Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

SEJARAH MASA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI DEMOKRASI


TERPIMPIN

“Agresi Militer Belanda II”

Oleh :

APRIYANTO (AINII9015) WA ODE DELVI ZAHRANI (A1N119094)

SAHLIN (A1N119011) AYU SAFILA (A1N119002)

NILA SARI (A1N119008)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2021
Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda II atau operasi Gagak adalah operasi militer belanda kedua yang
terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota
Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Muhammad Hatta, Sjahrir dan beberapa
tokoh lainnya. Jatuhnya ibukota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin oleh Sjafrudin Prawiranegara.

1. Latar Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda 2


Perundingan-perundingan yang dilakukan di bawah pengawasan KTN selalu menemui
jalan buntu, sebab Belanda sengaja mengemukakan hal-hal yang tidak mungkin diterima
Republik Indonesia, seperti penafsiran “Garis Van Mook” sebagai garis demarkasi antara
daerah yang masuk kekuasaan Republik dan Daerah yang menjadi kekuasaan Belanda, serta
masalah pembentukan Pemerintahan adinterim Negara Indonesia Serikat.

(Seorang prajurit Indonesia bersiap siaga di perbatasan Yogyakarta)

Tawaran rencana KTN yang terkenal dengan “Usul Chritchley-Dobuis” (anggota KTN
dari Australia dan Amerika) ditolak pula oleh pihak Belanda karena tidak menguntungkan.
Pemerintah Belanda memperhitungkan pula bahwa pertikaian yang terjadi di kalangan
Republik Indonesia sebagai akibat dari perjanjian Renville, kegoncangan di kalangan TNI
sehubungan dengan adanya rekontruksi dan rasionalisasi, serta penumpasan pemberontakan
PKI Madiun yang menelan daya upaya dan kekuatan Republik, memberikan kesempatan bagi
Belanda untuk lebih menekan Republik Indonesia.
Dalam situasi yang gawat ini, akhirnya pada tanggal 13 Desember 1948 Bung Hatta
selaku pimpinan pemerintahan meminta kembali KTN untuk menyelenggarakan perundingan
dengan Belanda, bahkan dengan syarat “kesediaan Republik Indonesia mengakui kedaulatan
Belanda selama masa peralihan”. Uluran tangan tersebut dijawab oleh Belanda pada tanggal
itu juga bahwa perundingan tidak akan diadakan lagi apabila tidak didasarkan pada tuntutan-
tuntutan yang diajukan Belanda.
2. Kronologis Terjadinya Agresi Militer Belanda 2
Pada 21.00 tanggal 18 Desember 1948 pihak Belanda menyampaikan surat kepada Jusuf
Ronodipuro, liaison officer delegasi RI di Jakarta. Isinya, terhitung mulai pukul 00.00 tanggal
19 Desember 1948 Belanda tidak lagi terikat dengan persetujuan Renville dan perjanjian
genjatan senjat. Berita ini tidak berhasil disampaikan ke pemerintahan RI di Yogyakarta pada
malam itu juga karena dihalangi oleh Belanda. Berita pertama tentang Belanda memutuskan
Perjanjian Genjatan Senjata Renville diterima di Yogyakarta pada jam 5.30 berupa suatu
serangan pesawat pembom Belanda (Mitchel buatan Amerika) di atas lapangan udara terdeka.
Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara
dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti
pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya
diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota
menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya
berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan
Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak
penyerang, tak satu pun jatuh korban. Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST
telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak
2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan
beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan
mulai bergerak ke Yogyakarta. Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan
pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara
lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18
Desember malam hari.
Menjelang tengah petang, setelah mengepung kota, Brigade Marinir Belanda, dibantu
oleh sejumlah besar pasukan Ambon dari KNIL berhasil mencapai pusat kota ke istana
Presiden. Taktik cepat yang digunakan Belanda berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir,
dan separuh anggota kabinet Republik. Sebelum tertangkap, kabinet sempat bersidang.
Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak akan
meninggalkan ibukota. Hal ini dikarenakan tidak adanya pasukan yang mengawal mereka ke
luar kota. Selain itu, apabila tetap di dalam kota, hubungan dengan KTN masih dapat
dilakukan dan dengan perantaraan KTN, perundingan dengan Belanda dapat dibuka kembali.
Keputusan yang lain dari sidang pada tanggal 19 Desember 1948 adalah memberikan mandat
kepada Menteri Kemakmuran, Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di
Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra.
Mandat juga diberikan kepada dr. Sudarsono, A. A. Maramis, dan L. N, Palar untuk
membentuk exile government di luar negeri bila usaha Sjafruddin Prawiranegara gagal.
3. Upaya Penyelesaian Agresi Militer Belanda 2
Pada tanggal 20 Desember 1948 pagi, Belanda meminta agar Soekarno memerintahkan
pasukan Republik menghentikan perlawanan. Soekarno menolak dan pada tanggal 22
Desember ia, Hatta, Sjahrir, Mr. Assaat, Mr Abdul Gafar Pringgodigdo, H Agoes Salim, Mr
Ali Sastroamodjojo, dan Komodor Udara Suriadarma diterbangkan Belanda ke Pulau
Bangka. Di sana, Soekarno, Sjahrir, dan Salim dipisahkan dengan yang lainnya dan
diterbangkan ke Berastagi, kemudian ke Prapat dan Danau Toba.
Jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda dan tertangkapnya pemimpin negara yang
kemudian di asingkan membuat Penglima Besar Soedirman Berangkat ke luar kota untuk
memimpin perang gerilya. Sesuai dengan rencana, Angakatan Perang mengundurkan diri ke
luar kota untuk melakukan perang gerilya. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan
ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang
Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah
berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada
tanggal 10 Juli 1949.
Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun
rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1
Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah
federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-
kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.Pasukan
yang tadinya dipindahkan akibat persetujuan Renville melakukan wingate ke daerah asal
mereka. Pasukan Siliwangi melakukan long march dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. TNI
membentuk daerah-daerah pertahanan (wehrkreise) di luar kota. Setelah berhasil melakukan
konsolidasi, TNI mulai melakukan pukulan-pukulan terhadap Belanda. Pukulan yang pertama
adalah garis-garis komunikasi pasukan Belanda. Mereka merusak jaringan telepon, jaringan
rel kereta api, dan konvoi-konvoi Belanda di hadang dan dihancurkan.
Situasi perang mulai berbalik. TNI yang pada awalnya bertahan mulai beralih dengan
taktik menyerang. Mereka tidak lagi hanya mencegat dan menyerang konvoi-konvoi Belanda
serta menyerang pos-pos terpencil, tetapi mereka juga menyerang kota-kota yang diduduki
oleh Belanda. Serangan terhadap kota Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 dibawah pimpinan
Letkol Soeharto berhasil dilakukan selama enam jam. Hal ini membuktikan kepada dunia luar
bahwa TNI dan Republik Indonesia masih eksis.
Adanya Agresi Militer Belanda 2 ini tentunya dilihat oleh mata dunia Internasional.
Setelah pada Agresi Militer Belanda 1, Belanda mendapat kecaman, sekarang Belanda pun
dikutuk. Dunia bahkan mendukung perjuangan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan
kemerdakaannya. Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan “Negara boneka” karya
Belanda ikut mengutuk tindakan Agresi Militer Belanda 2 tersebut. Pada tanggal 20 hingga
23 Januari 1949, atas usulan Burma (sekarang Mnyanmar) dan India, digelarlah Konferensi
Asia di New Delhi, India. Kenferensi itu sendiri dihadiri oleh beberapa negara di Asia, Afrika
dan Australia. Hasilnya berupa resolusi tentang permasalahan Indonesia yang lalu
disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB.
PBB juga mengutuk Agresi Militer Belanda 2, sebab menurut pandanga PBB, Belanda
sudah secara terang-terangan menginjak-injak kesepakatan dalam Perjanjian Renville yang
ketika itu ditandatangani oleh Komisi Tiga Negara (KTN), wakil dari PBB. Pada tanggal 4
Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi supaya Indonesia dan Belanda
segera menghentikan permusuhan dan kembali ke meja perundingan.
4. Dampak Agresi Milliter Belanda II bagi bangsa Indonesia
Adanya agresi militer kedua yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia yaitu
mengakibatkan dihancurkannya beberapa bangunan penting di Yogyakarta, bahkan
Yogyakarta yang pada saat itu sebagai ibu kota Indonesia juga mampu di kuasai oleh
Belanda. Selain itu presiden dan wakil presiden beserta sejumlah pejabat pemerintah
Indonesia berhasil ditawan kemudian di asingkan oleh pihak Belanda.
5. Perjuangan Bangsa Indonesia Terhadap Agresi Militer Belanda II
a. Keampuhan Strategi Diplomasi
Dengan melancarkan agresi militernya yang kedua, Belanda ingin menunjukkan kepada
dunia bahwa RI beserta TNI-nya secara de facto tidak ada lagi. Tujuan Belanda itu dapat
digagalkan oleh perjuangan diplomasi. Para pejuang diplomasi antara lain Palar, Sujatmoko,
Sumitro, dan Sudarpo yang berkeliling di luar negeri. Tindakan yang dilakukan dalam
perjuangan diplomasi antara lain sebagai berikut.
- Menunjukkan pada dunia internasional bahwa agresi militer Belanda merupakan
bentuk tindakan melanggar perjanjian damai (hasil Perundingan Renville).
- Meyakinkan dunia bahwa RI cinta damai, terbukti dari sikap, mentaati hasil
Perundingan Renville dan penghargaan terhadap KTN.
- Membuktikan bahwa RI masih berdaulat dengan fakta masih berlangsungnya
pemerintahan melalui PDRI dan keberhasilan TNI menguasau Yogyakarta selama 6
jam (Serangan Oemoem 1 Maret).
Kerja keras perjuangan diplomasi mampu mengundang simapti internasional terhadap
Indonesia. Amerika Serikat mendesak Belanda untuk menarik mundur pasukannya dari
wilayah RI (dengan ancaman menghentikan bantuannya). Dewan Keamanan PBB mendesak
Belanda untuk menghentikan operasi militer dan membebaskan para pemimpin Indonesia.
Desakan yang gencar dari dunia internasional akhirnya dapat membuat Belanda mengakhiri
militernya kedua.
b. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Sebelum pasukan Belanda memasuki istana kepresidenan, Presiden Soekarno
mengintruksikan kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara (yang kebetulan
berada di Sumatera) untuk membentuk pemerintahan darurat, jika pemerintah RI Yogyakarta
tidak dapat berfungsi lagi. Sesuai dengan instruksi itu, Syafruddin Prawiranegara membentuk
Pemerintah Darurat Republik Indonesia. PDRI berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Kabinet PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia)
- Ketua (perdana menteri) merangkap menteri pertahanan dan penerangan: Syafruddin
Prawiranegara.
- Menteri luar negeri: A.A Maramis
- Menteri pendidikan dan kebudayaan merangkap menteri dalam negeri dan agam:
Teuku Moh. Hasan.
- Menteri keuangan merangkap menteri kehakiman: Lukman Hakim.
- Menteri sosial dan perburuhan, pembangunan, organisasi pemuda dan keamanan:
Sutan Rasyid.
- Menteri pekerjaan umum merangkap menteri kesehatan: Ir. Sitompul.
- Menteri perhubungan merangkap menteri kemakmuran: Ir. Inderacaya.

Selama agresi militer II, Belanda terus menerus memprogandakan bahwa pemerintahan di
Indonesia sudah tidak ada la gi. Propaganda dapat digagalkan oleh PDRI. PDRI berhasil
menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintahan dalam tubuh RI masih
berlangsung. Bahkan, pada tanggal 23 Desember 1948, PDRI mampu memberikan instruksi
lewat radio kepada wakil RI di PBB. Isinya, pihak Indonesia sekaligus mengundang simapti
internasional. Atas dasar keberhasilan itu, para pemimpin PDRI sempat kecewa dengan
tindakan para pemimpin RI di Bangka yang mengadakan perundingan dengan Belanda tanpa
sepengetahuan mereka. Mereka juga tidak menyetujui hasil Perundingan Roem-Roljen yang
cenderung melemahkan wibawa Indonesia. Para pemimpin PDRI yakin bahwa kedudukan
Indonesia telah kuat sehingga mampu lebih banyak kepada Belanda.
Untuk menyelesaikan perbedaan pandangan berlangsung pertemuan antara para
pemimpin PDRI dan pemimpin RI yang pernah ditawan di Bangka, Pertemuan itu
berlangsung pada tanggal 13 Juli 1949 di Jakarta. Hasil pertemuan itu adalah sebagai berikut.
- PDRI menyerahkan keputusan mengenai hasil Perundingan Roem Roijen kepada
kabinet, Badan Pekerja KNIP, dan pimpinan TNI.
- Pada hari itu juga, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat secara resmi
kepada Wakil Presiden Hatta.
DAFTAR PUSTAKA

https://dimasivantrisetyo.blogspot.co.id/2017/01/makalah-agresi-militer-belanda-1-dan-
2.html
sumber:phttp://sayyidanchiam.blogspot.com/2012/10/makala-agresi-milliter-belanda-i-
danii.html.

Anda mungkin juga menyukai