Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang utama, kami panjatkan puji syukur atas Rahmat dan Ridho Allah SWT, karena tanpa
Rahmat dan Ridho-Nya, kami tidak akan dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktu yang ditentukan.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Rodhiah S.Pd selaku guru mata pelajaran Sejarah
Indonesia yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal
mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang
Kerajaan Pontianak dan Kerajaan Banjar.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Sebagai manusia
biasa, kami terbuka dari saran dan kritikan teman-teman maupun guru. Demi tercapainya makalah yang
sempurna di masa mendatang.

Dumai, 2 Maret 2022

Penyusun

Kelompok 4
KERAJAAN PONTIANAK

1. Sejarah Berdirinya Kerajaan Pontianak

Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan
Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H)
yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil,
dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada
tahun1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.

Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini
bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak
diKelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.

Dengan menggunakan 14 perahu mereka menyusuri Sungai Peniti hingga pada akhirnya
mereka menetap di sebuah tanjung bernama Kelapa Tinggi Segedong. Namun, Syarif Alkadrie
merasa bahwa tempat tersebut tidak tepat untuk didiami, dan akhirnya mereka melanjutkan
perjalanan balik ke hulu sungai melalui Sungai Kapuas Kecil. Ketika menyusuri sungai tersebut
rombongan Syarif Alkadrie menemukan sebuah pulau kecil bernama Batu Layang.

Mereka kemudian singgah sejenak. Konon mereka pernah diganggu oleh hantu-hantu di
sana yang menyebabkan Syarif Alkadrie meminta anggotanya untuk mengusirnya. Setelah itu
mereka kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Pada tanggal 23 Oktober1771 (14 Rajab 1184 H), tepatnya menjelang subuh, mereka
akhirnya sampai di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Rombongan Syarif Alkadrie
kemudian menebang pohon-pohon di hutan selama delapan hari guna keperluan membangun
rumah, balai, dan sebagainya. Di tempat itulah Kesultanan Kadriah berdiri, beserta Masjid
Djami‘ (yang telah berdiri sebelumnya) dan Keraton Pontianak (yang berdiri setelah berdirinya
kesultanan). Pada tanggal 8 Sya‘ban tahun 1192 H, Syarif Alkadrie akhirnya dinobatkan sebagai
Sultan Pontianak (Kesultanan Kadriah) dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie.
Kesultanan ini merupakan kerajaan paling akhir yang ada di Kalimantan dan sebagai cikal bakal
berdirinya Kota Pontianak.

2. Letak Kerajaan Pontianak

Kerajaan Pontianak diperkirakan terletak di dekat pertemuan tiga sungai besar, yaitu
Sungai Kapuas dengan Sungai Landak sebagai cabangnya.

Terdapat tiga nama sungai dari titik ini, yaitu Sungai Landak yang mengalir dari timur laut,
Sungai Kapuas Kecil dari arah timur, serta Sungai Kapuas Besar sebagai pertemuan keduanya
mengaliri arah barat dan bermuara di laut.

3. Sistem Pemerintahan Kerajaan Pontianak

Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun
1950. Selama kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah berkuasa. Ketika
kesultanan ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga berubah
menjadi pemerintahan Kota Pontianak.Pada tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan
Barat ikut berjuang melawan kolonialisme Jepang di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan
pejuang-pejuang di Jawa dan Sumatera. Puncaknya, pada tanggal 16 Oktober 1943 terjadi
pertemuan rahasia di Gedung Medan Sepakat Pontianak yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
masyarakat dari berabagai golongan. Mereka bersepakat untuk merebut kekuasaan dari
pemerintah kolonial Jepang dan mendirikan Negeri Rakyat Kalimantan Barat dengan lengkap 18
menterinya.

4. Sistem Ekonomi Kerajaan Pontianak

Perdagangan merupakan kegiatan yang menopang kehidupan ekonomi di Kerajaan


Pontianak. Kegiatan perdagangan berkembang pesat karena letak Pontianak yang berada di
persimpangan 3 sungai. Pontianak juga membuka pelabuhan sebagai tempat interaksi dengan
pedagang luar.

Komoditas utamanya antara lain :

-Garam, berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, pinang, sarang
burung, kopra, lada, dan kelapa.

Pontianak memiliki hubungan dagang yang luas. Selain dengan VOC, pedagang Pontianak
melakukan hubungan dagang dengan pedagang dari berbagai daerah. Kerajaan Pontianak
kemudian menerapkan pajak bagi pedagang dari luar daerah yang berdagang di Pontianak.
Tidak sedikit dari para pendatang yang kemudian bermukim di Pontianak. Mereka mendirikan
perkampungan untuk bermukim sehingga nama-nama perkampungan lebih menunjukkan ciri
ras dan etnis.

5. Sistem Sosial Kerajaan Pontianak

Masyarakat Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan identitas kesukuan,


agama, dan ras. Pengelompokan berdasarkan suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak yang
tinggal di daerah pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih mengutamakan kesamaan
dan kesatuan sosio-kultural. Kedua, komunitas Melayu, Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai
penganut Islam terbesar di daerah ini yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas
penguasa. Ketiga, imigran Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu
kesatuan sosio-ekonomi.
6. Sistem Budaya Kerajaan Pontianak

Agama menjadi salah satu dasar budaya yang penting.Sebagai koridor dalam
melaksanakan hidup, unsur ini sangat penting bagi masyarakat lokal agar kebahagiaan material
dan spiritual dapat tercapai.Sebagian besar penduduk kota dan pedesaan di Kalimantan Barat
beragama Islam.Sementara mayoritas penduduk pedalaman menganut kepercayaan tradisional
atau kepercayaan lama.Kedatangan Agama Islam di Kalimantan Barat bermula dari Johor dan
Bintan.Kemudian memasuki aliran Sungai Sambas dan berpusat di Kerajaan Sambas.Baru dari
Sambas penyebarannya sampai di Singkawang, Mempawah, lalu Pontianak.

Perkembangan kehidupan dua kepercayaan (Islam dan kepercayaan lokal) ini berlangsung
damai dan berjalan tenang.Dengan kata lain, Kalimantan Barat memiliki sistem kebudayaan
yang terbagi atas sistem budaya penduduk asli, penganut Hindu atau Buddha, dan Islam.

7. Raja-Raja Kesultanan Pontianak

Raja-raja yang memimpin di Kerajaan Pontianak adalah keturunan dari Al Habib Husain
Alqadrie. Raja-raja tersebut adalah:

1. Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie bin Al Habib Husain Alqadrie (1771-1808)

2. Sultan Syarif Kasim Alqadrie bin Syarif Abdurrahman Alqadrie (1808-1819)

3. Sultan Usman Alqadrie bin Syarif Abdurrahman Alqadrie (1819-1855)

4. Sultan Syarif Hamid I Alqadrie bin Syarif Usman Alqadrie (1855-1873)

5. Sultan Syarif Yusuf Alqadrie bin Syarif Hamid I Alqadrie (1873-1895)

6. Sultan Syarif Muhammad Alqadrie bin Syarif Yusuf Alqadrie (1895-1944)

7. Sultan Syarif Taha Alqadrie bin Syarif Yusuf Alqadrie (1944-1945)

8. Sultan Syarif Hamid II Alqadrie bin Syarif Muhammad Alqadrie (1945-1950)

Dari kedelapan sultan-sultan tersebut, hanya tiga orang sultan yang terdengar kabarnya.
Mereka adalah sultan yang pertama, keenam, dan yang terakhir. Hal ini dikarenakan kurangnya
sumber atau bukti yang menceritakan tentang sultan-sultan lainnya tersebut.

1. Al Habib Husain Alqadrie


Jauh sebelum Sultan Abdurrahman lahir, ayahnya Al Habib Husain Alqadrie datang ke Kerajaan
Matan di Ketapang. Berdasarkan keterangan tersebut, kita bisa mengetahui bahwa awal
pertama Islam dibawa ke Ketapang melaui Palembang yang kemudian menyusuri Sungai
Pawan. Kedatangan Al Habib Husain Alqadrie disambut dengan baik oleh Raja Matan dengan
diangkat sebagai penyebar syari’at agama Islam.

Ambary mengemukakan bahwa dalam fase pelembagaan Islam (abad 17-18M) terjadi
pergulatan antara emporium dan imperium serta komunikasi yang diselenggarakan para
penyebar Islam—pedagang, musafir, ulama, dan kaum sufi—yang berdampak semakin
diakuinya peranan mereka dalam struktur komunitas pribumi. Dalam hal ini para penyebar
Islam kemudian dapat menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan, dan
banyak di antara mereka yang menikah dengan putri kerajaan dan masyarakat pribumi. Hal ini
juga terjadi pada Al Habib Husain Alqadrie, dia kemudian menikah dengan Nyai Tua dan
memperoleh 4 orang anak, yaitu yang pertama diberi nama Syarifah Chatidjah, kedua Syarif
Abdurrahman, yang ketiga Syarifah Aliyah, dan yang keempat adalah Syarif Alwi. Setelah cukup
lama berada di Kerajaan Matan, Al Habib Husain Alqadrie besrta seluruh keluarganya pindah ke
Kerajaan Mempawah. Kepindahan ini disebabkan karena adanya kekecewaan Al Habib Husain
Alqadrie terhadap sikap Raja Matan. Pada waktu itu pusat kerajaan Mempawah dipimpin oleh
Opu Daeng Menambon berada di Sebukit di Mempawah Hulu.

Ketika Al Habib Husain Alqadrie berpindah dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah, tahun
1755, Al Habib Husain Alqadrie sengaja meminta permukiman baru yang berada di Kuala
Mempawah dan dekat ke Laut. Ia ingin berhubungan dengan masyarakat yang berlalu lintas
sambil berdagang sehingga penyebaran agama Islam akan lebih mudah berkembang ke
berbagai daerah. Hal ini sangat masuk akal, mengingat perkembangan agama Islam
berkembang pesat karena adanya lalu lintas dan transaksi perdagangan. Kita ketahui, raja
pertama Kerajaan Pontianak bukan Al Habib Husain Alqadrie, tetapi ia adalah ayah dari
keturunan berukitnya yang kemudian mendirikan Kerajaan Pontianak, yaitu anak keduanya
yang bernama Syarif Abdurrahman.

2. Sultan Syarif Abdurrahman Nur Alam

Saat kepindahan Al Habib Husain Alqadrie dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah, usia
Syarif Abdurrahman sudah mencapai 18 tahun. Ia melakukan dua pernikahan politik di
Kalimantan, pertama dengan putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri
Kesultanan Banjarmasin. Dari kepindahan di sinilah, ia kemudian menikah dengan putri Opu
Daeng Menambon yang bernama Utin Tjandramidi. Namanya juga masih muda, jiwa
petualangan Syarif Abdurrahman menyebabkan ia sering meninggalkan Mempawah dan pergi
ke daerah-daerah, tempat-tempat yang pernah dikunjunginya antara lain adalah Tambolon,
Pulau Siantan, Palembang, dan Banjar. Di kota Banjar inilah Syarif Abdurrahman menikah lagi
dengan Ratu Syahranun, putri dari Sultan Banjarmasin dan memperoleh gelar Pangeran Syarif
Abdurrahman Nur Alam. Hubungan ini mungkin terjadi karena Banjarmasin sudah menerima
Islam lebih dahulu daripada wilayah lainnya di Kalimantan. Daerah yang pertama kali
menerima kehadiran Islam di luar Brunei adalah Banjarmasin dan dalam Hikayat Banjar
menyatakan bahwa pihak yang mengislamkan daerah banjar sekitar 1550 M adalah Kerajaan
Demak. Hal tersebut mungkin karena sejak masa pra Islam, hubungan ekonomi antara Banjar
dan pantai utara Jawa sudah sering terjadi. Sehingga dengan persamaan agama yang dianut
oleh Syarif Abdurrahman dan Kerajaan Banjarmasin, membuat ia dipercaya oleh Sultan
Banjarmasin untuk memperistri putrinya. Sehingga hubungan pertalian antara raja dan ulama
semakin kuat.

Setelah wafatnya Al Habib Husain Alqadrie, Syarif Abdurrahman beserta keluarganya mencari
perjalanan untuk membuka daerah baru. Perjalanan Syarif Abdurrahman beserta keluarganya
tidak berjalan dengan mulus, banyak ganggguan yang yang ditemui dalam perjalanan, antara
lain gangguan dari makhluk halus. Setelah memperoleh tempat yang dirasa cocok, yaitu tempat
jatuhnya meriam yang telah ditentukannya maka dibangunlah masjid yang sekarang terkenal
dengan sebuitan Masjid Jami’Sultan Abdurrahman. Kemudian setelah selesai baru didirikanlah
keraton sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya sebagai pusat pemerintahannya. Keraton
tersebut diberi nama Keraton Kadriah. Syarif Abdurrahman mengangkat dirinya sebagai raja
dengan bergelar Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie.

Pengangkatan diri yang dilakukan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie bukan semata-
mata karena keinginannya sendiri. Tentunya kita bisa melihat, ia adalah menantu dari Raja
Mempawah dan Raja Banjarmasin, memiliki pengikut, dan ayahnya adalah seorang ulama.
Sehingga membuka kemungkinan ia juga didukung oleh pengikutnya dalam mendedikasikan
dirinya sebagai raja. Para pengikutnya mendirikan pemukiman-pemukiman baru di sekitar
keraton. Begitupun dengan ketujuh orang Dayak (membantu Sultan Syarif Abdurrahman Al
Qadrie mengusir makhluk halus), mereka dihadiahi tanah dan beras sebagai imbalan
bantuannya terhadap raja.

Dalam kepemimpinan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie Kerajaan Pontianak sebagai


kerajaan terakhir di Kalimantan Barat mempunyai perkembangan yang pesat dibandingkan
dengan kerajaan lain yang sudah berdiri terlebih dahulu. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif
Abdurrahman Al Qadrie, Kerajaan Pontianak mengalami masa kejayaannya. Hal ini dikarenakan
dalam pemerintahannya Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie begitu giat mengembangkan
perdagangan sehingga berkembang pesat. Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan Sambas,
Selakau, Sebakau, dan Singkawang berjalan dengan lancar. Begitu juga perkembangan
hubungan dagang dengan pedagang-pedagang seperti Cina, India, dan Eropa. Kelancaran
hubungan tersebut mungkin dikarenakan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie sudah terbiasa
melakukan perjalanan-perjalanan semasa mudanya sehingga ia bisa dengan mudah melakukan
komunikasi dan diplomasi dengan pimpinan daerah lain. Selain itu, kedudukan ayahnya yang
awalnya adalah ulama menjadikan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie dikenal oleh pedagang-
pedagang dari daerah luar.

3. Sultan Syarif Muhammad Alqadrie

Sultan Syarif Muhammad Alqadrie sebagai sultan keenam memerintah Kerajaan Pontianak
sampai kedatangan Jepang di Kalimantan. Beliau meninggal dunia akibat penganiayaan Jepang
dalam peristiwa “penyungkupan” yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Saat itu Sultan Syarif
Muhammad selesai solat tahajjud saat tentara Jepang datang untuk melakukan penyungkupan
ke dalam istana dan akhirnya Sultan Syarif Muhammad Alqadrie beserta seluruh putra putrinya
kecuali Syarif Hamid yang kelak akan menjadi Sultan Hamid II. Peristiwa itu terkenal dengan
istilah “mandor”.

4. Sultan Syarif Hamid II Alqadrie bin Syarif Muhammad Alqadrie

Sultan Syarif Hamid merupakan raja yang paling menonjol di Kalimantan Barat menjelang masa
kemerdekaan RI, terutama dalam bidang politik. Sesuai dengan latar belakangnya yang
memperoleh pendidikan Barat, maka dasar pemikirannya sangat modern. Beliau dilahirkan
pada tanggal 12 Juli 1913 di Pontianak, mendapat pendidikan ELS di Sukabumi, kemudian di
Pontianak dan Yogyakarta. Di Bandung masuk pendidikan HBS selama satu tahun di THS lalu di
KMA di Breda di negeri Belanda sampai tamat. Masa hidupnya banyak dijalani di luar
Kalimantan Barat, yaitu di Malang setelah menamatkan pendidikannya di Breda, karena oleh
tentara Belanda diangkat menjadi tentara berpangkat Letnan. Kemudian dipindahkan ke
Balikpapan dan daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Pernah menjadi tawanan Jepang saat masa
pendudukan Jepang, namun kemudian diangkat kembali oleh Belanda menjadi Kolonel pada
tahun 1945.

Tanggal 29 Oktober 1945, dia dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya dengan gelar
Sultan Hamid II. Terlepas dari konotasi sebagai seorang penghianat, sebenarnya Sultan Hamid II
adalah seorang yang cerdas dan memiliki pengalaman politik yang luas. Sultan Hamid II banyak
menduduki jabatan-jabatan yang cukup tinggi baik baik pada masa penjajahan Belanda maupun
pada masa Indonesia merdeka. Beliau adalah satu-satunya putera Kalimantan Barat yang
menonjol saat itu.
KERAJAAN BANJAR

1. Sejarah Berdirinya Kerajaan Banjar


Islam datang ke Kalimantan pada abad ke 15. Suatu ketika, Raden
Paku atau Sunan Giri berlayar ke pulau Kalimantan dan mendarat di
pelabuhan Banjar. Kedatangannya sebagai muballigh sambil membawa
barang dagangannya dengan tiga buah kapal. Kedatangan Sunan Giri ke
Kalimantan diperkirakan pada tahun 1470 M.

Pada akhir abad ke 15, orang-orang Islam dari Jawa telah banyak
menetap di Kalimantan. Berita-berita tentang agama Islam semakin
tersiar dikalangan penduduk, baik melalui pendatang (pedagang dan
muballigh) maupun orang-orang Kalimantan sendiri yang pernah
menyinggahi Jawa, terutama Jawa Timur. Itu sebabnya maka kisah-
kisah tentang Wali Songo menjadi buah bibir penduduk Kalimantan.
Pelan tapi pasti Agama Islam telah dikenal oleh seluruh penduduk.

Pada masa itu, kalimantan Selatan masih dibawah Kerajaan Daha,


yang pada saat itu dipimpim oleh Pangeran Sukarama. Ia mempunyai
tiga orang anak; Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung dan
Putri Galuh. Peristiwa kelahiran Kerajaan Banjar bermula dari konflik
yang ada di dalam Istana Daha. Konflik terjadi antara Pangeran
Samudera sebagai pewaris sah Kerajaan Daha, dengan pamannya
Pangeran Tumenggung. Seperti dikisahkan dalam Hikayat Banjar, ketika
Raja Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya, ia berwasiat, agar
yang menggantikannya nanti adalahcucunya Raden Samudera.

Tentu saja keempat anaknya tidak setuju dengan sikap ayahnya itu,
terlebih Pangeran Tumenggung yang sangat berambisi. Setelah
Sukarama wafat, jabatan dipegang oleh anak tertua, yakni Pangeran
Mangkubumi. Waktu itu, Pangeran Samudera baru berumur 7 tahun.
Pangeran Mangkubumi tak terlalu lama berkuasa, karena ia dibunuh
oleh pengawalnya yang berhasil dihasut oleh Pangeran Tumenggung.
Dengan meninggalnya Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran
Tumenggung naik tahta.

Pada saat itu, Pangeran Samudera menjadi musuh besar Pangeran


Tumenggung. Oleh karena itu ia memilih meninggalkan istana dan
menyamar menjadi nelayan di Pelabuhan Banjar. Namun,
keberadaanya diketahui oleh Patih Masih yang menguasai Bandar.
Karena tidak mau daerahnya (Patih Masih) terus menerus mengantar
upeti ke Daha kepada Pangeran Tumenggung, maka Patih Masih
mengangkatnya sebagai Raja.

Dalam sejarah Daha, tersebutlah seorang perdana menteri yang cakap,


bernama Patih Masih. Walau tak sebesar Patih Gajah Mada, ia mampu
mengendalikan pemerintahan dengan teratur dan maju. Patih ini
banyak bergaul dengan pendatang-pendatang di Pelabuhan Bandar.
Disanalah ia bergaul dengan Muballigh Islam yang datang dari Tuban
dan Gresik. Dari para Muballigh ini ia mendengar kisah tentang Wali
Songo dalam mengemban Kerajaan Demak dan dalam membangun
masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Patih Masih, kisah tersebut
sangat fantastik, mengagumkan. Seiring berjalannya waktu, dari
pergaulannya ini, ia akhirnya memeluk Islam.

Atas bantuan Patih Masih, Pangeran Samudera dapat menghimpun


kekuatan dan memulai menyerang Pangeran Tumenggung. Tetapi
peperangan terus berlangsung secara seimbang. Patih mengusulkan
untuk meminta bantuan Demak. Sultan Demak bersedia membantu
Pangeran Samudera asal nanti masuk Islam. Lalu sultan Demak
mengirimkan bantuan seribu orang tentaranya[6] (sumber lain
mengatakan berjumlah 40.000 tentara, dengan jumlah 1.000 kapal,
masing-masing kapal memuat 400 prajurit). Atas bantuan itu,
kemenangan ada di pihak Pangeran Samudera. Sesuai dengan janjinya,
ia beserta seluruh kerabat keraton dan penduduk Banjar menyatakan
diri masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia diberi nama Sultan
Suryanullah atau Suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama
Kerajaan Banjar.

2. Letak Kerajaan Banjar


Letak Kerajaan Banjar mencakup daerah yang saat ini menjadi
Provinsi Kalimantan Selatan, terbentang mulai dari Tanjung Sambar
sampai Tanjung Aru.

3. Sistem Pemerintahan Kerajaan Banjar

Sistem pemerintahan Kesultanan Banjar masih mengikuti Negara


Daha, di mana jabatan raja diturunkan kepada golongan tutus
(keturunan raja). Sedangkan jabatan tertinggi setelah raja, yaitu
perdana menteri yang bergelar Mangkubumi, ditempati oleh golongan
jaba (rakyat biasa yang berjasa besar terhadap kerajaan).

Dalam sejarah singkatnya, sistem pemerintahan di Kerajaan Banjar ini


banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa. Di mana sudah ada tingkatan
pemimpin setiap daerah. Sangat sesuai dengan wilayah kekuasaan
Banjar yang sudah meliputi wilayah yang luas sampai ke daerah
terpencil.

Organisasi pemerintahannya pun juga terstruktur. Seperti misalnya


seorang bupati atau mangkubumi yang memerintah daerah kabupaten.
Tidak ada penolakan sama sekali dari rakyat Banjar Kalimantan akan
pengaruh sistem pemerintahan dari Jawa ini, karena dirasa tidak ada
ruginya.

Raja Banjar tidak ditakuti dan tidak memiliki kekuasaan yang absolut di
semua bidang, karena kekuasaan tertinggi Banjar dipegang oleh Sultan
Muda.

4. Sistem Ekonomi Kerajaan Banjar

Kehidupan ekonomi Kerajaan Banjar mulai berkembang pesat saat


memasuki abad ke-16 hingga ke-17 Masehi. Banjarmasin, yang menjadi
pusat kerajaan, menjadi kota dagang yang besar, yang memberi
dampak bagi kesejahteraan masyarakat.
Hal ini semakin menguat disebabkan posisi Kalimantan Selatan yang
sangat strategis dalam jalur perdagangan. Komoditas utama yang
dihasilkan adalah berupa tanaman lada, yang bahkan bisa diekspor ke
luar negeri.

Memasuki abad ke-17 Masehi, Kerajaan Banjar dikenal juga dengan


produksi kapal dan senjatanya, seperti kapak, golok, cangkul, dan
sebagainya. Efeknya, kemajuan dalam bidang industri ini juga
meningkatkan kemajuan dalam sektor pertukangan.

5. Sistem Sosial Kerajaan Banjar

Dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Kerajaan Banjar terbagi


menjadi 3 golongan.

- Golongan atas: diisi oleh bangsawan serta para keluarga raja, yang
merupakan kelompok minoritas dengan kemudahan hidup.
- Golongan tengah: diisi cedekiawan dan ulama, yang bertugas untuk
mengurus masalah hukum dan agama kerajaan.

- Golongan bawah: diisi pedagang, petani, dan nelayan, yeng mrupakan


kelompk paling besar di Kerajaan Banjar.

6. Sistem Budaya Kerajaan Banjar

Kehidupan budaya di kerajaan Banjar erat kaitannya dengan


kehidupan sosial. Di mana pengaruh terbesarnya adalah dari Jawa.
Banyak orang Jawa yang bermigrasi ke Kalimantan karena penyerangan
perluasan wilayah yang dilakukan oleh Kesultanan Banjar.

Dalam kehidupan rakyat Banjar, ada kelas-kelas masyarakat yang


dikenal, yakni kaum bangsawan, ulama, dan orang-orang Belanda. Di
mana orang-orang Belanda memang sudah menjadi bagian dari rakyat
Banjar, karena hubungan salah satu Sultan yang menjabat sebagai raja
Banjar sangat baik dengan orang-orang Banjar.

Orang Jaba adalah kelas sosial dalam masyarakat yang paling bawah. Di
mana profesi masyarakat Banjar adalah sebagai petani, nelayan, dan
juga peternak untuk kelangsungan hidupnya.

6. Raja – Raja / Sultan Kerajaan Banjar

Sultan-sultan yang pernah memimpin dalam kerajaan

Banjar:

1. (1520-1546) Sultan Suriansyah.


2. (1546-1570) Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.

3. (1570-1595) Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah.

4. (1595-1641) Sultan Mustain Billah bin Sultan

Hidayatullah 1.

5. (1641-1646) Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah.

6. (1646-1660) Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah.

7. (1660-1663) Sultan Ri’ayatullah bin Sultan Mustain

Billah.

8. (1663-1679) Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan

Saidullah.

9. (1663-1679) Sultan Agung/Pangeran Suria Nata (ke-2)

bin Sultan Inayatullah.

10. (1679-1700) Sultan Amarullah Bagus Kasuma/Suria

Angsa/Saidillah bin Sultan Saidullah.

11. (1700-1717) Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning

bin Sultan Amrullah/Tahlil-lullah.

12. (1717-1730) Panembahan Kasuma Dilaga.

13. (1730-1734) Sultan il-Hamidullah/Sultan Kuning bin

Sultan Tahmidullah I.

14. (1734-1759) Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahmidullah


I.

15. (1759-1761) Sultan Muhammadillah/Muhammad

Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/Sultan

Kuning.

16. (1761-1801) Sunan Nata Alam (Pangeran Mangkubumi)

bin Sultan Tamjidullah I.

17. (1801-1825) Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan

Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II.

18. (1825-1857) Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan

Sulaiman al-Mutamidullah.

19. (1857-1859) Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin

Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan

Adam.

20. (1859-1862) Sultan Hidayatullah Halilillah bin Pangeran

Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam.

21. (1862) Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin

Sultan Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah.

22. (1862-1905) Sultan Muhammad Seman bin Pangeran

Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.


23. (2010) Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu’tashim Billah bin

Gusti Jumri bin Gusti Umar bin Pangeran Haji Abubakar

bin Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman al-

Mu’tamidullah.

Penutup

Demikian yang dapat kami sajikan tentang Kerajaan Pontianak dan


Kerajaan Banjar. Semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan
kita tentang proses islamisasi di Nusantara. Kami mohon maaf apabila
ada kesalahan penulisan atau informasi. Dimohon maklum karena kami
juga masih Belajar. Kami berterimakasih pada guru pembimbing karena
telah membantu dan mendukung kami dalam menyelesaikan tugas
makalah ini.

Hormat kami,

Penyusun

Kelompok 4

Anda mungkin juga menyukai