Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Sangiran merupakan lahan perbukitan tandus yang berada di perbatasan


Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama
Situs Sangiran. Sangiran adalah situs arkeologi manusia purba terlengkap di Asia.
Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C Schemulling tahun 1864 dengan laporan
penemuan fosil vertebrata dari Kalioso. Luas situs Sangiran mencapai 56 km2 ,
lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan
petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Dilokasi
Sangiran ini pula ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus Erectus untuk
pertama kalinya oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koeningswald.

Koleksi yang tersimpan di museum Sangiran mencapai 13.806 yang tersimpan


pada dua tempat yaitu 2.931 tersimpan di ruang pameran dan 10.875 di dialam ruang
penyimpanan. Bahkan banyak orang asing yang menggunakan kawasan Sangiran
sebagai pusat laboratorium penelitian manusia purba. Museum Sangiran
menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti Antropologi, Geologi,
Paleoanthropologi. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas Sangiran
Laboratorium Manusia Purba

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian diatas, masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai


berikut :

1. Bagaiman sejarah situs Sangiran ?


2. Apa saja jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Sangiran ?
3. Mengapa Sangiran dijadikan laboratorium penelitian manusia purba?

1.3. Tujuan

1
Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
dapatlah dirumuskan tujuannya sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sejarah situs Sangiran.


2. Untuk mengetahui jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Sangiran.
3. Untuk mengetahui alasan Sangiran dijadikan labratorium penelitian manusia
purba.

BAB II

PEMBAHASAN

2
2.1. SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA

Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Tempat ini
merupakan lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat penting
dalam sejarah perkembangan manusia dunia. Sangiran memberi informasi lengkap
sejarah kehidupan manusia purba meliputi habitat, pola kehidupannya, binatang yang
hidup bersamanya, hingga proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak
kurang dari 2 juta tahun (Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah).

Area ini memiliki luas kurang lebih 56 km dan sebagian besar berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer
sebelah utara Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu.
Ada sebagian yang merupakan bagian dari Kabupaten Karanganyar (Kecamatan
Gondangrejo).

Description:
https://i1.wp.com/i14.photobucket.com/albums/a328/ambarbriastuti/sangiranmap.jpg

Gambar Peta Lokasi Sangiran

Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia sebagai cagar budaya dan pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs
Warisan Dunia UNESCO. Sangiran terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO
sebagai World Heritage (No. 593, dokumen WHC-96/Conf.201/21).

Situs Sangiran merupakan obyek wisata ilmiah yang menarik. Tempat ini memiliki
nilai tinggi bagi ilmu pengetahuan dan merupakan aset Indonesia. Sejak
ditetapkannya sebagai World Heritage oleh UNESCO, Sangiran memberi
sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di dunia khususnya ilmu
arkeologi, geologi, paleoanthropologi, dan biologi.

Dijadikannya Sangiran sebagai pusat kajian manusia purba dan kajian evolusi
manusia terbesar di Asia bahkan Dunia, karena di situs ini ditemukan fosil
peninggalan manusia purba dari 2,4 juta tahun silam. Tak hanya fosil manusia, tapi
juga berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata),
seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai

3
rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah modern). Ditemukan pula
alat produksi manusia purba yang digunakan dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan
situs-situs manusi purba di Cina seperti Zhudian, Yuanmo dan Longhupa yang hanya
menyajikan peninggalan purba kurang dari dua juta tahun.

2.2. Sejarah Eksplorasi dan Berdirinya Museum Sangiran

Awalnya Situs Sangiran adalah sebuah kubah penelitian yang dinamakan Kubah
Sangiran kemudian tererosi bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi
akibat pergerakan dari aliran sungai. Pada depresi itu ditemukan lapisan tanah yang
mengandung informasi tentang kehidupan di masa lampau. Sangiran dilewati oleh
sungai yang sangat indah, yaitu Kali Cemoro yang bermuara di Bengawan Solo.
Daerah inilah yang mengalami erosi tanah sehingga lapisan tanah yang terbentuk
tampak jelas berbeda antara lapisan tanah yang satu dengan lapisan tanah yang lain.

Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak ditemukan fosil-
fosil manusia maupun binatang purba. Berdasarkan penelitian geologis, situs
Sangiran merupakan kawasan yang tersingkap lapisan tanahnya akibat proses
orogenesa (pengangkatan dan penurunan permukaan tanah) dan kekuatan getaran di
bawah permukaan bumi (endogen) maupun di atas permukaan bumi (eksogen).
Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah tersebut juga mengakibatkan
terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh tebing-
tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktifitas alam di atas
mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode pleistocen yang
susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan Pucangan),
pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan Notopuro). Fosil-fosil
manusia purba yang ditemukan di lapisan-lapisan tersebut berasosiasi dengan fosil-
fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.

Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian
di area tersebut dan menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon
di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut Kubah Sangiran. Von Koenigswald adalah
seorang ahli paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di

4
Bandung pada tahun 1930-an. Setelah mencermati laporan-laporan berbagai
penemuan balung buta (tulang buta/raksasa) oleh warga dan diperdagangkan.

Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha
Pithecanthropus erectus (Manusia Jawa) oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi,
tahun 1891. Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 Km
timur Sangiran. Dengan dibantu oleh Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi
lurah Desa Krikilan, setiap hari von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari
balung buta, yang kemudian ia bayar.

Von Koenigswald adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran
untuk mengenali fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang
ditemukan. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil
Homo erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih fosil Homo erectus atau hominid lainnya
dengan variasi yang besar, termasuk seri Meganthropus palaeojavanicus, telah
ditemukan di situs tersebut dan kawasan sekitarnya.

Penggalian oleh tim Von Koenigswald berakhir 1941. Koleksi-koleksinya sebagian


disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran sampai
tahun 1975, yang kelak menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi
pentingnya dikirim ke kawannya di Jerman, Franz Weidenreich. Pada waktu itu
banyak wisatawan yang datang berkunjung ke tempat tersebut, maka muncullah ide
untuk membangun sebuah museum. Pada awalnya Museum Sangiran dibangun di
atas tanah seluas 1.000 m2 yang terletak di samping Balai Desa Krikilan. Sebuah
museum yang representatif baru dibangun pada tahun 1980 karena mengingat
semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan sekaligus untuk melayani kebutuhan
para wisatawan akan tempat wisata yang nyaman. Bangunan tersebut seluas 16.675
m2 dengan ruangan museum seluas 750 m2.

Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari ruang pameran, aula, laboratorium,
perpustakaan, ruang audio visual (tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia
prasejarah), gudang penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir
(khususnya menjual handicraft batu indah bertuah yang bahan bakunya didapat
dari Kali Cemoro). Berikut ini adalah beberapa koleksi yang tersimpan di Museum
Sangiran:

5
Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus (replika), Pithecanthropus
mojokertensis (Pithecanthropus robustus) (replika), Homo soloensis (replika), Homo
neanderthal Eropa (replika), Homo neanderthal Asia (replika), dan Homo sapiens.

Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis
palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak), Bovidae
(sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).

Fosil binatang laut dan air tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan
kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda dan
Gastropoda), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.

Batuan, antara lain rijang, kalsedon, batu meteor, dan diatom.

Artefak batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu
dan kapak perimbas-penetak.

2.3. Misteri Sangiran Yang Terungkap

Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an, masyarakat di sana hanya


mengenal fosil-fosil yang banyak terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai
balung buto alias tulang-tulang raksasa. Balung adalah bahasa Jawa yang berarti
tulang dan buto adalah raksasa. Dengan demikian, secara harfiah, balung buto
mempunyai arti tulang raksasa. Selain itu, pemahaman mereka terkait balung buto
juga berkaitan dengan tradisi lisan atau mitos mengenai perang besar yang pernah
terjadi di kawasan perbukitan Sangiran, ribuan tahun silam. Dalam pertempuran itu
banyak raksasa yang gugur dan terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana
dibuktikan lewat potongan-potongan tulang-belulang besar yang mereka namakan
balung buto. Para tetua kampung yang berusia di atas 60 tahun masih ada yang
mengenal mitos tentang asal usul balung buto tersebut. Bahkan tak sedikit di antara
mereka yang masih percaya akan kebenarannya.

Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis.


Selain berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri atau
sebagai jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya dapat membantu ibu-ibu yang

6
susah melahirkan. Kerena itu, tidak heran bila pada kurun waktu sebelum 1930-an,
balung buto yang banyak banyak bermunculan di berbagai tempatdi tepi sungai
dan di lereng-lereng perbukitanjarang diganggu oleh penduduk setempat.
Koenigswald mengubah pandangan itu. Luasnya cakupan wilayah situs Sangiran,
dengan kondisi alam yang tandus-gersang dan berbukit-bukit, memang tidak
memungkinkan bagi peneliti asing itu bekerja sendiri.

Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald meminta bantuan penduduk.


Ilmuwan asal Jerman itu telah memberi pemahaman baru kepada masyarakat
Sangiran terkait keberadaan fosil dan artefak purba. Sebagai imbalan atas
keterlibatan penduduk, Koenigswald menerapkan sistem upah berupa uang kepada
penduduk yang menemukannya. Besaran hadiah cukup beragam, bergantung pada
jenis fosil dan kelangkaannya. Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda yang
dulu mereka sebut balung buto memiliki nilai tukar yang cukup menjanjikan.

Setelah itu istilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama baru,
pengertian dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu
pula, masyarakat Sangiran mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan
fosil alias balung buto, yang semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang
bernilai magis menjadi semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.

Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampau merupakan kawasan subur tempat
sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah khatulistiwa,
pada jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi
manusia purba untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan
sangiran pada kala pleistosen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi
manusia pada masa itu. Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak
belukar, hutan kecil dekat sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian
manusia pada kala pleistosen. Mereka membuat pangkalan dalam aktifitas perburuan
untuk mendapatkan sumber kebutuhan hidupnya.

Pilihan situs kubah Sangiran sebagai pangkalan aktifitas perburuan mengingatkan


kita dengan living floor (lantai hidup) atau old camp site di lembah Olduvai,
Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi
adalah temuan fosil manusia purba, fauna, dan artefak perkakas yang ditemukan
saling berasosiasi.

7
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di
kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di
bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik),
hal ini dibuktikan dengan endapan yang bisa kita jumpai di sepanjang Sungai Puren
yang tersingkap lapisan lempeng biru dari Formasi Kalibeng yang merupakan
endapan daerah lingkungan lautan dan hingga sekarang ini banyak sekali dijumpai
fosil-fosil moluska laut. Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin
diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang
Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan.
Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah
tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba
dan hewan vertebrata). Keadaan geo-stratigrafi dari pengamatan stratigrafi
batuannya dapat diketahui menjadi beberapa formasi, diantaranya :

Formasi Kalibeng
Formasi Pucangan
Formasi Grenzbank
Formasi Kabuh
Formasi Notopuro
Formasi Teras Solo (Kali Pasir)

Kawasan Sangiran menyimpan misteri yang sangat menarik untuk diungkap.


Manusia purba jenis Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran ada sekitar
lebih dari 100 individu yang mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun.
Jumlah ini mewakili 65% dari seluruh fosil manusia purba yang ditemukan di
Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah fosil sejenis yang ditemukan didunia.
Jenis Homo erectus yang ditemukan adalah dari masa Pleistosen Awal dan Pleistosen
Tengah, dan mungkin juga pada Pleistosen Akhir. Manusia jenis ini mempunyai ciri-
ciri tinggi badan kurang lebih 165-180 cm dengan postur yang tegap, tetapi tidak
setegap Meganthropus. Mereka memiliki geraham yang masih besar, rahang kuat,
tonjolan kening tebal serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis dan tonjolan
belakang kepalanya nyata, dagu belum ada dan hidung lebar. Perkembangan otaknya
baru memiliki volume sekitar 800-1100 cc dan manusia ini digolongkan dalam
Homo erectus arkaik.

8
Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat ini sebanyak 13.809 buah.
Sebanyak 2.934 fosil disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran dan 10.875
fosil lainnya disimpan di gudang penyimpanan. Beberapa fosil manusia purba
disimpan di Museum Geologi Bandung dan Laboratorium Paleoanthropologi
Yogyakarta. Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan asalnya, secara umum
temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3 kelompok
utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok Pithecanthropus arkaik yang berasal dari
Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai usia antara 1,7 0,7
tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus palaeojavanicus dan
Pithecanthropus mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus klasik
yang berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar
800.000 400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo erectus) yang paling banyak
ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus progresif
yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan mempunyai umur antara
400.000 100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan Homo
soloensis dari Ngandong dan Trinil (Widianto 1996, Semah et.al. 1990).

Demikianlah karya ilmiah mengenai Sangiran Laboratorium Manusia Purba ini.


Sebagai warga negara yang baik kita harus bisa melestarikan kekayaan budaya baik
itu wisata maupun sejarah bangsa. Agar tidak punah oleh waktu. Selain itu kita juga
harus bisa menjaganya agar tetap lestari dan berkembang.

BAB III

PENUTUP

9
3.1. KESIMPULAN

Ladang fosil di situs Sangiran sangat khas, Anda dapat melihat jelas pada bagian
yang bertebing curam yaitu stratigrafi yang menunjukkan empat formasi (lapisan
tanah). Stratigrafi merupakan studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif
serta distribusi perlapisan tanah dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah Bumi.

Keberadaan Kawasan Sangiran sangatlah penting dan menarik, secara nyata Anda
dapat melihat lokasi temuan dan lapisan stratigrafi yang sudah berumur jutaan tahun.
Saat ini arealnya seluas 56 km tersebut masih dihuni oleh masyarakat sekitar
Sangiran. Sangiran merupakan aset yang sangat penting secara nasional maupun
internasional.

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa, Indonesia.
Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km
(tepatnya di desa krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen).
2. Ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya disimpan di
gudang penyimpanan. Sebagai World Heritage List (Warisan Budaya
Dunia).

3.2. SARAN

Kita sebagai penerus bangsa Indonesia harus tetap menjaga penemuan-penemuan


purbakala baik yang berada di daerah kita maupun di daerah lain.

DAFTAR PUSTAKA

Santosa, Hery (2000). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Universitas


SanataDharma.

10
Sulistyanto, Bambang (2011). Mitos Balung Buto: Tafsir Makna dan Relevansinya
terhadap Benda Cagar Budaya Sangiran. Diakses 24 Juni 2014,
Tersedia:http://hurahura.wordpress.com/2011/07/05/mitos-balung-buto-tafsir-
makna-dan-relevansinya-terhadap-benda-cagar-budaya-sangiran/

Gunawan, Restu dkk (2013). Sejarah Indonesia kelas X. Jakarta: Kementerian


Pendidikan dan Kebudayaan.

http://www.indonesia.travel. Sangiran: Situs dan Museum Manusia Purba di


Lembah Bengawan Solo. Diakses 24 Juni 2014

http://www.museumindonesia.com. Museum Purbakala Sangiran. Diakses 24 Juni


2014. Tersedia:
http://www.museumindonesia.com/museum/19/1/Museum_Purbakala_Sangiran_Sra
gen

http://www.wikipedia.org. Sangiran. Diakses 24 Juni 2014. Tersedia:


http://id.wikipedia.org/wiki/Sangiran

Http://yogapermanawijaya.wordpress.com

11

Anda mungkin juga menyukai