Muamalah
Muamalah
Muamalah
penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II.PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN ARIYAH
1. RUKUN ARIYAH
2. SYARAT ARIYAH
E .PEMBAYARAN PEMINJAMAN
F .TATAKRAMA BERUTANG
G .ADAB BERUTANG
H .TANGGUNG JAWAB
I . KEWAJIBAN MEMINJAM
A. KESIMPULAN
B. DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih muamalah terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan muamalah, agar definisi fiqih muamalah lebih
jelas, terlebih dahulu akan di uraikan sekilas tentang fiqih muamalah, menurut terminologi, fiqih
mulanya pengetahuan ke agama islaman yang mencakup seluruh agama islam, berupa akidah,
akhlak, maupun amaliah, yakni sama dengan arti syariah islamiyah. Namun, pada perkembangan
selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum
syariah islamiyah yang berkaitan tentang perbuatan hukum manusia yang telah dewasa dan telah
berakal sehat, yang di ambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Masih banyak definisi fiqih lainya yang di kemukakan para ulama. Ada yang mendefinisikan
kumpulan dalil dalil yang mendasar tentang hukum islam. Ada pula yang menekankan bahwa fiqih
adalah hukum syariah yang mengambil dari dalilnya, namun demikian yang menarik di kaji adalah
pendapat pernyataan imam haramain bahwa fiqih adalah pengetahuan hukum syara dengan jalan
ijtihad, demikian pula pendapat al hamidi bahwa yang di maksud drngan pengetahuan darinilu fiqih
adalah kajian dari penalaran (nadzar dan istidah) pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad,
tetapi bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu wajib, zina haram, dan masalah-masalah qathi
lainya tidak termasuk fiqih.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian ariyah
Menurut etimologi, ariyah adalah dari kata “ara “ yang berarti datang dan pergi, menurut
sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata “taawuru” yang sama artinya (saling menukar
dan menganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
Itulah makna perkataan ‘Ariyah yang shahih dan pengambilannya. Sedangkan pengertiannya
dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab :
‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu
yang dipinjam Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer
(sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki
manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos. Atau manfaat
bajak untuk membajak tanah pada masa yang ditentukan. Maka pemberian hak memiliki
manfaat tersebut dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan).
1) Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan memberikan
hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan kecuali dengan tujuan meminjam
pengertian memberikan hak milik.
‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau
pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak
dengan tanpa imbalan ongkos.
2. Landasan syara’
Ariyah di anjurkan mandub dalam islam, yang di dasarkan dalam alquran dan sunah.
a. Al-quran
b. As- sunah
Dalam hadist bukhari muslim dari annas, dinyatakan bahwa rosulullah saw, telah meminjam
kuda dari abu talhah, kemudian beliau mengendarainya.
Dalam hadist lain yang diriwayatkan dari abu daud dengan sanad yang jayid dari
safwan ibn umaya, dinyatakan rosulullah SAW, pernah meminjam perisai dari Abu Shafwan
bin Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan bertanya, “apakah engkau merampasnya,
ya Muhammad..?” Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan aku bertanggung jawab”.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan
barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafiiyah, dalam ariyah di syaratkan adanya lapazh shigat akad, yakni ucapan
ijab dan kabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab
memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara jumhur para ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat yaitu;
a. Mu’ir (peminjam)
d. Sigat, yakni barang sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil manfaat,
baik dengan ucapan maupun perbuatan.
2. Syarat Ariyah
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang
adalah peminjam, seperti halnya dengan hibah.
c. Barang (musta’ar)
Dapat di manfaatkan tanpa merusak zatnya, jika mustaar tidak dapat dimanfaatkan akad
tidak sah. contoh tanah, barang, binatang dan lainya.
Diharamkan meminjam senjata, kuda kepada musuh juga dilarang meminjamkan al-
quran, atau yang berkaitan dengan al-quran kepada orang kafir, juga diharamkan
meminjamkan alat buru kepada orang yang sedang ihram.
Menurut kebiasaan (al urf). Ariyah dapat dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara
hakikat dan secara majaz.
a. Hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya.
Menurut Malikiayah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa perlu
pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semaksa dengan manfaat menurut
kebisaan.
Al Kurkhi, ulama Syafiiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang di maksud dengan ariyah
adalah kebolehan dari suatu barang yang diambil manfaatnya.
Alasan ulama Hanafiyah antara lain bahwa memberikan pinjaman (mu’ir) telah memberikan
haq penguasaan barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang. Kekuasaan
seperti itu berartii kepemilikan.peminjam berkuasa penuh untuk meminjam barang
tersebut, baik oleh dirinya maupun orang lain.
Menurut golongan kedua, pinjam meminjam hanya sebatas manfaat maka tidak boleh
meminjamkan lagi kepada orang lain, seperti tamu yang meminjamkan hidangan untuk di
hidangkan kepada orang lain.
Golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak punya hak milik sebagai pada
gadai barang. Menurut golongan kedua peminjam berhak meminjam hanya berhak
memanfaatkannya saja dan ia tidak punya hak memiliki bendanya. Adapun menurut
golongan pertama, gadai adalah aqad yang lazim (resmi) sedangkan ariya adalah aqad
tabarru (dera) yang di bolehkan, tertapi tidak lazim. Dengan demikian, peminjam tidak
memiliki hak kepemilikan. Sebagaimana aqad yang lazim sebab hal itu akan merubah tabiat
ariyah. Selain itu peminjam tidak boleh meminjamkannya.
a. Majazi
Jumhur ulama pada madhab Hanafiyah berpendapat bahwa mustaar dapat mengambil
manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir (orang yang memberi pinjaman).
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kemenangan memiliki oleh mustaar
bergantung pada jenis pinjaman, apakah muir meminjamkan secara terikat (muqayad) atau
mutlak.
a. Mutlak
Ariyah mutlak, yaitu pinjam meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak di
jelaskan dalam bentuk apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja
atau di bolehkan orang lain, atau tidak di jelaskan penggunaanya. Contoh seorang
meminjam binatang, namun dalam akad tidak tersebut, misal waktu dan tempat
mengendarainya . Namun demikian harus sesuai dengan kebiasan yang berlaku pada ,
masyarakat. Tidak boleh menggunakan binatang tersebut siang atau malam tanpa henti.
Sebaliknya jika pengguna tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak,
peminjam harus bertanggung jawab.[10]
b. Ariyah Muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang batas waktu dan
kemanfaatannya, baik di syaratkan keduanya ataupun salah satunya. Hukumnya,
peminjaman harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut, hal ini karena asal
dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak
dapat manfaat barang, dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut
apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.
Jika muir membatasi hak pengunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat
memandang adanya perbedaan tentang pengunaan hal yang lainnya, seperti mengendarai
binatang atau memakai pakaian. Dengan demikian, peminjaman tidak boleh mengendarai
binatang atau memakai pakaian yang ada.
Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjaman melewati tempat atau
menambah waktunya, ia bertanggung jawab atas penambahan tersebut.
Jika yang di syaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan bobot
tersebut, ia harus menanggung kelebihannya.
Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir (orang yang meminjamkan barang ) dengan
mustair (peminjam) tentang lamanya waktu peminjam, berat barang yang di bawa barang
pinjam, atau tempat meminjam, pendapat yang harus meminjamkan barang. Karna dialah
yang pemberi izin untuk megambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai keinginannya.
3. Syifat ariyah
Ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa haq kepemilikan peminjam
atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidah ada gantinya,
pada hibah misalnya bisa saja munir (orang yang memimjamkannya) mengambil barang
yang di pinjamkan kapan saja, baik pinjam meminjam bersifat mutlak atau di batasi waktu,
kecuali ada sebab-sebab tertentu, yang akan menimbulkan kemadaratan saat pengambilan
barang tersebut, seperti kalau di kembalikan kepada waktu yang telah di tentukan barang
akan rusak atau seperti orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang di
hormati, maka munir tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan si peminjam pun
tidak boleh mengembalikan yang di pinjamnya sebelum jenazah berubah menjadi tanah.[12]
Alasan mereka antara lain bahwa ariyah adalah transaksi yang di bolehkan, sebagai sabda
Nabi SAW:
“ yang artinya pemberian itu di tolak sedangkan peminjam-minjam (suatu akad) yang
dikembalikan.”
Ulama Hanafiyah berpendapat jika ariyah bersifat mutlak, muir dapat meminta kapanpun
yang ia mau, sebab menurut golongan ini ariyah adalah aqad yang tidak lazim.
Jika ariyah bersifat temporer atau di batasi waktu, muir berhak mimanta kembali tanah,
namun di makruhkan mengambilnya sebelum habis waktunya karena dapat pengingkaran
janji terhadap muir.
Adapun jika seorang meminjam tanah untuk pertanian,tanah tersebut tidak boleh di ambil
sebelum panen, baik peminjaman nya di batasi waktu atau tidak. Hal ini karena pertanian
mempunyai batasan waktu yang jelas.
Ulama Malikiyah bependapat, yang benar bahwa seseorang yang meminjamkan barang
kepada orang lain dapat di minta kembali kapan pun ia mau jika transaksinya mutlak.
Adapun transaksinya terikat, baik dengan syara atau dengan adat, ia tidak boleh
memintanya kecuali sudah habis waktu.
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-
benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika
penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja
yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang
tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman
tanpa seiring pemilik barang. Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman
tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta
jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik
barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang
itu rusak.
E. Pembayaran Pinjaman
Setiap pinjaman wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau
mengembalikan pinjaman, bahkan melalaikannya juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya
merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda: “Orang kaya yang
melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya” (Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang
mengembalikan pinjaman. Rasulallah Saw. Bersabda: “sesungguhnya diantara orang yang
terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang” (Riwayat
Bukhari dan Muslim) Rasulallah pernah meminjam hewan, kemudian beliau membayar
hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.
Kemudian Rasu bersabda: “ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat
membayar utangnya dengan yang lebih baik” (Riwayat Ahmad) Jika penambahan itu
dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang,
maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda: “
Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara
riba” ( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
F. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang
tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a. pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang meminjam dengan
menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan 2 (dua) orang saksi
perempuan.[14]
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak
ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah : 282)
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat
dalam hati akan membayar/mengembalikannya.
d. Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat
pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.
G. Adab Berutang
a. Untuk Musta’ir
2. Berniat melunasinya
b. Untuk Mu’ir
3. Memberi tenggang waktu jika yang meminjam belum mampu membayar pada waktunya
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak
berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan,
karena Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (Dikeluarkan al-
Daruquthin)
I. Kewajiban Peminjam
Mengembalikan batang itu kepada pemiliknya jika telah selesai. Rasulullah SAW
bersabda :
“Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar”. (HR. Abu
Dawud) Merawat barang pinjaman dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda : “Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia
kembalikan barang itu”. (HR. Ahmad)
Hukum atas kerusakan barang tergantung pada akadnya yaitu amanah dan
dhamanah.
Apabila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si
peminjam tidak diharuskan mengganti, Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti saling
percaya- mempercayai. Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat dari
pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib menggantinya. Shofwan
bin Umaiyah menginformasikan, Sesungguhnya Nabi saw. telah meminjam beberapa baju
perang dari shofwan pada waktu Perang Hunain. Shofwan bertanya: “Paksaankah, ya
Muhammad?” Rosulullah saw. menjawab: “Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian
(baju perang itu) hilang sebagian, maka Rosulullah saw. mengemukakan kepada shofwan
akan menggantinya. Shofwan berkata: “Saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam
Islam.” (HR. Ahmad dan Nasai).
Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan atasnya,
kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan penerima
pinjaman harus bertanggung jawab:
Al-Amir ash-Shan’ani dalam Subulus Salam III: 69) menjelaskan, ”Yang dimaksud kata
madhmunah(terjamin) ialah barang pinjaman yang harus ditanggung resikonya, jika terjadi
kerusakan, dengan mengganti nilainya. Adapun yang dimaksud kata mu’addah (tertunaikan)
ialah barang pinjaman yang mesti dikembalikan seperti semula, namun manakala ada
kerusakan maka tidak harus mengganti nilainya.” Lebih lanjut dia menyatakan, “Hadits yang
diriwayatkan Shafwan di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat, bahwa ’ariyah
tidak harus ditanggung resikonya, kecuali ada persyaratan sebelumnya. Dan, sudah
dijelaskan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat.”
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna
Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong.
Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang kepda orang yang menerima hutang.
Sedangkan pengertian istilah Qardh menurut ulama Hanafiyah berpendapat qardh adalah:
harta yang diberikan seseorang dari maal mitsli untuk kmudian dibayar atau dikembalikan.
Safi’iyah berpendapat qardh adalah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain, yang suatu
saat harus di kembalikan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Dasar hukum ‘ariyah
berasal dari Quran surat Almaidah:2, An Nisa:58 dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Ada dua
macam ‘ariyah yaitu ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang
bersifat terikat dengan batasan tertentu dan ’Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam
meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Rukun ‘ariyah Menurut Hanafiyah yaitu ijab
dan kabul, Menurut Syafi’ah, rukun ‘ariyah adalah lafazh; Mu’ir dan Musta’ir; benda yang
dipinjamkan. Hikmah dari ‘Ariyah dapat ditujukan bagi peminjam seperti dapat memenuhi
kebutuhan seseorang terhadap manfaat sesuatu yang belum dimiliki dan bagi yang memberi
pinjaman seperti membantu orang yang membutuhkan.
B.DAFTAR PUSTAKA