Anda di halaman 1dari 4

NAMA : DINA PUTRI LESTARI

NIM : 6511419009
ROMBEL : 6A GIZI

Dalam suatu negara yang didalamnya terdapat warga negaranya tentu tidak akan jauh
dari permasalahan ekonomi, politik, kesehatan, budaya, dan lain-lain. Salah satunya ialah
permasalahan kesehatan. Permasalahan kesehatan yang masih ramai diperbincangkan dan
diselesaikan adalah permasalahan mengenai gizi. Sebagaimana yang kita tahu bahwa
permasalahan gizi masih banyak ditemukan di Indonesia yang umumnya baik itu gizi kurang
yang terjadi pada balita maupun gizi lebih yang terjadi pada orang dewasa(De Maria, 2006).
Salah satu yang ingin dikupas disini ialah gizi kurang yang terjadi pada balita atau yang biasa
kita sebut stunting. Status gizi balita masih memiliki peranan penting dalam mendukung
pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s) di Indonesia khususnya dalam upaya
menurunkan tingkat kematian balita. Maka dari itu, peran dan kontribusi pemerintah masih
sangat diperlukan dalam upaya pencapaian kesehatan yang berkesinambungan karena tidak
dipungkiri keadaan sosial ekonomi pada penduduk miskin yang mendasari terjadinya kurang
gizi yang sampai sekarang masih menjadi ancaman(Setyowati & Astuti, 2015). Berdasarkan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 ayat
(1) mengatur bahwa Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas penyelenggaraan,
meningkatkan, dan mengembangkan upaya kesehatan. Kebijakan gizi yang direncanakan
tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2015-
2019, dengan sasaran meningkatnya status gizi masyarakat dan target penurunan prevalensi
underweight menjadi 17%, stunting menjadi 28 %, dan wasting menjadi 9.5% pada balita
tahun 2019(Boli, 2020). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonseia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Upaya Perbaikan Gizi Pasal 7 memerintahkan pemerintah daerah
kabupaten/kota bertugas dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan dan fasilitasi gizi,
penanggulangan gizi buruk, perbaikan gizi keluarga dan masyarakat, memenuhi kecukupan
dan perbaikan perbaikan gizi masyarakat terutama pada keluarga miskin dan rawan gizi serta
dalam situasi darurat, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi; menyelenggarakan pelayanan upaya
perbaikan gizi, melaksanakan faasilitasi, perizinan, koordinasi, monitoring dan evaluasi
pelaksanaan urusan wajib upaya perbaikan gizi wilayah kabupaten/kota(Affrian, 2019).
Maka dari itu implementasi program perbaikan gizi kurang pada balita
perlu dilakukan diantaranya adalah:
1. Melalui anggaran dana desa yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat dimanfaatkan
untuk membuat berbagai kegiatan guna menangani masalah stunting dimana berfokus
pada kebun gizi melalui pendekatan keluarga disetiap desa. Hal ini perlu dilakukan
agar dana yang diberikan pada desa tersebut tidak hanya berfokus pada pembentukan
posyandu maupun polindes, namun juga berfokus pada permasalahan gizi dengan cara
melakukan pemberdayaan masyarakat yaitu memberikan edukasi dan wawasan
mengenai gizi di desa tersebut.
2. Sebagaimana yang terdapat pada Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013, ditingkat
pusat dan provinsi harus ada koordinasi yang kuat serta teknis yang jelas sampai
pelaksanaanpun harus jelas.
3. Membuat Kebijakan Akses Pangan Bergizi lalu mendorong kebijakan tersebut agar
mengurangi prevalensi gizi kurang di Indonesia. Tidak hanya itu, memberikan akses
air bersih dan sanitasi serta melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala.
4. Memperkuat survailens gizi masyarakat sehingga dapat mendeteksi secara dini
permasalahan permasalahan gizi yang muncul di masyarakat.

Sebelum muncul adanya suatu kebijakan mengenai gizi tentu terdapat data fakta di
lapangan yang masih banyak ditemukan, yaitu:

1. Dilihat pada aspek lingkungan ekonomi, kondisi ekonomi setiap warga negara tentu
berbeda. Ada yang mempunyai kondisi ekonomi sulit sehingga berdampak pada
kondisi gizinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ekonomi mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap keberhasilan program perbaikan dan penanggulangan gizi balita.
Kondisi ekonomi di dalam keluarga memiliki pengaruh terhadap pola konsumsi gizi
yang orang tua berikan kepada anaknya. Keberhasilan suatu program tentu akan
terhambat dikarenakan program perbaikan gizi yang tujuannya sangat baik, namun
sasaran kebijakannya masih memiliki kondisi ekonomi kurang akan mmberikan
pengaruh pada keberhasilan program tersebut.
2. Dilihat pada aspek lingkungan keluarga, keluarga meman memegang pengaruh besar
terhadap anaknya. Keluarga yang notabennya tidak memperdulikan keseimbangan
gizi anaknya, seperti pola pemberian asi minimal diberikan 6 bulan, kebutuhan gizi
yang diperlukan pada balita, mengecek kondisi pertumbuhan balita, dan menyadari
bahwa gizi anak merupakan investasi masa depan.
Berbicara mengenai gizi kurang, pangan dan gizi juga dianggap sebagai penentu kualitas
sumber daya manusia. Maka dari itu, pembangunan suatu bangsa sangat penting guna
meningkatkan kesejahteraan warga negara dan peningkatan kesejahteraan itu bergantung
pada kualitas sumber daya manusianya. Ukuran kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat
pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat
antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat. Indeks tersebut
juga dipengaruhi oleh tingkat ekonomi dimana akibat dari kemiskinan ialah ketidakmampuan
rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik
sehingga membuat rawan pangan diberbagai daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 7
Tahun 1996, kecukupan pangan ditingkat rumah tangga ialah hal yang dilakukan untuk
mewujudkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan ialah kondisi terpenuhinya pangan dalam
rumah tangga yang dilihat dari berbagai aspek yaitu tersedianya pangan yang cukup dari
jumlah, kualitas, aman dan terjangkau(Rachman & Ariani, 2016).
Kriris ekonomi yang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun
1977 memberikan dampak pada kebijakan makro dan mikro yaitu ketersediaan dan distribusi
pangan. Masalah rawan pangan dan gizi masih menjadi ancaman bagi ketahanan pangan
Indonesia. Yang sering terdengar di telinga kita seperti investasi ekonomi adalah prasyarat
utama untuk memperbaiki kondisi gizi di masyarakat, namun dilihat dari analisis hubungan
timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan, serta analisis ekonomi terhadap keuntungan
investasi gizi, diketahui bahwa perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu
tercapainya tingkat perbaikan ekonomi tertentu. Perkembangan iptek memungkinkan
perbaikan gizi dengan lebih cepat tanpa harus menunggu perbaikan ekonomi. Mencegah dan
mengurangi masalah gizi kurang tidak harus menunggu sampai kemiskinan dituntaskan,
bahkan memperbaiki gizi dapat dilakukan pada saat miskin yaitu dengan cara diperbaiki
gizinya. Dengan adanya seperti itu, semakin banyak rakyat miskin yang diperbaiki gizinya,
maka akan semakin berkurang juga jumlah rakyat miskin. Oleh karena itu, sasaran pertama
Millenium Development Goals (MDGs) bukan hanya dilihat dari seberapa banyak
penyediaan pangan atau tercapainya produksi tersebut, tetapi bagaimana menurunkan
kelaparan dan kemiskinan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat ((BAPPENAS), 2006).
DAFTAR PUSTAKA

(BAPPENAS), B. P. P. N. (2006). Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010.

Affrian, R. (2019). Implementasi Program Perbikan Gizi Masyarakat Kategori Balita


Berstatus Gizi Kurang Di Kelurahan Sungai Malang Kabupaten Hulu Sungai Utara. AS-
SIYASAH: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 3(1), 15.
https://doi.org/10.31602/as.v3i1.1928

Boli, E. B. (2020). Analisis Kebijakan Gizi Dalam Upaya Penanganan Masalah Gizi di
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Komunitas Kesehatan Masyarakat, Volume 2(1),
23–30.

De Maria, G. (2006). Omega 3/6. Agro Food Industry Hi-Tech, 17(1), 29–31.

Rachman, H. P. S., & Ariani, M. (2016). Penganekaragaman Konsumsi Pangan Di Indonesia.


Kementrian Pertanian RI, 6(2), 140–154.

Setyowati, M., & Astuti, R. (2015). PEMETAAN STATUS GIZI BALITA DALAM
MENDUKUNG KEBERHASILAN PENCAPAIAN MILLENIUM DEVELOPMENT
GOALS (MDGs). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(2), 110.
https://doi.org/10.15294/kemas.v10i2.3371

Anda mungkin juga menyukai