Anda di halaman 1dari 9

TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN ISLAM (MATERI SKI KLS XII/2)

1. Pembaharuan Muhammad Ibnu Abdul Wahab

Muhammad bin Abdul Wahab ibn Sulaiman ibn Ali bin Muhammad ibn Rasyid ibn Bari
ibn Musyarif ibn Umar ibn Muanad Rais ibn Zhahir ibn Ali Ulwi ibn Wahib, lahir pada tahun
1703 dan meninggal pada tahun 1787 M. di Uyainah, daerah Nejeb Saudi Arabia . Ia seorang
pembaharu di Arabia , pengikut paham Ibnu Taimiyah dan bermazhab Hambali. Pelajaran
agama sangat digemarinya, sejak kecil ia telah belajar ilmu agama pada ayahnya seorang
Qadhi di Uyainah. Dengan kecerdasannya, dalam usia 10 tahun ia hafal Al-Qur’an.

Muhammad ibnu Abdul Wahab adalah seorang yang sangat sibuk mengembara ke
berbagai daerah untuk menuntut ilmu pengetahuan, kemudian ia sampai ke Bagdaddan di
sinilah kemudian ia menikah dengan wanita kaya. Setelah limatahun istrinya meninggal dan
ia mendapatkan warisan sebesar 2000 dinar. Setelah itu ia kembali mengembara ke Kurdistan
selama dua tahun, di Hamadan dua tahun dan pernah pula ke Isfahan, Qum (Iran).
Perjalanannya ke berbagai daerah ternyata sangat bermanfaat baginya, bahkan ia melihat
beberapa penyimpangan-penyimpangan akidah, yang diantaranya ialah:

a. Ia melihat kuburan atau makam para ulama syekh atau guru tarikat yng
bertebaran di tiap kota ataupun desa ramai dikunjungi oleh masyarakat islam,
dengan maksud memohon penyelesaian atas persoalan hidup sehari-hari.
b. Aspek lain yang menjadi perhatinnya adalah masalah Taqlid. Taqlid merupakan
sumber kebekuan ummat Islam itu sendiri, disamping itu untuk memahami ajaran
yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist, orang harus melakukan ijtihad,
karena itu pintu ijtihad tidak pernah ditutup dan tidak perlu ditutup.

Dalam hal tauhid ini Muhammad ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatiannya terhadap
pokok-pokok pikirannya, yang berpendapat bahwa:

1) Yang boleh dan harus disembah itu hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah
selain dari Tuhan telah menjadi musyrikn dan boleh dibunuh.
2) Kebanyakan orang Islam bukan menganut faham tauhid yang sebenarnya karena
mereka meminta pertolongan bukan lagi pada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali
dan dari kekuatan gaib.
3) Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantara dalam do’a juga
merupakan syirik.
4) Meminta syafaat selain dari kepada Tuhan dan bernazar kepada selain Tuhan juga
syirik.
5) Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an, Hadits dan Qias (analogi)
merupakan kekufuran.
6) Tidak percaya pada qada dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
7) Demikian pula menafsirkan Al-Qu’ran dengan ta’wil adalah kufur.
Semua yang diatas dianggap bid’ah dan bid’ah adalah kesesatan. Kepercayaan-
kepercayaan dan praktek-praktek lain yang timbul sesudah zaman itu bukanlah ajaran Islam
yang asli dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taqlid dan patuh kepada pendapat ulama
tidak dibenarkan. Muhammad ibnu Abdul Wahab bukanlah hanya seorang teroris tetapi juga
pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dorongan
dari Muhammad ibn Su’ud dan putranya Abd al-Aziz di Nejd . Tahun 1787 Muhammad
Abduh meninggal dunia, tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang
dikenal dengan nama Wahabiah.

Pemikiran-pemikiran Muhammad ibnu Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada


perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilan belas adalah sebagai berikut:

1) Hanya Al-Qur’an dan Haditslah yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam.
Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2) Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
3) Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup

2. Pembaharuan Muhammad Ali Pasya

Muhammad Ali, adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada
tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. orang tuanya bekerja sebagai seorang
penjual rokok dan dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tak memperoleh
kesempatan untuk masuk sekolah dengan demikian dia tidak pandai menulis maupun
membaca, meskipun ia tak pandai membaca atau menulis, namun ia adalah seorang anak
yang cerdas dan pemberani, hal itu terlihat dalam karirnya baik dalam bidang militer ataupun
sipil yang selalu sukses.

Setelah dewasa, Muhammad Ali Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan karena ia
rajin bekerja jadilah ia kesenangan Gubernur dan akhirnya menjadi menantu Gubernur.
Setelah kawin ia diterima menjadi anggota militer, karena keberanian dan kecakapan
menjalankan tugas, ia diangkat menjadi Perwira. Pada waktu penyerangan Napoleon ke
Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan tentara ke Mesir, diantaranya adalah Muhammad Ali
Pasya, bahkan dia ikut bertempur melawan Napoleon pada tahun 1801. Rakyat Mesir melihat
kesuksesan Muhammad Ali dalam pembebasan mesir dari tentara Napoleon, maka rakyat
mesir mengangkat Muhammad Ali sebagai wali mesir dan mengharapkan Sultan di Turki
merestuinya. Pengakuan Sultan Turki atas usul rakyatnya tersebut baru mendapat
persetujuannya dua tahun kemudian, setelah Turki dapat mematahkan Intervensi Inggris di
Mesir.

Setelah Muhammad Ali mendapat kepercayaan rakyat dan pemerintah pusat Turki, ia
menumpas musuh-musuhnya, terutama golongan mamluk yang masih berkuasa di daerah-
daerah akhirnya mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian Muhammad Ali menjadi
penguasa tunggal di Mesir, akan tetapi lama kelamaan ia asyik dengan kekuasaannya,
akhirnya ia bertindak sebagai diktator. Pada waktu Muhammad Ali meminta kepada sultan
agar Syiria diserahkan kepadanya, Sultan tidak mengabulkannya. Muhammad Ali Pasya
marah dan menyerang dan menguasai Syiria bahkan serangan sampai ke Turki. Muhammad
ali dan keturunannya menjadi raja di Mesir lebih dari satu setengah abad lamanya memegang
kekuasaan di Mesir. Terakhir adalah Raja Farouk yang telah digulingkan oleh para
jenderalnya pada tahun 1953. Dengan demikian berakhirlah keturunan Muhammad Ali di
Mesir.

Kalau diteliti lebih mendalam, maka terkesan bahwa Muhammad Ali walaupun tidak
pandai membaca dan menulis, akan tetapi ia seorang yang cerdas, tanpa kecerdasan ia tidak
akan mendapat kekuasaan dan tujuan akhirnya adalah untuk menjadi penguasa umat Islam, ia
adalah seorang yang ambisius menjadi pimpinan umat Islam.

Hal-hal ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali
sebenarnya, pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu
hal-hal yang akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke
Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya, dan oleh karena itu mahasiswa-
mahasiswa itu berada dibawah pengawasan yang ketat. Mereka tak diberi kemerdekaan
bergerak di Eropa. Tetapi, dengan mengetahui bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis dan
dengan membaca buku-buku Barat seperti karangan-karangan Voltaire, Rousseau,
Montesquieu dna lain-lain, timbullah ide-ide baru mengenai Demokrasi, Parlemen, pemilihan
wakil rakyat, paham pemerintahan republic, konstitusi, kemerdekaan berfikir dan sebagainya.

Pada mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilm-ilmu baru ini hanya terbatas bagi
orang-orang yang telah ke Eropa dan yang telah tahu bahasa Barat. Kemudian faham-faham
ini mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat, pada permulaannya
dengan perantaraan kontak mereka dengan mahasiswa-mahasiswa yang kembali dari Eropa
dan kemudian dengan adanya terjemahan buku-buku Barat itu kdalam bahasa arab. Yang
penting diantara bagian-bagian tersebut bagi perkembangan ide-ide Barat ialah bagian Sastra.
Di tahun 1841, diterjemahkan buku mengenai sejarah Raja-raja Perancis yang antara lain
mengandung keterangan tentang Revolusi Perancis. Satu buku yang serupa diterjemahkan
lagi tahun 1847.

Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali :

1. Politik luar negeri

Muhammad Ali menyadari bahwa bangsa mesir sangat jauh ketinggalan dengan
dunia Barat, karenanya hubungan dengan dunia Barat perlu diperbaiki seperti Perancis,
Itali, Inggris dan Austria . Menurut catatan antara tahun 1813-1849 ia mengirim 311
pelajar Mesir ke Itali, Perancis, Inggris dan Austria . Selain itu dipentingkan pula ilmu
Administrasi Negara, akan tetapi system politik Eropa tidak menarik perhatian
Muhammad Ali.

2. Politik dalam negeri

a. Membangun kekuatan militer.


b. Bidang pemerintahan.
c. Ekonomi.
d. Pendidikan.

Sepintas pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali hanya bersifat keduniaan
saja, namun dengan terangkatnya kehidupan dunia ummat Islam sekaligus terangkat pula
derajat keagamaannya. Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali merupakan
landasan pemikiran dan pembaharuan selanjutnya. Pembaharuan Muhammad Ali dilanjutkan
oleh tahtawi, Jalaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan murid-murid
Muhammad Abduh lainnya.

3. Pembaharuan Al-Tahtawi

Al-Tahtawi adalah Rifa’ah Badawi Rafi’I, Al-tahtawi lahir pada tahun 1801 M. di Tanta
(Mesir Selatan), dan meninggal di Kairo pada tahun 1873. Dia adalah seorang pembawa
pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19 di
Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al- Tahtawi turut memainkan
peranan. Ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh kekayaan di Mesir harta orang tua
al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya
dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk
belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di Al-Azhar
pada tahun 1822.

Ia adalah murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-‘Atthar yang banyak
mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis yang datang dengan
Napoleon ke Mesir. Syaikh Al-Attar melihat bahwa Tahtawi adalah seorang pelajar yang
sungguh-sungguh dan tajam pikirannya, dan oleh karena itu ia selalu memberi dorongan
kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan. Setelah selesai dari study di Al-
Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama dua tahun, kemudian diangkat menjadi imam
tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian dia diangkat menjadi imam mahasiswa-
mahasiswa yang dikirim Muhammad ali ke Paris . Disamping tugasnya sebagai imam ia turut
pula belajar bahasa Perancis sewaktu ia masih dalam perjalanan ke Paris.

Buku-buku yang dibaca Al-Tahtawi mencakup berbagai ilmu pengetahuan, dan ujiannya
yang terakhir di Paris pun adalah dalam lapangan terjemahan. Sekembalinya di Kairo ia
diangkat sebagai guru bahasa Prancis dan penerjemah di sekolah Kedokteran. Di tahun 1836
didirikan “Sekolah Penerjemahan” yang kemudian diubah namanya menjadi “Sekolah
Bahasa-bahasa Asing”. Bahasa yang diajarkan adalah Arab, Perancis, Turki, Itali dan juga
ilmu-ilmu teknik, sejarah serta ilmu bumi. Salah satu jalan kesejahteraan menurut Al-Tahtawi
adalah berpegang teguh pada agama dan akhlak (budi pekerti) untuk itu pendidikan
merupakan sarana yang penting.

Dalam hal agama dan peranan ulama, al-Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu
mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan modern.
Diantara hasil-hasil karyanya yang terpenting adalah:

a. Takhlisul Abriiz Ila Takhrisu Bariiz.


b. Manahijul Bab Al-Mishriyah fi Manahijil Adab al-Ashriyah.
c. Al-Mursyid al-amin lil banaat wal banien.
d. Al-Qaulus sadid fiijtihadi wat taliid.
e. Anwar taufiq al-jalil fi akhbari mishra wa tautsiq bani Isra’il.

4. Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani

Jamaludin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan yang tempat tinggal dan
aktifitasnya berpindah-pindah dari satu negara ke negara Islam lainya pengaruh terbesar yang
ditinggalkannya adalah di Mesir, oleh karena itu uraian mengenai pemikiran dan aktivitasnya
dimasukkan kedalam bagian tentang pembaharuan di dunia Arab. Jamaludin al-Afghani lahir
di Afghanistan pada tahun 1839 M. dan meninggal dunia pada tahun 1897 M. Dalam silsilah
keturunannya al-afghani adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali ra. Ketika baru berusia
duapuluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di
Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian
ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri.

Kemudian al-Afghani merasa lebih aman apabila meninggalkan tanah tempat lahirnya
dan pergi ke India di tahun 1869. tetapi di India dia juga merasa tidak bebas untuk bergerak
karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, oleh karena itu ia pindah ke Mesir
di tahun 1871. Ia menetap di Kairo, pada mulanya menjauhi persoalan-persoalan politik
Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab.

Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur
tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Ketika itu ide-ide al-Tahtawi
sudah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, diantaranya ide trias politica dan
patriotisme, maka pada tahun 1879 atas usaha Al- Afghani terbentuklah partai Al-Hizb al-
Watani (partai nasional).

Tujuan partai ini untuk memperjuangkan pendidikan universal dan kemerdekaan pers.
Atas sokongan partai ini al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa
waktu itu, yakni Khedewi Ismail. Masa delapan tahun menetap di Mesir itu mempunyai
pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam disana menurut M.S. Madkur, al-Afghanilah yang
membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan.
“Mesir modern,”demikian Madkur, “ adalah hasil dari usaha-usaha Jamaludin al-Afghani”.

Selama di Mesir al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain:

a. Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang
Salib.
b. Ummat Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan saja.
c. Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).
Pan Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi
mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan kerja
sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.

Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas:

a. Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.


b. Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur.
c. Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup, dan kehidupan manusia
bukan sekedar ikutan belaka.
d. Setiap generasi ummat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran
dan pendidikan pada manusia-manusia bodoh dan juga memerangi hawa nafsu
jahat dan menegakkan disiplin.

Selama delapan tahun menetap di Mesir ia pergi ke Paris , disini ia mendirikan


perkumpulan “Al-Urwatul Wusqa” yang anggotanya terdiri dari orang-orang Islam dan India,
Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Diantara tujuan yang ingin dicapai ialah memperkuat
rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa Islam kepada kemajuan. Kemudian
di Paris inilah ia bertemu dengan muridnya yang setia yaitu Muhammad Abduh dan
kemudian ia kembali ke Istambul, sampai akhir hayatnya.

5. Pembaharuan Syekh Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang
biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun
1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar tahun 1845
dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairillah, silsilah
keturunan dengan bangsa Turki, dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar bin Khatab,
khalifah kedua (khulafaurrasyidin).

Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikannya, pada tahun1862 ia dikirim


oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta . Hanya
dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan gurunya.
Setelah belajar di Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi di Al-Azhar di
Kairo, disinilah ia bertemu dengan Jamaludin al-Afghani dan kemudian ia belajar filsafat di
bawah bimbingan Afghani, di masa inilah ia mulai membuat karangan untuk harian al-Ahram
yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan hasil
yang sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen al-Azhar
disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum.

Dalam peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882), Muhammad Abduh ikut terlibat
didalamnya, sehingga ketika pemberontakan berakhir, ia diusir dari Mesir. Dalam
pembuangannya ia memilih di Syiria ( Beirut ) di sini ia mendapat kesempatan mengajar pada
perguruan tinggi Sultaniah, kurang lebih satu tahun lamanya. Kemudian ia pergi ke Paris atas
panggilan Sayyid Jamaludin al-Afghani, yang pada waktu itu tahun1884 sudah berada disana.
Muhammad Abduh kebetulan diperkenankan pulang ke Mesir, sedang Jamaluddin
mengembara di Eropa kemudian terus ke Moskow.

Di Mesir Muhammad Abduh diserahi jabatan Mufti Mesir, disamping itu ia diangkat
menjadi anggota Majelis Perwakilan (Legilative Council), Muhammad Abduh pernah juga di
serahi jabatan hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim
yang adil.

Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek, yaitu:

Pertama, aspek kebebasan, antara lain; dalam usaha memperjuangkan cita-cita


pembaharuannya, MuhammadAbduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme
Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan.

Kedua, aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan untuk
mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan seperti itu akan
membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa yang menyertainya.

Ketiga, aspek keagamaan, dalam masalah in Muhammad Abduh tidak menghendaki


adanya taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu terbuka.

Keempat, aspek pendidikan antara lain, al-Azhar mendapatkan perhatian perbaikan,


demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat perhatiannya.

Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya
perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal diluar
kepala perlu diganti dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.

6. Pembaharuan Rasyid Ridha

Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865
di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia
berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai
gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-
Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia
melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di
Tripoli.

Di Madrasah ini, selain bahasa arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis, dan
disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah
ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh
ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha
meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli.
Disamping itu Rasyid Ridha memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan
melalui membaca kitab-kitab yang ditulis al-Ghozali, antara lain Ihya Ulumuddin sangat
mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya
terhadap agama. Rasyid Ridha mulai mencoba dan menerapkan ide-idenya ketika masih
berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Ia
merasa terikat dan tidak bebas, karena itu ia memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan
Muhammad Abduh. Pada tahun 1898 M. Rasyid Ridha hijrah ke Mesir untuk
menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dan dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah
yang diberi nama “al- Manar” untuk menyebarluaskan ide-idenya dalam pembaharuan.

Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan gurunya, terutama
dalam titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan adanya
kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya. Menurut
pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya, dan perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab yang membawa kemunduran ummat Islam,
karena faham fatalisme, ajaran-ajaran tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu
membawa kemunduran ummat Islam menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak
dinamis.

Dalam hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha berpendapat bahwa derajat akal
itu lebih tinggi, akan tetapi hanya dapat dipergunakan dalam masalah kemasyarakatan saja,
tidak dapat dipergunakan dalam masalah ibadah. Diantara aktivis beliau dalam bidang
pendidikan antara lain membentuk lembaga yang dinamakan dengan “al-dakwah wal irsyad”
pada tahun 1912 di kairo.

Para lulusan dari seoah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang membutuhkan bantuan
mereka. Kemudian melalui majalah al-Manar ia menjelaskan bahwa inggris dan perancis
yang berusaha membagi-bagi daerah arab ke dalam kekuasaannya masing-masing. Bentuk
pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak
absolute, kholifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan ummat islam ke
dalam satu system pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan hukum
perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.

Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada diantara nasionalisme dan
kesetiaan kepada persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan
paham ummat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan
bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh, tetapi dalam hal
pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas
pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding Rasyid
Ridha.

Perbedaan antara guru dan murid tersebut sangat terlihat, misalnya dalam hal paham-
paham teologi dan jujga dalam Tafsir al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap
uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat
Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan apa adanya ia
tidak mentakwil.

Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu
berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 jumadil ula 1354/ 22 agustus 1935,
ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Qur’an ditangannya.

7. Pembaharuan Qasyim Amin

Qasyim Amin lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi,
tetapi menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke Perancis
sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu hukum, setelah
selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir. Dalam hal pembaharuan di
masyarakat ia lebih mengutamakan dalam hal memperbaiki nasib wanita.

Ide inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir al-mar’ah
(“emansipasi wanita”). Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar seperdua dari jumlah
penduduk Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan pembaharuan, karena itu
kebebasan dan pendidikan wanita perlu mendapat perhatian. Ide Qasyim Amin yang banyak
menimbulkan reaksi di zamannya ialah pendapat bahwa penutupan wajah wanita bukanlah
ajaran Islam.

Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah
wanita murupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah adalah kebiasaan
yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam.

Dan karena kritik dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia perlu
memberi jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-mar’ah al-jadilah (“wanita
modern”). Ide-ide ini, tentu ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju, tapi sekarang ini
usaha itu sudah dapat dirasakan hasilnya.

Anda mungkin juga menyukai