Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ANTROPOLOGI HUKUM

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Antropologi Hukum

Dosen Pengampuh:

Disusun Oleh Kelompok :

1. FAESSLER HASAN BASRI ( D1A020172 )

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya. Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Mataram, 15 Maret 2022


Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hukum dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pandangan yang dominan dan
mendominasi dalam ilmu hukum di indonesia adalah pandangan yang bersifat legis
positivitik. Namun terdapat pandangan hukum yang lain yaitu dalam pandangan
antropologis. Pengkajian hukum dari sisi antropologis mengarahkan pemahaman
mengenai arti hukum bagi masyarakat tertentu, para antropolog dan bagi ilmu hukum.
Antropologi Hukum sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dengan
segala macam aspeknya terkait norma-norma hukum tertulis maupun tidak tertulis secara
empiris. Dalam perspektif antropologis, hukum merupakan aktifitas kebudayaan yang
berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control), atau bisa dekatakan juga
sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam lingkungan
masyarakat. Antropologi hukum mempelajari hukum dari latar belakang kultur
masyarakat tertentu, baik pada masyarakat sederhana maupun masyarakat modern.
Dengan kata lain, antropologi hukum merupakan antropologi yang mempelajari hukum
sebagai salah satu aspek dari kebudayaan.
Dengan demikian pengkajian antropologi hukum telah memberikan telaah akan
hasil kreasi, distribusi dan transmisi hukum yang ada. Kajian mengenai bagaimana
kekuasaan hukum berproses dan memberi dampak dalam masing-masing masyarakat.
Dengan adanya antropologi hukum maka akan diperoleh nilai-nilai yang menjadi dasar
suatu hukum dengan pendekatan- pendekatan tertentu.

1. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan antropologi Hukum?
b. Apakah saja azas dan ruang lingkup antropologi hukum?
c. Apa pengertian pluralisme antropologi hukum ?
d. Apa saja faktor dan dasar pluralisme antropologi hukum ?
2. Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui pengertian antropologi Hukum.
b. Untuk mengetahui azas dan ruang lingkup antropologi hukum.
c. Untuk mengetahui pengertian pluralisme antropologi Hukum
d. Untuk mengetahui apa saja faktor dan dasar pluralisme antropologi Hukum
BAB II
PEMBAHASAN
1. Istilah Antropologi Dan Hukum
Istilah antropologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu anthropos dan logos.
Anthropos berarti manusia sedangkan logos berarti cerita, kata, atau ilmu. Antropologi
adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk
sosial. Antropologi dikatakan menyerupai dengan sosiologi tetapi sosiologi lebih
menitikberatkan pada pola interaksi masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
e. William A. Haviland, antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk
memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
f. David Hunter, antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak
terbatas tentang umat manusia.
g. Koentjaraningrat, antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada
umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta
kebudayaan yang dihasilkan.
Dari beberapa pandangan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengertian sederhana antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari
segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi- tradisi, nilai-
nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya dapat
diketahui perbedaannya.
Sedangkan hukum secara etimologi berasal dari kata hukm, yang berarti norma
atau kaidah, yakni aturan, tolok ukur, patokan, pedoman yang digunakan untuk menilai
tingkah laku manusia dan benda. Sedangkan secara terminologi, hukum adalah suatu
aturan dan ukuran perbuatan yang menjuruskan perbuatan- perbuatan tersebut ke tujuan
yang semestinya.

Dalam perspektif antropologi, hukun adalah bagian integral dari kebudayaan


secara keseluruhan. Oleh karena itu, hukum dipelajari sebagai suatu produk dari
interaksi sosial yang mendapat pengaruh dari aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti
politik, ekonomi, ideologi, religi, dan lain-lain. Hukum juga dipelajari sebagai sebuah
proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, hukum
yang berlaku dalam masyarakat selain berwujud dalam bentuk perundang-undangan,
juga berwujud dalam bentuk hukum agama dan hukum adat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan antropologi
hukum adalah ilmu yang mempelajari perilaku hukum masyarakat, budaya hukum
masyarakat, dan cara pandangnya terhadap hukum dan produk- produk turunannya.
Tidak hanya hukum-hukum yang tertulis dan diundangkan oleh pemerintah, namun juga
hukum yang tidak tertulis dan disepakati masyarakat setempat.
2. Azas Dan Ruang Lingkup Antropologi Hukum

h. Azas-Azas Antropologi Hukum


1) Fase pertama, kisah kedatangan bangsa Eropa di 3 benua, yaitu Amerika, Afrika
dan Asia, yang memunculkan sejarah tulisan dan adat istiadat Eropa dari tiga benua
2) Fase kedua, manusia abad kesembilan belas mereka berkembang sangat- sangat
lambat, kebudayaan tertinggi pada waktu itu ada di Eropa sedangkan di luar Eropa
memiliki kebudayaan yang rendah. Karena keragaman budaya dan dari tingkat
evolusi, muncullah ilmu antropologi.
3) Fase ketiga, awal abad 20, Eropa berhasil menguasai negara-negara di luar Eropa,
antropologi penting juga dipelajari untuk mempelajari budaya di luar Eropa dan
tujuan kolonial.
4) Fase keempat, pada tahun 1930-an, perkembangan antropologi berkembang sangat
pesat, tetapi warisan dari fase-fase sebelumnya tidak ditinggalkan begitu saja, tetapi
digunakan sebagai landasan baru bagi antropologi.

i. Ruang Lingkup Antropologi Hukum


Dalam perjalanannya, kajian Antropologi Hukum mendapat perhatian yang
jelih dalam fase transisi yang dialami, mulai dari awal munculnya kajian Antropologi
hingga ke masa Neo Antropologi Hukum itu sendiri. Transisi ini didukung juga dengan
terjadinya kompleksitas masyarakat yang ada dari zaman ke zaman sehingga eksistensi
akan Antropologi Hukum ini sendiri selalu eksis adanya.
Kaitan manusia, masyarakat dan budaya tak akan pernah lepas ruang kajiannya,
karena ruang lingkup kajian dari Antropologi Hukum sendiri adalah manusia, hukum
dan kebudayaan. Bagaimana peran hukum menjadi sebagai penengah bahkan mengatur
harmonisasi masyarakat yang berbudaya tersebut. Hukum juga berfungsi sebagai
sarana pengendalian sosial (social control), atau bisa dekatakan juga sebagai alat untuk
menjaga keteraturan sosial (social order) dalam lingkungan masyarakat.6 Hal tersebut
yang berimplikasi terhadap letak hukum diantara kebudayaan dan masyarakat,
sehingga harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat
tersebut secara keseluruhan. Seperti yang dikatakan oleh Hoebel (1954) “We must
have a look at society and culture at large in order to find the place of law within the
total structure. We must have some idea of how society works before we can have a
full conception of what law is and how it works”.
Pada pernyataan tersebut singkatnya menjelaskan, sebelum menaruh letak
peran hukum dalam masyarakat seharusnya melakukan kebudayaan yang ada di
masyarakat itu terlebih dahulu, kemudian menemukan konsep hukum seperti apa yang
akan diterapkan pada keadaan masyarakat tersebut. Penjelasan ini dengan jelas
menjelaskan posisi hukum yang mencoba masuk dalam lingkaran masyarakat yang
memiliki budaya dengan kompleksitas yang ada, besar harapannya adanya hukum
dapat menjadi unsur harmonisasi antara masyarakat yang kompleks dengan budaya
yang ada.
4. Hubungan Antara Antropologi Hukum dengan Manusia, Masyarakat dan Budaya

Manusia dalam bahasa inggris disebut man. Arti dasar dari kata ini tidak jelas
tetapi pada dasarnya dapat dikaitkan dengan mens (latin) yang berarti “ada yang
berfikir”. Demikian halnya arti kata anthropos (yunani) tidak begitu jelas.Semula
anthropos berarti “seseorang yang melihat ke atas”.Sekarang kata ini di pakai untuk
mengartikan “wajah manusia”.Dan akhirnya homo bahasa latin yang artinya “orang yang
dilahirkan di atas bumi”.7 Pada dasarnya,manusia adalah makhluk individu manusia
yang merupakan bagian dan unit terkecil dari kehidupan sosial atau manusia sebagai
makhluk sosial yang membentuk suatu kehidupan masyarakat, manusia merupakan
kumpulan dari berbagai individu.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki keunikan atau ciri khas masing-
masing, tidak ada manusia yang persis sama meskipun terlahir kembar. Secara fisik
mungkin manusia akan memiliki banyak persamaan namun secara psikologis akan
banyak menunjukan perbedaan. Ciri khas dan perbedaan tersebut sering disebut dengan
kepribadian. Kepribadian seseorang akan sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan dan
lingkungannya.
Menurut Nursid Sumaatmadja, kepribadian adalah keseluruhan perilaku
individu yang merupakan hasil interaksi antara fisik dan psikis yang terbawa sejak lahir
dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta
reaksi mental psikologisnya jika mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia
menyimpulkan bahwa faktor lingkungan ikut berperan dalam pembentukkan
karakteristik yang khas dari seseorang. Secara normal, setiap manusia memiliki potensi
dasar mental yang berkembang dan dapat dikembangkan yaitu:
i. Minat (sense of interest),
ii. Dorongan ingin tahu (sense of curiousity),
iii. Dorongan ingin membuktikan kenyataan (sense of reality)
iv. Dorongan ingin menyelidiki (sense of inquiry),
v. Dorongan ingin menemukan sendiri (sense of discovery).

Jika fenomena sosial di lingkungannya telah tumbuh maka potensi- potensi


mental yang normalnya akan terus berkembang.
Dalam Perjalanan menggali potensi yang ada, manusia berkembang dan
menjadi sebagai unsur kompleks yang dinamakan masyarakat. Pada konsep dasarnya
adalah masyarakat sebagai kumpulan dari unsur-unsur kecil (masyarakat) yang
kemudian menjadi perkumpulan yang dinamai masyarakat. Istilah "masyarakat" berasal
dari bahasa Arab, yakni berakar dari kata "syaraka" yang berarti "ikut serta,
berpartisipasi." Sementara di bahasa Inggris, istilah "masyarakat" disebut dengan
"society" yang berasal dari kata latin "socius," berarti "kawan".
Menurut Koentjaraningrat yaitu seorang antropolog Indonesia menyebut,
definisi masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan
istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. "Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai
prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi".
Sementara menurut Gunsu Nurmasyah dijelaskan bahwa definisi masyarakat
adalah sejumlah manusia yang jadi satu kesatuan golongan yang berhubungan tetap dan
mempunyai kepentingan yang sama. Selain itu, Masyarakat bisa diartikan sebagai salah
satu satuan sosial dalam sistem sosial, atau kesatuan hidup manusia.
Dalam perjalanannya, masyarakat memiliki beberapa unsur yang dapat dinamai
sebagai masyarakat. Unsur-unsur tersebut diantaranya ialah:
a. Beranggotakan paling sedikit dua orang atau lebih.
b. Seluruh anggota sadar sebagai satu kesatuan.
c. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama, menghasilkan individu baru yang saling
berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antaranggota masyarakat.
d. Menjadi sistem hidup berrsama yang memunculkan kebudayaan dan keterkaitan satu
sama lain sebagai anggota masyarakat.

Setelah mengkaji perjalanan masyarakat dan manusia, didalam perjalannya mengalami


sebuah interaksi yang menghasilkan kebudayaan yang ada, kemudian kebudayaan
tersebut menjadi norma hidup di lingkungan masyarakat tersebut. Kebudayaan
dilahirkan dari proses berpikir manusia, yang kemudian diyakini sebagai nilai-nilai
hidup. Dengan demikian, masyarakat dan kebudayaan tidak akan mungkin terpisahkan
karena masyarakat adalah wadah kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan juga diartikan
sebagai corak ataupun ciri dari manusia yang bersosial, artinya dinamika dalam interaksi
yang ada akan membentuk kebudayaan yang menjadi nilai kehidupan manusia itu
sendiri sehingga kaitan ketiganya (manusia, masyarakat dan kebudayaan) tidak akan
terpisahkan dalam proses perjalanannya. Hukum berperan sebagai sarana pengendalian
sosial (social control), atau bisa dekatakan juga sebagai alat untuk menjaga keteraturan
sosial (social order) dalam lingkungan masyarakat. Hal tersebut yang berimplikasi
terhadap letak hukum diantara kebudayaan dan masyarakat, sehingga harus dipahami
terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan.

4444444

Pluralisme merupakan pengakuan atas perbedaan, dan perbedaan itu sesungguhnya

sunatullah dan merupakan sesuatu yang nyata serta tidak bisa di pungkiri. Penolakan

terhadap pluralisme yang sunatullah itu menimbulkan ketegangan dan bahkan konflik, karena

meniadakan sesuatu yang nyata merupakan pengingkaran terhadap kehendak Allah. Pluralisme

pada tujuannya tidak sebatas menghendaki pengakuan atas keperbedaan itu, melainkan juga
penghormatan atas kenyataan perbedaan. Untuk itu, sudah seharusnya diakui dengan jujur

bahwa masyarakat Indonesia memang berbeda-beda dan karenanya segala perbedaan itu untuk

dihormati. Kalau sikap seperti ini bisa dilakukan maka tidak mungkin ada ketegangan yang

berujung pada konflik. Konflik menurut Syafa’atun Elmirzanah, terjadi karena terdapat

ketegangan yang mungkin disebabkan karena pengalaman- pengalaman diskriminasi,

ketidakadilan atau kesalah pahaman yang berkaitan dengan status yang tidak sah dalam

masayarakat,1 sehingga terjadi pemaksaan keinginan antara satu bagian dengan bagian lainnya,

dan masing-masing ingin mendapatkan lebih dari yang seharusnnya didapatkan.

Berbagai peristiwa yang sempat menggejolak di sebagian wilayah Indonesia beberapa

tahun terakhir mengindikasikan telah terjadi pertentangan menyangkut berbagai kepentingan

di antara berbagai kelompok masyarakat. Dan dalam berbagai pertentangan itu, isu suku,

agama, ras dan antar golongan (SARA) begitu cepat menyebar ke berbagai lapisan sehingga

tercipta suasana konflik yang cukup berbahaya dalam kehidupan masyarakat.

1. Pengertian Pluralisme

Pluralisme berasal dari kata plural dan isme, plural yang berarti banyak (jamak),

sedangkan isme berarti paham. Jadi pluralism adalah suatu paham atau teori yang

menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi.

Dalam pengertian semacam ini ada sesuatu yang mendasar dari pluralisme, yaitu

“ketulusan hati” pada diri setiap manusia untuk menerima keanekaragaman yang ada.

“Ketulusan hati” bukanlah hal yang mudah untuk ditumbuhkembangkan dalam diri

seseorang, atau dalam komunitas secara luas, sebab “ketulusan hati” ini berkaitan

dengan kesadaran, latihan, kebesaran jiwa, dan kematangan diri.

Pluralisme adalah upaya membangun tidak saja kesadaran bersifat teologis tetapi juga

kesadaran sosial. Hal itu berimplikasi pada kesadaran bahwa manusia hidup di tengah masyarakat
yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Karena dalam

pluralisme mengandung konsep teologis dan konsep sosiologis.

Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat

kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya

menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami

sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Pluralisme adalah

keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam

suatu masyarakat atau negara, serta keragaman.

Dengan demikian yang dimaksud “pluralisme” adalah terdapat banyaknya ragam

latar belakang (agama) dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai eksistensi hidup

berdampingan, saling bekerja sama dan saling berinteraksi antara penganut satu agama

dengan penganut agama lainnya, atau dalam pengertian yang lain, setiap penganut

agama dituntut bukan saja mengakui keberadan dan menghormati hak agama lain, tetapi

juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya

kerukunan bersama.

Dalam prepektif sosiologi agama, secara terminology, pluralisme agama

dipahami sebagai suatu sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan sebagai

yang bernilai positif dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada manusia.

Pengakuan terhadap kemajemukan agama tersebut adalah menerima dan meyakini

bahwa agama yang kita peluk adalah jalan keselamatan yang paling benar, tetapi bagi

penganut agama lain sesuai dengan keyakinan mereka agama mereka pulalah yang

paling benar. Dari kesadaran inlah akan lahir sikap toleran, inklusif, saling menghormati

dan menghargai, serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk beribadah sesuai
dengan keyakinan masing-masing.

Hal tersebut sesuai dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”,

dan UUD’45 pasal 29 ayat (2) yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah

sesuai menurut agama dan kepercayaan masing- masing.4 Pasal 29 ayat (2) UUD’ 45, di

samping jaminan kebebasan beragama, keputusan yang fundamental ini juga

merupakaan jaminan tidak ada diskriminasi agama di Indonesia. Mukti Ali, secara

filosofis mengistilahkan dengan agree in disagreement (setuju dalam perbedaan).

Setiap agama tidak terpisah dari yang lainnya dalam kemanusiaan. Keterpisahan

mereka dalam kemanusiaan bertentangan dengan prinsip pluralisme yang merupakan

watak dasar masyarakat manusia yang tidak bisa dihindari. Dilihat dari segi etnis,

bahasa, agama, budaya, dan sebagainya, Indonesia termasuk satu negara yang paling

majemuk di dunia. Indonesia juga merupakan salah satu Negara multikultural terbesar di

dunia. Hal ini disadari oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan

konsep pluralisme ini dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Dalam konteks kekinian, wacana pluralisme semakin diminati oleh banyak

kalangan seiring dengan semakin banyaknya konflik yang timbul saat ini. Sebagian

besar konflik tersebut di tenggarai sebagai akibat dari perbedaan agama. Untuk

mengatasinya diperlukan sebuah solusi ilmiah bernama “Pluralisme agama”.

Menanggapi konsep pluralisme agama, memang tidak semua orang sependapat

karena disamping ada yang setuju dan menaruh harapan padanya, ada yang pula

berbagai kekhawatiran ataupun kecurigaan terhadapnya. Seperti apa yang dikatakan oleh

M. Amin Abdullah bahwa kekhawatiran umat beragama pada pluralitas adalah pada

akibat yang ditimbulkan dan konsekuensi dari wujud praktis dari wujud pengakuan
formal tersebut terhadap faham “Relativitas” keberadaan relativitas adalah salah satu

akibat dan bahkan bisa dianggap sebagai saudara kembar pluralitas.

2. Faktor- faktor penyebab dalam Pluralisme


Secara umum dapat di klasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor

internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana antara satu faktor dan faktor lainnya

saling mempengaruhi dan saling berhubungan erat. Faktor internal merupakan faktor

yang timbul akibat tuntunan akan kebenaran yang mutlak (absolute truthclaims) dari

agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah akidah, sejarah maupun dalam masalah

keyakinan atau doktrin. Faktor ini sering juga di namakan dengan faktor ideologis.

Adapun faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu

faktor sosio-politis dan faktor ilmiah.

a. Faktor ideologis (internal).

Faktor internal di sini yaitu mengenai masalah teologi. Keyakinan seseorang

yang serba mutlak dan absolut dalam apa yang di yakini dan di imaninnya merupakan

hal yang wajar. Sikap absolutisme agama tak ada yang mempertentangkannya hingga

muncul teori tentang relativisme agama.

b. Faktor Eksternal

Di samping faktor-faktor internal tersebut di atas tadi, terdapat juga dua faktor

eksternal yang kuat dan mempuyai peran kunci dalam menciptakan iklim yang kondusif

dan lahan yang subur bagi tumbuh berkembangnya teori pluralisme.

3. Dasar-dasar Pluralisme
a. Dasar Filosofis Kemanusiaan
Penerimaan kemajemukan dalam faham pluralisme adalah sesuatu yang mutlak,

tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini merupakan konsekwensi dari kemanusiaan. Manusia
pada dasarnya makhluk sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama,

mempunyai unsur-unsur essensial (inti sari) serta tujuan atau cita-cita hidup terdalam

yang sama, yakni damai sejahtera lahir dan batin. Namun dari lain sisi, manusia berbeda

satu sama lain, baik secara individual atau perorangan maupun komunal atau kelompok,

dari segi eksistensi atau perwujudan diri, tata hidup dan tujuan hidup

b. Dasar Sosial Kemasyarakatan dan Budaya

Pengakuan akan adanya penerimaan akan kemajemukan merupakan

konsekwensi dan konsistensi komitmen sosial maupun konstitusional sebagai

suatu masyarakat (suku, bangsa, bahkan dunia), yang berbudaya. Karena

kemajemukan merupakan konsekwensi dari hakekat manusia sebagai makhluk

sosial.

c. Dasar Teologis

Dalam suatu masyarakat agamawi seperti masyarakat Indonesia, ada berbagai macam

agama yang berbeda dalam berbagai aspek atau unsur-unsurnya, dan kemajemukan harus

diterima sebagai konsekwensi dari nilai-nilai luhur dan gambaran “sang Ilahi” (Allah) yang

maha baik serta cita-cita atau tujuan mulia dari setiap agama dan para penganutnya

kesimpulan

123. Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari perilaku hukum


masyarakat, budaya hukum masyarakat, dan cara pandangnya terhadap hukum dan produk-
produk turunannya. Tidak hanya hukum-hukum yang tertulis dan diundangkan oleh
pemerintah, namun juga hukum yang tidak tertulis dan disepakati masyarakat setempat.
Asas-Asas Antropologi Hukum dijabarkan menjadi lima fase, yaitu fase pertama,
kisah kedatangan bangsa Eropa di 3 benua. Fase kedua, karena keragaman budaya dan dari
tingkat evolusi, muncullah ilmu antropologi. Fase ketiga, Eropa berhasil menguasai negara-
negara di luar Eropa. Fase keempat, antropologi berkembang sangat pesat, tetapi warisan
dari fase-fase sebelumnya tidak ditinggalkan begitu saja, tetapi digunakan sebagai
landasan baru bagi antropologi.
Ruang lingkup kajian dari Antropologi Hukum sendiri adalah manusia, hukum dan
kebudayaan. Posisi hukum yang mencoba masuk dalam lingkaran masyarakat yang
memiliki budaya dengan kompleksitas yang ada, besar harapannya adanya hukum dapat
menjadi unsur harmonisasi antara masyarakat yang kompleks dengan budaya yang ada.

4. Pengertian pluralisme hukum adalah pluralisme hukum kerap diartikan sebagai

keragaman hukum. Pluralismme hukum adalah hadirnya lebih satu aturan hukum

dalam sebuah lingkungan sosial Pluralisme hukum bisa menjadi ancaman serius bagi

proses demokrasi di Indonesia. Dengan alasan pluralisme hukum, semua produk

hukum dapat dipakai untuk menyuburkan nilai-nilai feodalisme, otoritarianisme,

ketidakadilan ekonomi, dan bahkan dijadikan jalan bagi totalitarianisme. Indonesia

merupakan masyarakat yang majemuk, Namun kita belum memiliki konstitusi yang

kuat untuk menopang kemajemukan. Feodalisme masih begitu kental dalam seluruh

segi kehidupan masyarakat kita. Kita masih juga masih belum lepas dari bayang-

bayang otoritarianisme yang masih menghantui kita, ditambah dengan ancaman

munculnya kembali totalitarianisme semakin menguat akhir-akhir ini. Oleh karena itu,

pluralisme hukum, bagaimanapun juga, tidak relevan dengan kondisi sosial-politik

Indonesia.

Dari tulisan ini, jika anda menelaah lebih jauh maka tentunya anda akan memahami

cakupan dari Pluralisme Hukum terkait dengan pandangan para Antropologi Hukum.

Karena plural senantiasa terkait dan terikat pada istilah keragaman maka setiap ada

kata ‘keragaman’ maupun ‘kemajemukan’ maka disitulah terdapat prinsip Pluralisme.

Anda mungkin juga menyukai