PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1
Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
dapatlah dirumuskan tujuannya sebagai berikut :
BAB II
PEMBAHASAN
2
2.1. SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA
Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Tempat ini
merupakan lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat penting
dalam sejarah perkembangan manusia dunia. Sangiran memberi informasi lengkap
sejarah kehidupan manusia purba meliputi habitat, pola kehidupannya, binatang yang
hidup bersamanya, hingga proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak
kurang dari 2 juta tahun (Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah).
Area ini memiliki luas kurang lebih 56 km dan sebagian besar berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer
sebelah utara Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu.
Ada sebagian yang merupakan bagian dari Kabupaten Karanganyar (Kecamatan
Gondangrejo).
Description:
https://i1.wp.com/i14.photobucket.com/albums/a328/ambarbriastuti/sangiranmap.jpg
Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia sebagai cagar budaya dan pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs
Warisan Dunia UNESCO. Sangiran terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO
sebagai World Heritage (No. 593, dokumen WHC-96/Conf.201/21).
Situs Sangiran merupakan obyek wisata ilmiah yang menarik. Tempat ini memiliki
nilai tinggi bagi ilmu pengetahuan dan merupakan aset Indonesia. Sejak
ditetapkannya sebagai World Heritage oleh UNESCO, Sangiran memberi
sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di dunia khususnya ilmu
arkeologi, geologi, paleoanthropologi, dan biologi.
Dijadikannya Sangiran sebagai pusat kajian manusia purba dan kajian evolusi
manusia terbesar di Asia bahkan Dunia, karena di situs ini ditemukan fosil
peninggalan manusia purba dari 2,4 juta tahun silam. Tak hanya fosil manusia, tapi
juga berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata),
seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai
3
rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah modern). Ditemukan pula
alat produksi manusia purba yang digunakan dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan
situs-situs manusi purba di Cina seperti Zhudian, Yuanmo dan Longhupa yang hanya
menyajikan peninggalan purba kurang dari dua juta tahun.
Awalnya Situs Sangiran adalah sebuah kubah penelitian yang dinamakan Kubah
Sangiran kemudian tererosi bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi
akibat pergerakan dari aliran sungai. Pada depresi itu ditemukan lapisan tanah yang
mengandung informasi tentang kehidupan di masa lampau. Sangiran dilewati oleh
sungai yang sangat indah, yaitu Kali Cemoro yang bermuara di Bengawan Solo.
Daerah inilah yang mengalami erosi tanah sehingga lapisan tanah yang terbentuk
tampak jelas berbeda antara lapisan tanah yang satu dengan lapisan tanah yang lain.
Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak ditemukan fosil-
fosil manusia maupun binatang purba. Berdasarkan penelitian geologis, situs
Sangiran merupakan kawasan yang tersingkap lapisan tanahnya akibat proses
orogenesa (pengangkatan dan penurunan permukaan tanah) dan kekuatan getaran di
bawah permukaan bumi (endogen) maupun di atas permukaan bumi (eksogen).
Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah tersebut juga mengakibatkan
terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh tebing-
tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktifitas alam di atas
mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode pleistocen yang
susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan Pucangan),
pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan Notopuro). Fosil-fosil
manusia purba yang ditemukan di lapisan-lapisan tersebut berasosiasi dengan fosil-
fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.
Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian
di area tersebut dan menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon
di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut Kubah Sangiran. Von Koenigswald adalah
seorang ahli paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di
4
Bandung pada tahun 1930-an. Setelah mencermati laporan-laporan berbagai
penemuan balung buta (tulang buta/raksasa) oleh warga dan diperdagangkan.
Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha
Pithecanthropus erectus (Manusia Jawa) oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi,
tahun 1891. Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 Km
timur Sangiran. Dengan dibantu oleh Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi
lurah Desa Krikilan, setiap hari von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari
balung buta, yang kemudian ia bayar.
Von Koenigswald adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran
untuk mengenali fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang
ditemukan. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil
Homo erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih fosil Homo erectus atau hominid lainnya
dengan variasi yang besar, termasuk seri Meganthropus palaeojavanicus, telah
ditemukan di situs tersebut dan kawasan sekitarnya.
Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari ruang pameran, aula, laboratorium,
perpustakaan, ruang audio visual (tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia
prasejarah), gudang penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir
(khususnya menjual handicraft batu indah bertuah yang bahan bakunya didapat
dari Kali Cemoro). Berikut ini adalah beberapa koleksi yang tersimpan di Museum
Sangiran:
5
Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus (replika), Pithecanthropus
mojokertensis (Pithecanthropus robustus) (replika), Homo soloensis (replika), Homo
neanderthal Eropa (replika), Homo neanderthal Asia (replika), dan Homo sapiens.
Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis
palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak), Bovidae
(sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
Fosil binatang laut dan air tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan
kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda dan
Gastropoda), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.
Artefak batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu
dan kapak perimbas-penetak.
6
susah melahirkan. Kerena itu, tidak heran bila pada kurun waktu sebelum 1930-an,
balung buto yang banyak banyak bermunculan di berbagai tempatdi tepi sungai
dan di lereng-lereng perbukitanjarang diganggu oleh penduduk setempat.
Koenigswald mengubah pandangan itu. Luasnya cakupan wilayah situs Sangiran,
dengan kondisi alam yang tandus-gersang dan berbukit-bukit, memang tidak
memungkinkan bagi peneliti asing itu bekerja sendiri.
Setelah itu istilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama baru,
pengertian dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu
pula, masyarakat Sangiran mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan
fosil alias balung buto, yang semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang
bernilai magis menjadi semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampau merupakan kawasan subur tempat
sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah khatulistiwa,
pada jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi
manusia purba untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan
sangiran pada kala pleistosen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi
manusia pada masa itu. Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak
belukar, hutan kecil dekat sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian
manusia pada kala pleistosen. Mereka membuat pangkalan dalam aktifitas perburuan
untuk mendapatkan sumber kebutuhan hidupnya.
7
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di
kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di
bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik),
hal ini dibuktikan dengan endapan yang bisa kita jumpai di sepanjang Sungai Puren
yang tersingkap lapisan lempeng biru dari Formasi Kalibeng yang merupakan
endapan daerah lingkungan lautan dan hingga sekarang ini banyak sekali dijumpai
fosil-fosil moluska laut. Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin
diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang
Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan.
Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah
tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba
dan hewan vertebrata). Keadaan geo-stratigrafi dari pengamatan stratigrafi
batuannya dapat diketahui menjadi beberapa formasi, diantaranya :
Formasi Kalibeng
Formasi Pucangan
Formasi Grenzbank
Formasi Kabuh
Formasi Notopuro
Formasi Teras Solo (Kali Pasir)
8
Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat ini sebanyak 13.809 buah.
Sebanyak 2.934 fosil disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran dan 10.875
fosil lainnya disimpan di gudang penyimpanan. Beberapa fosil manusia purba
disimpan di Museum Geologi Bandung dan Laboratorium Paleoanthropologi
Yogyakarta. Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan asalnya, secara umum
temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3 kelompok
utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok Pithecanthropus arkaik yang berasal dari
Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai usia antara 1,7 0,7
tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus palaeojavanicus dan
Pithecanthropus mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus klasik
yang berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar
800.000 400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo erectus) yang paling banyak
ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus progresif
yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan mempunyai umur antara
400.000 100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan Homo
soloensis dari Ngandong dan Trinil (Widianto 1996, Semah et.al. 1990).
BAB III
PENUTUP
9
3.1. KESIMPULAN
Ladang fosil di situs Sangiran sangat khas, Anda dapat melihat jelas pada bagian
yang bertebing curam yaitu stratigrafi yang menunjukkan empat formasi (lapisan
tanah). Stratigrafi merupakan studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif
serta distribusi perlapisan tanah dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah Bumi.
Keberadaan Kawasan Sangiran sangatlah penting dan menarik, secara nyata Anda
dapat melihat lokasi temuan dan lapisan stratigrafi yang sudah berumur jutaan tahun.
Saat ini arealnya seluas 56 km tersebut masih dihuni oleh masyarakat sekitar
Sangiran. Sangiran merupakan aset yang sangat penting secara nasional maupun
internasional.
1. Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa, Indonesia.
Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km
(tepatnya di desa krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen).
2. Ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya disimpan di
gudang penyimpanan. Sebagai World Heritage List (Warisan Budaya
Dunia).
3.2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
10
Sulistyanto, Bambang (2011). Mitos Balung Buto: Tafsir Makna dan Relevansinya
terhadap Benda Cagar Budaya Sangiran. Diakses 24 Juni 2014,
Tersedia:http://hurahura.wordpress.com/2011/07/05/mitos-balung-buto-tafsir-
makna-dan-relevansinya-terhadap-benda-cagar-budaya-sangiran/
Http://yogapermanawijaya.wordpress.com
11