Anda di halaman 1dari 22

OTONOMI DAERAH DAN KEWENANGAN

PEMDA DAN DPRD

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah pembelajaran


Hukum Administrasi II

Dosen Pengampu: Dr. Ahmad SH, MH.

Dibuat oleh Kelompok 2 :


1. A. Morgan Syailendra 2074201-012
2. Irna Rudiana 2074201-092
3. Deka Dharma 2074201-021
4. Aditya Ersa Deni 2074201-098
5. Tedy Filyansyah 2074201-216

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan begitu
banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan menyadari begitu banyak nikmat
yang telah di dapatkan dari Allah SWT. Selain itu, kami juga merasa sangat bersyukur karena
telah mendapatkan hidayah-Nya baik kesehatan maupun pikiran.
Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan tugas
mata kuliah Hukum Adminitrasi Negara dengan topik inti OTONOMI DAN
KEWENANGAN PEMDA DAN DPRD. Saya sampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada, Bapak Dr. Ahmad S.H., M.H. dosen pengampu mata kuliah Hukum
Adminitrasi Negara.
Kami menyadari makalah ini masih begitu banyak kekurangan dan kesalahan baik
isinya maupun struktur penulisannya, oleh karena itu kami sangat mengharap kritik dan saran
positif untuk perbaikan di kemudian hari. Demikian semoga makalah ini memberikan
manfaat umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi kami. Aamiin.

Tangerang, 23 November 2021

(i)
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1


1.2 Dasar Hukum.............................................................................................................1
1.3. Rumusan Masalah………………………………………………………………………………………………….2

1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................2


BAB II.....................................................................................................................3

PEMBAHASAN.....................................................................................................3

2.1 Demokrasi dan Otonomi Daerah...............................................................................3


2.2 Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional..................................5
2.3 Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi...........................................6
2.4 Pokok-pokok Pikiran Otonomi Daerah......................................................................8
2.5 Prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah..........................................................8
2.6. Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia.........................................................9
2.7. Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah...........................................................10
2.8. Proses Otonomi Daerah.........................................................................................12
2.9. Konsep kebijakan Fiskal Daerah.............................................................................13
2.10. Perangkat Daerah………………………………………………………………………………………………..14

BAB III..................................................................................................................16

KESIMPULAN ....................................................................................................16

Kesimpulan.......................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................(iii)

(ii)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai respons atas tuntutan reformasi.
Pemerintah dengan cukup cepat telah melakukan pembahasan yang mendasar atas
berbagai UU dalam bidang politik dari yang berwatak sentralistisotoritarian ke otonomi
demokratis. Setelah berhasil menyusun UU bidang politik yang menjadi landasan
pelaksanaan pemilu Tahun 1999 pemerintah segera menyusulinya dengan UU baru dalam
bidang politik khusus mengenai hubungan kekuasaan pusat antar daerah yakni UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Hubungan
Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Perubahan Hukum tentang hubungan Keuangan
Pusat dan Daerah ini menyangkut masalah yang sangat mendasar dengan hubungan
kekuasaan (gezagverhouding) yang selama orde baru sangat timpang karena hampir
seluruh kekuasaan bertumpu di tangan pemerintah pusat tepatnya di tangan presiden. Dan
diberlakukan pula UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya
diperbaharui UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terakhir melalui UU NO 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini paling tidak ada dua alasan.
Pertama, demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan otonomi daerah
menjadi tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah satu dari lima hati nurani
global (globalconciousnes) Kedua, pengalaman Indonesia dengan sistem otoriter yang
mengabaikan otonomi daerah terbukti telah menyimpan api yang kemudian menyulut
lahirnya krisis politik, bahkan yang terjadi belakangan ini krisis politik telah memancing
fenomena disintegrasi

1.2. Dasar Hukum


Otonomi daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni:

1
1.2.1. Undang-undang 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan
pemerintahan pusat dan daerah.
1.2.2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.2.3. Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

1.3. Rumusan Masalah


Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas kami berusaha merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.3.1. Pengertian Demokrasi dan Otonomi Daerah ?
1.3.2. Bagaimana otonami daerah dalam integrasi nasional ?
1.3.3. Bagaimana Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi di
Indonesia?
1.3.4. Bagaimana Pokok-pokok pikiran Otonomi Daerah ?
1.3.5. Bagaimana Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah ?
1.3.6. Bagaimana Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia ?
1.3.7. Bagaimana Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah ?
1.3.8. Bagaimana Proses Otonomi Daerah ?
1.3.9. Bagaimanakah Konsep Kebijakan Fisikal Daerah ?

1.4. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melihat bagaimana penerapan otonomi
daerah di Indonesia serta Kewenangan Pemerintahan Daerah dan DPRD dalam
menjalankan tata kelola pemerintahan daerah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Demokrasi dan Otonomi Daerah

Ketika para pendiri negara Republik Indonesia bersepakat untuk mendirikan


sebuah negara berdasar prinsip demokrasi maka dengan sendirinya prinsip otonomi
daerah juga menyertainya. Hal ini menjadi niscaya karena salah satu tuntutan penting
bagi sebuah sistem demokrasi adalah adanya pemencaran kekuasaan baik secara
horizontal (ke samping) tinggi negara yang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA, dan
DPA, sedangkan pemecahan horizontal ditandai oleh adanya desentralisasi dan otonomi
daerah. Bahwa adanya desentralisasi dan otonomi daerah diyakini oleh Bapak-bapak
pendiri negaran bagian dari pelaksnaan demokrasi dpat dipahami dari pernyataa Hatta
bahwa :

“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak
hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota,
di desa, dan di daerah. Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau
golongan rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan
sendiri) dan Zelfgbestuur (Menjalankan peraturan peraturan yang dibuta oleh Dewan
yang lebih tinggi.. Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap
dalam negeri tidak sama melainkan berlain-lain.” (Hatta, 1976: 103).
Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus
menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada
jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan
dengan yang dikutip RobertRienov (1966 : 573) dari Tocquevile yang mengatakan juga
bahwa suatu negara merdeka yang tidak membangun institusi pemerintahan di tingkat
daerah adalah pemerintahan yang tidak membangun semangat kedaulatan rakyat sebab di
dalamnya tidak ada kebebasan.

Salah satu karakter menonjol dari demokrasi, kata Tocqueville, adalah adanya
kebebasan sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintah pusat dan daerah
alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah minimal ada dua macam:
pertama, membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri persoalan-persoalan di

3
daerahnya sekaligus mencari pemecahannya; kedua, memberi kesempatan kepada
masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan beragam untuk membuat aturan
dan programnya sendiri.

Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor yang
menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah: pertama, untuk
mewujudkan prinsip kebebasan (liberty) kedua, untuk membiasakan rakyat berupaya
untuk mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung
dengan dirinya; ketiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap
masyarakat yang mempunyai tuntutan dan kebutuhan beragam. Meskipun begitu
memang tidak dapat di pungkiri begitu kenyataan bahwa di negara yang menganut
system sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi, namun adanya otonomi
daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin tumbuhnya demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahannya. (Kelsen,1973: 312). Atas dasar pemikiran yang
demikianlah dapat dipahami bahwa undang-undang yang pertama kali lahir di negara
Republik Indonesia adalah UU tentang otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945.

Pembahasan Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan


mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian "otonom"
secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan
"daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian
pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah
masyarakat itu sendiri." Atau bahasa UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah bahwa otonomi daerah adalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1
angka 5).

Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu


wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah
masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan

4
keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi
adat istiadat daerah lingkungannya.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi


kemampuan dalam pelaksanaan, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan
bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-
bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter,
fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.
Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan
keanekaragaman.

Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan
Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas
apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?

Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa
lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada
alasan paradikmatik . Tahun 1998, masyarakat Indonesia meraskan kemuakan atas
pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih
menjanjikan kebebasan. Realitanya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era
otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implementasi atas konsep otonomi
itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.

2.2. Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional


Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan
pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu , kekuasaan pusat dialihkan dari pusat
ke pemerintahan Daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam
kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka
di idealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika
kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.

5
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting
terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-
baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-
daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara
pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang
muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat
yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan
otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya
sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah No. IV/MPR/2000 menegaskan
bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan- aturan dari pusat untuk
menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya
peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri
pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah.

Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah


tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan
penyesuaian. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi
kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi
pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk
mendorong tumbuhnya
kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan 
kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan
upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.

2.3. Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi


Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat
institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ
pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan
kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan
otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan dengan gelombang demokratisasi yang
berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.

6
Pada tingkat superstruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi
manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan
agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep
pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya
merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal.
Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka
menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.

Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya
dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah,
tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru
inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam
arti yang sesungguhnya.

Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan


dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim
demokrasi dewasa ini. Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan
peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan
alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami
dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara
pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya.

Bahkan kekhawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat
menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat
daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-
tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu
singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya.

Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa
‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kekhawatiran
bahwa iklim penindasan dan praktik-praktik kezaliman yang anti demokrasi
serta praktik pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di
tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktik pemerintahan di daerah-daerah di
seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga

7
mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah dalam berhadapan dengan
pemerintahan daerah.

2.4. Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah

Isi dan jiwa yang terkandung Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya
menjadi pedoman dalam penyusunan Undang-undang yang membahas tentang Otonomi
Daerah dengan pokok pikiran sebagai berikut:
a) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas
desentralisasi berwenang untuk menentukan dan pelaksanaan kebijakan atas
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
c) Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan
demikian, Daerah Otonom atau dihapus.

2.5. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah


Berdasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004, prinsip-prinsip pelaksanaan Pemerintah
Daerah adalah sebagai berikut:
2.5.1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman
daerah.
2.5.2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
NKRI sebagaimana dimaksud UUD RI Tahun 1945.
2.5.3. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
2.5.4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonom.

8
2.5.5. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan
Otoritas, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan,
Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan
peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi kepentingan nasional.
2.5.6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupun
fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
2.5.7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
2.5.8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

2.6. Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Meskipun UUD RI Tahun 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah


menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi
dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan
bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elite politik
pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945,
akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi
otonomi banyak ditentukan oleh para elite politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu
terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang
terdapat dalam UU berikut ini:
2.6.1. UU No. 1 tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih
menitik-beratkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan
tangan pemerintahan pusat.
2.6.2. UU No. 22 tahun 1948. Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih
menitik beratkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di
kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih
menjadi alat pemerintah pusat.

9
2.6.3. UU No. 1 tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih
bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada
DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.
2.6.4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi
daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui per pres ini kepala daerah
diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
2.6.5. UU No. 18 tahun 1965. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitik
beratkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya
bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap
saja.
2.6.6. UU No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah
terjadi kevakuman dalam pengatuan penyelenggaraan pemerintahan di daerah
sampai dengan dikeluarkanya UU No. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada
awal Orde Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974
pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada
penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran
pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang
menjadi isu nasional.
2.6.7. UU No. 22 tahun 1999. Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan
pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab
2.6.8. UU No 32 Tahun 2004 yang diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Pada periode ini yang masih berlaku, menggunakan asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam ystem dan prinsip NKRI
sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945

2.7. Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah


2.7.1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan (yustisi), moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

10
2.7..2 Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional
dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuan
gan, sistemadministrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
2.7.3.Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka
desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan
yang diserahkan tersebut.
2.7.4.Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka
dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang
dilimpahkan tersebut.
2.7.5.Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan 
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
2.7.6.Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
2.7.7. Kewenangan Propinsi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang
dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
2.7.8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya
dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peratur
an perundang-undangan Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:
 Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut.
 Pengaturan administratif. 
 Pengaturan tata ruang.
 Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah: dan
 Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

2.7.9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh
sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut
mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

11
2.7.10. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup
kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem Adminitrasi dan
lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya
manusia, pendayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standarisasi nasional.
2.7.11. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan
yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
2.7.12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka
tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya 
manusia dengankewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung
jawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.

2.8. Proses Otonomi Daerah

Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang


(UU) Nomor22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun
2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara
praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Diperbaharui lagi dengan UU No 32
Tahun 2004 yang selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas UU No 32Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi
Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam

12
kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara.
Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan
dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun
dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya
tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah. Proses ini
merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor
22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999masing-masing digantikan oleh UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU
No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):

2.8.1. Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara


demokratis

2.8.2. Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan


kesejahteraan dan demokrasi

2.8.3. Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik.

2.8.4. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang
bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence)

2.8.5. Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan

2.9. Konsep Kebijakan Fisikal Daerah

Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga


menyangkut paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi. Desentralisasi eko
nomi mencakupaktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan pada
level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi, dan

13
deregulasi. Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama
proses desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal
meliputi:
a. Pembiayaan mandiri (self-financing) dan cost recovery dalam bidang pelayanan
publik.
b. Peningkatan PAD.
c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat.
d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil.
e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan daerah
Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan fiskal
nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip
penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan
anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint.

Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu


mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran.
Sebaliknya, berdasarkan softbudget constraint, pengeluaran di estimasi lebih dahulu
kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut.
Dalam pendekatan yang pertama, potensi merupakan pertimbangan utama, sementara
pada pendekatan kedua, kebutuhan lah yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko,
2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka Kadjatmiko (2006)
berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk digunakan. Pada
dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005). Elemen
tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan,
pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi daerah adalah
melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), reformasi
sistem pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

2.10. Perangkat Daerah

Perangkat daerah terbagi pada perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah
kabupaten/kota. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretaris daerah, sekretariat
DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota

14
terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah,
kecamatan, dan kelurahan.
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah. Sekretaris daerah diangkat
dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah Provinsi diang
kat dandiberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sekretaris daerah Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sekretaris daerah karena kedudukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di
daerahnya.
Sekretariat DPRD dipimpin oleh sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD Provinsi
diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD Provinsi.
Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota
dengan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota. Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana
otonomi daerah.
Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh
kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul sekretaris
daerah.
Lembaga Teknis Daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah
dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk b
adan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Badan, kantor, atau rumah sakit umum
daerah sebagaimana dimaksud dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala
rumah sakit umum daerah yang diangkat oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil
yang memenuhi syarat atas usul sekretaris daerah.
Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan PERDA
Kabupaten/Kota yang berpedoman pada peraturan pemerintah. Kecamatan dipimpin
olehseorang Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagia
n wewenang Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari pegawai
negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi
persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan PERDA Kabupaten/Kota
yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah 
yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Lura
h diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari pegawai negeri sipil yang

15
menguasai pengetahuan teknis pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

BAB III
KESIMPULAN

Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang/sektor yang sudah menjamur di


wilayah khususnya Indonesia, baik itu dari sektor industri, pertanian, peternakan, perikanan,
perkebunan dan sebagainya, maka persaingan pun akan menjadi tantangan yang harus
dihadapi oleh sebuah wilayah untuk mewujudkan suatu daerah yang otonom. Oleh karena itu
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya-upaya yang akan menjadi sasaran atau
pedoman dalam peningkatan mutu dan sekaligus dapat berpengaruh terhadap kelancaran
suatu daerah yang otonom. Beberapa hal tersebut diantaranya yaitu:
1. Adanya dasar hukum yang menjadi landasan dalam mewujudkan suatu program otonomi
daerah
2. Tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan sumber daya alam (SDA)
yang memadai guna lancarnya otonomi tersebut.
3. Harus memperhatikan arah/sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
4. Kehidupan berpolitik. Diantaranya yaitu:
 Demokrasi pancasila dan Partisipasi masyarakat·
 Kehidupan konstitusional baik:
a. Demokrasi
b. Hukum
c. Kepemimpinan nasional
d. Fungsi lembaga tinggi negara
e. Dan lembaga-lembaga tinggi negara

16
5. Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia.
Perangkat daerah terbagi pada perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah
kabupaten/kota. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretaris daerah, sekretariat
DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri
atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah,
kecamatan, dan kelurahan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does
Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia,
Washington D.C.
Departemen Keuangan RI,2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun 2007,
Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon I
Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November.
Kadjatmiko, 2006, “Local Fiscal Policy”2C Budget performance: Capacity Building For
Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für
wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FEUGM.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggung jawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan
APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan
APBD.
Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget Accountability,
Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für
wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM,
8-11 Mei 2006, Yogyakarta
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang
Standar Biaya Tahun Anggaran 2007.Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004
tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-undang No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

iii

Anda mungkin juga menyukai