Anda di halaman 1dari 9

Muhammad Ali Pasya

Muhammad Ali Pasya adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani pada
tahun 1765 dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Orang tuanya bekerja sebagai seorang penjual
rokok, dari kecil Muhammad Ali Pasya sudah harus bekerja. Ia tidak memperoleh kesempatan untuk
masuk sekolah, akibatnya dia tidak pandai membaca maupun menulis, namun ia adalah seorang anak
yang cerdas dan pemberani. Hal itu terlihat dalam karirnya baik dalam bidang militer ataupun sipil
yang selalu sukses. Setelah dewasa, Muhammad Ali Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan
menjadi menantu Gubernur. Setelah kawin ia diterima menjadi anggota militer, karena keberanian dan
kecakapan menjalankan tugas ia diangkat menjadi Perwira. Pada waktu penyerangan Napoleon
Boneparte ke Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan tentara ke Mesir, diantaranya adalah Muhammad
Ali Pasya, bahkan ia ikut bertempur melawan Napoleon Boneparte pada tahun 1801.[1] Untuk
melawan tentara Napoleon Boneparte yang telah menguasai seluruh Mesir serta pula telah menyerang
Suria.[2]
Rakyat Mesir melihat kesuksesan Muhammad Ali Pasya dalam pembebasan Mesir dari
tentara Napoleon Boneparte, maka rakyat Mesir mengangkat Muhammad Ali Pasya sebagai wali
Mesir dan mengaharapkan Sultan Turki merestuinya. Pengakuan Sultan Turki atas usul rakyatnya
tersebut baru mendapat persetujuannya dua tahun kemudian, setelah Turki dapat mematahkan
intervensi Inggris di Mesir. Setelah ekspedisi Napoleon Boneparte, muncul dua kekuatan besar di
Mesir yakni kubu Khursyid Pasya dan kubu Mamluk. Muhammad Ali Pasya mengadu domba kedua
kubu tersebut, dan akhirnya berhasil menguasai Mesir. Rakyat semakin simpati dan mengangkatnya
sebagai wali di Mesir. Posisi inilah kemudian memungkinkan beliau melakukan perubahan yang
berguna bagi masyarakat Mesir. Setelah Muhammad Ali Pasya mendapat kepercayaan rakyat dan
pemerintah pusat Turki, ia menumpas musuh-musuhnya terutama golongan Mamluk yang masih
berkuasa di daerah-daerah Mesir dan akhirnya Mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian
Muhammad Ali Pasya menjadi penguasa tunggal di Mesir, akan tetapi lama-kelamaan ia asyik dengan
kekuasaannya, akhirnya ia bertindak sebagai diktator[3].
Pada waktu Muhammad Ali Pasya meminta kepada Sultan agar Syiria diserahkan kepadanya,
Sultan tidak mengabulkannya. Muhammad Ali Pasya marah dan menyerang serta menguasai Syiria
bahkan serangan sampai ke Turki. Muhammad Ali Pasya dan keturunannya menjadi raja di Mesir
lebih dari satu setengah abad lamanya memegang kekuasaan di Mesir. Terakhir adalah Raja Farouk
yang telah digulingkan oleh para jenderalnya pada tahun 1953. Dengan demikian berakhirlah
keturunan Muhammad Ali Pasya di Mesir. Salah satu bidang yang menjadi sentral pembaharuannya
adalah bidang-bidang militer dan bidang-bidang yang bersangkutan dengan bidang militer, termasuk
bidang pendidikan. Kemajuan di bidang ini tidak mungkin dicapai tanpa dukungan ilmu pengetahuan
modern. Atas dasar inilah sehingga perhatian di bidang pendidikan mendapat prioritas utama.
Walaupun Muhammad Ali Pasya tidak pandai baca tulis, tetapi ia memahami betapa pentingnya arti
pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan suatu negara. Ini terbukti dengan dibentuknya
Kementerian Pendidikan untuk pertama kalinya di Mesir, dibuka sekolah militer pada tahun 1815,
sekolah teknik pada tahun 1816, sekolah ketabiban (kedokteran) dan sekolah penerjemahan pada tahun
1836.
Muhammad Ali Pasya berpendapat bahwa kekuasaan dapat dipertahankan hanya dengan
dukungan militer yang kuat yang dibentuk melalui ekonomi dan pendidikan. Maka pembangunan
pendidikan, ekonomi dan militer segera dilakukan demi kelanggengan kekuasaan di Mesir.
Modernisasi yang dilakukannya antara lain: mengirim mahasiswa ke Prancis, mendatangkan dosen
dari Prancis, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu militer, kesehatan,
ekonomi dan penerjemahan. Philip K. Hitti menuliskan berdasarkan catatan sejarah yang
ditemukannya antara tahun 1813 sampai 1849, Muhammad Ali Pasya telah mengirimkan 311
mahasiswa yang belajar di Italia, Prancis, Inggris, Austria atas biaya pemerintah yang mencapai £E.
273.360. Subjek yang dipelajari antara lain: militer dan angkatan laut, teknik mesin, kedokteran,
farmasi (obat-obatan), kesenian, kerajinan dan bahasa Prancis mempunyai kedudukan khusus dalam
kurikulum di Mesir[4].
Harun Nasution menyimpulkan modernisasi di Mesir pada masa Muhammad Ali Pasya
sebenarnya pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian untuk memperkuat
kedudukannya, ia tidak ingin orang-orang yang dikirimnya tidak boleh lebih dalam menyelami
ilmunya sehingga mahasiswa berada dalam pengawasan yang ketat. Selain mendirikan sekolah beliau
juga  mengirim pelajar-pelajar ke Eropa terutama ke Paris ±300 orang. Setelah itu mereka kembali ke
Mesir diberi tugas menerjemahkan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Arab, dan mengajar di sekolah-
sekolah yang ada di Mesir. Philip K. Hitti (dalam Martini, 2011:76) mengemukakan bahwa
Muhammad Ali Pasya tidak hanya menerapkan corak dan model pendidikan Barat, tapi juga
mempercayakan pendidikan kepada orang Barat, bahkan gurunya kebanyakan didatangkan dari Eropa.
Keberhasilan di bidang militer telah merubah Mesir menjadi negara modern yang
kekuatannya mampu menandingi kekuatan militer Kerajaan Usmani, serta bermunculanlah para tokoh
intelektual di Mesir yang kelak melanjutkan gagasan-gagasan beliau khususnya dalam bidang
pendidikan. Hal-hal ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali Pasya
sebenarnya, pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu hal-hal
yang akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke Eropa menyelami
lebih dari apa yang perlu baginya, dan oleh karena itu mahasiswa-mahasiswa itu berada dibawah
pengawasan yang ketat. Mereka tak diberi kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi, dengan mengetahui
bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis dan dengan membaca buku-buku Barat seperti karangan-
karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu dan lain-lain, timbullah ide-ide baru mengenai demokrasi,
parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan republik, konstitusi, kemerdekaan berfikir dan
sebagainya.
Pada mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilmu-ilmu baru ini hanya terbatas bagi orang-
orang yang telah ke Eropa dan yang telah tahu bahasa Barat. Kemudian paham-paham ini mulai
menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat. Pada permulaannya dengan perantaraan
kontak mereka dengan mahasiswa-mahasiswa yang kembali dari Eropa dan kemudian dengan adanya
terjemahan buku-buku Barat itu kedalam bahasa Arab.[5] Penerjemahan buku-buku mulai berjalan
lancar setelah didirikan Sekolah Penerjemahan di tahun 1836. Sekolah ini beberapa tahun kemudian
diserahkan kepada pimpinan Rifa’ah Al-Tahtawi, seorang ulama Azhar yang pernah belajar di Paris
dan kemudian diserahkan ada pengaruhnya dalam penyiaran ide-ide Barat di Mesir. Di sekolah ini
terdapat ahli-ahli yang tahu akan haknya masing-masing. Usaha-usaha penerjemahan pun mulai
membawa hasil yang lebih baik dalam waktu yang lebih singkat. Bahagian penerjemahan di sekolah
ini dibagi empat: Bahagian Ilmu Pasti, Bahagian Ilmu Kedokteran dan Ilmu Fisika, Bahagian Sastra
dan Bahagian Turki. Yang akhri ini bertugas menterjemahkan buku-buku pedoman militer yang akan
dipakai oleh perwira-perwira Turki yang terdapat dalam angkatan perang Muhammad Ali Pasya.[6]
Yang penting diantara bagian-bagian tersebut bagi perkembangan ide-ide Barat ialah bagian
Sastra. Di tahun 1841, diterjemahkan buku mengenai sejarah Raja-raja Prancis yang antara lain
mengandung keterangan tentang Revolusi Prancis. Satu buku yang serupa diterjemahkan lagi tahun
1847. Sekilas pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali Pasya hanya bersifat keduniaan saja,
namun dengan terangkatnya kehidupan dunia umat Islam sekaligus terngakat pula derajat
keagamaannya. Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali merupakan landasan pemikiran
dan pembaharuan selanjutnya.[7]
Dari penerjemahan buku-buku Eropa ini, orang-orang Mesir selanjutnya mulai kenal pada
negara-negara Barat, negara-negara yang dijumpai orang Barat di Timur Jauh dan Amerika. Dunia
yang digambarkan buku-buku Barat itu jauh berlainan dari dunia mereka kenal dari buku-buku yang
dikarang orang Islam di zaman klasik. Juga mereka mulai kenal dengan falsafat Yunani, kemerdekaan
berpikir yang menjadi dasar falsafat Yunani, adat istiadat Barat yang jauh berlainan dengan adat
istiadat Islam. Jika sebelumnya orang Barat bagi orang Islam adalah semuanya orang Perancis,
sekarang mulai mereka tahu bahwa orang-orang Barat terdiri dari berbagai bangsa, ada Perancis,
Jerman, Inggris, Italia dan sebagainya.[8]
2.      Al-Tahtawi

Al-Tahtawi dilahirkan di Thahta, sebuah kota kecil di Mesir tiga tahun setelah Napoleon
Boneparte menginjakkan kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu, mempelajari ilmu
agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa silam. Ia selalu tertarik mendengar kisah-
kisah semacam itu, satu hal yang kemudian sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya. Dia
adalah seorang pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama
dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi turut
memainkan peranan. Ketika Muhammad Ali Pasya mengambil alih seluruh kekayaan di Mesir harta
orang tua Al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu. ia terpaksa belajar di masa kecilnya
dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-
Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di Al-Azhar pada tahun 1822. Ia
adalah murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan Al-‘Atthar yang banyak mempunyai hubungan
dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Prancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Syaikh Hasan
Al-‘Atthar melihat bahwa Al-Tahtawi adalah seorang pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam
pikirannya, dan oleh karena itu ia selalu memberi dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah
ilmu pengetahuan. Setelah selesai dari study di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama dua
tahun, kemudian diangkat menjadi imam tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian dia diangkat
menjadi imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad Ali ke Paris. Di samping tugsnya
sebagai imam ia turut pula belajar bahasa Prancis sewaktu ia masih dalam perjalanan ke Paris.
Pengiriman mahasiswa ke Paris, telah melahirkan tokoh-tokoh mahasiswa yang brilian seperti
Al-Tahtawi yang pandai bahasa Prancis kemudian ditunjuk menjadi pimpinan dalam penerjemahan
buku-buku teknik dan kemiliteran. Kemudian pada tahun 1836 didirikan sekolah penerjemahan yang
kemudian dirubah manjadi sekolah bahasa-bahasa asing. Al-Tahtawi tugasnya mengoreksi buku-buku
yang diterjemahkan murid-muridnya yang menghasilkan hampir seribu buah buku yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Selain sebagai pemimpin dalam penerjemahan buku-buku asing, Al-Tahtawi
menerbitkan surat kabar resmi yang diberi nama Al-Waqa’i ‘Ul-Mishriyah yang memuat berita-berita
tentang kemajuan Barat termasuk teori-teori politik yang didasarkan kepada keadilan dan kerakyatan.
Al-Tahtawi juga mengarang buku-buku dalam penyebaran pengetahuan modern kepada khalayak
ramai. Di antara beberapa buku terpentingnya: Taukhlisul Ibriz fi talkhishi Bariz (intisari dan
kesimpulan tetntang Paris). Manahijul albab al-Mishriyah fi manahijil adab al-‘ashriyah (jalan bagi
orang Mesir untuk mengetahui literatur modern), dan buku Al-Mursyidul Amin lil Banati wa-Banin
(petunjuk bagi pendidikan putera dan puteri), buku Al Qaul as Sadid fi al-Ijtihadi wa al-Taqlid
(perkataan yang benar tentang Ijtihad dan Taqlid)[9].
Pemikiran al-Tahtawi belum deradikal tokoh-tokoh setelahnya, seperti pendidikan puteri
hanya dilakukan di rumah, menyekolahkan wanita masih dihukum makruh, sedangkan ulama harus
mengetahui ilmu modern agar dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan modern, yang pada
konsekuansinya mengandung arti ijtihad masih terbuka, akan tetapi belum berani dijelaskan secara
terang-terangan karena masih dianggap radikal pada saat itu. Al-Tahtawi tinggal di Prancis selama
lima tahun. Sekembalinya ke Mesir, ia menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Paris dalam
sebuah buku yang kemudian menjadi salah satu sumber penting sejarah pemikiran modern dalam
islam. Yakni, Takhlis al-Ibriz ila Talkhis bariz. Dalam buku ini, Al-Tahtawi memuji pencapaian yang
dilakukan negara-negara Eropa, khususnya Prancis. Ia menggambarkan kondisi Prancis yang bersih,
anak-anak yang sehat, orang-orang yang sibuk bekerja, semangat belajar yang terpancar dari wajah
kaum mudanya, dan kelebihan-kelebihan lainnya yang ia saksikan selama berada di Prancis. Selain
memberikan pujian, Al-Tahtawi juga memberikan beberapa kritikan terhadap masyarakat Prancis. Ia
mengatakan bahwa kaum pria di negeri itu telah menjadi budak para wanitanya dan orang-orang
Prancis pada umumnya sangat materialistis. Begitu menginjakkan kakinya di bumi Mesir, Al-Tahtawi
bertekad untuk memajukan tanah airnya. Memori Prancis dengan segala keindahan dan kedisiplinan
warganya selalu menjadi obsesinya. Bukunya takhlis yang diterbitkan hanya beberapa bulan setelah
kedatangannya di Mesir adalah salah satu bukti dari tekadnya yang begitu kuat untuk meng-Eropakan
Mesir. Di Kairo, ia mendirikan lembaga penerjemahan yang disebut Sekolah Bahasa.
Lembaga ini mirip dengan fungsi Bayt al-Hikmat pada masa-masa awal kerajaan Abbasiyyah.
Al-Tahtawi sendiri menerjemahkan sekitar 20 buku berbahasa Prancis yang mengedit puluhan karya
terjemahan lainnya. Sebagian besar buku-buku sejarah, filsafat, dan ilmu kemiliteran. Buku penting
yang diterjemahkannya sendiri adalah Considerations sur les Causes de la Grandeur des Romains et de
leur Decadence karya filsuf Prancis Montesquieu. Beliau sangat berjasa dalam meningkatkan ilmu
pengetahuan di Mesir, karena menguasai berbagai bahasa asing berhasil mendirikan sekolah
penerjemahan dan menjadikan bahasa asing tertentu sebagai pelajaran wajib di sekolah. Di antara
pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya
terutama ditujukan kepada pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan di tengah
masyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan memberikan kesempatan
belajar yang sama antara laki-laki dan perempuan, sebab perempuan itu memegang posisi yang
menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang
berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan putera-puteri yang cerdas[10].
Al-Tahtawi mengatakan, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap 1 adalah
pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada anak-anak dengan materi pelajaran dasar tulis baca,
berhitung, al-Qur’an, agama, dan matematika. Tahap 2, pendidikan menengah, materinya berkisar
pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap 3, adalah
pendidikan tinggi yang tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai disiplin ilmu.
Pada proses belajar mengajar, Al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta dan kasih sayang antara
guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang
dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan kekerasan, pemukulan, dan
semacamnya, sebab merusak perkembangan anak didik. Buku-buku yang diterjemahkan oleh Al-
Tahtawi memperlihatkan kecenderungan dan kesukaan Tahtawi terhadap filsafat politik. Satu tema
yang kemudian menjadi isu sentral dari pemikiran-pemikirannya, khususnya ketika ia berbicara
tentang kondisi Mesir dan bangsa Arab modern. Tapi lembaga penerjemahan yang sangat berjasa itu
harus ditutup, ketika penguasa Mesir dan juga cucu Muhammad Ali, Abbas Hilmi I, mulai tidak
menyukainya dan membuangnya ke Khortoum, Sudan. Baru pada pemerintahan Sa’id anak keempat
Muhammad Ali menggantikan kemenakannya, ia diperbolehkan pulang ke Kairo dan kembali
memegang peranan dalam gerakan penerjemahan buku-buku asing.
Pada pemerintahan Ismail, cucu Muhammad Ali yang lain, Tahtawi dilibatkan berbagai
kegiatan ilmiah, termasuk menjadi anggota komisi penerbitan pemerintah di Boulaq yang kemudian
populer dengan sebutan “mathba’ah boulaq”. Di Boulaq, Tahtawi memberi banyak masukan buku-
buku berbahasa Arab klasik yang perlu diterbitkan. Di antaranya al-Muqaddimah karya Ibnu Khaldun
yang populer itu. di samping kesibukannya sebagai penerjemah dan mengawasi proyek penerjemahan,
Tahtawi masih menyempatkan menulis beberapa buku penting. Di antaranya al-Mursyid al-Amin li al-
Banat wa al Banin yang ditulis untuk generasi muda dan Manahij al-Albab al-Mishriyya fi Mabahij al-
Adab al-‘Ashriyya tentang sosiologi Mesir. Dalam hal agama dan peranan ulama, al-Tahtawi
menghendaki agar para ulama selalu mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan modern. Di antara hasil-hasil karyanya yang terpenting adalah:
1)            Takhlisul Abriiz Ila Takhrisu Bariiz.
2)            Manahijul Bab Al-Mishriyal fi Manahijil Adab al-Ashriyah.
3)            Al-Mursyid al-Amin lil Banaat wal Banien.
4)            Al-Qaulus sadid fi ijtihad wat taliid.
5)            Anwar taufiq al-jalil fi akhbari mishra wa tautsiq bani Isra’il[11].

3.      Jamaluddin Al-Afgani

Jamaluddin al-Afgani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1838 sebagai seorang anak
dengan kualitas Intelektual yang sangat luar biasa. Ia meninggal dunia pada tahun 1897 M.
berdasarkan silsilah keturunannya al-Afgani adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali ra. Ia
bergelar sayyid menunjukan ia berasal dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Disamping itu ia
juga dikenal dengan nama Asadabadi.[12] Pada umur 18 tahun ia telah menguasai berbagai cabang
ilmu pengetahuan, filsafat, politik, ekonomi, hukum dan agama. Karena keluasan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya, maka pada saat umur 18 tahun tersebut ia telah mempesona dunia intelektual dan
politik dengan gaya agitasinya yang sungguh menakjubkan. Ketika baru berusia 22 tahun ia telah
menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afganistan. Di tahun 1864 ia menjadi
penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan
menjadi Perdana Menteri. Pengaruh agitasinya telah melahirkan suatu revolusi di Afganistan (Kabul)
yang memaksa dia harus mengungsi ke India untuk kali pertama pada tahun 1867, sebagai awal dari
pertualangan kemuliaan dan politiknya.
Jamaluddin Al-Afgani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat
tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara ke negara Islam lainnya. Pengaruh terbesar
ditinggalkan di Mesir. Ketika zaman Al-Tahtawi buku-buku diterjemahkan sudah menyebar dan di
dalamnya terdapat salah satu ide trias politika dan patriotisme, maka pada tahun 1879 Al-Afgani
membentuk partai al-Hizb al-Wathan (Partai Nasionalis) dengan slogan Mesir untuk orang Mesir
mulai kedengaran dengan memperjuangkan universal, kemerdekaan pers dan pemasuka unsur-unsur
Mesir ke dalam bidang militer. Di India, ia juga merasa tidak bebas untuk bergerak karena negara ini
telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, nampaknya India adalah sebuah persinggahan sementara,
karena ternyata pengaruh Jamaluddin telah menumbuhkan semangat kebangsaan untuk melawan
Inggris, yang sudah barang tentu sangat dibenci oleh mereka. Maka pada tahun 1871 ia pergi ke Mesir
untuk lkali ke dua dan menetap di sana selama 8 tahun (1879). Pada mulanya menjauhi persoalan-
persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab. Di tempat ia
tinggal kemudian menjadi tempat pertemuan murid-muridnya. Disanalah ia memberikan kuliah dan
mengadakan diskusi. Muridnya berasal dari berbagai golongan, seperti orang pemerintahan,
pengadilan, dosen dan mahasiswa Al-Azhar serta perguruan tinggi lain. Tetapi ia tidak lama dapat
meninggalkan lapangan politik[13].
Tahun 1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Ketika
itu ide-ide Al-Tahtawi sudah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, di antaranya ide trias
politica dan patriotisme, maka pada tahun 1879 atau usahanAl-Afgani terbentuklah partai Al-Hizb al-
Watani (partai nasional). Tujuan partai ini untuk memperjuangkan pendidikan universal dan
kemerdekaan pers. Atas sokongan partai ini Al-Afgani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang
berkuasa waktu itu, yakni Khedewi Ismail. Masa 8 tahun menetap di Mesir itu mempunyai pengaruh
yang tidak kecil bagi umat Islam disana menurut Madkur (dalam Martini 2010:88) Al-Afganilah yang
membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan “Mesir
modern”, demikian Madkur”, adlah hasil dari usaha-usaha Jamaluddin Al-Afgani. Selama 8 tahun
menetap di Mesir ia pergi ke Paris, disini ia mendirikan perkumpulan “Al-Urwatul Wusqa” yang
anggotanya terdiri dari orang-orang Islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Diantara
tujuan yang ingindicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa
Islam kepada kemajuan. Kemudian di Paris inilah ia bertemu dengan muridnya yang setia yaitu
Muhammad Abduh dan kemudian ia kembali ke Istambul, sampai akhir hayatnya. Selama di Mesir Al-
Afgani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain:
1)            Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang Salib.
2)            Umat Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan saja.
3)            Untuk mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).

Pan Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka
harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan kerja sama merupakan
sendi yang amat penting dalam Islam. Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas
menurut Al-Afgani:
1)            Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.
2)            Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur.
3)            Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup, dan kehidupan manusia bukan sekedar
ikutan belaka.
4)            Setiap generasi umat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan pendidikan pada
manusia-manusia bodoh dan juga menerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin.

Melihat hal tersebut, maka orientasi pembaharuan Islam Mesir terutama yang dilakukan oleh
Jamaluddin Al-Afgani lebih mengarah kepada pembaharuan cara berpolitik di kalangan umat Islam.
oleh sebab itu, gerakan pembaharuan Mesir Jamaluddin Al-Afgani adalah gerakan politik. Untuk
mengetahui lebih jelas pemikiran pembaharuan Jamaluddin Al-Afgani, berikut ini pokok-pokok
pemikirannya[14]:
1)            Islam mengalami kemunduran dan kemajuan berfikir bukan disebabkan oleh karena Islam tidak lagi
sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan keadaan masa kini, melainkan karena umat Islam
tidak mampu menginterpretasikannya dengan kemampuan ijtihad dan kebanyakan umat Islam telah
meninggalkan ajarannya dengan mengikuti ajaran baru yang dimanipulisir untuk kepentingan asing.
2)            Bahwa kemunduran Islam di lapangna politik disebabkan oleh: Desintegrasi politik atau perpecahan
di kalangan umat Islam, corak pemerintahan yang bersifat absolut (otoriter), pemimpin negara yang
tidak disukai oleh rakyat (tidak kredible), mengabaikan masalah pertahanan atau militerisasi,
administrasi dipegang oleh mereka yang tidak berkompenten, adanya intervensi oleh negara asing.
Untuk itu diperlukan pola pemerintahan yang dapat menarik partisipasi masyarakat secara aktif dalam
bentuk demokratisasi dan terbentuknya majlis syuro yang menjamin adanya partisipasi masyarakat
secara komunal dan individual.
3)            Bahwa untuk pembaharuan dan pengembangan keIslaman perlu digalakan solidaritas Islam dalam
bentuk program aksi “Pan Islamisme”. Gerakan Pan Islamisme tersebut berusaha melakukan
pembaharuan di bidang perpolitikan Islam dengan tujuan menyadarkan umat Islam dari bahaya
dominasi bangsa asing. Oleh sebab itu perlu diadakan kegiatan-kegiatan: agitasi dan propoganda untuk
menggerakkan kaum muslimin agar melakukan peregerakan pemikiran dan pergolakan kebangsaan,
melakukan gerakan anti Eropa mulai tahun 1882 sebagai reaksi masuknya Inggris pada tahun 1880.

Al-Afgani terus mencoba meyakinkan orang-orang Eropa, bahwa nasionalisme dan


patriotisme bukanlah sebuah gerakan fanatisme dan ekstrimisme, penghargaan dan kemulyaan diri
yang sedang diperjuangkan bukanlah sebuah chauvinisme seperti yang dituduhkan oleh bangsa asing.
Untuk mensosialisasikan dan mengembangkan gagasan pembaharuan politik, maka didirikan media
“Al Urwat Al Wutsqo” yang didirikan di Prancis pada tahun 1884 bersama muridnya yaitu
Muhammad Abduh, yang hanya berumur 8 bulan, tetapi mempunyai dampak yang luar biasa, yaitu:
berkembangnya semangat menentang bangsa Barat, adanya usaha untuk menghidupkan kembali
kebudayaan Islam, adanya semangat untuk mempersatukan umat Islam di dunai (Pan Islamisme). Di
bidang politik, Jamaluddin Al-Afgani mengatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah
pemerintahan yang didukung oleh rakyat, karena pemerintahan yang didukung oleh konstitusi akan
dapat berdiri, berjalan stabil dan dapat bertahan dari intrik-intrik bangsa asing. Sedangkan dalam
bidang pendidikan, ilmu pengetahuan yang dapata menundukkan suatu bangsa, dan ilmu pula
sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang kadangkala berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga
yang mengembangkan pertanian, industri dan perdagangan, yang menyebabkan penumpukkan
kekayaan dan harta. Tetapi filsafat menurutnya merupakan ilmu yang paling terasa kedudukannya di
antara ilmu-ilmu yang lain. Ketika ia kembali lagi ke India tepatnya di Hyderabad Deccau, pada tahun
1879 dan menerbitkan sebuah buku yang sempat menggerakkan dunia Barat yaitu “Pembuktian
kesalahan kaum Matrialis”[15].
Pokok-pokok pikir yang dikembangkan oleh Jamaluddin Al-Afgani yang pernah
dikembangkan pada awal abad ke-19. Prinsip pemikiran tersebut oleh Jamaluddin Al-Afgani
dikembangkan dengan radikal dan revolusioner. Barangkali hal tersebut disebabkan bahwa gerakan
pembaharuan Islam ala Jamaluddin Al-Afgani adalah gerakan politik yang tentu menempatkkan jargon
anti dominasi Barat sebagai agenda aksinya. Pada tahun 1892 ia kembali ke Istambul dan mendapat
sambutan yang luar biasa dari kerajaan Turki Utsmani dengan diberi hadiah uang 775 pound dan
tempat tinggal yang sangat layak, akan tetapi jiwa Jamaluddin Al-Afgani bukanlah jiwa konseptor
yang hanya duduk di belakang meja, tetapi jiwa dia adalah konseptor dan petualang, maka ia
kemudian pergi ke Paris untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat, mengkritik habis pola
pemerintahan otokrasi Shah Nasiruddin Qochar, yang ternyata efektif membangkitkan perlawanan
rakyat, sehingga Shah Qachar terbunuh pada 1 Mei 1895 dalam pergolakan rakyat tersebut.
Pembaharuan Islam yang ditawarkan Jamaluddin Al-Afgani adalah sesuai untuk semua
bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Seandainya, ada pertentangan antara ajaran agama dengan
keadaan maka dibutuhkan interpretasi baru yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Kemunduran Islam bukan karena Islamnya, akan tetapi karena umat Islam meninggalkan ajaran yang
sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran dari luar lagi asing bagi Islam. Pemahaman iman kepada qada
dan qadar tidak diubah menjadi fatalisme, akan tetapi mengandung arti sebab musabab. Jalan untuk
memperbaiki keadaan umat Islam yang mengalami kemunduran, menurut Jamaluddin Al-Afgani harus
dengan cara melenyapkan pengertian yang salah, kembali kepada ajaran dasar Islam yang sebenarnya,
hati disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan dan kesediaan berkorban untuk kepentingan umat, serta
bentuk pemerintahan otokrasi harus diubah menjadi demokrasi dengan mengutamakan
musyawarah[16].
Pan Islamisme yang ditawarkan Jamaluddin Al-Afgani bukan berarti leluhurnya sekalian
kerajaan Islam yang ada menjadi satu kerajaan. Biar masing-masing kerajaan itu berdiri sendiri dalam
batas kuasa dan negara masing-masing, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan hidup.
Kesatuan pandangan hidup itu kembali kepada ajaran Islam. perbedaan paham agama, madzhab-
madzhab dan firqah-firqah janganlah menjadi penghambat dari pada kesatuan kaum Sunnah dan
Syi’ah. Pembaharuan pendidikan yang dilakukan Jamaluddin Al-Afgani adalah didasari pada
pendapatnya bahwa islam adalah relevan pada setiap zaman, kondisi dan bangsa. Untuk itu
kemunduran umat islam adalah karena tidak diterapkannya Islam dalam segala segi kehidupan dan
meninggalkan ajaran Islam murni. Jalan untuk memperbaiki kemunduran islam hanyalah dengan
membuang segala bentuk pengertian yang bukan berasal dari islam, dan kembali pada ajaran Islam
murni. Setelah itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang universal. Salah satu
gagasan Jamaluddin Al-Afgani adalah persamaan manusia antara laki-laki dan perempuan.
Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak ada tantanagn bagi wanita bekerja
di luar jika situasi menginginkan. Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas
utama agar umat Islam bisa menuntut ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja melainkan perempuan
pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut. Kemudian, pada atahun 1892 ia pergi ke
Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid, namun kemudian ia terjebak dan tidak bisa keluar dari
Istanbul karena dijadikan tahanan hingga ia wafat pada 9 Maret tahun 1897.
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas dapat disimpulkan bahwa setiap tokoh-tokoh pembaharuan di
Mesir memiliki peranan masing-masing di zamannya. Begitu pula dengan keahlian-keahlian khusus
dalam bidang polik, ilmu pemgetahuan, kemiliteran dan sebagainya sehingga mampu menopang
sebuah peradaban menjadi lebih maju dan berpikir kritis. Secara umum, penulis menyimpulkan
bahwa perjuangan Muhammad Ali pasya (1765-1849 M) bukanlah orang yang pandai dalam hal
pengetahuan baca tulis. Akan tetapi Ia memiliki kemampuan yang kuat dalam hal keberanian dan
kecerdasan sehingga membuatnya bergabung dalam pemeerintahan militer pada waaktu itu. Pengaruh
Ali yang terbesar di mesir yakni dengan menyatukan kembali kekuasaan mesir dari kaum Mamluk dan
kaum Khursyid pasya sehingga tercipta pemerintahan tunggal. Selain itu ia juga banyak mengirimkan
para mahasiaswa-mahasiswa ke Eropa untuk menuntut ilmu demi kemajuan Mesir.
Kemudian terdapat tokoh At-Tahtawi sebagai tokoh pembawa perubahan. Ia adalah seorang
yang rajin dan cerdas dalam menuntut ilmu, mulai dari belajar di Al-Azhar sampai ke Paris, Perancis.
Ia hidup di zaman pemerintahan ali Pasya dan keturunannya. Gebrakan yang ia dapat dari belajar di
perancis yakni sebagai ahli bahasa yang banyak menerjemahkan karya-karya bahasa Perancis ke
dalam bahasa Arab selain itu, ia juga berkeinginan untuk meng-Eropakan mesir dengan kemajuan ilmu
pengetahuannya.
Terakhir yakni Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M), ia adalah seorang ahli dalam bidang
pengetahuan, filsafat, politik, ekonomi, hukum, dan agama. Ia berperan sebagai seorang yang
mempunyai agitasi yang banyak memuat pergerakan-pergerakan demokratis dan nasionalis yang
diadobsi dari Montesque dari Eropa sebagai hasil penerjemahan karya asing. Selain itu ia juga
berperan dalam pembentukan Mesir modern dengan memerdekakan pers dan pendidikan yang
universal.
B.     SARAN
Dalam penulisan karya tulis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan-kekurangan
dalam aspek penulisannya sehingga masih dibutuhkan kritik dan saran yang membangun demi
penulisan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

mid, Abdul dan Yahya 2010. Pemikiran Modern Dalam Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Martini, Eka. 2011. Pemikiran Modern Dalam Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah. Nasution,
Harun. 1990. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

[1] Eka Martini. Pemikiran Modern Dalam Islam. (Palembang: IAIN Raden Fatah. 2011). Hal 73
[2] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). H. 34.
[3] Eka Martini, Ibid. Hal. 74
[4] Ibid
[5] Ibid, hal. 78
[6] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). H. 39.

[7] Eka Martini. Pemikiran Modern Dalam Islam. (Palembang: IAIN Raden Fatah. 2011). Hal 78
[8] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). H. 40.

[9] Eka Martini,  Ibid. hal. 81


[10] Ibid.  Hal. 83
[11] Ibid. Hal.85
[12] Abdul Hamid dan Yahya. Pemikiran Modern Dalam Islam. (Bandung. Pustaka Setia. 2010).hal 243
[13] Eka Martini, Ibid,  hal.87
[14] Ibid, Hal.90
[15] Ibid, hal 92
[16] Ibid,  hal. 94

Anda mungkin juga menyukai