak terkait perencanaan serta perubahan tata guna lahan
terlepas dari kondisi sosial, ekonomi dan budaya, dan pembangunan infrastruktur.
maupun posisinya terhadap sungai dan saluran
air lainnya (kota Demak-Semarang,Banjarmasin, Ada keragaman relasi dalam masyarakat dan
Makassar) Sekelompok masyarakat memaknai banjir dengan Pemerintah. Walau bermukim pada lokasi
beserta resikonya berdasarkan relasi ekologi mereka geografis sama terhadap sungai maupun saluran
dengan alam serta kepercayaan yang berbasiskan air lainnya, ketimpangan spasial dan infrastruktur
budaya dan agama (kota Malaka). tetap bisa terjadi. Dalam komunitas permukiman
tertentu, lama permukiman (maturity) dan ragam
Sejarah permukiman, status pertanahan, perubahan durasi bermukim warga juga menjadi faktor penentu
tata ruang dan tata guna lahan, serta pembangunan dalam pembentukan kohesi sosial, serta kualitas dan
infrastruktur kota menjadi faktor penentu lainnya bagi kuantitas tindakan adaptasi dan mitigasi pada level
masyarakat dalam memahami dan mengidentifikasi kelompok maupun individu. Masyarakat menaruh

4
Pengelolaan Risiko Banjir Berbasiskan Masyarakat pada Kawasan Perkotaan untuk Membangun Ketahanan Sistemik

kepercayaan lebih tinggi pada pemimpin lokal (baik tersebut bersifat sporadis dan berskala kecil, ada yang
formal maupun informal) daripada Pemerintah. bersifat kolektif namun ada pula yang tergantung pada
Masyarakat juga memiliki hubungan vertikal yang individu/tokoh. Kebanyakan solusi menjadi bagian
dinamis dan beragam dengan Pemerintah, dan dari mekanisme dan strategi bertahan (coping) yang
kerap tidak dapat terpisahkan dari dinamika politik bersifat spontan dan dipengaruhi kapasitas sosial
praktis. Masyarakat juga menyadari dan mengalami ekonomi. Perbedaan siasat yang sangat kontras
kebingungan atas ragam, koordinasi dan perbedaan diamati antara masyarakat kelas atas dan masyarakat
wilayah. Hal ini terjadi sebagai dampak pembagian kelas menengah ke bawah. Siasat berupa merubah
lembaga pemerintah yang tidak sinergis dalam satu fisik hunian (meninggikan lantai dasar dan menambah
luasan area banjir. Masyarakat menyadari bahwa lantai bangunan) yang bersifat permanen umumnya
tingkat kohesi sosial memiliki pengaruh besar terhadap dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah,
tingkat ketahanan dalam mencegah, menanggulangi sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah
dan memulihkan akibat bencana banjir. bertahan dan mengantisipasi banjir dengan membuat
perangkat tambahan (tanggul dan rak) yang bersifat
Dalam kapasitas tertentu, masyarakat juga sementara. Solusi dan inovasi akar rumput yang
menemukan dan menawarkan solusi dan inovasi ditemukan masih bersifat informal dan belum menjadi
terkait adaptasi dan mitigasi banjir. Konstruksi sosial bagian infrastruktur sosial dalam kerangka kerja formal
budaya masyarakat setempat terkait tata kelola air Pemerintah serta belum mampu memberikan dampak
(misalnya perspektif adat tentang “jalan air”) belum secara struktural maupun sistemik terhadap upaya
diakui sebagai potensi sosial. Tekanan eksternal yakni pencegahan bencana banjir.
globalisasi dan ekonomi mengikis praktik budaya dan
nilai adat kebiasaan dalam menghadapi banjir seperti Kegiatan dan perilaku individu dan kelompok
rumah panggung dan pemeliharaan hutan. Ragam yang mempengaruhi ekosistem, misalnya
solusi dan inovasi akar rumput yang teridentifikasi penutupan saluran drainase, masalah sampah dan
memiliki pelbagai bentuk yakni infrastruktur fisik, pembuangannya, reklamasi partikelir skala kecil oleh
berlandaskan alam dan inisiatif bersama (gotong masyarakat, penutupan badan air dan sebagainya.
royong). Banyak solusi akar rumput juga berfungsi Masyarakat menyadari bahwa kegiatan dan perilaku
sebagai pencegahan, penanggulangan dan pemulihan tersebut menjadi kontraproduktif terhadap solusi akar
bencana banjir. Solusi dan inovasi akar rumput rumput, serta mampu mengidentifikasi penyebab

5
Kertas Kebijakan

dan asal muasal kegiatan dan perilaku tersebut. tersebut mempengaruhi aksesibilitas, kesempatan
Kegiatan dan perilaku tersebut berhubungan dengan serta risiko secara fisik dan non fisik (status kesehatan
sistem perkotaan lain, seperti pengelolaan sampah, mental, sosial dan ekonomi). Masyarakat, terutama yang
lemahnya pengawasan pembangunan, hingga tinggal di kawasan risiko banjir dan berpenghasilan
rendahnya partisipasi masyarakat dalam penataan rendah, menyadari bahwa banjir berdampak pada
ruang. Pelibatan masyarakat dalam pembuatan kondisi ekonomi mereka hingga menjadi hambatan
infrastruktur banjir seperti kanal dan tata kelola dan menghilangkan kesempatan terjadinya
sungai, terbukti efektif dalam penanggulangan banjir. mobilitas ekonomi. Relasi ekologi, tekanan ekonomi
Sebaliknya, masyarakat menyadari bahwa ketiadaan serta alternatif mata pencaharian mempengaruhi
partisipasi dalam sistem perkotaan mempengaruhi persepsi risiko masyarakat dalam memaknai hambatan
efektivitas infrastruktur banjir. Peran swasta dalam tersebut, maupun keputusan untuk berpindah tempat
hal penggunaan dan pemanfaatan lahan juga sangat tinggal atau melakukan strategi adaptasi.
penting untuk diperhatikan. Dengan lebih menekankan
pada upaya peningkatan keuntungan internal, pelaku Dampak tak hanya dirasakan pada kejadian banjir,
bisnis sepatutnya memperhatikan dampak lingkungan namun infrastruktur untuk penanggulangan banjir juga
bagi masyarakat sekitar. ternyata memberikan dampak negatif pada kehidupan
sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, serta
Masyarakat menyadari kohesi sosial atau solidaritas mengubah lingkungan hidup. Hal ini terjadi ketika
sebagai modal dasar penanggulangan dampak sungai dan sumber daya air hanya direduksi dan dilihat
bencana banjir terutama saat evakuasi kelompok dari kacamata daya rusak air, seperti banjir belaka.
rentan. Masyarakat menyadari ragam tingkat
kerentanan yang menghasilkan dampak banjir yang Secara terbatas, masyarakat mulai
berbeda-beda. Kondisi fisik dan mental tertentu mengidentifikasikan dan mengasosiasikan krisis
(lansia, orang dengan disabilitas fisik dan mental, ibu iklim melalui perubahan dan frekuensi banjir serta
hamil, anak-anak) merupakan kelompok rentan yang intensitas hujan. Identifikasi dan asosiasi tersebut
paling terdampak banjir, disusul oleh kondisi status kemudian diikuti kesadaran bahwa krisis iklim
sosial ekonomi (misalnya buruh informal seperti memperparah masalah klasik yang belum terpecahkan
petani, peternak, pekerja serabutan) serta lokasi (misalnya masalah tata ruang dan perubahan tata guna
tempat tinggal (warga pinggiran sungai dan pantai). lahan).
Masyarakat menyadari pentingnya pendekatan
spesifik bagi pelbagai kelompok rentan ini, mulai dari Rencana pengelolaan risiko banjir juga kerap hanya
pencegahan, penanggulangan serta pemulihan banjir. menempatkan partisipasi masyarakat hanya pada
Masyarakat menyadari ragam tingkat kerentanan peringatan dini, respon tanggap bencana dan pasca

6
Pengelolaan Risiko Banjir Berbasiskan Masyarakat pada Kawasan Perkotaan untuk Membangun Ketahanan Sistemik

bencana. Ada potensi besar dari kohesi sosial dan


solidaritas yang telah terjadi dalam masyarakat. Jika
elemen dasar dalam pengelolaan risiko banjir adalah
1) pengelolaan bahaya banjir, 2) mengurangi paparan
terhadap bahaya, dan 3) mengurangi kerentanan,
maka studi tujuh kota tersebut menunjukkan:
1. Masih kuatnya ketegangan antara kepentingan
politik-kepentingan ekonomi dalam penguasaan
ruang-ruang hidup yang menafikkan aspek ekologi
2. Nalar pembangunan yang cenderung teknokratis
belum menjadikan ekologi sebagai orientasi
dalam upaya peningkatan kualitas hidup secara
berkelanjutan
3. Belum dibukanya ruang-ruang partisipasi
masyarakat yang bermakna dalam penataan ruang
(perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan)
ketimbang formalitas. Ini berarti menafikkan potensi
pengetahuan lokal yang banyak ditemukan dalam
studi ini.
4. Tidak ada integrasi antara rencana tata ruang dan
risiko banjir

C. Rekomendasi Kebijakan

Pendekatan dalam pengelolaan risiko banjir menurut rentan terbangun melalui pemahaman tunggal, yang
RPJMN 2020-2024 berpusat pada penguatan akhirnya berpotensi menimbulkan konflik pada saat
infrastruktur berketahanan sebagai bagian dari implementasi maupun sesudahnya.
infrastruktur pelayanan dasar. Pemusatan pada
infrastruktur dan memperlakukan pengelolaan Kota dan masyarakat memiliki peran penting dalam
risiko banjir sebagai pelayanan dasar berisiko pada menggerakkan transisi pengelolaan risiko banjir
pengambilan kebijakan ala one size fits all yang secara adaptif dalam skala ruang dan waktu. Studi
mengabaikan dinamika, dimensi dan kompleksitas tujuh kota menunjukkan bahwa konteks banjir
masyarakat dan kota. Pendekatan pada infrastruktur pada kawasan perkotaan memiliki kerumitan

Struktur Buatan
Alam - Ekosistem (built environment) - Spasial Budaya - Sosial

● Level individu, keluarga,


● Rancangan komunitas dan hubungan
Ekosistem (sungai, antar sesama
kawasan, hutan lindung): ● Manajemen ● Persepsi akan banjir (linear,
● Vegetasi ● Bangunan siklus)
● Fauna
● Fungsi ekologis untuk
● Infrastruktur ● Budaya & kearifan lokal
● Hubungan dengan sungai
resapan air ● Tempat (sebagai mode aktivitas)
● Sumber penghidupan

Figur 3. Irisan antara struktur buatan-spasial, aspek budaya sosial ekonomi dan lingkungan

7
Kertas Kebijakan

berlapis yang saling berkaitan (figur 3). Model dan Proses pengaturan, pengawasan dan pengendalian
pendekatan yang ada sekarang masih membangun dapat berupa Rencana Pengelolaan Risiko Bencana
pemahaman dan ketahanan pada satu sistem tanpa Berbasiskan Komunitas (RPRBBK).
memperhatikan sistem kompleks lainnya. Model ini
belum tentu mendorong adanya perubahan sistemik. Isi Rencana Pengelolaan Risiko Bencana Berbasiskan
Ketahanan pada masyarakat perkotaan yang dinamis Komunitas adalah:
adalah sebuah proses yang memungkinkan terjadi a. Pemetaan oleh komunitas tentang aspek sosial,
pembelajaran. Ketahanan yang dibangun perlu budaya, ekonomi, kawasan, biofisik dan bahaya
mencakup keberagaman, redundansi dan partisipasi (figur 4), seperti pada bagan berikut:
bermakna yang meliputi atribut nilai-nilai kejujuran,
terbuka, adil, kompeten, responsif, berbasis luas dan
deliberatif.

Dalam mewujudkan pengelolaan risiko banjir yang


Format Sosial-
mampu mendorong perubahan sistemik pada Format
Budaya-Ekonomi
masyarakat maka perlu ada perubahan pada level Biofisik
(non fisik)
produksi pengetahuan dan produksi kebijakan
dengan mengedepankan partisipasi masyarakat
secara bermakna, pada pencegahan, penanggulangan
dan pemulihan bencana akibat daya rusak air. Ini
Peta Sosial (social mapping) Peta Kawasan
dilakukan dengan pendekatan Transdisiplin yang ● Pola interaksi sosial; ● Bentang alam;
● Komposisi penduduk; ● pola relasi ekologis;
mendorong proses pembentukan pengetahuan ● Pola kepemimpinan & ● geomorfologi;
bersama (co-creation) dengan pengetahuan kolektif partisipasi masyarakat ● dinamika air;
dalam perencanaan & tata ● struktur habitat;
masyarakat setempat tentang banjir yang bersumber kelola; ● keragaman hayati;
● KLHS. ● infrastruktur biofisik;
dari kesadaran, pengalaman, dan gagasan yang telah ● RTRW.
teruji oleh waktu. Hal ini menegaskan pentingnya Peta Kerentanan
pengakuan dan payung hukum atas pengetahuan ● Identifikasi akar Peta Bahaya
kerentanan & kelompok (hazard mapping)
berbasis pengalaman dari masyarakat setempat rentan, Dorongan ● Identifikasi sumber
& tekanan internal bahaya;
(experiential knowledge). (antropogenik) & eksternal ● Dorongan & tekanan
(globalisasi & ekonomi), biofisik & perubahan
● Proteksi sosial & jaring iklim
Pencegahan Bencana akibat Daya Rusak Air pengaman sosial

menekankan pada proses pengaturan, pembinaan,


Potensi Sosial - Potensi Biofisik
pengawasan dan pengendalian yang menyeluruh (hulu Budaya-Ekonomi ● Kawasan hijau;
dan hilir) secara keseluruhan yang berbasis komunitas. ● Kohesi sosial; ● Keragaman hayati;
● Komunitas pengelolaan air ● SDA lokal.
& bencana; ● Infrastruktur fisik banjir
● Mata pencaharian;
● Pengetahuan;
● Nilai & praktik budaya &
kebiasaan serta solusi
dan inovasi akar rumput
tentang pencegahan
bencana.

Figur 4. Pencegahan Banjir Terpadu Berbasiskan Masyarakat


berdasarkan kajian etnografi

8
Pengelolaan Risiko Banjir Berbasiskan Masyarakat pada Kawasan Perkotaan untuk Membangun Ketahanan Sistemik

b. Integrasi Rencana pengelolaan risiko banjir


berbasiskan komunitas dan terintegrasi dengan Pengaturan kegiatan umum pada
Rencana Tata Ruang. Perbedaan luas dan penyusunan rencana tersebut adalah:
kompleksitas kota memungkinkan terbentuknya
beberapa rencana pengelolaan berbasiskan
a. Identifikasi aktor, penggerak dan organisasi
wilayah/daerah tangkapan air (catchment area). masyarakat yang sudah ada, termasuk kepentingan
Bentuk integrasi RPRBBK dapat menjadi ketetapan yang menyertainya terhadap ekologis air.
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (untuk wilayah b. Penyusunan kelembagaan, tim dan kelompok kerja
Kabupaten) dan Rencana Detil Tata Ruang (untuk c. Penyusunan sejarah kawasan
kawasan perkotaan) atau dapat ditetapkan secara d. Penyusunan Visi dan Milestone
e. Identifikasi Masalah dan Kemungkinan Solusi
terpisah dalam Panduan Rancang Kota (Rencana
f. Penyusunan Rencana Kerja dan Lokasi Prioritas
Tata Bangunan dan Lingkungan) pada kawasan g. Pembagian tanggung jawab, koordinasi
tertentu, misalnya kawasan rawan bencana dengan dan pembiayaan
kepadatan penduduk tinggi. Prinsip penataan h. Penyusunan Rencana
kawasan dalam PRRBBK mengedepankan kondisi Pengelolaan dan Pengawasan
ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup Model yang mungkin dilakukan
misalnya adalah design
masyarakat serta menjunjung tinggi Hak Asasi
charrette atau mini studio.
Manusia.
c. Rencana komunitas untuk peringatan dini bencana,
mitigasi bencana dan upaya konservasi
d. RPRBBK dapat mengidentifikasikan kegiatan
pemulihan bencana berbasiskan komunitas.

Dalam mewujudkan RPRBBK, maka peran


Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain:

a. Penentuan pembagian catchment area


ditentukan bersama melalui konsultasi bersama
masyarakat.
b. Pembagian tupoksi badan atau gugus tugas
berbasis catchment area
c. Membuka dan memberi ruang untuk
berpartisipasi dengan membentuk hubungan
kerjasama yang berlandaskan kesetaraan atau
pendelegasian wewenang kepada
masyarakat setempat.
d. Penyusunan hingga penetapan KAK
Kegiatan dilaksanakan bersama
masyarakat. Sebagai catatan,
proses tender konsultan
memiliki dampak
negatif pada kualitas
partisipasi.
e. Peningkatan Kapasitas
dan Kolaborasi
Produksi Pengetahuan
(knowledge co-creation) bersama
dengan masyarakat
f. Memungkinkan terjadinya kegiatan dan
program multi-years
g. Penyelesaian masalah agraria sebagai bagian
dari implementasi rencana

9
Kertas Kebijakan

Dalam mewujudkan RPRBBK memerlukan pelibatan 2. Pemahaman akan hubungan dan solidaritas tak
masyarakat secara terstruktur dan terorganisir dalam terpisahkan antara wilayah hulu dan hilir dalam
implementasi rencana(fase pra rencana sampai konteks perencanaan ruang dan bentang alam.
dengan fase pasca-fungsi kontrol dan keberlanjutan).
Pelibatan tersebut dapat berupa Gugus Tugas Bentuk fungsi pembinaan bisa berupa:
Komunitas Pengelola Risiko Banjir. Isi Gugus Tugas a. Kampanye Solusi dan Inovasi
turut diidentifikasikan sebagai bagian dalam RPRBBK. b. Forum dialog publik lintas sektor dan lintas wilayah
Telah ada model serupa yang mengusung prinsip (hulu dan hilir)
Jogo Kali (Jaga Kali), seperti di Stren Kali Surabaya, c. Repositori pengetahuan bersama
Komunitas Anak Kali Ciliwung di Jakarta dan Forum d. Aksi konkrit yang mempunyai dampak langsung
Komunikasi Winongo Asri. terkait lingkungan,ekonomi, sosial dan budaya
setempat
Fungsi Pembinaan dalam Pencegahan Bencana
dapat menekankan pada kolaborasi dalam produksi Untuk menunjang pencegahan bencana maka
pengetahuan untuk pemahaman bersama: Pemerintah dan komunitas perlu menyelenggarakan
1. Risiko banjir untuk pemantik imajinasi akan Sistem Informasi Sumber Daya Air pada skala lokal,
perubahan yang mungkin terjadi. sesuai dengan konteks kewilayahan dan cakupan
Jenis pemahaman bersama yang perlu dibangun RPRBBK. Sistem Informasi tersebut dapat menggunakan
adalah informasi pada pasal 113 RPP tentang Pengelolaan
a. Ilustrasi risiko banjir yang berdampak besar Sumber Daya Air, dan ditambah konteks tata ruang,
pada kehidupan ekonomi, sosial dan budaya seperti Koefisien Dasar Bangunan dan Koefisien Lantai
masyarakat dan individu. Bangunan terbangun, serta persentase Koefisien
b. Rupa-rupa pemahaman yang mampu mendorong Dasar Hijau eksisting.
masyarakat melihat kemungkinan dan ragam
masa depan yang lain dari yang mereka hadapi
sekarang.

10
Pengelolaan Risiko Banjir Berbasiskan Masyarakat pada Kawasan Perkotaan untuk Membangun Ketahanan Sistemik

Matriks Rekomendasi Pengendalian Daya Rusak Air

No Pengendalian Daya Rusak Air Rekomendasi Kebijakan

1 Pencegahan 1. Rencana pengelolaan risiko banjir berbasiskan


Pengaturan komunitas
2. Forum Dialog Publik Lintas Sektor
1. Kolaborasi produksi pengetahuan
Pembinaan 2. Sistem Informasi Banjir Lokal/Kawasan
3. Forum Dialog Publik Lintas Sektor
1. Rencana pengelolaan risiko banjir berbasiskan
Pengawasan komunitas

1. Rencana pengelolaan risiko banjir berbasiskan


Pengendalian komunitas

2 Penanggulangan -
3 Pemulihan 1. Rencana pengelolaan risiko banjir berbasiskan
komunitas
2. Gugus Tugas Komunitas Pengelola Risiko Banjir
4 Kelembagaan 1. Gugus Tugas Komunitas Pengelola Risiko Banjir

11
Kertas Kebijakan

D. Usulan Rencana Tindak Lanjut

Kegiatan Kajian Singkat Etnografi juga


mengidentifikasikan kota dan komunitas yang
dapat menjadi mitra dalam rencana tindak
lanjut jangka pendek, dengan fokus:
1. Pembentukan dan penguatan Gugus Tugas
Komunitas/Kota
2. Penyusunan Rencana pengelolaan risiko
banjir berbasiskan komunitas dan produk
tata ruang terkait.

Referensi

Refleksi hasil Etnografi 7 komunitas terdampak banjir.(2021). Tidak dipublikasikan

Childers, et.al. (2019) Urban Ecological Infrastructure: An inclusive concept for the non-built urban
environment

Intergovernmental Panel on Climate Change. (IPCC). (2012 & 2014). Risk as a function of hazard,
exposure and vulnerability

Moffatt and Kohler. (2008). Conceptualizing the built environment as a social–ecological system,
Building Research & Information, 36:3, 248-268, DOI:10.1080/09613210801928131

12

Anda mungkin juga menyukai