FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan begitu
banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan menyadari begitu banyak nikmat
yang telah di dapatkan dari Allah SWT. Selain itu, kami juga merasa sangat bersyukur karena
telah mendapatkan hidayah-Nya baik kesehatan maupun pikiran.
Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan tugas
mata kuliah Hukum Adminitrasi Negara dengan topik inti OTONOMI DAN
KEWENANGAN PEMDA DAN DPRD. Saya sampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada, Bapak Dr. Ahmad S.H., M.H. dosen pengampu mata kuliah Hukum
Adminitrasi Negara.
Kami menyadari makalah ini masih begitu banyak kekurangan dan kesalahan baik
isinya maupun struktur penulisannya, oleh karena itu kami sangat mengharap kritik dan saran
positif untuk perbaikan di kemudian hari. Demikian semoga makalah ini memberikan
manfaat umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi kami. Aamiin.
(i)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
BAB III..................................................................................................................16
KESIMPULAN ....................................................................................................16
Kesimpulan.......................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................(iii)
(ii)
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2.1. Undang-undang 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan
pemerintahan pusat dan daerah.
1.2.2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.2.3. Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
1.4. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melihat bagaimana penerapan otonomi
daerah di Indonesia serta Kewenangan Pemerintahan Daerah dan DPRD dalam
menjalankan tata kelola pemerintahan daerah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak
hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota,
di desa, dan di daerah. Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau
golongan rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan
sendiri) dan Zelfgbestuur (Menjalankan peraturan peraturan yang dibuta oleh Dewan
yang lebih tinggi.. Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap
dalam negeri tidak sama melainkan berlain-lain.” (Hatta, 1976: 103).
Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus
menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada
jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan
dengan yang dikutip RobertRienov (1966 : 573) dari Tocquevile yang mengatakan juga
bahwa suatu negara merdeka yang tidak membangun institusi pemerintahan di tingkat
daerah adalah pemerintahan yang tidak membangun semangat kedaulatan rakyat sebab di
dalamnya tidak ada kebebasan.
Salah satu karakter menonjol dari demokrasi, kata Tocqueville, adalah adanya
kebebasan sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintah pusat dan daerah
alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah minimal ada dua macam:
pertama, membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri persoalan-persoalan di
3
daerahnya sekaligus mencari pemecahannya; kedua, memberi kesempatan kepada
masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan beragam untuk membuat aturan
dan programnya sendiri.
Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor yang
menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah: pertama, untuk
mewujudkan prinsip kebebasan (liberty) kedua, untuk membiasakan rakyat berupaya
untuk mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung
dengan dirinya; ketiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap
masyarakat yang mempunyai tuntutan dan kebutuhan beragam. Meskipun begitu
memang tidak dapat di pungkiri begitu kenyataan bahwa di negara yang menganut
system sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi, namun adanya otonomi
daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin tumbuhnya demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahannya. (Kelsen,1973: 312). Atas dasar pemikiran yang
demikianlah dapat dipahami bahwa undang-undang yang pertama kali lahir di negara
Republik Indonesia adalah UU tentang otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945.
4
keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi
adat istiadat daerah lingkungannya.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan
Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas
apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa
lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada
alasan paradikmatik . Tahun 1998, masyarakat Indonesia meraskan kemuakan atas
pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih
menjanjikan kebebasan. Realitanya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era
otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implementasi atas konsep otonomi
itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
5
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting
terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-
baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-
daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara
pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang
muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat
yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan
otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya
sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah No. IV/MPR/2000 menegaskan
bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan- aturan dari pusat untuk
menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya
peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri
pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah.
6
Pada tingkat superstruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi
manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan
agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep
pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya
merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal.
Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka
menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya
dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah,
tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru
inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam
arti yang sesungguhnya.
Bahkan kekhawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat
menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat
daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-
tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu
singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya.
Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa
‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kekhawatiran
bahwa iklim penindasan dan praktik-praktik kezaliman yang anti demokrasi
serta praktik pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di
tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktik pemerintahan di daerah-daerah di
seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga
7
mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah dalam berhadapan dengan
pemerintahan daerah.
Isi dan jiwa yang terkandung Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya
menjadi pedoman dalam penyusunan Undang-undang yang membahas tentang Otonomi
Daerah dengan pokok pikiran sebagai berikut:
a) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas
desentralisasi berwenang untuk menentukan dan pelaksanaan kebijakan atas
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
c) Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan
demikian, Daerah Otonom atau dihapus.
8
2.5.5. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan
Otoritas, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan,
Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan
peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi kepentingan nasional.
2.5.6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupun
fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
2.5.7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
2.5.8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
9
2.6.3. UU No. 1 tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih
bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada
DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.
2.6.4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi
daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui per pres ini kepala daerah
diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
2.6.5. UU No. 18 tahun 1965. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitik
beratkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya
bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap
saja.
2.6.6. UU No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah
terjadi kevakuman dalam pengatuan penyelenggaraan pemerintahan di daerah
sampai dengan dikeluarkanya UU No. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada
awal Orde Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974
pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada
penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran
pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang
menjadi isu nasional.
2.6.7. UU No. 22 tahun 1999. Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan
pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab
2.6.8. UU No 32 Tahun 2004 yang diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pada periode ini yang masih berlaku, menggunakan asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam ystem dan prinsip NKRI
sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945
10
2.7..2 Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional
dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuan
gan, sistemadministrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
2.7.3.Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka
desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan
yang diserahkan tersebut.
2.7.4.Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka
dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang
dilimpahkan tersebut.
2.7.5.Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
2.7.6.Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
2.7.7. Kewenangan Propinsi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang
dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
2.7.8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya
dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peratur
an perundang-undangan Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:
Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut.
Pengaturan administratif.
Pengaturan tata ruang.
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah: dan
Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
2.7.9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh
sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut
mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
11
2.7.10. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup
kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem Adminitrasi dan
lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya
manusia, pendayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standarisasi nasional.
2.7.11. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan
yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
2.7.12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka
tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengankewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung
jawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.
12
kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara.
Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan
dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun
dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya
tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah. Proses ini
merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor
22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999masing-masing digantikan oleh UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU
No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):
2.8.4. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang
bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence)
2.8.5. Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan
13
deregulasi. Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama
proses desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal
meliputi:
a. Pembiayaan mandiri (self-financing) dan cost recovery dalam bidang pelayanan
publik.
b. Peningkatan PAD.
c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat.
d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil.
e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan daerah
Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan fiskal
nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip
penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan
anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint.
Perangkat daerah terbagi pada perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah
kabupaten/kota. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretaris daerah, sekretariat
DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota
14
terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah,
kecamatan, dan kelurahan.
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah. Sekretaris daerah diangkat
dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah Provinsi diang
kat dandiberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sekretaris daerah Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sekretaris daerah karena kedudukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di
daerahnya.
Sekretariat DPRD dipimpin oleh sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD Provinsi
diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD Provinsi.
Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota
dengan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota. Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana
otonomi daerah.
Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh
kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul sekretaris
daerah.
Lembaga Teknis Daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah
dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk b
adan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Badan, kantor, atau rumah sakit umum
daerah sebagaimana dimaksud dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala
rumah sakit umum daerah yang diangkat oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil
yang memenuhi syarat atas usul sekretaris daerah.
Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan PERDA
Kabupaten/Kota yang berpedoman pada peraturan pemerintah. Kecamatan dipimpin
olehseorang Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagia
n wewenang Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari pegawai
negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi
persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan PERDA Kabupaten/Kota
yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah
yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Lura
h diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari pegawai negeri sipil yang
15
menguasai pengetahuan teknis pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
BAB III
KESIMPULAN
16
5. Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia.
Perangkat daerah terbagi pada perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah
kabupaten/kota. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretaris daerah, sekretariat
DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri
atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah,
kecamatan, dan kelurahan.
17
DAFTAR PUSTAKA
Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does
Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia,
Washington D.C.
Departemen Keuangan RI,2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun 2007,
Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon I
Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November.
Kadjatmiko, 2006, “Local Fiscal Policy”2C Budget performance: Capacity Building For
Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für
wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FEUGM.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggung jawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan
APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan
APBD.
Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget Accountability,
Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für
wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM,
8-11 Mei 2006, Yogyakarta
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang
Standar Biaya Tahun Anggaran 2007.Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004
tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-undang No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
iii