Anda di halaman 1dari 6

Tugas Ulasan Kelompok 6

1. Zulfiqar Prima Millenium (L041191054)


2. Sri Wulandari (L041191029)
3. Husnul Ainun Hasnur (L041191049)
4. Ivana Delta Gemina Budiharjo (L041191076)
5. Nuramna (L041191072)
6. Muhammad Hisyam Safran (L041191074)

Religi (Sistem Kepercayaan)

Dalam antropologi, upacara keagamaan dikenal dengan istilah ritus. Ritual dilakukan
untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan. Suatu upacara,
seperti persembahan, sesajen, ibadat keagamaan ini biasa tidak dipahami alasan ekonomis,
rasional, dan pragmatisnya. Hal ini dilakukan oleh umat beragama dan masyarakat primitif
dari dahulu sampai sekarang dan yang akan datang. Ritus berhubungan dengan kekuatan
supernatural dan kesakralan sesuatu. Karena itu, istilah ritus atau ritual dipahami sebagai
upacara keagamaan yang berbeda sama sekali dengan yang natural. Banyaknya upacara ritual
dan sesajen dalam masyarakat, mengingatkan bahwa kehidupan mereka tidak terlepas dari
rangkaian ritus. Memberikan sesajen adalah ritus yang dilakukan terhadap sesuatu yang
dianggap penting. Adapun 4 kasus religi (sistem kepercayaan) yang berkaitan dengan
antropologi maritim yaitu:

1. Sedekah laut (rokat tase’)


Banyak macam penyebutan terhadap upacara sedekah laut diantanya; Petik
Laut, Rokat Pangkalan, Nadran, Pesta Laut, Rokat Tase’, Ruwatan Laut dan lain
sebagainya. Di dalam Bahasa Madura rokat berarti ruwatan, tase’ berarti laut. Upacara
Sedekah Laut atau Petik Laut merupakan suatu upacara yang diselenggarakan dilaut
dan dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat pesisir. Pada hakikatnya,
upacara ini bermakna ungkapan rasa syukur sekaligus sebagi suatu permohonan akan
keselamatan kepada Sang Pencipta melalui makhluk-makhluk gaib. Dalam artian,
sedekah laut sebagai rasa syukur kepada Tuhan melalui sang “penguasa laut” yang
banyak memberikan kesan unik dengan bebrbagai ritusnya yang diciptakan
sedemikian rupa. Keunikannya tampak nyata dari unsur-unsur ritual yang
dilaksanakan semenjak dahulu hingga sekarang.
2. Rokat desa
Rokat Desa atau selamatan desa bisa juga di sebut besih desa memiliki arti
penting bagi seluruh penduduk suatu wilayah. Desa tempat mereka dilahirkan,
menempatkan kaki pertama kali ke tanah, dan menghirup udara segar di dalam
kehidupan merupakan tempat yang sungguh penting dibelahan bumi. Ikatan penduduk
dengan kampung halamannya sedemikian kuat, sehingga upaya untuk menjaga serta
merawatnya tampak dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu jalan yang ditempuh
adalah dengan menyelenggarakan ruwatan desa atau bersih desa. Ruwatan Desa yang
dikaitkan dengan kesuburan dan permohonan hujan kebanyakan dilaksanakan oleh
warga masyarakat yang berdiam di wilayah pedalaman atau perbukitan. Masyarakat
yang berdiam di sekitar pesisir atau pantai kadang-kadang menyelenggarakan ruwatan
desa yang disatukan dengan ruwatan laut sebagaimana yang telah dilakukan oleh
masyarakat Desa Aeng Panas.
3. Sedekah laut di Cilacap
Berbagai macam acara dapat dilakukan untuk mengucapkan rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala nikmat dan karunia yang diperoleh pada
masa kehidupannya. Upacara sedekah laut adalah salah satu perwujudan ungkapan
rasa syukur yang dilakukan oleh Kelompok Nelayan Sidakaya, Donan , Sentolokawat,
Tegalkatilayu, Lengkong, Pandanarang, PPSC dan Kemiren.
Tradisi sedekah laut bermula dari perintah Bupati Cilacap ke III Tumenggung
Tjakrawerdaya III yang memerintahkan kepada sesepuh nelayan Pandanarang
bernama Ki Arsa Menawi untuk melarung sesaji kelaut selatan beserta nelayan
lainnya pada hari Jumat Kliwon bulan Syura tahun 1875 dan sejak tahun 1983
diangkat sebagai atraksi wisata. Upacara sedekah laut sebelum hari pelaksanaan
didahului dengan prosesi nyekar atau ziarah ke Pantai Karang Bandung (Pulau
Majethi ) sebelah timur tenggara Pulau Nusakambangan yang dilakukan oleh ketua
adat Nelayan Cilacap dan diikuti berbagai kelompok nelayan serta masyarakat untuk
memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tangkapan ikan pada musim panen ikan
melimpah dan para nelayan diberi keselamatan. Disamping upacara nyekar juga
mengambl air suci/ bertuah di sekitar Pulau Majethi yang menurut legenda tempat
tumbuhnya bunga Wijayakusuma. Upacara ini didahului dengan acara prosesi
membawa sesaji (Jolen), jolen tunggul yang dibawa Paguyuban Sekartaji berisi
puluhan jenis sesaji. Dari mulai kepala kambing, aneka jenis buah, jajan pasar, hingga
bentuk panganan dan lauk pauk, sampai sejumlah peralatan dan aksesoris kaum
perempuan seperti kain jarit, selendang dan sanggul. Semua jenis sesaji dikemas
dalam jolen tunggul berbentuk rumah joglo kecil yang dihias janur dan aksesoris
lainnya. Jolen tersebut dilarung ke tengah laut lepas dari dalam Pendopo Kabupaten
Cilacap menuju arah Pantai Teluk Penyu dengan diiringi arak-arakan Jolen Tunggul
dan diikuti Jolen-Jolen pengiring lainnya oleh peserta prosesi yang berpakaian adat
tradisional Nelayan Kabupaten Cilacap tempo dulu. Setibanya di Pantai Teluk Penyu
sesaji kemudian di pindahkan ke kapal Nelayan yang telah dihias dengan hiasan
warna-warni untuk di buang ketengah lautan di kawasan pulau kecil yang di sebut
Pulau Majethi..
Hari Jumat Kliwon menurut penanggalan Jawa merupakan puncak ritual
Sedekah Laut Kabupaten Cilacap. Puncak acara tersebut bakal diisi dengan acara
utama, kirab prosesi larung sesaji (jolen) yang dimulai dari Pendapa Wijaya Kusuma
Sakti Kabupaten menuju ke kawasan Pantai Teluk Penyu, sekitar empat kilometer.
Acara yang ditunggu-tunggu masyarakat pesisir ujung selatan Jateng dan sekitarnya
itu juga bakal diramaikan dengan arak-arakan kelompok nelayan dan diikuti jajaran
Muspida. Setiap kelompok nelayan akan menampilkan berbagai atraksi kebudayaan
dan kesenian. Mereka juga membawa berbagai sesaji dan persembahan untuk dilarung
ke Laut Selatan (Samudera Indonesia). Selain nilai sakral yang dianut, sebenarnya
prosesi Sedekah Laut juga bertujuan untuk melestarikan kebudayaan. Mereka
berharap, budaya Sedekah Laut tidak pupus ditelan zaman, sehingga setiap kali
perayaan selalu melibatkan semua generasi agar kelak tertanam jiwa seni budaya
untuk melestarikannya. Pada malam harinya acara dilanjutkan dengan pertunjukan
kesenian tradisional di tiap-tiap desa/ kelurahan oleh kelompok Nelayan yang
bersangkutan.
4. Tradisi Bangka Mbule- mbule
Salah satu ritual yang tetap dipertahankan oleh masyarakat pemiliknya tentu
mempunyai nilai-nilai religus di dalamnya. Salah satu etnik, yakni Masyarakat di
Kelurahan Mandati II, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi
mengenal ritualBhangka Mbule-mbule: Tradisi Tolak Bala. Ritual ini dilaksanakan
sehubungan dengan ketakutan psikis masyarakat setempat terhadap bencana di laut
seperti tenggelam dan wabah penyakit yang selalu mengancam eksistensi mereka,
seperti penyakit sarampa atau cacar dan telele yaitu orang meninggal dalam seminggu
secara berturut-turut.Tradisi Bangka Mbule- mbule merupakan ritual yang dapat
diartikan sebagai perahu yang berangkat pulang. Ritual ini, yakni menghanyutkan
perahu yang ditumpangi oleh replika sepasang manusia laki-laki dan perempuan serta
aneka macam hasil panen pertanian. Sebelum diarak keliling kampung terlebih dahulu
dilakukan doa tolak bala. Proses selanjutnya adalah replika perahu ditandu dibawa
keliling kampung. Sebelum dihanyutkan ke laut, replika perahu yang diusung oleh
sekelompok laki-laki yang kuat dan telah dihiasi dan diisi dengan berbagai macam
hasil pertanian masyarakat yang diputar ke kiri dan ke kanan di simpang jalan
sebanyak delapan kali. Setelah proses memutar selesai barulah perahu dibawa ke laut
dan dihanyutkan. Kata Mbule berarti pulang. Kata Mbule mengalami pengulangan
Mbule-mbule dalam masyarakat etnik Mandati diartikan dipulangkan atau
dihanyutkan. Jadi, Bhangka Mbule-mbule mempunyai arti perahu yang akan
dipulangkan atau dihanyutkan dengan harapan masyarakat setempat agar perahu itu
membawa segala penyakit, musibah, dan wabah yang ada di kampung ke laut.
Pelaksanaan tradisi ini di dasari oleh mitos yang ada pada masyarakat Mandati
itu sendiri.Selain ritual pengobatan membuang sial dan ritual musim panen, ritual ini
juga merupakan prosesi memanggil dan menaikkan roh-roh jahat ke dalam perahu
untuk diantar pulang (Mbule) ke seberang lautan. Saat ini pelaksanaan tradisi Bangka
mbule-mbule sering ditampilkan pada saat menyambut hari ulang tahun Wakatobi
setiap 20 Desember atau setiap ada even pariwisata. Namun tidak merubah fungsi dan
makna yang terkandung di dalam ritual Bhangka Mbule-mbule. Penyelenggaraan
upacara Tolak Bala (Bhangka Mbule-mbule) mempunyai kandungan nilai yang
penting bagi kehidupan masyarakat. pendukungnya, karena dianggap sebagai suatu
nilai budaya yang dapat membawa keselamatan diantara sekian banyak unsur budaya
yang ada pada masyarakat.
Upacara Tolak Bala (Bhangka Mbule- mbule) sampai saat ini masih tetap
dilaksanakan oleh masyarakat di Kelurahan Mandati II atas kesepakatan tokoh adat
atau sarah, para tokoh agama, Pemda dan dihadiri oleh seluruh masyarakat setempat.
Disisi lain ritual bhangka mbule-mbule yang dikembangakan oleh pemerintah daerah
dalam konsep pariwisata kebudayaan yang dipromosikan sebagai suatu daya tarik
destinasi pariwisata termasuk didalamnya tradisi lokal. Berbicara tentang masalah
pariwisata, Wakatobi sebagai daerah otonomi baru yang mengusung konsep
pengembangan pariwisata laut dan darat, saat ini cukup dikenal di wilayah Indonesia
timur. Kekayaan laut yang dimiliki dan kekayaan budaya berperan sangat penting
dalam pengembangan destinasi pariwisata dalam rangka pengembangan ekonomi
daerah pada masa mendatang.
Ulasan dari kelompok 6:
 Pada kasus yang kelompok anda paparkan, terdapat 2 kasus yang bisa dibilang sama
yaitu kasus sedekah laut. Mungkin dari kedua sedekah laut tersebut, bisa diganti salah
satunya dengan ritual penangkapan. Contohnya seperti pada nelayan patorani yang
sebelum melakukan penangkapan ikan, mereka melakukan ritual yang disebut accaru-
caru atau accera turungang, yang dilakukan untuk memanjatkan doa kepada tuhan
yang maha esa sebagai upaya mengharapkan keselamatan.

 Masyarakat dan kebudayaan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan karena segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Karakteristik masyarakat juga dapat ditentukan oleh
karakteristik kebudayaan. Kelompok 7 telah menjelaskan mengenai bagaimana
system kepercayaan dan ritual-ritual yang biasa dilakukan di beberapa daerah pesisir.
Kelompok tujuh mengambil beberapa contoh kasus seperti sedekah laut, rokat desa,
dan mbule-mbule. Hal ini membuktikan bahwa di daerah pesisir sering kali masih
dilakukan upacara-upacara keagamaan. Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat di
daerah pesisir tidak lepas dari unsur kepercayaan dinamisme dan animisme yang
merupakan warisan dari kepercayaan leluhur. Setiap adanya prosesi ritual selalu
dikaitkan dengan kepercayaan-kepercayaan mistis, yang terjadi diberbagai pulau di
Indonesia. Hal itu dilakukan turun temurun dari nenek moyangnya dan dilakukan
pada bulan-bulan tertentu maupun pada waktu-waktu yang dianggap sebagai waktu
yang perlu dilaksanakan ritual. Bentuk-bentuk tradisi sedekah laut yang masih sering
dilakukan masyarakat adalah menyediakan sajian-sajian. Berbagai resiko yang
dialami oleh nelayan, membuat nelayan melakukan ritual tradisi sedekah laut sebagai
tolak bala dengan tujuan untuk mencegah timbulnya musibah yang akan terjadi
nantinya sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat dan keberkahan
yang telah mereka peroleh selama ini serta supaya hasil tangkapan menjadi lebih
banyak. Selain itu masyarakat pesisir juga masih percaya bahwa ketika mereka
melakukan berbagai macam ritual mereka akan merasakan aman sedangkan ketika
mereka tidak melakukannya maka mereka akan merasa cemas dan berfikir akan
terjadi musibah nantinya.
Daftar Pustaka

https://www.google.com/amp/s/budayaindonesiablog.wordpress.com/2014/01/20/tradisi-
sedekah-laut-di-jawa/amp/

Zarawanda Asfarani. 2018.”RELIGIUSITAS MASYARAKAT PESISIR PERSPEKTIF


ANTROPOLOGI”. Program Studi Ilmu Agama Islam Pascasarjana. Universitas
Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang

Eviyanti, J. La, dan S.S.Rahmat, 2018, “Bhangka Mbule-mbule: Tradisi Tolak Bala Pada
Masyarakat Di Kelurahan Mandati Kecamatan Wangi-wangi Selatan Kabupaten
Wakatobi”, Jurnal Kerabat Antropologi, vol. 2, no. 1

Anda mungkin juga menyukai