Mu’jizat al qur’an
Mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan
tidak bisa dikalahkan.makalah ini membahas tentang mukjizat al-quran Diantara kemurahan Allah
terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat
membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa kemasa mengutus seorang rasul yang
membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah dan mengajak manusia untuk beribadah kepada-Nya
semata. Setiap rasul yang diutus selain membawa kitab yang didalamnya mengandung kabar gembira dan
peringatan, juga Allah bekali mereka dengan berbagai mukjizat untuk membantu mereka dalam berbagai
kesulitan dan tantangan dari masyarakat yang menolak risalahnya sesuai dengan tingkat dan pola pikir
masyarakatnya.
Nabi Muhammad Saw., diutus ketika masyarakat Arab ahli dalam bahasa dan sastra. Dimana-mana
diadakan musabaqah (perlombaan) dalam menyusun syair atau khutbah, petuah dan nasehat. Syair-syair
yang dinilai indah, digantung dika’bah sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus untuk
dapat dinikmati oleh yang melihat dan membacanya. Penyair mendapat kedudukan yang sangat istimewa
dalam masyarakat Arab.
Pada saat turunnya al-Quran sebenarnya orang-orang Arab adalah masyarakat yang paling mengetahui
tentang keunikan dan keistimewaan al-Quran serta ketidak mampuan mereka untuk menyususun
seumpamanya. Namun diantara mereka tidak mengakuinya, bahkan suatu kali mereka menyatakan bahwa
al-Quran adalah syair, al-Quran adalah sihir ulung atau pendukunan. Karenanya al-Quran datang
menantang mereka untuk menyusun semacam al-Quran, ternyata mereka tidak mampu menyusun seperti
susunan al-Quran yang indah dan bersastra tinggi, maka jelaslah kemukjizatan al-Quran. Untuk mengkaji
lebih lanjut tentang mukjizat al-Qur an, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian
mukjizat, macam-macam mukjizat, bentuk dan tahapan tantangan al-Quran, aspek-aspek kemukjizatan al-
Quran, paham ash-sharfah, dan penutup.
B. Pengertian Mukjizat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan sebagai kejadian
(peristiwa) yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.[2] Kata mukjizat terambil dari bahasa
Arab ( أعجزa’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.[3] Sedangkan kata أعجز
(a’jaza) itu sendiri berasal dari kata ‘( عجزajaza) yang berarti tidak mempunyai kekuatan (lemah).[4]
Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat
menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka dinamai( معجزةmu’jizat). Tambahan ta marbuthah
pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[5]
Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu yang luar biasa yang
diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian
dan kerasulannya.[6] Dalam al-Quran, kata ‘ajaza dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 26 kali dalam
21 surat dan 25 ayat.[7]
“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang ditampakkan Allah diatas kekuasaan
seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya.” [8]
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang disertai tantangan dan selamat (tidak ada yang sanggup)
menjawab tantangan tersebut.”
Sedangkan menurut Manna al-Qattan, I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan
menurut pengertian umum adalah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari qudrah (potensi,
power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang
melemahkan. Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran nabi
dalam pengakuannya sebagai seorang rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab dalam
melawan mukjizat yang kekal yakni al-Quran.[10]
Maka mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan
dan tidak bisa dikalahkan. Al-Quran menantang orang-orang Arab, mereka tidak kuasa melawan
meskipun mereka merupakan orang-orang yang fasih, hal ini tiada lain karena al-Quran adalah mukjizat.
[11]
Berdasarkan defenisi diatas maka dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu:
Sedangkan menurut M. Qurais Shihab ada empat unsur yang harus menyertai sesuatu sehingga ia
dinamakan mukjizat. Keeempat unsur itu adalah:
1) Hal atau peristiwa yang luar biasa. Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar
jangkauan sebab akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya.
2) Terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi. Apabila hal-hal yang luar biasa terjadi
bukan dari seseorang yang mengaku nabi, ia tidak dinamai mukjizat.
3) Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian. Tantangan ini harus berbarengan
dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelumnya.
4) Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani. Bila yang ditantang berhasil melakukan hal
yang serupa, maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti.[13]
C. Macam-Macam Mukjizat.
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat hissiyah
(material indrawi), dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah (rasional).[14] Mukjizat nabi-nabi terdahulu
semuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti
keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi
tersebut menyampaikan risalahnya, seperti perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga
mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi
Ibrahim dalam kobaran api; tongkat nabi Musa yang berobah menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan
nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi tempat nabi
tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi
Muhammad Saw, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena
sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran
dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.[15]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi Muhammad Saw.,
ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa
dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan nabi Muhammad Saw., yang
diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu
siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi sebelum nabi
Muhammad Saw., amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran
mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak
ke tahap kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Ini bukan berarti
bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi Muhammad Saw. Keluarnya air dari celah
jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau
lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang badar hingga menutupi pandangan mereka, dan lain-lain
merupakan hal-hal luar biasa yang telah terjadi.[16]
Namun demikian dapat disimpulkan, Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa dalam mengatasi segala
persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan ketentuan tersebut. Kedua,
bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama fungsinya, yaitu untuk memainkan
peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-
galanya.[17]
Tantangan yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Tantangan umum
Tantangan ini ditujukan kepada semua golongan, baik kaum filosof, cendikiawan, ulama, dan hukama,
serta semua manusia tanpa kecuali, orang Arab atau orang Ajam, orang putih atau orang hitam, mukmin
atau kafir. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran surat al-Isra’ ayat 88.
2. Tantangan khusus
Tantangan ini ditujukan khusus kepada orang-orang Arab, terutama bagi orang-orang kafir Quraisy.
Tantangan bertanding khusus ini terbagi atas dua macam, yaitu :
1. Tantangan yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu tantangan dengan seluruh al-Quran mengenai
hukum-hukumnya, keindahan bahasanya, balaghahnya dan kejelasannya. Hal ini dijelaskan Allah dalam
surat al-Thuur ayat 34.
2. Tantangan yang bersifat juz’i (sebagian), yaitu tantangan untuk mendatangkan sepuluh surat atau satu
surat saja yang menyerupai surat-surat al-Quran. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Hud
ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat 23.[18]
Pertama, Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan al-Quran”, sebagaimana dipahami dari
surat al-Thuur ayat 34,
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika mereka termasuk orang-
orang yang benar.” (Al-Thuur : 34).
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa ketika ayat ini turun untuk menantang orang-orang kafir Quraisy
yang meragukan dan menolak kebenaran al-Quran, maka mereka berdalih “kami tidak mengetahui sejarah
umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan al-Quran).
Adapun yang dimaksud dengan kalimat ( بحديثbihadiitsin) dalam ayat diatas adalah tandingan al-Quran,
namun ternyata mereka tidak mampu mendatangkan sesuatu yang menyamai al-Quran.
Kedua, Allah meringankan tantangan, yaitu menantang untuk membuat sepuluh surat saja yang
menyamai al-Quran, sebagaimana dinyatakan Allah Swt., dalam surat Hud ayat 13,
Kata ( مفترياتmuftarayaat) yang diterjemahkan dengan “dibuat-buat” dalam ayat diatas adalah tudingan
orang-orang kafir Quraisy terhadap nabi Muhammad Saw., bahwa al-Quran itu dibuat-buat, oleh
karenanya Allah menantang, kalaupun al-Quran itu dibuat-buat (bohong), jikalau mereka mampu
menyusun redaksi seindah dan seteliti al-Quran maka itu sudah cukup untuk mengakui kebenaran dugaan
mereka, tetapi tantangan kedua inipun tidak sanggup mereka layani.
Ketiga, Allah meringankan lagi tantangan, yaitu tantangan untuk membuat satu surat saja yang menyamai
al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat Yunus ayat 38,
َ َأ ْم يَقُولُونَ ا ْفتَ َراهُ قُلْ فَْأتُوا بِسُو َر ٍة ِم ْثلِ ِه َوا ْدعُوا َم ِن ا ْستَطَ ْعتُ ْم ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم
)38 :صا ِدقِينَ (يونس
“Atau patutkah mereka berkata, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya?”, Katakanlah (kalau benar
tuduhan kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan panggillah siapapun yang dapat kamu
panggil selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Yunus : 38).
Tiga tahapan tantangan tersebut disampaikan ketika nabi Muhammad Saw., masih berada di Mekkah.
Keempat, Ketika nabi sudah hijrah ke Madinah Allah menantang kembali dengan tantangan yang lebih
ringan lagi yaitu membuat satu surat yang hampir sama dengan al-Quran, sebagaimana dapat dipahami
dalam surat al-Baqarah ayat 23,
َ ب ِم َّما نَ َّز ْلنَا َعلَى َع ْب ِدنَا فَْأتُوا بِسُو َر ٍة ِم ْن ِم ْثلِ ِه َوا ْدعُوا ُشهَدَا َء ُك ْم ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم
)23 :صا ِدقِينَ (البقرة ٍ وَِإ ْن ُك ْنتُ ْم فِي َر ْي
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami
(Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya dan panggillah penolong-penolongmu selain
Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah : 23).
Ayat 23 yang terdapat dalam surat al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan ayat 38 dalam surat Yunus.
Perbedaannya antara lain pada kalimat (fa’tuu bisuuratin mitslihi dan fa’tuu bisuuratin min mitslihi). Kata
( منmin) disini diartikan “lebih kurang”, sehingga dengan demikian tantangan ini lebih rendah daripada
tantangan sebelumnya yang menuntut membuat satu surah tanpa menggunakan kata ( منmin).
Memang sejak semula Allah telah menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun al-Quran tetap menjadi
mukjizat dan tidak dapat ditandingi. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah dalam surat al-Isra’ 88,
)88 :ْض ظَ ِهيرًا(اإلسراء ُ ان اَل يَْأتُونَ بِ ِم ْثلِ ِه َولَوْ َكانَ بَ ْع
ٍ ضهُ ْم لِبَع ِ ت اِإْل ْنسُ َو ْال ِج ُّن َعلَى َأ ْن يَْأتُوا بِ ِم ْث ِل هَ َذا ْالقُرْ َء
ِ قُلْ لَِئ ِن اجْ تَ َم َع
“Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain.” (al-Isra’ : 88).
Dengan demikian jelaslah bahwa tahap demi tahap tantangan al-Quran, ternyata tidak seorangpun
sanggup untuk memenuhi tantangan tersebut, terutama orang-orang Arab kafir Quraisy yang dengan
terang-tarangan tidak menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian jelaslah mukjizat al-Quran yang
benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad Saw., yang ummi.
Para ulama sepakat bahwasanya al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan sepadan al-
Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa aspek, baik aspek lafzhiyah
(morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu,
sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.[19] Namun demikian mereka berbeda pendapat
dalam meninjau segi kemukjizatan al-Quran. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
a) Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah sesuatu yang terkandung
dalam al-Quran itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang
Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku kalimatnya.
b) Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu terkandung dalam lafal-
lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah, karena nilai
sastra yang terkandung dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
c) Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar dari adanya
pertentangan, dan mengandung arti yang lembut dan memuat hal-hal ghaib diluar kemampuan
manusia dan diluar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya.
d) Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah keistimewaan-
keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang terkandung dalam al-Quran, baik
dalam permulaan, tujuan maupun dalam menutup setiap surat.[20]
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh segi kemukjizatan al-
Quran, sementara al-Zarkani dalam kitabnya Manahilul Irfan mencatat 14 segi kemukjizatan.[21]
Perbedaan pendapat ulama diatas diketahui sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Jadi
bukan berbeda dalam menentukan batasan-batasan kemukjizatan al-Quran, karena aspek-aspek
kemukjizatan al-Quran tidak hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu yang mereka sebutkan.[22]
Adapun aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah:
F. Paham As-Sharfah.
As-Sharfah terambil dari akar kata ( صرفSharafa) yang berarti memalingkan, dalam pengertian bahwa
Allah memalingkan manusia dari upaya membuat semacam al-Quran, sehingga seandainya tidak
dipalingkan, manusia akan mampu. Dengan kata lain, kemukjizatan al-Quran dianggap oleh paham as-
sharfah lahir dari faktor eksternal, bukan dari al-Quran itu sendiri.[26]
Berbicara tentang as-sharfah, Abu Ishaq Ibrahim an-Nazham dari golongan mu’tazilah yang oleh Mustafa
Shadiq al-Rafi’i disebut sebagai “syetan yang berargumentasi” mengemukakan bahwa, kemukjizatan al-
Quran pada dasarnya bukan terletak pada kehebatan al-Quran itu semata-mata melainkan lebih
dikarenakan sharfah (proteksi) dari Allah Swt., terhadap para hambanya, lebih dari itu kata an-Nazham,
Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia untuk menandingi al-Quran, akan tetapi juga malahan
membelenggu kefasihan lidah mereka.[27]
Sementara al-Murtadha dari golongan Syiah berpendapat bahwa makna as-sharfah itu adalah mencabut,
yaitu Allah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki yang dibutuhkan untuk menyusun
kalimat serupa al-Quran.[28]
Jika kita perhatikan kedua pendapat diatas, mereka menganggap bahwa al-Quran bukan merupakan
mukjizat dengan Zat-Nya, tetapi kemukjizatan itu karena dua hal: 1) Penggerak Ilahi yang melemahkan
mereka untuk bertanding akhirnya mereka bermalas-malasan. 2) Faktor luar yang melambangkan bakat
kefasihan dan kemampuan sastra mereka.[29]
Dalam hal ini Muhammad Abd Azhim al-Zarkani memandang bahwa tuduhan penafian I’jaz al-Quran
terhadap aliran Mu’tazilah dan kaum Syi’ah secara keseluruhan hanya disebabkan segelintir tokohnya
yang dalam kasus ini an-nazham dan al-Murtadha merupakan tuduhan yang kurang etis mengingat terlalu
banyak pengikut Mu’tazilah dan kaum Syi’ah yang pengakuannya tentang kemukjizatan al-Quran yang
lebih kurang sama dengan kaum muslimin pada umumnya. Bahkan dari kalangan Ahli Sunnah sekalipun
sesunguhnya ada yang membenarkan kemungkinan as-sharfah itu terjadi, diantaranya adalah Abu Ishak
al-Isfariyini.[30]
Dalam pada itu Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani mengatakan bahwa, salah satu hal yang membatalkan
pendapat tentang shirfah adalah, kalaulah menandingi al-Quran itu mungkin, tetapi mereka dihalangi oleh
shirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan shirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian,
kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apapun atas kalam yang lain.[31] Selain Abu Bakar al-
Baqillani, pendapat tentang as-sharfah menurut Muhammad Ali as-Shabuniy juga dikatakan salah dan
tidak bisa dipertanggung jawabkan karena tidak sesuai dengan kenyataan. Hal itu menurutnya karena
beberapa faktor:
1) Kalau pendapat ini benar, kemukjizatan itu akan berada pada unsur pemalingan dan tidak dalam
al-Quran itu sendiri.
2) Kalau pendapat dengan pemalingan ini benar, pasti hal itu unsur melemahkan bukan
kemukjizatan. Karena perbuatan itu sama saja halnya kita memotong lidah seseorang kemudian
kita paksa dia bicara.
3) Kalau ada penggerak yang melemahakan mereka untuk bertanding, mereka pasti sudah malas dan
tidak mungkin menghalang-halangi Nabi untuk berdakwah.
4) Seandainya ada faktor yang timbul secara mendadak, menghalangi mereka berbicara tegas pasti
mereka akan mengumumkan hal itu kepada khalayak ramai.
5) Bilamana pemalingan itu betul terjadi, pasti bagi kita sekarang akan bisa menandingi al-Quran,
begitu juga bagi mereka yang tekun dalam sastra Arab pada setiap masa, tentu mereka akan bisa
menerangkan kedustaan pengakuan kemukjizatan al-Quran.[32]
Semuanya itu (tentang pendapat as-sharfah) menurut hemat penulis adalah tidak benar, yang benar
adalah bahwa usaha untuk mendatangkan semisal al-Quran sama sekali tidak akan terlaksana menurut
kemampuan makhluk.
G. Penutup
Dari uraian diatas tentang mukjizat al-Quran dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai
berikut: Al-Quran adalah mukjizat nabi Muhammad Saw., terbesar yang sifatnya ‘aqliyah sehingga
berlaku sepanjang zaman karena dapat dijangkau oleh perkembangan akal manusia. Kemukjizatan al-
Quran terletak pada aspek keindahan bahasanya, kabar berita yang dibawanya, keluasan isi materi yang
terkandung didalamnya maupun dari segi-segi lainnya, dan tidak ada seorang manusiapun sampai
kapanpun dapat menandinginya. Mukjizat al-Quran merupakan hal-hal yang luar biasa yang terdapat
didalam al-Quran itu sendiri, bukan datang dari luar, karenanya paham as-sharfah tidak dapat diterima.