Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Arif Hamzah, MA

Disusun Oleh :

Kelompok 5 (Kelas 4A)

Nurlaila Indah Lestari (2007025003)

Muhammad Ginanjar Bagja Santoso (2007025010)

Cintya Putri Samarta (2007025042)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kami. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada
junjungan kami Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman Jahiliyah ke
zaman modern yang penuh dengan ilmu pengetahuan, sehingga penyusun dapat
menyeselesaikan tugas makalah ini dengan judul Ijma’ sebagai Dalil Hukum.
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari Bapak Arif Hamzah,
MA selaku Dosen Mata Kuliah Ushul Fiqh. Selain itu, pembuatan makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Ijma’ sebagai Dalil Hukum bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan juga saran baik dari dosen mata kuliah ini
maupun dari para pembaca demi perbaikan pembuatan makalah di masa yang akan datang.
Sekian yang dapat kami sampaikan dan terimakasih.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 15 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
A. Pengertian Ushul Fiqh.....................................................................................................6
B. Tujuan dan Urgensi Ushul Fiqh......................................................................................7
C. Pengertian Ijma’..............................................................................................................7
D. Konsep dan Aplikasi Ijma’..............................................................................................9
E. Penerapan Ijma’ dalam Kehidupan Sehari-hari............................................................13
BAB III.....................................................................................................................................15
PENUTUP................................................................................................................................15
A. Kesimpulan...................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk hukum
yang dikenal dengan fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus
digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam kenyataanya,
penyusunan fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu
diperlukan adanya pemahaman tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu
ushul fiqh sehingga diharapkan tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami
pertautan antara fiqh dengan ilmu ushul fiqh.
Dalam berbagai kitab Ushul Fiqh, ruang lingkup pembahasan utama atau
batang tubuh ushul fiqh meliputi 5 (lima) pembahasan, bab. Pembahasan Pertama
tentang Hukum; Pembahasan Kedua tentang Hakim (Pembuat Hukum); Pembahasan
Ketiga tentang sumber-sumber hukum; Pembahasan Keempat tentang mahkum fih
(objek hukum); dan Pembahasan Kelima tentang Mahkum ‘Alaih (subjek hukum).
Dari isi pokok ini maka kemudian berlanjut pada pembahasan turunannya, yaitu
Ijtihad dan Maqasid Syar’iyah.
Sebagai hamba Allah yang beriman, sudah selayaknya kita mengerti dan
melaksanakan apa yang Allah kehendaki, sekaligus menjauhi apa yang tidak diridhoi
Allah. Untuk mengetahui dan melaksanakan kehendak Allah kita harus mengetahui
hukum Islam yang telah ada. Namun, hukum Islam menghadapi tantangan lebih
serius, terutama pada abad kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk
menjawab berbagai permasalahan baru yang berhubungan dengan hukum Islam, para
ahli yang sudah tidak bisa lagi sepenuhnya mengandalkan ilmu tentang fiqih, hasil
ijtihad di masa lampau. Alasannya, karena ternyata warisan fiqih yang terdapat dalam
buku-buku klasik, bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-
masalah baru yang belum ada sebelumnya.
Oleh karena itu, umat Islam perlu mengadakan penyegaran kembali terhadap
warisan fiqih. Dalam konteks ini, ijtihad menjadi sebuah kemestian dan metode
ijtihad mutlak harus dikuasai oleh mereka yang akan melakukannya. Metode ijtihad
itulah yang dikenal dengan ushul fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ushul fiqh?
2. Apa saja tujuan dan urgensi Ushul fiqh?
3. Apa yang dimaksud dengan ijma’?
4. Bagaimana konsep dan aplikasi ijma’ sebagai sumber hukum dan dalil hukum?
5. Bagaimana cara menerapkan ijma’ dalam kehidupan sehari-hari?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu Ushul fiqh.
2. Untuk mengetahui apa saja tujuan dan urgensi Ushul fiqh.
3. Untuk mengetahui apa itu ijma’.

1
4. Untuk mengetahui apa saja konsep dan aplikasi ijma’ dalam sumber hukum dan
dalil hukum.
5. Untuk mengetahui cara-cara menerapkan ijma’ dalam kehidupan sehari-hari.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ushul Fiqh
Secara etimologi, kata Ushul fiqh terdiri dari dua kata: ushul dan fiqh. Ushul
adalah jamak dari kata ashlun yang berarti sesuatu yang menjadi pijakan segala
sesuatu. Sekedar contoh, pondasi rumah disebut asal karena ia menjadi tempat pijak
bangunan di atasnya. Sementara, al-fiqh sebagaimana dijelaskan di atas, secara
etimologi berarti mengerti atau memahami. Terma al-Fiqh berasal dari kata faqqaha
yufaqqhihu fiqhan yang berarti pemahaman. Pemahaman sebagaimana dimaksud di
sini, adalah pemahaman tentang agama Islam. Dengan demikian, fiqh menunjuk pada
arti memahami agama Islam secara utuh dan komprehensif.
1
Secara terminologi, ushul fiqh menurut beberapa ulama memiliki beberapa
definisi. Menurut Tajudin as-Subki, ushul fiqh adalah dalil-dalil yang bersifat global.
As-Subki sendiri tidak menggunakan istilah al-ilmu karena dipandang bertentangan
dengan subtansi kata ushul secara bahasa. Selain itu, tanpa kata ilmu, definsi as-Subki
juga lebih serasi secara Bahasa. Meski terbatas pada dalil-dalil yang global, menurut
as-Subki, seorang ahli ushul –yang juga disebut sebagai ushuli—tidak cukup
mengetahui dalil-dalil ijmaly, melainkan harus mengetahui bagaimana menggunakan
dalil kala terjadi kontradiksi dan juga mengetahui syarat menjadi seorang mujtahid.
Definisi ushul fiqh yang lain misalnya Wahab Khalaf, seorang guru besar di
Mesir. Definisi Wahab Khalaf, secara khusus menekankan ushul fiqh sebagai kaidah
atau metode istinbat hukum Islam. Dengan metode ini, maka seorang mujtahid akan
dapat menggali hukum-hukum fiqh yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ruang lingkup kajian ushul fiqh
ada 4, yaitu:
1. Hukum-hukum syarak, karena hukum syarak adalah tsamarah (buah /hasil) yang
dicari oleh ushul fiqh.
2. Dalil-dalil hukum syarak, seperti al-Kitab, Sunah dan ijmak, karena semuanya ini
adalah mutsmir (pohon).
3. Sisi penunjukkan dalil-dalil (wujuh dalalah al-adillah), karena ushul fiqh ini
merupakan thariq al-istitsmar (proses produksi). Penunjukan dalil-dalil ini ada 4,
yaitu dalalah bil manthuq (tersurat), dalalah bil mafhum (tersirat), dalalah bil
dharurat (secara pasti), dan dalalah bil ma’na al-ma’qul (makna yang rasional).
4. Mustatsmir (produsen) yaitu mujtahid yang menetapkan hukum berdasarkan
dugaan kuatnya (zhan). Lawan kata mujtahid adalah muqallid yang wajib
mengikuti mujtahid.

1
Moh, R., & Ag, M. (2019). Ilmu ushul fiqh (M. Bahrudin (ed.)). Perpustakaan Nasional RI:
Katalog Dalam Terbitan (KDT). http://repository.radenintan.ac.id/10167/1/Buku %26 covernya
Buku Ushul Fiqh Moh Bahrudin.pdf

3
B. Tujuan dan Urgensi Ushul Fiqh
2
Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah
untuk mengaplikasikan kaidah-kaidah dan teori-teori ushul fiqh terhadap dalil-dalil
yang spesifik untuk menghasilkan hukum syarak yang dikehendaki oleh dalil tersebut.
Berdasarkan kaidah-kaidah ushul fiqh dan pembahasannya, maka nash-nash syarak
akan dapat dipahami dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dapat
diketahui, serta sesuatu yang dapat menghilangkan ketidakjelasan lafaz yang samar.
Di samping itu diketahui pula dalildalil yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan
antara satu dalil dengan dalil yang lainnya. Termasuk menetapkan metode yang paling
tepat untuk menggali hukum dari sumbernya terhadap sesuatu kejadian konkrit yang
tidak ada nashnya dan mengetahui dengan sempurna dasar-dasar dan metode yang
digunakan para mujtahid dalam mengambil hukum sehingga terhindar dari taklid.
Ilmu ushul fiqh juga membicarakan metode penerapan hukum bagi peristiwa-
peristiwa atau tindakan-tindakan yang tidak ditemukan secara eksplisit nashnya, yaitu
dengan menggunakan metode qiyas, istishab, dan lain sebagainya.
Menurut al-Khudhari Beik dalam kitab ushul fiqhnya, tujuan mempelajari
ilmu ushul fiqh adalah sebagai berikut :
1. Mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, agar
mampu menggali hukum syarak secara tepat.
2. Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hukum syarak melalui metode
yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehinggga dapat memecahkan berbagai
persoalan baru yang muncul.
3. Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber dan dalil hukum.
Ushul fiqh menjadi tolok ukur validitas kebenaran sebuah ijtihad.
4. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat dari dalil yang
mereka gunakan.
5. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang
digunakan dalam berijtihad, sehingga para pemerhati hukum Islam dapat
melakukan seleksi salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan
pendapatnya.

C. Pengertian Ijma’
Secara etimologis, ijmak berasal dari akar kata ajma’a, yajmi’u, ijma’an yang
wazannya kata if’alan, yang mengandung dua makna: Pertama, bermakna “ketetapan
hati terhadap sesuatu (al-‘azam wa at-taṣmim ‘ala al-amr)”. 3Pemaknaan ini
ditemukan dalam Q.S. Yunus (10): 71: Artinya: “Maka kepada Allah-lah aku
bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-
sekutumu (untuk membinasakanku)”.

2
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. F. I. (2020). Ilmu Ushul Fiqh 1 (A. M. Imam (ed.)). Pena
Salsabila. http://digilib.uinsby.ac.id/39747/1/M. Noor Harisudin_Ilmu Ushul Fiqh.pdf

3
Dinata, M. F. (n.d.). Konsep ijma’ dalam Ushul Fikih di Era Modern. 37–52. file:///D:/4A Ushul
Fiqh/163-362-1-SM.pdf

4
Kedua, bermakna “kesepakatan terhadap sesuatu (al-ittifaq ‘ala al-amr)”.
Ijma’ dalam pemaknaan ini ditemukan dalam Q.S. Yusuf (12): 15: Artinya: “Maka
tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu
mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan
kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan
mereka ini, sedangkan mereka tidak ingin lagi”. Dua pemaknaan ijma’ tersebut dapat
ditegaskan perbedaan stresingnya bahwa, pemaknaan yang pertama hanyalah terletak
pada satu tekad bulat perseorangan dalam merealisir suatu pekerjaan yang
direncanakannya, sedangkan pemaknaan yang kedua memerlukan konsensus secara
bulat dalam merealisir suatu perbuatan yang diprogramkannya.
Menurut Abu Luwis Ma’luf, ijmak memiliki arti “kehendak” dan
“kesepakatan” (al-‘azm - al-ittifaq). Perbedaannya, “kehendak” dapat terlahir dari
satu orang, sedangkan “kesepakatan” memerlukan keterlibatan dua orang atau lebih.
Oleh karena itu, dalam konteks disertasi ini, kata ijmak akan lebih tepat jika dimaknai
sebagai “kesepakatan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata
ijma’ memiliki pengertian “kesesuaian pendapat (kata sepakat) dari para ulama
mengenai suatu hal atau peristiwa”. Contoh penggunaan kata ijmak dengan pengertian
“kesepakatan”, dalam ungkapan bahasa Arab dikatakan ‫ػ ُوح غٔأؿـ زح‬ ّٞ ٠ِ ,ًjika kaum itu
telah menyepakatinya atas yang demikian.
Adapun pemaknaan ijma’ secara terminologi telah banyak dikemukakan oleh
para ahli uṣul (uṣuliyyin) antara lain: Al-Gazali dan asy-Syafi’i (w. 505 H)
mendefinisikan ijma’ dengan rumusan: “Kesepakatan umat Nabi Muhammad Saw.
secara khusus mengenai suatu permasalahan agama”. Terminologi ijma’ ini
menggambarkan bahwa ijmak harus dilakukan oleh umat Nabi Muhammad Saw.
dalam arti oleh seluruh umat Islam, mereka harus konsensus dalam menyepakati
setiap persoalan agama. Tetapi, ia tidak memasukkan kalimat “setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw.(ba’da wafati Muhammadin Saw)” kelihatannya secara logika,
karena ijmak di masa Nabi tidak diperlukan, dan pada masa itu hak prerogatif dan
otoritatif penentu hukum adalah Nabi Muhammad Rasulullah. Al-Amidi asy-Syafi’i
(w. 631 H) mendefinisikan ijma’ dengan:“Ungkapan dari kesepakatan sejumlah ahl
al-halli wa al-‘aqd dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa tentang kasus hukum
yang terjadi”. Terminologi ijmak yang dirumuskan oleh al-Amidi ini dapat ditegaskan
bahwa yang dimaksudkannya dengan al-ittifaq, yaitu mereka (ahl alhalli wa al-‘aqd)
sepakat secara umum baik berupa ungkapan perkataan (al-aqwal), perbuatan (al-
af’al), bersikap pasif (as-sukut), dan penetapan (at-taqrir). Dimaksudkan dengan
jumlah ahl al-halli wa al-‘aqd, yaitu kesepakatan mereka (mujtahidin fi al-ahkam
asy-syar’iyyah) secara umum, atau sebagian mereka. Dimaksudkan dengan min
ummati Muhammad, yaitu umat Islam yang ahli dalam berbagai persoalan
keagamaan. Dimaksudkan dengan fi ‘aṣr min al-a’ṣar, yaitu kesepakatan ahl al-halli
wa al-‘aqd pada semua masa hingga datang kiamat. Sedangkan dimaksudkan dengan
‘ala hukmin waqi’atin, yaitu peristiwa hukum dari berbagai persoalan secara umum,
baik berupa penetapan, peniadaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum
syara’ (asy-syar’iyyat), hukum-hukum logika (al-‘aqliyyat), dan makna ijma’ dalam
arti tradisional (al- ‘urfiyyat).

5
D. Konsep dan Aplikasi Ijma’
Pada masa-masa awal Islam Ijma’ berproses mengalir secara alamiah, tidak
ada pola, proses atau prosedur yang baku. Menurut catatan sejarah, dimasa sahabat
tidak semua fukaha diundang oleh khalifah atau hadir dalam membahas suatu masalah
hukum. Khalifah mengundang ulama yang terjangkau untuk dihubungi dan untuk
memutuskan suatu hukum, tidak pula khalifah harus menunggu ulama yang sedang
safar. Tidak semua fukaha ikut serta dalam proses Ijma’ dimasa Sahabat.
Secara epistemologis dan filosofis teori Ijma’ bertitik tolak dari kristalisasi
ajaran dasar Islam tentang syura dan persatuan umat yang konsisten mengikuti jalan
orang-orang beriman (sabil al-mu’minin) serta mengakui infallibilitas konsensus para
ulama karena umat Islam tidak akan pernah menyepakati kesesatan. Infallibilitas
konsensus ulama ini merupakan bentuk pemuliaan dan penghormatan Allah SWT.
kepada orang Islam menuju elastisitas dan fleksibilitas hukum Islam. Melalui Ijma’,
kualitas produk ijtihad personal yang bisa salah dapat meningkat menjadi bersifat
kolektif (jama’i) yang infallible. Teori Ijma’ dirancang untuk merespons kebutuhan
praktis dan mejajagi pendapat umat Islam. Ijma’ merupakan produk dialektika
alamiah antara para ulama dengan umat pada masanya. Ijma’ merupakan wujud sikap
kehati-hatian (ikhtiyaṭ) dan memperkokoh pemahaman hukum Islam. Substansi dan
esensi dalam doktrin Ijma’ adalah diperolehnya kesepakatan kolektif-kolegial para
ulama dengan cara demokratis dan independen mengenai hukum Islam. Memang para
ulama klasik telah merumuskan syarat-syarat Ijma’, namun segala persyaratan Ijma’
tersebut bermuara pada substansi dan esensi Ijma’, yakni diperolehnya kesepakatan
kolektif-kolegial secara demokratis dan independent.
Berdasarkan alur pikir tersebut, maka proses dan mekanisme Ijma’
kontemporer dapat ditempuh dengan:
a. Membentuk majelis atau forum yang independen guna melakukan kajian hingga
diperoleh konsensus dari mayoritas peserta. Agar independensi tetap terjaga
majelis atau forum tersebut tidak perlu dilembagakan, cukup hanya bersifat ad
hoc, dibentuk apabila berdasarkan kajian akademis memang ada keperluan yang
nyata dan sungguh-sungguh.
b. Forum dan kegiatan tersebut melibatkan semua unsur keulamaan secara
representatif (lembaga, institusi, ormas atau aliran keagamaan) yang berada di
Indonesia;
c. Peserta dalam forum tersebut mayoritas beragama Islam, meski boleh melibatkan
non-muslim.
Aplikasi ijma' dalam problematika ekonomi syari’ah dan bisnis keuangan
4

sebagai berikut:
1. Ijma' Haramnya Bunga Bank
Menurut Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Nomor 01 tahun 2004 yang
berbunyi: Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba; 1. Bunga
(interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman
4
Ijma, A., & Syari, P. E. (n.d.). Aplikasi Ijma’ dalam Praktik Ekonomi Syari’ah. 87–116.

6
uang (al-qardh) yang diper-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa
mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu,
diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan
persentase; 2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (yang terjadi
karena penangguhan dalam pembayaran (yang diperjanjikan) ,sebelumnya. (Dan
inilah yang disebut riba nasi’ah; Kedua: Hukum Bunga (Interest); 1. Praktek
pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman
Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan
uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya; 2. Praktek
pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank,
Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya
maupun dilakukan oleh individu; Ketiga: Bermu’amalah dengan Lembaga
Keuangan Konvensional; 1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan
Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan
transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga; 2. Untuk wilayah yang
belum ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan
melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan
prinsip dharurat/hajat.
Kesepakatan tentang haramnya bunga bank ini, jauh sebelum keluarnya fatwa
MUI telah diputuskan status hukumnya adalah haraman, sebagaimana ditetapakan
pada Konsul Kajian Islam dunia tahun 1965, Majma’ Buhuts alIslamiyah tahun
1965, Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1970, Majma’ al-
Fiqh al-Islamy, 1985, Fatwa Mufti Negara Mesir tahun 1989, Bahstsul Masaail
Muktamar NU 1937 dan beberapa fotum ilmiah lainnya.

2. Reksadana Konvensional, Haram Menurut Ijma' Ulama


Reksadana adalah sebuah wahana di mana masyarakat dapat
menginvestasikan dananya dan pengurusnya atau fund manager dana itu
diinvestasikan ke portofolio efek. Reksadana merupakan jalan keluar bagi para
pemodal kecil yang ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal
yang relatif kecil dan risiko yang sedikit. Dalam reksadana konvensional terdapat
hal-hal yang bertentangan dengan syariah baik dalam segi akad, operasi, investasi,
transaksi maupun pembagian keuntungan. Namun demikian dalam reksadana
konvensional tersebut terdapat pula mu'amalah yang dibolehkan dalam Islam
seperti jual beli dan bagi hasil (mudharabah/qirad). Dalam hubungan ini terdapat
kemaslahatan seperti memajukan perekonomian, saling memberi keuntungan
diantara para pelakunya, meminimalkan risiko dalam pasar modal dan sebagainya.
Dalam praktik Reksadana Konvensional, masih banyak terdapat unsurunsur
yang bertentangan dengan koridor syariah Islam. Baik dalam tataran akad, aplikasi
investasi ataupun prinsip pembagian hasil. Diantara karakteristik praktik
reksadana konvensional adalah sebagai berikut: a) Pengeloalaannya tanpa
memperhatikan prinsip syari’ah; b) Efek yang menjadi portofolio investasi pada
seluruh efek yang diperbolehkan; c) Tidak mekanisme pembersihan kekayaan
non-halal; d). Tidak ada Dewan Pengawas Syari’ah (DPS); e) Perjanjian/ akad
masih konvensional dalam artian tidak berdasarkan syari’ah. Jadi, kesimpulan
hukum reksadana konvensional haram menurut ijma' ulama.

7
Sebagai solusinya, para ulama menawarkan konsep reksadana syari’ah.
Sebagaimana disebutkan dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Nomor:
20/DSN-MUI/IV/2001 bahwa Reksa Dana Syari'ah adalah Reksa Dana yang
beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syari'ah Islam, baik dalam bentuk akad
antara pemodal sebagai pemilik harta (sahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer
Investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai
wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.

3. Ijma' Tentang Keharaman Asuransi Konvensional


Asuransi yang disebut juga pertanggungan, yaitu perjanjian antara dua pihak
atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
dederita tertanggung; yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangakan asuransi konvensional adalah usaha asuransi yang dijalankan tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Majelis Ulama Fiqh pada pertemuan
pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya’ban 1398 M, di Mekkah di pusat
Rabithah al-Alam al-Islami meneliti persoalan asuransi dengan berbagai jenisnya
yang bermacam-macam, setelah sebelumnya menelaah tulisan para ulama dalam
persoalan tersebut, dan juga setelah melihat keputusan Majelis Kibar al-Ulama’ di
Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan kesepuluh di kota Riyadh tanggal
14/1/97M, dengan SK No. 55, tentang haramnya asuransi berbasis bisnis dengan
berbagai jenisnya.
Para Ulama menulis beberapa dalil justifikasi baik dari al-Qur'an, hadist
maupun rasio terhadap keabsahan ijma' diantaranya:
- Dalil-dalil dari al-Qur’an
Surah Ali-Imran: 110

ِ ‫ف َوتَ ْنهَــوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك‬


‫ــر‬ ِ ْ‫بِال َم ْعرُو‬ْ َ‫اس تَــْأ ُمرُوْ ن‬ ِ َّ‫ت لِلن‬ ْ ‫ْــر اُ َّم ٍة اُ ْخــ ِر َج‬
َ ‫ُك ْنتُ ْم خَ ي‬
‫هّٰلل‬
ِ ‫َوتُْؤ ِمنُــوْ نَ بِا ِ ۗ َولَــوْ ٰا َمنَ اَ ْه ـ ُل ْال ِك ٰت‬
‫ب لَ َكــانَ خَ يْــرًا لَّهُ ْم ۗ ِم ْنهُ ُم ْال ُمْؤ ِمنُــوْ نَ َواَ ْكثَــ ُرهُ ُم‬
َ‫ْال ٰف ِسقُوْ ن‬
Artinya: Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan
mereka adalah orang-orang fasik.
Kalimat khair ummah dalam ayat ini menunjukkan bahwa mereka mencegah
kemungkaran, maka dilarang dan bahkan mereka diperintahkan untuk berbuat
kebajikan. Sebagai konsekuensi dari khair ummah tidak memproduk kesalahan
dan kejelekan karena keduanya akan keluar dari ruang kebaikan yaitu kebaikan

8
yang terangkum dalam perintah untuk berbuat kebajikan dan mencegah
kemungkaran (al-'amr bi al-ma'ruf wa al-nahi an al-munkar)

Surah Ali-Imran: 103

‫ـل هّٰللا ِ َج ِم ْي ًعــا َّواَل تَفَ َّرقُــوْ ا َۖو ْاذ ُكـ رُوْ ا نِ ْع َمتَ هّٰللا ِ َعلَ ْي ُك ْم اِ ْذ ُك ْنتُ ْم اَ ْعـ د َۤا ًء‬ ِ ‫َوا ْعت‬
ِ ‫َصـ ُموْ ا بِ َح ْبـ‬
‫ار فَا َ ْنقَـ َذ ُك ْم‬
ِ َّ‫ـر ٍة ِّمنَ الن‬ َ ‫تِه اِ ْخ َوانًـ ۚـا َو ُك ْنتُ ْم ع َٰلى َشـفَا ُح ْفـ‬
ٓ ٖ ‫فَاَلَّفَ بَ ْينَ قُلُوْ بِ ُك ْم فَاَصْ بَحْ تُ ْم بِنِ ْع َم‬
َ‫ك يُبَي ُِّن هّٰللا ُ لَ ُك ْم ٰا ٰيتِ ٖه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْهتَ ُدوْ ن‬
َ ِ‫ِّم ْنهَا ۗ َك ٰذل‬
Artinya: Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga
dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana.
Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat
petunjuk.
Pengertian dari ayat ini menunjukkan bahwa ijma' merupakan hablullah yang
wajib untuk dipegang teguh dan kita tidak boleh berpisah darinya. Kandungan
ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt melarang perpecahan dan mengingkari
ijma' merupakan perpecahan dan maksud dari ijma' itu sebagai hujjah berarti
dilarang untuk mengingkarinya.
  Surah An-Nisa (4):115

‫ني نُولِِّه َما َتوىَّل‬ِ‫ول ِمن بع ِد ما َتبنَّي لَه اهْل َدى ويتَّبِع َغير سبِ ِيل الْمْؤ ِمن‬َ ‫س‬ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ِ ِ‫ومن يشاق‬
َُ ْ ََ
َ َ َ ُ َ َ ْ ْ ََ ُ ُ َ َ َ َْ ْ ُ
‫ص ًريا‬ ِ‫تم‬ ِ ِ ُ‫ون‬
َ ْ َ‫َّم َو َساء‬
َ ‫صله َج َهن‬ْ َ
Artinya: “Dan barang siapa yang menantang Rasullah SAW sudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia
kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.

Surah Ali Imran (3):143


‫ َوَأْنتُ ْم َتْنظُُرو َن‬  ُ‫ َر َْأيتُ ُموه‬   ‫ت ِم ْن َقْب ِل َأ ْن َت ْل َق ْوهُ َف َق ْد‬
َ ‫َولََق ْد ُكْنتُ ْم مَتَن َّْو َن الْ َم ْو‬
Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah.

9
- Dalil dari Hadist
Sebagai sumber kedua Islam, Hadith menjadi sumber fuqaha dalam
menyimpulkan sebuah hukum. Diantara hadist-hadist yang menjadi dasar ijma'
adalah:
Artinya: Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan dan
apabila kalian melihat perbedaan maka ambillah pendapat yang mayoritas. (HR
Ibn Majah).
Hadist tersebut menjelaskan status keabsahan ijma' sebagai hujjah meskipun
lafadh yang digunakan agak berbeda tapi substansi dan makna dari semua Hadist
tersebut memiliki kesamaan. Akan tetapi ada pendapat yang menyangkal
pendapat di atas karena status hadith-hadith yang dijadikan argumentasi ijma'
tergolong dalam hadist-hadist ahad yang tidak sampai pada derajat yaqin hingga
tidak boleh menjustifikasi ketetapan status ijma' dengan hadist-hadist tersebut.

E. Penerapan Ijma’ dalam Kehidupan Sehari-hari


5
Menurut beberapa ulama yang meyakini adanya ijma’ setelah masa sahabat,
ijma’ bisa dilakukan untuk menjawab masalah-masalah yang kontemporer. Sebab,
ijma’ sangat berkaitan erat dengan ijtihad. Ijtihad bisa dilakukan kapan saja asalkan
memenuhi ketentuan dan persyaratan yang berlaku. Namun, ijtihad yang diakui
keabsahannya adalah ijma’ fard atau individual, melainkan ijtihad jama’i atau
bersama-sama. Ijtihad ini lebih dikenal dengan istilah ijtihad kolektif.
Ijtihad di masa sekarang bisa dilakukan dengan musyawarah bersama para
muslim yang lebih dalam agamanya dan keilmuannya. Ijtihad ini hampir sama dengan
dewan syuro’ yang ada pada zaman sahabat dahulu. Ijtihad ini dilakukan untuk
kepentingan umum kaum muslim dan cukup.
Ijtihad kolektif sebuah upaya optimal dari mayoritas ahli fiqih untuk sampai
pada sebuah hipotesa terhadap hukum syariat dengan cara menyimpulkan dan telah
mencapai kesepakatan bersama atau mayoritas dari mereka semua setelah
mengadakan tukar pendapat untuk menentukan suatu hukum.Tujuannya adalah untuk
meneliti berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang dibutuhkan umat,
sehingga mereka sepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat menghasilkan
kemaslahatan.
Lembaga ijtihad kolektif terbagi menjadi tiga macam, yaitu tingkat
internasional, nasional, dan lokal. Contoh lembaga ijtihad kolektif tingkat
internasional adalah OKI (organisasi konferensi islam) yang biasanya membahas
muktamar tahunan tentang permasalahan Negara Islam di belahan dunia. Sedangkan
lembaga kolektif tingkat regional adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang
menaungi lembaga keagamaan di Indonesia. MUI juga membahas tentang tradisi,
5
Dinata, M. F. (n.d.). Konsep ijma’ dalam Ushul Fikih di Era Modern. 37–52. file:///D:/4A
Ushul Fiqh/163-362-1-SM.pdf

10
kebiasaan, untuk kemaslahatan bersama. Mereka mengeluarkan fatwa-fatwa yang
berkenaan dengan kehseharian umat Islam. Contoh fatwanya antara lain pelarangan
rokok untuk ibu hamil dan anak-anak. Contoh penerapan ijtihad kolektif di tingkat
regional adalah penetapan satu syawal dan awal ramadhan. Dalam sidang isbat
dihadiri oleh beberapa ormas Islam yang berasal dari berbagai aliran dan daerah,
pemimpin adat, MUI dan dipimpin oleh Kementrian Agama RI.
Sedangkan lembaga kolektif tingkat local adalah MUI cabang provinsi, atau
organisasi masyarakat seperti NU dengan Batsul Masail dan Muhammadiyah dengan
Tarjih. Contoh  fatwa lembaga kolektif tingkat lokal adalah pelarangan duduk dengan
kaki terbuka bagi wanita di Aceh dalam berkendara motor.
Beberapa contoh penerapan ijma dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya sebagai
berikut:
1. Daadakannya adzan dan iqomah dua kali di Sholat Jumat, dan mulai diterapkan
pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan. 
2. Diputuskannya untuk membukukan Al-Quran dan dilakukan pada masa
kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq. 
3. Kesepakatan para ulama atas diharamkannya minyak babi. 
4. Menjadikan as sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-
Quran. 

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwapengertian Ijma’ itu
sendiri adalah kesepakatan antara para ulama-ulama atau mujtahid untuk membahas
suatu masalah didalam kehidupan dalam  masalah-masalah sosial yang tidak ada
didalam Al-quran dan as-sunnah. Kedudukan Ijma’ itu menempati salah satu sumber
atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Dan Ijma’dapat menetapkan hukum
yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya
dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Dari keterangan diatas dapat juga di pahami bahwa ijma harus menyandar
kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik
langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut.
Ijma’ yaitu kesepakatan yang harus dilakukan oleh seluruh mujtahid, bukan
kesepakatan sebagian, atau bukan kesepakatan yang dilakukan oleh selain ulama
mujtahid, seperti kesepakatan yang dilakukan orang-orang awam atau orang-orang
yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid. Dan dalam melakukan suatu ijma’
harus diperhatikan dalam beberapa hal seperti syarat-syarat ijma’, mengetahui
macam-macam ijma’, kehujjahan ijma’, landasan ijma’ serta mengetahui syarat-syarat
sebagai seorang mujtahid Untuk mencapai kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik
di dunia dan di akhirat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Moh, R., & Ag, M. (2019). Ilmu ushul fiqh (M. Bahrudin (ed.)). Perpustakaan Nasional RI: Katalog
Dalam Terbitan (KDT). http://repository.radenintan.ac.id/10167/1/Buku %26 covernya Buku
Ushul Fiqh Moh Bahrudin.pdf
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. F. I. (2020). Ilmu Ushul Fiqh 1 (A. M. Imam (ed.)). Pena Salsabila.
http://digilib.uinsby.ac.id/39747/1/M. Noor Harisudin_Ilmu Ushul Fiqh.pdf
Ijma, A., & Syari, P. E. (n.d.). Aplikasi Ijma’ dalam Praktik Ekonomi Syari’ah. 87–116.
Dinata, M. F. (n.d.). Konsep ijma’ dalam Ushul Fikih di Era Modern. 37–52. file:///D:/4A Ushul
Fiqh/163-362-1-SM.pdf
Ushul, A., Dan, F., Syari, M., Bahaya, M., & Bab, D. (1966). ALIRAN USHUL FIQH DAN
MAQASHID SYARI’AH Oleh: Maman Suherman*. 353–368.

13

Anda mungkin juga menyukai