Anda di halaman 1dari 23

Laporan Pendahuluan (LP)

Kejang Demam Sederhana

A.Pengetian

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Biasanya
kejang terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, bila anak usia kurang 6
bulan atau lebih 5 tahun mengalami kejang didahului oleh demam, kemungkinan
lainya, misalnya mengalami epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak
yang mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi usia kurang lebih 1
bulan tidak termasuk dalam kejang demam (Garna & Nataprawira, 2009).

Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam antara
lain: infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media
akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).

Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering


dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul
infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada
golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 8 3% dari anak yang
berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih
sering didapatkan pada laki-laki dari pada perempuaan. Hal tersebut disebabkan
karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan
laki-laki (Judha & Rahil, 2011).
Kejang demam terjadi jarang sebelum umur 9 bulan dan sesudah umur 5
tahun. Kejang demam sering terjadi sekitar usia 14 sampai 18 bulan. Kejadian
kejang demam menunjkan fenomena kecenderungan faktor genetik. Resiko kejang
demam meningkat jika ada riwayat kejang demam pada keluarga (orang tua &
saudara kandung) (Behrman, Robert , Kliegman, Arvin, 2010).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam


adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering
dijumpai pada anak usia di atas 6 bulan bawah umur 5 tahun.Dari pengertian diatas
maka penulis menyimpulkan bahwa yang di maksud kejang demam adalah
perubahan potensial listrik cerebral yang berlebihan akibat kenaikan suhu dimana
suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya
terjadi pada anak dengan usia 6 bulan sampai 5 tahun.

B. Manifestasi Klinik

Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul
pada penderita kejang demam :

1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.

2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun
tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan
persarafan.

3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan,cahaya


(penurunan kesadaran)Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam
menurut Livingstone juga dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan
manifestasi klinik kejang
Demam. Ada 7 kriteria antara lain:

1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.


2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot
rahang saja ).
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada
kelainan.
6. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau
lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam,

Berlangsung singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik,


klonik, fokal atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang
berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik
atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.(Judha & Rahil, 2011)

C. Etiologi
Peranan infeksi pada sebagian besar kejang demam adalah tidak spesifik dan
timbulnya serangan terutama didasarkan atas reaksi demamnya yang terjadi
(Lumbantobing, 2004).Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar
susunan syaraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis media akut,bronkitis(Judha &
Rahil, 2011).

Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang
mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis
(Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009)
Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukanpenyebab
organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan
menyeluruh. Tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan
penyebab demam dan mengesampingkan meningitis. Infeksi saluran pernapasan
atas, dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam yang paling sering
(Behrman, Robert , Kliegman, Arvin, 2010).

D. Patofisiologi

Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit
dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainya kecuali ion klorida. Akibatnya
konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah,
sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan


konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak
misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.Pada keadaan
demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10
sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun
sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi
kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot
dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat (Judha & Rahil, 2011).

Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik.
Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh
melalui hematogen maupun limfogen. Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan
direspon oleh hipotalamus dengan menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus
sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu
di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti
otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.

Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan
disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.
Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada
neuron . Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium,
ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang
diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul
kejang.

Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan


kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsunganjalan nafas oleh
penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2015).
E. Klasifikasi Kejang Demam

Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi dua yaitu :

1. Kejang Demam Sederhana (KDS)


Kejang demam yang berlangsung singkat kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk tonik dan klonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

2. Kejang Demam Kompleks (KDK)


Kejang demam yang berlangsung lebih darai 15 menit, kejang fokal atau
persial, kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
( Wulandari & Erawati, 2016)

F. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis kejang demam ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan bahwa
tidak ada penyebab kejang di intrakranial.

Anamnesis

Riwayat yang ditanyakan meliputi:


Riwayat kejang sebelumnya, apakah disertai dengan demam atau tanpa
demam Riwayat tumbuh kembang anak sebelum dan setelah kejang Riwayat
penyakit lain yang menyertai Gejala yang digali dari anamnesis meliputi: Kejang
umum: sering dideskripsikan sebagai “kelojotan” (tonik-klonik) Kejang fokal:
kejang pada satu sisi tangan / kaki atau satu sisi tubuh atau bagian tubuh tertentu
Durasi kejang Frekuensi kejang atau kejang berulang Tanda-tanda neurologis
sebelum, saat dan setelah kejang Ada tidaknya gejala demam sebelum kejang
Dicari mengenai sumber infeksi yang bisa menyebabkan demam. Meskpun masih
belum jelas angka pastinya, suhu rektal di bawah 38oC yang disertai kejang, perlu
dipikirkan bahwa kejang demam tersebut adalah kejang demam kompleks
Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan fisik anak dengan kejang demam, selain adanya
peningkatan suhu, biasanya normal atau sesuai dengan penyebab demam (contoh:
rhonki pada paru pada anak bronkopneumonia yang demam). Penting untuk
melihat tanda dari meningitis dan ensefalitis untuk menyingkirkan diagnosis
banding:

Meningitis: kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski yang positif dengan atau
tanpa gejala neurologis fokal. [5] Pada bayi baru lahir, tanda-tanda ini jarang
terlihat pada meningitis.

Ensefalitis: beberapa gangguan kesadaran, perubahan tingkah laku, penemuan


neurologis fokal (contoh: hemiparesis, kejang fokal dan disfungsi otonom),
gangguan motorik, ataksia, gangguan pada saraf kranial, disfagia, meningismus,
atau disfungsi sensorimotor unilateral.[6]

Beberapa diagnosis banding dari kejang demam adalah:

Meningitis Bakterial Akut


Pasien tampak lebih letargis dan gelisah, terdapat gangguan kesadaran setelah
kejang, ruam kulit, fontanel membonjol, dan kaku kuduk. Pemeriksaan pungsi
lumbal tidak normal dan kultur liquor cerebrospinalis (LCS) tumbuh bakteri.

Meningitis Viral
Kaku kuduk positif. Pemeriksaan pungsi lumbal tidak normal, kultur bakteri
LCS negatif, tetapi polymerase chain reaction (PCR) kemungkinan positif.

Ensefalitis Viral
Gejala prodromal meliputi gejala infeksi saluran napas atas akut, diikuti nyeri
kepala, kaku kuduk dan kejang. Ruam kulit mungkin timbul. Pemeriksaan pungsi
lumbal dan kultur bakteri LCS tidak spesifik karena dapat menunjukkan hasil yang
normal. Pemeriksaan virus dapat ditemukan positif (contoh: herpes simpleks)
Ensefalopati Akut
Gejala prodromal seperti gejala pada infeksi virus, diikuti dengan gangguan
kesadaran dan kejang dan dapat disebabkan oleh zat beracun (pada Sindroma
Reye) Pemeriksaan pungsi lumbal dapat menunjukkan:

Peningkatan tekanan LCS, hitung sel dan protein meningkat, dengan penurunan
glukosa Peningkatan rasio albumin LCS / serum mengindikasikan adanya
gangguan sawar otak dan menjadi tanda awal dari ensefalopati akibat virus yang
akut. Peningkatan enzim liver dan kadar amonia di dalam darah. Gula darah dapat
menurun.

Dapat ditemukan gangguan pada hasil elektroensefalografi (EEG). Dapat


ditemukan hasil MRI yang normal dan tidak normal (contoh: nekrosis talamus
bilateral dan edema otak). Pemeriksaan virus dapat ditemukan positif (contoh:
influenza A).

Epilepsi
Pada epilepsi kejang tidak disertai dengan demam. Pemeriksaan EEG dapat
menunjukkan adanya gelombang epileptiform (contoh: gelombang spike and
slow).

Generalized epilepsy with febrile seizure plus (GEFS+), adalah sebuah penyakit
akibat gangguan genetik autosomal dominan. Ditemukan riwayat kejang demam
yang terjadi lebih dari 5 tahun dan riwayat bangkitan kejang tanpa demam.

Hot water epilepsy (HWE), dimana kejang biasanya kompleks-parsial yang


didahului dengan tersiram air panas (40 – 50oC) di kepala. Sering terjadi di India
dan Turki. 7% dari penderita HWE memiliki EEG di antara kejang menunjukkan
temporal spikes.
Sindroma Drevet atau severe myocloninc epilepsy of infancy (SMEI), merupakan
penyakit mutasi genetik. Ditandai dengan epilepsi yang tidak kunjung membaik,
tampak seperti kejang demam pada tahun pertama. Kejang onset dini, berulang
dan tipe kejang yang sering terjadi adalah kejang fokal dan klonik.

Breath-holding spells
Bayi afebris yang apneu, sianosis dan terdapat gerakan menghentak-hentak
pada ekstremitas setelah menangis, atau setelah stimulasi vagal yang tidak
disengaja. Onset usia 6 – 18 bulan. [7]

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada kejang demam tujuan
utamanya adalah mencari sumber infeksi yang menyebabkan demam, bukan untuk
menentukan kejang demam. Apabila dokter pemeriksa sudah meyakini adanya
demam disebabkan infeksi virus simpleks, misalnya pada ISPA, maka diagnosis
klinik sudah cukup adekuat. Serum elektrolit jarang ditemukan bermanfaat pada
evaluasi kejang demam.

Fungsi Lumbal
Fungsi Lumbal tidak rutin dilakukan pada saat terjadi kejang demam, kecuali
bila ada indikasi tanda dan gejala adanya meningitis atau pada kondisi-kondisi
yang akan dijelaskan pada poin berikutnya.

Fungsi lumbal dilakukan pada anak dengan demam dan kejang yang memiliki
tanda dan gejala meningitis (contoh: kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski)
atau dengan riwayat dan pemeriksaan yang mengarah ke meningitis atau infeksi
intrakranial.

Bayi usia 6 – 12 bulan dengan demam dan kejang dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan pungsi lumbal bila tidak menerima imunisasi Haemophilus influenzae
tipe B (HiB) atau Streptococcus pneumoniae, atau pada status imunisasi yang tidak
jelas.
Fungsi lumbal dipertimbangkan pada anak dengan kejang dan demam bila pasien
sudah menerima antibiotik sebelumnya, dikarenakan pemberian antibiotik bisa
memudarkan tanda dan gejala meningitis.

Pasca kejang demam kompleks, pungsi lumbal dapat dilakukan untuk


menyingkirkan kemungkinan meningitis karena kemungkinan tanda dan gejala
meningitis menjadi sulit untuk dievaluasi. Hasil studi Kimia et al (2010)
menunjukkan bahwa sedikit pasien dengan kejang demam kompleks memiliki
meningitis bakterial akut tanpa gejala yang diketahui hanya dari fungsi lumbal.

Elektroensefalografi (EEG)
EEG tidak disarankan secara rutin dilakukan pada kejang demam sederhana
karena selain tidak efektif biaya, juga berpotensi menimbulkan kecemasan orang
tua.
Tidak ada studi yang kuat yang menyimpulkan EEG bisa memprediksi
kemungkinan risiko epilepsi, meskipun EEG yang abnomal terus menerus
memiliki nilai prediksi yang lebih tinggi (hal ini juga masih membutuhkan studi
lanjutan). Tidak banyak studi yang bisa menyimpulkan apakah EEG efektif
dilakukan untuk pasien dengan kejang demam kompleks

EEG dipertimbangkan pada semua pasien kejang demam kompleks dengan salah
satu hal berikut:
- Bangkitan kejang tanpa disertai demam
-Terdapat keterlambatan atau gangguan tumbuh kembang
-Tanda dan gejala neurologis yang tidak normal.

Radiologi
CT-Scan (Computed Tomography Scan) dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) tidak dianjurkan untuk dilakukan pada pasien dengan kejang demam
sederhana karena kerugian tidak sebanding dengan keuntungan (contohnya: dapat
mendeteksi gangguan struktural di dalam otak). Efek samping dari CT-Scan
adalah paparan radiasi yang besar dan efek yang tidak diinginkan dari MRI adalah
biaya yang tinggi dan efek samping sedasi dimana obat-obatan sedatif biasa
diberikan kepada anak-anak sebelum MRI.

CT-Scan dipertimbangkan dilakukan pada Unit Gawat Darurat pada kejang


demam kompleks bila terdapat indikasi kuat adanya perdarahan akut/subakut atau
lesi struktural dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.

MRI yang tidak segera dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam
kompleks yang memiliki defisit neurologis iktal dan post-iktal.

H. Penatalaksanaan Medik dan Implikasi Keperawatan.

1. Penatalaksana Medis
Menurut Livingston (2001) penatalaksanaan medis ada:
a) Menghentikan kejang secepat mungkin Diberikan antikonvulsan secara
intravena, jika klien masih kejang.
b) Pemberian oksigen
c) Penghisapan lendir kalau perlu
d) Mencari dan mengobati penyebab Pengobatan rumah profilaksis
intermitten.Untuk mencegah kejang berulang, diberikan obat campuran anti
konvulsan dan antipiretika.

2. Penatalaksanaan keperawatan
a) Semua pakaian ketat dibuka
b) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
c) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
d) Monitor suhu tubuh,Cara paling akurat adalah dengan suhu rektal
e) Obat untuk penurun panas, pengobatan ini dapat mengurangi
ketidaknyamanan anak dan menurunkan suhu 1 sampai 1,5 ºC.
f) Berikan Kompres Hangat Mengompres dilakukan dengan handuk atau
washcloth (washlap atau lap khususbadan) yang dibasahi dengan dibasahi air
hangat (30ºC) kemudian dilapkan seluruh badan. Penurunan suhu tubuh
terjadi saat air menguap dari permukaan kulit. Oleh karena itu, anak jangan
“dibungkus” dengan lap atau handuk basah atau didiamkan dalam air karena
penguapan akan terhambat. Tambah kehangatan airnya bila demamnya
semakin tinggi.Sebenarmya mengompres kurang efektif dibandingkan obat
penurun demam.Karena itu sebaiknya digabungkan dengan pemberian obat
penurun demam, kecuali anak alergi terhadap obat tersebut.
g) Menaikkan Asupan Cairan Anak. Anak dengan demam dapat merasa tidak
lapar dan sebaiknya tidak memaksa anak untuk makan. Akan tetapi cairan
seperti susu (ASI atau atau susu formula) dan air harus tetap diberikan atau
bahkan lebih
Pathway
II.Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan,
yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam
pengkajian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data ini merupakan
kegiatan menghimpun informasi tentang status kesehatan klien (Romah
Nikmatur, Walid Saiful,2010)
a. Macam-macam data antara lain:
1) Data Dasar
Data dasar merupakan seluruh informasi tentang status kesehatan
pasien,yang meliputi: data umum, data demografis, riwayat
keperawatan, pola fungsing kesehatan, dan pemeriksaan.
2) Data Fokus
Data fokus adalah informasi tentang status kesehatan klien yang
menyimpang dari keadaan normal. Data ini berupa ungkapan klien
maupun hasil pemeriksaan langsung oleh perawat.
3) Data Subjektif
Data ini merupakan ungkapan keluhan klien secara langsung oleh klien
sendiri maupun secara tak langsung oleh orang lain yang mengetahui
keadaan klien secara langsung dan disampaikan kepada perawat.
4) Data Objektif
Data objektif merupakan data yang di pperoleh secara llangsung melalui
observasi dan pemeriksaan kepada klien
b. Sumber Data
1) Sumber Data Primer
Sumber data perimer adalah klien
2) Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah keluarga, teman dekat, atau orang lain yang
mengetahui status kesehatan klien.

c. Teknik Pengumpulan Data


1) Anamnesis
Ananmnesis adalah tanya jawab atau komunikasi secara langsung dengan
klien maupun secara tak langsung oleh keluarganya untuk menggali
informasi tentang status kesehatan klien
2) Observasi
Observasi adalah pengamatan secara umum terhadap prilaku dan keadaan
klien.
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan cara pengumpulan data melalui
pemeriksaan dengan 4 cara, yaitu: infeksi, palfasi, perkusi dan auskultasi
d. Pengkajian pada klien meliputi
1) Identitas pasien/ biodata (rekawati, 2013)
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir,
umur, tempat lahir, asal suku bangsang, nama orang tua, pekerjaan orang
tua.
2) Keluhan Utama
Keluhan utama yang dirasakan klien diuraikan dalam:
a) Provokatif : penyebab yang memperberat dan menngurangi
b) Kualiti : dirasakan seperti apa, tampilannya, suaranya, dan
berapa banyak.
c) Region : Lokasi dimana dan penyebarannya.
d) Scale : Itensitasnya (skala) pengaruh terhadap aktifitas
e) Timing : Kapan keluhan tersebut muncul berapa lama dan
bersifat (tiba-tiba sering dan bertahap)
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Diisi dengan riwayat penyakit yang diderita klien yang berhubungan
dengan penyakit saat ini atau penyakit yang mungkin dapat dipengaruhi
atau memengaruhi penyakit yang diderita klien saat ini.

4) Riwayat kesehatan keluarga


Mengidentifikasi apakah di keluarga dan penyakit menular, turunan tau
keduanya.
a) Bila ditemukan riwayat penyakit menular dibat struktur keluarga,
dimana diidentivikasi individu-individu yang tinggal serumah berupa
genogram.
b) Bila ditemukan riwayat penyakit keturunan minimal tiga generasi
5) Pola Aktivitas Sehari-hari
Pola aktivitas sehari-hari meliputi perbedaan pola nutrisi, eliminasi,
intirahata tidur, personal hygin dan aktivitas atau rutinitas.
a) Nutrisi
Perlu dikaji keadaan makanan dan minuman klien meliputi
- Makan: Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diet, porsi makan, riwayat
alergi terhadap suatu jenis makanan tertentu (Brunner & Suddart, 2001 :
1625)
- Minum dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari.
b) Eliminasi
- Buang air besar (BAB): Frekuensi BABA, warna, bau, konsistensi feses
dan keluahn klien yang berkaitan denagn BAB (Doenges,2000 : 671)
- Buang air kecil (BAK): frekuensi, warna, bau (Brunner &
Suddart,2001 : 1625).
c) Pola Istirahat
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari apakah ada kesulitan dalam tidur.
( Brunner 7 Suddart,2001, 1625).
d) Personal Hygine
Dikaji mengenaik frekuensi dan kebiasaan mandi , keramas, gosok gigi
dan menggunting kuku.
e) Aktifitas
Dikaji tentang kegiatan dalam pekerjaan, mobilisasi, olah raga, kegiatan
diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan klien mengganggu
aktivitas klien tersebut.
6) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan kesehatan meliputi pemeriksaan fisik umum secara
persistem berdasarkan hasil observasi keadaan umum, pemeriksaan
persistem meliputi: Sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem
persyarafan, sistem urinaria, sistem muskuloskoletal, sistem Integumen,
Sistem endokrin, Sistem pendeengaran, Sistem pengellihatan dan
pengkajian, sistem psikososial. Biasanya pemeriksaan berfokus
menyeluruh pada sistem perkemihan.
a) Sistem kardiovaskuler
-Inspeksi
-Palpasi
-Perkusi
b) Sistem pencernaan
-Inspeksi
-Perkusi

c) Sistem pernafasan
-Inspeksi
-Palpasi
-Perkusi
-Auskultasi

d) Sistem muskuloskeletal
-Inspeksi
-Palpasi
-Perkusi

e) Sistem endokrin
-Inspeksi
-Palpasi
-Auskultasi

f) Sistem integumen
-Inspeksi
-Palpasi

g) Sistem neurologi
-Inspeksi
-Palpasi
-Auskultasi

h) Sistem perkemihan
-Inspeksi
-Palpasi
-Perkusi

i) Sistem persyarafan
- N I Olfactorius
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih.
Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan
dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta
menebak bau tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang satunya.
- N II Optikus
Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum
pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca
atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh.
Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm,
minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah
mata dengan mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda
yang berasal dari arah luar klien dank lien diminta ,mengucapkan ya bila
pertama melihat benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan
mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat kemampuan klien saat
pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk melihat fundus
dan optic disk (warna dan bentuk)
- N III , N IV, dan N VI (occulomotorius, trochlear, dan abducen):
Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva,
dan ptosis kelopak mata
Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi
cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral
bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan
bolamatanya
- N V Trigeminus
Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,
mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien
mengucapkan ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau
peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan
tumpul.
Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan
diketiga area wajah tersebut. Minta klien menyebutkan area mana yang
merasakan sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum
pemeriksaan.
Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala
yang digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta
klien mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat
lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata
dan lihat refleks menutup mata.
Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi
periksa otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan
ototnya, minta klien melakukan gerakan mengunyah dan lihat
kesimetrisan gerakan mandibula.

- N VII Facialis:
Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan
sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk
gula dan asam.
Fungsi mootorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat
kedua al;is berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan
kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien
memejampan mata kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta pula
klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
- N VIII Vestibulotrochlear
Cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan
weber test dan rhinne test.
Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri
tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya
ayunan tubuh, minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat
apakah klien dapat mempertahankan posisi.
- NIX dan NX Glossofaringeus dan Vagus
Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila
uvula terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air
sedikit, observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran
pita suara saat klien berbicara.
- N XI Assesorius
Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu
secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
menoleh ke kanan dank e kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu
kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang
pergerakan sendi.
Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan
kedua telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan
pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa,
perhatikan kekuatan daya dorong.
- N XII Hipoglosus
Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan,
observasi kesimetrisan gerakan lidah
Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi
dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong
kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi
pemeriksaan sisi yang lain.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik tentang individu,
keluarga atau amasyarakat yang berasal dari proses pengumpulan dan
analisa data yang cermat dan sistematis. Berdasarkan patofisiologis dan
dari pengkajian , diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
klien dengan kejang demam :
- Resiko terjadi kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang.

- Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi atau inflamasi.

3. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah perbandingan sismetik dan terancam tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah di dapat . kegiatan dalam
pelaksanan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, serta menilai
data yang baru. (Juniartha Semara Putra)
1.Kaji tanda dan gejala adanya peningkatan  suhu tubuh
dan penyebabnya.
2.Monitor TTV, suhu tiap 6 jam sekali
3.Anjurkan klien banyak minum 2 –2,5 liter/24 jam
4.Monitor intake dan output
5.Anjurkan untuk memakai pakaian tipis dan menyerap keringat
6. Memberimenyarankan tindakan keperawatan kompres air hangat dan
pada ibu klien untukmemberi kompres sebagai penanganan pertama bila
suhu tubuh anaknya tidak normal.

1.Atur kepala dan beri bantal yang empuk, beri posisi yang nyaman


2.Longgarkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen.
3.Lakukan tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran
4.Kolaborasi pemberian tambahan O2
5.Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi

4. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah di tetapkan, di lakukan dengan
cara bersinambungan dengan melibatkanklien dan tenaga kesehatan
lainnya

DAFTAR PUSTAKA
Garna & Nataprawira, 2009

Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009

Judha & Rahil, 2011

Behrman, Robert , Kliegman, Arvin, 2010

Lumbantobing, 2004

Wulandari & Erawati, 2016

Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. Konsensus Penatalaksanaan Kejang


Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2006.
Livingston 2001
Romah Nikmatur, Walid Saiful,2010
rekawati, 2013
Brunner & Suddart, 2001 : 1625
Doenges,2000 : 671

Anda mungkin juga menyukai