DOSEN:
Dr. APRINA, S.Kp., M.Kes.
DISUSUN OLEH:
Kelompok 8
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
pada mata kuliah Pemberdayaan Masyarakat. Makalah ini yang berjudul “Isu-Isu
Pemberdayaan Masyarakat.”
Terima kasih juga kami ucapkan kepada dosen kami, Ibu Aprina, S.Kp., M.Kes. serta
teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide sehingga makalah ini dapat
disusun dengan baik.
Kami berharap, makalah ini dapat menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun supaya makalah
selanjutnya dapat lebih baik lagi.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Pengertian.......................................................................................................................3
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Ledwith (2005) mengemukakan ada empat dimensi yang terdapat dalam
pemberdayaan masyarakat, yakni:
1. Pemberdayaan personal yang meliputi pembelajaran secara individual, pengetahuan,
kepercayaan diri dan skill.
2. Aksi positif mencakup kegiatan yang berhubungan dengan kemiskinan, kesehatan, ras,
gender, ketidakmampuan dan berbagai aspek diskriminasi struktur kekuasaan yang
dominan.
3. Organisasi kemasyarakatan, mencakup jarak, kualitas dan keefektifan kelompok
masyarakat, hubungan satu sama lain serta dengan lingkungan yang lebih luas lagi.
4. Partisipasi serta keikutsertaan dalam mensukseskan perubahan dalam masyarakat.
Mengacu pada pandangan Ledwith di atas, keempat dimensi dalam pemberdayaan
masyarakat tersebut menjadi dasar dalam upaya pengembangan masyarakat. Barr dan
Hashagen (2000) dalam Ledwith (2005) membuat indikator untuk mengevaluasi
pengembangan masyarakat yang disebut ABCD model, dimana keempat dimensi
pemberdayaan masyarakat ini menjadi dasar utamanya. isu pemberdayaan (empowerment)
dianggap merupakan jalan keluar yang tepat untuk merekonstruksi pembangunan masyarakat
dewasa ini.
Program-program pemberdayaan terhadap individu dan masyarakat secara umum
telah berlangsung, tetapi hasil nyata dari program tersebut belum cukup kelihatan.
Masyarakat masih belum cukup memiliki akses yang sama terhadap sumber-sumber yang
dibutuhkannya, mencakup ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan sebagainya. Hal ini
mengesankan masih adanya kendala struktural yang merintangi masyarakat untuk mendapat
kesempatan yang adil dalam berbagai bidang kehidupan di atas.
Menguatnya isu demokratisasi dan semangat civil society menyebabkan masyarakat
semakin mendapatkan tempat yang lebih luas, setidaknya dalam mengemukakan aspirasi dan
kebutuhannya yang merupakan fondasi bagi kebijakan pembangunan nasional. Dalam
konteks inilah, wacana pemberdayaan masyarakat perlu dikontekstualkan ke dalam kebijakan
pembangunan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan nasional tidak hanya berfungsi
sebagai standar dan pemaksa yang menjamin adanya kesempatan yang sama bagi setiap
3
orang, melainkan juga mampu menyediakan ruang bagi pemberdayaan masyarakat, baik
dalam perumusan, strategi implementasinya maupun muatan program di dalamnya.
Ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat telah menjadi diskusi
dan wacana akademis yang cukup hangat dalam dekade ini. Kelompok-kelompok tertentu
yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat seperti kelas ekonomi rendah,
minoritas etnis, wanita, penyandang cacat, dan sebagainya, adalah orang-orang yang
mengalami ketidakberdayaan. Menurut Berger dan Nenhaus (1977), struktur-struktur
penghubung (mediating structures) yang memungkinkan kelompok-kelompok lemah
mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemampuannya terhadap lingkungan sosial yang
lebih luas, kini cenderung melemah.
Munculnya industrialisasi yang melahirkan spesialisasi kerja yang demikian dinamis
telah melemahkan lembaga-lembaga yang dapat berperan sebagai struktur penghubung antara
kelompok masyarakat lemah dengan masyarakat luas. Organisasi-organisasi sosial, lembaga-
lembaga keagamaan, dan lembaga keluarga yang secara tradisional merupakan lembaga
alamiah yang dapat memberikan dukungan dan bantuan informal, pemecahan masalah dan
pemenuhan kebutuhan para anggotanya, cenderung semakin melemah perannya. Oleh karena
itu, seringkali sistem ekonomi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan
proyek-proyek fisik.
Empowerment diartikan sebagai pemberian atau peningkatan kekuasaan (power)
kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantage). Dalam literature
pelayanan kemanusiaan (human services), definisi pemberdayaan memiliki beberapa dimensi,
yaitu;
1. Proses pengembangan yang dimulai dengan pertumbuhan individual dan puncaknya
adalah perubahan sosial yang lebih besar.
2. Suatu keadaan psikologis yang ditandai oleh adanya peningkatan perasaan self-
esteem, eficacy, dan kontrol.
3. Pembebasan yang dihasilkan oleh gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan
politisasi ketidakberdayaan masyarakat, kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif
dari ketidakberdayaan untuk memeroleh kekuasaan dan merubah struktur yang masih
opresif.
4
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi
kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Stunting
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak. Anak stunting juga memiliki
risiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di masa dewasanya. Bahkan, stunting
dan malnutrisi diperkirakan berkontribusi pada berkurangnya 2-3% Produk
Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.
Penurunan stunting memerlukan intervensi yang terpadu, mencakup intervensi
gizi spesifik dan gizi sensitif. Sejalan dengan inisiatif Percepatan Penurunan
Stunting, pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
(Gernas PPG) yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013
tentang Gernas PPG dalam kerangka 1.000 HPK. Selain itu, indikator dan target
penurunan stunting telah dimasukkan sebagai sasaran pembangunan nasional dan
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 dan Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)
2017-2019.
Pemerintah telah menetapkan penurunan stunting sebagai prioritas nasional
yang dilaksanakan secara lintas sektor di berbagai tingkatan sampai dengan tingkat
desa. Berdasarkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa
berkewajiban untuk mendukung kegiatan-kegiatan pembangunan yang menjadi
program prioritas nasional. Oleh karena itu, pemerintah desa diharapkan untuk
menyusun kegiatan-kegiatan yang relevan dengan penurunan stunting terutama
yang bersifat skala desa melalui pemanfaatan ana Desa-nya.
Sejak tahun 2015, Pemerintah Pusat telah menganggarkan Dana Desa yang
cukup besar untuk diberikan kepada desa-desa dan selalu meningkat jumlahnya
pada setiap tahun. Namun demikian, rata-rata alokasi Dana Desa yang digunakan
untuk kegiatan pembangunan yang terkait dengan penurunan stunting relatif masih
sangat kecil.
Rumah tangga 1.000 HPK (Masa 1000 hari pertama kehidupan terdiri atas 270
hari selama kehamilan dan 730 hari pada dua tahun pertama kehidupan buah hati)
yang merupakan sasaran utama dalam upaya penurunan stunting terintegrasi
keberadaannya ada di tingkat Desa. Artinya semua OPD (Organisasi Perangkat
Daerah) yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan penurunan stunting harus
berhubungan dengan pemerintah desa. Hal ini menunjukkan bahwa Desa
5
mempunyai peran penting dalam pelaksanaan intervensi penurunan stunting secara
terintegrasi. Pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewajiban melakukan
pembinaan, pengawasan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Dalam kaitan
dengan intervensi penurunan stunting terintegrasi.
Mempertimbangkan pentingnya ketersediaan dan keandalan data stunting (dan
status gizi secara umum) di tingkat kecamatan dan desa maka kegiatan ini
dilakukan secara rutin. Adapun opsi platform yang dapat digunakan
kabupaten/kota dalam pelaksanaan pengukuran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Posyandu
Idealnya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak pada kegiatan
Posyandu dilakukan rutin setiap bulan sekali oleh tenaga kesehatan dibantu oleh
KPM dan kader Posyandu. Namun untuk pengukuran panjang badan bayi dan
baduta (0-23 bulan) atau tinggi badan balita (24-59 bulan) dapat dilakukan
minimal tiga bulan sekali. Pengukuran stunting dilakukan dengan mengukur
panjang badan untuk anak di bawah dua (2) tahun dan tinggi badan untuk anak
berusia dua tahun ke atas dengan menggunakan alat antropometri yang tersedia di
Puskesmas (length measuring board dalam posisi tidur untuk anak baduta dan
microtoise dalam posisi berdiri untuk anak balita). Kedua alat ini harus dikalibrasi
secara rutin oleh tenaga kesehatan sebelum digunakan untuk quality assurance.
Umur anak harus dipastikan melalui catatan resmi seperti akta kelahiran atau buku
KIA.
Jika alat pengukuran atropomentri belum tersedia atau terbatas maka tikar
pertumbuhan dapat digunakan sementara sebagai alat deteksi dini risiko stunting.
Bersama Kader Posyandu dan/atau bidan, KPM memfasilitasi pengukuran tinggi
badan dengan Tikar Pertumbuhan di Posyandu. Tikar Pertumbuhan adalah
penilaian pertumbuhan secara kualitatif. Dari hasil pengukuran, anak yang
terdeteksi stunting harus dirujuk ke Puskesmas untuk validasi pengukuran oleh
tenaga gizi atau bidan dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter. Kader
kemudian akan melakukan tindak lanjut memberikan konseling yang dibutuhkan
di Posyandu. Jika anak/orang tuanya tidak hadir di Posyandu, konseling dilakukan
melalui kunjungan ke rumah.
2. Bulan Penimbangan Balita dan Pemberian Vitamin A
6
Kegiatan pengukuran panjang/tinggi badan dapat dilakukan bersamaan dengan
bulan penimbangan balita dan pemberian Vitamin A yang dilakukan dua kali
dalam setahun (bulan Februari dan Agustus). Data ini merupakan data
surveillance gizi Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Melalui platform ini, data
dapat tersedia dalam waktu cepat dan kualitas pengukuran lebih mudah dipantau.
Kelemahannya adalah butuh pembiayaan dan logistik tersendiri serta sumber daya
manusia yang lebih banyak.
3. Survei gizi kabupaten/kota
Angka stunting dapat diperoleh dari survei gizi yang dilaksanakan oleh
pemerintah pusat setiap satu atau lima tahun sekali, misalnya Susenas dan
Riskesdas. Data dapat diperoleh lebih objektif dan berkualitas karena dilakukan
oleh tim peneliti (surveyor) independen terlatih. Kelemahannya adalah data tidak
dapat diperoleh secara rutin dan data stunting tidak tersedia pada tingkat desa
sehingga sulit untuk menentukan target individu maupun lokasi prioritas
intervensi. Kabupaten/kota disarankan untuk menggabungkan data gizi yang
berasal dari fasilitas kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit, posyandu), dengan
berkoordininasi dengan Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan.
7
tidak langsung (indirek) yaitu kematian yang terjadi pada ibu hamil yang
disebabkan oleh penyakit dan bukan oleh kehamilan atau persalinannya.
Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh karena
perdarahan, hipertensi dalam kehamilan dan abortus. Sementara kematian akibat
penyebab indirek sangat signifikan proporsinya, yaitu sekitar 22%, hal ini
memerlukan perhatian pemerintah dalam hal pencegahan dan penanganannya.
Penyebab kematian tersebut antara lain terjadi pada ibu hamil yang mengalami
penyakit malaria, TBC, anemia, penyakit jantung, dan lain-lain. Penyakit tersebut
dianggap dapat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian pada ibu hamil
(Hoelman dkk, 2015).
Angka Kematian Ibu dan Anak di Indonesia sudah mengalami penurunan
sejak tahun 2004. Seiring dengan hal tersebut angka harapan hidup dan taraf
kesehatan ibu dan anak pun mengalami peningkatan. Pencapaian ini diawali
dengan meningkatnya upaya pelayanan kesehatan di masyarakat. Pada tahun 2008,
jumlah PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif) di
Indonesia mulai mengalami peningkatan. Meski demikian target MDGs pada tahun
2015 terkait KIA masih belum bisa tercapai. Selain itu ternyata masih ada beberapa
wilayah di Indonesia yang pencapaian pembangunan kesehatannya masih di bawah
rata-rata, seperti Aceh, NTB, NTT, Sulawesi Tenggara dan Barat, Maluku, serta
Papua. Maka diperlukan kegiatan pendampingan khususnya di wilayah tersebut
agar pelayanan kesehatan khususnya bagi ibu dan anak bisa terpenuhi dan target
SDGs (Sustainable Development Goals) bisa tercapai.
8
Saat ini JKN-KIS telah mengalami perkembangan signifikan dilihat dari
kunjungan pelayanan atau pemanfaatan sejak tahun 2014. Kepesertaan JKN telah
mencapai 83%, jumlah masyarakat yang tercakup dalam skema PBI (Penerima
Bantuan Iuran) terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, pada tahun 2019
telah mencapai 96,8 juta jiwa PBI.
9
a. analisis, pengendalian, dan penilaian;
b. pengembangan kebijakan; dan
c. pelaksanaan dan dukungan.
2. Strategi pemberdayaan masyarakat:
Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan dilakukan melalui
kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, dunia usaha dan pihak lain pada
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota.
Langkah-langkah pokok pelaksanaan strategi penguatan upaya kesehatan
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat, antara lain:
11
5. Belum optimalnya peran aktif masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya negeri.
6. Masih terbatasnya kemampuan pemerintah dalam mengefektifkan
penyelenggaraan pemerintahan untuk memberikan pelayanan dan peningkatan
keberdayaan masyarakat.
7. Menurunnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai filosofi adat.
8. Belum terlaksananya sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dengan
Pemerintah Daerah.
9. Belum optimalnya peran dan fungsi kelembagaan masyarakat.
10. Peran perempuan dalam pembangunan belum optimal.
11. Teknologi Tepat Guna yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat belum
dimanfaatkan secara optimal.
Berdasarkan dengan identifikasi permasalahan pelayanan, telaahan visi, misi
kepala daerah terpilih dapat disimpulkan isu strategis yang akan ditindaklanjuti
melalui Rencana Strategi Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan
adalah sebagai berikut:
1. Belum efektif kebijakan program pemberdayaan masyarakat dan system
Pemerintahan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Terbatas sarana-prasarana, anggaran, kuantitas dan kualitas aparatur dalam
menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi pada Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan.
3. Belum optimalnya koordinasi lintas SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di
Kabupaten, Koordinasi BPMPN (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Nagari) dengan SKPD provinsi serta Pemerintah Pusat yang
berkaitan dengan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah.
4. Belum optimalnya peran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Nagari dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mendorong pembangunan
partisipatif dalam negeri.
5. Belum optimalnya peran masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya dalam negeri.
6. Terbatasnya kemampuan Pemerintah dan Bamus dalam memberikan pelayanan
dan peningkatan keberdayaan masyarakat.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemberdayaan masyarakat haruslah dikaji dari dalam komunitas masyarakat untuk
mencari potensi yang akan dikembangkan atau dari masalah-masalah yang ada untuk bisa
dicarikan solusi penyelesaiannya. Pemberdayaan masyarakat harus didukung oleh anggota
komunitas/ masyarakat yang dibuktikan dengan partisipasi anggota masyarakat secara aktif
untuk mengembangkan komunitasnya. Pengembangan masyarakat bisa diinisiasi pihak luar
atau bisa juga datang dari dalam komunitas itu sendiri.
Dalam rangka percepatan pembangunan kesehatan diperlukan kolaborasi tidak hanya
ditingkat pusat tetapi juga di tingkat daerah. Sebagai contoh dalam instruksi presiden nomor 1
tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat pemerintah mendorong seluruh pemangku
kepentingan di tingkat pusat dan daerah untuk mendukung pelaksanaan Germas.
13
DAFTAR PUSTAKA
14